aṣ-ṣibyan Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
Susunan Redaksi Jurnal aṣ-ṣibyan Penanggung Jawab: Subhan (Dekan FTK IAIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten) Redaktur: Umayah Penyunting: Hunainah, Imroatun, Yahdinil Firda Nadhirah, Uyu Mu’awanah, Tri Ilma Septiana Mitra Bestari: Fattah Hanurawan (UM Malang), Suyadi (UIN Yogyakarta), Eneng Muslihah (IAIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten), Heru Kurniawan (IAIN Purwokerto) Setting & Layout: Birru Muqdamien, Juhji Sekretariat: Sri Sugiyanti, Hujanil Karim,
Penerbit: Jurusan Pendidikan Guru Raudhatul Athfal Fakultas Tarbiyah dan Keguruan IAIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten Jl. Syekh Nawawi Al-Bantani Kp. Andamu'i Kel. Sukawana Kec. Curug Kota Serang Email:
[email protected]
aṣ-ṣibyan, ISSN 2541-5549, diterbitkan enam bulan sekali oleh Jurusan Pendidikan Guru Raudhatul Athfal Fakultas Tarbiyah dan Keguruan IAIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten berdasarkan Surat Keputusan Rektor IAIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten No. In.10/F.I/HK.00.5/1201/2016, tanggal 04 April 2016.
aṣ-ṣibyan Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal Vol.1, No.2, Tahun 2016, Hal. 106-195, Juli - Desember 2016
DAFTAR ISI
Evaluasi Pendidikan Pada Jenjang PAUD Enung Nugraha .....................................................................................................
106 - 118
How Children Learn a Foreign Language (A Literature Study on Teaching English to Young Learners) Eulis Rahmawati ....................................................................................................
119 - 125
Pembelajaran Bahasa Pada Anak Yang Mengalami Keterlambatan Berbicara untuk Meningkatkan Kemampuan Berkomunikasi Humaeroh...............................................................................................................
126 - 138
Pengembangan Karakter Siswa Raudlatul Athfal Berbasis Pendidikan Agama Islam Intan Kusumawati ..................................................................................................
139 - 148
Pengembangan Daya Seni pada Anak Usia Dini Muhiyatul Huliyah.................................................................................................
149 - 164
Pengembangan Kompetensi Profesional Guru Pendidikan Anak Usia Dini Melalui Pemberdayaan Organisasi Himpaudi di Kecamatan Serang Nuryati ....................................................................................................................
165 - 176
Pemberdayaan Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pendidikan Anak Usia Dini Berbasis Pesantren Umi Musaropah .....................................................................................................
177 - 185
Mengoptimalkan Otak Anak Sejak Usia Dini Yahdinil Firda Nadirah .........................................................................................
186 - 195
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.2, Tahun 2016, Hal. 106-118
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
EVALUASI PENDIDIKAN PADA JENJANG PAUD Enung Nugraha Dosen Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, IAIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten Email:
[email protected]
Abstract Education is a process of guidance and instruction to develop academic skills as well as the beginning of learners’ development. Started from informal education at home or informal, at school or formal, or at course or non-formal. Formal education is conducted from early childhood education level to university. The education level under the auspices of the ministry of religious affairs and the ministry of education and culture. Each education level has a learning program which is contained in the national curriculum, so the implementation of education generally refers to the curriculum that have been set. The curriculum put into daily teaching-learning program commonly called syllabus and lesson planning. The use of methods, strategies and learning media are synergized in order to achieve learning goals. Without exception in the early childhood education level. To see the success and effectiveness of the use of media, methods, and learning strategies, so we need to carry out education evaluation process. Evaluation consists of assessment and measurement activities. In the early childhood education level, measurement is carried out by providing treatment which refers to the children’s behaviors that will be measured. For example observation on children cooperation, skills to respond stimulus or stimulus-respond, coloring, or writing alphabet. In the coloring activities, whether children have already been appropriate in color selection? Whether children have been neat when coloring? Whether it is appropriate between the amount of time available and completion of tasks from teacher? It is necessary when measuring. Then, assessment process is describing capabilities of each child. And finally the process of making decision can be done objectively. The presence of teacher while doing evaluation is very needed in order to make decision more objective. Keywords: stimulus-response, evaluation, assessment and measurement in education.
Abstrak Pendidikan adalah suatu proses bimbingan dan pengajaran untuk mengembangkan kemampuan akademik serta mengawal perkembangan peserta didik. Dimulai dari pendidikan di rumah atau informal, di sekolah atau formal serta pada bidang kursus atau non formal. Pada pendidikan formal dilaksanakan mulai jenjang pendidikan anak usia dini sampai dengan peruruan tinggi. Jenjang pendidikan tersebut ada yang berada di bawah naungan kementerian agama ada juga yang berada di bawah naungan kementrian pendidikan dan kebudayaan atau kemendiknas. Setiap jenjang pendidikan terdapat programa pembelajaran yang tertuang dalam kurikulum nasional, sehingga pelaksanaan pembelajaran secara general mengacu terhadap kurikulum yang telah ditetapkan tersebut. Kurikulum dituangkan ke dalam rancangan program belajar mengajar setiap hari yang biasa disebut silabus atau RPP. Penggunaan metode, strategi dan media pembelajaran disinergikan dalam rangka pencapaian
aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549
E. Nugraha
106
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.2, Tahun 2016, Hal. 106-118
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
tujuan pembelajaran. Tak terkecuali di tingkat pendidikan anak usia dini. Untuk melihat keberhasilan serta efektifitas penggunaan media, metode serta strategi pembelajaran maka dilaksanakan ptoses evaluasi pendidikan. Evaluasi terdiri dari kegiatan pengukuran dan penilaian. Pada jenjang PAUD pengukuran dilaksanakan dengan memberikan treatment atau perlakuan yang merujuk kepada pengunjukan perilaku anak yang mau diukur, misalnya observasi tentang kerja sama anak, keterampilan menanggapi stimulus atau stimulus respon, mewarnai, menuliskan hurup, tertentu. Misalnya pada kegiatan mewarnai apakah suda tepat pemilihan warnanya? Sudah rapikah saat mewarnai? Sesuaikan antara jumlah waktu yang tersedia dengan penyelesaian tugas yang diberikan oleh guru. Hal-hal tersebut dibutuhkan saat pengukuran. Kemudian proses penilaian yaitu mendeskripsikan kemampuan masingmasing anak, sampai akhirnya proses pengambila keputusan bisa dijalankan secara objektif. Hadirnya guru saat evaluasi mutlak diperlukan agar pengambila keputusan bisa lebih objektif. Kata Kunci: PAUD, Stumulus Response, Evaluasi, Pengukuran dan Penilaian Pendidikan.
Pendahuluan Pendidikan merupakan sebuah program yang dilaksanakan dari mulai program PAUD sampai dengan perguruan tinggi. Hal tersebut dilaksanakan di negara Republik Indonesia dari Sabang sampai Merauke dalam rangka meningkatkan kualitas negara dan bangsa. Program melibatkan sejumlah komponen yang bekerja sama dalam sebuah proses untuk mencapai tujuan yang diprogramkan. Sebagai sebuah program, pendidikan merupakan aktivitas sadar dan sengaja yang diarahkan untuk mencapai suatu tujuan. Untuk mengetahuai apakah penyelenggaraan program dapat mencapai tujuannya secara efektif dan efesien, maka diperlukan evaluasi. Kegiatan evaluasi tidak hanya bermakna terbatas pada pekerjaan menilai program pembelajaran dalam lingkup interaksi antara pendidik dan peserta didik didalam kelas saja, tetapi kini istilah ini telah menjadi sebuah istilah umum yang dipergunakan untuk menyebutkan suatu tindakan yang mengandung maksud melakukan penilaian dalam semua aspek bidang. Karena dengan melakukan evaluas i maka kita akan mengetahui keberhasilan suatu kegiatan. Tulisan ini bertujuan untuk: 1) mengetahui tujuan dan fungsi penilaian, pengukuran dan evaluasi pendidikan pada jenjang PAUD; 2) mengetahui ciri-ciri evaluasi pendidikan pada jenjang PAUD; 3) mengetahui objek evaluasi pendidikan pada jenjang PAUD; dan 4) mengetahui subjek evaluasi pendidikan pada jenjang PAUD. Tujuan dan Fungsi Penilaian, Pengukuran, dan Evaluasi Pendidikan pada Jenjang PAUD Fungsi dan Tujuan Penilaian Belajar dan mengajar sebagai suatu proses mengandung tiga unsur yang dapat dibedakan, yakni tujuan pengajar (intruksional), pengalaman (proses) belajar-mengajar. Tujuan intruksional pada hakikatnya adalah perubahan tingkah laku yang diinginkan pada
aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549
E. Nugraha
107
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.2, Tahun 2016, Hal. 106-118
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
diri siswa. oleh karena itu, dalam penilaian hendaknya diperiksa sejauh mana berubah tingkah laku siswa telah terjadi melalui proses belajarnya. Dengan mengatahui tercapainya tidaknya tujuan intruksional, dapat diambil tindakan perbaikan pengajar dan perbaikan siswa yang bersangkutan. Misalnya dengan melakukan perubahan dalam strategi mengajar, memberikan bimbingan dan bantuan bermanfaat untuk mengatahui tercapai tidaknya tujuan intruksional, dalam hal ini perubahan tingkah laku siswa, tetapi juga sebagai laku siswa, tetapi juga sebagai umpan balik bagi upaya memperbaiki proses belajar-mengajar. Ditinjau dari sudut bahasa, penilaian diartikan sebagai proses membentukan nilai suatu objek. Untuk dapat menentukan suatu nilai atau harga suatu objek diperlukan adanya ukuran atau kriteria. Misalnya untuk dapat mengatakan baik, sedang, kurang, diperlukan adanya ketentuan atau ukuran yang jelas bagaimana yang baik, yang sedang dan yang kurang, ukuran itulah yang dinamakan kriteria. Dari pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa ciri penilaian adalah adanya objek atau program yang dinilai dan adanya kriteria sebagai dasar untuk membandingkan antara kenyataaan atau apa adanya dengan kriteria atau apa yang seharusnya. Perbandingan bisa bersifat relatif artinya hasil perbandingan tersebut membandigkan tersebut menggambarkan posisi objek yang dinilai ditinjau dari kriteria yang berlaku. Sedangkan perbandingan bersifat relatif artinya hasil perbandingan lebih menggambarkan posisi suatu objek yang dinilai terhadap objek lainnya dengan bersumber pada kriteria yang sama.1 Dengan mengatahui makna penilaian ditinjau dari berbagai segi dalam sistem pendidikan, maka dengan cara lain dapat di lakukan bahwa tujuan atau fungsi penilaian ada beberapa hal: Penilaian berfungsi selektif Dengan cara mengadakan penilaian guru mempunyai cara untuk mengadakan seleksi atau penilaian terhadap siswanya. Sekolah dapat menggunakan hasil penilaian untuk menyeleksi: 1) siswa yang dapat diterima disekolah maupun ditolak; 2) siswa yang dapat naik kelas maupun yang tinggal kelas; 3) siswa yang dapat memperoleh beasiswa maupun bantuan yang lainnya; 4) siswa yang berhak lulus sekolah, dan sebagainya. 2 Pada jenjang PAUD fungsi selektif dialihkan kepada fungsi observasi yakni untuk melihat kesiapan anak untuk mengikuti program sekolah. Oleh karena itu tidak terlalu dibutuhkan soal tes. Penilaian berfungsi diagnostik Apabila alat yang digunakan dalam penilaian cukup memenuhi persyaratan, maka dengan melihat hasilnya, guru akan mengatahui kelemahan siswa. Disamping itu juga untuk melihat sebab-musabab kelemahan itu. Jadi dengan mengadakan penilaian, sebenarnaya guru mengadakan diagnose kepada siswa tentang kebaikan dan kelemahannya. Dengan diketahui sebab-sebab kelemahan ini, akan mudah dicari cara untuk mengatasi.
aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549
E. Nugraha
108
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.2, Tahun 2016, Hal. 106-118
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
Penilaian berfungsi sebagai penempatan Setiap siswa sejak lahirnya telah membawa bakat sendiri-sendiri sehingga pelajaran akan efektif apabila disesuaikan dengan pembawaan yang ada. Akan tetapi disebabkan karena karakter batasan sarana dan tenaga, pensisikan, yang bersifat individual kadang-kadang sukar sekali dilaksanakan. Untuk dapat menentukan dengan pasti di kelompok mana seorang siswa harus ditentukan, diguanakn penilaian. Sekelompok siswa yang mempunyai hasil penilaian yang sama dalam belajar. Penilaian berfungsi sebagai pengukur keberhasilan Fungsi ke empat dari penilaian ini di maksud untuk mengatahui sejauh mana suatu program berhasil ditetapkan.3 Penilaian hasil dan proses belajar saling berkaitan satu sama lain sebab hasil merupakan akibat dari proses: 1) alat untuk mengatahui tercapai-tidaknya tujuan instruksional. Dengan fungsi ini maka penilaian harus mengacu kepada rumusanrumusan tujuan intruksional; 2) umpan balik bagi perbaikan proses belajar-mengajar. Perbaikan mungkin dilakukan dalam tujuan intruksional, kegiatan belajar siswa, strategi, mengajar guru, dan lain-lain; 3) dasar dalam menyusun laporan kemajuan belajar siswa kepada para orang tuanya. Dalam laporan tersebut dikemukakan kemampuan dan kecakapan belajar siswa dalam berbagai bidang studi dalam bentuk nilai-nilai prestasi yang dicapai. Kegiatan penilaian kelas juga memiliki beberapa fungsi. Beberapa fungsi tersebut diantaranya adalah sebagai berikut: 1) penilaian membantu siswa mendapat kepuasan atas apa yang telah dikerjakan; 2) penilaian membantu guru untuk menentapkan apakah metode mengajar yang diguanakannya telah memadai; 3) sebagai kontrol bagi guru dan sekolah tentang kemajuan perkembangan peserta didik; 4) penilaian berfungsi untuk orang tua, dasar dalam menyusun laporan kemajaunn belajar sisiwa kepada para orang tua. Dalam laporan tersebut dikemukakan kemampuan dan kecakapan balajar siswa dalam berbagai bidang studi dalam bentuk nilai-nilai presasi yang dicapai; 5) penilaian bagi pemerintah, penilaian kekuatan dan kelemahan pelaksanaan sistem pendidikan dan pengajaran. Sedangkan tujuan penilaian adalah untuk: 1) mendreskripsikan kecakapan belajar para siswa sehingga dapat diketahui kelebihan dan kekurangannya dalam berbagai bidang studi atau masa pelajaran yang ditempuhnya; 2) mengatahui keberhasilan proses pendidikan dan pengajaran di sekolah, yakni seberapa jauh keefektifan dalam mengubah tingkah laku para siswa ke arah tujuan pendidikan yang diharapkan; 3) menentukan tindakan lanjut hasil penilaian, yakni melakukan perbaikan dan penyempurnaan dalam hal program pendidikan dan pengajaran serta strategi pelaksanaannya; 4) memberikan pertanggung jawaban dari pihak sekolah kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Tujuan dan Fungsi Pengukuran Pendidikan Pengukuran dilakukan agar pengambilan keputusan evaluasi dapat dilakukan secara tepat. Keputusan evalusi hasil belajar menyangkut nasib akademik siswa sehingga kesalahan
aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549
E. Nugraha
109
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.2, Tahun 2016, Hal. 106-118
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
pengambilan keputusan akan merugikan siswa. Pada jenjang PAUD apabila siswa tidak dapat lagi melihat hubungan antara jerih payah mereka dalam belajar dengan hasil belajarnya maka hasil belajar akan kehilangan daya tariknya untuk meningaktkan motivasi belajar. Untuk itu pengambilan keputusan evaluasi harus dilakukan secara hati-hati agar belajar mempunyai makna bagi usaha belajar siswa. Evaluasi hasil belajar dapat dilakukan dengan baik apabila kegiatan evaluasi itu didahului dengan pengukuran. Pengukuran menyediakan data yang menjadi landasan pengambilan keputusan dalam evaluasi. Tanpa pengukuran maka evaluasi tidak memiliki dasar yang kuat dalam membuat keputusan. Untuk itu pengukuran dilakuakan sebelum evaluasi agar pengambilan keputusan dilakukan secara tepat karena mempunyai landasan kuat yang mendasarinya. Pengukuran dalam pendidikan mempunyai beberapa fungsi penempatan, seleksi, diagnostik, dan pengukur keberhasilan.4 1) Penempatan. Pendidikan tidak dilakukan secara individual, tapi secara klasikal. Siswa dikelompokkan kedalam kelas-kelas sesuai dengan karakteristik dan kebutuhannya. Penempatan siswa kedalam kelompok kelas itu dilakukan berdasarkan hasil pengukuran menggunkan tes. 2) Seleksi. Seleksi calon siswa digunakan untuk mendapatkan siswa yang baik untuk diterima. Tes dan beberapa alat pengukuran digunakan untuk mengambil keputusan tentang orang yang akan diterima atau ditolak dalam proses seleksi. 3) Diagnostik. Guru juga berkeoentingan untuk mengetahui sebab-sebab pada seorang anak yang menghadapi suatu masalah. Untuk mengetahui sebab-sebab masalah yang dialami siswa, guru melakukan pemeriksaan diagnose. Diagnose dilakukan dengan melakukan pengukuran menggunakan tes untuk mengetahui sumber masalahnya. 4) Pengukuran keberhasilan. Pada akhir proses belajar mengajar, hasil yang dicapai siswa dalam prose situ diukur menggunakan tes untuk mengetahui tingkat keberhasilan siswa mencapai tujuan pembelajaran dan membuat keputusan evaluasi berdasarkan hasil pengukuran. Guru maupun pendidik lainny perku mengadakan pengukuran terhadap hasil belajar siswa karena dalam dunia pendidikan, khususnya persekolahan pengukuran hasil belajar mempunyai makna yang penting, baik bagi siswa, guru, sekolah, orang tua dan pemerintah. Adapun makna pengukuran bagi kelima pihak tersebut adalah: 1) bagi siswa, dengan mengetahuai hasil belajarnya, siswa dapat mengukur apakah cara belajarnya sudah efektif untuk mencapai hasil dan memperbaiki dan meningkatkannya dimasa yang mendatang. 2) bagi guru, dengan pengukuran guru dapat mengetahui efektivitas mengajarnya. Dengan cara mengukur apakah tujuan pembelajaran sudah tercapai atau belum. 3) bagi orang tua, dengan pengukuran orangtua mendapatkan informasi untuk memberikan penilaian kepada sekolah sebelum memilih sekolah yang akan dipercayanya membeerikan pendidikan kepada anaknya. 4) bagi sekolah, dengan pengukuran mengetahui prestasi sekolah mengelolah pembelajaran. 5) bagi pemerintah, pengukuran dilakukan untuk menyususn patok mutu pendidikan.
aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549
E. Nugraha
110
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.2, Tahun 2016, Hal. 106-118
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
Tujuan dan Fungsi Evaluasi Pendidikan Secara umum, tujuan evaluasi dalam bidang pendidikan ada dua, yaitu: Untuk menghimpun bahan-bahan keterangan yang akan dijadikan sebagai bukti mengenai taraf perkembangan atau taraf kemajuan yang dialami oleh para peserta didik, setelah mereka mengikuti proses pembelajaran dalam jangka waktu tertentu. Dan untuk mengetahui tingkat efektivitas dari metode-metode pengajaran yang telah di pergunakan dalam proses pembelajaran selama jangka waktu tertentu.5 Adapun yang menjadi tujuan khusus dari kegiatan evaluasi dalam bidang pendidikan adalah untuk merangsang kegiatan peserta didik dalam menempuh program pendidikan. Tanpa adanya evaluasi maka tidak mungkin timbul kegairahan atau rangsangan pada diri peserta didik untuk memperbaiki dan meningkatkan prestasinya masing-masing. Dan untuk mencari dan menemukan faktor-faktor penyebab keberhasilan dan tidak keberhasilan peserta didik dalam mengikuti program pendidikan, sehingga dapat dicari dan ditemukan jalan keluar atau cara-cara perbaikannya.6 Secara umum, evaluasi sebagai suatu tindakan atau proses setidak-tidaknya memilki tiga macam fungsi pokok, yaitu: 1) mengukur kemajuan; 2) menunjang penyususnan rencana; dan 3) memperbaiki atau melakukan penyempurnaan kembali. Adapun secara khusus, fungsi evaluasi dalam dunia pendidikan dapat dilihat dari tiga segi, yaitu:7 Segi psikologis, evaluasi dalam bidang pendidikan di sekolah dapat di soroti dari dua sisi yaitu dari sisi peserta didik dan dari sisi pendidik. Bagi peserta didik, evaluasi pendidikan secara psikologis akan memberikan pedoman atau pegangan batin kepada mereka untuk mengenal kapasitas dan status dirinya masing-masing ditengah-tengah kelompok atau kelasnya. Bagi pendidik, evaluasi pendidikan akan memberikan kepastian atau ketepatan hati kepada diri pendidik tersebut, sudah sejauh manakah kiranya usaha yang telah yang dilakukannya selama ini telah membawa hasil, sehingga ia secara psikologis memilki pedoman atau pegangan batin yang pasti gun menentikan langkah-langkah apa saja yang dipandang perlu dilakukan selanjutnya. Segi didaktik, bagi peserta didik, secara didaktif evaluasi pendidikan (khususnya evaluasi hasil belajar) akan dapat memberikan dorongan (motivasi) kepada mereka untuk dapat memeperbaiki, meningkatkan dan mempertahankan prestasinya. Bagi pendidik, secara didaktik evaluasi pendidikan itu setidak-tidaknya memilki lima macam fungsi, diantaranya, memberikan landasan untuk menilai hasil usaha (prestasi) yang telah dicapai oleh peserta didiknya, memberikan informasi yang sangat berguna, guna mengetahui posisi masingmasing peserta didik ditengah-tengah kelompoknya, memberikan bahan yang penting untuk memilih dan kemudian menetapkan status peserta didik, memberikan pedoman untuk mencari dan menemukan jalan keluar bagi peserta didik yang memang memerlukannya, memberikan petunjuk tentang sudah sejauh manakah program pengajaran yang telah ditentukan telah dapat dicapai.
aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549
E. Nugraha
111
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.2, Tahun 2016, Hal. 106-118
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
Metodik. Secara harfiah, “metodik” berasal dari kata "metode"(method). Metode berarti suatu cara kerja yang sistematik dan umum. Metodologi searti dengan kata metodik (methodentic) yaitu suatu penyelidikan yang sistematis dan formulasi metode yang akan digunakan dalam penelitian. Metodik ada dua macam, yakni: 1) metodik umum, yaitu pengetahuan yang membahas cara-cara mengajarkan sesuatu jenis mata pelajaran tertentu secara umum artinya hanya secara garis besar jalan pelajaran beserta kesulitan-kesulitan pada suatu mata pelajaran tertentu; dan 2) metodik khusus adalah pengetahuan yang membentangkan cara-cara mengajarkan sesuatu jenis pelajaran tertentu secara mendetail. Untuk mengetahui hubungan antara didaktik dan metodik perlu diperbincangkan lebih dahulu lingkaran permasalahan Didaktik dan Metodik itu, setelah itu barulah kita mengetahui garis temu antara kedua lingkaran tersebut. Kedudukan Metodik dalam proses belajar mengajar ialah: 1) sebagai alat motivasi ekstrinsik; 2) sebagai strategi belajar mengajar; 3) sebagai alat untuk mencapai tujuan pengajaran8 Segi administratif. Evaluasi pendidikan setidaknya memilki tiga macam fungsi, yaitu: 1) memberikan laporan. Dengan melakukan evaluasi, akan dapat disusun dan di sajikan laporan mengenai kemajuan dan perkembangan peserta didik setelah mereka mengikuti proses pembelajaran dalam jangka waktu tertentu; 2) memberikan bahan-bahan keterangan (data). Setiap keputusan pendidikan harus di dasarkan kepada data yang lengkap dan akurat; 3) memberikan gambaran. Gambaran mengenai hasil-hasil yang telah dicapai dalam proses pembelajaran tercermin antara lain dari hasil-hasil belajar para peserta didik setelah dilakukannya evaluasi hasil belajar. Dari berbagai macam fungsi di atas, disimpulkan bahwa fungsi evaluasi berguna bagi: siswa, guru, sekolah, orang tua, dan pemerintah. 1) Bagi siswa, evaluasi berfungsi untuk mengetahui kemampuan dan hasil belajarnya, memperbaiki cara belajar, dan mendorong motivasi belajar. 2) Bagi guru, berfungsi untuk mengetahui kemajuan belajar siswanya, mengetahui status siswa di dalam kelasnya, mengetahui kekurangan proses belajarnya, memperbaiki proses belajar mengajarnya, dan menentukan keberhasilan siswanya. 3) Fungsi evaluasi bagi sekolah, evaluasi berfungsi untuk meningkatkan mutu hasil pendidikan, mengetahui kemajuan dan kemunduran seko!ah, membuat keputusan pada siswa, dan mengadakan perbaikan kurikulum. 4) Sedangkan fungsi evaluasi bagi orang tua, evaluasi berfungsi untuk mengetahui hasil be!ajar anaknya, meningkatkan pemantauan dan bimbingan belajar, dan mengarahkan pendidikan jurusan atau sekolah lanjutannya.9 5) Evaluasi berguna untuk para pengembang kurikulum khususnya dalam menentukan kejelasan tujuan khusus yang ingin dicapai. Misalnya apakah tujuan itu mesti dikurangi atau ditambah. Ciri-Ciri Penilaian Pendidikan Menurut Suharsini Arikunto, ada lima ciri penilaian dalam pendidikan yaitu sebagai berikut:10
aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549
E. Nugraha
112
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.2, Tahun 2016, Hal. 106-118
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
Penilaian dilakukan secara tidak langsung. Sebagai contoh untuk mengukur sikap siswa terhadap mata pelajaran IPS, kita dapat mengukur dari indikator/ gejala yang tampak (observable indicator). Adapun indikator sikap siswa terhadap mata pelajaran IPS diantaranya, membaca buku IPS, belajar IPS, berinteraksi dengan guru IPS, mengerjakan tugas-tugas IPS, diskusi tentang IPS, memiliki buku IPS, dan seterusnya. Menggunakan ukuran kuantitatif. Penilaian pendidikan bersifat kuantitatif, artinya menggunakan simbol bilangan sebagai hasil pertama pengukuran. Setelah itu diinterpretasikan ke bentuk kualitatif. Contoh pengukuran skala sikap siswa berdasarkan indikator mengerjakan tugas-tugas IPS ada lima kemungkinan terhadap pengerjaan tugas IPS oleh siswa, yaitu: a) selalu mengerjakan; b) sering mengerjakan; c) kadang-kadang mengerjakan; d) pernah mengerjakan; dan e) tidak pernah mengerjakan. Kelima alternatif jawaban siswa tersebut kemudian diberi simbol bilangan atau skor. Adapun simbol bilangan atau alternatif etrsebut adalah: a) selalu diberi simbol bilangan atau skor 5; b) sering diberi simbol bilangan atau skor 4; c) kadang-kadang diberi simbol bilangan atau skor 3; d) pernah diberi simbol bilangan atau skor 2; dan e) tidak pernah diberi simbol bilanagn atau skor 1. Berdasarkan jawaban terhadap pengerjaan tugas IPS oleh siswa, kemudian diinterpretasikan kebentuk kualitatif, yaitu kualitatif sikap siswa terhadap pelajaran IPS. Adapaun kriteria interpretasi tersebut adalah: a) skor 5 kualifikasi sikap sangat baik; b) skor 4 kualifikasi sikap baik; c) skor 3 kualifikasi sikap cukup; d) skor 2 kualifikasi sikap tidak baik; dan e) skor 1 kualifikasi sikap sangat tidak baik. Apabila Ahmad selalu mengerjakan tugastugas IPS yang diberikan oleh guru, maka dapat diartikan bahwa Ahmad memiliki sikap yang sangat baik terhadap mata pelajaran IPS. Dalam proses kuantifikasi, sifat kualitatif data pendidikan diubah dalm bentuknya yang kuantitatif dengan aturan pengukuran tertentu.11 Penggunaan ukuran kuantitatif ini mempunyai beberapa keuntungan yaitu sebagai berikut: 1) Pemahaman karakteristik siswa yang diukur dapat dilakukan secara objektif. Pengukuran memungkinkan pengumpulan data dapat dilakukan secara objektif sebab dengan pengumpulan data menggunakan alat ukur maka pengumpul data menyerahkan wewenang pengumpulan data kepada alat ukur. Cara ini dapat menghindarkan intervensi subjektifitas pengumpul data dalam pengumpulan data. 2) Penggunaan ukuran kuantitatif dalam data pendidikan menyajikan informasi dengan akurasi yang lebih tinggi. Misalnya, bila data disajikan secara kualitatif maka informasi yang dapat diberikan sangat terbatas. Pemberian penilaian dilakukan dengan cara yang tidak akurat dengan memberikan hasil pengukuran berupa sangat pandai, pandai, sedang, bodoh, sangat bodoh. Sebaliknya, bila data disajikan dalam ukuran kuantitatif yang melibatkan bilangan, maka data mengenai siswa dapat disajikan dengan akurasi yang sangat tinggi. Menggunakan unit-unit atau satuan-satuan yang tetap, karena IQ 105 termasuk anak normal. Siswa yang hasil pengukuran IQ nya 80, menurut unit pengukurannya termasuk anak yang bodoh.
aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549
E. Nugraha
113
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.2, Tahun 2016, Hal. 106-118
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
Bersifat relatif, artinya hasil penilaian untuk objek yang sama dari waktu ke waktu dapat mengalami perubahan karena adanya berbagai faktor yang mempengaruhinya. Contoh: hasil ujian yang diperoleh Linda hari senin adalah 75, hari rabu 80, tetapi hasil ulangan hari sabtu hanya 60. Ketidakpastian hasil penilaian ini disebabkan banyak faktor. Mungkin pada hari sabtu Linda mengalami kelelahan setelah pada hari jumatnya mengikuti les sampai sore. Dalam penilaian pendidikan sering terjadi kesalahan. Adapun sumber kesalahan tersebut dapat ditinjau dari berbagai faktor, yaitu: 1) Terletak pada alat ukurnya. Alat yang digunakan untuk mengukur haruslah baik. Misalnya, kita akan mengukur berat emas, tetapi menggunakan timbangan beras. Maka hasil pengukuran tersebut tidak akan dapat menggambarkan berat emas yang sebenarnya. Instrumen penilaian akan menghasilkan informasi sebagai hasil penilaian yang baik, apabila instrument tersebut valid dan reliable (dan dapat dipercaya). 2) Terletak pada orang yang melakukan penilaian. Hal ini dapat berupa: a) Kesalahan pada waktu melakukan penilaian karena faktor subjektif penilai telah berpengaruh pada hasil penilaian. Tulisan yang jelek dan tidak jelas, mau tidak mau mempengaruhi hasil penilaian. Subjektivitas penilai, misalnya si penilai pada waktu menilai penilai sendiri sedang risau, juga akan mempengaruhi hasil penilaian; b) Kecenderungan dari penilai untuk memberikan nilai secara “murah” atau “mahal”. Ada guru memberikan nilai 5 (lima) untuk siswa yang menjawab salah dengan alasan untuk upah menulis. Tetapi ada yang memberikan nilai 0 (nol) untuk jawaban yang serupa; c) Adanya “hallo effect, yaitu adanya kesan penilai terhadap siswa yang dinilai. Kesan-kesan itu dapat berasal dari guru lain maupun dari guru itu sendiri pada waktu-waktu sebelumnya. Kesan tersebut dapat berupa kesan positif maupun negatif; d) Adanya pengaruh hasil yang diperoleh terdahulu. Seorang siswa pada waktu ujian pertama mendapat angka 9 sebanyak 3 kali, untuk ujian ke empat dan seterusnya guru sudah terkena pengaruh ingin memberi angka lebih banyak dari yang sebenarnya walaupun seandainyapada waktu ujian tersebut siswa sedang mengalami nasib sial, yakni salah mengerjakan soal ujian; e) Kesalahan yang disebabkan oleh kekeliruan menjumlah angka-angka hasil penilaian. 3) Terletak pada anak yang dinilai. a) Siswa adalah manusia yang berperasaan dan bersuasana hati. Suasana hati seseorang akan sangat berpengaruh terhadap penilaian. Misalnya, suasana hati yang sedang kalut, sedih atau tertekan akan memberikan hasil yang kurang memuaskan. Sedang suasana hati yang gembira akan memberikan hasil yang maksimal; b) Keadaan fisik ketika siswa sedang dinilai. Kepala pusing, perut mulas atau sakit gigi, tentu saja akan mempengaruhi cara siswa memecahkan persoalan. Pikirannya sukar untuk berkonsentarsi; c) Nasib siswa kadang-kadang mempunyai peranan terhadap hasil penilaian.12 Tanpa adanya sesuatu sebab fisik maupun psikis, adakalanya seperti ada “gangguan” terhadap kelancaran mengerjakan soal-soal. 4) Terletak pada situasi dimana pada saat penilaian berlangsung. a) Suasana yang gaduh, baik didalam ruangan maupun di luar ruangan akan mengganggu konsentrasi siswa.
aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549
E. Nugraha
114
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.2, Tahun 2016, Hal. 106-118
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
Demikian pula tingkah laku kawan-kawannya yang sedang mengerjakan soal, apakah mereka bekerja sama dengan cukup serius atau tampak seperti main-main, akan mempengaruhi diri siswa dalam mengerjakan ujian; b) Pengawasan dalam penilaian. Tidak menjadi rahasia bahwa pengawasan yang terlalu ketat tidak akan disenangi oleh siswa yang suka melihat ke kiri dan ke kanan. Namun, adakalanya keadaan sebaliknya, yaitu pengawasan yang longgar justru membuat jengkel siswa yang mau disiplin dan percaya pada diri sendiri Objek Evaluasi Pendidikan Dimaksud dengan objek atau sasaran evaluasi pendidikan ialah segala sesuatau yang bertalian dengan kegiatan atau proses pendidikan, yang dijadikan titik pusat perhatian atau pengalaman, karena pihak penilai (evaluator) ingin memperoleh informasi tentang kegiatan atau proses pendidikan tersebut.13 Salah satu cara untuk mengenal atau mengetahuai obyek dari evaluasi pendidikan adalah dengan jalan menyorotinya dari tiga segi, yaitu ari segi input, transformasi dan output, dimana input kita anggap sebagai “bahan mentah yang akan diolah”, transformasi kita anggap sebagai “dapur tempat mengolah bahan mentah”, dan output kita anggap sebagai “hasil pengolahan yang dilakukan di dapur dan siap untuk dipakai”. Input Calon siswa sebagai pribadi yang utuh, dapat ditinajau dari beberapa segi yang menghasilakan bermacam-macam bentuk tes yang digunakan sebagai alat untuk mengukur. Aspek yang bersifat rohani setidak-tidaknya mencangkup 4 hal, yakni: 1) Kemampuan. Untuk dapat mengikuti program dalam suatu lembaga/sekolah/institusi, maka calon siswa harus memiliki kemampuan yang sepadan. Alat ukur yang digunakan untuk mengukur kemampuan ini dissebut tes kemampuan atau aptitude test; 2) Kepribadian. Kepribadian adalah sesuatau yang terdapa pada diri manusia dan menampakkan bentuknya dalam tingkah laku. Dalam hal-hal tertentu, informasi tentang kepribadiaan sangant diperlukan. Alat untuk mengetahui kepribadiaan seseorang disebut tes kepribadiaan atau personality test; 3) Sikapsikap. Sebenarnya sikap ini merupakan bagian dari tingkah laku manusia sebagai gejala atau gambaran kepribadian yang memancar keluar. Alat untuk mengeahuai keadaan sikap seseorang dinamakan tes sikap atau attitude test. Oleh karena tes ini berupa skala, maka lalu disebut skala sikap atau attitude Scale; 4) Intelegensi. Untuk mengeahuai tingkat intelegensi ini digunakan tes intelegensi yang sudah banayak diciptakan oleh para ahli. Dari hasil tes akan diketahuai IQ (Intelligence Quotitent).14 Trasformasi Transformasi yang dapat diibaratkan sebagai “mesin pengolah yang bertugas mengubah bahan mentah menjadi bahan jadi”, akan memegang peranan yang sangat penting. Ia dapat menjadi faktor penentu yang dapat menyebabkan keberhasilan atau kegagalan dalam upanya pencapaian tujuan pendidikan yang telah ditentukan.15 Unsur-unsur dalam
aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549
E. Nugraha
115
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.2, Tahun 2016, Hal. 106-118
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
transformasi yang menjadi obyek penilaian antara lain: 1) kuriulum/materi, 2) metode dan cara penilaian, 3) sarana pendidikan/media, 4) sistem administrasi, dan 5) guru dan personal lainnya. Output Adapun dari segi output, yang menjadi sasaran evaluasi pendidikan adalah tingkat pencapaian atau prestasi belajar yang diraih oleh masing-masing pendidik, setelah mereka terlibat dalam proses pendidikan selama jangka waktu yang ditentukan. Untuk mengetahuai seberapa jauh tingkat pencapaian atau prestasi belajar yang diraih oleh peserta didik itu, dipergunakan alat berupa Tes Prestasi Belajar atau Tes Hasil Belajar, yang biasa dikenal dengan istilah tes pencapain (achievement test). Aspek-aspek yang perlu diperhatikan didalam evaluasi terhadap siswa SD dan SL (seperti dikemukaakan oleh Tayler ) banyak jumlahnya dan menyangkut berbagai aspek dari kepribadian siswa seperti: 1) aspek-aspek tentang berfikir: termasuk didalamnya: intelegensi, ingatan, cara menginterpertasi data, prinsip-prinsip pekerjaan, pemikiran logis, dan sebagainya; 2) perasaan sosialnya. Termasuk didalamnya adalah cara bergaul, cara pemecahan nilai-nilai sosial, cara menghadapi dan berpartisipasi dalam kenyataan sosial dan sebagainya; 3) keyakinan sosial dan kewargaan Negara; menyangkut: pandangan hidupnya terhadap masalah-masalah sosial, politik, dan ekonomi; 4) presiasi seni dan budaya; 5) minat, bakat, dan hobi; dan 6) perkembangan sosial dan personal.16 Subjek Evaluasi Pendidikan Subjek evaluasi adalah orang yang melakukan pekerjaan evaluasi. Siapa yang dapat disebut sebagai subjek evaluasi untuk setiap tes, ditentukan oleh suatu aturan pembagian tugas atau ketentuan yang berlaku.17 Sebagai contoh pada jenjang anak usia dini. 1) Untuk melaksanakan evaluasi tentang prestasi belajar atau pencapaian, maka sebagai subjek evaluasi adalah guru; 2) Untuk melaksanakan evaluasi sikap yang menggunakan sebuah skala, maka sebagai subjeknya dapat meminta petugas yang ditunjuk, dengan didahului oleh suatu latihan melaksanakan evaluasi tersebut; 3) Untuk melaksanakan evaluasi terhadap tes kepribadian dimana menggunakan sebuah alat ukur yang sudah di standarisir, maka subjeknya adalah ahli-ahli psikologi. Disamping alatnya yang harus bersifat rahasia, maka subjek evaluasi haruslah seorang yang betul-betul ahli karena jawaban dan tingkah laku orang yang di tes, harus diinterpretasikan dengan cara tertentu. Pada jenjang PAUD yang sering dilakukan adalah tes IQ, untuk melihat tingkat intelegensi anak. Ada pandangan lain yang disebut subjek evaluasi adalah siswa, yakni orang yang dievaluasi. Dalam hal ini yang dipandang sebagai objek misalnya: prestasi matematik, kemampuan membaca, kecepatan lari dan sebagainya. Pandangan lain lagi mengklasifikasikan siswa sebagai objek evaluasi dan guru sebagai subjeknya.
aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549
E. Nugraha
116
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.2, Tahun 2016, Hal. 106-118
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
Penutup Evaluasi pendidikan terdiri dari pengukuran dan penilaian diartikan sebagai proses pengambilan keputusan atas hasil belajar anak. Evaluasi pada jenjang PAUD prosesnya adalah melibatkan observasi sehingga penilaian berupa deskripsi dari setiap bidang. Deskripsi berupa kualitatif tentang gambaran kemampuan anak dari mulai kepribadian, keterampilan berhtung, serta mengekpresikan kemampuan dirinya. Pengambilan keputusan atas hasil belajar berupa tata nilai, etika, moral, serta perkembangan mental dan motivasi belajar pada anak jenjang usia dini adalah suatu objek penilaian. Untuk dapat menentukan suatu nilai atau harga suatu objek diperlukan adanya ukuran atau kriteria. Pengukuran dilakukan agar pengambilan keputusan. Oleh karenanya pengambilan keputusan tidak bersifat general akan tetapi ditelaah setiap satuan bidang. Evaluasi dapat dilakukan secara tepat. Untuk itu pengukuran dilakukan sebelum evaluasi agar pengambilan keputusan dilakukan secara tepat karena mempunyai landasan kuat yang mendasarinya. Fungsi dari pengukuran dalam pendidikan pada jenjang PAUD diantaranya untuk penempatan, seleksi, diagnostik, dan pengukuran keberhasilan. Tujuan evaluasi dalam bidang pendidikan jenjang anak usia dini ada dua hal yaitu 1) untuk menghimpun bahanbahan keterangan yang akan dijadikan sebagai bukti mengenai taraf perkembangan atau taraf kemajuan yang dialami oleh para peserta didik, setelah mereka mengikuti proses pembelajaran dalam jangka waktu tertentu. Dan 2) untuk mengetahui tingkat efektivitas dari metode-metode pengajaran yang telah di pergunakan dalam proses pembelajaran selama jangka waktu tertentu. Menurut Suharsimi Arikunto, ada lima ciri penilaian pendidikan yaitu, penilaian dilakukan secara tidak langsung, menggunakan ukuran kuantitatif, menggunakan unit-unit atau satuan-satuan yang tetap, bersifat relatif dan dalam penilaian pendidikan sering terjadi kesalahan. Ada pandangan lain yang disebut subjek evaluasi adalah siswa, yakni orang yang dievaluasi. Dalam hal ini yang dipandang sebagai objek misalnya: prestasi matematik, kemampuan membaca, kecepatan lari dan sebagainya. Pandangan lain lagi mengklasifikasikan siswa sebagai objek evaluasi dan guru sebagai subjeknya. Catatan Akhir 1
Nana Sudjana, Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar, (Bandung: 1990), hh.2-4. Eko Putro Widoyoko, Evaluasi Program Pembelajaran Panduan Praktis Bagi Pendidik dan Calon Pendidik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h.33. 3 Suharsimi Arikunto, Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996 ), h.10. 4 Purwanto, Evaluasi Hasil Belajar, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014), h.15. 5 Anas Sudijono, Pengantar Evaluasi Pendidikan, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1998), h.16. 6 Ibid., h.17. 7 Ibid., hh.10-14. 8 https://www.facebook.com/notes/aq-jaelani-babanya-fathir/didaktik-dan-metodik/604472946317315/, diambil 21 09 2016 2
aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549
E. Nugraha
117
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.2, Tahun 2016, Hal. 106-118
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
9
http://khoirulsidikderschone.blogspot.co.id/2011/07/makalah-fungsl-tujuan-dan-kegunaan.html, diambil 21 -09-2016 10 Eko Putro Widoyoko, Evaluasi Program Pembelajaran Panduan Praktis bagi Pendidik dan Calon Pendidik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h.39 11 Purwanto, Evaluasi Hasil Belajar, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014), h.15. 12 Suharsini Arikunto, Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan, (Jakarta: Bumi Aksara, 1997), h.15. 13 Anas Sujidono, Pengantar Evaluasi Pendidikan, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1998), h.25. 14 Op.cit., hh18-19. 15 Anas Sudijono, Pengantar Evaluasi Pendidikan, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1998), h.27. 16 M.Ngalim Purwanto, Prinsip-Prinsip dan Teknik Evaluasi Pengajaran, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1990), h.9. 17 Suharsini Arikunto, Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan, (Jakarta: Bumi Aksara, 1997), hh.21-22
Daftar Pustaka Arikunto, Suharsimi. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara, 1996. Purwanto, M. Ngalim. Prinsip-Prinsip Dan Teknik Evaluasi Pengajaran. Bandung: Remaja Rosda Karya, 1990. Purwanto. Evaluasi Hasil Belajar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014. Sudjana, Nana. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: 1990. Sujidono, Anas. Penganatr Evaluasi Pendidikan. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1998. Widoyoko, Eko Putro. Evaluasi Program Pembelajaran Panduan Praktis Bagi Pendidik dan Calon Pendidik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009. https://www.facebook.com/notes/aq-jaelani-babanya-fathir/didaktik-dan metodik/604472946317315/, diambil 21 -09-2016 http://khoirulsidikderschone.blogspot.co.id/2011/07/makalah-fungsl-tujuan-dankegunaan.html, diambil 21 -09-2016
aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549
E. Nugraha
118
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.2, Tahun 2016, Hal. 119-125
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
HOW CHILDREN LEARN A FOREIGN LANGUAGE (A Literature Study on Teaching English to Young Learners) Eulis Rahmawati Dosen Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, IAIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten Email:
[email protected]
Abstract Mengajarkan Bahasa Asing, khususnya Bahasa Inggris, telah menjadi daya tarik tersendiri bagi kalangan pengajar yang memiliki perhatian lebih terhadap pembelajaran bahasa asing bagi anak-anak dalam beberapa waktu ini. Terlebih hal itu didukung dengan fakta bahwa sebagian besar orang tua memperkenalkan Bahasa Inggris sebagai bahasa asing, bahkan beberapa sebagai bahas kedua, sedini mungkin. Sedemikian menariknya isu tentang pembelajaran Bahasa Inggris bagi anak dan karena fakta bahwa anak memiliki keunikan tersendiri dalam karakter dan cara belajar telah mendorong banyak ahli bahasa dan pemerhati anak melakukan kajian dan membuat berbagai referensi teori tentang bagaimana mengajarkan bahasa Inggris kepada anak-anak.Dengan melakukan kajian pustaka, tulisan ini berusaha mendeskripsikan bagaimana karakter anak dalam pembelajaran bahasa asing, bagaimana anak belajar bahasa inggris sebagai bahasa asing, dan bagaimana Bahasa Inggris diajarkan bagi anak. Key Words: English to Young Learner, English as Foreign Language, EFL learner
Introduction English is one of the foreign languages taught in Indonesia. It has become more important than any other foreign languages to learn at schools. It can be realized that English is studied by the students of elementary school, junior high school, senior high school, and university who are expected to master English which is an international language in order to be able to respond to the globalization era. Since English is very important to learn, children have to learn English as early as possible (Musthafa, 2008). It is in line with Zein (2008) explains that “many Asian countries believe that introducing English to primary students is considerably important to ensure their success” (Zein, 2008). Teaching English for Young Learners in Indonesia refers to teaching English for children especially those of elementary school ages. It has now become to be carried out as a legitimate subject since it is supported by an official policy. The degree of Ministry of Education and Culture (R.I./0847/4/1992, Chapter VIII) states that an elementary school can add some extra lessons as long as they do not contradict with the objectives of national education. In accordance with this policy, another ministerial degree (Ministry of Education
aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549
E. Rahmawati
119
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.2, Tahun 2016, Hal. 119-125
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
and Culture, no 060/U/1993) affirms that English can be introduced to the fourth grade students of elementary school. Then, in the 1994 elementary school curriculum, English is included as a local content subject. The 1994 Local Content Curriculum for Elementary School (Depdikbud, 1994:1) states that English instruction at Elementary School should be based on theme (theme-based teaching) with the main emphases on vocabulary and simple communicative expression. The main objective of the instruction is that to enable students to use English for communication in simple English. The main function of the instruction is to motivate students to learn the language. Huda and Suyanto (in Maisa, 2009) affirm that English lesson as a local content will be intended to teach students to understand simple oral and written expression in English. It is also to prepare students for further education in secondary school. Moreover, according to Alwasilah (in Maisa, 2009), there are two reasons why government allows elementary schools to teach English to their students: (1) many parents send their children to attend the English courses, especially English for Children, and (2) it is assumed that teaching English in Elementary school will create a positive attitude toward English that can change the negative image of English as a difficult subject and able to develop students‟ basic language skill, so Senior high school students will have a better English competence. Since the positive prospective of teaching English to children, it is necessary to elaborate first how children actually learn English as their foreign language. Thus, by reviewing some literature, this writing tries to figure out the common theory on how children learn a foreign language and how English is being taught to children. Some Issues around EFL Teaching to Young Learners The purpose of this part is to give a brief survey of the key issues with regard to the teaching of foreign languages to younger children and to provide a further reading list for those who wish to look in more depth at particular aspects of this complex subject. The need to be clear about aims and means A study of documents produced by educational planners worldwide with regard to the benefits of introducing a foreign a language (in particular English) to primary school aged children reveals considerable consensus, but the list is long and not all aspects will be highlighted in each country. The list can be divided into two main categories: 1. Benefits that are connected with the position and importance of the language in a country. 2. Benefits that derive from the nature and needs of children. The importance of English to a country With regard to English, a major consideration is whether the language already has an official or widespread use within a country that gives it the status of a Second Language, or
aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549
E. Rahmawati
120
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.2, Tahun 2016, Hal. 119-125
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
whether its position is that of a Foreign Language. Statements from the educational at authorities such as „in this country, English is necessary for access to secondary education or vocational training‟ have the clear implication that, in order to provide equal opportunity to all citizens, English needs to be effectively taught at primary level. On the other hand, in other countries more global statements such as „English is one of the most used languages in the world‟ or „English is important to this country for international contacts‟ perhaps need further examination with regard to whether it is therefore necessary to introduce English at a young age rather than later on. Beginning young might add symbolic weight to the perceived national importance of the language, but in the world of tight budgets and value for money analysis, it is well to work on the basis of evidence that beginning young can be more effective for meeting these long term needs. The importance of learning a language for the learner The second category of considerations centers on how learning a language at a young age can benefit the individual child. This learning is often stated to be beneficial for: 1. 2. 3.
Breaking down cultural barriers or at least enlarging cultural horizons Helping the child‟s cognitive development Contributing to the child‟s general language awareness, not least through the comparison of the first language with the new language
4. 5.
Forming positive and confident attitudes to the learning of other languages in later life Last but not least, leading to higher achievement it the language in secondary school and in adult life. These are all benefits that can be supported by successful examples from different countries, but it is important to remember that success depends on the way in which an early language learning program is implemented, on the conditions and the methods, and not on the age factor alone. For each of the potential benefits listed above, examples can be found where there has been no evidence of actual benefit, or even negative results. The section on looking at past instructional projects raises some relevant issue to this area. How Children Learn a Foreign Language Drawing from a wide array of research studies in the context of both first language and EFL (English as a foreign language) literacy educators have come to a general consensus that to ensure success in learning a foreign language and mother tongue alike, children should have a great deal of exposure to, engagement in, and support for the language they are learning. This means that children should have ample opportunities to hear and see the English language being used for communicative purposes in their social environment. Additionally, children themselves must have opportunities to use English for some communicative purposes. To enhance their learning, children should also be given the necessary support so that they feel that what they are learning is useful and interesting.
aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549
E. Rahmawati
121
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.2, Tahun 2016, Hal. 119-125
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
There are some theoretical generalizations that can be used as a guide for ensuring optimal EFL learning for young learners. Children learn naturally Based on brain research, it has long been realized that human brains can never tolerate confusion-meaning that our brains tend to actively find ways to get settled rightly or wronglywith things that cause some confusion. In other words, as part of their development, children are always active, exploring their environtments (physical, social, informational, ideological) and accumulating knowledge and experiences. From this exploration children construct their understanding of how things work, including the language theynuse both as a system as well as a tool for communication. It is, therefore, no exaggeration if it is said that “children learn naturally.” Children know a lot about literacy before schooling We can easily observe in our environment that children of today participate in literate activities in a wider social context. For example when seeing a billboard with a big McDonald‟s logo on it, children would readily say “Ma, makan di McDonald, yuk!” This clearly indicates to us that children know that logo stands for McDonald‟s. This means that children understand that signs carry meaning (Musthafa, 2008). In the example above, children “read” the signs in exactly the same way adult readers do. From various demonstrations they observe in their environment, children accumulate literate knowledge and experiences. Children‟s knowledge about literacy artifacts in their environment such as traffic signs, traffic lights, and brand names of their favourite toys and foods (all of these are called environmental prints) represents an emergent literacy-a developmental phase of children literacy which will later develop into conventional literacy forms commonly seen among adults in their culture. All children can learn The publication of multiple intelligences theory originating from Howard Gardner has marked a new realization that human intelligence is not a monolithic concept. Unlike old conceptions which categorized children‟s intelligences only in two categories (i.e. verbal and mathemathical intelligences), it has now been widely recognized that children can have many different intelligences with differing levels of sophistication. This relatively new realization has now led to a general consensus that every child can learn anything in his/her own pace provided that they have exposure to, engagement in, and support for the things they learn from culture they are a part. To illustrate, we can refer to our daily observation. For example, we can easily observe that some children can very quickly acquire new words, while others excel in motor skills such as constructing blocks; still others can pick up new songs fast and very wonderfully. Children learn best when learning is kept whole, meaningful, interesting, and functional
aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549
E. Rahmawati
122
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.2, Tahun 2016, Hal. 119-125
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
Unlike adults who can learn very comfortably from parts to whole (such as arranging words to form a sentence and putting sentences into a paragraph), children tend to learn things holistically, in the form of script (such as „eating in a restaurant‟, „going to school‟, „going to a bank‟, etc.). This tendency is reflected very well in children‟s play such asplaying “school teachers and students”, “a doctor and patients”, and “sellers and buyers.” For children, therefore, things are easy to learn when they are in their contextual totality. In addition, children will find things meaningful, interesting, and functional when they can relate these things with their needs and personal experiences. For instance, in the case of learning English as a foreign language, children will find it easy if it is embedded in play, which represents their natural way of understanding how their surronding world works. Contrary to adults, children find it difficult when the language is broken down into pieces (e.g. words, phrases, sentences, and paragraphs as analytical units) because the language, treated this way, becomes dysfunctional. That is the reason why, for children, learning a language is easy when the language is kept whole, meaningful, interesting, and functional. Children learn best when they make their own choices When children are given options, they will make choices and relate these choices with their personal wants and needs. When the decision-making is relate to their needs the learning becomes meaningful for children. Given this thinking, children must be given different formats of learning activities so that they can choose based on what they think are important and useful. Children learn best as a community of learners in a non-competitive environment Unlike adults who can benefit from spirits of competition to boost up their motivation for achievement, children tend to do things and relate to others in cooperative (or noncompetitive) way. One important implication for the context of language instruction in the classroom is that, rather than encouraging children to compete against one another, it would be more productive if they are to work collaboratively towards the achievement of shared goals. Non-competitive environment is good for children because this collaborative work will not only result in a better quality product, but it will also promote a sense of belonging to the social group they are in and help develop in children a sense of social responsibility as part of the group. Children learn best by talking and doing in a social context Consistent with the notions of “functional use of language” and “language as a cultural tool”, the English language in elementary school context should be taken as a means of communication. By using the language for social communication in the group, children acquire the language. In the classroom context, this means that English as a foreign language should be treated as a tool for communication and the children should be encouraged to use the language for many different social purposes by talking and doing things in a social context using English. To this end, the teacher of English for young learners can, for instance,
aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549
E. Rahmawati
123
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.2, Tahun 2016, Hal. 119-125
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
use sociodramatic play (e.g., using a finger puppet or hand puppet) and games as a context where children can meaningfully use the language being learned. Advantages to Starting Young with Foreign Languages Many advantages are claimed for starting to learn a foreign language in the primary years; more evidence is needed to judge how far claims turn into reality. Experience in the UK twenty years ago found that language learning in the primary schools was not as positive as expected, although in retrospect this seems likely to be due to how it was implemented and, in particular, to the lack of attention that planners paid to what would happen at secondary level, when FL teachers were faced with mixed classes of beginners and more advanced learners. The social, cultural and political issues around policies (Cameron, 2001). of teaching foreign languages early are complex and influence teaching and learning at classroom level. Comparative studies of different socio-political contexts would be useful in investigating these influences and their impact. Swain (1994) in Cameron stated that published data on the outcomes of early language learning come from the North American experience with immersion teaching, where native speakers of English are placed in French-speaking nursery and infant schools, and vice versa. In these contexts, children who have an early start develop and maintain advantages in some, but not all, areas of language skills. Listening comprehension benefits most, with overall better outcomes for an earlier start; pronunciation also benefits in a longer term, but this is restricted to learning language in naturalistic contexts, and will not necessarily apply to school-based learning. Younger children learn the grammar of the L2 more slowly than older learners, so that although they start earlier with language learning they make slower progress, and overall gains are not straightforwardly linked to the time spent learning. Learning a second language through immersion differs from learning a foreign language as a subject lesson several times a week; immersion pupils study school subjects through the second language and thus have more exposure and more experience with the language. However, it is unlikely that the difference in quantity of language learning experience will affect the balance of benefits; in foreign language learning too, receptive skills are likely to remain ahead of productive skills, and grammatical knowledge, which is linked not just to language development but to cognitive development, is likely to develop more slowly for younger children. Conclusion Teaching English to young learner has its own characteristics and attention. Many theories arise related to how English language being taught to children. By considering some
aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549
E. Rahmawati
124
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.2, Tahun 2016, Hal. 119-125
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
principles of how children learn a foreign language, teachers therefore can apply specific approach which suitable for children characteristics of learning in their teaching process. References Brown, H. D. Teaching by Principles: An Interactive Approach to Language Pedagogy. San Fransisco: Longman, 2000. Bruner, J. Child’s Talk: Learning to Use Language. Oxford: Oxford University Press, 2983. Bruner, J. Actual Minds, Possible Worlds. Cambridge: Harvard University Press, 1986. Cameron, Lynn. Teaching Language to Young Learners. Cambridge University Press. London, 2000. Essa, Eva L. Introduction to Early Childhood Education: Fourth Edition Annotated Student’s Edition. Canada: Thomson Delmar Learning, 2002. Gebhard, Jerry Gerry. Teaching English as Foreign or Second Language: a self-development and methodology guide. United States: Michigan University Press, 2000. Harmer, J. The Practice of English Language Teaching: Fourth Edition. London: Pearson Longman, 2007. Jery, G. G. Teaching English as a Foreign or Second Language: A Teacher Self-Development Methodology Guide. United State: Michigan Press, 2000. Listia, Rina & Kamal, Sirajjudin. Kendala Pengajaran Bahasa Inggris di Sekolah Dasar. 2009. Available at http://pbingfkipunlam.wordpress.com/2008/10/21/kendalapengajaran-bahasa-inggris-di-sekolah-dasar/ Loannou, S. & Pavlov, P. Assessing Young Learners. Oxford: Oxford University Press, 2003. Maisa. Teachers’ Perception on Characteristics of Professional EYL Teacher. Bandung: UPI-Unpublished, 2009. Mustafa, B. Teaching English to Yung Leaners: Principles & Techniques. Bandung: UPI Press, 2008. Paul, D. Teaching English to Children in Asia. Hong Kong: Pearson Longman, 2003. Pinter, Annamaria, Teaching Young Language Learners. Oxford University Press. China, 2003. Widdowson, H. Axpects of Language Teaching. Oxford: Oxford Universitu Press, 1990. Zein, Mochamad Subhan. Should English be Taught at Primary Level?. 2008. Available at http://www.thejakartapost.com/news/2008/11/15/should-english-be-taught-primarylevel.html
aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549
E. Rahmawati
125
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.2, Tahun 2016, Hal. 126-138
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
PEMBELAJARAN BAHASA PADA ANAK YANG MENGALAMI KETERLAMBATAN BERBICARA UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERKOMUNIKASI Humaeroh Kepala Sekolah RA Jauharotunnaqiyah Kota Serang, Pengurus IGRA Kota Serang, dan Dosen Bahasa Indonesia Fakultas Syariah IAIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten Email:
[email protected]
Abstract Human language is a system of random vowel agreement as a tool for human beings to talk and communicate each other. Language has value and meaning if accepted by community. Children’s language has not been perfect as adult’s language. As well as teenagers’ language who cannot be equated with toddlers’ language. Adult’s language certainly should have been much better than toddler’s language or normal teenagers. But in fact, language of educated teenagers sometimes much better than language of uneducated adult. Language is a kind of science that requires thought and education. If a toddler left to learn on their own, the result must be very minimal. Parents have a responsibility to teach toddlers talk. Because parents will realize if their children in a state of normal or abnormal. If child’s ability to speak is limited, it means the capacity to think is also limited. If children at the age of 3 or 4 years old cannot speak, better for parents to check their sense of hearing. Preschool education is an education which given to children at age 4 to 6 years old. In this phase, not all children have good speaking skills. And frequently there are some children who have speech delay. In providing learning it is necessary to provide speaking drills in order to stimulate children to be able to speak normally. Language learning is one of instruction competency that should be given to early childhood either formally or non-formally. It can be applied by using a method of playing and chatting gradually and purposefully. Because if there are children who have speech delay can be overcome by making evaluation. Keywords: language, speech delay, communication
Abstrak Bahasa manusia adalah suatu sistem persetujuan bunyi vocal yang acak sebagai alat bagi manusia untuk saling bercakap-cakap dan berhubungan antar sesamanya. Bahasa baru memiliki nilai dan arti jika diterima oleh masyarakat. Bahasa pada anak usia dini belumlah sesempurna bahasa manusia dewasa. Demikian juga dengan bahasa manusia remaja yang tak bisa disamakan dengan bahasa balita. Bahasa manusia dewasa tentu saja sudah seharusnya jauh lebih baik daripada bahasa balita maupun remaja normal. Namun, pada kenyataannya, bahasa remaja terpelajar terkadang lebih baik daripada bahasa orang dewasa yang tidak terpelajar. Bahasa merupakan sejenis ilmu yang memerlukan pikiran dan pendidikan. Jika Balita dibiarkan belajar sendiri, hasilnya pastilah sangat minim belum lagi bila balita berpendengaran tidak normal. Hasil belajar sendiri itu belum bisa dimengerti oleh masyarakat Orang tua yang bertanggung jawab akan menyadari betapa perlunya mengajar balita untuk berbicara. Karena orang tua akan mengetahui secara dini apakah anaknya dalam keadaan
aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549
Humaeroh
126
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.2, Tahun 2016, Hal. 126-138
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
normal atau sebaliknya. Apabila kemampuan berbicara balita terbatas, berarti terbatas pula kemampuan berpikirnya. Jika sampai usia ketiga dan keempat anak belum dapat berbicara, lebih baik untuk memeriksakan kemampuan mendengar anak sebagai langkah pertama, baru kemudian melakukan pembenahan. Pendidikan pra sekolah adalah pendidikan yang diberikan untuk anak usia 4 sampai 6 tahun. Pada fase ini tidak semua anak mempunyai keterampilan yang baik dalam berbicara. Tidak jarang ada saja anak yang mengalami keterlambatan berbicara. Dalam memberikan pembelajaran berbicara diperlukan sebuah pengajaran sehingga dapat memberikan rangsangan kepada anak untuk dapat berbicara secara normal. Pembelajaran bahasa merupakan salah satu kompetensi ajar yang harus diberikan kepada anak usia dini secara formal pada satuan pendidikan formal atau non-formal. Hal itu bisa diterapkan dengan metode bermain dan bercakap-cakap secara bertahap dan terarah. Karena apabila terdapat anak yang mengalami keterlambatan berbicara dapat dibenahi dan diatasi dengan melakukan evaluasi tepat waktu. Kata Kunci: Bahasa, Keterlambatan Berbicara, Komunikasi.
Pendahuluan Bahasa merupakan sebuah rangkaian dari mendengar, bicara, membaca, dan menulis. Kegiatan berbicara merupakan salah satu aktivitas berbahasa yang tak dapat dilepaskan dari kehidupan manusia. Dalam kegiatan interaksi sosial, seorang manusia dituntut untuk dapat berkomunikasi baik lisan maupun tulisan. Berbicara adalah kegiatan yang sering digunakan dalam mengomunikasikan pikiran, gagasan. Ide, perasaan dan pendapat namun dapat pula berakibat pada kesalahan interpretasi sehingga dapat menyebabkan terjadinya kesalahan komunikasi. Pada dasarnya setiap manusia memiliki potensi berbahasa. Allah SWT telah menganugerahkan organ tubuh yang lengkap yang memungkinkan manusia untuk menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi. Sampai saat ini, tangisan dianggap sebagai bahasa yang pertama kali karena melalui tangisan seorang bayi dapat berkomunikasi dengan orang-orang yang ada di sekitarnya. Anak usia dini hanya berbahasa sesuai dengan lingkungannya. Bunyi bahasa itu tak ada batasannya. Bunyi yang dihasilkan hanyalah bunyi-bunyi yang berguna bagi manusia beserta lingkungannya. Bunyi bahasa balita pada awal tahun belum menjadi bunyi bahasa yang sesungguhnya, masih berupa calon bahasa. Bunyi itu baru memiliki nilai bahasa yang sesungguhnya sesudah masuk tahun keempat dan seterusnya, itu pun hanya jika bahasa tersebut dikembangkan secara wajar dan sungguh-sungguh. Pengertian Bahasa Pada dasarnya, proses terjadinya bunyi bahasa balita sama saja dengan proses terjadinya bunyi bahasa manusia pada umumnya. Namun, prosesnya pada balita lebih lambat dan kurang sempurna. Dihasilkannya bunyi bahasa balita hanya terjadi pada balita yang mempunyai pendengaran baik dan berbicara normal yang diterima masyarakat dengan baik.
aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549
Humaeroh
127
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.2, Tahun 2016, Hal. 126-138
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
Bahasa balita tak muncul dengan sendirinya, tetapi diperlukan sebuah pengajaran, diperlukan pengajaran berbicara jika menginginkan balita dapat berbicara normal. Bunyi bahasa balita pada dasarnya sama saja dengan bunyi manusia dewasa. Namun, karena alat bantu bicara dan proses berpikir balita belum normal atau sempurna, maka bunyi yang keluar pun belum normal atau belum benar-benar sempurna. Mulai tahun kedua dan ketiga, bunyi itu mulai sempurna. Pada tahun keempat dan kelima, balita yang normal dan cerdas sudah bisa menghasilkan bunyi bahasa balita yang normal dan nyaris sempurna. Susunan kalimat bahasa balita masih memerlukan pembenahan selama beberapa tahun minimal selama lima tahun, itu pun sangat tergantung pada pengasuh bahasanya, bukan sekadar kecerdasannya.1 Selama masa awal kanak-kanak, anak-anak memiliki keinginan yang kuat untuk belajar berbicara. Hal ini disebabkan karena dua hal. Pertama, belajar berbicara merupakan sarana pokok dalam sosialisasi. Anak-anak yang lebih mudah berkomunikasi dengan teman sebayanya akan lebih mudah mengadakan kontak sosial dan mudah diterima sebagai anggota kelompok daripada anak yang kemampuan berkomunikasinya terbatas. Anak-anak yang mengikuti kegiatan prasekolah akan mengalami rintangan baik dalam hal sosial maupun pendidikan, kecuali bila ia pandai bicara seperti teman-teman sekelasnya. Kedua, belajar berbicara merupakan sarana untuk memperoleh kemandirian anak-anak yang tidak dapat mengemukakan keinginan dan kebutuhannya.2 Terdapat dua alasan yang menyebabkan pada masa awal anak-anak mempunyai keinginan yang sangat besar untuk belajar berbicara. Pertama, karena ketika dia mampu untuk berbicara dan berkomunikasi dengan anak lain pada saat bermain, dia akan merasakan kesenangan yang luar biasa. Dengan kemampuan berbicara maka akan mudah bagi dirinya dalam bersosialisasi dan bergabung dengan teman yang lainnya, anak-anak yang mengalami keterlambatan berbicara akan mengalami rintangan dalam lingkungan sekolah ataupun sosialnya, tidak demikian halnya dengan anak yang sudah pandai berbicara. Kedua, karena dengan kemampuan berbicara maka ia akan mampu untuk mandiri sehingga ia dapat mengemukakan sesuatu apapun sesuai dengan kebutuhan dan keinginannya.3 Berdasarkan Permendiknas no.58 Tahun 2009 Pasal 1 tentang standar pendidikan anak usia dini meliputi pendidikan formal dan nonformal yang terdiri atas: Standar tingkat pencapaian perkembangan; terdapat tujuh kompetensi dasar yang dapat digali dan dikembangkan pada anak usia dini melalui pembelajaran yang dilakukan, yaitu: kompetensi nilai-nilai agama dan moral, kompetensi sosial emosional dan kemandirian, kompetensi bahasa, kompetensi kognitif, kompetensi motorik kasar, kompetensi motorik halus, dan kompetensi seni, dalam memberikan pembelajaran berdasarkan kompetensi bahasa terdapat tiga ranah pengembangan, yaitu menerima bahasa, mengungkapkan bahasa, dan keaksaraan. Pelaksanaan pembelajaran yang berorientasi pada kompetensi bahasa sangat baik bagi anak-anak yang belum dapat mengungkapkan dan mengucapkan bahasa dengan baik,
aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549
Humaeroh
128
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.2, Tahun 2016, Hal. 126-138
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
karena pada pengembangan kemampuan bahasa secara verbal dapat digali dan dikembangkan saat mengikuti proses pembelajaran di Taman Kanak-Kanak. Masa anak-anak awal usia 3-6 tahun adalah masa yang sering disebut sebagai masa prasekolah. Anak yang berada pada masa ini mulai peduli terhadap kehadiran anak lain. Demikian juga dengan bahasa yang digunakan, karena dengan bahasa tersebut mereka dapat berkomunikasi dengan teman sepermainan maupun orang dewasa. Mereka juga mulai mengembangkan cara meminta dan memperoleh yang diinginkan dengan lebih baik dari sebelumnya, lebih peduli terhadap diri mereka sendiri, serta mulai melatih kendali diri. Usia dini juga merupakan masa yang penting sebagai landasan untuk perkembangan pada masamasa berikutnya.4 Anggapan bahwa pendidikan baru bisa dimulai setelah usia sekolah dasar yaitu usia tujuh tahun ternyata tidaklah benar. Bahkan pendidikan yang dimulai pada usia TK (3 – 6 tahun) pun sebenarnya sudah terlambat. Hasil penelitian di bidang neurologi yang dilakukan Benyamin S. Bloom, seorang ahli pendidikan dari Universitas Chicago Amerika Serikat, mengemukakan bahwa pertumbuhan sel jaringan otak pada anak usia 0 – 4 tahun mencapai 50%, hingga usia 8 tahun mencapai 80%.5 Para ahli teori belajar menekankan peranan pengamatan, modeling, dan meniru dalam kemahiran berbahasa . Tentu saja anak-anak meniru hal yang dikatakan orang tua mereka, dengan demikian menambah kata-kata baru dan cara-cara mengkombinasikan kata-kata dalam pengetahuan bahasa mereka. Anak-anak tidak mendapatkan perbendaharaan kata atau mengetahui struktur tata bahasa mereka tanpa contoh. Mereka mengumpulkan keterangan mengenai bahasa mereka dengan mendengarkan orang lain berbicara.Pengamatan, modeling, dan meniru adalah hal yang sangat berperan dalam proses pembelajaran berbahasa, dan orang yang terdekat bagi anak untuk dapat memberikan pembelajaran berbicara adalah orang tua. Bagi orang tua yang memberikan pembelajaran berbicara dengan menggunakan bahasa yang baik, maka secara otomatis dapat diikuti dan ditiru oleh anak-anak. Selain meniru dan mencontoh bahasa yang digunakan oleh orang-orang terdekat anak, anak pun akan melakukan pengamatan dengan mendengarkan dan mengucapkan bahasa yang pernah ia dengar, untuk itulah maka orang tua sangat berperan dalam hal pembelajaran anak dalam berbicara.6 Berbicara sebagai suatu keterampilan berbahasa adalah suatu keterampilan berbahasa yang berkembang pada kehidupan anak, yang hanya didahului oleh keterampilan menyimak, dan pada masa tersebutlah kemampuan berbicara dan berujar dipelajari. Permasalahan yang sering ditemui dalam perkembangan bahasa anak di taman kanakkanak adalah keterlambatan dalam berbahasa. Masih sering ditemui adanya anak di Taman Kanak-Kanak kemampuan Artikulasinya perlu dibantu. Guru sebaiknya melatih anak mengucapkan kata-kata yang belum sempurna, seperti huruf S, L, Z, Y, F,C dalam pengucapannya masih ada beberapa yang cadel, dan hal tersebut harus segera diperbaiki
aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549
Humaeroh
129
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.2, Tahun 2016, Hal. 126-138
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
supaya dalam proses belajar mengajar tidak terjadi hambatan komunikasi antara guru dengan anak dan antara anak dengan teman sebayanya. Mencermati kondisi tersebut untuk mengembangkan kemampuan berbicara, guru memiliki peran-peran utama dalam memfasilitasi secara optimal. Bimbingan guru sangat diperlukan dalam upaya meningkatkan minat anak untuk dapat berbicara dengan lancar dan baik. Guru perlu menciptakan pembelajaran yang menyenangkan dan bervariasi, memberi kesempatan pada anak untuk mengungkapkan pikiran dan perasaannya dengan baik. Meningkatkan kemampuan berbicara pada Taman Kanak-Kanak memerlukan suatu cara atau teknik yang dianggap menarik dan menyenangkan. Suasana belajar yang menyenangkan harus ditunjang dengan penggunaan berbagai media. Pada kenyataannya, masih banyak kita jumpai anak-anak yang mengalami hambatan dalam berbicara. Menurut Mereka tidak berani berbicara atau melakukan berbagai jenis kesalahan, penyebab hambatan tersebut dapat berasal dari fisik anak sendiri seperti alat-alat berbicara yang kurang baik, emosi anak, ketidak percayaan diri anak terhadap lingkungan sekitar, dan kesalahan atau kelemahan dalam belajar berbicara.7 Gangguan bicara dan bahasa adalah salah satu penyebab gangguan perkembangan yang paling sering ditemukan pada anak. Keterlambatan bicara adalah keluhan utama yang sering dicemaskan dan dikeluhkan orang tua. Beberapa laporan menyebutkan angka kejadian gangguan bicara dan bahasa berkisar 5 sampai dengan 10% pada anak sekolah. Penyebab keterlambatan bicara sangat luas dan banyak, gangguan tersebut ada yang ringan sampai yang berat, mulai dari yang bisa membaik hingga yang sulit untuk membaik. Keterlambatan bicara fungsional merupakan penyebab yang sering dialami oleh sebagian anak. Keterlambatan bicara golongan ini biasanya ringan dan hanya merupakan ketidakmatangan fungsi bicara pada anak. Pada usia tertentu terutama setelah usia 2 tahun akan membaik. Bila keterlambatan bicara tersebut bukan karena proses fungsional maka gangguan tersebut harus lebih diwaspadai karena bukan sesuatu yang ringan. Dicurigai keterlambatan bicara non-fungsional bila disertai kelainan neurologis makrosefali, tumor otak, kelumpuhan umum, infeksi otak, gangguan anatomis telinga, gangguan mata dan gangguan neurologis lainnya.8 Keterlambatan bicara non-fungsional karena adanya beberapa penyakit yang diderita seperti wajah dismorfik adalah kecenderungan terlalu memperhatikan cacat yang dibayangkan seseorang pada penampilan fisiknya, adapun perawakan pendek adalah tinggi badan yang tidak normal sesuai dengan standar yang ada atau tinggi badan di bawah rata-rata. Adapun penyebab dari perawakan pendek ini kurangnya asupan gizi, kelainan kromosom atau penyakit sistemik. Dan mikrosefali adalah cacat pertumbuhan otak secara menyeluruh akibat perkembangan yang tidak normal yang terjadi selama masa janin dan awal masa bayi. Semakin dini mendeteksi keterlambatan bicara, maka semakin baik kemungkinan pemulihan gangguan tersebut. Bila keterlambatan bicara tersebut nonfungsional maka harus
aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549
Humaeroh
130
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.2, Tahun 2016, Hal. 126-138
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
cepat dilakukan stimulasi dan intervensi dapat dilakukan pada anak tersebut. Deteksi dini keterlambatan bicara harus dilakukan oleh semua individu yang terlibat dalam penanganan anak ini. Kegiatan deteksi dini ini melibatkan orang tua, keluarga, dokter, dan guru, sehingga dalam deteksi dini tersebut harus bisa mengenali apakah keterlambatan bicara anak itu merupakan sesuatu yang fungsional atau yang non-fungsional. Pengalaman dan pendidikan bagi anak merupakan faktor yang menentukan dalam perkembangan anak. Isi kejiwaan anak ketika dilahirkan adalah ibarat secarik kertas yang bersih. Secarik kertas yang putih bersih menunjukkan ketika anak dilahirkan tidak ada sifat genetik yang dibawa, anak lahir tanpa predisposisi.Tabularasa menunjukkan pentingnya pengaruh lingkungan hidup terhadap perkembangan anak. Lingkungan adalah yang menentukan perkembangan anak, bukan faktor bawaan.9 Faktor perkembangan anak ditentukan oleh pengalaman dan pendidikan. Karena anak yang dilahirkan diibaratkan seperti secarik kertas yang putih bersih dan belum terisi apapun. Untuk itulah seorang anak yang diberikan pendidikan dan pengalaman yang baik, maka ia akan tumbuh sebagai pribadi anak yang baik pula. Dan anak dilahirkan tanpa membawa sifatsifat bawaan, tapi perkembangan anak sangat ditentukan pula oleh lingkungan dimana ia dibesarkan. Kemampuan berbicara bahasa Indonesia anak juga dipengaruhi oleh pola asuh orang tua dan pola ajar pendidik di sekolah. Hal ini berkaitan dengan emosi anak yang berdampak pada kemampuan mengucapkan kata dan kalimat untuk mengungkapkan pikiran, gagasan, ide, dan perasaan anak. Jika dalam keluarga atau di sekolah anak mengalami tekanan seperti hukuman, baik hukuman fisik maupun hukuman mental, maka keberanian mereka untuk berbicara, mengungkapkan, serta mengekspresikan diri akan mengalami hambatan berupa keterlambatan berbicara. Mereka akan diliputi ketakutan yang tentu saja berpengaruh terhadap bahasa yang digunakan. Penyebab gangguan bicara dan bahasa sangat banyak dan luas, semua gangguan mulai dari proses pendengaran, penerus impuls ke otak, otot atau organ pembuat suara. Beberapa penyebab gangguan atau keterlambatan bicara adalah gangguan pendengaran, kelainan organ bicara, retardasi mental, kelainan genetik atau kromosom, autis, keterlambatan fungsional, pengaruh psikologis dan sosial yang merugikan perkembangan anak (deprivasi lingkungan). Deprivasi lingkungan terdiri atas lingkungan sepi, status ekonomi sosial, tehnik pengajaran salah, dan sikap orangtua. Gangguan bicara pada anak dapat disebabkan karena kelainan organik yang mengganggu beberapa sistem tubuh seperti otak, pendengaran dan fungsi motorik lainnya.10 “In summarizing the argument language and interpersonal relationship, four main points can be made. firstly, language is a means of regulating social behavior and consequently should be observed in naturalistic settings, secondly, adults strive to initiate children into this social world by adopting a variety of techniques.thirdly, it can be
aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549
Humaeroh
131
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.2, Tahun 2016, Hal. 126-138
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
postulated that if children are to acquire language in a meaningful way, this process of adult -child anteraction is to some extent causal. fourthly, in its weakest form the hypothesis that significant others in the childs world influence the development and use of language would seem to have sound emprical support”. Intisari argumentasi mengenai bahasa dalam hubungan perseorangan terdapat empat poin utama yang dapat dibuat. Pertama, bahasa adalah sarana mengatur perilaku sosial dan akibatnya harus diamati dalam pengaturan naturalistik, Kedua, orang dewasa berusaha untuk memulai anak-anak ke dalam dunia sosial dengan mengadopsi berbagai teknik. Ketiga, dapat mendalilkan bahwa jika anak-anak untuk mendapatkan bahasa dalam cara yang berarti, proses hubungan antar orang dewasa dan anak adalah untuk batas sebab akibat tertentu. Keempat, dalam bentuknya yang paling lemah hipotesis bahwa orang lain yang signifikan dalam dunia anak-anaknya mempengaruhi pengembangan dan penggunaan bahasa tampaknya dunia sosial memiliki dukungan suara yang nyata.11 Kepentingan bahasa dalam hubungan perseorangan menurut Margaret terdapat empat poin utama. Pertama, bahasa merupakan perantara untuk mengatur perilaku dalam hubungan sosial, dan pengaruhnya dapat diamati secara alamiah dan beraturan. Kedua, orang dewasa dapat menggunakan berbagai teknik untuk memulai berusaha mengajak anak-anak pada dunia sosial. Ketiga, adanya proses hubungan sebab akibat antara orang dewasa dan anakanak adalah bukti bahwa anak dapat diajak untuk berinteraksi dan berbahasa yang dapat memberikan arti. Keempat, orang lain dapat mempengaruhi pengembangan dan penggunaan bahasa pada dunia anak-anak dalam dunia sosial adalah hipotesis yang lemah, maka dari itulah orang tua dan keluarga mempunyai peranan penting dalam memberikan stimulus dan rangsangan kepada anak-anaknya untuk dapat belajar berbahasa dengan baik. Upaya Stimulasi Bahasa Pada Anak Yang Mengalami Keterlambatan Berbicara Gangguan keterlambatan bicara adalah istilah yang dipergunakan untuk mendeskripsikan adanya hambatan pada kemampuan bicara dan perkembangan bahasa pada anak-anak, tanpa disertai keterlambatan aspek perkembangan lainnya. Pada umumnya mereka mempunyai perkembangan intelegensi dan sosial-emosional yang normal, dan faktor penyebab gangguan keterlambatan berbicara adalah: hambatan pendengaran, hambatan perkembangan pada otak yang menguasai kemampuan oral-motor, masalah keturunan, masalah pembelajaran, dan komunikasi dengan orang tua, faktor televisi. Upaya yang efektif untuk memberikan pembelajaran berbicara pada anak salah satunya adalah dengan metode bermain dan bercakap-cakap. Schwartzman mengemukakan suatu batasan bermain sebagai berikut: Bermain bukan bekerja, bermain adalah pura-pura, bermain bukan sesuatu yang sungguh sungguh, sehingga anak yang sedang bermain dapat membentuk dunianya nyata, sungguh-sungguh, produktif, dan menyerupai kehidupan yang sebenarnya.12
aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549
Humaeroh
132
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.2, Tahun 2016, Hal. 126-138
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
Bermain adalah kegiatan yang sangat menyenangkan bagi anak, karena bermain adalah suatu kegiatan berpura-pura yang dilakukan oleh anak, dengan bermain dan kepurapuraannya itulah maka anak bisa menjadi apapun yang dibayangkan dan yang diinginkannya, namun batasan bermain hanya sebatas kegiatan berpura-pura dan bukan bekerja. Sejak peralihan abad sekarang telah terjadi perubahan sikap yang radikal terhadap bermain sebagai hasil studi ilmiah mengenai apa saja yang dapat disumbangkan bermain bagi perkembangan anak, para ilmuwan telah menunjukkan bahwa bermain merupakan pengalaman belajar yang berharga, mereka menekankan bahwa tidak ada bidang lain yang lebih benar kecuali belajar menjadi seseorang yang sosial, karena belajar menjadi sosial bergantung pada kesempatan berhubungan dengan anggota kelompok yang sebaya yang terjadi dalam kegiatan bermain,maka bermain dianggap alat yang penting bagi sosialisasi. 13 Para ilmuwan sejak peralihan abad, mengimplementasikan bahwa kegiatan bermain adalah pengalaman yang sangat berharga dan bermain adalah media sosialisasi, dengan bermain akan terjalin rasa sosial dengan adanya interaksi anak dengan kelompoknya yang mempunyai umur yang sebaya, sehingga bermain adalah alat yang sangat penting dalam melakukan sosialisasi. Dalam pembelajaran yang dilakukan dengan cara bermain harus sesuai dengan tahaptahap perkembangan, kemampuan dan perilaku anak, Karena anak-anak akan bermain dengan cara yang paling sesuai untuk hal-hal yang harus mereka pelajari, dan potensi seorang anak akan berkembang melalui pengalaman atau rangsangan yang diterimanya, tetapi tidak semua potensi itu dapat berkembang optimal tanpa pengkayaan pengalaman dan anak hanya akan mencari pengalaman tersebut bila menurutnya itu menyenangkan. Cara paling mudah dan sederhana tetapi memberikan efek yang besar adalah dengan melibatkan semua anggota tubuh dan pikirannya, sehingga semua proses pembelajaran yang diterimanya akan membekas pada dirinya dalam bentuk pengalaman-pengalaman nyata. Bermain adalah suatu kegiatan yang serius, tetapi mengasyikan. Melalui aktivitas bermain, berbagai pekerjaan anak terwujud. Bermain adalah aktivitas yang dipilih sendiri oleh anak, karena menyenangkan bukan karena akan memperoleh hadiah atau pujian. Bermain adalah salah satu alat utama yang menjadi latihan untuk pertumbuhannya. Bermain adalah medium, di mana anak mencobakan diri, bukan saja dalam fantasinya tetapi juga benar nyata secara aktif. Bila anak bermain secara bebas, sesuai kemauan maupun sesuai kecepatannya sendiri maka ia melatih kemampuannya.14 Anak usia prasekolah biasanya bermain dengan menggunakan alat permainan, tetapi dengan bertambahnya usia, maka kegiatan bermain dengan benda-benda menurun. Pada akhir usia prasekolah, anak-anak biasanya melakukan bermain konstruktif, bermain membuat suatu bentuk atau bangunan. Benda-benda yang ditemui akan diperlakukan secara simbolis atau bermain dengan beberapa aturan.
aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549
Humaeroh
133
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.2, Tahun 2016, Hal. 126-138
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
Anak-anak usia prasekolah biasanya bermain dengan mengeluarkan banyak tenaga, misalnya lari, kejar-kejaran, bermain perang-perangan. Makin meningkatnya kematangan anak, tidak perlu bermain dengan dengan hadirnya alat permainan. Anak-anak yang telah berusia 3 sampai 5 tahun dapat melakukan permainan yang menggambarkan peran anggota keluarga. Anak yang lebih matang mampu menirukan peran orang-orang di luar keluarga. Dikemukakan oleh Dworetzky, ada lima kriteria dalam bermain. Pertama, motivasi intrinsik, adalah tingkah laku bermain dimotivasi dari dalam diri anak, karena itu dilakukan demi kegiatan itu sendiri dan bukan karena ada tuntutan masyarakat atau fungsi-fungsi tubuh. Kedua, pengaruh positif, tingkah laku itu menyenangkan atau menggembirakan untuk dilakukan. Ketiga, bukan dikerjakan sambil lalu, karena itu tidak mengikuti pola atau urutan yang sebenarnya, melainkan lebih bersifat pura-pura. Keempat, cara atau tujuan. Cara bermain lebih diutamakan dari pada tujuannya. Anak lebih tertarik pada tingkah laku itu sendiri daripada keluaran yang dihasilkan. Kelima, kelenturan: Bermain itu perilaku yang lentur, kelenturan ditunjukkan baik dalam bentuk maupun dalam hubungan serta berlaku dalam setiap situasi.15 Lima kriteria yang dikemukakan Dworetzky dalam bermain, adalah: adanya motivasi intrinsik, yaitu motivasi yang datangnya dari dalam diri anak yang akan bermain tanpa adanya paksaan dari pihak manapun, bermain juga mempunyai sifat positif, karena bermain dapat memberikan rasa kesenangan dan kegembiraan pada anak untuk dapat bereksplorasi sesuai dengan keinginan dan kehendak anak, dalam bermain dapat terbentuk karakter anak dengan peran pura-pura yang dilakukan oleh anak ketika bermain, melalui cara-cara bermain yang kadang sangat dinikmati anak tanpa memikirkan tujuan dari permainannya itu. Dan dalam bermainpun diperlukan kelenturan yang fleksibel untuk menyesuaikan dengan siapa anak dapat bermain dan kondisi yang tepat untuk melakukan kegiatan bermain. Apapun batasan yang diberikan tentang pengertian bermain, bermain membawa harapan dan antisipasi tentang dunia yang memberikan kegembiraan, dan memungkinkan anak berkhayal seperti sesuatu atau seseorang. Melalui bermain anak belajar mengendalikan diri sendiri, memahami kehidupan, memahami dunianya. Jadi bermain merupakan cermin perkembangan anak. Melalui kegiatan bermain anak juga dapat melatih kemampuan bahasanya dengan cara: mendengarkan beraneka bunyi, mengucapkan suku kata atau kata, memperluas kosa kata, berbicara sesuai dengan tata bahasa Indonesia, dan sebagainya. Menurut Bjorkland Metode bermain efektif dilakukan pada anak yang mengalami keterlambatan berbicara, karena dengan bermain anak akan bebas mengekspresikan sikap dan membicarakan apapun yang ada di dalam benak anak. Peran guru sangat menentukan keberhasilan anak dalam bermain. Karena guru dituntut untuk bisa menjadi pengamat, melakukan elaborasi, sebagai model, melakukan evaluasi, dan melakukan perencanaan.16
aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549
Humaeroh
134
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.2, Tahun 2016, Hal. 126-138
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
Dalam tugasnya sebagai pengamat, guru harus melakukan observasi bagaimana interaksi anak yang mengalami keterlambatan berbicara dengan benda-benda di sekitarnya ataupun interaksi dengan anak-anak lainnya. Guru harus melakukan elaborasi, ketika anak yang mengalami keterelambatan berbicara berperan menjadi seorang dokter, guru perlu menyediakan alat-alat yang biasanya dipergunakan oleh dokter dalam bentuk miniatur. Guru dapat pula memperlihatkan gambar seorang dokter yang sedang menghadapi pasiennya, bahkan guru dapat berpura-pura menjadi pasiennya. Dalam melakukan tugas elaborasi, guru dapat melakukan komunikasi seperti tanya jawab, atau meminta pendapat dokter mengenai pasiennya. Elaborasi yang dilakukan guru secara langsung dapat mengajak anak yang mengalami keterlambatan berbicara untuk dapat belajar berbicara, guru dapat secara langsung mengajarkan kosakata yang akan diucapkan oleh anak dan anak mengikuti, dan guru dapat langsung memperbaiki kesalahan bunyi kata yang diucapkan oleh anak, sehingga anak akan mengetahui kata-kata yang benar dalam berbicara. Peran guru dalam kegiatan bermain juga sebagai perencana, untuk dapat dibentuknya suatu kelompok anak dalam bermain, guru dapat menggabungkan antara anak yang sudah pandai berbicara dengan anak yang mengalami keterlambatan berbicara, sehingga anak yang sudah pandai berbicara akan mengajak anak yang mengalami keterlambatan dalam berbicara, sehingga kerja sama dan pengakuan dalam kelompok dapat memberikan ketenangan dan kenyamanan anak dalam belajar berbicara bersama anak-anak lainnya. Selain metode bermain, metode bercakap-cakap sangat efektif dilakukan oleh anak yang mengalami keterlambatan berbicara. Bercakap-cakap adalah salah satu bentuk komunikasi antarpribadi. Berkomunikasi merupakan proses dua arah. Untuk terjadinya komunikasi dalam percakapan diperlukan keterampilan mendengar dan keterampilan berbicara. 17 Bercakap-cakap adalah bentuk komunikasi yang dilakukan dua arah antara yang berbicara dengan yang mendengarkan, antara anak dengan anak atau anak dengan guru. Dari proses komunikasi ini akan tersampaikan pesan-pesan melalui bahasa yang diucapkan. Pembelajaran pengucapan bahasa yang dilakukan oleh anak yang mengalami keterlambatan berbicara akan mempengaruhi artikulasi bahasa yang dimiliki, sehingga akan memberikan manfaat yang sangat besar bagi anak yang mengalami keterlambatan berbicara. Faktor lingkungan sangat menentukan untuk balita karena lingkungan itu akan ikut membentuk balita sampai akhir masa balitanya dan sampai ia siap memasuki pendidikan yang sesungguhnya. Lingkungan balita ada dua macam, yaitu lingkungan dalam dan lingkungan luar atau masyarakat di sekitar tempat tinggal. Lingkungan dalam adalah lingkungan keluarga di rumah. Lingkungan dalam yang baik membentuk balita menjadi baik dan lingkungan yang buruk bisa menjadi halangan bagi balita untuk memasuki dunia
aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549
Humaeroh
135
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.2, Tahun 2016, Hal. 126-138
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
bersekolah, membaca, dan menulis. Lingkungan yang berpengaruh penting adalah orang tua, keluarga, pengasuh, guru, dan orang-orang lain yang berhubungan dengannya.18 Perkembangan balita tergantung kepada lingkungannya, lingkungan yang baik mengembangkan kecerdasan balita dengan baik juga, namun sebaliknya lingkungan yang tidak baik mengakibatkan perkembangan anak yang kurang baik. Kesimpulan Upaya bermain efektif dilakukan pada anak yang mengalami keterlambatan berbicara, karena dengan bermain anak akan bebas mengekspresikan sikap dan membicarakan apapun yang ada di dalam benak anak. Peran guru sangat menentukan keberhasilan anak dalam bermain. Karena guru dituntut untuk bisa menjadi pengamat, melakukan elaborasi, sebagai model, melakukan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi sebagai proses pembelajaran. Upaya lain untuk menstimulasi anak yang mengalami keterlambatan berbicara adalah bercakap-cakap yaitu salah satu bentuk komunikasi antarpribadi. Berkomunikasi merupakan proses dua arah. Untuk terjadinya komunikasi dalam percakapan diperlukan keterampilan berbicara dan keterampilan mendengar, karena untuk bercakap-cakap secara efektif, belajar mendengarkan dan belajar berbicara sama pentingnya. Jika ada anak yang mengalami kesulitan dalam pengembangan kemampuan berbahasa reseptif dan ekspretif sehingga mengalami kesulitan dalam kegiatan bercakap-cakap, maka guru harus memberikan perlakuan khusus yang memungkinkan anak memperoleh kemajuan dalam pengembangan kemampuan tersebut. Lingkungan keluarga dan lingkungan sekolah sangat berpengaruh terhadap perkembangan berbicara bagi anak yang mengalami keterlambatan berbicara. Lingkungan keluarga sangat menentukan tumbuh kembang dari segi fisik dan psikologis anak yang mengalami keterlambatan berbicara, bisa pula terjadi karena ibunya pendiam. Berbeda dengan anak dari keluarga yang "cerewet", biasanya perkembangan bicara si anak juga cepat lantaran orang tua banyak mengajaknya bicara, menyanyi, sering memperdengarkan musik atau lagu, dan lainnya. Pada lingkungan sekolah Perhatian dan perlakuan yang sama terhadap anak yang mengalami keterlambatan berbicara dan anak lainnya yang normal akan mengkonstruksi kepercayaan diri dan kenyamanan bagi anak yang mengalami keterlambatan berbicara. Sehingga anak yang mengalami keterlambatan berbicara akan dapat mengeksplorasi semua kemampuan pembelajaran berbicaranya dengan mudah dan tanpa tekanan, karena dilakukan dengan hati yang terbuka karena diterima oleh semua anak dan semua orang yang ada di sekolahnya.
aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549
Humaeroh
136
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.2, Tahun 2016, Hal. 126-138
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
Catatan Akhir 1
Benny Ciptarja, How To Teach Your Baby Talk, (Yogyakarta: CV. Andi Offset, 2008), h.31. Elizabeth B. Hurlock, Psikologi Perkembangan, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1980), h.183. 3 Ibid, h.183. 4 Wiwin, D Pratisti, Psikologi Anak Usia Dini, (Jakarta: PT. Indeks, 2008), h.15. 5 (http://episentrum.com/search/, Pengembangan Bahasa Melalui Metode Bercakap-cakap Pada Anak Taman Kanak-Kanak. 6 Paul Henry Mussen, Perkembangan dan Kepribandian Anak, (Jakarta: Erlangga, 1984), h.175. 7 Nana Syaodih, Bimbingan dan Konseling dalam Praktek, (Bandung: Maestro, 2007), h.232. .8 http://kbalnaba.blogspot.com/2010/07, penyebab keterlambatan bicara pada anak 9 Soemiarti,Pendidikan Anak Prasekola, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), h.24. 10 http://kbalnaba.blogspot.com/ 2010/07/ penyebab-keterlambatan-bicara-pada-anak.html). 11 Jones, F. Margaret, Language Disability In Children, (England: Falcon House Lancaster, 1980), h.10. 12 Moeslihatoen, Metode pengajaran di Taman kanak Kanak, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), h.42. 13 Elizabeth. B. Hurlock, Loc. Cit, h.320. 14 Conny, R. Semiawa, Belajar dan Pembelajaran Prasekolah dan Sekolah Dasar, (Jakarta: Indeks, 2008), h.12. 15 Moeslihatoen, Op.Cit, h.32. 16 Ibid, h.39. 17 Ibid, h.56. 18 Ciptarja, Op.Cit. 2
Daftar Pustaka Ciptarja, Benny. How To Teach Your Baby Talk. Yogyakarta: CV Andi Offset, 2008. Hurlock B, Elizabeth. Perkembangan Anak. Jakarta: Penerbit Erlangga, 1978. Hurlock B. Elizabeth. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Penerbit Erlangga, 1980. Margaret, F Jones., Language Disability In Children. England: Falcon House Lancaster, 1980. Moeslihatoen. Metode Pengajaran di Taman Kanak-Kanak. Jakarta: Rineka Cipta, 2004. Mussen, Paul Henry. Perkembangan dan Kepribandian Anak. Jakarta: Erlangga, 1984. Pratisti, D Wiwin. Psikologi Anak Usia Dini. Jakarta: PT Indeks, 2008. Semiawan, R. Conny. Belajar dan Pembelajaran Prasekolah dan Sekolah Dasar. Jakarta: Indeks, 2008. Soemiarti. Pendidikan Anak Prasekolah. Jakarta: Rineka Cipta, 2003. Syaodih, Nana. Bimbingan dan Konseling dalam Praktek. Bandung: Maestro, 2007.
Sumber Online: http://episentrum.com/search/ Pengembangan Bahasa Melalui Metode Bercakap-cakap Pada Anak Taman Kanak-Kanak. (01/12/2016) 09:08:10.
aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549
Humaeroh
137
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.2, Tahun 2016, Hal. 126-138
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
http://kbalnaba.blogspot.com/2010/07, (01/12/2016) 09:09:20.
penyebab
aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549
keterlambatan
bicara
pada
anak.
Humaeroh
138
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.2, Tahun 2016, Hal. 139-148
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
PENGEMBANGAN KARAKTER SISWA RAUDLATUL ATHFAL BERBASIS PENDIDIKAN AGAMA ISLAM Intan Kusumawati Mahasiswa Pendidikan Pasca Sarjana Universitas Negeri Yogyakarta Email:
[email protected]
Abstract This essay is one of early effort to put together between character building and Islamic education for early childhood in Raudlatul Athfal. Because there are similarities between them, the potential could happen. Therefore, the role of teacher to be important in learning character based Islamic education. Teacher must be consistent in learning which oriented to children’s need and students of Raudlatul Athfal Keywords: Character, Islamic Education, Raudlatul Athfal
Abstrak Tulisan ini adalah salah satu upaya awal untuk menyandingkan pendidikan karakter bersama pendidikan agama Islam bagi pendidikan anak usia dini di Raudlatul Athfal. Karena ada kesamaan keduanya, potensi tersebut bisa terjadi. Oleh karena itu, Peran guru menjadi penting pembelajaran karakter berbasis pendidikan agama Islam. Ia harus konsisten dalam pembelajaran yang berorientasi kebutuhan anak dan siswa Raudlatul Athfal Kata Kunci: Karakter, Pendidikan Agama Islam, Raudlatul Athflal
Pendahuluan Karakter adalah satu kualitas atau sifat yang tetap terus menerus dan kekal yang dapat dijadikan ciri untuk mengidentifikasian seorang pribadi, suatu objek, atau kejadian.1 Karakter juga dikenali sebagai watak atau sifat dalam pendidikan nasional telah menempati posisi prioritas untuk dikembangkan pada peserta didik. Penanamannya berfungsi mengembangkan mencerdaskan kehidupan bangsa menuju kemajuan peradaban kemanusiaan yang bermartabat. Dalam UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada pasal 3 Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.2 Tujuan itu tidak dibatasi dalam jenjang tertentu dalam pendidikan nasional, namun sejak usia dini dalam keluarga, sekolah dan masyarakat bertanggung jawab atas karakter anak
aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549
I. Kusumawati
139
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.2, Tahun 2016, Hal. 139-148
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
yang sesuai dengan kepribadian bangsa. Semakin dini anak belajar dan prakter karakter mulia berkontribusi terhadap perwujudan tujuan pendidikan nasional. Anak usia dini dalam Undang-undang yang sama meliputi anak sejak lahir sampai usia enam tahun. Di Amerika melalui National Association for the Education of Young Children (NAEYC), tingkatan anak usia dini berusia; 0-3 tahun, 3-5 tahun, dan 6-8 tahun. Sementara literatur pendididikan mengakui lebih jauh. Pendidikan anak usia dini mengacu pada pendidikan yang diberikan kepada anak usia 0-6 tahun atau sampai dengan 8 tahun. Salah satunya yang memilih kedua adalah Feld dan Baur yang membagi anak usia dini menjadi : lahir sampai 1 tahun (bayi-infancy) 1-3 tahun (fodder), 3-4 tahun (prasekolah), 5-6 tahun (kelas awal SD), dan 7-8 (kelas lanjut SD).3 Pengembangan karakter sejak usia dini semakin terasa penting dengan pernyataan dari Tim Utton berkata: “Pada usia 3 tahun, kamu dibentuk untuk seumur hidup.”4 Megawangi juga mengungkapkan hasil penelitian Universitas Utago di New Zealand terhadap 1000 anakanak selama 23 tahun sejak tahun 1972. Penelitian pertama dilakukan ketika berusia 3 tahun dan diamati kepribadiannya, kemudian anak diteliti kembali pada usia 18 dan 21 tahun hingga berusia 26 tahun. Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa ketika telah didiagnosa sebagai “uncontrollable toddlers” (anak yang sulit diatur, pemarah, dan pembangkang) pada usia 3 tahun, anak ini menjadi remaja yang bermasalah, agresif, dan mempunyai masalah dalam pergaulan di usia 18 tahun. Pada usia 21 tahun, mereka mengalami kesulitan membina hubungan sosial dengan orang lain, dan ada yang terlibat dalam tindakan kriminal. Hasil penelitian yang sebaliknya ditemui pada anak berusia 3 tahun yang dikategorikan berkarakter sehat jiwa (well-adjusted toddlers), ternyata setelah dewasa telah berkembang menjadi orang berhasil dan sehat jiwanya. Berdasarkah hasil penelitian tersebut,. Hal ini telah menegaskan pendapat mengenai pentingnya pendidikan karakter diberikan sedini mungkin.5 Tujuan Pendidikan nasional juga mengisyaratkan bahwa pendidikan karakter lebih baik disandingkan secara bersama-sama dengan pendidikan agama. Bagi Raudlatul Athfal (RA) yang berciri khas keagamaan Islam, penyandingan demikian sangat berdampak pada ketepatan pembelajaran karakter. Apa lagi agama juga menjadi nilai penting yang harus ditianamakan sejak kecil. Madjid dan Andayani menegaskan pendidikan agama Islam (PAI) kepada anak sejak usia dini menjadi suatu hal yang penting dilakukan karena orang tua dapat berusaha secara sadar memimpin dan mendidik anak untuk diarahkan pada perkembangan jasmani dan rohani, sehingga membentuk kepribadian utama yang sesuai dengan ajaran agama islam.6 Karakter berbasis agama yang tertanam kuat, seorang anak bisa tumbuh dan berkembang dengan memiliki kemampuan untuk mencegah dan menangkal serta membentengi diri mereka dari berbagai pengaruh negatif. Sebaliknya jika karakter keagamaan itu tidak ditanamkan dan dikembangkan secara maksimal maka yang akan
aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549
I. Kusumawati
140
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.2, Tahun 2016, Hal. 139-148
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
muncul adalah perilaku-perilaku yang akan kurang baik dan cenderung menyimpang dari aturan agama. Haryani dan Hallawani menengarai kalau akhir-akhir ini makin disadari betapa pentingnya pendidikan bagi anak usia dini karena perkembangan kepribadian, sikap mental dan intelektual sangat ditentukan dan banyak dibentuk pada usia ini.7 Karakter dalam Pendidikan Agama Islam Pengertian Karakter dalam pendidikan Agama Islam lebih dikenal dengan akhlak. Zaidan menunjukkan akhlak sebagai nilai-nilai dan sifat-sifat yang tertanam dalam jiwa, yang dengan sorotan dan timbangannya seseorang dapat menilai perbuatannya baik atau buruk, untuk kemudian memilih melakukan atau meninggalkannya.8 Sementara Anis memilih sifat yang tertanam dalam jiwa, yang dengannya lahirlah macam-macam perbuatan, baik atau buruk, tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan.9 Pada penjelasan Ibn Miskawaih, akhlak dijabarkan lebih detil. Karakter atau khuluq merupakan suatu keadaan jiwa. Keadaan ini menyebabkan jiwa bertindak tanpa dipikir atau dipertimbangkan secara mendalam. Keadaan tersebut terdiri dari dua jenis. Yang pertama, alamiah dan bertolak dari watak, seperti tawa berlebihan hanya karena suatu hal yang sangat biasa tanpa memperhatikan yang lainnya. Yang kedua, tercipta melalui kebiasaan dan latihan. Prosesnya diawali setelah ada pertimbangan dan pemikiran, kemudian dipraktekan secara terus menerus hingga menjadi karakter.10 Arti penting karakter dalam pendidikan mulai dikenalkan oleh Lickona. Ia mendefinisikan pendidikan karakter sebagai upaya yang sungguhsungguh untuk membantu seseorang memahami, peduli, dan bertindak dengan landasan inti nilai-nilai etis. Pendidik lain yang berkecimpung dalam pendidikan karakter adalah Scerenko yang membatasi pendidikan karakter sebagai upaya yang sungguh-sungguh untuk mengembangkan, mendorong, dan memberdayakan ciri kepribadian posistif dengan keteladanan, kajian (sejarah dan biografi para bijak dan pemikir besar), serta praktik emulasi (usaha yang maksimal untuk mewujudkan hikmah dari apa yang diamati dan dipelajari). Bagi Lockwood, hal itu merupakan aktifitas berbasis sekolah yang mengungkap secara sistematis berbagai bentuk perilaku siswa, yang dirancang dan diterapkan sedemikian rupa dalam rangka membentuk kepribadian siswa. Karenanya, pendidikan karakter adalah proses pemberian tuntunan kepada peserta didik untuk menjadi manusia seutuhnya yang berkarakter dalam dimensi hati, pikir, raga, serta rasa dan karsa.11 Dalam pengertian demikian, pembentukan karakter dalam Islam juga dikenal dengan pendidikan Akhlak. Nashih Ulwan mengemukakan, pendidikan moral atau akhlak adalah serangkaian prinsip dasar moral dan keutamaan sikap serta watak yang harus dimiliki dan dijadikan kebiasaan oleh si anak sejak masa pemula hingga ia menjadi seorang mukallaf, yakni siap mengarungi lautan kehidupan.12
aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549
I. Kusumawati
141
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.2, Tahun 2016, Hal. 139-148
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
Ada dua pendapat tentang pembentukan atau pembangunan karakter dalam Pendidikan Islam. Di satu sisi, berpendapat bahwa karakter merupakan sifat bawaan dari lahir yang tidak dapat atau sulit diubah atau dididikkan. Di sisi lain, berpendapat bahwa karakter dapat diubah atau dididik melalui pendidikan. Hidayatullah setuju dengan pendapat kedua karena Tuhan tidak akan bertanggun jawab terhadap pertumbuhan dan perkembangan manusuia tetapi mereka sendiri harus melakukannya termasuk dalam penenman karakter. Pendapatnya didasarkan kepada al-Qur’an, yakni:
ِ ات ِم ْن ب َ ْ ِْي يَدَ يْ ِه َو ِم ْن َخلْ ِف ِه َ َْي َف ُظون َ ُه ِم ْن َأ ْم ِر ه ٌ َ َُل ُم َع ِقّ َب اَّلل ال يُغ ِ ّ َُِي َما ِبقَ ْو ٍم َح هَّت يُغ ِ ّ َُِيوا َما ِبأَنْ ُف ِسه ِْم َوا َذا َ اَّلل ا هن ه )١١( ٍوءا فَال َم َر هد َ َُل َو َما لَه ُْم ِم ْن ُدو ِن ِه ِم ْن َوال ُ َأ َرا َد ه ً اَّلل ِبقَ ْو ٍم ُس Artinya: “ Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia”.13 Pada usia dini 0-6 tahun, otak berkembang sangat cepat hingga 80 persen. Otak bekerja dalam menerima dan menyerap berbagai macam informasi tanpa melihat baik dan buruk. Itulah masa-masa yang dimana perkembangan fisik, mental maupun spiritual anak akan mulai terbentuk. Karena itu, banyak yang menyebut masa tersebut sebagai masa-masa emas anak (golden age). Tahap Pembentukan Karakter Secara alami, sejak lahir sampai berusia tiga tahun, atau mungkin hingga sekitar lima tahun, kemampuan menalar seseorang anak belum tumbuh sehingga pikiran bawah sadar (subconscious mind) masih terbuka dan menerima apa saja informasi dan stimulus yang dimasukkan ke dalamnya tanpa ada penyeleksian, mulai dari orang tua dan lingkungan keluarga. Dari mereka itulah, pondasi awal terbentuknya karakter sudah terbangun.14 Berdasarkan pemikiran psikolog Kohlberg (1992) dan ahli pendidikan dasar Marlene Lockheed (1990), terdapat empat tahap pendidikan karakter yang perlu dilakukan, yaitu : (a) tahap “pembiasaan” sebagai awal perkembangan karakter anak, (b) tahap pemahaman dan penalaran terhadap nilai, sikap, perilaku dan karakter siswa; (c) tahap penerapan berbagai perilaku dan tindakan siswa dalam kenyataan sehari-hari; dan (d) tahap pemaknaan yaitu suatu tahap refleksi dari para siswa melalui penilaian terhadap seluruh sikap dan perilaku yang telah mereka fahami dan lakukan dan bagaimana dampak dan kemanfaatannya dalam kehidupan baik bagi dirinya maupun orang lain. Jika seluruh tahap ini telah dilalui, maka
aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549
I. Kusumawati
142
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.2, Tahun 2016, Hal. 139-148
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
pengaruh pendidikan terhadap pembentukan karakter peserta didik akan berdampak secara berkelanjutan (sustainable).15 Karakter Mulia Zubaidi mengidentifikasi karakter mulia yang patut diajarkan kepada anak dalam sembilan pilar yaitu: Cinta Tuhan dan kebenaran (love Allah, trust, reverence, loyalty), tanggung jawab, kedisiplinan, dan kemandirian (responsibility, excellence, self-reliance, dicipline, orderliness), amanah (trustwor thiness, reliability, honesty), hormat dan santun (respect, courtessy, obedience), kasih sayang, kepedulian, dan kerja sama (love, compassion, caring,empathy, generousity, modertion, cooperation) percaya diri, kreatif, dan pantang menyerah (confidence, assertivaness, creativity, resourcer fulness, courage, determination, and enthusiasm), keadilan dan kepemimpinan (justice, fairness, mercy, leadership), baik dan rendah hati (kindness, friendliness, humility, modesty), toleransi dan cinta damai (tolerance, flexibility, peacefulness, unity).16 Kementerian Pendidikan Nasional Badan Penelitian dan Pengembangan Kurikulum merumuskan delapan belas nilai karakter dasar yang menjadi tujuan pendidikan karakter. Karakter tersebut yaitu: 1) Religius, 2) Jujur, 3) Toleransi, 4) Disiplin, 5) Kerja keras, 6) Kreatif, 7) Mandiri, 8) Demokratis, 9) Rasa Ingin Tahu, 10) Semangat Kebangsaan, 11) Cinta Tanah Air, 12) Menghargai Prestasi, 13) Bersahabat/Komunikatif, 14) Cinta Damai, 15) Gemar Membaca, 16) Peduli Lingkungan, 17) Peduli Sosial, 18) Tanggung jawab.17 Aspek Perkembangan Anak Usia Dini Bidang pembentukan perilaku Pembentukan perilaku melalui pembiasaan merupakan kegiatan yang dilakukan secara terus menerus dan ada dalam kehidupan sehari-hari anak, sehingga menjadi kebiasaan yang baik. Bidang pengembangan ini meliputi lingkup perkembangan nilai-nilai agama dan moral, serta pengembangan sosial, emosional dan kemandirian. Dari aspek perkembangan moral dan nilai-nilai agama diharapkan akan meningkatkan ketaqwaan anak terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dan membina sikap anak dalam meletakkan dasar agar anak menjadi warga negara yang baik. Aspek perkembangan sosial, emosional dan kemandirian dimaksudkan sebagai wahana untuk membina anak agar dapat mengendalikan emosinya secara wajar dan dapat berinteraksi dengan sesamanya maupun dengan orang dewasa dengan baik, serta dapat menolong dirinya sendiri dalam rangka kecakapan hidup. Bidang Pengembangan Kemampuan Dasar Bidang pengembangan kemampuan dasar merupakan kegiatan yang dipersiapkan oleh guru untuk meningkatkan kemampuan dan kreativitas sesuai dengan tahap perkembangan anak. Bidang Pengembangan Kemampuan Dasar tersebut meliputi lingkup perkembangan: Berbahasa
aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549
I. Kusumawati
143
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.2, Tahun 2016, Hal. 139-148
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
Pengembangan berbahasa bertujan agar anak mampu mengungkapkan pikiran melalui bahasa yang sederhana secara tepat, mampu berkomunikasi secara efektif dan membangkitkan minat untuk dapat berbahasa Indonesia dengan baik dan benar. Kognitif Pengembangan kognitif bertujuan mengembangkan kemampuan dasar anak untuk dapat mengolah perolehan belajarnya, dapat menemukan bermacam-macam alternatif pemecahan masalah, membantu anak untuk mengembangkan kemampuan logika matematis dan pengetahuan akan ruang dan waktu, serta mempunyai kemampuan untuk memilah-milah, mengelompokkan serta mempersiapkan kemampuan berpikir secara teliti. Fisik Pengembangan fisik bertujuan untuk memperkenalkan dan melatih gerakan kasar dan halus, meningkatkan kemampuan mengelola, mengontrol gerakan tubuh dan koordinasi serta meningkatkan keterampilan tubuh dan cara hidup sehat sehingga dapat menunjang pertumbuhan jasmani yang kuat, sehat, dan trampil. Seni Pengembangan ini bertujuan agar aank dapat dan mampu menciptakan sesuatu berdasarkan hasil imajinasinya, mengembangkan kepekaan, dan dapat menghargai hasil karya yang kreatif.18 Pembelajaran Anak Usia Dini Cara Belajar Anak Usia Dini Anak pada usia dini (0-6) memiliki kemampuan belajar yang luar biasa, khususnya pada masa kanak-kanak awal. Keinginan anak untuk belajar menjadikan aktif dan eksploratif. Cara belajar anak mengalami perkembangan seiring dengan bertambahnya usia anak secara garis besar akan diuraikan sebagai berikut. Cara belajar anak usia dini mulai dari awal perkembangan: 1) Usia 0-1 tahun. Anak belajar dengan mengandalkan kemampuan panca inderanya yakni pendengaran, penglihatan, penciuman, peraba dan perasa secara bertahap panca indera tersebut difungsikan secara sempurna. 2) Usia 2-3 tahun. Anak melakukan proses belajar dengan lebih sungguh-sungguh. Ia memperhatikan apa saja yang ada di lingkungan untuk ditiru. 3) Usia 4-6 tahun. Kemampuan bahasa anak semakin baik. Begitu anak mampu berkomunikasi dengan baik maka akan segera diikuti proses belajar anak dengan cara bertanya.19 Anak memiliki karakteristik yang berbeda dengan orang dewasa dalam berperilaku. Dengan demikian dalam hal belajar anak juga memiliki karakteristik yang tidak sama pula dengan orang dewasa. Karakteristik cara belajar anak merupakan fenomena yang harus dipahami dan dijadikan acuan dalam merencanakan dan melaksanakan pembelajaran untuk anak usia dini.
aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549
I. Kusumawati
144
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.2, Tahun 2016, Hal. 139-148
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
Metode Pembelajaran Anak Usia Dini Bagi Rahman, Strategi dan metode pengajaran yang diterapkan untuk anak usia dini perlu disesuaikan dengan kekhasan yang dimiliki oleh anak. Sebab metode pengajaran yang diterapkan untuk seorang pendidik anak akan berpengaruh terhadap keberhasilan proses pengajaran. Penggunaan metode pengajaran yang tepat dan sesuai dengan karakter anak akan dapat memfasilitasi perkembangan berbagai potensi dan kemampuan anak secara optimal serta tumbuhnya sikap dan perilaku positif bagi anak. Pendekatan yang baik dan tepat dalam menanamkan karakter pada anak usia dini adalah melalui metode pembiasaan, dengan memberikan contoh teladan, cerita atau dongeng, dan permainan.20 Beberapa prinsip metode pembelajaran untuk anak usia dini antara lain: 1) berpusat pada anak dengan penerapan metode berdasarkan kebutuhan dan kondisi anak, bukan berdasarkan keinginan dan kemampuan pendidik; 2) partisipasi aktif, Maksudnya penerapan metode pembelajaran ditujukan untuk membangkitkan anak untuk turut berpartisipasi aktif dalam proses belajar; 3) bersifat holistik dan integratif. Artinya kegiatan belajar yang diberikan kepada anak tidak terpisah menjadi bagian-bagian seperti pembidangan dalam pembelajaran, melainkan terpadu dan menyeluruh, terkait antara satu bidang dengan bidang yang lain; 4) fleksibel. Artinya metode pembelajaran yang diterapkan pada anak usia dini bersifat dinamis tidak terstruktur dan disesuaikan dengan kondisi dan cara belajar anak yang memang terstruktur. Tugas guru adalah mengarahkan dan membimbing anak berdasarkan pilihan yang ia tentukan; 5) perbedaan individual. Maksudnya guru dituntut untuk merancang dan menyediakan alternatif kegiatan belajar guna memberi kesempatan kepada anak untuk memilih aktivitas belajar sesuai dengan minat dan kemampuannya.21 Pendidikan Karakter Berbasis PAI Bagi Anak Usia Dini Dalam pembelajaran, guru perlu menetapkan karakter yang akan dikembangkan sesuai dengan materi, metode, dan strategi pembelajaran. Ketika guru ingin menguatkan karakter kerjasama, disiplin waktu, keberanian, dan percaya diri, maka guru perlu memberikan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan karakter tersebut dalam pembelajarannya. Guru perlu menyadari bahwa guru harus memberikan banyak perhatian pada karakter yang ingin dikembangkan ketika proses pembelajaran sedang berlangsung. Belajar bagi anak usia dini tidak hanya untuk mendapatkan ilmu pengetahuan saja, namun juga dapat menerapkan ilmu pengetahuan dalam bentuk karya keterampilan dan meningkatkan sikap positif. Oleh karena itu, pola pembelajaran tetap beorientasi pada kebutuhan anak. Pendidikan karakter yang beroreitnasi kepada anak tidak semata mengajarkan mana yang benar dan salah. Pendidikan karakter berbasis PAI cenderung pada penanaman kebiasaan tentang hal mana yang baik sehingga peserta didik menjadikan kognisi anak
aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549
I. Kusumawati
145
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.2, Tahun 2016, Hal. 139-148
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
menjadi paham tentang mana yang benar dan salah hingga afeksinya bisa merasakan nilai yang baik. Siswa PAUD kemudian biasa melakukannya melalui psikomotoriknya. Pendidikan karakter berbasis PAI diharapkan untuk bisa memberikan pemecahan masalah dalam terhadap konflik nilai yang berkembang selama pembelajaran. Untuk itu, selama pembelajaran, guru patut mempertimbangkan sebagai berikut: 22 a. Mengurangi jumlah mata pelajaran berbasis kognitif dalam kurikulumnya. Pendidikan kognitif yang berlebihan memicu pada ketidak seimbangan aspek-aspek perkembangannya. b. Penambahan materi pendidikan karakter yang sesuai agama Islam. Materi pendidikan kemudian menyeimbangkan kemampuan kognitif mengarahkan kemampuan afektif. Metode pembelajaran karakter ini dilakukan dengan cerita-cerita keteladanan seperti kisah-kisah keteladanan Nabi-nabi, sahabat-sahabat nabi, pahlawan-pahlawan dunia, nasional ataupun lokal. c. Pembelajaran dengan contextual learning, dimana anak-anak diberikan kegiatan praktis yang baik dengan langsung diperlihatkan dalam tindakan dan prilaku seluruh guru. Guna mendukung pola pembelajaran karakter berbasis PAI, diperlukan beberpa dukungan pentingsebagi penunjangnya. Beberapa kebijakan dan tindakan RA beserta gurunya bisa dijabarkan sebagai berikut: a) penyesuaian dengan karakteristik anak, karena setiap anak memiliki bakat, minat dan karakter yang berbeda; b) pemenuhan kebutuhan dasar anak antara lain, kebutuhan ruhani berupa kasih sayang dan jasmani berupa pemberian makanan yang bergizi; c) sinergi pola pendidikan antara guru di RA dengan orang tua di rumah; d) dukungan dan penghargaan bagi siswa yang menampilkan tingkah laku yang terpuji, dan menghindari kata-kata negatif berdampak pada konsep diri anak; e) fasilitas dan lingkungan sesuai dengan usia perkembangannya; dan f) sikap tegas, konsisten dan bertanggung jawab dari guru sehingga dapat menjadi contoh bagi anak.23 Catatan Akhir 1
James P. Chaplin, Kamus Lengkap Psikologi, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), h.82. Lihat Undang-undang No 20 Tahun 2003, Himpunan Peraturan Perundang-undangan RI Tahun 2003, (Jakarta: CV Eko Jaya, 2004), h.7. 3 Soegeng Santoso, Dasar-Dasar Pendidikan TK, (Jakarta: Universitas Terbuka, 2006), h. 1.3 4 Ratna Megawangi, Pentingnya Pendidikan Karakter Sejak Usia Dini, www.scannerperiksanilai.com, diakses tanggal 29 Oktober 2015 5 Ibid. 6 Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi, (Bandung: Rosdakarya, 2005), h.139. 7 Sri Haryani dan Aba Firdaus al-Hallawani, Mendidik Anak Sejak Dini, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2003), h.87. 8 Ibid, h.2. 9 Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlak, (Yogyakarta: LPPA, 2004), h.2. 10 Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, (Bandung: Mizan, 1994), h.56. 11 Muchlas Samani dan Hariyanto, Konsep dan Model Pendidikan Karakter, (Jakarta: Remaja Rosda Karya, 2012), h.44-45 2
aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549
I. Kusumawati
146
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.2, Tahun 2016, Hal. 139-148
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
12
Abdullah Nashih Ulwan, Pendidikan Anak Dalam Islam, (Jakarta: Pustaka Amani, 2002), h.193. Q.S. Ar Ra’d (13): 11 14 Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Karakter Perspektif Islam, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2011), h.18. 15 Ibid, h.108-109. 16 Zubaidi, Desain Pendidikan Karakter Konsepsi dan Aplikasinya dalam Lembaga Pendidikan, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), h.81. 17 Kementerian Pendidikan Nasional Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Karakter, (Jakarta: kemndiknas, 2011), h.3. 18 Ali Nugraha, dkk., Kurikulum dan Bahan Belajar TK, (Jakarta: Universitas Terbuka, 2007), h.44-45. 19 Hibana S. Rahman, Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini, (Yogyakarta: PGTKI Press, 2002), h.43-44. 20 Ibid, h.72. 21 Ibid, h.73-75. 22 Mukti Amini, Peran Pengasuhan Guru Pada Pembentukan Karakter Anak Sejak Dini, http://repository.ut.ac.id/2601/1/fkip201044.pdf. 23 Ibid. 13
Daftar Pustaka Amini, Mukti. “Peran Pengasuhan Guru Pada Pembentukan Karakter Anak Sejak Dini,” http://repository.ut.ac.id/2601/1/fkip201044.pdf. Chaplin, James P. Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006. Haryani, Sri dan Aba Firdaus al-Hallawani. Mendidik Anak Sejak Dini. Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2003. Ilyas, Yunahar. Kuliah Akhlak. Yogyakarta: LPPI, 2004. Kementerian Pendidikan Nasional Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum dan Perbukuan. Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Karakter. Jakarta: Kemendiknas, 2011. Majid, Abdul dan Dian Andayani. Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi. Bandung: Rosdakarya, 2005. Majid, Abdul dan Dian Andayani. Pendidikan Karakter Perspektif Islam. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011. Megawangi, Ratna. “Pentingnya Pendidikan Karakter Sejak Usia http://www.scannerperiksanilai.com, diakses tanggal 29 Oktober 2015
Dini”.
Miskawaih, Ibn. Menuju Kesempurnaan Akhlak. Bandung: Mizan, 1994. Nugraha, Ali, dkk. Kurikulum dan Bahan Belajar TK. Jakarta: Universitas Terbuka, 2007. Rahman, Hibana S. Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini. Yogyakarta: PGTKI Press, 2002. Samani, Muchlas dan Hariyanto. Konsep dan Model Pendidikan Karakter. Jakarta: Remaja Rosda Karya, 2012.
aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549
I. Kusumawati
147
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.2, Tahun 2016, Hal. 139-148
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
Santoso, Soegeng. Dasar-Dasar Pendidikan TK. Jakarta: Universitas Terbuka, 2006. Ulwan, Abdullah Nashih. Pendidikan Anak Dalam Islam. Jakarta: Pustaka Amani, 2002. Zubaidi. Desain Pendidikan Karakter Konsepsi dan Aplikasinya dalam Lembaga Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011.
aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549
I. Kusumawati
148
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.2, Tahun 2016, Hal. 149-164
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
PENGEMBANGAN DAYA SENI PADA ANAK USIA DINI Muhiyatul Huliyah Dosen Pendidikan Guru Raudhatul Athfal, Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, IAIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten Email:
[email protected]
Abstract The development level of children’s brains, since birth to age 4 years old attain 50%. Therefore, at the first 4 years old is usually called golden age period. Because children can absorb every stimulus quickly into their brain. Children are able to remember much information like vocabulary mastery, tone, sounds and etc. Thus, at age 8 years old children have had level of brain development around 80%. One of effort can be done to develop children’s brains is through art. Because basically human being is an aesthetic creature, creature who has feeling and ability to vivify a beauty. Likewise early childhood, they also have ability to vivify and respond everything that experienced with feeling and their own way in accordance with their development level. The ability is not directly had by children as immediate ability which van be employed, but it acquired through learning process and influence from environment. For children, learning art is considered as a playing activity and playing is a pleased activity for children. Art can develop a variety of children’s ability. By art to make easy children to learn for another subjects, because art can improve imagination. A creative teacher will has many ways to support children’s learning which integrated in a curriculum through some activities where children are able to create art work or enjoy someone’s art work. Keywords: Development of Art Capacity, Early Childhood Development
Abstrak Tingkat perkembangan otak anak, sejak lahir sampai usia 4 tahun mencapai 50%, oleh karena itu pada masa empat tahun pertama ini sering disebut juga sebagai golden age (masa keemasan). Karena anak mampu menyerap dengan cepat setiap rangsangan yang masuk. Anak akan mampu menghapal banyak sekali informasi seperti pembendaharaan kata, nada, bunyi-bunyian dan sebagainya sehingga usia 8 tahun anak telah memiliki tingkat perkembangan otak sekitar 80%. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk pengembangan otak anak adalah melalui seni. Karena pada dasarnya manusia merupakan makhluk estetik, makhluk yang mempunyai perasaan dan kemampuan untuk menghayati keindahan. Demikian juga dengan anak usia dini mempunyai kemampuan menghayati dan merespon berbagai hal yang dialaminya dengan perasaan dan caranya sendiri sesuai dengan tingkat perkembangannya. Kemampuan tersebut tidak langsung dimiliki anak sebagai kemampuan yang langsung bisa digunakan, melainkan diperoleh melalui belajar dan pengaruh dari lingkungan. Bagi anak belajar seni dianggap sebagai kegiatan bermain, dan bermain merupakan kegiatan menyenangkan buat anak. Seni dapat membantu mengembangkan berbagai kemampuan anak. Dengan seni pula memudahakan anak belajar
aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549
M. Huliyah
149
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.2, Tahun 2016, Hal. 149-164
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
untuk bidang studi lain, karena seni dapat meningkatkan imajinasi. Guru yang kreatif akan memperoleh cara untuk mendukung pembelajaran anak-anak yang terintegrasi dalam kurikulum melalui kegiatan di mana anak-anak mampu membuat hasil karya seni ataupun menikmati hasil karya seni orang lain. Kata Kunci: Pengembangan Daya Seni, AUD
Pendahuluan Sejak usia dini anak memiliki potensi yang sangat besar. Menurut Prof. Dr. Utami Munandar, potensi perkembangan otak seorang anak pada usia 6 bulan sudah mencapai sekitar 50% dari keseluruhan potensi orang dewasa. Pada masa ini anak mengalami perkembangan otak yang sangat cepat. Tingkat perkembangan otak anak, sejak lahir sampai usia 4 tahun mencapai 50%, oleh karena itu pada masa empat tahun pertama ini sering disebut juga sebagai golden age (masa keemasan). Karena anak mampu menyerap dengan cepat setiap rangsangan yang masuk. Anak akan mampu menghapal banyak sekali informasi seperti pembendaharaan kata, nada, bunyi-bunyian dan sebagainya sehingga usia 8 tahun anak telah memiliki tingkat perkembangan otak sekitar 80%. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk pengembangan otak anak adalah melalui seni. Karena pada dasarnya manusia merupakan makhluk estetik, makhluk yang mempunyai perasaan dan kemampuan untuk menghayati keindahan. Demikian juga dengan anak usia dini mempunyai kemampuan menghayati dan merespon berbagai hal yang dialaminya dengan perasaan dan caranya sendiri sesuai dengan tingkat perkembangannya. Kemampuan tersebut tidak langsung dimiliki anak sebagai kemampuan yang langsung bisa digunakan, melainkan diperoleh melalui belajar dan pengaruh dari lingkungan. Setiap orang mempunyai naluri seni, walaupun kadarnya berbeda-beda. Dalam kehidupan, seni digunakan sebagai alat dan penunjang untuk menyempurnakan pekerjaannya. Seni dapat digunakan sebagai alat terapi, mengungkapkan perasaan dan berkomunikasi. Jiwa seni seseorang hadir sejak ia dilahirkan walaupun kualitas dari jiwa seni setiap orang tidak sama. Atas dasar pemaparan tersebut maka upaya mengembangkan kemampuan daya seni pada anak usia dini harus dilakukan. Pembelajaran pada anak usia dini harus memberikan kesempatan penuh untuk mengembangkan kemampuan manusia sebagai makhluk estetik dan mengekspresikannya melalui berbagai cara dan media yang kreatif. Manfaat Pendidikan Seni untuk Anak Usia Dini Anak-anak usia satu tahun sudah dapat mengembangkan imajinasinya. Ia mulai mencoret-coret apa saja, mempelajari dan menyerap segala yang terjadi di lingkungan sekitarnya. Setiap benda yang dimainkannya berfungsi sesuai dengan imajinasi anak. Dalam proses berkarya seni antara pikiran dan perasaan anak usia dini masih menyatu. Mereka
aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549
M. Huliyah
150
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.2, Tahun 2016, Hal. 149-164
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
belum bisa membedakan makna berpikir dengan merasakan, semua menyatu dalam kegiatan refleksi. Kegiatan seni bagi anak merupakan perilaku wajar, dikerjakan setiap hari dengan kapasitas yang bervariasi. Kegiatan seni memiliki banyak manfaat untuk anak, yaitu: a) seni sebagai bahasa visual, artinya seni berfungsi sebagai alat mengutarakan pendapat, dan ungkapan perasaan: duka dan sedih, senang dan gembira, keinginan dan harapan masa yang akan datang, serta mencatat peristiwa yang pernah dialami; b) seni membantu pertumbuhan mental, artinya seni dapat digunakan untuk melatih pikiran, imajinasi, penalaran, perasaan, keindahan, sosial, agama, maupun toleransi yang bersifat apresiatif; c) seni membantu memudahkan anak ketika belajar bidang studi lain, karena pendidikan seni mengasah visual intelegensi, sehingga mudah mengungkap hal yang visual. Misalnya ketika anak belajar sejarah, imajinasinya akan memvisualkan secara komprehensif suasana masa lalu; 4) seni sebagai media bermain, artinya kegiatan seni bagi anak itu serasa bermain dan bermain merupakan kegiatan menyenangkan. Seni dan Pengembangan Kognitif (Kemampuan Berpikir) Untuk anak usia dini, membuat satu karya seni adalah merupakan kegiatan eksplorasi sensorik. Kamii dan DeVrie menyarankan agar bahan yang digunakan untuk mengeksplorasi pada kegiatan seni sangat penting karena melalui eksplorasi itulah anak-anak membangun pengetahuannya tentang benda-benda yang ada di sekitar mereka.1 Kegiatan ini juga membantu anak-anak untuk belajar mengambil keputusan sendiri dan melakukan evaluasi diri sejak dini. Klein menjelaskan ada empat keputusan yang harus diambil anak saat mem buat sebauh hasil karya seni halnya seorang seniman. Pertama, mereka harus memutuskan akan membuat apa untuk karya seni mereka. Kedua, memilih media, jadwal kegiatan, dan perspektif yang akan diambil oleh penikmat seni itu sendiri. Ketiga, anak-anak memutuskan dan mengelola berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan hasil karya seni mereka. Dan keempat, bagaimana mereka akan mengevaluasi hasil karya seni mereka. Biasanya anak-anak mengevaluasi karya seni mereka dengan memikirkan apa yang mereka sukai dan disukai orang lain.2 Pertumbuhan dan perkembangan anak-anak berada pada masa periode emas, dengan adanya simbol-simbol pada kegiatan seni akan membuat perkembangan indera anak lebih cepat. Anak-anak mulai mencari simbol-simbol untuk mewakili benda-benda nyata, peristiwa yang dialami, dan ekspresi perasaan dalam karya seni mereka. Menggambar khususnya, menjadi sebuah kegiatan yang memungkinkan mereka untuk melambangkan apa yang mereka ketahui dan rasakan. Inilah yang dibutuhkan anak-anak yang kemampuan kosa katanya, tertulis ataupun lisan, mungkin masih terbatas.3 Penggunaan simbol-simbol dalam karya seni anak sangat penting karena dapat menjadi dasar untuk mengekpresikan kata-kata dalam melambangkan obyek dan tindakan dalam bentuk tulisan formal.
aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549
M. Huliyah
151
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.2, Tahun 2016, Hal. 149-164
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
Seni dan Pengembangan Motorik Pada saat membuat karya seni, anak juga menggunakan beberapa otot besar dan 4 kecil. Gerakan-gerakan motorik kasar diperlukan untuk membangun koordinasi dan kekuatan ketika melukis atau menggambar di kanvas atau di atas kertas besar di lantai. Gerakan jari, tangan, dan pergelangan tangan saat memotong dengan gunting, membuat prakarya dari tanah liat, menggambar atau melukis dengan permukaan yang lebih kecil dapat mengembangkan dan mengontrol keterampilan motorik halus. Dengan adanya kesempatan berulang dalam menggunakan alat dan media ketika praktik membuat karya seni, akan menumbuhkan rasa percaya diri. Hal ini juga bermanfaat untuk meningkatkan kemampuan menulis dan motorik halus. Membuat karya seni juga membantu anak mengembangkan koordinasi mata dan tangannya.5 Pada waktu anak-anak memilih membuat suatu hasil karya, misalnya membentuk kolase, perlu ketelitian dalam memilih dan menempatkan benda-benda apa saja yang bagus dan cocok untuk diikutsertakan dalam pembentukan kolase tersebut. Dengan begitu anak belajar untuk mengkoordinasikan apa yang mereka lihat dengan gerakan tangan dan jari mereka, agar terbentuk satu karya yang indah. Koordinasi mata-tangan berguna bagi anak dalam bermacam-macam kegiatan, termasuk dalam menulis huruf dan kata-kata atau membuat kalimat dalam penulisan. Karakteristik Seni pada Anak Usia Dini Melukis bagi anak merupakan kegiatan berimajinasi yang dituangkan pada bidang datar. Bagi anak menggambar ataupun melukis itu sama, untuk itu hasil karya antara menggambar dan melukis anak sulit dibedakan. Namun tidak untuk orang dewasa, menggambar adalah menuangkan bentuk benda alam atau yang lain kebidang datar sesuai dengan apa adanya, sedangkan melukis adalah mengekspresikan objek yang sebelumnya diolah oleh pikiran estetisnya kemudian diungkapkan pada bidang datar. Karakteristik lukisan anak pada umumnya (1) heroism, lukisan biasanya menggambarkan kepahlawanan dan kepatriotan. (2) Dekoratif, ditandai dengan munculnya bentuk-bentuk konstruktif berupa banyak garis dan apabila menggunakan warna cenderung dengan warna mencolok yang memiliki nuansa sedikit gaya komik dan romantisme. Ketika asyik menggambar biasanya diiringi dengan bercerita sehingga ketika gambar tersebut selesai mirip dengan jalan cerita yang diungkapkannya saat menggambar. (3) Anak juga sering menggambarkan wajah seseorang yang merupakan tokoh idolanya atau tokoh yang tidak asing dalam kehidupan sehari-hari mereka. Bagi anak melukis merupakan kebutuhan kedua setelah makan dan minum. Melukis sama dengan menggambar karena proses berkarya anak belum stabil. Sedangkan tema lukisan anak bermacam-macam, mulai dari tema lingkungan disekitar anak, tema yang pernah dialami, kejadian yang menimpa anak, pikiran masa depan, film, gambaran masa
aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549
M. Huliyah
152
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.2, Tahun 2016, Hal. 149-164
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
depan, dan cerita kepahlawanan. Walaupun demikian lukisan anak bersifat variatif, antara anak yang satu dengan lainnya berbeda. Pada umumnya lukisan pada anak juga di pengaruhi oleh karakteristik perkembangan anak. Gambar anak dapat dikategorisasikan menjadi: (a) masa coret-coret pada usia 2-4 tahun, ditandai dengan gambar yang masih belum stabil. Temanya belum jelas dan kadangkala gambarnya masih berbentuk seperti manusia tulang, (b) masa prabagan usia 4-7 tahun, masih seperti manusia tulang, namun sebagian sudah menggambarkan adanya pakaian, bentuk rambut, serta property lainnya. (c) masa bagan usia 7-9 tahun, anak sudah mampu membedakan dengan jelas jenis kelamin dalam gambarnya. Namun belum menunjukkan konsep tema yang matang terhadap bentuk gambar. Pada usia tertentu anak masih bersifat stereotype. (d) masa realisme awal usia 9-11 tahun, pada usia ini anak mampu mengungkapkan persepektif, namun belum sempurna. Hal ini disebabkan masih kuatnya sifat egois. dan (e) masa realisme semu, anak mampu mengemukakan detail gambar sesuai dengan posisi; gambar potret dan gambar manusia mulai dilakukan dengan mengidentifikasi karakter jenis kelamin, namun anak kesulitan menggambar perspektif. Pembelajaran Seni Anak Usia Dini Pembelajaran seni dan kreativitas menekankan pada aspek eksplorasi, ekspresi, apresiasi.6 Eksplorasi Pengembangan kemampuan bereksplorasi pada anak Taman Kanak-kanak dilakukan dengan tujuan sebagai berikut: a) agar anak dapat melakukan observasi dan mengeksplorasi alam semesta dan diri manusia; b) agar anak dapat mengeksplorasi elemen-elemen dari seni dan musik; c) agar anak dapat mengeksplorasi tubuh mereka apakah sanggup dalam mengerjakan sesuatu. Pengembangan kemampuan bereksplorasi dapat dilakukan dengan memberikan kesempatan kepada anak untuk melakukan hal-hal sebagai berikut: a) melihat lingkungan dan bagian-bagiannya; b) menggambar objek tertentu berdasarkan observasi yang dilakukannya; c) memperhatikan dan menggunakan jenis garis, warna, bentuk, dan bagian-bagian untuk membuat gambar; d) mengatur tinggi/rendah, cepat/lambat, keras/pelan pada vokal pebicaraan atau lagu; e) menyadari akan perasaan hati dan ide yang digambarkan melalui objek, gambar, dan musik; f) mengeksplorasi suara dengan instrument yang berbeda dan benda-benda yang lain; g) menunjukkan ketertarikannya pada bunyi musik instrumental; h) tanggap terhadap ritme, melodi, bunyi, dan bentuk musik melalui gerak yang kreatif, seperti tari dan drama. Ekspresi Kemampuan berekspresi anak usia prasekolah harus dilakukan dengan tujuan: a) agar anak dapat mengekspresikan dan menggambarkan benda, ide, dan pengalamannya
aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549
M. Huliyah
153
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.2, Tahun 2016, Hal. 149-164
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
menggunakan jenis media seni, instrumen musik dan gerak; b) agar anak mengalami peningkatan rasa percaya diri dalam mengekspresikan kreasi mereka sendiri. Pengembangan kemampuan berekspresi dapat dilakukan dengan memberikan kesempatan kepada anak untuk melakukan tindakan-tindakan antara lain sebagai berikut: a) mengekspresikan apa yang mereka lihat, pikirkan, dan rasakan tentang ragam seni; b) membangun pemahaman dan pengalaman mereka dari dunia mereka melalui seni; c) mengekspresikan pikiran dan perasaan melalui kegiatan menggambar; d) menggunakan materi lunak untuk model dan objek gambar; e) bernyanyi lagu sederhana; dan f) mengeksplorasi jenis gerak tubuh dan ekspresi dengan drama. Apresiasi Kemampuan apresiasi harus dikembangkan pula dengan tujuan agar anak dapat menilai dan menghargai pengalaman berkesenian dan karya seni. Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan berkenaaan dengan pencapaian tujuan tersebut antara lain menyajikan berbagai hasil karya dan pertunjukkan kesenian kepada anak disertai dengan penjelasanpenjelasan. Pendidikan anak usia dini memerlukan pengelolaan sesuai karakteristik anak dan situasi sosial yang kondusif untuk tercapainya keberhasilan belajar anak. Sifat pembelajaran yang kooperatif pada kelompok kecil maupun besar, bertangung jawab, belajar menunggu giliran, bekerja tanpa mengganggu teman, membereskan alat, mengambil keputusan, memilih kegiatan, kesemuanya terjadi tanpa tekanan dan berjalan alamiah. Anak belajar mematuhi aturan yang dibuat bersama dalam kelas, disiplin waktu, cara mendapatkan perhatian guru, cara guru meminta perhatian anak. Anak mengatur manajemen kelas dengan mengatur bahan dan kegiatan kelompok. Ada yang bekerja di meja, di lantai, dengan beragam instruksi untuk banyak kelompok, mengikuti kemajuan setiap anak, fleksibel, statis atau dinamis, kondisi anak saat tidak produktif atau sangat produktif. Hal ini penting untuk tumbuh kembang EQ anak-anak.7 Guru yang mampu mengelola kelas dengan efektif akan membantu anak lebih berhasil. Selain itu juga pelaksanaan perencanaan pembelajaran harus dibuat sesuai dengan perkembangan anak. Karena kemampuan tiap anak tidak sama maka buatlah pengelompokan sesuai dengan kemampuan anak. Guru harus mengetahui perkembangan anak agar dapat memberikan kegiatan sesuai kebutuhan anak. Perkembangan anak meliputi: satu; emosi dan sosial, dua; motorik kasar dan halus, tiga; pengamatan dan ingatan, empat; penglihatan dan pendengaran serta lima; mengekspresikan dan menerima bahasa. Dalam setiap perkembangannya, ada anak yang perkembangannya sangat cepat, sedang dan ada juga yang lamban. Berikan tugas yang berbeda pada setiap anak sesuai kemampuanya. Pada anak yang sudah mahir, persiapkan benda untuk kegiatan menjiplak, kemudian gunting, tempel dan warnai, dan anak harus menyelesaikanya. Pada anak dengan kemampuan sedang, tugas yang diberikan hampir sama dengan yang sudah mahir, dengan
aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549
M. Huliyah
154
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.2, Tahun 2016, Hal. 149-164
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
benda yang sudah disediakan biarkan anak memilih untuk menyelesaikan atau tidak tugas yang diberikan. Sementara anak dengan kemampuan yang kurang persiapkan kertas yang hanya diberi garis lurus yang perlu ia gunting. Tetapi pujian harus sama diberikan kepada mereka. Dengan demikian anak merasa berhasil sesuai tingkat kemampuannya.8 Waktu yang anak butuhkan akan sangat bervariasi. Tidak ada jenjang pendidikan yang sangat kompleks seperti pendidikan anak usia dini. Semuanya dilakukan dengan santai dan tanpa tekanan. Lama waktu belajar anak di sekolah bervariasi antara dua setengah sampai tiga setengah jam tiap hari. Untuk kelompok bermain dapat diadakan tiga hari dalam seminggu. Jadwal di TK sebaiknya antara TK A dan TK B dibuat berlainan, karena mereka berbeda usia berbeda pula perkembangannya. Jika anak di TK A dipaksakan mengikuti program yang sama dengan TK B, maka anak akan sangat tertekan dan dapat berakibat tidak menyukai sekolah. Maka hendaknya jadwal dibuat luwes dan fleksibel supaya anak-anak lebih bebas memilih kegiatan yang diminati dan mampu mengendalikan emosi sehingga memudahkan anak menyesuaikan diri dengan sekolah. Pada waktu meminta perhatian anak sebaiknya guru menggunakan tanda yang tidak terlalu keras, tetapi cukup memberi tanda minta perhatian. Materi pembelajaran untuk pengembangan seni terdiri dari bermacam-macam alat permainan edukatif, misalnya: pasir, air, bangunan berbagai karya seni dan materi kreatifitas lainnya. Materi dikembangkan sesuai kebutuhan anak, dengan demikian interaksi antara guru -materi- anak dapat maksimal. Keluwesan ini dapat membuat anak merasa mampu mengatasi masalah.9 Menurut Sternber, kualitas emosional itu penting bagi keberhasilan berseni, kualitas yang dimaksud adalah kemampuan mengenali perasaannya sendiri ketika perasaan atau emosi itu muncul, dan mampu mengenali emosinya sendiri. Jika memiliki kepekaan yang tinggi atas perasaan akan mampu mengambil keputusan-keputusan secara mantap. Kemampuan mengelola emosi merupakan kemampuan sesorang untuk mengendalikan perasaannya sendiri secara wajar sehingga tidak mempengaruhi prilakunya.10 Menurut Pitcer kemampuan berhubungan sosial sama artinya dengan kemampuan mengelola emosi orang lain.11 Dengan seni akan membantu anak-anak untuk mengerti orang lain dan memberikan kesempatan dalam pergaulan sosial dan perkembangan terhadap emosional mereka. Anak-anak dengan kemampuan ini cenderung mempunyai banyak teman, pandai bergaul. Melalui belajar kelompok dituntut untuk bekerjasama, mengerti orang lain. Anak merupakan pribadi sosial yang memerlukan relasi dan komunikasi dengan orang lain untuk memanusiakan dirinya. Menurut Goleman mengatakan bahwa idealnya seseorang dapat menguasai ketrampilan kognitif sekaligus ketrampilan sosial emosional.12 Melalui bukunya yang terkenal “Emotional Intelligences (EQ)”, memberikan gambaran spektrum kecerdasan, dengan demikian anak bukan hanya cakap dalam bidang masing-masing tetapi juga menjadi sangat ahli.
aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549
M. Huliyah
155
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.2, Tahun 2016, Hal. 149-164
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
Perkembangan Kognitif tidak datang dengan sendirinya. Untuk mendorong pertumbuhan, kurikulum seharusnya disusun berdasarkan taraf perkembangan anak. Serta harus dapat memberikan pengalaman pendidikan yang lebih spesifik, misalnya melalui pendidikan seni di sekolah. Beberapa kegiatan yang biasa dilakukan anak pada saat pembelajaran dalam mengembangkan daya seni, yaitu: Menggambar Kegiatan coret mencoret adalah bagian dari perkembangan motorik anak dan anak sangat menyenangi kegiatan ini, sehingga dengan dorongan guru dan kesempatan yang diberikan anak akan termotivasi membuat gambar. Kegiatan menggambar merupakan salah satu cara manusia mengekspresikan pikiran-pikiran atau perasaan-perasaanya. Dengan kata lain, gambar merupakan salah satu cara manusia mengekspersikan pikiran-pikiran atau perasaan-perasaannya. Dengan kata lain, gambar merupakan salah satu bentuk bahasa. Ada 3 tahap perkembangan anak yang dapat dilihat berdasarkan hasil gambar dan cara anak menggambar: Tahap pertama, mencoret sembarangan. Tahap ini biasanya terjadi pada usia 1-2 tahun. Pada tahap ini anak belum bisa mengendalikan aktivitas motoriknya sehingga coretan yang dibuat masih berupa goresan-goresan tidak menentu seperti benang kusut. Tahap kedua, juga pada usia 2-3 tahun, adalah tahap mencoret terkendali. Pada tahap ini anak mulai menyadari adanya hubungan antara gerakan tangan dengan hasil goresannya. Maka berubahlah goresan menjadi garis panjang, kemudian lingkaran-lingkaran.Tahap ketiga, pada anak usia 3 ½ – 4 tahun, pergelangan tangan anak sudah lebih luwes. Mereka sudah mahir menguasai gerakan tangan sehingga hasil goresannyapun sudah lebih terkendali. Tujuan menggambar bagi anak: 1) mengembangkan kebiasaan pada anak untuk mengekspresikan diri; 2) mengembangkan daya kreativitas; 3) mengembangkan kemampuan berbahasa; 4) mengembangkan citra diri anak. Finger Painting (Lukisan Jari) Kegiatan melukis dengan jari tangan atau biasa dikenal dengan nama finger painting memiliki tujuan sebagai berikut: a) dapat melatih motorik halus pada anak yang melibatkan gerak otot-otot kecil dan kematangan syaraf; b) mengenal konsep warna primer (merah, kuning, biru). Dari warna-warna yang terang kita dapat mengetahui kondisi emosi anak, kegembiraan dan kondisi-kondisi emosi mereka; c) mengenalkan konsep pencampuran warna primer, sehingga menjadi warna yang sekunder dan tersier; d) mengandalkan estetika keindahan warna; e) melatih imajinasi dan kreatifitas anak. Ada beberapa metode atau cara dalam kegiatan finger painting: 1) menggunakan teknik basah (kertas dibasahi dulu); dan 2) menggunakan teknik kering (kertas tidak perlu dibasahi).
aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549
M. Huliyah
156
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.2, Tahun 2016, Hal. 149-164
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
Melukis Melukis pada anak tidak hanya menyenangkan tetapi juga memperoleh berbagai pengalaman. Belajar melukis dapat diberikan pada anak usia 4-6 tahun atau usia TK. Media yang digunakan untuk melukis pada anak usia 4-6 tahun biasanya cat air, cat minyak, finger painting, dan lain-lain. Ketika belajar melukis, anak-anak biasanya belajar sambil bercakap-cakap dengan temannya. Percakapan pertama mereka kebanyakan adalah tentang warna-warna yang mereka gunakan untuk melukis. Sambil bereksperimen dengan mencampurkan warna-warna anakanak itu bermain, bermain dalam kegiatan seni ini dilakukan dengan cara yang santai dan penuh semangat. Kegiatan ini akan membuat mereka mengekspresikan hal yang bersifat pribadi dalam lukisan. Berbeda dengan anak usia 7 dan 8 tahun, ciri khas usia ini adalah mereka melukis dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan hidup mereka sendiri. Anak-anak membuat lukisan tentang suasana hati, baik yang muram, sendu atau bersemangat dan lucu. Biasanya suasana hati mereka disampaikan oleh warna. Warna digunakan untuk membantu dan melengkapi lukisan dalam mengungkapkan ide-idenya. Kolase Kolase dalam pengertian yang paling sederhana adalah penyusunan berbagai macam bahan pada sehelai kertas yang diatur. Anak-anak di kelas biasanya memilih dan mengatur potongan bentuk dari kertas, kain, bahan-bahan berstektur, kemudian meletakkannya di tempat yang mereka suka. Sebagai bagian dari pengalaman mereka dapat membuat keputusan sendiri tentang penggunaan warna, ukuran dan bentuk. Ada beberapa macam kolase yaitu: 1) kolase dengan kertas dan kain; dan 2) kolase dengan tekstur. Mencetak Mencetak dapat dilakukan anak diberbagai usia, dimulai dari anak berusia 5 tahun. Kadang-kadang seorang anak akan menemukan idenya sendiri. Alat cetak yang paling sederhana dapat dibuat dari bahan Styrofoam. Bahan ini selain murah juga tidak berbahaya bagi anak. Menjiplak Sebelum anak melakukan kegiatan mencetak, guru dapat memerintahkan anak didiknya untuk melakukan kegiatan menjiplak pada cetakan yang akan dibuat. Koin-koin biasanya adalah favorit anak. Koin adalah bahan yang sederhana dan mudah sekali didapat. Mereka dapat dengan mudah membuat banyak jiplakan yang berbeda dari obyek-obyek yang ditemukan di sekolah. Ini merupakan cara yang bagus untuk membuat anak-anak peka pada dunia sekitar mereka. Membentuk Kegiatan membentuk dapat dimaksudkan sebagai mengubah, membangun dan mewujudkan. Membentuk dalam kaitan kegiatan seni rupa adalah terjemahan dari kata dalam bahasa Belanda “boetseren” atau bahasa Inggris “modeling”. Umumnya bahan yang
aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549
M. Huliyah
157
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.2, Tahun 2016, Hal. 149-164
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
dipergunakan untuk kegiatan membentuk adalah bahan-bahan lunak seperti tanah liat, plastisin, lilin, playdog dan sejenisnya. Tetapi dalam pengembangannya, selama tidak mengingkari maksud dari arti kata membentuk tadi, dapat dipergunakan bahan-bahan lain seperti kertas, karton atau bahan-bahan lembaran yang sekiranya dapat dibentuk. Tanah liat adalah bahan yang tidak akan pernah membuat anak merasa cukup. Mereka tidak bosan dengan bahan yang lengket, basah dan dapat dibentuk sesuai keinginan mereka. Anak-anak akan menghabiskan hari mereka dengan tanah liat. Mereka suka menyentuh tanah liat, untuk merasakan sensualitasnya. Perkembangan Daya Seni Anak Setiap anak dengan usia yang sama tetapi akan bervariasi perkembangannya. Tahapan perkembangan menggambar sebagaimana telah diidentifikasi oleh Siti Aisyah adalah sebagai berikut:13 Mencoret (scribble). Pada tahap ini anak berlatih mencoret-coret dan menjelajah hubungan antara tanda-tanda di kertas dan media gambar lainnya. Secara garis besar karakteristik tahapan mencoret adalah sebagai berikut: 1) dilakukan oleh anak yang berusia 18 bulan sampai 3 tahun; 2) anak-anak membuat coretan acak dan menjelajah peralatan dengan cara bermaian yang menyenangkan; 3) pada coretan pertama masih belum terkoordinasi dan kemudian pada coretan-coretan selanjutnya mengalami kemajuan menjadi semakin terkoordinasi; 4) anak-anak mencoba memegang pensil dengan tangan kanan atau kiri; 5) anak mampu menunjukkan objek-objek yang telah digambarnya dan menyebutkan itu gambar apa saja; 6) anak belajar mengatakan tentang tanda-tanda, warna, dan sebagainya berdasarkan apa yang telah digambarnya. Tahap Pra-skematik (Pre-schematic Stage). Pada tahap ini anak mampu menjelajah hubungan antara menggambar, berpikir, dan kenyataan. Secara garis besar karakteristik tahap pra-skematik adalah sebagai berikut: 1) dilakukan oleh anak yang berusia 4 – 7 tahun; 2) anak, dalam memilih warna, tidak berdasarkan kenyataan tetapi berdasarkan warna kesukaannya; 3) anak menggambar orang dalam format yang sederhana dengan menonjolkan ciri utama, misalnya mata dan rambut; 4) gambar orang yang dibuat anak seperti kecebong, kepala berukuran besar, badan kecil kurus dan tangan yang panjang; 5) objek yang digambar mengambang, tidak digambar sesuatu di mana objek tadi berada, misalnya tanah, lantai, meja, dan seterusnya; 6) anak menggambar “dengan sinar X”, seolah-olah isi rumah terlihat semua dari luar meskipun ada dindingnya. Misalnya gambar rumah terlihat pula isinya seperti meja-kursi, almari, tempat tidur, dan seterusnya. Tahap Skematik (Schematic Stage). Terdapat kemajuan besar pada tahap ini. Dalam menggambar anak menampilkan garis, warna, dan ruang untuk memperjelas objek yang digambarnya. Karakteristik tahap skematik adalah sebagai berikut: 1) dilakukan oleh anak yang berusia 7-9 tahun; 2) anak sudah memilik skema tentang cara menggambar. Misalnya
aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549
M. Huliyah
158
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.2, Tahun 2016, Hal. 149-164
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
saja pada saat dia menggambar gelas, ia akan menggambar dengan pola yang sama untuk kesempatan yang berbeda; 3) warna yang pilih adalah warna yang realistis, sesuai dengan warna objek yang digambarnya; 4) anak sering menggunakan warna pilihan sebagai dasar pada peniruan pikiran dengan warna yang tepat pada suatu benda seperti biru untuk warna langit dan hijau untuk warna rumput; 5) ketika menggambar pemandangan, anak mengawali dengan membuat garis langit dan garis tanah (batas cakrawala); 6) bila anak menggambar orang, gambar tersebut sudah proporsional (ukuran kepala, badan, tangan, dan seterusnya. kelihatan serasi) dan rinci; 7) anak mulai memahami hubungan antara seni dengan dunia mereka; 8) anak dapat bercerita yang panjang dari apa yang digambarnya. Metode Pengembangan Daya Seni Anak Usia Dini Kegiatan seni pada anak membantu mengembangkan berbagai aspek perkembangan, untuk itu guru harus paham dan memiliki kemampuan seni, sehingga dapat memberikan contoh karya seni yang bernilai bagi anak didiknya. Guru kreatif dapat mendorong pengembangan rasa estetika dalam diri anak-anak dan melibatkannya langsung untuk praktik menjadi tujuan dari metode pengembangan daya seni anak sejak usia dini. Metode pengembangan daya seni anak usia dini disesuaikan dengan karakteristik tahap perkembangan anak dan dapat diintegrasikan dalam kurikulum secara keseluruhan. Metode pengembangan daya seni tersebut harus mencakup: 1) penggunaan reproduksi yang mengekspos karya seni kepada anak-anak; 2) kunjungan ke museum-museum lokal untuk memberikan kesempatan bagi anak untuk dapat mengapresiasi seni; 3) penyediaan akses ke sentra seni dimana anak-anak dapat memilih sendiri topik dan media yang akan digunakan; 4) penampilan karya seni/hasil kerja anak-anak di dalam sebuah galeri kelas/sekolah; dan 5) melibatkan keluarga dalam program pengembangan seni. Untuk mengintegrasikan program pendidikan seni ke dalam kurikulum harus disesuaikan dengan tahapan perkembangan anak, guru ataupun orang tua harus menyadari bahwa anak-anak mengekspresikan ide mereka melalui seni, sama seperti yang mereka lakukan ketika menulis. Guru yang kreatif akan memperoleh cara untuk mendukung pembelajaran anak-anak yang terintegrasi dalam kurikulum melalui kegiatan di mana anak-anak membuat karya seni dan menikmati karya seni orang lain. Unsur-unsur berikut menjadi dasar dari program seni untuk diintegrasikan ke dalam kurikulum sesuai dengan tahapan perkembangan untuk anak usia dini. Menggunakan Produk Hasil Karya Seni Masterpiece Poster dan karya seni yang sederhana dapat dibeli di museum seni yang terkenal atau melalui katalog milik sekolah/guru. Dengan biaya lebih murah karya seni dapat diperoleh dari kalender, alat tulis, majalah, dan surat kabar. Guru dapat menggunakan karya seni
aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549
M. Huliyah
159
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.2, Tahun 2016, Hal. 149-164
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
dengan banyak cara untuk dapat mendukung pembelajaran anak-anak di dalam kelas dan tetap sesuai kurikulum. Hasil karya seni dapat diperoleh di mana saja. Guru dapat menggunakan poster atau iklan, gambar yang menunjukkan jenis kelamin di pintu toilet sekolah atau tempat lain sebagai hasil karya seni. Dan papan buletin/mading dapat digunakan untuk menampilkan hasil karya seni tersebut dengan menyesuaikan tema. Baik dalam pusat-pusat belajar atau tempat-tempat diskusi, karya seni tidak akan menggantikan penggunaan benda nyata atau foto sebagai alat bantu visual, tapi akan memberikan satu cara lain kepada anak-anak untuk melihat dan berpikir tentang konsep yang sedang mereka pelajari. Gambar hasil karya pelukis atau pematung terkenal misalnya dapat membantu anak-anak untuk membuat adanya hubungan "antara realitas dan interpretasi seni seseorang”.14 Perjalanan ke Museum Mengajak anak-anak ke sebuah Museum seni dapat menjadi satu pengalaman yang menantang untuk orang dewasa. Sebenarnya Museum dirancang untuk orang dewasa yang terlibat dalam merefleksikan sesuatu benda seni, bukan untuk anak-anak yang aktif yang ingin mengekspresikan diri. Namun Museum baik untuk anak usia dini untuk mengenal karya seni orang lain dan mengapresiasinya. Dengan sedikit persiapan kunjungan ke Museum bisa dilakukan dan dapat dijadikan pengalaman yang menyenangkan bagi semua, orang dewasa maupun anak-anak. Banyak museum menjadwalkan waktu khusus bagi wisata anak-anak dan kunjungan keluarga. Selama masa ini, staf Museum dan pengunjung lainnya mengharapkan anak-anak untuk mengunjungi, dan mengadakan wisata khusus dan biasanya akan tersedia pemandu dari pihak Museum. Jika anak-anak akan berpartisipasi dalam tur yang direncanakan khusus untuk mereka, maka guru harus memilih beberapa benda seni yang menjadi fokus perhatian selama kunjungan. Karya seni/Artwork seniman dan dipamerkan di Museum dapat ditampilkan dalam kelas atau objek yang berkaitan dengan satu unit yang menggambarkan satu tema tertentu akan sangat menarik bagi anak-anak bila dijelaskan terlebih dahulu. Mereka akan memiliki konteks untuk dipikirkan dan nantinya mereka juga akan membahas apa yang mereka lihat. Karena rentang perhatian/konsentrasi anak-anak sangat singkat, maka dianjurkan kunjungan ke Museum seharusnya dilakukan tidak terlalu lama. Tiga puluh menit cukup untuk anak-anak melihat-lihat hasil karya seni yang sudah dipilih sebelumnya oleh guru, dengan demikian anak tidak akan merasa lelah atau frustrasi dengan berbagai aturan yang ada di Museum. Jika masih ada ada pameran karya seni dari para seniman lainnya di ruang lain bisa dilakukan kunjungan berikutnya dilain hari, agar anakanak tidak terlalu lelah. Pusat Seni / Art Center Pusat seni/Art Center harus dimiliki sekolah, agar anak mendapatkan kesempatan melakukan kegiatan seni secara terpusat di satu tempat. Guru mungkin dapat menyarankan
aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549
M. Huliyah
160
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.2, Tahun 2016, Hal. 149-164
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
sebuah tema untuk karya seni anak, namun diminta untuk tidak memberikan arahan maupun bantuan terlalu banyak yang mengganggu proses kreatif anak. Seperti orang dewasa, anakanak yang tidak dapat mengikuti arahan guru juga akan frustasi, karena pada umumnya anakanak tidak memiliki motorik halus memadai dan keterampilan persepsi visual yang cukup untuk meniru upaya orang dewasa. Sebaliknya, guru dapat mendorong anak untuk merancang dan menyelesaikan proyek-proyek mereka sendiri dengan menekankan bahwa tema yang sama dapat diulang berkali-kali, karena anak-anak senang mengeksplorasi ide-ide dan keterampilan praktik. Terbuka kesempatan buat anak untuk memilih bahan yang akan digunakan seperti cat, krayon, spidol, gunting, lem, tanah liat dan lain-lain. Selain itu adanya dukungan berbagai macam kertas tebal, tipis, berwarna dan sebagainya untuk kegiatan yang berpusat pada anak. Meskipun memiliki banyak pilihan anak-anak dibiasakan untuk membuat pilihan dari dua atau tiga pilihan yang ada, karena ini merupakan cara terbaik bagi anak-anak untuk mempraktikkan pengambilan keputusan. Lowenfeld dan Brittain juga "mengingatkan" para guru untuk tidak mengubah bahan atau memperkenalkan bahan baru ke pusat seni /Art Centre tersebut terlalu sering.15 Anak-anak memerlukan waktu untuk melatih dan mengembangkan keterampilan dengan bahan yang ada sebelumnya, jika mereka menggunakannya untuk mengekspresikan ide dan perasaan mereka. Akhirnya, perlu dicatat disini bahwa proses kreatif membutuhkan waktu. Meskipun beberapa anak akan menyelesaikan karya mereka dalam waktu singkat, anak yang lain akan membutuhkan jangka waktu lebih lama untuk merancang dan membuat proyek-proyek mereka. Desain dari pusat seni /art center dan jadwal kelas harus mendorong anak-anak untuk kembali ke proyek mereka dan bekerja sampai mereka memutuskan kapan proyek itu harus selesai.16 Menampilkan Hasil Karya Seni Anak di Galeri Kelas/Sekolah Sebuah galeri seni anak-anak di kelas sangat dibutuhkan sebagai tempat untuk memajang karya seni anak dan menunjukkan hasil pekerjaan anak-anak itu sendiri yang bisa dinikmati pengunjung kelas. Sebuah papan buletin besar atau majalah dinding menyediakan latar bagi galeri. Anak-anak harus bertanggung jawab dalam pemasangan hasil karya mereka dan memilih penempatannya dalam galeri. Label, termasuk judul untuk nama, karya seniman, menengah, dan tahun penciptaan, dapat ditentukan dan akan memberikan pengalaman yang bermakna bila ditulis dengan huruf cetak. Anak-anak juga dapat dijadikan sebagai tutor dan sekaligus dosen seni atau pemandu kepada pengunjung yang datang pada pagelaran seni di galeri tersebut. Melibatkan Keluarga dalam Mengembangkan Seni anak Usia Dini Membuat keluarga terlibat dalam pengembangan seni anak di kelas menjadi tanggung jawab bagi guru anak usia dini. Menjelaskan kepada keluarga tentang manfaat seni dalam kurikulum dan kegiatan pembelajaran anak akan mendorong keluarga mendukung pembelajaran seni untuk anak. Keterlibatan keluarga dapat dilakukan melalui beberapa cara.
aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549
M. Huliyah
161
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.2, Tahun 2016, Hal. 149-164
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
Mengajak keluarga berkunjung ke Museum atau pada kegiatan seni di sekolah kemudian berikan kesempatan untuk berbagi pengalaman dan berdiskusi antara anak dan orang tuanya.Guru dapat menyarankan kegiatan seni untuk dilakukan bersama antara anak dan orang tua di rumahnya. Kegiatan ini bersifat opsional dan guru bertugas menyediakan bahanbahan yang mungkin diperlukan berikut penjelasan atau petunjuk kegiatanya. Merek menyarankan adanya buku kegiatan seni yang menghubungkan antara anak dan orang tua yang memang memiliki tingkat keterampilan berbeda agar merasa nyaman dalam mengerjakan kegiatan seni bersama anak-anak mereka di rumah nantinya.17 Sebagai contoh, setelah membaca buku cerita misalnya, anak-anak dan orang tua mungkin dapat bekerja sama untuk menciptakan sebuah kolase yang menggambarkan cerita dalam buku cerita yang dibaca untuk dikerjakan bersama-sama antara orang tua dan anak dengan menggunakan bahan-bahan yang dapat ditemukan di rumah dan atau disediakan oleh guru. Selain itu "Kotak Seniman" (tempat penyimpanan perlengkapan seni) untuk digunakan anak-anak di rumah adalah cara lain untuk melibatkan keluarga dalam kegiatan seni di kelas. Empat sampai lima kotak, masing-masing berisi satu media seperti cat dan tanah liat kertas atau model, disediakan untuk anak dan dimainkan bersama-sama keluarga. Tujuan adanya “kotak seniman” berfungsi untuk mendorong penggunaan bahan kreatif di rumah sama seperti yang digunakan di sekolah. Penutup Setiap orang mempunyai naluri seni, walaupun kadarnya berbeda-beda. Dalam kehidupan, seni digunakan sebagai alat dan penunjang untuk menyempurnakan pekerjaannya. Seni dapat digunakan sebagai alat terapi, mengungkapkan perasaan dan berkomunikasi. Jiwa seni seseorang hadir sejak ia dilahirkan walaupun kualitas dari jiwa seni setiap orang tidak sama. Kegiatan seni pada anak membantu mengembangkan berbagai aspek perkembangan, untuk itu guru harus paham dan memiliki kemampuan seni, sehingga dapat memberikan contoh karya seni yang bernilai bagi anak didiknya. Guru kreatif dapat mendorong pengembangan rasa estetika dalam diri anak-anak dan melibatkannya langsung untuk praktik menjadi tujuan dari metode pengembangan daya seni anak sejak usia dini. Metode pengembangan daya seni anak usia dini disesuaikan dengan karakteristik tahap perkembangan anak dan dapat diintegrasikan dalam kurikulum secara keseluruhan Catatan Akhir 1
Kamii dan DeVries, 1993. Feeney & Moravcik, 1987. 3 de la Roche, 1996. 4 Koster, 1997. 2
aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549
M. Huliyah
162
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.2, Tahun 2016, Hal. 149-164
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
5
Koster, 1997. Direktoran Pembinaan TK dan SD, 2007, p.5-6. 7 Berliner dalam Tolopan, 1978. 8 Fisher dalam Tolopan, 1991. 9 Berliner dalam Tolopan, 1978. 10 Sternberg, Saloveri dalam Tolopan, 1997. 11 Pitcer, 1982. 12 Goleman, 1995. 13 Siti Aisyah, 2007, p.7.5-7.6. 14 Dighe, Calomiris, & Van Zutphen, 1998, p.5. 15 Lowenfeld dan Brittain, 1975. 16 Edwards & Nabors, 1993. 17 Merek, 1996. 6
Daftar Pustaka Aisyah, Siti dkk. Perkembangan dan Konsep Dasar Pengembangan Anak Usia Dini. Jakarta: Universitas Terbuka, 2007. Brand, S. “Making Parent Involvement a Reality: Helping Teachers Develop Partnerships with Parents.” Young Children 51.2 (1996): 76-81. De la Roche, E. “Snowflakes: Developing Meaningful Art Experiences for Young Children.” Young Children 51.2 (1996): 82-83. Dighe, J., Calomiris, Z., & Van Zutphen, C. “Nurturing the Language of Art In Children.” Young Children 53.1 (1998): 4-9. Direktorat Pembinaan TK dan SD. Pedoman Pembelajaran Bidang Pengembangan Bahasa di Taman Kanak-Kanak. Jakarta: Kemendiknas, 2007. Direktorat Pembinaan TK dan SD. Pedoman Pembelajaran Seni di Taman Kanak-kanak. Jakarta: Kemendiknas, 2010. Edwards, L.C., & Nabors, M.L. “The Creative Arts Process: What it is and What it is Not.” Dimensions 48.3 (1993): 77-81. Feeney, S., & Moravcik, E. “A Thing of Beauty: Aesthetic Development in Young Children.” Young Children 42.6 (1987): 7-15. Froebel, F. The Education of Man (W.N. Hailmann, Trans.). Clifton, NJ: A.M. Kelley, 1974. (Original Work Published 1826.) Kamii, C., & DeVries, R. Physical knowledge in preschool education. New York: Teachers College Press, 1993. Klein, B. The hidden dimensions of art. In J.D. Quisenberry, E.A. Eddowes, & S.L. Robinson (Eds.). Readings from Childhood Education. Wheaton, MD: Association of Childhood Education International, (1991): 84-89. Koster, J.B. Growing Artists: Teaching Art to Young Children. Albany, NY: Delmar, 1997. Lowenfeld, V., & Brittain, W.L. Creative and Mental Growth. New York: Macmillan, 1975. Masitoh dkk. Strategi Pembelajaran TK. Jakarta: 2005.
aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549
M. Huliyah
163
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.2, Tahun 2016, Hal. 149-164
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
Pane, Eli Tohonan Tua. “Implementasi Pengembangan Bahasa Anak Usia Dini.” (2009). Tersedia pada: http://www.bpplsp-reg-1.go.id/buletin/. Diakses pada tanggal 5 Juni 2011. Sautter, R.C. An Arts Education Reform Strategy. Phi Delta Kappan 75.6 (1994): 433-440. Seefeldt, Carol dan Wasik Barbara A. Pendidikan Anak Usia Dini: Menyiapkan Anak Usia Tiga, Empat, dan Lima Tahun Masuk Sekolah. (Penterjemah: Pius Nasar). Jakarta: PT Indeks, 2008.
aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549
M. Huliyah
164
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.2, Tahun 2016, Hal. 165-176
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
PENGEMBANGAN KOMPETENSI PROFESIONAL GURU PENDIDIKAN ANAK USIA DINI MELALUI PEMBERDAYAAN ORGANISASI HIMPAUDI DI KECAMATAN SERANG Nuryati Dosen Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, IAIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten Email:
[email protected]
Abstract This research is aimed to find out: 1) working programs in the HIMPAUDI organization in Serang Subdistrict, 2) How to develop PGPAUD teacher competencies, 3) Some obstacles which faced by HIMPAUDI, and 4) whether through empowerment of HIMPAUDI in Serang Subdistrict can develop teacher professional competency. This research is conducted at secretariat office of HIMPAUDI in Serang Subdistrict by involving chairwoman of HIMPAUDI of Serang Subdistrict, a headmaster of PAUD Al-Athfal and all teacher, a headmaster of KOBER NUN and a teacher, a headmaster of PAUD Nurrohman Banten and a teacher. They are as informants of this research. This research used qualitative method by describing working analysis and job activities. Meanwhile, for data collecting technique, this research used observation, interview, and documentation. Moreover, the result of this research shows that: 1) working program of HIMPAUDI is classified into three sectors namely: First, organization sector involves working mechanism of HIMPAUDI and institution reinforcement of HIMPAUDI. Second, research and development sector involves education and training of operator, teacher, and staff of PAUD. Third, public relations sector involves socializing, promoting PAUD and HIMPAUDI as well as publishing and disseminating guideline, reading, and reference of PAUD. 2) to develop PAUD teacher professional competencies, HIMPAUDI creates working program by providing scholarship program and package of school for PAUD teachers who have been completed undergraduate program. This program cooperates with state university. 3) There are some obstacles which faced by HIMPAUDI among others are the limitation number of PGPAUD teachers and qualities, some of PGPAUD teachers have no qualification in accordance with PP No.19 tahun 2005 about education national standard which states that a PAUD teacher must has Undergraduate certificate or D4. 4) through empowerment of HIMPAUDI in one organization which has vision, mission, and objective by providing seminar, training, and workshop which enable PAUD teachers to improve their quality and teacher professional competencies. Keywords: Professional Competencies, Empowerment of HIMPAUDI
aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549
Nuryati
165
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.2, Tahun 2016, Hal. 165-176
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
Abstrak Penelitian bertujuan untuk mengetahui: 1) Program kerja di organisasi HIMPAUDI Kecamatan Serang, 2) Bagaimana cara mengembangkan kompetensi profesional guru anak usia dini, 3) Hambatan yang dihadapi oleh organisasi HIMPAUDI, 4) Apakah melalui pemberdayaan organisasi HIMPAUDI Kecamatan Serang dapat mengembangkan kompetensi profesional guru. Penelitian dilaksanakan di kantor sekretariat organisasi HIMPAUDI Kecamatan Serang melalui Ibu ketua HIMPAUDI Kecamatan Serang, PAUD AL-Athfal dengan 1 kepala sekolah dan seluruh guru, KOBER NUN dengan 1 kepala sekolah dan 1 guru serta PAUD Nurrohman Banten Kota Serang dengan 1 kepala sekolah dan 1 guru. Semuanya informan dalam penelitian ini. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang juga melakukan analisis kerja dan aktivitas job yang merupakan penelitian dengan menggunakan metode deskriptif. Proses pengumpulan data menggunakan observasi wawancara dan dokumentasi sekolah baik berupa dokumen tertulis serta photo sebagai data penunjang hasil observasi dan wawancara. Hasil penelitian menunjukan bahwa: 1) Program kerja HIMPAUDI ada tiga bidang yaitu bidang organisasi meliputi mekanisme kerja HIMPAUDI dan penguatan kelembagaan HIMPAUDI, bidang litbang ada pendidikan dan pelatihan tenaga penyelenggara, pendidik dan tenaga kependidikan PAUD, bidang humas dengan sosialisasi, promosi PAUD, promosi HIMPAUDI, penerbitan dan penyebaran pedoman, bacaan dan referensi PAUD, 2) Untuk membantu mengembangkan kompetensi profesional guru anak usia dini, HIMPAUDI membuat program kerja dengan mengadakan program beasiswa dan sekolah paket bagi guru PAUD yang masih lulusan SMP dan SMA. Bekerjasama dengan perguruan tinggi yang menyelenggarakan program pendidikan anak usia dini, 3) Ada beberapa hambatan yang dihadapi diantaranya masih terbatasnya jumlah dan kualitas tenaga pendidik PAUD pada umumnya belum sesuai dengan kualifikasi, SDM pendidik dan tenaga kependidikan kurang menunjang ditambah latar belakang pendidikan tenaga pendidik PAUD sangat heterogen, sedangkan menurut PP No.19 tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan menetapkan pendidik PAUD minimal D4, 4) Melalui pemberdayaan organisasi HIMPAUDI dalam suatu wadah organisasi yang mempunyai visi, misi dan tujuan bersama dengan adanya penataran, pelatihan, workshop yang dapat meningkatkan kualitas mengajar mereka dalam mengembangkan kompetensi profesional guru AUD. Kata Kunci: Kompetensi Profesional, Pemberdayaan Organisasi HIMPAUDI
Pendahuluan Pendidikan yang bermutu merupakan prasyarat untuk meningkatkan kualitas hidup dan produktivitas bangsa di era global. Pendidikan yang bermutu memerlukan proses yang panjang, harus dimulai sejak usia dini karena pada masa ini merupakan usia emas (Golden Age) dan pada usia ini kesempatan yang baik untuk mengembangkan semua potensi anak. Pendidikan adalah suatu proses dalam rangka mempengaruhi peserta didik supaya mampu menyesuaikan diri sebaik mungkin dengan lingkungannya, dan dengan demikian akan menimbulkan perubahan dalam dirinya yang memungkinkannya untuk berfungsi secara adekwat dalam kehidupan masyarakat. Pengajaran bertugas mengarahkan proses ini agar sasaran dari perubahan itu dapat tercapai sebagaimana yang diinginkannya.1
aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549
Nuryati
166
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.2, Tahun 2016, Hal. 165-176
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
Hal tersebut sejalan dengan tujuan Pendidikan Nasional yaitu mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, beraklak mulia, berilmu, cakap, kreatif dan mandiri serta menjadi warga negara yang bertanggang jawab.2 Selanjutnya dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa Pendidikan Anak Usia Dini atau PAUD merupakan bagian integral yang saat ini makin mendapatkan perhatian dari pemerintah. Bukan saja karena makin tidak adanya kesempatan atau kemampuan orang tua untuk mendidik anak-anaknya melainkan karena adanya kesadaran baru bahwa pengembangan potensi kecerdasan seseorang hanya bisa optimal apabila diberikan sejak dini. Oleh karena itu, pemberian teladan atau contoh yang baik merupakan hal yang penting dalam mendidik anak usia dini. Makanya diperlukan seorang pendidik atau guru yang memiliki kompetensi keilmuan sesuai dengan bidangnya. Salah satu komponen penting dalam pendidikan adalah guru. Karena guru dalam konteks pendidikan mempunyai peranan yang besar dan strategis. Hal ini disebabkan gurulah yang berada di barisan terdepan dalam pelaksanaan pendidikan. Gurulah yang langsung berhadapan dengan peserta didik untuk mentransfer ilmu pengetahuan dan teknologi sekaligus mendidik dengan nilai-nilai positif melalui bimbingan dan keteladanan.3 Menjadi pendidik pada lembaga Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) tidaklah mudah, bahkan paling sulit di antara jenjang pendidikan lainnya. Selain harus memiliki rasa sayang yang besar pada anak, dan personalitas yang baik, menarik dan enerjik, ia juga harus menguasai Ilmu Pendidikan, Ilmu Psikologi Perkembangan Anak, serta konsep-konsep dasar pengembangannya. Selain itu, pendidik juga harus menguasai pengelolaan kegiatan pengembangan pada lembaga PAUD. Agar dapat menguasai kompetensi tersebut, seorang pendidik PAUD harus senantiasa menambah pengetahuan dan wawasan mengenai perkembangan anak usia dini dan sekaligus juga berlatih secara sistematis bagaimana pengembangannya. Karena dalam kenyataannya masih banyak guru yang hanya berpendidikan SMA dan sederajat,4 sehingga banyak masalah timbul di lapangan dan tidak dapat menyelesaikannya dengan baik terutama dalam hal pertumbuhan dan perkembangan peserta didik. Salah satu contoh permasalahan yang terjadi di Pendidikan Anak Usia Dini adalah pemahaman guru dalam mengembangkan kurikulum dan aplikasinya di kelas masih kurang dalam memilih metode mengajar yang sesuai dengan perkembangan dan pertumbuhan anak masih belum tepat, belum menguasai materi dan kegiatan mengajar tidak sesuai program, tidak mempersiapkan alat peraga yang akan digunakan dalam pembelajaran, evaluasi dan penilaian terkadang dilupakan. Untuk itu setiap guru diwajibkan untuk masuk menjadi anggota organisasi HIMPAUDI yang di dalamnya ada pendidikan serta pelatihan. Melalui pemberdayaan
aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549
Nuryati
167
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.2, Tahun 2016, Hal. 165-176
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
organisasi tersebut dapat mengembangkan kompetensi profesional guru yang diharapkan.Sehingga dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar di kelas mencapai indikator-indikator yang sudah ditentukan sebelumnya. Untuk membuktikannya, maka peneliti mengangkat masalah ini untuk diteliti secara mendalam. Pengembangan Kompetensi Profesional Guru Pengembangan dalam arti yang sangat sederhana adalah suatu proses, atau cara pembuatan. Sedangkan menurut Iskandar Wiryokusumo dalam Kunandar berpendapat bahwa pengembangan adalah upaya pendidikan baik formal maupun non formal yang dilaksanakan secara sadar, berencana, terarah, teratur, bertanggung jawab dalam rangka memperkenalkan, menumbuhkan, membimbing, dan mengembangkan suatu dasar kepribadian yang seimbang, utuh dan selaras, pengetahuan dan ketrampilan sesuai dengan bakat, keinginan serta kemampuan-kemampuannya sebagai bekal untuk selanjutnya atas prakarsa sendiri menambah, meningkatkan dan mengembangkan dirinya, sesama, maupun lingkungannya ke arah tercapainya martabat, mutu dan kemampuan manusiawi yang optimal dan pribadi yang mandiri.5 Pengembangan organisasi meliputi perubahan yang sengaja direncanakan.6 Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa pengembangan bila dikaitkan dengan pendidikan berarti suatu proses perubahan secara bertahap kearah tingkat yang berkecenderungan sangat tinggi, meluas dan mendalam yang secara menyeluruh dapat tercipta suatu kesempurnaan atau kematangan dalam pengembangan kompetensi profesional guru anak usia dini. Tujuan dan Fungsi Pengembangan Profesional Guru Pengembangan profesional guru dimaksudkan untuk memenuhitiga kebutuhan yang memiliki banyak keragaman yang jelas, tetapi banyak kesamaan diantaranya:Kebutuhan sosial untuk meningkatkan kemampuan sistem pendidikan yang efesien dan manusiawi, serta melakukan adaptasi untuk penyusunan kebutuhan-kebutuhan social, kebutuhan untuk menemukan cara-cara untuk membantu staf pendidikan dalam rangka mengembangkan dirinya secara luas, kebutuhan untuk mengembangkan dan mendorong keinginan guru untuk menikmati dan mendorong kehidupan pribadinya.7 Kompetensi Kompetensi menurut Usman dalam Kunandar bahwa kompetensi adalah suatu hal yang menggambarkan kualifikasi atau kemampuan seseorang, baik yang kualitatif maupun yang kuantitatif. Pengertian ini mengandung makna bahwa kompetensi itu dapat digunakan dalam dua konteks, yakni: pertama, sebagai indikator kemampuan yang menunjukkan kepada perbuatan yang diamati. Kedua, sebagai konsep yang mencakup aspek-aspek kognitif, afektif dan perbuatan serta tahap-tahap pelaksanaannya secara utuh.8
aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549
Nuryati
168
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.2, Tahun 2016, Hal. 165-176
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
Sedangkan Roestiyah N.K. dalam Kunandar mengartikan kompetensi yang dikutipnya dari pendapat W. Robert Houston sebagai suatu tugas memadai atau pemilikan pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan yang dituntut oleh jabatan tertentu. 9 Sementara itu, Piet dan Ida Sehartian dalam buku Sudarmawan Danim berpendapat bahwa kompetensi yaitu kemampuan melaksanakan sesuatu yang diperoleh melalui dan pelatihan yang bersifat kognitif, afektif, dan performen.10 Kompetensi juga dapat diartikan sebagai pengetahuan, keterampilan dan kemampuan yang dikuasai seseorang yang telah menjadi bagian dari dirinya sehingga ia dapat melakukan prilaku-prilaku kognitif, afektif, psikomotorik dengan sebaik-baiknya. Sementara itu, menurut Finch dan Crunkilton dalam Sudarmawan Danim kompetensi adalah suatu penguasaan terhadap suatu tugas, keterampilan, sikap dan apresiasi yang diperlukan untuk menunjang keberhasilan.11 Sementara itu, menurut Kepmendiknas 045/U/2002 adalah: seperangkat tindakan cerdas, penuh tanggung jawab yang dimiliki seseorang sebagai syarat untuk dianggap mampu dalam masyarakat dalam melaksanakan tugas-tugas di bidang pekerjaan tertentu.12 Profesional Profesionalisme berasal dari kata profesi yang artinya suatu bidang pekerjaan yang ingin atau akan ditekuni oleh seseorang. Profesi juga diartikan sebagai suatu jabatan atau pekerjaan tertentu yang mensyaratkan pengetahuan dan keterampilan khusus yang diperoleh dari pendidikan akademis yang insentif. Jadi profesi adalah suatu pekerjaan atau jabatan yang menuntut keahlian tertentu. Artinya suatu pekerjaan atau jabatan yang disebut profesi tidak dapat dipegang oleh sembarang orang, tetapi sangat memerlukan persiapan melalui pendidikan dan pelatihan secara khusus.13 Profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.14 Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa profesionalisme guru merupakan kondisi, arah, tujuan dan kualitas suatu keahlian dan kewenangan dalam bidang pendidikan dan pengajaran yang berkaitan dengan pekerjaan seseorang yang menjadi mata pencaharian. Sementara itu, guru yang profesional adalah guru yang memiliki kompetensi dan keahlian khusus dalam bidang keguruan yang dipersyaratkan sehingga ia mampu melakukan tugas pendidikan dan pengajaran serta fungsinya sebagai guru dengan kemampuan maksimal. Kompetensi Profesional Guru Pendidikan Anak Usia Dini Kompetensi yang harus dimiliki oleh setiap guru berdasarkan PPNomor 74 Tahun 2008 tersebut adalah kompetensi guru sebagaimana meliputi kompetensi pedagogik,
aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549
Nuryati
169
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.2, Tahun 2016, Hal. 165-176
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi.Keempat bidang kompetensi di atas tidak berdiri sendiri-sendiri, melainkan saling berhubungan dan saling mempengaruhi satu sama lain dan mempunyai hubungan hirarkis, artinya saling mendasari satu sama lainnya atau kompetensi yang satu mendasari kompetensi yang lainnya. Sedangkan aspek-aspek yang menjadi bagian dari keempat kompetensi tersebut, yang sekaligus menjadi indikator yang harus dicapai oleh setiap guru, sebagaimana tertuang dalam PP Nomor 74 Tahun 2008.Pentingnya kompetensi guru juga adalah sebagai alat seleksi penerimaan guru, penting dalam rangka pembinaan guru, penting dalam rangka penyusunan kurikulum, dan penting dalam hubungan dengan kegiatan dan hasil belajar siswa.15 Pemberdayaan Organisasi HIMPAUDI Memberdayakan orang berarti mendorong mereka menjadi lebih terlibatdalam keputusan dan aktivitas yang mempengaruhi pekerjaan mereka.Pemberdayaan merupakan perubahan yang terjadi pada falsafah manajemen yang dapat membantu menciptakan suatu lingkungan dimana setiap individu dapat menggunakan kemampuan dan energinya untuk meraih tujuan organisasi. Pengertian pemberdayaan adalah menempatkan pekerja bertanggung jawab atas apa yang mereka kerjakan, sehingga para manager belajar untuk berhenti mengontrol dan pekerja belajar bagaimana bertanggung jawab atas pekerjaanya dan bisa membuat keputusan yang tepat. Dengan demikian berarti memberi kesempatan bagi mereka untuk menunjukkan bahwa mereka dapat memberikan gagasan baik dan mempunyai keterampilan mewujudkan gagasannya menjadi realitas. Pengertian lain menyatakan pemberdayaan adalah setiap proses yang memberikan otonomi yang lebih besar kepada pekerja melalui saling menukar informasi yang relevan dan ketentuan tentang pengawasan atas faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi kerja. Pemberdayaan merupakan kontinum antara keadaan pekerja yang tidak mempunyai kekuatan untuk mempertimbangkan bagaimana mengerjakan pekerja, sampai dengan keadaan dimana pekerja memiliki kontrol sepenuhnya atas apa yang mereka kerjakan dan bagaimana mengerjakannnya. Organisasi HIMPAUDI Organizing berasal dari kata “organism” yang berarti menciptakan struktur dengan bagian-bagian yang diintegrasikan sedemikian rupa, sehingga hubungannya satu sama lain terikat oleh hubungan terhadap keseluruhannya. Organisasi hanya merupakan dan wadah tempat manajer melakukan kegiatan-kegiatannya untuk mencapai tujuan yang diinginkannya.16 Organisasi adalah suatu bentuk kelompok individu-individu dengan struktur dan tujuan tertentu.Individu membentuk kelompok, selanjutnya membentuk suatu organisasi. Sedangkan kelompok atau group adalah dua atau lebih individu yang berinteraksi dengan satu
aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549
Nuryati
170
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.2, Tahun 2016, Hal. 165-176
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
sama lain dalam hal–hal tertentu dimana perilaku dan atau prestasi satu anggota dipengaruhi oleh perilaku dan atau prestasi anggota lain.17 Dapat diartikan organisasi adalah sebuah wadah atau tempat berkumpulnya orang-orang untuk melakukan berbagai kegiatan. Landasan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) berlandaskan pada: UUD 1945 Amandemen UUD 1945, UU No.4 tahun 1979, tentang Kesejahteraan Anak, UU No 23 tahun 2002, tentang Perlindungan Anak, UU No 20 tahun 2003, tentang Sisdiknas.18 Landasan Filosofis, tujuan Pendidikan tidak akan tercapai jika tidak ditunjang oleh: Tenaga pendidik yang berkualitas, beriman, bertaqwa dan professional, sarana dan prasarana yang memadai, lembaga atau organisasi profesi sebagai wadah peningkatan profesionalisme tenaga pendidik dan kependidikan dalam rangka menunjang tugas dan fungsinya.19 Maksud dari organisasi ini menghimpun Pendidik dan Tenaga Kependidikan AUD untuk bersama-sama berusaha secara berdaya guna dan berhasil guna. Sedangkan fungsinya adalah Mempersatukan para pendidik dan tenaga kependidikan AUD Indonesia dan meningkatkan kualitas pendidikan AUD (Anggaran Dasar),20 tujuan HIMPAUDI yaitu menampung, memperjuangkan, serta mewujudkan aspirasi, para penyelenggara, pendidik dan tenaga kependidikan PAUD yang menjadi anggotanya, meningkatkan profesionalisme dalam pelaksanaan PAUD, sebagai sarana untuk pengembangan profesi pendidik dan tenaga kependidikan, membantu AUD untuk pertumbuhan dan perkembangannya secara optimal, mensosialisasikan pentingnya PAUD yang berkualitas kepada semua lapisan masyarakat, menyiapkan generasi yang berkualitas untuk membangun bangsa dan negara, mengupayakan kesejahteraan para pendidik PAUD, dan melindungi hak-hak para pendidik PAUD.21 Program Kerja organisasi HIMPAUDI adalah sosialisasi dan promosi PAUD dan HIMPAUDI, pendidikan dan pelatihan tenaga penyelenggara, pendidik dan tenaga kependidikan PAUD, penguatan kelembagaan HIMPAUDI dan mekanisme kerjanya, penerbitan dan penyebaran pedoman, bacaan, dan referensi PAUD, Pembinaan pelaksanaan PAUD, pemberdayaan semua potensi yang ada di masyarakat (SDM, sarana prasarana, program layanan), penelitian dan pengkajian permasalahan dalam PAUD,membuka networking dengan berbagai pihak, khususnya organisasi profesi,m embuat database anggota HIMPAUDI, dan mendata tenaga pamong PAUD. Organisasi HIMPAUDI Penting karena ada beberapa tantangan yang dihadapi yaitu:Masih terbatasnya jumlah dan kualitas tenaga pendidik PAUD dan pada umumnya belum sesuai dengan kualifikasi dan kompetensi, lembaga PAUD terus bertambah dan berkembang, sementara SDM pendidik dan tenaga kependidikan kurang menunjang dengan perkembangan tersebut, latar belakang pendidikan tenaga pendidik PAUD sangat heterogen, sedang Peraturan Pemerintah tentang standar nasional pendidikan tahun 2005, menetapkan pendidikan PAUD minimal jenjang D4, tingkat kesejahteraan belum
aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549
Nuryati
171
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.2, Tahun 2016, Hal. 165-176
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
memperoleh perhatian yang serius (belum ada tenaga pendidik PAUD yang PNS pada jalur non-formal), belum adanya wadah yang secara khusus memberikan perlindungan dan pembinaan bagi tenaga pendidik PAUD.22 Tantangan PAUD masih rendahnya layanan pendidikan bagi anak usia dini, masih terbatasnya lembaga layanan PAUD dan sebagian besar berada di daerah perkotaan, program layanan PAUD yang ada pada umumnya baru memberi perhatian bagi anak usia 4-5 tahun, masih terbatasnya jumlah dan kualitas dan tenaga pendidik PAUD dan pada umumnya belum sesuai dengan kualifikasi, masih terbatasnya dukungan pemerintah pusat dan daerah guna mendukung peningkatan akses dan mutu layanan PAUD, masih terbatasnya jalinan kerjasama atau kemitraan antar berbagai lembaga, organisasi dan masyarakat dalam upaya peningkatan akses dan mutu layanan PAUD, pembinaan program PAUD oleh masing-masing lembaga atau organisasi masih bersifat parsial dan belum dilaksanakan secara berkala, belum adanya wadah yang secara khusus melakukan pembinaan terhadap tenaga pendidik PAUD jalur nonformal, masih terbatasnya pemanfaatan berbagai sarana dan prasarana yang ada untuk mengoptimalkan layanan PAUD, khususnya bagi anak usia 0-4 tahun, dan belum tersosialisasinya PAUD secara meluas ke seluruh lapisan masyarakat tentang pentingnya PAUD.23 Melalui pemberdayaan organisasi HIMPAUDI, dalam suatu wadah organisasi dengan sekelompok orang-orang yang mempunyai visi, misi dan tujuan bersama melaksanakan program-program kegiatan di dalam organisasi HIMPAUDI yang sangat berdaya guna dan berhasil guna bagi guru misalnya adanya penataran, pelatihan, workshop-workshop yang dapat meningkatkan kualitas mengajar mereka dalam mengembangkan kompetensi profesional guru AUD. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif, yaitu menggambarkan atau memaparkan fakta di lapangan berdasarkan informan, penelitian kualitatif bersifat atau memiliki karakteristik yang mana datanya dinyatakaan dalam keadaan sewajarnya atau sebagaimana adanya (natural setting), dengan tidak diubah menggunakan bentuk-bentuk atau simbol bilangan.24 Pada penelitian ini juga melakukan analisis kerja dan aktivitas (job and activity analysis) yang merupakan penelitian dengan menggunakan metode deskriptif. Penelitian ini ditujukan untuk menyelidiki aktivitas dan pekerjaan manusia, dan hasil penelitian tersebut dapat memberikan rekomendasi- rekomendasi untuk keperluan masa yang akan datang.25 Teknik pengumpulan data menggunakan teknik observasi partisipatif, wawancara terstruktur, dan dokumentasi. Analisis data penelitian menggunakan model Miles Huberman yang terdiri dari tiga langkah yaitu: reduksi data, penyajian data (display data), dan kesimpulan (verification).
aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549
Nuryati
172
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.2, Tahun 2016, Hal. 165-176
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
Hasil dan Pembahasan Menurut hasil wawancara dengan semua guru di tiga sekolah anggota organisasi HIMPAUDI Kecamatan Serang yang diteliti dapat disimpulkan bahwa dari seluruh guru yang ada di PAUD Al-Atfhal hasilnya adalah: guru dapat menggunakan komputer atau laptop dengan baik sebagai sarana belajar sehingga dapat memanfaatkan teknologi informasi komunikasi untuk berkomunikasi dan ateri pembelajaran, menguasai standar kompetensi atau bidang pengembangan, mampu mengembangkan materi pembelajaran yang diampu secara kreatif, dan mengg mengembangkan diri, kualifikasi pendidikan sudah sesuai dengan bidang yang ditekuni, aktif mengikuti pelatihan, seminar, workshop-workshop yang diselenggarakan oleh organisasi HIMPAUDI demi pengembangan kompetensi profesional guru dan dapat merasakan manfaatnya dengan aktif mengikuti pemberdayaan organisasi HIMPAUDI misal lebih kreatif dalam memberikan pengajaran, memilih metode yang tepat dan dapat berprestasi mengembangkan kompetensi profesionalnya dengan baik. Selanjutnya guru di KOBER NUN hasilnya adalah: dalam peenguasaan materi pembelajaran sudah cukup baik, menguasai standar kompetensi atau bidang pengembangan serta mengembangkan materi pembelajaran yang diampu secara kreatif sudah cukup baik hanya belum lancar menggunakan komputer atau laptop dengan baik sebagai sarana belajar sehingga dapat memanfaatkan teknologi informasi komunikasi untuk berkomunikasi dan mengembangkan diri, kualifikasi pendidikan sudah sesuai dengan bidang yang ditekuni walau baru satu orang guru, tetapi yang dua orang lagi termasuk pengelola, sekarang sedang mengambil SI PAUD di Universitas Muhammadiyah Jakarta. Sebenarnya semua tutor sangat ingin aktif di organisasi HIMPAUDI, tetapi terkadang banyak terhambat oleh yayasan dan pengelola juga selalu ikut membatasi dengan alasan jangan banyak pengeluaran dan ikut yang penting-penting saja. Maka dalam organisasi pun kadang-kadang saja, tetapi tutornya terkadang selalu mencari informasi kepada teman-teman tutor lainnya jadi sedikit dapat juga informasi walaupun terbatas.Keinginan untuk menjadi guru yang profesional itu ada tetapi terkadang terbawa hanya untuk menunaikan kewajiban saja.Dan hasilnya pun dalam memberikan pembelajaran di sekolah kepada anak-anak, hanya sebatas pengalaman dan sepengetahuan gurunya belum terlalu maksimal. Sedangkan untuk PAUD Nurrohman Banten hasilnya adalah: dalam melaksanakan tugas demi pengembangan kompetensi profesional kurang berhasil dengan baik, kadang masih bingung seperti halnya dalam mengembangkan kurikulum atau silabus, membuat rencana mingguan tidak ada sehingga rencana harian seadanya, tidak menguasai materi pembelajaran, tidak mengerti standar kompetensi atau bidang pengembangan serta tidak mampu mengembangkan materi pembelajaran yang diampu secara kreatif, tidak dapat menggunakan komputer atau laptop dengan baik sebagai sarana belajar sehingga dapat memanfaatkan teknologi informasi komunikasi untuk berkomunikasi dan mengembangkan
aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549
Nuryati
173
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.2, Tahun 2016, Hal. 165-176
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
diri, kualifikasi pendidikan belum sesuai dengan bidang yang ditekuni. Dikarenakan awalnya yayasan mengambil pengelola dan tutornya dari Ibu-ibu PKK yang ada di wilayah perumahan tegal padang yang latar belakang pendidikannya bukan dari kependidikan dan beranggapan bahwa sekolah PAUD hanya bermain tepuk-tepuk, nyanyi-nyanyi saja dan membuat anak senang untuk bermain di sekolah. Sehingga hasilnya dalam pembelajaran benar-benar tidak maksimal baik dalam memilih metode pembelajaran, alat peraga pembelajaran dan dampaknya hasil pembelajaran kepada anak seadanya saja yang penting ada anak sekolah. Simpulan Program kerja HIMPAUDI ada tiga bidang yaitu bidang organisasi, bidang litbang dan bidang humas. Adapun bidang organisasi meliputi seperti mekanisme kerja HIMPAUDI dan penguatan kelembagaan HIMPAUDI, sedangkan bidang litbang yaitu seperti pendidikan dan pelatihan tenaga penyelenggara, pendidik dan tenaga kependidikan PAUD. Untuk bidang humas seperti sosialisasi, promosi PAUD dan promosi HIMPAUDI serta penerbitan dan penyebaran pedoman, bacaan dan referensi PAUD, untuk membantu mengembangkan kompetensi profesional guru anak usia dini, HIMPAUDI membuat program kerja dengan mengadakan program beasiswa dan sekolah paket bagi guru PAUD yang masih lulusan SMP dan SMA. Bekerjasama dengan perguruan tinggi yang menyelenggarakan program pendidikan anak usia dini, sosialisasi hasil kegiatan peningkatan kompetensi pendidik dan tenaga kependidikan, peningkatan mutu layanan PAUDyang dapat meningkatkan keterampilan, pengetahuan sertapeningkatan mutu pendidik dan tenaga kependidikan PAUD Nonformal juga dapat mengembangkan kompetensi profesional guru PAUD melalui pemberdayaan organisasi HIMPAUDI, hambatan yang dihadapi diantaranya masih terbatas jumlah dan kualitastenaga pendidik PAUD pada umumnya belum sesuai dengan kualifikasi, lembaga PAUD terus bertambah dan berkembang sementara SDM dan latar belakang pendidikan pendidik dan tenaga kependidikan kurang menunjang dengan perkembangan tersebut. sedangkan menurut PP No.19 tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan menetapkan pendidik PAUD minimal D4. Masalah tingkat kesejahteraan belum memperoleh perhatian yang serius dan belum adanya wadah yang secara khusus memberi perlindungan dan pembinaan bagi tenaga pendidik PAUD, melalui pemberdayaan organisasi di HIMPAUDI dalam suatu wadah organisasi dengan sekelompok orang-orang yang mempunyai visi, misi dan tujuan bersama melaksanakan program-program kegiatan di dalam organisasi HIMPAUDI yang sangat berdaya guna dan berhasil guna bagi guru misalnya adanya penataran, pelatihan, workshop yang dapat meningkatkan kualitas mengajar mereka dalam mengembangkan kompetensi profesional guru AUD.
aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549
Nuryati
174
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.2, Tahun 2016, Hal. 165-176
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
Catatan Akhir 1
Oemar Hamalik, Kurikulum dan Pembelajaran, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 1994), h.03 UU Sisdiknas, Tentang Sistem Pendidikan Nasional, (Jakarta: Depdiknas, 2003), h.15. 3 Kunandar, Guru Profesional: Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan Sukses dalam Sertifikasi Guru, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h.05. 4 Siti Aisyah, dkk, Perkembangan dan Konsep Dasar Pengembangan Anak Usia Dini, Jakarta: Universitas Terbuka, 2011), h.01. 5 Kunandar, Guru Profesional: Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan Sukses dalam Sertifikasi Guru, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h.48. 6 Veithzal Rivai dan Deddy Mulyadi, Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2010), h.411. 7 Sudarwan Danim, Inovasi Pendidikan dalam Upaya Peningkatan Profesional Tenaga Kependidikan, (Bandung: Pustaka Setia, 2002), h.51. 8 Kunandar, Guru Profesional: Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan Sukses dalam Sertifikasi Guru, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h.50 9 Kunandar, Guru Profesional: Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan Sukses dalam Sertifikasi Guru, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h.51. 10 Sudarmawan Danim, Inovasi Pendidikan dalam Upaya Peningkatan Profesional Tenaga Kependidikan, (Bandung: Pustaka Setia, 2002), h.64. 11 Sudarmawan Danim, Inovasi Pendidikan dalam Upaya Peningkatan Profesional Tenaga Kependidikan, (Bandung: Pustaka Setia, 2002), h.65. 12 Kunandar, Guru Profesional: Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan Sukses dalam Sertifikasi Guru, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hh.51-52. 13 Kunandar, Guru Profesional: Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan Sukses dalam Sertifikasi Guru, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h.45 14 UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen 15 Oemar Hamalik, Pendidikan Guru berdasarkan Pendekatan Kompetensi, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2002), hh.35-36. 16 Malayu S.P.Hasibuan, Organisasi & Motivasi, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 1996), hh.22-23. 17 Veithzal Rivai dan Deddy Mulyadi, Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2010), h.170. 18 HIMPAUDI, Seminar Penguatan Kelembagaan HIMPAUDI dan Forum PAUD Pengurus Wilayah HIMPAUDI Provinsi Banten, Serang, 2011), h.2 19 HIMPAUDI, Seminar Penguatan Kelembagaan HIMPAUDI dan Forum PAUD Pengurus Wilayah HIMPAUDI Provinsi Banten, Serang, 2011), h.2 20 HIMPAUDI, Seminar Penguatan Kelembagaan HIMPAUDI dan Forum PAUD Pengurus Wilayah HIMPAUDI Provinsi Banten, Serang, 2011), h.3 21 HIMPAUDI, Seminar Penguatan Kelembagaan HIMPAUDI dan Forum PAUD Pengurus Wilayah HIMPAUDI Provinsi Banten, Serang, 2011), hh.3-4 22 HIMPAUDI, Seminar Penguatan Kelembagaan HIMPAUDI dan Forum PAUD Pengurus Wilayah HIMPAUDI Provinsi Banten, Serang, 2011), h.6 23 HIMPAUDI, Seminar Penguatan Kelembagaan HIMPAUDI dan Forum PAUD Pengurus Wilayah HIMPAUDI Provinsi Banten, Serang, 2011), hh.7-8 24 Lexy, J. Moeleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Remaja Rosda Karya, 2007), h.118. 25 A. Mudjahid, Chudari, Metodologi Penelitian, (Serang, 2010), h.61. 2
Daftar Pustaka Aisyah, Siti, dkk. Perkembangan dan Konsep Dasar Pengembangan Anak Usia Dini. Jakarta: Universitas Terbuka, 2011. Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian Suatu Penelitian Praktik. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2010.
aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549
Nuryati
175
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.2, Tahun 2016, Hal. 165-176
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
Asmawati, Luluk. Dasar-dasar Pendidikan Anak Usia Dini secara Islami. Jakarta: STIT INSIDA, 2008. Chudari, A. Mudjahid. Metodologi Penelitian. Serang, 2010. Danim, Sudarwan. Inovasi Pendidikan dalam Upaya Peningkatan Profesional Tenaga Kependidikan. Bandung: Pustaka Setia, 2002. Fatimah, Siti. Pokok-pokok Pemikiran Tentang Kurikulum Berbasis Kompetensi/KBK dan Pembelajaran Terpadu Pada Anak Usia Dini. Jakarta, 2003. Hamalik, Oemar. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: PT. Bumi Aksara, 1994. Hamalik, Oemar. Pendidikan Guru berdasarkan Pendekatan Kompetensi. Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2002. Hasibuan, Malayu S.P. Organisasi & Motivasi. Jakarta: PT. Bumi Aksara, 1996. HIMPAUDI. Seminar Penguatan Kelembagaan HIMPAUDI dan Forum PAUD Pengurus Wilayah HIMPAUDI Provinsi Banten. Serang, 2011. Kunandar. Guru Profesional: Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan Sukses dalam Sertifikasi Guru. Jakarta: Rajawali Pers, 2010. Moleong, Lexy. J.. Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta: Remaja Rosda Karya, 2007. Patilima, Hamid, Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta, 2007. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No.58 Tahun 2009. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Raflis, Kosasi, Soetjipto. Profesi Keguruan. Jakarta: Rineka Cipta, 2007. Rivai, Veithzal dan Deddy Mulyadi. Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2010. Santoso, Soegeng. Kompetensi Pendidik Pendidikan Anak Usia Dini. Serang, 2008. Sujiono, Yuliani Nurani. Konsep Dasar Pendidikan Yayasan Citra Pendidikan Indonesia, 2004.
Anak
Usia
Dini. Jakarta Timur:
Undang-Undang RI No.14. Jakarta: Depdiknas, 2005. UU Sisdiknas Nomor 20. Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Depdiknas, 2003.
aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549
Nuryati
176
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.2, Tahun 2016, Hal. 177-185
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN ANAK USIA DINI BERBASIS PESANTREN Umi Musaropah Dosen STAIYO Yogyakakarta Email:
[email protected]
Abstract Boarding school has a great potential in the success of community empowerment in organizing early childhood education. As a form of education based community, community empowerment in boarding school certainly has the advantages from other community based empowerment. Nevertheless, some notices should be given mainly to involve government in the implementation of Early Childhood Education based boarding school. Keywords: Community Empowerment, Early Childhood Education, Boarding School
Abstrak Pesantren mempunyai potensi besar dalam menyukseskan pemberdayaan masyarakat pengelengaraan pendidikan Anak Usia Dini. sebagai salah satu bentuk Pendidikan Berbasis Masayarakat yang telah berjalan dalam bersama kehidupan bangsa Indonesia sejak jaman sebelum penjajahan, pemebrdayaan masyarakat dalam pendidikan pesantren tentu memilki keunggulan dari jenis PBM yang lain. Meski demikian beberapa catatan, perlu diberikan terutama dalam melibatkan pemerintah dalam penyelenggaraan PAUD berbasis pesantren. Kata Kunci: Pemberdayaan, Masyarakat, Pendidikan Anak Usia Dini, Pesantren
Pendahuluan Perubahan sistem penyelenggaraan pemerintah yang telah didengungkan sejak tahun 1999-dari sistem sentralistis (terpusat) ke desentralistis-telah membawa pengaruh positif dalam kehidupan bangsa Indonesia di berbagai sektor, salah satunya adalah sektor pendidikan.1 Jika ditinjau dari segi historis, penyelenggaraan pendidikan di Indonesia telah memasuki era perubahan ke tiga, yang sebelumnya pendidikan sepenuhnya milik masyarakat menyatu dalam lembaga-lembaga keagamaan baik yang dilaksanakan di surau, masjid, maupun pesantren sebagai pengembangan fungsi masjid menjadi lembaga pendidikan. Kemudian pada tahap selanjutnya, pendidikan menjadi program pemerintah dan dikelola secara sentralistik baik perencanaan, pendanaan maupun berbagai sumber daya lainnya. Lahirnya Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) No. 20 tahun 1989 telah memperkuat sentralisasi tersebut tidak hanya dalam standar mutu tetapi juga mengenai kurikulum dan metode evaluasi hasil belajar. Kini dengan diberlakukannya Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UU SISDIKNAS) No. 20 tahun 2003, secara implisit
aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549
U. Musaropah
177
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.2, Tahun 2016, Hal. 177-185
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
terkandung makna bahwa “rakyat memperoleh kembali hak partisipasinya dalam mengembangkan kualitas pendidikan, sebagaimana dikemukakan dalam pasal 4 ayat 1 bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan nilai kemajemukan bangsa”.2 Gagasan tersebut diperjelas dengan pasal 6 yang sama yakni pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan.3 Jika pada masa Orde Baru, masyarakat tidak bisa berpartisipasi secara aktif dalam pelaksanaan pendidikan—dikarenakan seluruh kebijakan dan sistem pendidikan diselenggarakan secara sentralistis dengan top-down policy4 yang mengabaikan masukanmasukan dari luar sistem pemerintahan—sehingga penyelenggara pendidikan terkesan hanya sebagai perpanjangan tangan penguasa semata. Akan tetapi, pada saat ini keputusan pembangunan pendidikan merupakan hasil kesepakatan bersama antara pemerintah dan masyarakat dengan menerapkan prinsip people-centered development.5 Partisipasi di sini ditafsirkan sebagai bentuk kerjasama antara rakyat dengan pemerintah dalam merencanakan (planning), mengorganisasikan (organizing), melaksanakan (actuating), dan mengontrol (controling). Dengan demikian pendidikan tersebut berlangsung “dari, oleh, dan bersama masyarakat.”6 Dalam konteks otonomi daerah, sudah seharusnya penyelenggaraan pendidikan yang ada disesuaikan dengan kebutuhan yang memiliki relevansi dengan masyarakat terkait, serta mengikutsertakan secara aktif anggota masyarakat dalam pelaksanaan pendidikan. Penyelenggaraan pendidikan yang sedemikian ini, telah terinspirasikan oleh model penyelenggaraan dan pelaksanaan pendidikan yang ada di pesantren. Keberadaan pesantren sebagai lembaga pendidikan ini sejak awal memiliki sifat yang lentur dan fleksibel, sehingga pada kenyataannya mampu menyesuaikan diri dengan kehidupan masyarakat. Pada awalnya, lembaga pendidikan pesantren memusatkan pengajarannya kepada al-Qur’an dan Hadits.7 Akan tetapi, seiring dengan perkembangan zaman, lembaga pendidikan ini tidak hanya mengajarkan pendidikan al-Qur'an dan Hadits saja, akan tetapi telah menyesuaikan diri dengan keadaan yakni dengan cara menyelenggarakan pendidikan umum. Penyelenggaraan pendidikan umum ini, sebagai bentuk respon pesantren untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang semakin berkembang dan maju. Keberadaan pesantren yang eksis hingga saat ini, tidak lepas dari berbagai macam hambatan. Dalam lembaga pendidikan pesantren hambatan yang paling utama adalah persoalan pembiayaan (educational finance)—hal ini sangat berbeda jauh dengan model pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah, seluruh materi dan pembiayaan telah dianggarkan—akan tetapi, hambatan tersebut sedikit demi sedikit dapat terpecahkan yakni dengan cara melibatkan masyarakat secara aktif baik dalam perencanaan, pengorganisasian,
aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549
U. Musaropah
178
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.2, Tahun 2016, Hal. 177-185
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
pelaksanaan, pengawasan maupun pembiayaan yang keseluruhannya dilakukan bersama dengan masyarakat,8 sehingga semua persoalan yang muncul menjadi persoalan bersama. Djalal menekankan arti penting pesantren dalam pendidikan berbasis masyarakat (PBM) dalam sebuah tulisannya. Penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat di Indonesia yang dimotori oleh lembaga pendidikan pesantren sangat relevan dilaksanakan sebagai upaya mengembangkan sistem pendidikan yang terkoordinasi guna meningkatkan mutu kehidupan anak-anak pedesaan melalui pengembangan pesantren sebagai jalur pendidikan dasar di bawah pendidikan dasar sembilan tahun bagi yang berumur 7-15 tahun.9 Dalam pelibatan masyarakat dalam pendidikan pesantren juga mendapat dukungan penting dari beberapa penelitian. pelibatan masyarakat secara langsung ke dalam penyelenggaraan pendidikan di Madrasah Diniyah Al-Ittihad yang dilakukan oleh Shunhaji disimpulkan membawa pengaruh yang signifikan dalam pengembangan Madrasah Diniyah Al-Ittihad pada tahap selanjutnya.10 Penelusuran Dewi tentang Kemandirian Pesantren dalam Pengembangan Otonomi Pendidikan di Indonesia. Penelitian ini membahas tentang kemandirian pesantren dalam percaturan politik pendidikan di Indonesia, baik dari segi struktur pengajaran, lingkungan kehidupan, pola kehidupan, sosial kemasyarakatan maupun anggaran dana pendidikan. Kemandirian pesantren yang ada di Indonesia tidak lepas dari peran aktif masyarakat yang bahu-membahu menyelesaikan persoalan secara bersama-sama khususnya dalam masalah pembiayaan.11 Peranan pesantren yang telah diakui sejak beberapa abad yang lalu, hal ini perlu untuk terus dikembangkan agar dapat berperan menanggulangi tantangan-tantangan baru, khususnya dalam menyukseskan program wajib belajar sembilan tahun. Dari jenjang pendidikan yang dikembangkan, pesantren bisa meluaskan area pendidikannya hingga penyelenggaraan dan pengelolaan pendidikan anak usia dini (PAUD) dengan melibatkan masyarakat di sekitar lingkungannya. Pendidikan Berbasis Masyarakat PBM pada dasarnya dirancang oleh masyarakat untuk membelajarkan masyarakat, sehingga mereka berdaya dalam arti memiliki kekuatan untuk membangun dirinya sendiri yang sudah barang tentu melalui interaksi dengan lingkungannya. Dengan demikian, konsep pendidikan berbasis masyarakat menjadi “dari masyarakat, oleh masyarakat, dan untuk masyarakat”.12 Definisi tersebut sangat jelas digunakan untuk membedakan dengan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah (state-based education). Pengertian mengenai masyarakat sendiri pada dasarnya dapat menunjuk pada derajat kepemilikan masyarakat.13 Secara jelas dapat dikatakan bahwa jika sesuatu itu berbasis masyarakat, maka hal itu sepenuhnya menjadi milik masyarakat. Kepemilikikan sendiri mengimplikasikan penuh yang berarti bahwa masyarakat dapat sepenuhnya memutuskan tujuan dan sasaran, pembiayaan,
aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549
U. Musaropah
179
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.2, Tahun 2016, Hal. 177-185
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
kurikulum, materi pelajaran, evaluasi pembelajaran, standar kelulusan, guru dan kualifikasinya, persyaratan siswa dapat diterima, dan tempat serta segala sesuatun yang berkaitan dengan pembelajaran yang dilakukannya. Adapun indikator kepemilikan di sini berupa: a) dukungan (support) orang tua dan anggota masyarakat lainnya, memberikan dukungan dana, dan tenaga; b) keterlibatan (involvement) orang tua dan anggota masyarakat lainnya terlibat secara langsungh dalam pengambilan keputusan, misalnya mengenai kegiatan ekstra dan penentuan jadwal; c) kemitraan (partnership) orang tua dan anggota masyarakat lainnya menjalin hubungan kemitraan yang sejajar dengan pengelolaan sekolah dalam menentukan hal-hal yang berkenaan dengan tujuan, program, alokasi, dana, dan ketenagaan; d) kepemilikan penuh (full ownership) para nggota masyarakat mengenai semua keputusan program. Watson kemudian mengemukakan bahwa pendidikan berbasis masyarakat memiliki tiga elemen, yakni: Pertama, mementingkan warga belajar. Di sini ada beberapa penekanan seperti pentingnya mendengar suara warga belajar, menggunakan program belajar, percaya bahwa setiap orang memiliki kemampuan belajar karena setiap warga belajar memiliki kekuatan, ketrampilan, pengetahuan, dan pengalaman, serta ada kesetaraan di antara warga dan pembina program. Kemudian mendorong warga belajar untuk ikut aktif terlibat dalam kegiatan belajar dan kegiatan kemasyarakatan, dan memperhatikan kebutuhan masyarakat karena sebenarnya mereka tahu apa yang mereka butuhkan. Kedua, program dimulai dari perspektif yang kritis. Ada tiga perspektif dalam melihat masyarakat, yaitu konservatif, liberal, dan kritis. Pendidikan berbasis masyarakat menggunakan pendekatan kritis yang menekankan pentingnya perbaikan kemampuan dasar masyarakat, meningkatkan kemampuan yang sudah ada, dan partisipasi dalam setiap kegiatan. Ketiga, pembangunan masyarakat yang menekankan bahwa program belajar harus berlokasi di masyarakat, menjawab kebutuhan masyarakat, menciptakan rasa memiliki, dan program tersebut dirancang, diputuskan, serta diatur oleh masyarakat sehingga mereka membentuk kestuan yang lebih besar.14 Fasli Jalal dan Dedi Supriadi dengan kutipan dari Dean Nealson kemudian menjelaskan, PBM di Indonesia menunjuk pada pengertian yang beragam, di antaranya adalah peran serta masyarakat dalam pendidikan; (a) pengambilan keputusan yang berbasis sekolah; (b) pendidikan yang diberikan oleh sekolah swasta atau yayasan; (c) pendidikan dan pelatihan yang diberikan oleh pusat pelatihan milik swasta; (d) pendidikan luar sekolah yang disediakan oleh pemerintah; (e) pusat kegiatan belajar masyarakat, (f) pendidikan luar sekolah yang diberikan oleh organisasi akar rumput (grassroot organization) seperti LSM dan pesantren.15
aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549
U. Musaropah
180
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.2, Tahun 2016, Hal. 177-185
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
Penyelenggaraan PAUD di Pesantren, sebuah kasus Penerapan pendidikan berbasis masyarakat ini lebih digarap secara intensif oleh berbagai pondok pesantren yang telah memiliki lembaga pendidikan formal. Hal ini dikarenakan, pesantren ingin memberdayakan masyarakat dengan melihat potensi dan sumber daya yang dimilikinya. Jikalau pesantren dapat dan mampu memberdayakan masyarakat maka akan tercipta suatu kemandirian dalam sebuah masyarakat tersebut. Ketika kemandirian terbentuk, masyarakat memiliki hak sepenuhnya atas lembaga tersebut, seperti hak untuk ikut merencanakan program, mengorganisasikan, mengontrol, dan mengevaluasi jalannya pendidikan. Pondok Pesantren At-Tanwir yang berada di Desa Talun, Kecamatan Sumberrejo, Kabupaten Bojonegoro yang masuk dalam wilayah propinsi Jawa-Timur, merupakan salah satu lembaga pendidikan yang telah menerapkan konsep penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat, baik dari segi kurikulum, waktu pembelajaran, metode dan pendekatan, kualifikasi guru dan juga kualifikasi out-putnya memiliki spesifikasi tertentu jika dibandingkan dengan lembaga-lembaga pendidikan pada umumnya. Penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat di Pondok Pesantren At-Tanwir telah dimulai sejak pertama kali didirikan yang dimotori oleh Kyai Haji Sholeh. Cikal-bakal Pondok Pesantren At-Tanwir hanyalah pendidikan keagamaan, akan tetapi seiring dengan berjalannya waktu dan atas keinginan masyarakat maka pondok pesantren tersebut mendirikan lembaga pendidikan formal. Berdasarkan pengamatan peneliti, Pondok Pesantren At-Tanwir secara garis besar dibagi menjadi dua, yakni sebagai lembaga pendidikan formal dan sebagai lembaga sosial keagamaan. Sebagai lembaga pendidikan formal, pondok pesantren telah menyelenggarakan pendidikan dari tingkat Roudlatul Atfal, Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Aliyah, dan program Takhasus). Kemudian sebagai lembaga sosial keagamaan yang menitikberatkan kepada pengabdian pondok pada masyarakat luas. Bentuk pengabdian yang diberikan berupa penyelenggaraan Madrasah Diniyah yang dilakukan secara klasikal dan majelis taklim—yang dilaksanakan Ahad malam dan Jum’at pagi—keseluruhannya berada di bawah pondok pesantren. Sebagai lembaga pendidikan yang tumbuh dan berkembang dari masyarakat, Pondok Pesantren At-Tanwir melibatkan masyarakat sekitar baik dalam pendanaan, pembuatan kurikulum, dan tenaga pengajar. Berkaitan dengan dana, lembaga pendidikan ini telah lama didukung oleh partispasi masyarakat melalui dana tetap yayasan, sumbangan wali santri, dan donatur-donatur yang tidak mengikat lainnya. Pada masa pendiriannya, kurikulum dibuat atas kesepakatan kyai dan masyarakat -di mana masyarakat dapat mengusulkan secara langsung materi apa yang akan dan harus diberikan kepada santri- akan tetapi, saat ini masyarakat menyerahkan sepenuhnya kepada pimpinan pondok sebagai pemegang kendali untuk mengatur dan mengontrol materi yang diberikan. Walaupun demikian pimpinan pesantren mengambil kebijakan untuk tetap melibatkankan masyarakat dalam pengambilan keputusan yang dilakukan setiap bulan
aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549
U. Musaropah
181
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.2, Tahun 2016, Hal. 177-185
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
Syawal. Dengan menyelenggarakan pendidikan formal, pengasuh mensinergikan kurikulum yang telah ada (kurikulum salafi dan Gontor) dengan kurikulum yang berasal dari pemerintah, maka. dengan memasukkan kurikulum pemerintah terdapat sisi menarik dari keduanya, yakni sistem evaluasi yang selama ini dilakukan. Berbeda dengan lembagalembaga formal yang lainnya, Pondok Pesantren At-Tanwir memberlakukan system evaluasi ganda yaitu evaluasi lokal, dan nasional. Dalam pelaksanaan evaluasi local dilakukan melalui dua tahap. Tahap pertama biasanya disebut dengan imtihan al-safahi (ujian lesan) dan yang kedua imtihan al-Tahriri (ujian tulis), yang keseluruhan bahan maupun materi dibuat oleh pondok pesantren. Selain evaluasi di atas, pondok pesantren juga mengadakan evaluasi sebagaimana yang diadakan di lembaga-lembaga pendidikan milik pemerintah. Evaluasi nasional ini bertujuan untuk memberikan kemudahan kepara para santri dalam rangka melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi serta untuk mendapatkan syahadah.16 Persoalan tenaga edukatif; mengenai pengangkatan, pemberhentian dan penilaiannya ditentukan oleh dewan yang dibentuk secara khusus oleh Pondok Pesantren At-Tanwir atas persetujuan pengasuh, sedangkan pemerintah dalam hal ini Departemen Agama tidak dapat mengintervensi sedikitpun dalam persoalan tersebut. Pendidikan yang diselenggarakan oleh Pondok Pesntren At-Tanwir Talun, yang telah dimotori oleh K. H. Sholeh ini telah berjalan kurang lebih selama tujuh puluh dua tahun.17 Catatan Pemberdayaan masyarakat dalam PAUD berbasis Pesantren Pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara keluarga, sekolah, dan masyarakat. Dalam hal ini, masyarakat sebenarnya memegang peranan yang sentral dan strategis dalam penyelenggaraan program-program pendidikan berbasis masyarakat. Tanpa disertai peran aktif dari masyarakat, rasanya tidak akan pernah ada pemberantasan buta huruf, kejar paket A, dan kejar paket B yang selama ini telah dilaksanakan. Kelompok masyarakat yang memiliki peranan cukup signifikan dalam pelaksanaan pendidikan yang selama ini ada, adalah tokoh-tokoh masyarakat, organisasi/lembaga kemasyarakatan, dan juga LSM. Yang dimaksud dengan tokoh masyarakat di sini adalah tokoh yang berasal dari pendidik, agama, dan adat yang berperan sebagai pemakarsa, mediator, motivator, tutor, pengelola, dan bahkan sebagai penyandang dana serta sebagai penyedia fasilitas pendidikan. Selain itu organisasi kemasyarakatan juga berperan sebagai pemakarsa, perencana, penyelenggara, organisator, pemberi motivasi, penyedia fasilitas, pengatur kegiatan, penyedia dana, pembina kegiatan, dan pemecah masalah. Lembaga swadaya masyarakat (LSM) terus diperankan sebagai pembangkit dan mediator aspirasi masyarakat, pemberi motivasi, pendamping masyarakat, fasilitator, pengembang, penyedia tekhnologi, penyedia informasi pasar, dan penyedia tenaga ahli serta sebagai pengelola program. Begitu juga dengan lembaga usaha yang memiliki orientasi profit yang selama ini ada telah diakui keberadaannya di tengah-tengah masyarakat, mulai tergugah untuk perperan
aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549
U. Musaropah
182
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.2, Tahun 2016, Hal. 177-185
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
sebagai penyelenggara pendidikan, penyedia fasilitas, dan penyedia dana pendidikan baik yang berupa pemberian beasiswa maupun yang lainnya, serta penyedia fasilitas pasar, menjadi mitra usaha dalam mengelola produksi serta hasil usaha ketrampilan yang telah dipelajari. Maka untuk mengoptimalkan partisipasi masyarakat dalam dunai pendidikan, sangat perlu dikembangkan model pendidikan yang disebut pendidikan berbasis masyarakat, agar seluruh potensi, sumber daya yang ada dan dimiliki oleh masyarakat dapat diberdayakan secara sinergis, sistemis, dan simbiotis melalui proses yang konseptual sebagai upaya peningkatan mutu pendidikan yang ada. Dukungan masyarakat dalam penyelenggaraan PAUD berbasis pesantren perlu dukungan Pemerintah. Perubahan menarik dari keterlibatan pemerintah di pesantren adalah masuknya sumber pengetahuan lain selain kyai. Informasi ilmu pengetahuan bisa diperoleh dari berbagai macam sumber dan cara, dari sekadar obrolan dengan teman, buku, koran, majalah, sampai internet. Tidak heran kalau kemudian terjadi proses desakralisasi peran kyai sebagai penyampai ilmu di pesantren. Ketika pesantren berubah dalam artian memiliki lembaga pendidikan formal, otoritas kyai dan masyarakat untuk melahirkan sumber daya manusia yang berkualitas telah dicampuri peran negara. Pesantren kemudian terpaksa mengadopsi dan mengikuti sistem pendidikan formal dengan kurikulum pendidikan, dan bahkan, kalender akademik yang ditentukan oleh pemerintah. Kini di pesantren tidak lagi berhak menentukan pelajaran apa yang akan diajarkan dan berapa waktu yang dipergunakan untuk itu. Bahkan, mereka tidak lagi memiliki kewenangan menentukan kapan waktu libur dan menentukan berapa biaya pendidikan yang diperlukan. Kyai kemudian berperan tidak lebih sebagai simbolis dan terbatas pada masalah ritual keagamaan. Jika kita lihat lebih jauh, sebenarnya peran pemerintah dalam pelaksanaan pendidikan berbasis masyarakat tidak dapat dipisahkan begitu saja. Dalam ranah pendidikan, pemerintah merupakan suatu unit berdasarkan kekuasaan. Dalam upaya melestarikan kekuasaannya, pemerintah telah menjadikan pendidikan sebagai sarana untuk mencapai tujuan tersebut. Hal ini telah dikupas antara lain oleh Michael W. Apple di dalam bukunya yang terkenal dengan Educational and power. Demikian halnya dalam kehidupan bernegara tersangkut dalam pelestarian kekuasaan negara/pemerintah melalui politik kebudayaannya (cultural politics). Apple menjelaskan bahwa politik kebudayaan suatu negara disalurkan melalui lembagalembaga pendidikannya. Oleh sebab itu, dalam pendidikan tersalur kemauan-kemauan politik atau sistem kekuasaan dalam suatu masyarakat. Biasanya, hal tersebut tidak disadari dalam sistem pendidikan dari suatu masyarakat, namun demikian kekuasaan politik secara tidak langsung berada dan masuk dalam sistem pendidikan dengan bentuk “hidden curriculum”.18 Maka tanpa disadari suatu sistem pendidikan melaksanakan cita-cita suatu negara. Oleh sebab itu, dalam reformasi pendidikan dewasa ini terutama yang dianut oleh golongan pedagogik kritis, telah dikembangkan kesadaran masyarakat serta peserta didik terhadap adanya hidden
aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549
U. Musaropah
183
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.2, Tahun 2016, Hal. 177-185
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
curriculum dibalik kurikulum sistem pendidikan. Hal ini dapat kita lihat antara lain pada masa Orde Baru bagaimana proses pendidikan, kurikulum, metodologi pendidikan, semuanya merupakan pengejawentahan dari sistem kekuasaan yang ada atau dengan kata lain sebagai upaya pelestarian kekuasaan Orde Baru pada saat itu. Seharusnya pemerintah, dalam hal ini sebagai lembaga tertinggi negara, di dalam pelaksanaan pendidikan berbasis masyarakat sudah seharusnya menjadi balance dari suatu lembaga pendidikan tersebut. Hal ini dikarenakan, walaupun dalam lembaga pendidikan tersebut pendidikan dilakukan oleh, dari, dan untuk masyarakat, toh tidak ada salahnya jika pemerintah tetap ikut berpartisipasi aktif dalam memonitoring lembaga yang ada. Ini sebagai bentuk perwujudan rasa kepemilikian pemerintah atas lembaga yang ada. Catatan Akhir 1
Fasli Jalal dan Dedi Supriadi (ed.) Reformasi Pendidikan Dalam Konteks Otonomi Daerah (Yogyakarta: Adicita Karya Nusa, 2001), h.xxi. 2 Dede Rosyada, Paradigma Pendidikan Demokratis; Sebuah Model Pelibatan Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Pendidikan (Jakarta: Kencana, 2004), hh.224-225. 3 Ibid., 4 Yang dimaksud dengan top down policy adalah kebijakan yang dibuat oleh pemerintah pusat sebagai upaya penyeragaman kebijakan, baik kebijakan pendidikan maupun kebijakan non-pendidikan. Dalam kebijakan ini, pemerintah daerah bersifat hanya melaksanakan kebijakan yang telah digariskan tersebut. 5 Moeljarto Tjokrowinoto, Politik Pembangunan; Sebuah Analisis Konsep, Arah, Dan Strategi (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1995), h.80. 6 H. A. R. Tilaar, Pendidikan Kebudayaan Dan Masyarakat Madani Indonesia; Strategi Reformasi Pendidikan Nasional, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999), h.80. 7 Dikarenakan al-Qur’an dan Hadits merupakan sumber utama pedoman hidup setiap umat muslim, lihat Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah; Pendidikan Islam Dalam Kurun Waktu (Jakarta: LP3ES, 1986), h.10. 8 Walaupun dengan biaya yang relatif murah, penyelenggaraan pendidikan yang ada di pesantren merupakan penyelenggaraan pendidikan tanpa batas dan bersifat kontinuitas. Artinya pendidikan dilaksanakan selama 24 jam setiap hari dan tujuh hari dalam seminggu. Qodri Azizi, Islam dan Permasalahan Sosial (Yogyakarta: LKIS, 2000), h.104. 9 Djalal, Reformasi…, h.208. 10 Sunhaji, Aplikasi Manajemen Pendidikan Berbasis Masyarakat di Madrasah Diniyah Al-Ittihad Pasir Kidul Purwokerto Barat Jawa Tengah (Yogyakarta: Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2003). 11 Himmah Kumara Dewi, Kemandirian Pesantren dalam Pengembangan Otonomi Pendidikan di Indonesia (Yogyakarta: Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2002). 12 Jalal dan Supriadi, Reformasi …. 13 Ibid., 14 Ibid., h.187. 15 Ibid. 16 Syahadah adalah pengakuan atau semacam ijazah. Dalam setiap haflah akhir al-sanah, pengasuh memberikan dua buah syahadah yakni syahadah yang berasal dari pondok dan Departemen Agama. 17 Lihat Umi Musaropah, Penyelenggaraan Pendidikan Berbasis Masyarakat; Tinjauan Historis Atas Pemberdayaan Dan Pengembangan Pendidikan Pesantren Di Pondok Pesantren At-Tanwir, Talun, Sumberrejo, Bojonegoro (1992-2004 M), (Yogyakarta: Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2005) 18 H. A. R. Tilaar, Kekuasaan dan Pendidikan (Magelang: Indonesiatera, 2003), hh.144-145.
aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549
U. Musaropah
184
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.2, Tahun 2016, Hal. 177-185
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
Daftar Pustaka Azizi, Qodri, Islam dan Permasalahan Sosial, Yogyakarta: LKIS, 2000. Dewi, Himmah Kumara, Kemandirian Pesantren dalam Pengembangan Otonomi Pendidikan di Indonesia, Yogyakarta: Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2002. Jalal, Fasli dan Dedi Supriadi (ed.), Reformasi Pendidikan Dalam Konteks Otonomi Daerah, Yogyakarta: Adicita Karya Nusa, 2001. Musaropah, Umi, Penyelenggaraan Pendidikan Berbasis Masyarakat; Tinjauan Historis Atas Pemberdayaan Dan Pengembangan Pendidikan Pesantren Di Pondok Pesantren AtTanwir, Talun, Sumberrejo, Bojonegoro (1992-2004 M), Yogyakarta: Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2005. Rosyada, Dede, Paradigma Pendidikan Demokratis; Sebuah Model Pelibatan Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Pendidikan, Jakarta: Kencana, 2004. Steenbrink, Karel A., Pesantren Madrasah Sekolah; Pendidikan Islam Dalam Kurun Waktu, Jakarta: LP3ES, 1986. Sunhaji, Aplikasi Manajemen Pendidikan Berbasis Masyarakat di Madrasah Diniyah AlIttihad Pasir Kidul Purwokerto Barat Jawa Tengah, Yogyakarta: Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2003. Tilaar, H. A. R., Pendidikan Kebudayaan Dan Masyarakat Madani Indonesia; Strategi Reformasi Pendidikan Nasional, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999. Tjokrowinoto, Moeljarto, Politik Pembangunan; Sebuah Analisis Konsep, Arah, Dan Strategi, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1995.
aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549
U. Musaropah
185
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.2, Tahun 2016, Hal. 186-195
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
MENGOPTIMALKAN OTAK ANAK SEJAK USIA DINI Yahdinil Firda Nadirah Dosen Fakultas tarbiyah dan Keguruan, IAIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten Email:
[email protected]
Abstract The most decisive period and affect the formation of children’s brain is preschool period. Children are expected to optimize development of brain when family, school, and neighborhood support him or her, organize activities and trainings appropriate to the cognitive development stage of children. The individual differences in cognitive ability is determined by biological elements (e.g. genetic elements and maturity process) and experience from environment among them through education, training, incidental learning in general. Keywords: Brain, Genetic, Experience, Environment
Abstrak Masa yang paling menentukan dan mempengaruhi pembentukan anak adalah masa sebelum sekolah. Anak diharapkan dapat optimal perkembangan otaknya bila keluarga, sekolah dan lingkungan lainnya dapat memberikan bantuan, mengadakan kegiatan- kegiatan dan latihanlatihan yang tepat dan sesuai dengan tahap perkembangan kognitif anak. Adanya perbedaan individual dalam kemampuan kognitif ini ditentukan oleh unsur biologik (seperti unsur genetik dan proses kematangan) dan pengalaman dengan lingkungan antara lain melalui pendidikan, pelatihan dan belajar insidental secara umum. Kata Kunci: Otak, Gen, Pengalaman, Lingkungan
Pendahuluan Peningkatan kualitas manusia sebagai sumber daya insani perlu diupayakan sejak dini agar anak-anak siap menghadapi tantangan masa depan dan alih teknologi yang makin sulit dan majemuk. Salah satu aspek perkembangan yang cukup banyak mendapat perhatian adalah perkembangan kognitif meliputi aspek-aspek struktur intelek yang digunakan untuk mengetahui sesuatu, dan proses kognitif meliputi aspek-aspek persepsi, ingatan, pikiran, simbol, dan penalaran. Anak diharapkan dapat optimal perkembangan otaknya bila keluarga, sekolah dan lingkungan lainnya dapat memberikan bantuan, mengadakan kegiatan-kegiatan dan latihan-latihan yang tepat dan sesuai dengan tahap perkembangan kognitif anak.
aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549
Y. F. Nadirah
186
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.2, Tahun 2016, Hal. 186-195
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
Pembahasan Dalam perkembangan seorang anak, proses kognitif yang terjadi dalam diri anak akan berubah sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan anak tersebut. Kemampuan kognitif seseorang pada umumnya berkembang secara bertahap dari lahir sampai kira-kira usia 20-22 tahun walau dalam kecepatan yang berbeda. Namun, kebanyakan dari kita juga yang memiliki kenangan hidup pada saat usia 0-3 tahun yang sangat minim sekali, atau bahkan kita tidak mampu mengingat apapun.1 Banyak peristiwa yang terjadi pada usia sangat muda dulu itu yang akan menjadi serat- jalinan dasar bagi kehidupan mental sekarang. Namun hal ini tidak kita sadari, atau tidak mampu kita ingat kembali. Adanya perbedaan individual dalam kemampuan kognitif ini ditentukan oleh unsur biologik (seperti unsur genetik dan proses kematangan) dan pengalaman dengan lingkungan antara lain melalui pendidikan, pelatihan dan belajar insidental secara umum.2 Pertumbuhan dan perkembangan otak pada anak Para ilmuwan dapat mendengar bunyi otak pada sebuah janin manusia berusia 10 atau 12 minggu sesudah pembuahan, mereka akan mendengar hiruk pikuk yang mencengangkan. Di dalam rahim, jauh sebelum cahaya untuk pertama kali mengenai retina mata bayi atau sebelum gambar samar-samar paling awal terbayang di dalam korteksnya, sel-sel saraf pada otak yang sedang berkembang sibuk dengan kegiatan yang terencana. Seperti seorang remaja dengan pesawat teleponnya, sel-sel pada suatu daerah otak menghubungi teman-temannya di daerah lain dan saling berhubungan terus dan berulang-ulang, “Seolah-olah mereka memencet tombol telepon otomatis,” kata ahli neurobiologi Carla Shatz dari University of California, Berkeley. Neuron, itulah nama sel saraf panjang seperti kawat yang mengantar pesan-pesan listrik lewat system saraf dan otak. Neuron ini sebenarnya tidaklah mengirimkan sinyal dengan menyebarkannya secara sembarangan. Kalau secara sembarangan, akan terjadi kertak-kertak derau, seperti bunyi yang terdengar bila sebuah radio disetel setengah-setengah antara dua stasiun. Sebaliknya, bukti-bukti makin menjelaskan bahwa semburan listrik tehentak-hentak yang membentuk bunyi jelas kertak-kertuk ini muncul dari gelombang kegiatan neuron yang terkoordinasi ; gelombang ini berdenyut bagaikan arus laut yang menggeser pasir di dasar samudra ; gelombang-gelombang ini sebenarnya sedang mengubah bentuk otak. Gelombang kegiatan ini membentuk sirkuit otak menjadi pola-pola yang lamakelamaan akan menyebabkan bayi yang lahir nanti mampu menangkap suara ayah, sentuihan ibu, atau gerakan mainan gantung di atas boksnya. Di antara semua penemuan dilaboratorium ilmu saraf pada tahun-tahun terakhir ini, mungkin yang paling tak terduga ialah penemuan bahwa kegiatan listrik sel-sel otak justru mengubah struktur fisik otak. Dengan penemuan ini, denyut neuron yang berirama itu tidak lagi dianggap sebagai hasil pembentukkan otak, melainkan justru sangat penting bagi proses
aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549
Y. F. Nadirah
187
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.2, Tahun 2016, Hal. 186-195
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
pembentukkan otak itu, dan menurut pendapat para ilmuwan, proses itu sudah dimulai sejak sebelum kelahiran. Otak bukanlah computer. Alam tidak merakitnya sampai lengkap lebih dahulu dan baru kemudian dihidupkan. Lama sebelum lengkap, otak sudah mulai bekerja. Dan proses yang menghubungkan sambungan-sambungan otak sebelum kelahiran adalah proses yang kelak juga menggerakkan ledakan kegiatan belajar segera sesudah kelahiran, demikian penemuan para ahli saraf. Saat dilahirkan, otak kita dilengakapi dengan 1 trilliun sel otak. Dari 1 trilliun ini, 100 milliar adalah sel otak aktif dan 900 milliar sel otak pendukung. Setiap sel otak dapat memiliki kemungkinan koneksi milau dari 1 hingga 20.000 koneksi.3 Semua manusia lahir dibekali jumlah sel otak yang sama banyak. Tidak ada yang diberi lebih banyak atau lebih sedikit. Kecerdasan manusia tidak hanya ditentukan semata oleh jumlah sel otak yang ia miliki tetapi lebih ditentukan oleh seberapa banyak koneksi yang bisa terjadi diantara masingmasing sel otak. Pada saat kelahiran, otak bayi mengandung 100 miliar neuron, kira-kira sebanyak bintang dalam galaksi Bima Sakti. Terdapat pula satu triliun sel gila (fari kata Yunani yang berarti perekat). Sel gila membentuk semacam sarang yang melindungi dan member makan neuron. Memamng otak ini sudah berisi hampir semua sel saraf yang akan dimilikinya, namun pola penyambungan antara sel-sel itu masih harus dimantapkan. Sampai tahap itu, kata Shatz, “otak telah menata sirkuit-sirkuitnya menurut tebakan atau perkiraannya yang paling baik mengenai apa yang akan diperlukan bagi penglihatan, bagi bahasa dan bagi apa saja.” Sesudah kelahiran, kegiatan neuronlah yang berperan untuk mengambil bagan kasar ini dan berangsur-angsur menghaluskannya ; dan sesudah kelahiran, kegiatan neuron itu tidak spontan lagi, melainkan digerakkan oleh banjir pengalaman indra. Selama tahun-tahun pertama kehidupan, otak mengalami rangkaian perubahan yang luar biasa. Tidak lama sesudah kelahiran, otak bayi menghasilkan keberlimpahan biologis berupa bertriliun-triliun sambungan antar neuron yang banyaknya melebihi kebutuhan. Selanjutnya, melalui suatu proses semacam persaingan ala teori Darwin, otak akan memusnahkan sambungan (sinapsis) yang jarang digunakan atau yang tidak pernah digunakan. Sinapsis yang berlebih dalam otak kanak-kanak akan mengalami pemangkasan drastis, yang dimulai pada usia 10 tahun atau sebelumnya. Sesudah pemangkasan ini, yang tinggal adalah otak yang pola emosi dan pola pikirannya unik, dalam arti baik ataupun buruk. Bila tidak mendapatkan lingkungan yang merangsangnya, otak seorang anak akan menderita. Para peneliti di Baylor College of Medicine, misalnya, menemukan bahwa apabila anak-anak jarang diajak bermain atau jarang disentuh, perkembangan otaknya 20% atau 30% lebih kecil dari pada ukuran normalnya pada usia itu. Para ilmuwan terpana selagi mereka mempelajari otak, bahkan sampai sekarang, bukanlah hal-hal yang kadang-kadang tidak beres dalam otak yang sedang berkembang, melainkan bahwa semua hampir selalu berjalan dengan baik. Ini lebih menarik lagi, kata
aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549
Y. F. Nadirah
188
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.2, Tahun 2016, Hal. 186-195
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
Shatz dari Berkeley, karena system saraf-pusat embrio bukanlah suatu miniatur system saraf dewasa, melainkan lebih menyerupai berudu yang akan tumbuh menjadi katak. Sel-sel yang dihasilkan dalam tabung neuron, antara lain, harus berpindah ke suatu tempat yag jauh dan secara tepat harus memasang smabungan yang menghubungkan suatu bagian otak dengan bagian lainnya. Selain itu, otak embrio harus membangun berbagai macam struktur sementara (antara lain tabung neuron itu sendiri) yang kelak akan hilang. Tetapi, diantara segala maslalah yang harus dipecahkan oleh system saraf yang tumbuh ini, yang paling berat adalah penyambungannya sendiri. Sesudah kelahiran, sewaktu terjadi ledakan penyambungan, neuron otak yang jumlahnya miliaran itu masing-masing mengadakan hubungan dengan ribuan sel saraf lainnya. Mula-mula sel itu mengeluarkan bahan berupa serabut mirip kabel listrik yang disebut akson (yang mengirimkan sinyal) dan dendrit (yang menerima sinyal). Tujuannya ialah membentuk sinapsis, suatu struktur seperti sela pemisah. Lewat sel inilah akson salah satu neuron memancarkan sinyal ke dendrit pada neuron lain. Sebelum pengiriman sinyal ini dapat terjadi, akson dan dendrit harus hampir bersentuhan. Dendrite pendek yang berserabut banyak itu tidak perlu bergerak jauh, sedangkan akson−kabel system saraf yang berfungsi berat−harus melintasi jarak yang kalau diumpamakan dengan pejalan kaki, jauhnya berkilo-kilometer. Yang menuntun akson dalam perjalanan sangat jauh adalah “kerucut pertumbuhan,” yakni semacam kecambah berbentuk aneh mirip ameba. Para ilmuwan sudah mengetahui kerucut pertumbuhan tersebut sejak awal abad ini. Yang belum lama mereka ketahui adalah bahwa kerucut pertumbuhan itu diperlengkapi dengan semacam sonar dan radar molekuler. Sebagaimana peralatan kapal selam atau pesawat terbang memantau lingkungan untuk mencari sinyal, molekul-molekul dipermukaan kerucut pertumbuhan itu mencari-cari protein tertentu disekelilingnya. Beberapa protein ini ternyata menarik kerucut pertumbuhan.(artinya mendekatkannya), sedangkan lainnya menolak atau menjauhkannya. Sesaat sesudah kelahirannya, seorang bayi dapat melihat dan mendengar, membau, serta bereaksi terhadap sentuhan, tetapi semua itu hanya secara samar-samar-samar. Batang otak, suatu daerah awal yang mengendalikan fungsi vital seperti denyut nadi dan pernapasan, sudah menyelesaikan penyambungannya. Di daerah lainnya, sambungan antara neuron masih lemah dan blum tetap. Tetapi, selama beberapa bulan pertama, pusat-pusat otak yang lebih tinggi mengalami ledakan banyaknya sinapsis baru. Dan ketika dendrit dan akson membengkak dengan kuncup dan cabang bagaikan pohon di musim semi, metabolism meningkat tinggi. Pada usia dua tahun, kalau dibandingkan dengan otak orang dewasa yang normal, otak seorang anak berisi sinepsis sebanyak dua kalinya. Ahli neurologi pediatri University of Chicago Dr. Peter Huttenlocher telah mencatat urutan proses selama masa gejolak luar biasa dalam perkembangan otak ini dengan melakukan autopsi pada beberapa otak bayi dan anak kecil yang telah meninggal secara mendadak. Banyak sinepsis dalam satu lapisan pada korteks penglihatan, tulis Huttenlocher,
aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549
Y. F. Nadirah
189
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.2, Tahun 2016, Hal. 186-195
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
meningkat dari kira-kira 2.500 per neuron pada saat kelahiran menjadi 18.000 sekitar enam bulan kedepan. Peningkatan di daerah korteks lainnya juga sangat tinggi, tetapi urutan waktunya sedikit berbeda. Dan meskipun sambungan renik diantara serabut saraf ini terus terbentuk sepanjang hidup, kerapatan rata-rata tertinggi (15.000 sinepsis per neuron) sudah tercapai pada usia lebih kurang dua tahun dan akan tetap pada tingkat itu sampai usia 10 atau 11 tahun. Yang menyambung saraf-saraf otak seorang anak−atau yang menyambungnya kembali setelah cedera fisik−adalah pengalaman yang diulang-ulang. Setiap kali seorang bayi mencoba menyentuh suatu benda yang merangsangnya atau memandang suatu wajah atau mendengarkan lagu ninabobok, aliran listrik memancar lewat otak, menyambungkan neuronneuron menjadi sirkuit yang terancang dengan baik bagaikan cip silicon yang teretsa. Hasilnya adalah tonggak-tonggak tanda kemajuan perilaku yang membuat orang tua bergembira atau cemas. Pada usia kira-kira dua bulan, misalnya, pusat pengendalian gerak dalam otak berkembang sampai tingkat tertentu sehingga anak sanggup menggapai atau menangkap suatu benda yang dekat. Pada umur kira-kira empat bulan, korteks mulai memperhalus sambungan yang diperlukan untuk menangkap kedalaman (jarak benda) dan melihat dengan dua mata. Dan sekitar umur 12 bulan, pusat bicara dalam otak mencapai kesiapan untuk menghasilkan apa yang mungkin merupakan saat paling ajaib dalam masa kanak-kanak, yaitu kata pertama yang menandai mulai berkembangnya bahasa. Kalau otak tidak menerima infomasi yang tepat−atau menolaknya−akibatnya dapat sangat merusak. Beberapa anak yang memperlihatkan tanda awal autism, misalnya, menarik diri dari dunia ramai karena mereka itu hipersensitif terhadap rangsang indera, atau karena indra mereka kurang aktif dan memberikan informasi terlalu sedikit. Jadi, supaya efektif, kata Greenspan dari George Washington University, pengobatan harus meningkatkan kondisi dasar, dengan melindungi beberapa anak terhadap bunyi dan cahaya yang mengacaukan arah perhatian, atau memberikan rangsang yang menarik perhatian. Tetapi, kalau orang tua dan dokter bekerja sama dalam usaha yang intensif untuk menggapai otak yang abnormal itu, tulis Greenspan dalam The Growth of the Mind (Addison Wesley, 1997), anak berusia tiga tahun yang mulai meringkuk ke dunia autisme yang sempit kadang-kadang dapat ditarik kembali ke dunia normal. Peranan Keluarga (Orangtua) Kehidupan pada masa anak dengan berbagai pengaruhnya adalah masa kehidupan yang sangat penting khususnya berkaitan dengan diterimanya perangasangan (stimulasi) dan perlakuan dari lingkungan hidupnya. Kehidupan pada masa anak oleh karena itu harus dianggap sebagai periode kritis, periode sensitif dimana kualitas perangsangan harus diatur sebaik-baiknya, tentunya oleh orangtuanya sendiri yang pada hakikatnya dalah orang yang
aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549
Y. F. Nadirah
190
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.2, Tahun 2016, Hal. 186-195
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
paling bertangggungjawab untuk membesarkan dan mengembangkan anak menjadi pribadi yang dewasa, matang dan aspek-aspek kepribadiannya terintegrasi degan baik. Apakah periode kritis itu? Periode kritis adalah saat dimana individu memperoleh rangsanngan, perlakuan atau pengaruh dari lingkungan pada masa atau saat yang tepat. 4 Pengetahuan yang baru mengenai perkembangan otak ini tidak hanya merupakan pengetahuan yang menarik. Ada implikasinya yang mendalam bagi orang tua dan para pembuat kebijaksanaan. Pada zaman sekarang, ketika para ayah dan ibu merasa kekurangan waktu−dan mungkin sudah merasa bersalah karena banyaknya waktu yang mereka habiskan jauh dari anak-anak mereka−hasil penelitian laboratorium itu mungkin menambah kekhawatiran orang tua untuk menyerahkan pengasuhan anak-anak kepada orang lain pada usia sangat muda. Data yang ada memperjelas pentingnya pengasuhan anak oleh orang tua sendiri, pentingnya penyediaan waktu untuk menyayang-nyayang anak, untuk mengajak anak berceloteh, dan memberikan pengalaman yang merangsang. Orang tua adalah guru yang pertama dan terutama bagi otak. Antara lain, orang tua menggunakan gaya bicara berirama dan bernada tinggi yang disebut Parentese, gaya bicara “orang tua menyayang bayi,” untuk membantu proses belajar bayi mereka. Bila berbicara dengan bayi, kata psikolog Anne Fernald dan Stanford University, ayah dan ibu dalam berbagai lingkungan budaya mengubah pola bicaranya secara serupa. “Mereka mendekatkan wajah ke bayinya,” tulis Fernald. “Mereka menggunakan ucapan-ucapan lebih singkat dan berbicara dengan gaya yang penuh melodi.”Detak jantung si bayi meningkat ketika mendengar gaya khas ini, bahkan kalau gaya itu disampaikan dalam bahasa asing. Lebih dari itu, kata Fernald, Parentese ternyata mempercepat proses penghubungan kata-kata dengan bendanya. Anak berusia 12 bulan, yang disuruh “lihat bola” dalam bahasa Parentese, lebih sering secara tepat mengarahkan matanya ke nola daripada kalau perintah itu disampaikan dalam bahasa biasa. Dalam beberapa hal, “bahasa orang tua” yang dilebih-lebihkan dan banyak huruf hidupnya menyerupai makanan pilihan yang dilolohkan burung kepada anaknya. Patricia Kuhl dan kawan-kawan di University of Washington membiasakan puluhan bayi yang baru lahir untuk berpaling kalau mendengar bunyi ee dalam Bahasa Inggris Amerika, dan puluhan lagi berpaling kalau mendengar bunyi eu dala bahasa saying Swedia. Bayi yang masih sangat muda, kata Kuhl, rata-rata menangkap perubahan kecil dalam ucapan sebagai bunyi yang sama sekali berbeda. Tetapi, pada umur enam bulan, bayi Amerika tidak lagi bereaksi kalau mendengar ee yang diucapkan berbeda, dan bayi Swedia tidak terpengaruh oleh eu yang diucapkan berbeda. “seolah-olah otak mereka telah membentuk magnet kecil,” kata Kuhl, “dan semua bunyi di sekelilingnya ditariknya.” Yang lebih mendasar lagi ialah peranan orang tua dalam menarik peruntaian neuron yang membantu anak-anak mengatur reaksinya terhadap stress. Anak-anak yang secara fisik diperlakukan secara tidak baik pada masa kecilnya, kata Dr. Bruce Perry dari Baylor College
aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549
Y. F. Nadirah
191
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.2, Tahun 2016, Hal. 186-195
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
of Medicine di Houston, mengembangkan otak yang di setel untuk bahaya. Kalau ada ancaman sedikit saja, detak hormon stresnya membanjir, dan otak mereka dengan cemas mencari tanda-tanda yang memberitahukan serangan berikutnya. Karena otak berkembang secara urut, dengan arti bahwa struktur yang lebih primitive memantapkan sambungannya lebih dahulu, perlakuan tidak baik pada usia sangat muda sangatlah merusak. “Pengalaman adalah arsitek utama otak,” kata Perry. Dan karena pengalaman stress pada usia sangat muda ini merupakan semacam pola cetak bagi perkembangan otak selanjutnya, pengaruh pengalaman itu jauh lebih menyeluruh. Menghilangkan emosi pada masa awal kehidupan mempunyai efek yang sama. Selama enam tahun ahli psikologi Geraldine Dawson dan kawan-kawan di University of Washington memantau pola-pola gelombang otak anak yang lahir dari ibu penderita depresi. Sewaktu masih bayi, anak-anak ini dengan jelas memperlihatkan rendahnya kegiatan di lobus (cuping otak) depan kiri, yaitu daerah otak yang menjadi pusat emosi kegembiraan dan emosi senang lainnya. Lebih kantara lagi, pola-pola kegiatan otak pada anak-anak ini dengan tepat sekali mengikuti turun-naiknya depresi ibunya. Pada usia tiga tahun, anak-anak yang ibunya mengalami depresi lebih parah atau berkepanjangan masih terus memperlihatkan tingkat kegiatan yang sangat rendah. Anehnya, tidak semua anak yang dilahirkan dari ibu penderita depresi mengembangkan pola gelombang otak yang tidak normal ini, tulis Dawson. Rupanya, yang menyebabkan kelainan adalah emosi yang mewarnai interaksi antara ibu dan anak. Dawson selama berjam-jam mempelajari rekaman video ibu-ibu penderita depresi dalam berinteraksi dengan bayi mereka. Dawson berusaha menemukan kaitan antara perilaku ibu dan otak anak. Ia menemukan bahwa ibu yang tidak peduli, mudah marah, dan tidak sabar mempunyai bayi yang berotak sedih. Akan tetapi, ibu yang mengalami deprsi, namun mampu mengatasi kesedihannya, dan memberikan perhatian besar kepada bayinya serta sering mengajaknya bermain-main, mempunyai anak yang kegiatan otaknya jauh lebih gembira. Kapankah saatnya terlambat untuk memperbaiki kerusakan yang disbabkan perlakuan buruk atau pengabaian secara fisik atau emosional? Untuk sementara, sekurang-kurangnya, otak anak itu sangat pemaaf. Kalau seorang ibu bangkit dari depresinya, sebelum anaknya berumur satu tahun, demikian penemuan Dawson, kegiatan otak dalam lobus depan kiri dengan cepat menigkat. Tetapi, makin besar si anak, kemampuan untuk mengejar ketinggalan itu dengan jelas makin berkurang. Banyak ilmuwan beranggapan bahwa dalam tahap-tahap pertama masa kanak-kanak terdapat sejumlah periode kritis dan sensitif. Pada periode atau “jendela” ini, otak memerlukan beberapa masukan untuk menciptakan atau memantapkan struktur-struktur yang akan bertahan lama. Misalnya, anak yang dilahirkan dengan katarak pada salah satu matanya, mata tersebut akan tetap buta kalau lensa yang berkabut itu tidak segera dibersihkan. Mengapa? Pusat penglihatan otak memerlukan rangsang indra (dalam hal ini rangsang cahaya yang
aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549
Y. F. Nadirah
192
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.2, Tahun 2016, Hal. 186-195
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
mengenai retina mata) untuk mempertahankan tata sambungannya yang masih bersifat cobacoba. Yang lebih controversial adalah anggapan banyak ahli bahasa bahwa kemampuan bahasa berkembang sesuai dengan suatu jadwal ketat yang ditentukan secara biologis. Menurut pandangan ini, anak-anak itu menyerupai jenis burung tertentu yang tidak dapat menguasai kicauannya kalau tidak pernah mendengar kicauan itu pada masa kecilnya. Pada burung zebra finch, jendela untuk menguasai kicauan khasnya terbuka pada umur 25 hingga 30 hari sesudah menetas dan tertutup lagi 50 hari kemudian. Peranan Lingkungan Otak mempunyai peran penting untuk perkembangan fisik, kognisi, emosi, sosial dan kepribadian perlu diusahakan agr otak kiri dan otak kanan berfungsi secara interaktif melalui pengalaman sehari-hari dan pelatihan sehari-hari.5 Kini sangat dibutuhkan program prasekolah yang bertujuan memperbesar daya otak anak yang dilahirkan baik dalam keluarga di pedesaan dan kota. “Ada skala waktu bagi perkembangan otak, dan tahun yang paling penting adalah tahun pertama,” kata Frank Newman, presiden Komisi Pendidikan Amerika Serikat. Pada usia tiga tahun, anak yang diterlantarkan atau disia-siakan akan membawa cap yang sulit atau bahkan tidak dapat dihapus.6 Akan tetapi, penelitian baru ini juga memberikan harapan. Para ilmuwan menemukan bahwa otak anak selama tahun-tahun pertama itu sedemikian mudah dibentuk sehingga bila seorang anak sangat muda terkena stroke atau cedera yang merusak satu belahan otaknya, ia masih dapat tumbuh menjadi orang dewasa yang berfungsi penuh. Apalagi, kini makin jelas bahwa program prasekolah yang terencana dengan baik dapat membantu banyak anak mengatasi kekurangan parah akibat lingkungan keluarga. Dengan terapi yang tepat, kata para peneliti, gangguan yang parah, misalnya disleksia, masih dapat diatasi. Bagi anak-anak tertentu, masalah bawaan mungkin menimbulkan resiko yang lebih besar dari pada anak lain, tetapi hal itu tidak boleh dijadikan alasan untuk mengabaikan pengaruh lingkungan dalam membentuk ulang otak anak. “Kita mungkin tidak dapat berbuat banyak untuk mengubah apa yang terjadi sebelum bayi dilahirkan, tetapi kita dapat mengubah apa yang terjadi sesudah ia lahir,” kata ahli neurologi pediatric Dr. Harry Chugani dari Wayne State University, Detroit. Bukti bahwa kegiatan itu dapat mengubah otak mulai menjadi cukup banyak pada tahun 1970-an. Tetapi, baru akhir-akhir ini para peneliti mempunyai alat yang cukup canggih untuk secara cermat mengungkapkan mekanisme perubahan yang terjadi kibat adanya pengaruh lingkungan. Para peneliti mengungkap hubungan yang ada antara kegiatan otak dan struktur otak, hubungan yang sebelumnya tidak diketahui. Dengan begitu, mereka mulai membangun jembatan kokoh antara gen dan lingkungan yang sebelumnya seakan-akan terpisah oleh jurang lebar. Kini para ahli sependapat bahwa seorang bayi tidaklah dilahirkan sebagai suatu
aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549
Y. F. Nadirah
193
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.2, Tahun 2016, Hal. 186-195
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
automaton yang di program sebelumnya secara genetis atau sebagai batu tulis yang boleh ditulisi semaunya oleh lingkungan, melainkan sebagai suatu yang jauh lebih menarik. Oleh sebab itu, perdebatan yang melibatkan para filsuf dari generasi ke generasi tentang mana yang paling menentukan, alam atau pengalaman (lingkungan)−tidak lagi menarik minat kebanyakan ilmuwan. Mereka mencatat ribuan cara berinteraksinya gen dan lingkungan. Penelitian CREB, lebih dari penemuan lain, mengungkap kaitan antara proses perkembangan yang terjadi sebelum kelahiran dan perkembangan yang terjadi sebelum kelahiran dan perkembangan yang terus berlangsung lama sesudahnya. Soalnya, seperti diperlihatkan oleh ahli neurofisiologi Eric Kandel dari Columbia University, dua proses mengingat dan belajar pada binatang dewasa bergantung pada molekul CREB.7 Ketika Kandel menghambat kegiatan CREB dalam sejumlah keong besar, otak keong itu berubah sedimikian rupa sehingga memperlihatkan bahwa otak masih dapat belajar, tetapi apa yang dipelajari hanya dapat diingat sebentar sekali. Rupanya tanpa CREB itu keong (dan secara umum, makhluk yang lebih maju seperti manusia) tidak dapat membentuk ingatan berjangka panjang. Dan tanpa ingatan berjangka panjang, sulit membayangkan bahwa otak bayi mampu menguasai lebih dari keterampilan dasar. “Pengaruh pengalaman (lingkungan) itu penting,” kata Kandel, “tetapi pengalaman bekerja lewat alam.” Menurut Packiam & Gathercole, mengenai ingatan berjangka panjang ini, seringkali kegagalannya tidak terdeteksi di dalam kelas atau disalahklasifikasikan sebagai kegagalan perhatian (seperti tidak mendenarkan atau mudah terganggu) atau kegagalan motivasi (sama sekali tidak tertarik). Padahal anak-anak ini mengalami masalah memori kerja. Anak yang memulai tugas dengan baik tetapi kemudian melupakan infomasi penting yang diperlukan untuk menuntun suatu kegiatan; bila tidak ada bantuan yang diperoleh, mereka akan mulai terganggu dan mulai melamun. Melakukan intervensi yang tepat dan pada saat yang tepat pula akan membantu membuat anak memusatkan perhatiannya.8 Kesimpulan Saat dilahirkan, otak dilengakapi dengan 1 trilliun sel otak. Dari 1 trilliun ini, 100 milliar adalah sel otak aktif dan 900 milliar sel otak pendukung. Setiap sel otak dapat memiliki kemungkinan koneksi milau dari 1 hingga 20.000 koneksi. Semua manusia lahir dibekali jumlah sel otak yang sama banyak. Tidak ada yang diberi lebih banyak atau lebih sedikit. Kecerdasan manusia tidak hanya ditentukan semata oleh jumlah sel otak yang ia miliki tetapi lebih ditentukan oleh seberapa banyak koneksi yang bisa terjadi diantara masingmasing sel otak. Peranan orang tua yang membantu anak-anak mengatur reaksinya terhadap stress. Anak-anak yang secara fisik diperlakukan secara tidak baik pada masa kecilnya akan mengembangkan otak yang di setel untuk bahaya. Kalau ada ancaman sedikit saja, detak hormon stresnya membanjir, dan otak mereka dengan cemas mencari tanda-tanda yang
aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549
Y. F. Nadirah
194
aṣ-ṣibyan, Vol.1, No.2, Tahun 2016, Hal. 186-195
Jurnal Pendidikan Guru Raudlatul Athfal
ISSN 2541-5549
memberitahukan serangan berikutnya. Pola gelombang otak yang tidak normal pada anak tidak hanya disebabkan oleh ibu yang depresi saja namun kelainan ini juga disebabkan oleh emosi yang mewarnai interaksi antara ibu dan anak. Sangat dibutuhkan program prasekolah yang bertujuan memperbesar daya otak anak yang dilahirkan baik dalam keluarga di pedesaan dan kota. Catatan Akhir 1
Kartono Kartini. Psikologi Anak (Psikologi Perkembangan), (Bandung: CV. Mandar Maju, 2000),
h.7. 2
Utami Munandar, Bunga Rampai Psikologi Perkembangan Pribadi dari Bayi sampai Lanjut Usia, (Depok: UI Press, 2001), h.46. 3 Adi W. Gunawan, Genius Learning Strategy, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004), h.56. 4 Utami Munandar, Bunga Rampai Psikologi Perkembangan Pribadi dari Bayi sampai Lanjut Usia, (Depok: UI Press, 2001), h.129. 5 Ibid., h. 55 6 Madeleine, Nash, Otak Kanak-Kanak, (Jakarta: PT. Tigaraksa Satria, 1997), h.10. 7 Ibid., h.7. 8 Susan E., Gathercole & Tracy Packiam, Memori Kerja dan Proses Belajar, (Jakarta: PT.Indeks, 2009), h.xiii.
Daftar Pustaka Gathercole, Susan E., & Packiam, Tracy. Memori Kerja dan Proses Belajar (Panduan Praktis Bagi Guru). Alih Bahasa: Hipyan Nopri, Jakarta: PT.Indeks, 2009. Gunawan, Adi W. Genius Learning Strategy. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2004. Kartono, Kartini. Psikologi Anak (Psikologi Perkembangan). Bandung: CV. Mandar Maju, 2000. Munandar, Utami. Bunga Rampai Psikologi Perkembangan Pribadi dari Bayi sampai Lanjut Usia, Depok: UI Press, 2001. Nash, Madeleine. Otak Kanak-Kanak. Jakarta: PT. Tigaraksa Satria, 1997.
aṣ-ṣibyan ISSN 2541-5549
Y. F. Nadirah
195
PEDOMAN PENULISAN Penulis yang bermaksud mengirimkan karyanya untuk Jurnal As-Sibyan, dianjurkan mengikuti pedoman berikut ini: 1. Naskah orisinil hasil penelitian empiris atau kajian teoritis-reflektif mengenai kajian gender dan anak dalam berbagai metode dan pendekatan yang belum pernah dipublikasikan dan tidak sedang dalam proses review di jurnal yang lain. 2. Artikel hasil penelitian memuat: Judul, Nama Penulis (disertai dengan identitas penulis dan alamat instansi/ lembaga penulis, email dan HP), Abstrak (diikuti kata kunci), Pendahuluan (memuat latar belakang, masalah, tinjauan pustaka secara ringkas, masalah penelitian dan tujuan penelitian), Metode Penelitian, Hasil Pembahasan, Kesimpulan dan Daftar Pustaka (berisi pustaka yang dirujuk dalam uraian). 3. Artikel kajian teoritis-reflektif atau kajian konseptual memuat: Judul, Nama Penulis (disertai dengan identitas penulisan dan alamat instansi/ lembaga penulis, email dan No. HP), Abstrak (diikuti dengan kata kunci), Pendahuluan, Sub-sub Judul (sesuai dengan kebutuhan), Penutupan / Kesimpulan dan Daftar Pustaka (berisi pustaka yang dirujuk dalam uraian). 4. Naskah dalam Bahasa Indonesia dan Inggris diketik 1 spasi pada kertas A4 dengan menggunakan font Time New Roman ukuran 12 pt untuk tubuh tulisan dan 10 pt untuk footnotes; sedangkan naskah berbahasa Arab diketik 1 spasi dengan menggunakan font Traditional Arabic ukuran 14 pt. untuk tubuh Tulisan dan 12 pt untuk footnotes. Panjang tulisan kurang lebih 15-25 halaman. 5. Abstrak terdiri dari 150-200 kata yang ditulis dalam satu paragraph, dilanjutkan dengan kata kunci (keywords) 406 kata. Abstark memuat latar belakang penulisan, tujuan penulisan, pembahasan, dan kesimpulan. Apabila merupakan hasil penelitian, harus memuat metode dan hasil penelitian. 6. Transliterasi Arab-Latin diharuskan berpedoman pada Pedoman Transliterasi ArabLatin SKB dua menteri, Menteri Agama R.I. Nomor 158 tahun 1987 dan Menteri Pendidiknan dan Kebudayaan R.I. nomor 0543 b/u/1987 tentang Pedoman Transliterasi Arab-Latin. 7. Rujukan terjemah Al-Qur’an dalam Bahasa Indonesia mengacu pada Al-Qur’an dan Terjemahnya, Departemen Agama R.I.; sedangkan dalam Bahasa Inggris mengacu pada karya Abdullah Yusuf Ali, The Holy Qur’an: Text, Translation and Commentary. 8. Sumber rujukan dianjurkan menggunakan bahan pustaka manual dan digital mutakhir (5-10 tahun terakhir). Sistem kutipan harus menyebutkan sumbernya secara lengkap dan tlisan dalam sistem footnotes. 9. Semua naskah akan ditelaah oleh Dewan Redaksi dan Hasil keputusan siding redaktur yang relevan disampaikan kepada pengirim tulisan. 10. Penulis menerima bukti pemuatan sebanyak 2 eksemplar jurnal. Naskah yang tidak dimuat tidak dikembalikan, kecuali atas permintaan penulis. Artikel dapat dikirim ke alamat Redaksi Jurnal pendidikan Guru Raudlatul Athfal, yaitu Jurnal As-Sibyan, via e-mail:
[email protected] atau
[email protected]
196