NATIONAL CRITC
CRITC REPORT BASE LINE STUDY WAKATOBI SULAWESI TENGGARA
DESEMBER 2001
COREMAP CORAL REEF REHABILITATION AND MANAGEMENT PROGRAM Jl.Raden Saleh No. 43 Jakarta 10330 Telp. (021) 3143080 Fax. (021) 3143082 Email :
[email protected] - WebSite : http://www.coremap.or.id
1
RINGKASAN EKSEKUTIF Kepulauan Wakatobi terletak di pertemuan Laut Banda dan Laut Flores. Di sebelah utara dibatasi dengan Laut Banda dan Pulau Buton. Di sebelah Selatan dibatasi oleh laut Flores, di sebelah Timur oleh Laut Banda dan sebelah Barat dibatasi oleh Pulau Buton dan Laut Flores. Wakatobi merupakan singkatan dari nama 4 pulau besar yang ada di kawasan tersebut, yaitu pulau Wangi-wangi, Pulau Kaledupa Pulau Tomia dan pulau Binongko. Semula gugusan pulau ini dikenal dengan nama kepulauan Tukang Besi, karena sejak dahulu penduduk di kepulauan ini dikenal sebagai pengrajin atau pandai besi yang memasok kebutuhan rumah tangga dan alat-alat perang bagi kerajaan Buton dan sekitarnya. Secara geografis Kepulauan Wakatobi terletak antara 123°15’00’’ – 124°45’00’’ Bujur Timur dan 05°15’00’’ – 06°10’00’’ Lintang Selatan. Secara keseluruhan kepulauan ini terdiri dari 39 pulau, 3 gosong dan 5 atol. Terumbu karang di kepulauan ini terdiri dari karang tepi (fringing reef), gosong karang (patch reef) dan atol. Keempat pulau tersebut relatif kering, berbukit-bukit dan ditumbuhi oleh hutan tropis yang kering, sedangkan pulau-pulau yang lain berukuran relatif kecil. Secara administratif kepulauan Wakatobi termasuk dalam Kabupaten Buton, Propinsi Sulawesi Tenggara.
Kepulauan Wakatobi terdiri dari empat pulau besar, yaitu
Pulau Wangi-wangi,
Kaledupa, Tomia dan Binongko. Luas masing-masing pulau berturut-turut adalah sebagai berikut : pulau Wangi-wangi 156,5 km2; Kaledupa 64,8 km2; Tomia 52,4 km2 dan Binongko 98,7 km2. Kawasan Wakatobi telah ditetapkan sebagai Taman Nasional berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 393/Kpts-VI/1996 tanggal 30 Juli 1996. Kawasan tersebut memiliki luas 1.390.000 hektar yang dibagi menjadi 5 zona, yaitu : Zona Inti, Zona Pelindung, Zona Pemanfaatan,
Zona
Pemanfaatan Tradisional dan Zona Rehabilitasi. Dalam rangka mempersiapkan desain COREMAP tahap kedua Taman Nasional Laut Wakatobi telah dipilih oleh Pemerintah daerah Propinsi Sulawesi Tenggara sebagai lokasi COREMAP fase II. Oleh karena itu diperlukan informasi dasar tentang keadaan lokasi tersebut yang telah dilakukan dalam kegiatan baseline studi ini. Adapun tujuan baseline studi ini adalah mengumpulkan data-data dasar mengenai kondisi karang, ikan, lamun serta kondisi lingkungan perairan setempat. Data yang diperoleh akan digunakan untuk penyusunan desain fase II COREMAP-LIPI.
Pemetaan
Hasil citra diketahui bahwa luas terumbu karang di kepulauan Wakatobi adalah 88.161,69 hektar. Di kompleks P. Wangi-wangi dan sekitarnya (P. Kapota, P. Suma, P. Kamponaone) lebar terumbu mencapai 120 meter (jarak terpendek) dan 2,8 kilometer (jarak terjauh). Untuk P. Kaledupa dan P. Hoga, lebar terpendek terumbu adalah 60 meter dan terjauh 5,2 kilometer. Pada P. Tomea, rataan terumbunya mencapai 1,2 kilometer untuk jarak terjauh dan 130 meter untuk jarak terdekat. Kompleks atol Kaledupa
2
mempunyai lebar terumbu 4,5 kilometer pada daerah tersempit dan 14,6 kilometer pada daerah terlebar. Panjang atol Kaledupa sekitar 48 kilometer.
Karang
Terumbu karang di Wakatobi bertipe karang tepi (fringing reef), karang gosong, patch reef dan atol.
Rataan terumbu mempunyai lebar yang bervariasi antara 50 meter -1,5 km untuk terumbu
karang tepi. Rataan terumbu mempunyai moat dan reef rampart di tepi tubir. Kondisi tubir hampir semuanya dengan reef slope yang curam.
Karang yang tumbuh di rataan terumbu umumnya
didominansi oleh Montipora digitata, Porites cylindrica dan Goniastrea rectiformis. Lereng terumbu atas umumnya didominasi oleh Acropora spp dan lereng terumbu tengah pada kedalaman sekitar 20 meter didominasi oleh karang Acropora hyacinthus, Echinopora spp.
Karang yang hidup di
Wakatobi mencapai kedalaman lebih dari 40 meter. Hasil RRA menunjukkan bahwa persentase tutupan karang hidup di Pulau Wangi-wangi (2,7%/reef top; 28,7%/reef edge) relatif lebih jelek dibandingkan dengan Pulau Kaledupa (7,7%/reef top; 37,8%/reef edge), Pulau Tomia (32,3%/reef edge), Pulau Lintea (2,4%/reef top; 22,3%/reef edge) dan Atol Kaledupa (23,3%/reef top; 19%/reef edge). Analisis Bentic Life Form menunjukkan bahwa peresentase tutupan karang hidup di Pulau Kaledupa 49,59%, Pulau Lintea 43,96%, Pulau Tomia 42,71% dan Atol Kaledupa 37,57%.
Secara keseluruhan, diketahui bahwa persentase
tutupan karang hidup di daerah Reef Edge relatif masih lebih baik bila dibandingkan dengan di daerah Reef Top, kecuali di Atol Kaledupa. Selama pengamatan, dijumpai 238 jenis karang batu dari 71 marga di Atol Kaledupa, 174 jenis dari 64 marga di pulau Kaledupa, 163 jenis dari 64 marga di pulau Lintea, 146 jenis dari 56 marga di pulau Tomia dan 131 jenis dari 55 marga di pulau Wangi-wangi.
Ikan Karang
Pengamatan dengan metoda RRA di perairan Wakatobi mencatat sejumlah 3117 individu ikan dari rataan terumbu (reef top) dan 20597 individu ikan dari lereng terumbu (reef edge) yang terdiri dari 39 suku, 105 marga dan 326 jenis. Dari rataan terumbu, jumlah jenis tertinggi dijumpai di P. Kaledupa (97 jenis) diikuti berturut-turut oleh P. Wangi-Wangi (83 jenis), P. Tomia (73 jenis) dan Atol Kaledupa (57 jenis). Sedangkan dari lereng terumbu, jumlah jenis tertinggi dijumpai di Atol Kaledupa (182 jenis), diikuti oleh P. Wangi-Wangi (177 jenis), P. Kaledupa (150 jenis) dan P. Tomia (117 jenis). Berdasarkan kategori ikan, kekayaan jenis tertinggi untuk kelompok ikan major dimiliki oleh marga Pomacentridae dengan 61 jenis, ikan target ditempati oleh marga Serranidae (kelompok kerapu) sedangkan ikan indikator tercatat sebanyak 4 jenis. Kelimpahan ikan tertinggi untuk RRA di rataan terumbu ditempati oleh D. aruanus (Pomacentridae) dari kategori ikan major dengan 315 individu. Di
3
lereng terumbu, kelimpahan tertinggi diduduki oleh Cesio caerulaurea (Caesionidae) dari kelompok ikan target dengan 3365 individu. Dari hasil pengamatan ikan karang dengan metoda LIT di perairan Wakatobi (Atol Kaledupa, P. Kaledupa dan Selat Tomia) diperoleh sebanyak 23678 individu yang terdiri dari 40 suku, 111 marga dan 320 jenis. Dari ikan yang diperoleh, tercatat 25 marga adalah ikan major, 14 marga merupakan ikan target, dan 1 marga merupakan ikan indikator. Berdasarkan jumlah jenis tertinggi untuk kategori ikan major adalah marga Pomacentridae dengan 55 jenis ikan; kategori ikan target marga Serranidae dengan 21 jenis dan untuk ikan indikator tercatat
30 jenis ikan. Kelimpahan ikan
tertinggi untuk LIT ditempati oleh Chromis ternatensis (Pomacentridae) dengan 1874 ekor (ikan target). Ikan indikator masih banyak dijumpai di perairan Wakatobi. Demikian pula dengan ikan target yang bernilai ekonomis penting.
Selain itu ikan komersial lainnya seperti ikan Napoleon masih
banyak dijumpai.
Lamun
Hasil pengamatan lamun di Wakatobi mencatat 9 jenis lamun yaitu : Haludule uninervis, H. pinifolia, Cymodocea rotundata, C. serrulata, Thalassodendron ciliatum, Syringodium isoetifolium, Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii dan Halophila ovalis.
Sebaran jenis lamun umumnya
merata disetiap lokasi pengamatan. Kekayaan jenis lamun yang ada di Wakatobi tergolong tinggi jika dibandingkan dengan kehadiran lamun di Indonesia yaitu 12 jenis. Secara umum padang lamun didominasi oleh Thalassodendron ciliatum, dengan persentase tutupan 66% + 9,7%, kerapatan 738 + 100 tegakan/m2 dan total biomassa 236,21 + 43,92 gram berat kering/m2. Berdasarkan hasil penelitian maka dapat dikatakan bahwa padang lamun umumnya homogen dan dapat digolongkan pada tipe padang lamun yang berasosiasi dengan terumbu karang. Vegetasi dari padang lamun pada lokasi-lokasi yang diteliti pada umumnya adalah tipe tunggal Thalassodendron ciliatum , dan tipe campuran dengan kombinasi antara E. acoroides, T. hemprichii dan H. ovalis serta Thalassodendron ciliatum dan T. hemprichii.
Kualitas Air
Kualitas air di perairan Wakatobi tergolong masih bersih dan belum terlihat adanya pengaruh kegiatan manusia (limbah rumah tangga, pelabuhan, wisata).
Kadar oksigen terlarut di seluruh
perairan berkisar antara 5,28 - 7,59 ppm (6,40 ±0,48 ppm). Kadar nitrat berkisar antara < 1,00 22,46 ppb (2,00 ±3,55 ppb),sedangkan kadar nitrit berkisar antara < 1,00 - 4,20 ppb (0,66 ±1,28 ppb). Kadar fosfat berkisar antara 1,57 - 12,11 ppb (4,82 ±2,42 ppb). Kadar TSS berkisar antara
4
2,76 – 5,02 ppm (3,81±0,49 ppm). Salinitas dan pH permukaan di perairan TN Wakatobi berkisar antara 34,5 - 35,0 %o dan 8,01 – 8,50.
Oseanografi o
Suhu permukaan laut (2 m) berkisar antara 27,26 – 28,73 C. Nilai salinitas pada permukaan (2 m) berkisar antara 34,15 – 34,34 psu. Kecerahan pada permukaan (2 m) di perairan Wakatobi berkisar antara 70,8 – 86,1 %. Nilai kekeruhan (turbiditas) sangat rendah yaitu < 1 NTU. Intensitas matahari mampu menembus sampai kedalaman antara 55 meter hingga 122 meter. Kecepatan arus pada kedalaman 13 meter berkisar antara 25 – 43 meter/detik.
5
PENGANTAR
Dalam rangka mempersiapkan COREMAP fase II, maka Pemerintah Daerah Propinsi Sulawesi Tenggara memilih Kepulauan Taman Nasional Wakatobi sebagai lokasi COREMAP fase II.
Sebagai tindak lanjutnya,
maka CRITC-Nasional melakukan baseline studi ekologi di daerah tersebut. Pada baseline studi ini data-data yang dikumpulkan adalah data karang, ikan karang, lamun, kualitas air serta beberapa parameter oseanografi. Metode pengumpulan data telah disepakati bersama dalam pertemuan yang diadakan pada bulan Agustus 2001.
Salah satunya adalah menggunakan Rapid Reef Resources Assessment dan Line Intercept Transect
untuk melihat kondisi karang, ikan karang serta lamun. Data yang terkumpul diharapkan dapat digunakan untuk mempersiapkan desain COREMAP fase II. Baseline studi ini tidak akan terlaksana tanpa bantuan serta kerjasama dari berbagai pihak. Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada seluruh tim peneliti, Kapten serta ABK Kapal Riset Baruna Jaya VIII, Pemerintah Daerah Propinsi Sulawesi Tenggara, Pemda Kabupaten Buton, Taman Nasional, Camat Wangi-wangi, Operation Wallacea, serta berbagai pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu-persatu. Tanpa bermaksud mengecilkan arti usaha dari para peneliti, kami percaya bahwa masih banyak kekurangan dari laporan ini. Oleh sebab itu segala kritik dan saran sangat dibutuhkan.
Mengetahui Asisten Direktur Bidang Penelitian dan Informasi,
Dr. Suharsono
Koordinator,
Dra. Nurul Dhewani, Msi.
6
DAFTAR ISI RINGKASAN EKSEKUTIF PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN
Hal 2 6 7 9 10 12
1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.2. Tujuan dan Sasaran 1.3. Hasil yang Diharapkan
13 13 15 15
2. METODOLOGI 2.1. Waktu dan Lokasi Penelitian 2.2. Pemetaan 2.3. Karang 2.4. Ikan Karang 2.5. Lamun 2.6. Kualitas Air 2.7. Oseanografi
16 16 20 21 22 22 26 28
3. HASIL DAN BAHASAN 3.1. Kondisi Umum Kawasan Wakatobi 3.1.1. Pemetaan 3.1.2. Karang 3.1.3. Ikan Karang 3.1.4. Lamun 3.1.5. Kualitas Air 3.1.5.1. Oksigen 3.1.5.2. Nitrit dan Nitrat 3.1.5.3. Fosfat 3.1.5.4. TSS 3.1.5.5. Salinitas dan pH 3.1.6. Oseanografi 3.1.6.1. Suhu 3.1.6.2. Salinitas 3.1.6.3. Kecerahan 3.1.6.4. Kekeruhan (turbiditas) 3.1.6.5. Intensitas Matahari
30 30 30 32 34 38 40 40 41 41 42 42 42 42 43 44 45 45
3.2. Kondisi Masing-masing Lokasi Penelitian 3.2.1. Pulau Wangi-wangi 3.2.1.1. Karang 3.2.1.2. Ikan Karang 3.2.1.3. Lamun 3.2.1.4. Kualitas Air 3.2.1.5. Arus
47 47 47 48 49 50 53
7
3.2.2. Pulau Kaledupa 3.2.2.1. Karang 3.2.2.2. Ikan Karang 3.2.2.3. Lamun 3.2.2.4. Kualitas Air 3.2.2.5. Arus
55 55 57 59 59 62
3.2.3. Pulau Tomia 3.2.3.1. Karang 3.2.3.2. Ikan Karang 3.2.3.3. Lamun 3.2.3.4. Kualitas Air 3.2.3.5. Arus
64 64 66 67 68 72
3.2.4. Atol Kaledupa 3.2.4.1. Karang 3.2.4.2. Ikan Karang 3.2.4.3. Lamun 3.2.4.4. Kualitas Air 3.2.4.5. Arus
74 74 76 77 77 81
4. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 4.1. Kesimpulan 4.2. Rekomendasi
83 83 83
DAFTAR PUSTAKA
84
8
DAFTAR TABEL Tabel 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Jumlah Stasiun Pengamatan Di Kawasan Taman Nasional Wakatobi, Sulawesi Tenggara Persentase Tutupan Karang Berdasarkan Life Form di Kawasan TN Wakatobi Keragaman Jenis Lamun Di Lokasi Penelitian Wakatobi (Klasifikasi Menurut Den Hartog, 1970; Phillips &Menez, 1988). Kisaran Kadar DO, Ph, Salinitas,TSS, Nitrat, Nitrit Dan Fosfat Di Perairan Taman Nasional Kepulauan Wakatobi, Oktober-November 2001 Hasil RRA Di Tubir (Reef Edge) Dan Rataan Terumbu (Reef Top)Di Pulau Wangi-Wangi Kelimpahan Dan Kelimpahan Relatif Dari 10 Jenis Ikan Karang Yang Dominan Yang Dilakukan Di Rataan Terumbu (Reef Top) P. Wangi-Wangi Kelimpahan Dan Kelimpahan Relatif Dari 10 Jenis Ikan Karang Yang Dominan Yang Dilakukan Dilereng Terumbu (Reef Edge) P.Wangi-Wangi Rata-Rata Kerapatan (Tegakan / M2), Total Biomasa (Gram Berat Kering/M2), Rata-Rata Tutupan (%) Dan Dominansi Jenis Di Pulau Wangi-Wangi. Hasil RRA Di Lereng Terumbu (Reef Edge) Dan Rataan Terumbu (Reef Top) Di Pulau Kaledupa Kelimpahan Dan Kelimpahan Relatif Dari 10 Jenis Ikan Karang Yang Dominan Yang Dilakukan Di Rataan Terumbu (Reef Edge) P. Keledupa Kelimpahan Dan Kelimpahan Relatif Dari 10 Jenis Ikan Karang Yang Dominan Yang Dilakukan Dilereng Terumbu (Reef Top) P.Kaledupa Rata-Rata Kerapatan (Tegakan / M2), Total Biomasa (Gram Berat Kering/M2), Rata-Rata Tutupan (%) Dan Dominansi Jenis Dipulau Kaledupa Hasil RRA Di Lereng Terumbu (Reef Edge) Dan Rataan Terumbu (Reef Top) Di Pulau Tomia Dan Lintea, Oktober 2001 Kelimpahan Dan Kelimpahan Relatif Dari 10 Jenis Ikan Karang Yang Dominan Yang Dilakukan Di Lereng Terumbu (Reef Edge) P. Tomia Kelimpahan Dan Kelimpahan Relatif Dari 10 Jenis Ikan Karang Yang Dominan Yang Dilakukan Di Rataan Terumbu (Reef Top) P.Tomia Rata-Rata Kerapatan (Tegakan / M2), Total Biomasa (Gram Berat Kering M2), Rata-Rata Tutupan Dan Dominansi Jenis Dipulau Tomia Dan Atol Tomia Hasil RRA Di Lereng Terumbu (Reef Edge) Dan Rataan Terumbu (Reef Top) Di Atol Kaledupa Kelimpahan Dan Kelimpahan Relatif Dari 10 Jenis Ikan Karang Yang Dominan Yang Dilakukan Di Lereng Terumbu (Reef Edge) P. Atol Kaledupa Kelimpahan Dan Kelimpahan Relatif Dari 10 Jenis Ikan Karang Yang Dominan Yang Dilakukan Di Rataan Terumbu (Reef Top) Atol Kaledupa Rata-Rata Kerapatan (Tegakan / M2), Total Biomasa (Gram Berat Kering M2), Rata-Rata Tutupan Dan Dominansi Jenis Di Atol Kaledupa
Hal 18 33 38 40 48 49 49 50 57 58 58 59 66 67 67 68 75 76 77 77
9
DAFTAR GAMBAR Gambar 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18a 18b 18c 18d 19 20 21a 21b 21c 21d 22 23 24a 24b
Peta Lokasi Penelitian Stasiun Penelitian di Reef Top Stasiun Penelitian Reef Edge Titik LIT Stasiun Penelitian Kualitas air Stasiun Oseanografi Persentase Karang Hidup hasil RRA di Lokasi penelitian, Kepulauan Wakatobi, Oktober 2001 Jumlah Jenis dan Jumlah Marga Karang Keras di Lokasi Penelitian, Kepulauan Wakatobi, Oktober 2001. Jumlah Jenis Ikan Hasil RRA di Rataan Terumbu (reef top = 110 stasiun) dan Lereng Terumbu (reef edge = 146 stasiun) di Perairan Wakatobi. Jumlah Jenis Ikan Berdasarkan Kategori Ikan Hasil RRA di Perairan Wakatobi. Jumlah Jenis dan Marga Ikan Hasil LIT di Perairan Wakatobi Profil Tegak Suhu di Perairan Wakatobi, Sulawesi Tenggara Profil Tegak Salinitas Di Perairan Wakatobi Sulawesi Tenggara Profil Tegak Kecerahan Air Di Perairan Wakatobi Sulawesi Tenggara Profil Tegak Intensitas Matahari Di Perairan Wakatobi Sulawesi Tenggara Jumlah Jenis dan Jumlah Individu Ikan Berdasarkan Kategori Ikan yang Tercatat Hasil RRA Selama Penelitian di Pulau Wangi-wangi, Oktober 2001 Distribusi oksigen terlarut, nitrat, nitrit, fosfat, TSS, salinitas dan pH di perairan Pulau Wangi-wangi, TN Wakatobi Kecepatan dan Arah Arus pada Kedalaman 13 meter di Sekitar Pulau Wangi-wangi, Sulawesi Tenggara Kecepatan dan Arah Arus pada Kedalaman 20 meter di Sekitar Pulau Wangi-wangi, Sulawesi Tenggara Kecepatan dan Arah Arus pada Kedalaman 50 meter di Sekitar Pulau Wangi-wangi, Sulawesi Tenggara Kecepatan dan Arah Arus pada Kedalaman 100 meter di Sekitar Pulau Wangi-wangi, Sulawesi Tenggara Jumlah Jenis dan Jumlah Individu Ikan Berdasarkan Kategori Ikan yang Tercatat Hasil RRA Selama Penelitian di Pulau Kaledupa Distribusi oksigen terlarut, nitrat, nitrit, fosfat, TSS, salinitas dan pH di perairan Pulau Kaledupa, TN Wakatobi Kecepatan dan Arah Arus pada Kedalaman 13 meter di Sekitar Pulau Kaledupa, Sulawesi Tenggara Kecepatan dan Arah Arus pada Kedalaman 20 meter di Sekitar Pulau Kaledupa, Sulawesi Tenggara Kecepatan dan Arah Arus pada Kedalaman 50 meter di Sekitar Pulau Kaledupa, Sulawesi Tenggara Kecepatan dan Arah Arus pada Kedalaman 100 meter di Sekitar Pulau Kaledupa, Sulawesi Tenggara Jumlah Jenis dan Jumlah Individu Ikan Berdasarkan Kategori Ikan yang Tercatat Hasil RRA Selama Penelitian di Pulau Tomia Distribusi oksigen terlarut, nitrat, nitrit, fosfat, TSS, salinitas dan pH di perairan Pulau Tomia, TN Wakatobi Kecepatan dan Arah Arus pada Kedalaman 13 meter di Perairan Pulau Tomia, Sulawesi Tenggara Kecepatan dan Arah Arus pada Kedalaman 20 meter di Perairan Pulau Tomia, Sulawesi Tenggara
Hal 19 23 24 25 27 29 33 34 35 35 36 43 44 45 46 48 52 52 53 54 54 56 58 61 62 62 63 63 67 71 72
10
24c 24d 25 26a 26b 27a 27b 27c 27d
Kecepatan dan Arah Arus pada Kedalaman 50 meter di Perairan Pulau Tomia, Sulawesi Tenggara Kecepatan dan Arah Arus pada Kedalaman 100 meter di Perairan Pulau Tomia, Sulawesi Tenggara Jumlah Jenis dan Jumlah Individu Ikan Berdasarkan Kategori Ikan yang Tercatat dari Hasil RRA Selama Penelitian di Pulau Atol Kaledupa Distribusi oksigen terlarut, nitrat, nitrit, fosfat, TSS, salinitas dan pH di perairan Atol Kaledupa Bagian Utara, TN Wakatobi Distribusi oksigen terlarut, nitrat, nitrit, fosfat, TSS, salinitas dan pH di perairan Atol Kaledupa Bagian Selatan, TN Wakatobi Kecepatan dan Arah Arus pada Kedalaman 13 meter di Perairan Sekitar Atol Kaledupa, Sulawesi Tenggara Kecepatan dan Arah Arus pada Kedalaman 20 meter di Perairan Sekitar Atol Kaledupa, Sulawesi Tenggara Kecepatan dan Arah Arus pada Kedalaman 50 meter di Perairan Sekitar Atol Kaledupa, Sulawesi Tenggara Kecepatan dan Arah Arus pada Kedalaman 50 meter di Perairan Sekitar Atol Kaledupa, Sulawesi Tenggara
72 73 78 79 80 81 81 82 82
11
DAFTAR LAMPIRAN Lamp. 1 2 3 4 5
6
7
Tabel Jumlah dan Sebaran Jenis Karang Batu Hidup di Wakatobi dan sekitarnya Tabel Kelimpahan dan Kehadiran Ikan Karang dengan metode LIT di perairan Wakatobi Tabel Index Keanekaragaman Jenis Gambar Reef Habitat Gambar Life Coral Cover Hasil RRA Reef Edge dan Reef Top di Seluruh Lokasi Penelitian Persentase Tutupan Karang Hidup Hasil RRA Reef Edge P. Wangi-Wangi Persentase Tutupan Karang Hidup Hasil RRA Reef Edge P. Kaledupa Persentase Tutupan Karang Hidup Hasil RRA Reef Edge P. Tomia Persentase Tutupan Karang Hidup Hasil RRA Reef Edge Atol Kaledupa Utara Persentase Tutupan Karang Hidup Hasil RRA Reef Edge Atol Kaledupa Selatan Persentase Tutupan LifeForm Hasil RRA Reef EdgeWangi-Wangi Persentase Tutupan LifeForm Hasil RRA Reef Edge P.Kaledupa Persentase Tutupan LifeForm Hasil RRA Reef Edge P.Tomia Persentase Tutupan LifeForm Hasil RRA Reef Edge Atol Kaledupa Utara Persentase Tutupan LifeForm Hasil RRA Reef Edge Atol Kaledupa Selatan Persentase Tutupan Karang Hidup Hasil RRA Reef Top P. Wangi-Wangi Persentase Tutupan Karang Hidup Hasil RRA Reef Top P. Kaledupa Persentase Tutupan Karang Hidup Hasil RRA Reef Top P. Tomia Persentase Tutupan Karang Hidup Hasil RRA Reef Top Atol Kaledupa Utara Persentase Tutupan Karang Hidup Hasil RRA Reef Top Atol Kaledupa Selatan Persentase Tutupan LifeForm Hasil RRA Reef Top P. Wangi-Wangi Persentase Tutupan LifeForm Hasil RRA Reef Top P.Kaledupa Persentase Tutupan LifeForm Hasil RRA Reef Top P.Tomia Persentase Tutupan LifeForm Hasil RRA Reef Top Atol Kaledupa Utara Persentase Tutupan LifeForm Hasil RRA Reef Top Atol Kaledupa Selatan Gambar Karang Karang merayap (Coral encrusting) Karang submasif Karang massif dari jenis Porites sp. dan karang lunak (soft coral) Padang lamun yang dijumpai di lokasi penelitian Gorgonian Metode RRA untuk ikan karang yang diterapkan dalam penelitian. Tabel Posisi Geografi Stasiun Penelitian di perairan Wakatobi
Hal 88 96 104 105 105 106 107 108 109 110 111 112 113 114 115 116 117 118 119 120 121 122 123 124 127 127 128 128 129 129 130
12
I. PENDAHULUAN Latar Belakang
Terumbu karang Indonesia dan sumber daya yang berada di dalamnya telah dimanfaatkan oleh masyarakat melalui berbagai macam cara. Akhir-akhir ini penangkapan biota dengan cara merusak kelestarian sumber daya seperti penggunaan bahan peledak atau zat kimia telah merebak hampir di seluruh perairan Indonesia. Akibatnya kondisi terumbu karang yang ada saat ini cenderung menurun. Menurut hasil penelitian Puslitbang Oseanologi tahun 2000 kondisi terumbu karang yang ada di Indonesia 6,20 % dalam kondisi sangat baik, sedangkan 70 % dalam keadaan sedang atau sangat buruk. Dalam upaya memperlambat kerusakan dan menghindari semakin parahnya kondisi terumbu karang maka Pemerintah Indonesia telah mencanangkan Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu karang (COREMAP). Tujuan utama program ini adalah untuk pengelolaan pemanfaatan sumber daya terumbu karang yang berkelanjutan dan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Program COREMAP akan berlangsung selama 15 tahun dan di bagi menjadi 3 tahapan. Tahap pertama (inisiasi) selama 3 tahun, tahap kedua (akselerasi) selama 6 tahun dan tahap ketiga (institusionalisasi) selama 6 tahun. Tahap pertama program COREMAP telah dilaksanakan di 4 propinsi, yaitu Riau, Sulawesi Selatan, Papua dan Nusa Tenggara Timur dan akan berakhir pada bulan Oktober 2002. Untuk mempersiapkan tahap kedua maka akan dilakukan perluasan ke propinsi Sulawesi Tenggara. Oleh karena itu pihak pemerintah daerah setempat diminta untuk mengusulkan calon lokasi COREMAP tahap kedua tersebut berdasarkan 14 kriteria yang telah ditentukan. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa kawasan Wakatobi dipilih dan diusulkan oleh pemerintah daerah propinsi Sulawesi Tenggara sebagai calon lokasi COREMAP tahap kedua. Dalam rangka mempersiapkan desain COREMAP tahap kedua di lokasi yang telah dipilih maka diperlukan informasi dasar tentang keadaan lokasi tersebut. Oleh karena itu perlu dilakukan baseline studi ekologi di kawasan Wakatobi. Kepulauan Wakatobi terletak di pertemuan Laut Banda dan Laut Flores. Di sebelah utara dibatasi dengan Laut Banda dan Pulau Buton. Di sebelah Selatan dibatasi oleh laut Flores, di sebelah Timur oleh Laut Banda dan sebelah Barat dibatasi oleh Pulau Buton dan Laut Flores. Wakatobi merupakan singkatan dari nama 4 pulau besar yang ada di kawasan tersebut, yaitu pulau Wangi-wangi, Pulau Kaledupa Pulau Tomia dan pulau Binongko. Semula gususan pulau ini dikenal dengan nama kepulauan Tukang Besi, karena sejak dahulu penduduk di kepulauan ini dikenal sebagai pengrajin atau pandai besi yang memasok kebutuhan rumah tangga dan alat-alat perang bagi kerajaan Buton dan sekitarnya. Secara geografis Kepulauan Wakatobi terletak antara 123°15’00’’ – 124°45’00’’ Bujur Timur dan 05°15’00’’ – 06°10’00’’ Lintang Selatan. Secara keseluruhan kepulauan ini terdiri dari 39 pulau, 3 gosong
13
dan 5 atol. Terumbu karang di kepulauan ini terdiri dari karang tepi (fringing reef), gosong karang (patch reef) dan atol. Keempat pulau tersebut relatif kering, berbukit-bukit dan ditumbuhi oleh hutan tropis yang kering, sedangkan pulau-pulau yang lain berukuran relatif kecil. Terbentuknya kepulauan Wakatobi dimulai sejak jaman Tersier hingga akhir jaman Miosen. Pembentukan pulau-pulau di kawasan ini akibat adanya proses geologi berupa sesar geser, sesar naik maupun sesar turun dan lipatan yang tidak dapat dipisahkan dari bekerjanya gaya tektonik yang berlangsung sejak jaman dulu hingga sekarang. Kawasan di sekitar Sulawesi, laut Flores, Laut Banda dan Laut Jawa bagian Timur merupakan kawasan dinamis yang mengalami interaksi tiga lempeng tektonik, yaitu lempeng Eurasia di sebelah barat, lempeng Indo-Australia di sebelah selatan dan lempeng Filipina di sebelah utara ke arah timur laut (Daly, et.al., 1991). Ketiga lempeng ini mengakibatkan tekanan dan tarikan, baik dari arah barat-timur maupun utara-selatan. Lempeng dasar dari kepulauan Wakatobi merupakan pecahan lempeng dasar yang berasal dari Papua Nugini. Lempeng ini memanjang sekitar 200 km ke arah barat laut dan tenggara. Dasar dari lempeng ini tidak berasal dari vulkanik dan selama ini tidak pernah tercatat adanya aktivitas vulkanik di daerah Wakatobi (Hamilton, 1979). Dari proses pembentukannya, atol yang berada di sekitar kepulauan Wakatobi berbeda dengan atol daerah lain. Atol yang berada di kepulauan ini terbentuk oleh adanya penenggelaman dari lempeng dasar. Terbentuknya atol dimulai dari adanya kemunculan beberapa pulau yang kemudian diikuti oleh pertumbuhan karang yang mengelilingi pulau. Kemudian terjadi proses antiklinal untuk bagian tertentu dan pelipatan keatas pada bagian yang lain yang diikuti oleh penenggelaman secara bersamaan dari lempeng dasar hingga beberapa ratus meter. Terumbu karang yang ada di sekeliling pulau terus tumbuh ke atas sehingga terbentuk atol seperti beberapa atol yang terlihat sekarang. Atol Kaledupa, Atol Kapota, Atol Tomia merupakan pulau yang dasarnya tenggelam oleh proses antiklinal, sedangkan pulau Wangiwangi, pulau Kaledupa, pulau Tomia dan pulau Binongko merupakan pulau yang mengalami kenaikan karena proses pelipatan (Kuenen, 1933). Secara administratif kepulauan Wakatobi termasuk dalam Kabupaten Buton, Propinsi Sulawesi Tenggara.
Kepulauan Wakatobi terdiri dari empat pulau, yaitu
Tomia dan Binongko.
Pulau Wangi-wangi, Kaledupa,
Luas masing-masing pulau berturut-turut adalah sebagai berikut : pulau
Wangi-wangi 156,5 km2; Kaledupa 64,8 km2; Tomia 52,4 km2 dan Binongko 98,7 km2. Saat ini Kawasan Wakatobi ditetapkan sebagai Taman Nasional berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 393/Kpts-VI/1996 tanggal 30 Juli 1996. Kawasan tersebut memiliki luas 1.390.000 hektar yang dibagi menjadi 5 zona, yaitu : a.
Zona Inti : pulau Aname, pulau Kantole, pulau Runduma, pulau Cowo-cowo dan pulau Moromaho
b.
Zona Pelindung : pulau Ndaa, karang Koromaho, karang Koko.
c.
Zona Pemanfaatan : pulau Hoga, pulau Tomia, pulau Tolandono, pulau Tokobao dan pulau Lintea.
14
d.
Zona Pemanfaatan Tradisional : Pulau Kambodi, pulau Timau, pulau Kompo Nuone, pulau Kaledupa, pulau Binongko dan pulau Wangi-wangi.
e.
Zona Rehabilitasi : Karang Kaledupa dan karang Kapota
Tujuan dan Sasaran
Tujuan baseline studi ini adalah mengumpulkan data-data dasar mengenai kondisi karang, ikan, lamun serta kondisi lingkungan perairan setempat.
Data yang diperoleh akan digunakan untuk
penyusunan desain fase II COREMAP-LIPI.
Hasil yang Diharapkan
Dari hasil studi ini diharapkan akan dapat dibuat Laporan yang berisi informasi tentang kawasan Wakatobi serta peta tematik sumberdaya perairan tersebut.
15
II. METODOLOGI Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian baseline studi di Kawasan Wakatobi dilakukan dari Bulan September - Oktober 2001. Lokasi penelitian dibagi menjadi 4 daerah, yaitu Pulau Wangi-wangi, Pulau Kaledupa Pulau Tomia, Karang Kaledupa (Gambar 1). Keadaan fisik keempat lokasi penelitian diuraikan sebagai berikut : Topografi Kepulauan Wakatobi umumnya datar, disekitarnya terdapat beberapa mikro atoll seperti karang kapota, karang kaledupa dan karang tomia. Konfigurasi perairan pada umumnya mendatar, kemudian melandai ke arah laut dan beberapa daerah bertubir tajam.
Kedalaman air bervariasi,
bagian terdalam terletak di sebelah barat (sampai 1044 meter) dan bagian timur pulau Kaledupa (Dirjen PHPA, 1990). Pulau Wangi-wangi
Pulau Wangiwangi merupakan pulau terbesar diantara pulau yang ada di Kepulauan Wakatobi, berbentuk memanjang kearah barat laut dengan lebar sekitar 14.63 km dan panjang 16.09 km. Di rataan Pulau Wangiwangi itu sendiri terdiri dari beberapa pulau antara lain Pulau Kapota, Pulau Kamponaone dan Pulau Suma. Di pulau ini terdapat 6 desa, tiga diantaranya terletak di tepi pantai. Rataan terumbu cenderung melebar kearah timur dan selatan dengan panjang sekitar 250m - 1.5 km Pulau Kaledupa
Pulau Kaledupa dikelilingi oleh rataan terumbu yang di dalamnya terdapat beberapa pulau antara lain Pulau Kaledupa, Pulau Lintea dan Pulau Hoga. Mempunyai panjang lebih kurang 22,92 km dan lebar 7.31 km, dengan rataan terumbu agak landai sampai kedalaman 5 meter dan melebar kearah timur dan utara. Di pulau Hoga terdapat Marine Research Station milik Operation Wallacea. Di sebelah selatan perairan Pulau Hoga oleh masyarakat ditetapkan sebagai daerah perlindungan kecil (no fishing zone). Biota laut di pulau ini sangat beragam. Menurut informasi pemerintah daerah setempat saat ini terumbu karang banyak dieksploitasi, selain itu penangkapan ikan di pulau ini banyak menggunakan bahan peledak.
Dari hasil survey bulan Februari 2000 menunjukkan bahwa banyak nelayan yang
menangkap ikan dengan menggunakan bom dan cyanide (NaCN dan KCN)
16
Pulau Tomia
Pulau Tomia merupakan salah satu pulau besar yang ada Wakatobi.
dalam kawasan taman nasional
Pada sisi barat sampai selatan ada perkampungan yang terdiri dari lebih kurang 750
kepala keluarga dan semuanya menggantungkan hidupnya sebagai nelayan. Aktifitas penduduk pada pulau ini cukup ramai, terlihat adanya dermaga besar dengan kapal-kapal ikan dapat sandar pada dermaga tersebut. Pulau Tomia berbentuk memanjang kearah timur barat dengan lebar pulau sekitar 7.80 km dan panjang 13.17 km. Merupakan pulau yang relatif besar, terdiri dari Pulau Tomia dan Pulau Tolandono. Di sekitar pulau banyak ditumbuhi pohon kelapa dan semak belukar, dan sebagian besar terdiri dari batuan vulkanik dengan beberapa pantai yang mempunyai dasar pasir putih. Rataan terumbu agak landai sampai kedalaman 3 meter dan melebar kearah timur dan selatan. Topografi pulau ini datar, disekitarnya terdapat mikro atoll seperti karang Koko, karang Ndaa, karang Sawa Olo-olo dan karang Wailale. Konfigurasi terumbu karang (Waturumbu) pada umumnya datar, kadang-kadang muncul di permukaan dengan beberapa kawasan mempunyai tubir-tubir karang yang tajam. Biota-biota yang ada : kima, lola, penyu, karang keras, karang lunak, spons, seagrass, dan lain-lain. Sejak
ditetapkan
sebagai
Taman
Nasional,
memanfaatkan sumberdaya laut di sekitarnya.
masyarakat
Hal ini terjadi
resah
karena
tidak
dapat
karena sosialisasi dari pemerintah
terkait tentang eksistensi Taman Nasional belum pernah dilakukan. Selain itu batas-batas zonasi serta biota yang dilindungi belum diketahui masyarakat. ini dilakukan oleh pengusaha
Perusakan terumbu karang di kecamatan
dengan menggunakan racun sianida. Hasil penelitian PHPA dan
WWF menunjukkan bahwa terumbu karang di kecamatan Tomia (306.680 ha) telah mengalami degradasi. Menurut pemerintah daerah setempat daerah yang perlu untuk direhabilitasi adalah sebelah utara dan selatan pulau Lintea,
sebelah selatan pulau Tokobao, sebelah timur pulau
Tolandono. Karang Kaledupa
Karang Kaledupa merupakan atol yang terletak disebalah barat Pulau Lintea, sebelah selatan Pulau Kaledupa dan Pulau Wangi-wangi serta memanjang kearah Tenggara dan Barat Laut dengan Panjang lebih kurang 49.26 km dan lebar 9.75 km. Atol Kaledupa merupakan atol terbesar yang ada di kawasan Wakatobi. Keempat lokasi penelitian tersebut di atas dipilih berdasarkan konsentrasi sebaran terumbu karang di kawasan Wakatobi yang dilihat dari hasil citra. Posisi dan jumlah stasiun pengamatan
17
berbeda untuk masing-masing kajian. Jumlah stasiun pengamatan untuk masing-masing kajian disajikan pada Tabel 1. di bawah ini :
Tabel 1. Jumlah Stasiun Pengamatan di Kawasan Taman Nasional Wakatobi, Sulawesi Tenggara. No. 1 2
3 4 5 6 7 8 9 10
Bidang kajian Oseanografi • CTD GIS : • titik ikat (GCP) • titik interpretasi Lingkungan Karang (Reef edge) Ikan (Reef edge) Lamun (Reef edge) Karang (Reef Top) Ikan (Reef Top) Lamun (Reef Top) Line Intercept Transek
P. Wangiwangi
Jumlah stasiun P. P. Tomia & Kaledupa Lintea
Karang Kaledupa
5
5
5
5
4 24 10 26 26 26 24 24 24
1 41 15 20 20 20 25 25 25
6 22 14 28 28 28 25 25 25
0 44 19 72 72 72 36 36 36
-
3
3
2
18
Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian
19
Pemetaan
Untuk keperluan pembuatan peta dasar sebaran ekosistem perairan dangkal, data citra penginderaan jauh (indraja) digunakan sebagai data dasar. Data citra indraja yang dipakai dalam studi ini adalah citra digital Landsat 7 Enhanced Thematic Mapper Plus (selanjutnya disebut Landsat ETM+) pada kanal sinar tampak dan kanal infra-merah dekat (band 1, 2, 3, 4 dan 5). Saluran ETM+ 7 tidak digunakan dalam studi ini karena studinya lebih ke mintakat perairan bukan mintakat daratan. Sedangkan saluran infra-merah dekat ETM+ 4 dan 5 tetap dipakai karena band 4 masih berguna untuk perairan dangkal dan band 5 berguna untuk pembedaan mintakat mangrove. Citra yang digunakan adalah citra dengan cakupan penuh (full scene) yaitu 185 km x 185 km persegi. Ukuran piksel, besarnya unit areal di permukaan bumi yang diwakili oleh satu nilai digital citra, pada saluran multi-spectral (band 1, 2, 3, 4, 5, dan 7) adalah 30 m x 30 m persegi. Citra ini merekam daerah studi (Path/Row : 111/64) pada tanggal 29 Juni 2000. Survei atau kerja lapang untuk pengumpulan data maupun untuk keperluan verifikasi telah dilakukan pada akhir September sampai awal Oktober 2001. Sebelum kerja lapang dilakukan, di laboratorium terlebih dulu disusun peta tentatif. Pengolahan citra untuk penyusunan peta dilakukan dengan perangkat lunak Image Analysis pada Extension ArcView 3.1 version. Prosedur untuk pengolahan citra sampai mendapatkan peta tentatif daerah studi meliputi beberapa langkah berikut ini. Pertama, citra dibebaskan atau setidaknya dikurangi terhadap pengaruh noise yang ada. Koreksi untuk mengurangi noise ini dilakukan dengan teknik smoothing menggunakan filter low-pass. Selanjutnya memblok atau membuang daerah tutupan awan. Ini dilakukan dengan pertama-tama memilih areal contoh (training area) tutupan awan dan kemudian secara otomatis komputer diminta untuk memilih seluruh daerah tutupan awan pada cakupan citra. Setelah terpilih kemudian dikonversikan menjadi format shape file. Konversi ini diperlukan agar didapatkan data berbasis vector (data citra berbasis raster) beserta topologinya yaitu table berisi atribut yang sangat berguna untuk analisis selanjutnya. Dari table itu kemudian dilakukan pemilihan daerah yang bukan awan dan selanjutnya disimpan dalam bentuk shape file. Daerah bukan awan inilah yang akan digunakan untuk analisis lanjutan. Langkah ketiga yaitu memisahkan mintakat darat dan mintakat laut. Pada citra yang telah bebas dari tutupan awan dilakukan digitasi batas pulau dengan cara digitasi langsung pada layar komputer (on the screen digitizing). Agar diperoleh hasil digitasi dengan ketelitian memadai, digitasi dilakukan pada skala tampilan citra 1 : 25000. Setelah batas pulau diselesaikan, dengan cara yang sama pada mintakat laut didigitasi batas terluar dari mintakat terumbu. Poligon sebaran mintakat terumbu ini kemudian dijadikan masker untuk klasifikasi jenis tutupan perairan dangkal di mintakat terumbu. Klasifikasi jenis tutupan perairan dangkal dilakukan dengan masukan band 1, 2, 3 dan 4 dengan metode isodata clustering (pengkelasan tanpa data acuan atau istilah lainnya yaitu unsupervised classification). Citra dikelaskan menjadi 8 klas tentatif yaitu klas 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7 dan 8.
20
Ke delapan klas ini secara acak dipilih, ditentukan posisinya Berdasarkan posisi itu dilakukan kunjungan lapangan dengan dipandu oleh alat GPS. Selain sample model titik-titik ini digunakan pula sample model garis transek dari pantai kearah tubir yang juga dipilih secara acak. GPS yang dipergunakan saat kerja lapang adalah merk Garmin tipe 12CX dengan ketelitian posisi absolut sekitar 15 meter. Untuk keperluan kerja lapang ini selain menggunakan hard-copy peta tentative juga dibantu dengan peta rupa bumi Bakosurtanal yang meliput daerah studi. Peta rupa bumi ini perlu sebagai orientasi terutama nama-nama desa dan kota kecamatan. Dari data yang terkumpul kemudian di laboratorium dilakukan klasifikasi ulang agar diperoleh klas yang sebenarnya. Hasilnya disusun menjadi peta sebaran ekosistem perairan dangkal.
Karang Pengamatan dilakukan dengan 3 cara yaitu secara kualitatif, semi kuantitatif dan kuantitatif. Pengamatan kualitatif dilakukan secara visual dengan mengamati profil habitat yang dilakukan di rataan terumbu karang sampai kedalaman dimana karang masih tumbuh. Pengamatan populasi karang untuk mengetahui kekayaan jenis pada lereng terumbu di lakukan secara vertikal, dengan jarak pandang 2,5 meter kekiri dan kekanan. Pengamatan semi kuantitatif dilakukan dengan metode Rapid Reef Resource Assessment (RRA) dengan mengamati persentase (%) area terumbu karang seluas 10 x 10 m selama 5 menit pada masing-masing stasiun dengan tujuan untuk mengetahui komposisi habitat. Observasi dengan RRA dilakukan pada rataan terumbu/reef top (Gambar 2) dan lereng terumbu/reef edge (Gambar 3). Jumlah titik contoh yang diamati dengan metoda RRA sebanyak 256. Pengamatan kondisi terumbu karang dilakukan secara kuantitatif dengan menggunakan metoda Line Intercept Transect (LIT). Penentuan titik-titik LIT ini diambil berdasarkan hasil pengamatan RRA reef edge pada hari sebelumnya (Gambar 4). Titik-titik tersebut diharapkan dapat mewakili kondisi terumbu karang yang ada. Roll meter digunakan untuk membuat garis transek dengan ukuran 2 x 50 meter yang diletakkan pada kedalaman 5 meter dan sejajar garis pantai. Semua bentuk pertumbuhan dan jenis karang (species) serta biota lainnya yang berada dibawah garis transek dicatat dengan ketelitian mendekati centimeter. Semua lokasi pengamatan dipetakan dalam Base map dengan menggunakan GPS. Peralatan SCUBA, alat tulis bawah air, roll meter, dan kamera bawah air digunakan selama melakukan pengamatan di bawah air.. Jumlah titik contoh yang diamati dengan metoda LIT adalah sebanyak 8 titik. Untuk mengetahui nilai indeks keanekaragaman serta persentase tutupan karang digunakan formula sebagai berikut : Analisis keanekaragaman genera digunakan formula Shannon-wiener H’ = - ∑ (ni/N) log(ni/N) Dimana :
H = indek keragaman jenis
N = total jumlah individu/koloni (presentase tutupan jenis karang) Ni = jumlah individu dalam spesies ke-I (presentase tutupan karang)
21
Analisis persentase total tutupan karang dipakai formula Cox (1967) Persentase
Total panjang intersep per spesies
tutupan (%) =
Total panjang transek
X 100
Ikan Karang Pengamatan ikan karang dilakukan bersama-sama dengan pengamatan karang.
Peneliti
karang dan ikan karang secara bersama-sama melakukan pengamatan di rataan terumbu (reef top) dan lereng terumbu (reef edge) (Gambar 2 dan 3). Metoda yang dipakai dalam penelitian ini dapat dikelompokkan dalam 2 jenis; 1). Rapid Reef Resources Assessment (RRA) merupakan metoda penilaian kondisi terumbu karang yang berdasarkan pada metoda manta taw, selanjutnya dikembangkan oleh CSIRO (Long et al., 1996; 1997). 2). Line Intercept Transect/LIT, yakni metoda sensus visual. Pengambilan data dasar dengan metoda RRA di lereng terumbu, penyelam berenang bebas sepanjang 5 – 10 meter (kurang lebih 10-15 menit). Semua ikan yang ditemui dalam jarak pandang 2 m (kiri dan kanan penyelam) dicatat. Jumlah titik contoh yang diamati dengan metoda RRA sebanyak 256 titik. Penentuan lokasi LIT berdasar pertimbangan hasil dari RRA pada daerah lereng terumbu. Penyelam akan mencatat semua ikan pada garis transek sepanjang 50 meter dengan jarak pandang 2 - 5 meter (kiri dan kanan penyelam) dengan 3 kali ulangan. LIT ini dilakukan pada kedalaman, 5 meter. Ikan dikelompokkan dalam 3 kategori, yakni ikan indikator, ikan target dan ikan major. Jumlah Titik contoh yang diamati dengan metoda LIT sebanyak 8 titik (Gambar 4). Lamun Pengamatan lamun di kawasan Wakatobi dilakukan bersama-sama dengan pengamatan karang dan ikan. Untuk mempetakan distribusi lamun dilakukan pengamatan dengan merujuk metode “RRA (Rapid Reef Resource Assesment)” dan pengambilan contoh lamun dengan metode garis transek yang telah dimodifikasi dari Dartnall & Jones (1986) dan English et al. 1994. Jika suatu area luas padang lamunnya kecil dan kelimpahannya rendah, maka hanya informasi umum tentang jenis dan luas padang lamun yang dicatat. Transek garis dilakukan pada setiap pulau/atoll dengan tegak lurus dari garis pantai. Jumlah transek yang diamati sebanyak 8 titik. Untuk mengetahui kelimpahan, komposisi jenis dan biomassa lamun dilakukan pengambilan contoh secara acak sebanyak tiga kali dengan bingkai 25 cm x 25 cm yaitu pada bagian pinggir, tengah dan ujung dekat tubir. Lamun yang diambil diidentifikasi dan diestimasi persen tutupan secara visual pada setiap lokasi transek. Contoh-contoh lamun tersebut diberi tanda (label) dan dibawa ke laboratorium untk dibersihkan, dicuci dengan air asin dan diidentifikasi. Kemudian setiap contoh lamun dipisahkan menurut jenisnya dan dihitung jumlah tegakannya serta ditimbang dengan berat basah. . Setiap titik/stasiun pengambilan contoh dicatat posisinya dengan GPS.
22
Gambar 2. Stasiun Penelitian di Reef Top
23
Gambar 3. Stasiun Penelitian di Reef Edge
24
Gambar 4. Titik LIT
25
Kualitas Air
Penelitian kualitas air dilakukan bersamaan dengan penelitian terumbu karang di
perairan
Wakatobi. Setiap titik/stasiun pengambilan contoh dicatat posisinya dengan GPS (Gambar 5). Parameter kualitas air yang diteliti adalah oksigen terlarut (DO), nutrien (nitrat, nitrit, fosfat), salinitas, pH dan zat padat tersuspensi. Contoh air permukaan (± 1 meter) diambil dengan Van Dorn. Kadar oksigen terlarut ditentukan dengan modifikasi Winkler (Carritt et al. 1966). Contoh air yang diambil segera disaring dengan kertas saring sellulosa ester 0,45 um, dimasukkan ke dalam botoll polietilen, kemudian disimpan (tidak lebih dari 28 hari) dalam freezer (- 4oC). Kadar nitrit ditentukan dengan metode spektrofotometrik berdasarkan pembentukan senyawa diazonium (Strickland et al. 1968). Kadar nitrat ditentukan dengan metode spektrofotometrik setelah direduksi terlebih dahulu menjadi nitrit (Grasshoff 1976). Kadar fosfat ditentukan dengan metode spektrofotometrik didasarkan pada pembentukan senyawa komplek fosfomolibdat (Koreleff 1976). Kadar zat padat tersuspensi ditentukan dengan metode gravimetric (APHA-AWWAWPCF 1980). Nilai salinitas diukur langsung dengan menggunakan Refraktometer. Demikian pula dengan nila pH yang juga diukur langsung dengan menggunakan pH meter.
26
Gambar 5. Stasiun Kualitas Air
27
Oseanografi
Pengukuran parameter oseanografi dilakukan di 20 stasiun pengamatan seperti yang terlihat dalam Gambar 6. Suhu, salinitas dan transmisi cahaya (kecerahan), turbiditas, intensitas matahari
Pengukuran parameter suhu, salinitas, kecerahan, turbiditas dan intensitas matahari terhadap kedalaman dilakukan dengan menggunakan CTD Model SBE 911 Plus. Sistem CTD tersebut diturunkan dari kapal Baruna Jaya VIII ke dalam air secara perlahan selama lebih kurang 10 menit. Data parameter direkam dalam monitor untuk dianalisa lebih lanjut. Pada survei kali ini, CTD diturunkan pada kedalaman 300 m sesuai dengan kedalaman laut di lokasi survei. Analisa data menggunakan paket program SEASAVE (Sea-Bird Electronics, Inc., 1998). Program ini dapat memberikan gambaran data suhu, salinitas, kecerahan, turbisitas dan yang lainnya dengan interval kedalaman 1 m dari permukaan hingga 300 m (dapat dilihat pada hasil print stasiun CTD ). Nilai suhu dinyatakan dalam satuan derajat Celcius, salinitas dalam psu, kecerahan dalam persen (%), turbididas dalam NTU sedangkan intensitas matahari dalam meter.
Pengukuran arus laut
Pengukuran kecepatan arus di perairan Wakatobi dilakukan dengan menggunakan ADCP (Acoustic Doppler Current Profiler) frekuensi 75 kHz. Lokasi pengukuran arus dilakukan di Pulau Wangi-wangi, P. Kalaedupa, P. Tomea dan Atol Besar dengan cara membuat trek (lintasan) mengelilingi pulau pada kedalaman laut antara 30 hingga 300 m.. Kuat arus diukur dengan ketebalan lapisan 5 m dan jumlah lapisan 20. Lama perekaman data setiap trek di setiap lokasi berkisar antara 5 hingga 7 jam tergantung panjang lintasan (trek ADCP). Kedalaman pengukuran untuk menggambarkan stik arus kecepatan dan arah dipilih pada kedalaman 13, 20, 50 dan 100 m. Dimulai dari kedalaman 13 meter karena kedalaman ini merupakan kedalaman minimum yang dapat dideteksi oleh ADCP.
28
Gambar 6. Stasiun Oseanografi
29
III. HASIL DAN BAHASAN Kondisi Umum Kawasan Wakatobi Pemetaan
Peta akhir hasil analisis dideskripsi dan dibahas berdasarkan data hasil pengamatan lapangan yang telah dikumpulkan. Selain itu dibahas pula geometri citra dan keterbatasan yang ada dalam pemrosesan citra sehingga tersusun peta akhir. Alur pembahasan di bawah ini diurutkan menurut alur proses yang dilalui. Geometri Citra
Data mentah citra (raw data) sudah dalam kondisi terkoreksi geometri karena produk data Landsat 7 ETM+ yang dipasarkan merupakan data level 1G. Pada level ini data sudah terkoreksi geometri dengan datum WGS’84 menggunakan system koordinat Universal Transverse Mercator (UTM). Berdasarkan keterangan yang tertera pada dokumen produk data Landsat 7, data yang direkam satelit setelah tanggal 28 April 2000 mempunyai tingkat kesalahan posisi kurang dari 50 meter. Ketelitian ini dapat dinaikkan lagi dengan aplikasi koreksi geometri menggunakan ground control points (GCP) lokal sampai mencapai kurang dari 15 meter kesalahannya. Untuk studi kali ini, walaupun rencananya akan diaplikasikan koreksi geometri citra ke koordinat lokal dengan GCP lokal, hal ini tidak jadi dilaksanakan. Ini didasari suatu kenyataan bahwa dari sekitar 142 titik ground check di lapangan (termasuk 11 titik yang akan dijadikan GCP) yang tersebar pada terumbu dekat pantai, terumbu tengah dan tubir, ternyata kesemuanya dapat diplot dengan baik pada peta dasar. Ini mengindikasikan bahwa tingkat kesalahan posisi karena kesalahan geometri peta hasil interpretasi kurang dari 1 piksel citra (kurang dari 30 meter). Untuk itu koreksi geometri dengan koordinat lokal sudah tidak diperlukan lagi karena seluruh posisi hasil pengukuran di lapangan dapat diplotkan ke peta dasar dengan presisi tinggi. Hasil Interpretasi Manual
Daerah studi merupakan gugusan pulau-pulau dengan empat pulau utama yaitu P. Wangi-wangi, P. Kaledupa, P. Tomia, dan P. Binongko, serta dua kawasan terumbu karang besar yaitu Karang Kapota dan Karang Kaledupa. Oleh Pemerintah, dalam hal ini Dirjen PHPA, kawasan Kepulauan Wakatobi ini ditetapkan sebagai Taman Nasional. Dari citra komposit warna semu (false color composite) band 4, 3, 2 untuk saluran warna merah, hijau dan biru, dapat diintepretasi bahwa daerah studi merupakan pulau-pulau karang dan merupakan hasil proses pengangkatan tektonik. Bentuk-bentuk kenampakan igir – lembah yang relatif rendah di
30
daratan sebagai hasil proses itu dapat dikenali dengan baik. Ketika kerja lapang di semua pulau yang dikunjungi mempunyai tanah pasiran dengan dasar pasir koral. Ini sangat memperkuat interpretasi bahwa daerah studi adalah pulau koral yang berkembang dengan proses utamanya pengendapan. Dari citra dapat pula diukur lebar terumbu pada masing-masing pulau. Di kompleks P. Wangi-wangi dan sekitarnya (P. Kapota, P. Suma, P. Kamponaone) lebar terumbu mencapai 120 meter (jarak terpendek) dan 2,8 kilometer (jarak terjauh). Untuk P. Kaledupa dan P. Hoga, lebar terpendek terumbu adalah 60 meter dan terjauh 5,2 kilometer. Pada P. Tomea, rataan terumbunya mencapai 1,2 kilometer untuk jarak terjauh dan 130 meter untuk jarak terdekat. Kompleks atol Kaledupa mempunyai lebar terumbu 4,5 kilometer pada daerah tersempit dan 14,6 kilometer pada daerah terlebar. Panjang atol Kaledupa sekitar 48 kilometer. Secara keseluruhan luas total terumbu karang di kepulauan wakatobi adalah 8.816,169 hektar. Menggunakan kombinasi band 5, 3, 2 dalam citra komposit warna semu agar dapat mengenali mangrove, ternyata sulit sekali menemukan mangrove dari interpretasi citra. Dengan citra komposit ini mangrove akan mempunyai rona merah lebih gelap dibanding vegetasi lainnya. Ini menjadi sifat khas dari tumbuhan mangrove yang relatif basah dengan struktur daging daun yang lebih tebal dibanding tumbuhan lain. Oleh karena mintakat mangrove kurang dapat dikenali dari citra komposit ini maka tidak dilakukan digitasi terhadap sebaran mangrove. Namun demikian kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa pada beberapa lokasi ditemukan mangrove. Umumnya mangrove yang ditemukan mempunyai sebaran relatif sempit (diperkirakan lebarnya sekitar 10 – 15 meteran) dan berupa spot-spot saja. Kondisi ini tentunya tidak memungkinkan mangrove ini dapat tergambar di citra. Citra yang digunakan mempunyai ukuran piksel 30 x 30 m, sedangkan lebar mangrove hanya 10 – 15 m yang berarti 1 piksel-pun tidak ada. Memang ada juga ditemukan mangrove yang mempunyai hamparan luas (mungkin dalam hitungan hektar) di lapangan namun di citra termasuk dalam daerah tutupan awan sehingga tidak memungkinkan didigitasi. Klasifikasi Citra
Sebelum proses klasifikasi, batas-batas pulau dan juga batas tubir terumbu didigitasi. Pada prakteknya pendigitasian ini menemui kendala ketika harus mendigit daerah yang tertutup awan. Satusatunya jalan adalah dengan mendigit secara menduga-duga. Konsekuensinya, hasil digitasi merupakan batas yang tidak akurat. Hal inilah yang menjadi kendala dan sekaligus merupakan keterbatasan metode ini. Namun demikian oleh karena kondisi ini tidak begitu banyak dijumpai maka dapatlah dimaklumi. Kendala tutupan awan ini juga berdampak kepada berubahnya nilai pantulan obyek yang berada di dekat tutupan awan maupun di daerah bayangan awan itu. Kondisi ini secara teknis memang sulit untuk diatasi. Dengan demikian ini harus menjadi catatan karena berpengaruh pada ketelitian hasil klasifikasi isodata clustering. Keterbatasan lain dengan klasifikasi dengan citra ini adalah keterbatasan kemampuan energi elektromagnetik dalam hal penetrasinya pada perairan. Oleh karena itu untuk klasifikasi multispektral
31
pada obyek bawah air seperti kali ini hanya menggunakan band 1, 2, 3, dan 4 sebagai masukan dalam proses. Ini didasari beberapa referensi yang mengatakan bahwa band-band itulah yang mampu menembus kedalam air. Pada perairan relatif jernih (seperti di daerah studi) band 4 dapat menembus sampai kedalaman 0,5 meter. Band 3 dapat menembus sampai kedalaman sekitar 5 meter. Band 2 lebih dalam lagi yaitu mencapai 15 meter, dan band 1 dapat mencapai 25 meter bahkan bisa diatas 30 meteran. Ini berarti bahwa obyek, apapun itu, yang berada di kedalaman lebih dari 25 meter, sangat sulit diklasifikasikan. Pada studi ini telah disebutkan bahwa untuk peta tentatif obyek bawah air di perairan dangkal diklasifikasi menjadi 8 klas. Setelah dilakukan pengecekan lapangan di 130 titik sampel maka ke delapan klas ini diklasifikasikan lagi menjadi 3 klas yaitu pasir, koral dan lamun. Sebenarnya dari ke 130 titik sampel ada 2 titik sampel diantaranya dimana ditemukan tutupan algae diatas pasir. Karena di lapangan tutupan ini sebaran dan dominasinya kurang maka tidak dijadikan sebagai klas tersendiri tetapi dimasukkan sebagai klas pasir. Dari 130 titik sampel yang tersebar di P. Wangi-wangi, P. Kaledupa, P. Tomia dan Atol Kaledupa, ketika diamati di lapangan tidak semuanya merupakan obyek tunggal. Kebanyakan dari titik sampel tersebut pada luasan pengamatan sekitar 30 x 30 meter (sesuai dengan ukuran piksel citra) merupakan obyek non-tunggal. Untuk ini dalam analisis, pertimbangan dominasi diperlukan. Hal ini sesuai dengan prinsip klasifikasi citra yang hanya mendasarkan pada rona seperti pada model isodata clustering ini. Satu piksel citra diwakili oleh satu nilai digital yang dapat dianggap sebagai nilai pantulan dari obyek seluas 30 x 30 m di lapangan. Sedangkan kenyataan di lapangan areal seluas itu dapat terdiri dari beragam obyek. Sehingga obyek yang dominanlah yang berpengaruh secara signifikan terhadap nilai pantulan untuk 1 piksel. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa nilai digital pada 1 piksel itu mewakili nilai pantulan obyek dominan pada luasan 30 x 30 m di lapangan. Hal ini perlu menjadi perhatian dalam menanggapi hasil klasifikasi citra.
Karang
Terumbu karang di Wakatobi bertipe karang tepi (fringing reef), karang gosong, patch reef dan atol.
Rataan terumbu mempunyai lebar yang bervariasi antara 50-1,5 km untuk terumbu karang
tepi.
Rataan terumbu mempunyai moat dan reef rampart di tepi tubir.
Tubir hampir semuanya
dengan reef slope yang curam. Karang yang tumbuh di rataan terumbu umumnya didominansi oleh Montipora digitata, Porites cylindrica dan Goniastrea rectiformis. Hal ini menunjukkan bahwa rataan terumbu masih dalam kondisi ideal. Lereng terumbu atas umumnya didominasi oleh Acropora spp dan lereng terumbu tengah pada kedalaman sekitar 20 meter didominasi oleh karang Acropora hyacinthus, Echinopora spp.
Karang yang hidup di Wakatobi mencapai kedalaman lebih dari 40
meter.
32
Hasil RRA menunjukkan bahwa persentase tutupan karang hidup di Pulau Wangi-wangi relatif lebih jelek dibandingkan dengan Pulau Kaledupa, Pulau Tomia dan Atol Kaledupa (Gambar 7).. Secara keseluruhan, diketahui bahwa persentase tutupan karang hidup di daerah Reef Edge relatif masih lebih baik bila dibandingkan dengan di daerah Reef Top kecuali di Atol Kaledupa.
Hal ini
mungkin disebabkan oleh aktivitas manusia yang banyak dilakukan di daerah Reef Top, disamping faktor alami yang tidak stabil dan dinamis. Berdasarkan pengamatan dilapangan, terutama di pulau Wangi-wangi
terlihat banyaknya pecahan-pecahan karang yang hancur tak beraturan yang diduga
akibat bahan peledak. Dugaan ini juga dikuatkan oleh informasi dari pemerintah daerah setempat yang menceritakan bahwa mereka sering mendengar dentuman-dentuman bom yang dilakukan untuk menangkap ikan oleh nelayan-nelayan dari luar kawasan ini. 35 30 25 20 15 10 5 0
Pulau Wangi-
Pulau Kaledupa
Pulau Tomia
Pulau Lintea
Atol kaledupa
Reef Top
2.7308
7.72
0
2.44
23.3056
Reef Edge
28.7083
34.85
32.3
22.333
19.0278
Gambar 7. Persentase Karang Hidup hasil RRA di Lokasi penelitian, Kepulauan Wakatobi, Oktober 2001
Hasil analisis bentik life form disajikan dalam Tabel 2. Dari Tabel tersebut terlihat bahwa persentase karang hidup di Pulau Kaledupa 49,59%, Pulau Lintea 43,96%, Pulau Tomia 42,71% dan Atol Kaledupa 37,57%.
Tabel 2. Persentase Tutupan Karang Berdasarkan Life Form di Kepulauan Wakatobi Bentic Life Form Hard Coral (Acropora Hard Coral (Non-Acropora) Dead Scleractinia Algae Other Fauna Abiotic Total
A 3,66 35,43 5,84 15,45 32,42 7,2 100
B 4,8 31,28 6,6 21,54 32,54 3,24 100
C 7,87 54,98 3,78 19,4 7,33 6,64 100
LOKASI D E 9 5,55 36,23 34,46 4,67 0,72 20,84 20,89 21,9 37,72 7,36 0,66 100 100
F 8,22 34,49 1,68 26,52 27,91 1,18 100
G 13,98 40,09 2,29 8,32 16,28 19,04 100
H 6,68 27,17 4,69 22,05 36,48 2,93 100
Keterangan : A = Atol Kaledupa Timur
D = Pulau Kaledupa Utara
G = Pulau Lintea Utara
B = Atol Kaledupa Barat
E = Pulau Kaledupa Timur
H = Pulau Lintea Selatan
C = Pulau Kaledupa Barat
F = Pulau Tomia Utara
33
Selama pengamatan, dijumpai 238 jenis karang batu dari 71 marga di Atol Kaledupa, 174 jenis dari 64 marga di pulau Kaledupa, 163 jenis dari 64 marga di pulau Lintea, 146 jenis dari 56 marga di pulau Tomia dan 131 jenis dari 55 marga di pulau Wangi-wangi (Gambar 8)
250 200 150 100 50 0
Pulau Wangi-
Pulau Kaledupa
Pulau Tomia
Pulau Lintea
Atol Kaledupa
Jumlah jenis
131
174
146
163
238
Jumlah suku
55
64
56
64
71
Gambar 8. Jumlah jenis dan jumlah marga karang keras di Lokasi Penelitian, Kepulauan Wakatobi, Oktober 2001. Ikan Karang
Dari hasil pengamatan selama penelitian ini, terlihat bahwa kondisi alam di Kepulauan Wakatobi merupakan pulau-pulau karang dengan terumbu karang yang mengitarinya. Kondisi terumbu karang dibeberapa tempat terutama di daerah yang landai dan dangkal mengalami kerusakan karena kemungkinan kegiatan-kegiatan seperti pengeboman ikan dan pengambilan karang untuk keperluan pembangunan fisik. Pada kedalaman antara 5 meter sampai
>8 meter umumnya berada pada
kondisi yang sangat baik dan kaya akan jenis-jenis kehidupan laut. Keanekaragaman ikanpun dijumpai sangat tinggi. Pengamatan yang dilakukan dengan metoda RRA di empat wilayah penelitian di perairan Wakatobi mencatat sejumlah 3117 individu ikan dari rataan terumbu (reef top) dan 20597 individu ikan dari lereng terumbu (reef edge) yang terdiri dari 39 marga, 105 marga dan 326 jenis. Dari rataan terumbu, jumlah jenis tertinggi dijumpai di P. Kaledupa (97 jenis) diikuti berturut-turut oleh P. Wangi-Wangi (83 jenis), P. Tomia (73 jenis) dan Atol Kaledupa (57 jenis). Sedangkan dari lereng terumbu, jumlah jenis tertinggi dijumpai di Atol Kaledupa (182 jenis), diikuti oleh P. Wangi-Wangi (177 jenis), P. Kaledupa (150 jenis) dan P. Tomia (117 jenis). (Gambar 9)
34
200 150 100 50 0
Pulau Wangiwangi
Pulau Kaledupa
Pulau Tomia
Atol Kaledupa
Reef Edge
83
97
73
57
Reef Top
177
150
117
182
Gambar 9. Jumlah Jenis Ikan Hasil RRA di Rataan Terumbu (reef top = 110 stasiun) dan Lereng Terumbu (reef edge = 146 stasiun) di Perairan Wakatobi. Berdasarkan kategori ikan, kekayaan jenis tertinggi untuk kelompok ikan major dimiliki oleh marga Pomacentridae dengan 61 jenis, diikuti oleh Labridae dengan 11 jenis dan Balistidae 5 jenis. Sedangkan sisanya berkisar antara 1-4 jenis ikan. Untuk ikan target, kekayaan jenis tertinggi ditempati oleh marga Serranidae (kelompok kerapu) dengan 7 jenis, diikuti oleh Labridae 5 jenis, Acanthuridae 4 jenis, dan sisanya berkisar antara 1-3 jenis. Kekayaan jenis ikan untuk kelompok ikan indikator tercatat sebanyak 4 jenis. (Gambar 10)
4 19
81
Major
Target
Indikator
Gambar 10. Jumlah Jenis Ikan Berdasarkan Kategori Ikan Hasil RRA di Perairan Wakatobi.
Kelimpahan ikan tertinggi untuk RRA di rataan terumbu ditempati oleh D. aruanus (Pomacentridae) dari kategori ikan major dengan 315 individu , sedangkan terendah 1 individu ikan yang tercatat dari 32 jenis ikan. Untuk lereng terumbu, kelimpahan tertinggi diduduki oleh Caesio caerulaurea (Caesionidae) dari kelompok ikan target dengan 3365 individu dan terendah 1 individu yang berasal dari 20 jenis ikan. Umumnya di rataan terumbu kelimpahan tertinggi didominasi oleh marga Pomacentridae dari kelompok ikan major, sedangkan untuk daerah lereng terumbu, kelimpahan tertinggi ditempati oleh kelompok ikan ekor kuning (Caesionidae) dari kategori ikan target. Dari hasil pengamatan ikan karang
dengan LIT di tiga (3) wilayah pengamatan di perairan
Wakatobi (Atol Kaledupa, P. Kaledupa dan Selat Tomia) diperoleh sebanyak 23678 individu yang terdiri dari 40 suku, 111 marga dan 320 jenis. Dari ikan yang diperoleh, tercatat 25 marga adalah ikan major, 14 marga merupakan ikan target, dan 1 marga merupakan ikan indikator. Berdasarkan
35
jumlah jenis, untuk kategori ikan major, marga Pomacentridae menempati jumlah jenis tertinggi dengan 55 jenis ikan. Sedangkan untuk kategori ikan target, jumlah jenis tertinggi diduduki oleh marga Serranidae dengan 21 jenis dan untuk ikan indikator tercatat sejumlah 30 jenis ikan.
60 40 20 0
Major
Target
Indikator
Jumlah Jenis
55
21
30
Jumlah Marga
25
14
1
Gambar 11. Jumlah Jenis dan Marga Ikan Hasil LIT di Perairan Wakatobi
Kelimpahan tertinggi untuk ikan yang dicatat dari penelitian ini ditempati oleh Chromis ternatensis (Pomacentridae) dengan 1874 ekor, diikuti oleh Caesio caerulaurea (1591 ekor), Pterocaesio randalli (1246 ekor) dan Caesio teres (1061ekor). Ketiga jenis terakhir ini termasuk dalam kategori ikan target dari kelompok ikan ekor kuning (Tabel 10). Dilihat dari persentasi kehadiran, 4 jenis ikan memiliki kehadiran 100%, yakni ditemui disetiap stasiun pengamatan dalam setiap ulangannya. Tiga jenis diantaranya termasuk marga Pomacentridae, yaitu Amblyglyphydodon leucogaster,
Amphiprion
clarkii
dan Paraglyphydodon nigroris serta satu jenis dari marga
Acanthuridae yakni Zebrasoma scopas. Keempat jenis ikan ini masuk dalam kategori ikan major. Sedangkan jenis yang paling rendah kelimpahan dan kehadirannya dijumpai pada 22 jenis ikan dengan kelimpahan 1 ekor dengan 4,16% kehadirannya (Tabel 10). Dominasi ikan major disuatu terumbu karang merupakan suatu fenomena yang umum dijumpai (Hilomen & Yap 1991; Satumanatpan & Sudara 1992). Penelitian yang dilakukan dengan metoda RRA dan LIT menunjukkan bahwa kelimpahan dan kehadiran tertinggi ditemui pada jenis-jenis ikan dari marga Pomacentridae. Ikan dari marga Pomacentridae merupakan salah satu ikan yang paling dominan di terumbu karang dan memiliki jumlah jenis yang sangat tinggi. Fenomena ini sesuai dengan penelitian lainnya dibanyak terumbu karang (Kuiter & Debelius 1994; Allen 1997). Variasi kelimpahan dan keanekaragaman jenis ikan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain kedalaman. Pada rataan terumbu, dijumpai kelimpahan dan keanekaragaman yang lebih rendah dibandingkan dengan di lereng terumbu. Hal ini disebabkan pengamatan pada daerah rataan yang sangat tergantung pada keadaan pasang surut, sehingga ada keterbatasan pengamatan pada waktu air surut rendah. Selain itu untuk keragaman jenis ikan yang tinggi pada beberapa penelitian dijumpai pada daerah lereng terumbu.
36
Komunitas ikan karang yang terdiri dari berbagai jenis ikan yang sangat bervariasi, menunjukkan bahwa sebagian ikan mempunyai spesialisasi hidup hanya pada daerah karang hidup, sebagian menyenangi daerah karang mati untuk habitatnya dan lainnya berasosiasi dengan menunjukan
kelimpahan
yang
tinggi
pada
persentasi
tutupan
karang
yang
sedang.
Keanekaragaman yang tinggi dan sebaran ikan dapat dikatakan sebagai konsekuensi alami dari adanya struktur habitat dan adanya response individu dari setiap jenis ikan terhadap adanya habitat tertentu yang disenanginya (preferensi habitat). Kelimpahan dan kekayaan jenis ikan disuatu terumbu karang seringkali dikaitkan dengan kondisi terumbu karang itu sendiri dan persentasi tutupan karangnya. Semakin tinggi persentasi tutupan karangnya semakin tinggi kelimpahan dan jumlah jenisnya. Keanekaragaman dan kelimpahan ikan yang tinggi pada penelitian ini kemungkinan disebabkan struktur habitat yang kompleks dari terumbu karang yang masih dalam kondisi baik. Beberapa peneliti menemukan bahwa kelimpahan dan keragaman jenis ikan kepe-kepe meningkat dengan meningkatnya persentasi tutupan karang (Bell & Galzin 1984; Bouchon-Navaro & Bouchon 1989, Suharsono et al. 1998). Akan tetapi pada penelitian lain dijumpai bahwa kekayaan jenis yang dijumpai pada kondisi terumbu karang dengan persentasi tutupan karang yang rendah maupun tinggi tidak berbeda nyata (Jones & Syms 1995). Tingginya jumlah jenis ikan kepe-kepe di perairan Wakatobi dapat dijadikan gambaran bahwa terumbu karang diperairan ini masih tergolong cukup baik, mengingat ikan kepe-kepe dijadikan suatu indikator lingkungan terumbu karang. Semakin subur tingkat kondisi terumbu karang semakin tinggi keragaman jenis ikan kepe-kepenya. Hal ini dapat dibandingkan dengan penelitian sebelumnya di perairan Riau, dimana kondisi terumbu karang sudah sangat rusak, hanya dijumpai 3 jenis ikan kepe-kepe selama penelitian tersebut. Keanekaragaman jenis ikan karang yang tinggi dan tingginya kelimpahan ikan yang tercatat diterumbu karang perairan Wakatobi menunjukkan bahwa perairan karang Kep. Wakatobi masih memiliki daya dukung yang tinggi untuk kehidupan ikan karangnya. Dengan perkataan lain, masih tersedia cukup banyak ruang kehidupan bagi ikan-ikan karang dan biota laut lainnya. Banyaknya jenis-jenis ikan target bernilai ekonomis penting, disamping itu ikan-ikan yang ditempat-tempat lain sudah dianggap langka seperti ikan Napoleon dan ikan pari burung, diperairan waktobi masih dapat ditemukan dengan mudah. Hal ini menunjukkan bahwa daerah tersebut memiliki potensi yang tinggi dan perlu dikelola secara baik untuk menjaga kelestariannya. Selain itu dari pengamatan terlihat penangkapan ikan oleh nelayan setempat dilakukan dengan cara yang ramah lingkungan yakni dengan menggunakan pancing, walaupun tidak menutup kemungkinan adanya usaha penagkapan dengan cara yang merusak seperti menggunakan bom dan bubu. Dari pengamatan, sebagian besar jenis ikan target yang dijumpai sudah berada dalam ukuran tangkap. Hal ini menunjukkan bahwa eksploitasi ikan diperairan ini masih dalam toleransi yang dapat terkontrol cukup baik. Hal ini kemungkinan disebabkan adanya Taman Nasional Laut yang berfungsi baik.
37
Perairan karang diwilayah tersebut masih sangat potensial untuk dijadikan daerah konservasi mengingat banyaknya jenis ikan indikator dan ikan target bernilai ekonomis penting dan beberapa jenis ikan komersial lainnya yang selalu diburu (Ikan Napoleon) dan jenis-jenis lainnya yang termasuk jarang (ikan Pari Burung) yang dijumpai selama penelitian. Penangkapan ikan oleh nelayan tradisional dilakukan dengan menggunakan pancing yang merupakan alat tangkap ramah lingkungan, walaupun tidak menutup kemungkinan adanya indikasi penangkapan secara ilegal dengan menggunakan alat tangkap yang merusak (bom dan bubu).
Lamun
Hasil pengamatan lamun di Wakatobi mencatat 9 jenis lamun yaitu : Haludule uninervis, H. pinifolia, Cymodocea rotundata, C. serrulata, Thalassodendron ciliatum, Syringodium isoetifolium, Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii dan Halophila ovalis (Tabel 3), sebaran jenis lamun umumnya merata disetiap lokasi pengamatan Kekayaan jenis lamun yang ada di Wakatobi tergolong tinggi jika dibandingkan dengan kehadiran lamun di Indonesia yaitu 12 jenis. Sebaran jenis lamun umumnya merata di setiap lokasi pengamatan. Dari tabel 3 terlihat bahwa jumlah jenis lamun yang paling banyak terdapat di perairan pulau Kaledupa. Padang lamun di perairan ini secara umum didominasi oleh Thalassodendron ciliatum, sedangkan persentase tutupan 66%, kerapatan 738,2 tegakan/m2 dan total biomassa 236,21 gram berat kering/m2.
Tabel 3. Keragaman jenis lamun di lokasi penelitian Wakatobi (klasifikasi menurut Den Hartog, 1970; Phillips &Menez, 1988). JENIS I. POTAMOGETONACEAE 1. Halodule pinifolia 2. H. uninervis 3. Cymodocea rotundata 4. C. serrulata 5.Syringodium isoetifolium 6.Thallasodendron ciliatum II. HYDROCHARITACEAE 7. Enhalus acroides 8. Thallasia hemprichii 9. Halophila ovalis Jumlah jenis Keterangan : + ada; - tidak ada
LOKASI 3 4
1
2
5
+ + + +
+ + + +
+ + +
+ + + +
+ + + + + +
+ + 6
+ + + 7
+ + + 6
+ + + 7
+ + + 9
1. Atol Kaledupa 2. Atol Tomia 3. Pulau Tomia4. Pulau Wangi-wangi 5.Pulau kaledupa
38
Tipe padang lamun
Padang lamun di lima lokasi penelitian umumnya homogen dan dapat digolongkan pada tipe: padang lamun yang berasosiasi dengan terumbu karang. Tipe ini, umumnya ditemukan di lokasi-lokasi di daerah pasang-surut dan rataan terumbu yang dangkal serta daerah tubir yang dalam. Vegetasi dari padang lamun di lokasi-lokasi yang diteliti umumnya adalah tipe tunggal dan tipe campuran dengan kombinasi dari beberapa jenis lamun yang tumbuh di daerah pasang surut mulai dari pinggir pantai sampai ke tubir. Tipe tunggal adalah Thalassodendron ciliatum, sedangkan tipe campuran merupakan kombinasi antara E. acoroides, T. hemprichii dan H. ovalis serta Thalassodendron ciliatum dan T. hemprichii. Hal ini hampir sama dengan padang lamun di perairan Taman laut Nasional Takabonerate untuk tipe tunggal, dan perairan Indonesia umumnya untuk tipe campuran yaitu : E. acoroides dan T. hemprichii (Heijs & Brouns 1986; Azkab 1991). Kerapatan merupakan elemen dari struktur komunitas yang dapat digunakan untuk mengestimasi produksi (Jacobs 1984). Kerapatan setiap jenis lamun mempunyai variasi, dimana secara kuantitatif terdapat perbedaan pada setiap lokasi penelitian dengan jenis yang sama, khususnya untuk jenis-jenis T. ciliatum. Nilai kerapatan terbesar dijumpai pada Halophila ovalis yang tumbuh di Atol Tomia, yaitu 3264 tegakan/m2. Ada enam jenis lamun yang umumnya ditemukan pada lokasi-lokasi penelitian. Lamun ini tumbuh pada rataan terumbu di daerah pasang surut Pulau. Tutupannya cukup tinggi (50 % - 90 %) dengan Thalassodenron ciliatum adalah jenis lamun yang dominan, kecuali di Pulau Kaledupa yang didomiansi oleh T. hemprichii dan E. acoroides. Substrat bervariasi dari pasir kasar sampai karang mati atau karang hidup. Berdasarkan pertumbuhan, pola distribusi dan habitat, maka selayaknya perairan Taman Nasional Laut Wakatobi didominasi oleh T. ciliatum karena substrat yang umumnya keras terdiri dari karang mati dan karang hidup. Hal ini karena T. ciliatum memiliki perakaran yang cukup kuat dan dapat hidup di perairan mulai dari bagian atas sub litoral sampai kedalaman 30 meter. Jenis-jenis lainnya seperti marga Halophila, Halodule dan Cymodocea hanya tumbuh di daerah intertidal bawah, sedangkan E. acroides walaupun karakter system vegetatifnya hampir sama dengan T. ciliatum lebih cenderung hidup di daerah yang agak stabil dengan substrat berlumpur. Dengan melihat hasil penelitian pada ke lima lokasi yang tutupannya rata-rata 66%, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa sumberdaya lamun di perairan Taman Laut Nasional Wakatobi secara umum dapat dikatakan cukup besar. Lebih-lebih lagi bila dikaitkan dengan biota yang berasosiasi dengan padang lamun, potensi sumberdaya lamun cukup tinggi, khususnya dari segi perikanan dan sumbangan nutrisinya pada ekosistem terumbu karang disekitarnya.
39
Kualitas Air
Perairan Taman Nasional Wakatobi tergolong masih bersih dan belum terlihat adanya pengaruh kegiatan manusia (limbah rumah tangga). Hal ini ditandai oleh tingginya dan homogennya kadar oksigen terlarut (5,28 - 7,59 ppm; 6,40 ±0,48 ppm), serta kadar nitrit (< 1,00 - 4,20 ppb; 0,66 ±1,28 ppb) yang selalu lebih rendah dibandingkan dengan kadar nitrat (< 1,00 - 22,46 ppb; 2,00 ±3,55 ppb). Dari keempat perairan yang diteliti (Karang Kaledupa, Pulau Kaledupa, P. Tomia, P. Wangi-wangi) terlihat bahwa kualitas perairan Pulau Tomia sedikit lebih baik dibandingkan ketiga perairan lainnya. Hal ini disebabkan kadar oksigen terlarut, nitrat dan fosfat di perairan Tomia lebih tinggi dibandingkan ketiga perairan lainnya (Tabel 4). Kualitas air ketiga perairan lainnya hampir sama. Tabel 4. Kisaran kadar DO, pH, salinitas,TSS, nitrat, nitrit dan fosfat di perairan Taman Nasional Kepulauan Wakatobi, Oktober-November 2001 Perairan Parameter Karang Kaledupa Pulau Kaledupa P. Tomia P.Wangi-wangi 6,19-7,21 5,28-7,26 5,53-7,59 5,68-7,06 DO, ppm (6,48+0,31) (6,22+0,64) (6,54+0,51) (6,35+0,40) 8,06-8,26 8,01-8,43 8,18-8,50 8,14-8,22 PH (8,15+0,05) (8,24+0,13) (8,25+0,08) (8,20+0,02) 34,5-35,0 34,5-35,0 34,5-35,0 Salinitas, %o 35,0 (34,9+0,2) (34,9+0,2) (34,5+0,2) 2,92-4,68 3,33-5,02 3,42-4,80 2,76-4,84 TSS, mg/L (3,60+0,44) (3,95+0,46) (3,99+0,39) (3,77+0,64) < 1-6,79 < 1-9,69 < 1-22,46 < 1-6,23 Nitrat, ppb (1,72+2,31) (1,74+2,86) (2,85+5,84) (1,77+2,42) < 1-4,20 <1-1,09 <1-3,81 <1-3,40 Nitrit, ppb (0,96+1,60) (0,07+0,28) (0,73+1,32) (0,90+1,34) 1,57-10,60 1,57-7,59 3,08-12,11 1,57-10,60 Fosfat, ppb (5,38+2,48) (3,98+1,95) (5,34+2,42) (4,28+2,82) ( + ) rata-rata + sd Oksigen terlarut (DO)
Kadar oksigen terlarut di seluruh perairan yang diteliti (perairan Karang Kaledupa, Pulau Kaledupa, Pulau Tomia, Pulau Wangi-wangi) berkisar antara 5,28 - 7,59 ppm (6,40 ±0,48 ppm). Data ini menunjukkan bahwa kadar oksigen terlarut di perairan tersebut tergolong tinggi, homogen dan masih memenuhi Baku Mutu Air Laut yang ditetapkan oleh Menteri Lingkungan Hidup yaitu > 4 ppm (Kep.Men.KLH 1988). Tingginya kadar oksigen terlarut ini serta homogenitasnya menunjukkan bahwa perairan tersebut masih bersih dan belum terlihat adanya pengaruh kegiatan manusia (limbah rumah tangga). Dari keempat perairan yang diteliti, kisaran kadar DO yang tertinggi (5,53 - 7,59 ppm; 6,54 ±0,51 ppm) ditemukan di perairan Pulau Tomia, menyusul perairan Karang Kaledupa (6,19 - 7,21
40
ppm; 6,48 ±0,31 ppm); perairan Pulau Wangi-wangi (5,68 – 7,06 ppm; 6,35 ±0,40 ppm), kemudian perairan Pulau Kaledupa (5,28 – 7,26 ppm; 6,22 ±0,64 ppm). Nitrat dan nitrit
Kadar nitrat di seluruh perairan yang diteliti (perairan Karang Kaledupa, Pulau Kaledupa, Pulau Tomia, Pulau Wangi-wangi) berkisar antara < 1,00 - 22,46
ppb (2,00 ±3,55 ppb). Kisaran kadar
nitrat ini adalah normal ditemukan di perairan-perairan Indonesia. Seperti oksigen terlarut, kisaran kadar nitrat yang tertinggi ( < 1,00 - 22,46 ppb; 2,85 ±5,84 ppb) juga ditemukan di perairan Pulau Tomia. Kisaran kadar nitrat di tiga perairan lainnya, yaitu Karang Kaledupa (<1,00 - 6,79 ppb), Pulau Kaledupa (<1,00-9,69 ppb) dan Pulau Wangi-wangi (<1,00 - 6,23 ppb) adalah hampir sama. Di perairan yang masih bersih atau perairan yang kadar oksigen terlarutnya tergolong tinggi (> 5 ppm), kadar nitrit lebih rendah dibandingkan kadar nitrat. Di seluruh perairan Taman Nasional Kepulauan Wakatobi, kadar nitrit berkisar antara < 1,00 - 4,20 ppb (0,66 ±1,28 ppb) juga lebih rendah dibandingkan dengan kadar nitrat (< 1,00 - 22.46 ppb; 2,00 ±3,55 ppb). Data ini menunjukkan bahwa secara umum perairan Karang Kaledupa, Pulau Kaledupa, Pulau Tomia dan Pulau Wangi-wangi masih bersih atau belum terpengaruh oleh kegiatan manusia (limbah rumah tangga).
Berbeda dengan oksigen terlarut dan nitrat yang kisaran kadar tertingginya di perairan
Tomia, kisaran kadar nitrit yang tertinggi (< 1,00 - 4,20 ppb; 0,96 ±1,59 ppb) ditemukan di perairan Karang Kaledupa. Dari keempat perairan yang diteliti, kisaran kadar nitrit yang terendah (<1,00 – 1,09 ppb; 0,07 ±0,28 ppb) ditemukan di perairan Pulau Kaledupa, menyusul perairan Pulau Tomia (<1,00 - 3,81 ppb; 0,73 ±1,32 ppb); perairan Pulau Wangi-wangi (<1,00 – 3,42 ppb; 0,90 ±1,34 ppb), kemudian perairan Karang Kaledupa (<1,00 - 4,20 ppb; 0,96 ±1,59 ppb). Fosfat
Kadar fosfat di seluruh perairan yang diteliti (perairan Karang Kaledupa, Pulau Kaledupa, Pulau Tomia, Pulau Wangi-wangi) berkisar antara 1,57 - 12,11 ppb (4,82 ±2,42 ppb). Kisaran kadar fosfat ini juga biasa ditemukan di perairan-perairan Indonesia (perairan Takalar, Sulsel = 5,34 ±1,88 ppb; Pantai Carita, Banten = 7,70 ±4,05 ppb). Seperti oksigen terlarut dan nitrat, kisaran kadar fosfat yang tertinggi (3,08 - 12,11 ppb; 5,34 ±2,42 ppb) juga ditemukan di perairan Pulau Tomia. Setelah itu menyusul perairan Karang Kaledupa (1,57 – 10,60 ppb), Pulau Wangi-wangi (1,57 – 10,60 ppb) dan yang terendah adalah di perairan Pulau Kaledupa (1,57 – 7,59 ppb).
41
Total Suspended Solid
Kadar TSS di seluruh perairan yang diteliti (perairan Karang Kaledupa, Pulau Kaledupa, Pulau Tomia, Pulau Wangi-wangi) berkisar antara 2,76 – 5,02 ppm (3,81±0,49 ppm). Kisaran kadar TSS ini tergolong rendah dibandingkan dengan yang biasanya ditemukan di perairan-perairan Indonesia. Rendahnya nilai TSS ini menunjukkan bahwa perairan Kepulauan Wakatobi termasuk perairan yang jernih. Kadar maksimum TSS dalam air laut untuk kehidupan biota yang ditetapkan oleh Menteri Neg. Lingkungan Hidup adalah 80 ppm. Hal ini menunjukkan bahwa seluruh perairan Kepulauan Wakatobi masih sesuai dengan Baku Mutu tersebut. Zat padat tersuspensi (TSS) yang terdapat di perairan Kepulauan Wakatobi ini bukan berasal dari erosi (partikel tanah) tetapi berasal dari detritus. Detritus dapat dipakai sebagai ukuran tingkat kesuburan perairan. Berdasarkan nilai TSS-nya, maka perairan yang paling subur adalah perairan Pulau Tomia (3,99+0,39 ppm), menyusul P. Kaledupa (3,95+0,46 ppm), P. Wangi-wangi (3,77+0,64 ppm) yang terakhir adalah perairan Karang Kaledupa (3,60+0,44 ppm). Salinitas dan pH
Salinitas dan pH permukaan di perairan TN Wakatobi berkisar antara 34,5 - 35,0 %o dan 8,01 – 8,50. Kisaran salinitas dan pH seperti ini adalah normal di perairan bebas. Dari nilai rata-rata dan standar deviasi salinitas
(34,9+0,2 %o) dan pH (8,2 ±0,2) terlihat bahwa perairan TN Wakatobi
sangat homogen dan tidak terlihat adanya indikasi kegiatan yang mempengaruhi kedua parameter tersebut. Kisaran kedua parameter tersebut masih sesuai dengan Baku Mutu Air Laut untuk kehidupan biota yang ditetapkan oleh Menteri Neg. Lingkungan Hidup Tahun 1988 yaitu pH = 6,5 - 9 dan perubahan salinitas hanya boleh + 10 % (Men. KHL 1988).
Oseanografi Suhu
Pengukuran suhu yang dilakukan pada 20 stasiun CTD di perairan Wakatobi menunjukkan bahwa suhu permukaan laut (2 m) berkisar antara 27,26 – 28,73 o
(27,26 C ) sedangkan maksimum di st 17 (28,73 o
o
C, suhu minimum terdapat di st 9
o
C). Pada kedalaman 50 m, suhu air laut masih o
rendah di st 8 yaitu sebesar 23,88 C dan tertinggi di st 17 sebesar 27.53 C. Fluktuasi suhu pada kedalaman tersebut (50 m) sekitar 3 - 4
o
C. Bila dilihat dari profil tegak suhu (Gambar 12)
menunjukkan bahwa tidak ditemui secara jelas lapisan percampuran (mixing layer) yang merupakan lapisan homogen karena adanya percampuran yang intensif baik diakibatkan oleh pengaruh angin,
42
gelombang dan arus laut. Umumnya suhu air laut di perairan tersebut menurun dari lapisan permukaan hingga dekat dasar. Gradien suhu yang lebih besar diperoleh mulai dari kedalaman 100 m hingga dekat dasar (300 m) dimana lapisan ini merupakan lapisan termoklin. Salinitas
Nilai
salinitas (kadar garam) dinyatakan dalam satuan psu (practical salinity unit). Dari
pengukuran salinitas pada 20 stasiun CTD diperoleh bahwa nilai salinitas pada permukaan (2 m) berkisar antara 34,15 – 34,34 psu. Nilai salinitas pada kedalaman 100 m berkisar antara 34,28 – 34,49 psu. Fluktuasi salinitas pada kedalaman 100 m antara 0,2 – 0,25 psu lebih tinggi dari pada di lapisan permukaan. Dari profil tegak salinitas menunjukkan bahwa fluktuasi salinitas yang lebih tinggi terdapat di lapisan permukaan hingga kedalaman 200 m (Gambar 13). Dari kedalaman 200 m hingga 300 m, nilai salinitas perubahannya cukup kecil atau dapat dikatakan hampir konstan
Gambar 12. Profil tegak suhu di perairan Wakatobi, Sulawesi Tenggara
43
Gambar 13. Profil Tegak Salinitas Di Perairan Wakatobi Sulawesi Tenggara
Kecerahan
Kecerahan pada permukaan (2 m) di perairan Wakatobi berkisar antara 70,8 – 86,1 %. Kecerahan minimum sebesar 70,8 % terdapat pada stasiun 20 dan maksimum 86,1 % pada st.13. Kecerahan pada permukaan (2 m) umumnya lebih besar dari 84 % kecuali pada st 20 (70,8 %). Hal ini menunjukkan bahwa perairan sangat jernih dimana pengaruh daratan relatif kecil. Nilai kecerahan air tersebut umumnya terdapat di perairan laut dalam yang jauh dari kegiatan-kegiatan di pantai. Fluktuasi kecerahan terlihat dari permukaan (2 m) hingga kedalaman sekitar 100 m, sedangkan dari kedalaman 100 m hingga dekat dasar laut dapat dikatakan mempunyai nilai yang konstan. Profil tegak kecerahan menunjukkan bahwa pada permukaan sedikit lebih rendah, dan makin dalam kecerahan meningkat walaupun peningkatannya relatif kecil (Gambar 14).
44
Gambar 14. Profil Tegak Kecerahan Air Di Perairan Wakatobi Sulawesi Tenggara
Kekeruhan (turbiditas)
Kekeruhan merupakan kebalikan daripada kecerahan. Kekeruhan akan mempenagaruhi daya tembus sinar matahari dalam kolom air. Bila kecerahan tinggi, maka nikai kekeruhan akan semakin kecil. Kecerahan air di perairan Wakatobi cukup tinggi dengan nilai >84 %, maka nilai kekeruhan (turbiditas) sangat rendah dan nilainya < 1 NTU dan kadang-kadang hampir 0 (nol). Oleh karena itu, perairan Wakatobi adalah perairan yang jernih seperti umumnya perairan laut dalam di Indonesia. Intensitas Matahari.
Pengukuran daya tembus cahaya matahari dilakukan pada waktu pagi hingga sore hari sekitar 13 stasiun dari 20 stasiun pengukuran CTD. Dari hasil pengukuran tersebut hampir semua stasiun pengukuran CTD menunjukkan bahwa intensitas matahari mampu menembus
hingga kedalaman
antara 55 meter hingga 122 meter. Nilai daya tembus terdalam terlihat pada stasiun CTD no 8 ( Tomea-8 ) yaitu sampai pada kedalaman 122 m pada pukul 11:25 LT dan terendah pada stasiun CTD no 4 ( Atol Utara – 4 ) pada pukul 16:45 LT. ( Gambar 15.) Hal ini menunjukkan bahwa perairan tersebut sangat jernih.
45
Gambar 15. Profil Tegak Intensitas Matahari Di Perairan Wakatobi Sulawesi Tenggara
46
Kondisi Masing-Masing Lokasi Penelitian Pulau Wangi-wangi Karang
Pantai Pulau wangi-wangi mempunyai kenampakan yang hampir sama dengan pulau-pulau yang ada disekitarnya yaitu rataan terumbu umumnya sebagian besar landai dengan rataan terumbu yang lebar. Rataan terumbu ditumbuhi oleh Thallasodendron ciliatum yang hampir merata, menutupi dasar perairan sebesar 50 %. Beberapa jenis algae yang cukup melimpah diantaranya Eucheuma yang telah dibudidayakan oleh masyarakat setempat. Di antara pertumbuhan lamun banyak dijumpai
bintang
laut
jenis
Protoreaster
nodosus
dan Choriaster granulatus
dari
Family
Oreasteridae. Pertumbuhan karang dimulai pada kedalaman 1-2 meter yang berupa koloni-koloni kecil dengan keanekaragaman yang rendah. Pada rataan terumbu reef flat yang mendatar didominasi oleh Montipora digitata, Porites cylindrica dan Goniastrea retiformis Pengamatan di Pulau Wangiwangi telah dilakukan sebanyak 50 stasiun RRA, yang terdiri dari 26 stasiun di reef top dan
24 stasiun di reef edge. Hasil pengamatan rata-rata dari stasiun RRA di
daerah reef top menunjukkan bahwa persentase tutupan pasir sebesar 21.92%, rubble sebesar 21.85%, DCA sebesar 29.04%, seagrass sebesar 15.65% dan Live coral sebesar 2.73%. Pada reef edge persentase tutupan rata-rata untuk Rubble sebesar 11.17%, DCA sebesar 20.50%, Soft coral sebesar 18.45% dan Live coral sebesar 28.71% (Tabel 5). Didaerah Reef Edge presentase karang hidup 35% dijumpai di stasiun 4, 10, 19, 22, 44 sedangkan didaerah Reef Top tidak dijumpai stasiun yang memiliki persentase live coral sebesar >30%. Hasil RRA pada masing-masing stasiun baik di rataan terumbu (reef top) maupun di lereng terumbu (reef edge) disajikan dalam gambar pada Lampiran. Di daerah tubir karang cukup bervariasi jenisnya seperti Acropora spp, Montipora spp, Porites o
spp, dan Stylophora pistillata. Lereng terumbu mempunyai kemiringan antara 60-70
dengan
pertumbuhan karang hidup yang tidak begitu rapat (patches) sampai kedalaman 40 meter. Karang yang tumbuh hanya didominasi oleh Acropora hyacinthus Echinopora mammiformis, Porites cylindrica dan beberapa Favia spp. Pertumbuhan biota lainnya yang cukup menonjol adalah sponge dan soft coral (karang lunak) dari jenis Sinularia sp. dan Dendronephthya sp.. Sponge mempunyai variasi ukuran, bentuk dan warna yang tinggi, umumnya tumbuh bergelantung dan menempel dinding sehingga memberi kesan yang sangat artistik. Dendronephthya sp. termasuk dalam golongan karang lunak dengan pertumbuhan yang sangat khas serta kaya akan warna dari putih, ungu sampai merah jingga dan menambah kesan yang sangat menarik. Gorgonian dan anemon menambah kekayaan bentuk serta warna. Gorgonian banyak tumbuh
dan mendominasi pada kedalaman lebih dari 30
meter dan
makin kedalam densitas pertumbuhannya semakin tinggi.
47
Secara keseluruhan pengamatan bebas di rataan dan lereng terumbu karang ditemukan 55 marga yang meliputi 131 jenis karang batu hidup yang didominasi oleh jenis karang Non-Acropora yaitu Pectinia paeonia, Porites nigrescens, Stylophora pistillata dan Diploastrea heliopora (Lampiran 1). Kondisi pertumbuhan karang disini dikategorikan rusak, dengan demikian perlu diperhatikan lebih intensif untuk kelestariannya. Tabel 5. Hasil RRA di tubir (reef edge) dan rataan terumbu (reef top)di Pulau Wangi-wangi P. Wangi-wangi (top) P. Wangi-wangi (edge) Benthic Jumlah 26 stasiun Jumlah 24 stasiun % Pasir*
21.9231 ± 13.8215
7.5417 ± 3.0500
% Rubble
21.8462 ± 12.9883
11.1667 ± 6.5053
% Live Coral
2.7308 ± 2.8363
28.7083 ± 7.8435
% Dead Coral
0.9615 ± 2.7200
0.9583 ± 1.9219
29.0385 ± 15.8959
20.5000 ± 6.0935
% Soft Coral
0.0769 ± 0.3922
18.4583 ± 11.2481
% Sponges
0.8462 ± 0.9249
6.4583 ± 3.7646
% Algae
6.2308 ± 4.5983
4.4583 ± 2.7343
15.6538 ± 10.8294
0.0000
0.6923 ± 0.4707
1.7500 ± 0.6757
% Dead Coral Algae
% Seagrass % Others
Ikan Karang
Berdasarkan kategori ikan yang tercatat dari hasil RRA terlihat bahwa kelompok ikan major, target dan indikator di lereng terumbu lebih banyak daripada di rataan terumbu baik dari jumlah jenis maupun jumlah individu (Gambar 16).
Perbedaan ini sangat dipengaruhi antara lain oleh kondisi
terumbu karang dan pasang surut di wilayah tersebut. Rataan Terumbu
5000
1000
0
Lereng Terumbu
Jml jenis
Jml indv.
Major
55
587
Target
21
138
Indikator
7
29
0
Jml jenis
Jml Individu
Major
70
3679
Target
83
2327
Indikator
24
551
Gambar 16. Jumlah jenis dan jumlah individu ikan berdasarkan kategori ikan yang tercatat hasil RRA selama penelitian di Pulau Wangi-wangi, Oktober 2001 Pengamatan ikan karang di rataan terumbu Pulau Wangi-wangi memperlihatkan bahwa Pomacentrus tripunctatus memiliki kelimpahan relatif tinggi (15.58%).
Kelimpahan relatif rendah
48
dimiliki oleh Halichoeres trimaculatus (2.60%).
Di lereng terumbu kelimpahan relatif tinggi dimiliki
oleh Chromis weberi (15,39%), sedangkan kelimpahan relatif rendah adalah Amblyglyphydodon curacao, yaitu 2.45% (Tabel 6 & 7) Tabel 6. Kelimpahan dan Kelimpahan Relatif dari 10 jenis ikan karang yang dominan yang dilakukan di rataan terumbu (reef top) P. Wangi-wangi Jenis Kelimpahan Kelimpahan relatif Pomancentrus tripunetatus 108 15.58% Pomancentrus coelestis 99 13.01% Dascyllus aruanus 44 9.16% Chrysiptera eyanea 27 4.95% Dischistodus prosopotaenia 25 4.75% Aenthurus triostegus 25 4.39% Pomancentrus chrysurus 24 3.66% Abudefduf sexfasciatus 22 2.84% Seolopsis lineatus 19 2.75% Halichhoeres trimaeulatus 18 2.24%
Tabel 7. kelimpahan dan kelimpahan relatif dari 10 jenis ikan karang yang dominan yang dilakukan dilereng terumbu (reef edge) P.Wangi-wangi Jenis Kelimpahan Kelimpahan relatif Chromis weberi 840 15.39% Abudefduf saxatilis 710 13.01% Caesio caerulaurea 500 9.16% Chromis ternatensis 270 4.95% Caesio euning 260 4.76% Chromis margaritfer 240 4.39% Hemitaurichthys polylepsis 200 3.66% Pterocaesio randalli 155 2.84% Chromis xanthura 150 2.75% Amblyglyphydodon curacao 134 2.45%
Lamun Pengamatan lamun yang dilakukan di Pulau Wangi-wangi memperlihatkan hasil bahwa tutupan berkisar antara 20-70 % yang sebagian besar didominasi oleh Thallassodendron ciliatum. Pada daerah ini lamun tumbuh pada substrat pasir dan karang. Ditemukan padang E. acoroides dengan tipe tunggal. Dari tujuh jenis lamun yang tercatat, ada lima jenis yang terambil pada saat transek yaitu; Thalassodendron ciliatum (928 ± 62 tegakan/m2), C. rotundata (96 ± 23 tegakan/m2), E. acoroides (32 ± 16 tegakan/m2), T. hemprichi (192 ± 43 tegakan/m2) dan Halophila ovalis (64 ± 22 tegakan/m2). Total biomassa pada lokasi ini adalah 147.43 ± 32,34 gram berat kering/m2. Komposisi jenis mulai dari garis pantai sampai tubir adalah E. acroides dengan tipe tunggal, Thallasia hemprichii, Cymodocea rotundata dan Halophila ovalis, kemudian E.acroides dan T. hemprichii, mendekati tubir didominasi oleh T. ciliatum.(Tabel 8)
49
Tabel 8. Rata-rata Kerapatan (tegakan / m2), Total Biomasa (gram berat kering/m2), Rata-rata Tutupan (%) dan Dominansi Jenis di Pulau Wangi-wangi. Jenis Kerapatan Total biomassa Tutupan % dominansi Thallassodendron ciliatum Enhalus acroides Cymodecea rotundata Thallasia hemprichii Halophila ovalis
928 ± 62 32 ± 16 96 ± 23 192 ± 43 64 ± 22
147.43 ± 32,34
50 ± 11,7%
Thallassodendron ciliatum
Kualitas Air
Oksigen terlarut Kadar oksigen terlarut di perairan P. Wangi-wangi berkisar antara 5,68 - 7,06 ppm (6,35 ±0,40 ppm). Kisaran kadar oksigen terlarut di perairan P. Wangi-wangi tergolong tinggi dan homogen. Kadar terendah (5,68 ppm) ditemukan di dalam areal pelabuhan Wangi-wangi (St. 3), sedangkan kadar tertinggi (7,06 ppm) ditemukan di St. 7 (areal budidaya rumput laut). Terlihat adanya 2 kegiatan berbeda yang mempengaruhi kadar oksigen terlarut, kegiatan yang pertama adalah budidaya rumput laut, kegiatan yang kedua adalah aktivitas pelabuhan. Kadar oksigen terlarut di daerah budidaya rumput laut (St. 7,8,9,10) lebih tinggi dibandingkan dengan di daerah lainnya (Gambar 17). Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan budidaya rumput laut berdampak positif karena meningkatkan kadar oksigen terlarut. Kegiatan di pelabuhan hanya berdampak kecil terhadap oksigen terlarut karena kadar oksigen terlarut di pelabuhan ini masih tergolong tinggi (di Indonesia, kadar oksigen terlarut dalam pelabuhan sering kurang dari 4 ppm).
Nitrat dan Nitrit Kadar nitrat (< 1,00 – 6,23 ppb; 1,77 ± 2,42 ppb) dan nitrit (< 1,00 – 3,42 ppb; 0,90 ± 1,34 ppb) di perairan pulau Wangi-wangi juga sangat bervariasi. Kadar nitrat (6,23 ppb) dan nitrit (3,42 ppb) yang tertinggi ditemukan di areal pelabuhan (Gambar 17). Kadar nitrat dan nitrit di Pelabuhan Wangi-wangi juga lebih tinggi dibandingkan dengan yang di Pel. Tomia (nitrat = < 1 ppb, nitrit = 1,09 ppb) dan di Pel. Kaledupa (nitrat = < 1ppb, nitrit = < 1 ppb). Data-data ini menunjukkan bahwa aktivitas pelabuhan telah menaikkan kadar nitrat dan nitrit. Namun pengaruh aktivitas pelabuhan ini hanya terbatas di areal pelabuhan karena di luar areal pelabuhan kadar nitrit sudah normal ( < 1 ppb).
Fosfat Kadar fosfat berkisar antara 1,57 – 10,60 ppb (4,28 ±2,82 ppb). Kisaran kadar fosfat seperti ini juga biasa ditemukan di perairan-perairan Indonesia (perairan Takalar, Sulsel = 5,34 ±1,88 ppb; Pantai Carita, Banten = 7,70 ±4,05 ppb). Seperti di perairan Pulau Tomia dan di perairan P. Kaledupa, di perairan P. Wangi-wangi kadar fosfat (3,98 ±1,95 ppb) juga cukup bervariasi. Kadar
50
fosfat yang tertinggi (10,60 ppb) ditemukan di dekat pemukiman (St. 1), pada lokasi di sekitarnya (St.2 = 4,58 ppb dan St. 3 = 3,08 ppb) menurun tajam (Gambar 17). Hal ini menunjukkan kegiatan pemukiman telah menaikkan kadar fosfat, namun hal ini berdampak positif karena menyuburkan perairan.
Zat Padat Tersuspensi (TSS)
Kadar TSS di perairan Pulau Wangi-wangi juga tergolong rendah, berkisar antara 2,76 – 4,84 ppm (3,77±0,64 ppm). Rendahnya nilai TSS ini menunjukkan bahwa perairan P. Tomia termasuk perairan yang jernih. Kadar maksimum TSS dalam air laut untuk kehidupan biota yang ditetapkan oleh Menteri Neg. Lingkungan Hidup adalah 80 ppm. Hal ini menunjukkan bahwa perairan Pulau Wangi-wangi masih sesuai dengan Baku Mutu tersebut.
Salinitas dan pH Di perairan P. Wangi-wangi salinitas (34,5 – 35 %o; 34,5+0,2 %o) dan pH air (8,14 – 8,22; 8,20 ±0,02) juga homogen. Kisaran salinitas dan pH seperti ini adalah normal di perairan bebas dan tidak terlihat adanya indikasi kegiatan yang mempengaruhi kedua parameter tersebut. Kisaran kedua parameter tersebut masih sesuai dengan Baku Mutu Air Laut untuk kehidupan biota yaitu pH = 6,5-9 dan perubahan salinitas hanya boleh + 10 % (Men. KHL 1988).
51
Gambar 17. Distribusi oksigen, nitrat, nitrit, fosfat, TSS, salinitas dan pH di perairan Pulau Wangi-wangi, TN Wakatobi
52
Arus
Kecepatan arus di P. Wangi-wangi menunjukkan kekuatan yang hampir sama pada kedalaman 13, 20, 50 hingga 100 m. Kecepatan rata-rata selama pengukuran pada kedalaman 13 m sekitar 25 cm/det, kedalaman 20 m sebesar 19 cm/det, kedalaman
50 m
sebesar 28 cm/det dan pada
kedalaman 100 m sekitar 23 cm/det. Kecepatan arus minimum adalah 1 cm/det sedangkan paling besar sekitar 78 cm/det. Pola arus sepanjang trek di perairan P. wangi-wangi menunjukkan pola yang hampir sama baik pada kedalaman 13, 20, 50 dan 100 m. (Gambar 18a, 18b, 18c dan 18d). Pengukuran arus dilakukan pada trek dekat pantai P. Wangi-wangi, umumnya arah arus di dekat pantai menuju ke arah pantai pada
periode pasang kemudian ke arah laut pada periode surut. Demikian halnya di
perairan sekitar P. Wangi-wangi pola arus menunjukkan arah yang seirama sesuai dengan kondisi pasang surut di lokasi tersebut. Di bagaian selatan, timur hingga utara pulau tersebut arah arus menuju pantai, sedangkan di bagian timur laut pulau arus menuju ke arah barat-utara atau menuju ke arah laut. Pola arus ini besar kemungkinan mengikuti pengaruh pasang-surut, sehingga pada periode pasang arus laut menuju pantai dan periode surut arus laut menuju ke arah laut dengan kecepatan lebih besar dari pada periode pasang.
Gambar 18a. Kecepatan dan arah arus pada kedalaman 13 meter di sekitar pulau Wangi-wangi, Sulawesi Tenggara
53
Gambar 18b. Kecepatan dan arah arus pada kedalaman 20 meter di sekitar pulau Wangi-wangi, Sulawesi Tenggara
Gambar 18c. Kecepatan dan arah arus pada kedalaman 50 meter di sekitar pulau Wangi-wangi, Sulawesi Tenggara
54
Gambar 18d. Kecepatan dan arah arus pada kedalaman 100 meter di sekitar pulau Wangi-wangi, Sulawesi Tenggara
Pulau Kaledupa Karang
Pantai Pulau Kaledupa mempunyai kenampakan yang hampir sama dengan pulau-pulau yang ada disekitarnya yaitu rataan terumbu umumnya sebagian besar landai dengan rataan terumbu yang lebar sekitar 200 m – 6 km. Pantai pasir putih dilanjutkan rataan terumbu yang lebar dengan dasar berupa karang mati dan pasir lumpuran. Rataan ditumbuhi oleh sea grass dari jenis Thalassia hemprichii dan Enhalus acoroides sebesar 60 % yang hampir merata lengkap dengan biota assosiasinya terutama dari jenis ekhinodermata dan sponge. Beberapa jenis algae yang cukup melimpah diantaranya Sargassum sp dan Turbinaria sp. Pada daerah ini terdapat juga budidaya rumput laut dari jenis Eucheuma. Pertumbuhan karang dimulai pada kedalaman 2-4 meter yang berupa koloni-koloni kecil dengan keanekaragaman yang tinggi. Pada rataan terumbu didominasi oleh Porites cylindrica, Porites nigrescens dan Acropora palifera Pengamatan dengan metoda RRA telah dilakukan di Pulau Kaledupa dan sekitarnya
dengan
titik sampel sebanyak 45 stasiun, terdiri dari 25 stasiun di reef top dan 20 stasiun di reef edge, sedangkan untuk LIT sebanyak 3 stasiun. Hasil pengamatan rata-rata dari stasiun RRA di daerah reef top menunjukkan bahwa persentase tutupan yang cukup tinggi adalah pasir sebesar 24.52 %, DCA sebesar 21.76 %, seagrass sebesar 23.80% dan Live coralnya sendiri sebesar 7.72 %. Pada
55
reef edge persentase tutupan rata-rata untuk rubble sebesar 14.20 %, DCA sebesar 19.00%, Soft coral sebesar 14.49% dan Live coralnya sebesar 34.85 % (Tabel 9).
Di daerah Reef Edge
presentase karang hidup >35% dijumpai di stasiun 1, 5, 6, 8, 10 dan 20 sedangkan didaerah Reef Top tidak dijumpai persentase live coral >30%. Hasil RRA pada masing-masing stasiun baik di rataan terumbu (reef top) maupun di lereng terumbu (reef edge) disajikan dalam gambar pada Lampiran 2. Mendekati tubir, pertumbuhan karang semakin banyak dan beragam, didominasi oleh pertumbuhan Acropora acuminata , A. microphthalma dan Pocillopora verrucosa. Karang tumbuh dengan baik sampai o
kedalaman 30 meter. Lereng terumbu agak curam dengan kemiringan antara 70-80 dan pada beberapa lereng terumbu terlihat adanya parit-parit (grove/spur) yang tegak lurus dengan pantai. Hal ini menandakan bahwa energi gelombang di daerah tersebut cukup tinggi. Pada kedalaman lebih dari 30 meter pertumbuhan karang mulai jarang, berupa patches-patches dan umumnya didominasi oleh karang yang mempunyai bentuk pertumbuhan masive dan encrusting. Tetapi di lokasi ini masih didapatkan jenis karang yang jarang dijumpai di daerah lain seperti marga Blastomussa dan Catalaphyllia. Komunitas karang sangat majemuk dan didominasi oleh jenis karang dari family Faviidae, Agariciidae, Caryophylliidae dan Mussidae. Rugositas cukup tinggi dengan kecerahan air berkisar antara 15-25 meter. Pertumbuhan soft coral (karang lunak) mendominasi pada kedalaman 3-10 meter yang umumnya dari marga Lobophytum dan Sinularia dengan ukuran koloni relatif besar, terutama pada tempat-tempat karang mati . Persentase tutupan karang hidup dari hasil LIT berkisar antara 40.01-62.85% (Lihat Tabel 2). Dari hasil transek dan pengamatan bebas di Pulau Kaledupa dan sekitarnya diperoleh 64 marga yang meliputi 174 jenis karang batu (Lampiran 1). Hasil analisis diperoleh nilai indeks kemerataan berkisar antara 0.2623-0.2731, dan indeks keanekaragaman karang batu berkisar antara 1.6386-1.7009 (Lampiran 3). Hal ini menunjukkan bahwa keragaman jenis karang batu di Pulau Kaledupa tergolong tinggi. Menurut Stodart dan Johanson (19..) terumbu karang yang mempunyai indeks keanekaragaman > 0.5-0.75 tergolong cukup produktif, >0.75-1.0 tergolong produktif dan >1.0 tergolong sangat produktif. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa terumbu karang di Pulau Kaledupa tergolong sangat produktif. Pertumbuhan biota lainnya yang cukup menonjol adalah Gorgonian dan soft coral (karang lunak) dari jenis Sinularia sp. dan Lobophytum sp.. Gorgonian mempunyai variasi ukuran, bentuk dan warna yang tinggi, umumnya tumbuh bergelantung dan menempel dinding sehingga memberi kesan yang sangat artistik. Subergorgia mollis dan Echinogorgia sp. termasuk dalam golongan Gorgonian dengan pertumbuhan yang sangat khas serta kaya akan warna dari putih, ungu sampai merah jingga dan menambah kesan yang sangat menarik. Gorgonian banyak tumbuh
dan
mendominasi pada kedalaman lebih dari 30 meter dan makin kedalam densitas pertumbuhannya semakin tinggi. Analisis Benthic Life Form memperlihatkan bahwa persentase karang hidup adalah 49.59%, karang mati antara 0.72-4.67%, dan ditumbuhi algae yang cukup besar yaitu antara 19.4-20.89%. Secara
56
keseluruhan dapat dikatakankan bahwa kondisi terumbu karang daerah ini termasuk kategori baik. Sementara biota lain seperti moluska, ekhinodermata dan krustasea memberi kontribusi yang relatif rendah pada persentase tutupan. Namun demikian pada daerah ini perlu diusahakan konservasi untuk menjaga kondisi ekosistem terumbu karangnya agar lebih baik. Tabel 9. Hasil RRA di lereng terumbu (reef edge) dan rataan terumbu (reef top) di Pulau Kaledupa Pulau Kaledupa (edge) Pulau Kaledupa (top) Benthic Jumlah 20 stasiun Jumlah 25 stasiun % Pasir 24.5200 ± 18.1914 9.3000 ± 9.0210 % Rubble
7.8800 ± 10.5330
14.2000 ± 6.8334
% Live Coral
7.7200 ± 9.3475
34.8500 ± 18.8352
% Dead Coral
3.1200 ± 6.7720
0.0000
% Dead Coral Algae
21.7600 ± 20.0172
19.0000 ± 11.6980
% Soft Coral
3.3600 ± 4.6805
14.6000 ± 14.4892
% Sponges
1.4400 ± 1.8502
5.3000 ± 2.7164
% Algae
4.9200 ± 5.2195
0.7500 ± 1.8317
% Seagrass
23.8000 ± 29.3428
0.0000
% Others
1.4800 ± 0.9626
2.0000 ± 0.4588
Ikan Karang
Berdasarkan kategori ikan yang tercatat dari hasil RRA terlihat bahwa jumlah jenis ikan target dan indikator di lereng terumbu lebih banyak dibandingkan dengan rataan terumbu.
Namun
sebaliknya jumlah jenis ikan major di lereng terumbu lebih sedikit dibandingkan dengan rataan terumbu (Gambar 19).
Fenomena ini sangat dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain adalah
waktu pencatatan yang relatif cepat. Pengamatan ikan karang di lereng terumbu Pulau Kaledupa memperlihatkan bahwa Caesio caerulaurea memiliki kelimpahan relatif tertinggi (23.52%). Kelimpahan relatif terendah dimiliki oleh Lutjanus fulfifamma (2.30%).
Di rataan terumbu kelimpahan relatif tertinggi dimiliki oleh
Pomacentrus tripunctatus (15.48%), sedangkan kelimpahan relatif terendah adalah Chrysiptera cynea, yaitu 2.75% (Tabel 10 & 11)
57
Rataan Terumbu
Lereng Terumbu
700
3000
600 500
2000
400 300
1000
200
0
100 0 Major
Jml jenis
Jml indv.
62
663
Jml jenis
Jml Individu
Major
59
1359 2604 250
Target
27
164
Target
68
Indikator
8
32
Indikator
23
Gambar 19. Jumlah jenis dan jumlah individu ikan berdasarkan kategori ikan yang tercatat hasil RRA selama penelitian di Pulau Kaledupa Tabel 10. Kelimpahan dan kelimpahan relatif dari 10 jenis ikan karang yang dominan yang dilakukan di rataan terumbu (reef edge) P. Keledupa Jenis Caesio caerulaurea Pterocaesio trilineata Chromis ternatensis Siganus canaliculatus Caesio lunaris Amblyglyphydodon curacao Chromis weberi Chromis xanthura Lutjanus fulviflamma Pterocaesio tile
Kelimpahan 747 480 221 171 165 162 137 120 95 94
Kelimpahan relatif 23.52% 15.15% 6.98% 5.40% 5.21% 5.11% 4.32% 3.79% 2.30% 2.97%
Tabel 11. Kelimpahan dan kelimpahan relatif dari 10 jenis ikan karang yang dominan yang dilakukan dilereng terumbu (reef top) P.Kaledupa Jenis Pamacentrus tripuntatus Pomacentrus mollucensis Dascyllus aruanus Pterocaesio tile Chromis amboinensis Thalassoma hardwicki Chromis viridid Dascyllus trimaculatus Pomacentrus bankanensis Chrysiptera cyanea
Kelimpahan 118 80 45 31 30 30 28 24 24 21
Kelimpahan relatif 15.48% 10.50% 5.51% 4.07% 3.94% 3.94% 3.67% 3.15% 3.15% 2.75%
58
Lamun
Padang lamun di pulau Kaledupa didominasi oleh Thalassia hemprichii dan Enhalus acoroides, hanya pada bagian barat pulau didominasi oleh Thalassodendron ciliatum. Tutupan lamun berkisar antara 40-70%, dengan rata-rata tutupan adalah 60 %. Kerapatan masing-masing adalah Thalassodendron ciliatum (180 ± 89 tegakan/m2), Enhalus acoroides (40 ± 28 tegakan/m2), Cymodocea rotundata (176 ± 64 tegakan/m2 ) dan Thalassia hemprichii (188 ± 99 tegakan/m2). Total biomassa adalah 206.38 ± 40,83 gram berat kering /m2. Komposisi jenis mulai dari garis pantai sampai tubir adalah E. acroides; E. acroides dan T. hemprichii; Syringodium isoetifolium dan H. ovalis, T. hemprichii dan C. rotundata. Mendekati tubir pada bagian barat pulau ditemukan tipe vegetasi tunggal dari T. ciliatum. Tabel 12. Rata-rata Kerapatan (tegakan / m2), Total Biomasa (gram berat kering/m2), Rata-rata Tutupan (%) dan Dominansi Jenis di Pulau Kaledupa Kerapatan Total biomassa Tutupan Jenis dominansi (N=12) (N=10) % (N=6) Thallassodendron ciliatum Thallassia hemprichii 180 ± 89 206.38 ± 40,83 60 ± 9,8 Enhalus acroides Enhalus acroides 140 ± 28 Cymodecea rotundata 176 ± 64 Thallasia hemprichii 188 ± 99
Kualitas Air
Oksigen terlarut Kadar oksigen terlarut di perairan P. Kaledupa berkisar antara 5,28 - 7,26 ppm (6,22 ±0,64 ppm). Kisaran kadar oksigen terlarut di perairan P. Kaledupa juga tergolong tinggi dan homogen. Kadar terendah (5,28 ppm) ditemukan di Stasiun 3 (dalam areal rataan terumbu karang).
Di perairan
Pulau Kaledupa tidak terlihat adanya pengaruh kegiatan manusia yang akan menurunkan kadar oksigen. Hal ini terlihat dari kadar oksigen terlarut di dekat lokasi pemukiman (St. 5 dan St. 11) dan di dalam pelabuhan (St. 7). Di dekat lokasi pemukiman kadar oksigen terlarut masih tinggi yaitu 5,67 ppm di St. 5 dan 5,60 ppm di St. 11. Demikian juga di lokasi pelabuhan (St. 7) yaitu 6,78 ppm (Gambar 20).
Nitrat dan Nitrit Kadar nitrat (< 1,00 – 9.69 ppb; 1,74 ±2,86 ppb) dan nitrit (< 1,00 – 1,09 ppb; 0,07 ±0,28 ppb) di perairan P. Kaledupa sangat bervariasi. Kisaran kadar nitrat dan nitrit seperti ini biasa ditemukan di perairan Indonesia. Kadar nitrat yang tertinggi (9,69 ppb) ditemukan di St. 12 (tidak ada kegiatan penduduk), sedangkan di lokasi yang ada kegiatan penduduk (pemukiman St. 5 dan St. 11) dan
59
pelabuhan (St. 7) kadar nitrat tidak terdeteksi(< 1 ppb). Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh kegiatan pemukiman dan pelabuhan terhadap kadar nitrat di perairan P. Kaledupa. Di perairan yang masih bersih atau perairan yang kadar oksigen terlarutnya tergolong tinggi (> 5 ppm), kadar nitrit umumnya tidak terdeteksi ( < 1 ppb) dan lebih rendah dari kadar nitrat. Hal ini juga dijumpai di perairan P. Kaledupa, yaitu kadar nitritnya rendah (< 1,00 ppb) dan tidak ditemukan adanya lokasi yang kadar nitritnya lebih tinggi dari kadar nitratnya. Hal ini menunjukkan bahwa perairan P. Kaledupa masih benar-benar alami.
Fosfat Kadar fosfat berkisar antara 1,57 – 7,59 ppb (3,98 ±1,95 ppb). Kisaran kadar fosfat seperti ini juga biasa ditemukan di perairan-perairan Indonesia (perairan Takalar, Sulsel = 5,34 ±1,88 ppb; Pantai Carita, Banten = 7,70 ±4,05 ppb). Seperti di perairan Pulau Tomia, kadar fosfat di perairan P. Kaledupa juga cukup bervariasi (3,98 ±1,95 ppb). Walaupun kadar fosfat di perairan P. Kaledupa cukup bervariasi namun belum terlihat adanya kegiatan yang mempengaruhi kadar fosfat di perairan ini. Hal ini dapat dilihat dari kadar fosfat di sekitar lokasi pemukiman (St. 5 dan St. 11) dan di lokasi pelabuhan (St. 7). Kadar fosfat di dekat lokasi pemukiman (St. 5 = 3,08 ppb dan St. 11 = 3,08 ppb) serta di lokasi pelabuhan (St. 7 = 1,57 ppb) ternyata lebih rendah dibandingkan dengan di lokasi yang jauh dari lokasi pemukiman dan dari areal pelabuhan (Gambar 20).
Zat Padat Tersuspensi (TSS) Perairan Pulau Kaledupa juga tergolong jernih karena kadar TSS-nya masih rendah, berkisar antara 3,42 – 4,80 ppm (3,99±0,39 ppm). Kadar maksimum TSS dalam air laut untuk kehidupan biota yang ditetapkan oleh Menteri Neg. Lingkungan Hidup adalah 80 ppm. Hal ini menunjukkan bahwa perairan Pulau Kaledupa masih sesuai dengan Baku Mutu tersebut.
Salinitas dan pH Salinitas air di 15 lokasi pengamatan adalah sama, yaitu 35 %o. Ditinjau dari salinitasnya, maka perairan P. Kaledupa benar-benar homogen. Demikian juga dengan nilai pH-nya, hampir tidak terlihat perbedaan yang nyata (8,01 –8,43; 8,24 ±0,13). Kisaran salinitas dan pH seperti ini adalah normal di perairan bebas dan tidak terlihat adanya indikasi kegiatan yang mempengaruhi kedua parameter tersebut. Kisaran kedua parameter tersebut masih sesuai dengan Baku Mutu Air Laut untuk kehidupan biota yaitu pH = 6,5-9 dan perubahan salinitas hanya boleh + 10 % (Men. KHL 1988).
60
Gambar 20. Distribusi oksigen terlarut, nitrat, nitrit, fosfat, TSS, salinitas dan pH di perairan Pulau Kaledupa, TN Wakatobi
61
Arus
Trek ADCP di pulau Kaledupa dengan lama perekaman sepanjang trek sekitar 7 jam diperoleh sebagai berikut: pada kedalaman 13 m, 20 dan 50 m kecepatan arus sekitar 36 cm/det, 34 dan 31 cm/det berturut-turut. Kecepatan arus pada kedalaman 13 m hingga 50 m, besarnya hampir sama dengan perbedaan yang relatif kecil. Kecepatan minimum yang diperoleh selama pengukuran 1 cm/det dan maksimum 100 cm/det. Arus laut yang lebih kuat dijumpai di sebelah timur P. Kaledupa dengan arah ke timur laut baik pada kedalaman 13, 20, 50 dan 100 m.
Gambar 21a. Kecepatan dan arah arus pada kedalaman 13 meter Di sekitar pulau Kaledupa, Sulawesi Tenggara
Gambar 21b. Kecepatan dan arah arus pada kedalaman 20 meter Di sekitar pulau Kaledupa, Sulawesi Tenggara
62
Gambar 21c. Kecepatan dan arah arus pada kedalaman 50 meter Di sekitar pulau Kaledupa, Sulawesi Tenggara
Gambar 21d. Kecepatan dan arah arus pada kedalaman 100 meter Di sekitar pulau Kaledupa, Sulawesi Tenggara
63
Pulau Tomia Karang
Pulau Tomia Pantai di Pulau Tomia mempunyai kenampakan yang hampir sama dengan pulau-pulau yang ada disekitarnya yaitu rataan terumbu umumnya landai dengan rataan terumbu yang lebar sekitar 1.30 m – 1.2 km. Pantai sebagian besar landai dengan area rataan terumbu sempit dan dasar berupa karang mati serta pasir lumpuran yang ditumbuhi lamun jenis Thallasodendron ciliatum sekitar 60 % serta diselingi oleh pertumbuhan alga Halimeda sp. Pengamatan di Pulau Tomia telah dilakukan sebanyak 10 stasiun RRA untuk reef edge, untuk reef top tidak dilakukan dan 1 stasiun LIT. Hasil pengamatan rata-rata dari stasiun RRA di daerah reef edge menunjukkan bahwa persentase tutupan rubble sebesar 10.60 %, DCA sebesar 14.80 %, Soft coral sebesar 14.60% dan Live coral sebesar 32.30% (Tabel 13).
Didaerah Reef Edge
presentase karang hidup >35% dijumpai di stasiun 1, 2, 3, 5, 9 dan 36 sedangkan didaerah Reef Top tidak dijumpai.
Hasil RRA pada masing-masing stasiun baik di rataan terumbu (reef top)
maupun di lereng terumbu (reef edge) disajikan dalam gambar pada Lampiran 2. Lereng terumbu agak terjal sampai kedalaman lebih dari 50 meter. Di lereng terumbu banyak dijumpai adanya parit-parit (grove/spuur) yang tegak lurus pantai. Pertumbuhan karang pada kedalaman 15 meter keatas yang umumnya didominasi oleh karang yang mempunyai bentuk pertumbuhan masive dan encrusting terutama pada tempat-tempat yang terlindung. Pada tempat yang terbuka didominasi oleh oleh pertumbuhan karang bercabang, dari kelompok Acroporidae. Hasil analisa benthic life form diperoleh persentase tutupan karang hidup sekitar 42.71 % (Lihat Tabel 2) . Dari hasil transek dan pengamatan bebas di Pulau Tomia dan sekitarnya diperoleh 56 marga yang meliputi 146 jenis karang batu (Lampiran 1). Nilai indeks kemerataan 0.2596, dan indeks keanekaragaman karang batu sebesar 1.5913. Hal ini menunjukkan bahwa keragaman jenis karang batu di Pulau Tomia tergolong tinggi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa terumbu karang di Pulau Tomia tergolong sangat produktif. Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa kondisi terumbu karang daerah ini termasuk kategori sedang. Walaupun dalam analisis benthic life form ditemukan karang mati sekitar 1.68 %, tetapi kenyataannya daerah ini ditumbuhi algae yang cukup besar antara 26.52 % jadi lebih sedikit dibandingkan dengan karang batu hidup. Melihat kondisi terumbu karang yang demikian memang cukup memprihatinkan, untuk itu diperlukan usaha-usaha untuk menjaga kelestarian terumbu karang tersebut melalui monitoring atau penyuluhan tentang pentingnya ekosistem terumbu karang dalam menunjang pariwisata khususnya wisata bahari.
64
P. Lintea Pulau Lintea berbentuk memanjang kearah timur barat dengan
panjang pulau sekitar 5 km.
Merupakan pulau yang relatif besar dengan panjang rataan terumbu sekitar 15.60 km dan lebar 9.75 km. Rataan terumbu agak landai sampai kedalaman 3 meter dan cenderung berkembang kearah barat dan selatan. Pantai mempunyai kenampakan yang hampir sama dengan pulau-pulau yang ada disekitarnya yaitu rataan terumbu umumnya sebagian besar landai dengan rataan terumbu yang lebar sekitar 1 meter – 10 km. Terumbu karang di Pulau Lintea merupakan terumbu karang tepi (fringing reef). Secara umum profil dasar pulau ini adalah sama yang pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua tipe dasar yaitu rataan terumbu dengan rampart (gudus) di dekat tubir, dan rataan terumbu tanpa gudus. Rataan terumbu tanpa gudus terdapat di sebelah timur sampai tenggara, sedangkan rataan terumbu yang menghadap kearah utara, barat sampai selatan mempunyai gudus yang berada dekat tubir. Area rataan terumbu yang lebar dengan dasar berupa karang mati dan pasir lumpuran ditumbuhi oleh sea grass dari jenis Thallasodendron ciliatum sebesar 70 % yang hampir merata. Biota yang berasosiasi di dalamnya adalah beberapa jenis ekhinodermata, sponge dan beberapa jenis algae yang cukup melimpah diantaranya Sargassum sp dan Halimeda sp. Pengamatan di Pulau Lintea telah dilakukan sebanyak 43 stasiun RRA, yang terdiri dari 25 stasiun di reef top dan
18 stasiun di reef edge, sedangkan untuk LIT sebanyak 1 stasiun. Hasil
pengamatan rata-rata dari stasiun RRA di daerah reef top menunjukkan bahwa persentase tutupan yang cukup tinggi adalah pasir sebesar 27.24 %, rubble sebesar 11.80 %, DCA sebesar 30.04 %, seagrass sebesar 13.68% dan Live coralnya sendiri sebesar 2.44 %. Pada reef edge persentase tutupan rata-rata untuk rubble sebesar 10.44 %, DCA sebesar 19.50%, Soft coral sebesar 26.55% dan Live coralnya sebesar 22.33 % (Tabel 13).
Hasil RRA pada masing-masing stasiun baik di
rataan terumbu (reef top) maupun di lereng terumbu (reef edge) disajikan dalam gambar pada Lampiran 4. Mendekati daerah tubir pertumbuhan karang semakin banyak dan beragam, didominasi oleh pertumbuhan Porites cylindrica , Acropora brueggemmani, Diploastrea heliopora, Montipora sp.dan Heliopora coerulea. Karang tumbuh dengan baik sampai kedalaman 30 meter. Lereng terumbu agak o
curam dengan kemiringan antara 60-80 sampai kedalaman lebih dari 50 meter dan pada beberapa tempat juga ditemukan adanya parit-parit (moats) yang tegak lurus dengan pantai. Pada kedalaman lebih dari 40 meter pertumbuhan karang mulai jarang dan berupa patches-patches. Komunitas karang sangat majemuk dan didominasi oleh jenis karang dari family Faviidae, Agariciidae, Caryophylliidae dan Mussidae. Rugositas cukup tinggi dengan kecerahan air berkisar antara 15-25 meter. Pertumbuhan soft coral (karang lunak) mendominasi pada kedalaman 1-10 meter yang umumnya dari marga Lobophytum dan Sinularia dengan ukuran koloni relatif besar, terutama pada tempat-tempat karang mati . Persentase tutupan karang hidup hasil LIT berkisar antara 23.85 – 54.07% (Lihat Tabel 2). Dari hasil transek dan pengamatan bebas di Pulau Lintea diperoleh 64 marga yang meliputi 163 jenis karang batu (Lampiran 1). Hasil analisis diperoleh nilai indeks kemerataan berkisar antara 0.2669-0.2738,
65
dan indeks keanekaragaman karang batu berkisar antara 1.5893-1.6667. Ini menunjukkan tingginya keragaman jenis karang batu di Pulau Lintea. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa terumbu karang di Pulau Lintea tergolong sangat produktif. Secara keseluruhan dapat dibedakan bahwa kondisi terumbu karang daerah ini termasuk kategori baik. Walaupun dalam analisis benthic life form sedikit ditemukan karang mati antara 2.29-4.69 %, tetapi kenyataannya daerah ini ditumbuhi algae yang cukup besar antara 8.32-22.05 % jadi lebih sedikit dibandingkan dengan karang batu hidup. Namun demikian pada daearah ini perlu diusahakan konservasi untuk menjaga kondisi ekosistem terumbu karangnya agar lebih baik.
Tabel 13. Hasil RRA di lereng terumbu (reef edge) dan rataan terumbu (reef top) di Pulau Tomia dan Lintea, Oktober 2001 Benthic Pulau Lintea (Top) Pulau Lintea (edge) Pulau Tomia (edge) Jumlah 25 stasiun
Jumlah 18 stasiun
Jumlah 10 stasiun
% Pasir
27.2400 ± 34.1153
4.9444 ± 2.0428
8.0000 ± 2.1602
% Rubble
11.8000 ± 10.9810
10.4444 ± 2.8122
10.600 ± 2.5906
% Live Coral
2.4400 ± 2.4509
22.3333 ± 5.9508
32.300 ± 7.9310
% Dead Coral
6.1600 ± 5.9839
1.9444 ± 3.6858
3.0000 ± 3.4960
30.0400 ± 20.0925
19.5000 ± 10.1010
14.800 ± 5.8080
% Soft Coral
0.5200 ± 1.6361
26.5556 ± 6.8704
14.600 ± 6.0773
% Sponges
1.4000 ± 1.7559
6.5556 ± 2.7701
6.2000 ± 3.0478
% Algae
5.1600 ± 3.5903
6.2778 ± 3.2864
8.5000 ± 4.8819
13.6800 ± 7.0458
0.0000
0.0000
1.5600 ± 0.8206
1.4444 ± 0.5113
2.0000 ± 0.0000
% Dead Coral Algae
% Seagrass % Others
Ikan Karang
Berdasarkan kategori ikan yang tercatat dari hasil RRA terlihat bahwa kelompok ikan major, target dan indikator di lereng terumbu lebih banyak daripada di rataan terumbu baik dari jumlah jenis maupun jumlah individu (Gambar 22).
Perbedaan ini sangat dipengaruhi antara lain oleh kondisi
terumbu karang dan pasang surut di wilayah tersebut. Pengamatan ikan karang di lereng terumbu Pulau Tomia memperlihatkan bahwa Chromis viridis memiliki kelimpahan relatif tertinggi (10.54%).
Kelimpahan relatif terendah dimiliki oleh Chromis
tertatensis (3.73%). Di rataan terumbu kelimpahan relatif tertinggi dimiliki oleh Dascyllus arunatus (15.92%), sedangkan kelimpahan relatif terendah adalah Abudefduf saxatilis dan Halichoeres sp. yaitu 3.28% (Tabel 14 & 15)
66
Rataan Terumbu
Lereng Terumbu 800
600 500
600
400 300
400
200 200
100 0
0
Jml jenis
Jml indv.
Jml jenis
Jml Individu
Major
43
533
Major
45
795
Target
24
81
Target
53
481
Indikator
6
23
Indikator
19
131
Gambar 22. Jumlah jenis dan jumlah individu ikan berdasarkan kategori ikan yang tercatat hasil RRA selama penelitian di Pulau Tomia Tabel 14. Kelimpahan dan Kelimpahan Relatif dari 10 jenis ikan karang yang dominan yang dilakukan di lereng terumbu (reef edge) P. Tomia Jenis Chromis viridis Chromis xanthura Dascyllus reticulatus Scarus sp Caesio caerulaurea Pseudoanthias squamipinnis Chromis margaritifer Dascyllus trimaculatus Chaetodon kleini Chromis tertatensis
Kelimpahan 113 97 80 74 70 63 62 61 47 40
Kelimpahan relatif 10.54% 9.05% 7.46% 6.90% 6.53% 5.88% 5.78% 5.69% 4.38% 3.73%
Tabel 15. Kelimpahan dan Kelimpahan Relatif dari 10 jenis ikan karang yang dominan yang dilakukan di rataan terumbu (reef top) P.Tomia Jenis Dascyllus aruanus Apogon hartzfeldi Pomacentrus chrysurus Dascyllus reticulatus Amblyglyphododon leucogaster Halichoeres purpurescens Halichoeres trimaculatus Thallasoma hardwicki Audefduf saxatilis Halichoeres sp.
Kelimpahan 92 82 35 33 27 26 26 26 19 19
Kelimpahan relatif 15.92% 14.18% 6.05% 5.71% 4.67% 4.50% 4.50% 4.50% 3.28% 3.28%
Lamun
Padang lamun di Pulau Tomia didominasi oleh Thalassodendron ciliatum, lamun tersebut tumbuh di substrat pasir-lumpuran, pasir dan karang. Tutupan lamun berkisar antara 20-80% dengan rata-rata
67
tutupan adalah 60%. Ada tiga jenis yang terambil pada transek yaitu Thalassodendron ciliatum (432 ± 99 tegakan/m2), Thalassia hemprichii (192 ± 64 tegakan/m2) dan Halophila ovalis (176 ± 43 tegakan/m2). Total biomassanya adalah 196.51 ± 37,87 gram kering basah/m2. Mintakat mulai dari garis pantai sampai ke tubir selalu dengan kombinasi T. ciliatum, yaitu T. cilliatum dan T.hemprichii; T. cilliatum, T.hemprichii dan H. ovalis dan pada tubir vegetasi tunggal T.cilliatum. Luas padang lamun di Atol Tomia mempunyai rata-rata tutupan 70%. Thalassodendron ciliatum merupakan jenis lamun yang dominan dari enam jenis lamun yang terambil pada saat transek. Pada Tabel 33 menunjukkan bahwa kerapatan jenis lamun masing-masing : Thalassodendron ciliatum (807 ± 118), Enhalus. acoroides (32 ± 19 tegakan/m2), T. hemprichii (752 ± 99 tegakan/m2) dan Halodule uninervis (2304 ± 85 tegakan/m2). Syringodium isoetifolium (256 ± 43 tegakan/m2), Halophila ovalis (3264 ± 167 tegakan/m2). Total biomassanya adalah 272,38±48,71 gram berat kering /m2. Komposisi jenis mulai dari garis pantai sampai tubir adalah : E.acroides dan H.Uninervis; T.cilliatum dan T.hemprichii dan daerah tubir oleh vegetasi tunggal T.cilliatum
Tabel 16. Rata-rata Kerapatan (tegakan / m2), Total Biomasa (gram berat kering m2), Rata-rata Tutupan dan Dominansi Jenis di Pulau Tomia dan Atol Tomia Tutupan Kerapatan Total biomassa Jenis % dominansi (N=10) (N=6) (N=10) Pulau Tomia Thallassodendron ciliatum Thallassodendron 432 ± 99 196.51 ± 37,87 60 ± Thallasia hemprichii ciliatum 10,0 192 ± 64 Halophila ovalis 176 ± 43
Jenis Atol Tomia Thallasodendron cilitum Enhalus acroides Thallasia hemprichii Syringodium isoetifolium Halodule pinifolia Halophila ovalis
Kerapatan (N=6)
Total biomassa (N=6)
Tutupan % (N=10)
807 ± 118 32 ± 19 752 ± 99 256 ± 43 2304 ± 85 3264 ± 167
272.38 ± 48,71
70 ± 7,5
dominansi
Thallassodendron ciliatum
Kualitas Air
Oksigen terlarut Kadar oksigen terlarut di perairan Pulau Tomia berkisar antara 5,53 - 7,59 ppm (6,54 ±0,51 ppm). Dibandingkan dengan di perairan pantai lainnya di Indonesia, kisaran kadar ini tergolong tinggi dan homogen. Kadar terendah (5,53 ppm) ditemukan di Stasiun 10 (dalam areal Pelabuhan Tomia). Disini
terlihat adanya pengaruh aktivitas pelabuhan terhadap kadar oksigen
terlarut.
68
Namun pengaruh aktivitas pelabuhan ini tergolong kecil karena di areal pelabuhan biasanya kadar oksigen terlarut lebih rendah dari 4 ppm. Selain itu di Stasiun 9 (lokasi terumbu karang yang terdekat dengan Stasiun 10), kadar oksigen terlarut sudah mencapai 6,00 ppm. Pengaruh aktivitas penduduk (pemukiman penduduk di dekat St. 8) terhadap penurunan kadar oksigen terlarut juga tidak ada. Hal ini ditandai dengan tingginya kadar oksigen terlarut di stasiun 8 (6,44 ppm) yang sudah sama dengan di lokasi lainnya sekitar Pulau Tomia (Gambar 23).
Nitrat dan Nitrit Berbeda dengan oksigen terlarut, kadar nitrat di perairan Tomia sangat bervariasi, yaitu berkisar antara < 1,00 - 22,46 ppb (2,85 ±5,84 ppb). Kisaran kadar ini biasa ditemukan di perairan Indonesia. Kadar tertinggi (22,46 ppb) ditemukan di sebelah timur P. Tomia Stasiun 13 (Gambar 23). Di perairan yang masih bersih atau perairan yang kadar oksigen terlarutnya tergolong tinggi (> 5 ppm), kadar nitrit umumnya tidak terdeteksi ( < 1 ppb) dan lebih rendah dari kadar nitrat. Di perairan P. Tomia, dari 14 lokasi pengamatan hanya 4 lokasi yang kadarnya > 1ppb yaitu St. 2 (2,26 ppb); St. 7 (3,81 ppb), St. 10 (1,091 ppb) dan di St. 12 (3,03 ppb)(Tabel 34). Di St. 7, kadar nitrit (3,81 ppb) bahkan lebih tinggi dari kadar nitratnya (2,95 ppb). Kondisi ini bukan disebabkan oleh dampak kegiatan manusia tetapi keadaan alamnya yang seperti itu. Hal ini dapat dilihat dari perbandingan kadar nitrit di lokasi dekat pemukiman (St. 8 dan St. 14) serta lokasi yang jauh dari pemukiman (St. 2 dan St. 7). Di lokasi dekat pemukiman (St. 8 dan St. 14), kadar nitritnya rendah (< 1 ppb), sedangkan di lokasi yang jauh dari pemukiman kadar nitritnya tinggi yaitu 2,56 ppb di St. 2 dan 3,81 ppb di St. 7 (Gambar 23).
Fosfat Kadar fosfat berkisar antara 3,08 - 12,11 ppb (5,34 ±2,42 ppb). Kadar tertinggi (12,11 ppb) ditemukan di St. 5, sedangkan kadar terendah (3,08 ppb ditemukan di St. 8, St. 9 dan St. 12 (Gambar 29). Kisaran kadar fosfat seperti ini juga biasa ditemukan di perairan-perairan Indonesia (perairan Takalar, Sulsel = 5,34 ±1,88 ppb; Pantai Carita, Banten = 7,70 ±4,05 ppb). Berbeda dengan nitrat dan nitrit yang kadarnya sangat bervariasi, kadar fosfat di perairan P. Tomia tidak begitu bervariasi ((5,34 ±2,42 ppb). Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada kegiatan di Pulau Tomia yang mempengaruhi kadar fosfat.
Zat Padat Tersuspensi (TSS) Kadar TSS di perairan Pulau Tomia berkisar antara 3,42 – 4,80 ppm (3,99±0,39 ppm). Kisaran kadar TSS ini tergolong rendah dibandingkan dengan yang biasanya ditemukan di perairan-perairan Indonesia. Rendahnya nilai TSS ini menunjukkan bahwa perairan P. Tomia termasuk perairan yang jernih. Kadar maksimum TSS dalam air laut untuk kehidupan biota yang ditetapkan oleh Menteri
69
Neg. Lingkungan Hidup adalah 80 ppm. Hal ini menunjukkan bahwa perairan Pulau Tomia masih sesuai dengan Baku Mutu tersebut.
Salinitas dan pH Salinitas dan pH di perairan Pulau Tomia berkisar antara 34,5-35,0 %o dan 8,18-8,50 . Kisaran salinitas dan pH seperti ini adalah normal di perairan bebas. Dari nilai rata-rata dan standar deviasi salinitas (34,9 ±0,2 %o) dan pH (8,3 ±0,1) terlihat bahwa perairan Pulau Tomia mempunyai nilai salinitas dan pH yang sangat homogen dan tidak terlihat adanya indikasi kegiatan yang mempengaruhi kedua parameter tersebut. Kisaran kedua parameter tersebut masih sesuai dengan Baku Mutu Air Laut untuk kehidupan biota yaitu pH = 6,5-9 dan perubahan salinitas hanya boleh + 10%(Men.KLH1988).
70
Gambar 23. Distribusi oksigen terlarut, nitrat, nitrit, fosfat, TSS, salinitas dan pH di perairan Pulau Tomia, TN Wakatobi
71
Arus
Trek ADCP di pulau Tomea dengan lama perekaman sepanjang trek sekitar 5 jam kecepatan arus berkisar antara 0.01 – 0.96 m/det dengan kecepatan rata-rata pada setiap kedalaman sebagai berikut: pada kedalaman 13 m, 20 ,50 dan 100 m kecepatan arus berturut-turut adalah sekitar 40 cm/det, 40 cm/det, 34 cm/det dan 26 cm/det. Kecepatan arus pada kedalaman 13 m hingga 20 m, kuat arus hampir sama, sedangkan semakin dalam kecepatan arus makin menurun.
Gambar 24a. Kecepatan dan arah arus pada kedalaman 13 meter Di perairan pulau Tomia, Sulawesi Tenggara
Gambar 24b. Kecepatan dan arah arus pada kedalaman 20 meter Di perairan pulau Tomia, Sulawesi Tenggara
72
Gambar 24c. Kecepatan dan arah arus pada kedalaman 50 meter Di perairan pulau Tomia, Sulawesi Tenggara
Gambar 24d. Kecepatan dan arah arus pada kedalaman 100 meter Di perairan pulau Tomia, Sulawesi Tenggara
73
Atol Kaledupa Karang
Rataan terumbu sangat luas dan pada beberapa lokasi terlihat adanya rampat (gudus) yang muncul pada waktu air surut. Di dalam rataan terumbu karang terdapat goba-goba yang mempunyai kedalaman antara 5-15 meter, dan banyak ditumbuhi oleh karang masive dan sub-massive serta didominasi oleh pertumbuhan soft coral dari marga Sinularia sp dan Lobophytum sp.. Area rataan terumbu yang lebar dengan dasar berupa karang mati dan pasir lumpuran ditumbuhi oleh sea grass dari jenis Thallasodendron ciliatum sebesar 90% yang hampir merata lengkap dengan biota assosiasinya terutama beberapa jenis ekhinodermata, sponge dan beberapa jenis algae yang cukup melimpah diantaranya Sargassum sp dan Turbinaria sp. Pengamatan di Atol Kaledupa telah dilakukan sebanyak 108 stasiun RRA, yang terdiri dari 36 stasiun di reef top dan 72 stasiun di reef edge, sedangkan untuk LIT sebanyak 3 stasiun. Hasil pengamatan rata-rata dari stasiun RRA di daerah reef top menunjukkan bahwa persentase tutupan yang cukup tinggi adalah pasir sebesar 10.47 %, rubble sebesar 9.06 %, DCA sebesar 19.28 %, Soft coral sebesar 20.17% dan Live coralnya sendiri sebesar 23.31 %. Sedangkan pada reef edge persentase tutupan rata-rata untuk pasir sebesar 16.31%, rubble sebesar 14.69 %, DCA sebesar 13.92%, Soft coral sebesar 14.50% dan Live coralnya sebesar 19.03 % (Tabel 17). Didaerah reef edge, presentase karang hidup diatas 35% dijumpai di stasiun 5, 22, 30, 37 dan 62 , sedangkan didaerah reef top distasiun
14 dan 26.
Hasil RRA pada masing-masing stasiun baik di rataan
terumbu (reef top) maupun di lereng terumbu (reef edge) disajikan dalam gambar pada Lampiran 4. Mendekati tubir pertumbuhan karang semakin baik dan beragam, didominasi oleh pertumbuhan Acropora gemmifera , Seriatopora hystrix dan Porites lutea. Lereng terumbu
agak terjal dengan
o
kemiringan >70 dan pertumbuhan karang didominasi oleh Acropora spp dan Porites spp dengan ukuran yang relatif kecil. Di lokasi ini juga ditemukan adanya parit-parit (moats) yang tegak lurus dengan tubir. Hal ini menunjukkan bahwa daerah tersebut selalu mendapat tekanan arus dan gelombang yang cukup kuat. Pada kedalaman 5 –10 meter komunitas karang sangat majemuk dan didominasi oleh jenis karang dari suku Poritidae, Faviidae, Agariciidae, Mussidae dan Merulinidae. Rugositas cukup tinggi dengan kecerahan air berkisar antara 15 –25 meter. Pertumbuhan karang di atol kaledupa ini mempunyai keunikan yang sangat menarik karena pada beberapa lereng terumbunya mempunyai kenampakan komunitas yang berbeda. Pada habitat tertentu karang berkembang secara optimal dan mencapai proses suksesi kearah kondisi klimaks dimana pada area yang cukup luas hanya didominasi oleh beberapa jenis karang tertentu. Pada kedalaman lebih dari 40 meter pertumbuhan karang mulai jarang dan berupa patches-patches. Dan di lokasi ini ditemukan jenis karang yang jarang dijumpai didaerah lain seperti marga Zoopilus, Blastomussa, Catalaphyllia dan Heteropsamia.
74
Pertumbuhan soft coral (karang lunak) mendominasi pada kedalaman 3-10 meter yang umumnya dari marga Lobophytum dan Sinularia dengan ukuran koloni relatif besar, terutama pada tempat-tempat karang mati . Pertumbuhan biota lainnya yang cukup menonjol dan bernilai ekonomi penting adalah Holothurians dari jenis Holothuria edulis, dan Thelenota ananas dan Gastropoda dari jenis Trochus niloticus dan Trochus maculatus, yang mempunyai variasi ukuran dan umumnya hidup menempel di selasela karang . Selain itu dari kelompok soft coral adalah Dendronephthya sp. juga termasuk dalam golongan karang lunak dengan pertumbuhan yang sangat khas serta kaya akan warna dari putih, ungu sampai merah jingga dan menambah kesan yang sangat menarik. Gorgonian dan Tunicate menambah kekayaan bentuk serta warna. Gorgonian banyak tumbuh dan mendominasi pada kedalaman lebih dari 30 meter dan makin kedalam densitas pertumbuhannya semakin tinggi. Persentase tutupan karang hidup hasil LIT berkisar antara 36.08-39.09%. Dari hasil transek dan pengamatan bebas di Atol Kaledupa diperoleh 71 marga yang meliputi 238 jenis karang batu (Lihat Lampiran 1). Nilai indeks kemerataan berkisar antara 0.2731-0.2740 dan indeks keanekaragaman karang batu berkisar antara 1.6187-1.7444. Ini menunjukkan tingginya keragaman jenis karang batu di Atol Kaledupa. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa terumbu karang di Atol Kaledupa tergolong sangat produktif. Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa kondisi terumbu karang daerah ini termasuk kategori sedang. Walaupun dalam analisis benthic life form ditemukan karang mati antara 5.84 - 6.6%, tetapi kenyataannya daerah ini ditumbuhi algae yang cukup besar antara 15.45 – 21.54% jadi lebih sedikit dibandingkan dengan karang batu hidup. Melihat kondisi terumbu karang yang demikian memang cukup memprihatinkan, untuk itu diperlukan usaha-usaha untuk menjaga kelestarian terumbu karang tersebut melalui monitoring atau penyuluhan tentang pentingnya ekosistem terumbu karang dalam menunjang pariwisata khususnya wisata bahari.
Tabel 17. Hasil RRA di lereng terumbu (reef edge) dan rataan terumbu (reef top) di Atol Kaledupa Atol Kaledupa (top)
Atol Kaledupa (edge)
Jumlah 36 stasiun
Jumlah 72 stasiun
10.4722 ± 10.9322
16.3056 ± 20.0820
9.0556 ± 4.5604
14.6944 ± 12.0043
23.3056 ± 9.1240
19.0278 ± 11.6715
0.1389 ± 0.8333
1.6667 ± 4.5872
% Dead Coral Algae
19.2778 ± 9.5994
13.9167 ± 10.6820
% Soft Coral
20.1667 ± 12.0392
14.5000 ± 10.1870
% Sponges
4.5000 ± 2.6132
3.8056 ± 2.7865
% Algae
4.6111 ± 3.3998
7.6944 ± 5.3462
6.8056 ± 12.1674
6.6667 ± 9.3598
1.9444 ± 1.1198
1.4444 ± 0.7099
Benthic % Pasir % Rubble % Live Coral % Dead Coral
% Seagrass % Others
75
Ikan Karang
Berdasarkan kategori ikan yang tercatat dari hasil RRA terlihat bahwa kelompok ikan major, target dan indikator di lereng terumbu lebih banyak daripada di rataan terumbu baik dari jumlah jenis maupun jumlah individu (Gambar 25). Perbedaan ini sangat dipengaruhi antara lain oleh kondisi terumbu karang dan pasang surut di wilayah tersebut. Rataan Terumbu
Lereng Terumbu 6000
800 600
4000
400
2000
200
0
0
Jml jenis
Jml indv.
Jml jenis
Jml
Major
41
663
Major
75
3706
Target
13
164
Target
83
5289
Indikator
3
22
Indikator
24
628
Gambar 25. Jumlah jenis dan jumlah individu ikan berdasarkan kategori ikan yang tercatat dari RRA selama penelitian di Pulau Atol Kaledupa Di lereng terumbu Atol Kaledupa memperlihatkan bahwa Caesio caerulaurea memiliki kelimpahan relatif tertinggi (26.20%). (3.25%).
Kelimpahan relatif terendah dimiliki oleh Chaetodon kleini
Di rataan terumbu kelimpahan relatif tertinggi dimiliki oleh Dascyllus aruanus (18.45%),
sedangkan
kelimpahan
relatif
terendah
adalah
Thallasoma
hardwicki
dan
Mullodichthys
barberinoides , yaitu 2.34% (Tabel 18 & 19)
Tabel 18. Kelimpahan dan Kelimpahan Relatif dari 10 jenis ikan karang yang dominan yang dilakukan di lereng terumbu (reef edge) P. Atol Kaledupa Jenis Caesio caerulaurea Caesio terres Abudefduf saxatilis Pterocaesio randalli Chromis xanthura Chromis ternatensis Amblyglyphydodon curacao Chromis weberi Naso unicornis Chaetodon kleini
Kelimpahan 2050 712 465 439 428 389 335 285 258 254
Kelimpahan relatif 26.20% 9.10% 5.94% 5.61% 5.47% 4.97% 4.28% 3.64% 3.30% 3.25%
76
Tabel 19. Kelimpahan dan Kelimpahan Relatif dari 10 jenis ikan karang yang dominan yang dilakukan di rataan terumbu (reef top) Atol Kaledupa Jenis Kelimpahan Kelimpahan relatif Dascyllus aruanus 134 18.45% Pomacentrus chrysurus 85 11.71% Chaetodon kleini 75 10.33% Pomacentrus mollucensis 63 8.67% Parupeneus multifasciatus 37 5.10% Gnatodentex aurolineatus 29 3.99% Halichoeres trimaculatus 27 3.72% Labriodes dimidiatus 25 3.44% Thallasoma hardwicki 17 2.34% Mullodichthys barberinoides 17 2.34%
Lamun
Pengamatan lamun di Atol Kaledupa memperlihatkan bahwa rata-rata tutupan adalah 90%. Lamun tersebut tumbuh pada substrat pasir dan pecahan karang, jenis yang mendominasi adalah Thalassodendron Dari enam jenis lamun yang tercatat pada lokasi ini, ada empat jenis yang tersampel dengan kerapatan (tegakan/m2) masing-masing adalah yaitu : Thalassodendron ciliatum (1344 ± 133 ), Cymodocea rotundata (144 ± 28), T. hemprichii (32 ± 20) dan H. ovalis (64 ± 32). Total biomassa dari lokasi ini adalah 357,34 ± 59,87 gram berat kering±/m2. Komposisi jenis mulai dari garis pantai sampai dengan tubir kombinasinya secara umum adalah sebagai berikut : T.cilliatum dan T.hemprichii ; H.ovalis didaerah pasir dan daerah tubir C.rotundata, S.isoetifolium dan T.cilliatum Tabel 20. Rata-rata Kerapatan (tegakan / m2), Total Biomasa (gram berat kering m2), Rata-rata Tutupan dan Dominansi Jenis di Atol Kaledupa Jenis Kerapatan Total biomassa Tutupan % Dominansi (N=12) (N=6) (N=10) Thallassodendron ciliatum Thallassodendron 1344 ± 133 357.34 ± 59,87 90 ± 9,4 Cymodecea rotundata ciliatum 144 ± 28 Thallasia hemprichii 32 ± 20 Halophila ovalis 64 ± 32
Kualitas Air
Oksigen terlarut Di perairan Atol Kaledupa kadar oksigen terlarut (6,19 –
7,21 ppm; 6,48 ±0,31 ppm) juga
tergolong tinggi dan homogen. Seperti halnya di perairan P. Tomia dan di perairan P. Kaledupa, perairan di Atol Kaledupa ini juga tidak terlihat adanya pengaruh kegiatan manusia yang akan menurunkan kadar oksigen.
77
Nitrat dan Nitrit Kadar nitrat berkisar antara < 1,00 – 6,79 ppb dan nitrit berkisar antara < 1,00 – 4,20 ppb. Kadar nitrat (1,72 ±2,3 ppb) dan nitrit (0,96 ±1,60 ppb) di perairan Atol Kaledupa ini juga sangat bervariasi. Walaupun bervariasi namun kisaran kadar nitrat dan nitrit ini biasa ditemukan di perairan Indonesia. Kadar nitrat di perairan Atol Kaledupa Bagian Selatan (< 1,00 – 6,79 ppb) lebih tinggi dibandingkan dengan yang di Bagian Utara (< 1,00 – 3,165 ppb)(Gambar 26a dan 26b), namun kisaran kadar nitritnya tidak berbeda (< 1,00 – 4,20 ppb). Di perairan Atol Kaledupa ini ada 2 lokasi yang kadar nitritnya lebih tinggi dibanding kadar nitratnya, yaitu di St. 11 (nitrit = 4,58 ppb, nitrat = 4,20 ppb) dan St. 16 (nitrit = 3,42 ppb, nitrat = 2,16 ppb). Kedua stasiun ini terletak di Atol Kaledupa Bagian Utara. Hal ini mungkin disebabkan keadaan alamnya.
Fosfat Kadar fosfat berkisar antara 1,57 – 10,60 ppb (5,38 ±2,48 ppb). Kadar tertinggi (10,60 ppb) ditemukan di perairan Atol Kaledupa Bagian Utara (St. 14), sedangkan kadar terendah (1,57 ppb) ditemukan di perairan Atol Kaledupa Bagian Selatan ( St. 3)(Gambar 26a dan 26b). Kisaran kadar fosfat seperti ini juga biasa ditemukan di perairan-perairan Indonesia (perairan Takalar, Sulsel = 5,34 ±1,88 ppb; Pantai Carita, Banten = 7,70 ±4,05 ppb). Seperti di perairan Pulau Tomia, P. Kaledupa dan P. Wangi-wangi, kadar fosfat (5,38 ±2,48 ppb) di perairan Atol Kaledupa juga tidak begitu bervariasi dan belum terlihat adanya kegiatan yang mempengaruhi kadar fosfat di perairan
Zat Padat Tersuspensi (TSS) Seperti di perairan Pulau Tomia, P. Kaledupa dan P. Wangi-wangi, perairan Atol Kaledupa juga tergolong jernih, karena kadar TSS-nya masih rendah, berkisar antara 3,42 – 4,80 ppm (3,99±0,39 ppm). Kadar maksimum TSS dalam air laut untuk kehidupan biota yang ditetapkan oleh Menteri Neg. Lingkungan Hidup adalah 80 ppm. Hal ini menunjukkan bahwa perairan Atol Kaledupa masih sesuai dengan Baku Mutu tersebut.
Salinitas dan pH Salinitas air di perairan Atol Kaledupa berkisar antara 34,5 - 35 %o (34,9 ±0,21 %o). Data ini menunjukkan bahwa perairan Atol Kaledupa adalah homogen. Demikian juga dengan nilai pH-nya, hampir tidak terlihat perbedaan
(8,06 – 8,26; 8,15 ±0,05). Kisaran salinitas dan pH seperti ini
adalah normal di perairan bebas dan tidak terlihat adanya indikasi kegiatan yang mempengaruhi kedua parameter tersebut. Kisaran kedua parameter tersebut masih sesuai dengan Baku Mutu Air Laut untuk kehidupan biota yaitu pH = 6,5-9 dan perubahan salinitas hanya boleh + 10 % (Men. KHL 1988).
78
Gambar 26a. Distribusi oksigen terlarut, nitrat, nitrit, fosfat, TSS, salinitas dan pH di Atol Kaledupa Bagian Utara, TN Wakatobi
79
Gambar 26b. Distribusi oksigen terlarut, nitrat, nitrit, fosfat, TSS, salinitas dan pH di Atol Kaledupa Bagian Selatan, TN Wakatobi 80
Arus
Trek ADCP yang mengelilingi Atol Kaledupa membentang dari tenggara hingga barat laut dengan lama perekaman 5 hingga 7 jam. Kecepatan arus yang diperoleh selama pengukuran antara 1 hingga 120 cm/det. Sedangkan kecepatan arus rata-rata pada 4 lapisan yaitu pada kedalaman 13 m, 20, 50 dan 100 m, adalah sebesar 43 cm/det, 42 cm/det, 36 cm/det, dan 28 cm/det berturut-turut. Kecepatan arus pada kedalaman 13 m hingga 20 m, besarnya hampir sama dengan perbedaan yang relatif kecil. Kecepatan arus umumnya menurun terhadap kedalaman laut. Kecepatan arus yang lebih kuat dijumpai di daerah Atol Kaledupa bagian timur hingga tenggara baik pada kedalaman 13, 20 50 dan 100 m. Arah arus dominan ke arah timur hingga tenggara kemudian berbelok arah ke arah barat-barat laut. Di bagian barat hingga barat laut Atol Kaledupa kecepatan arus lebih lemah dibandingkan di bagian tenggara Atol Kaledupa. Arah arus di bagian barat/barat laut Atol Kaledupa dominan ke arah timur hingga tenggara
Gambar 27a. Kecepatan dan arah arus pada kedalaman 13 meter Di perairan sekitar Atol Kaledupa, Sulawesi Tenggara
Gambar 27b. Kecepatan dan arah arus pada kedalaman 20 meter Di perairan sekitar Atol Kaledupa, Sulawesi Tenggara
81
Gambar 27c. Kecepatan dan arah arus pada kedalaman 50 meter Di perairan sekitar Atol Kaledupa, Sulawesi Tenggara
Gambar 27d. Kecepatan dan arah arus pada kedalaman 100 meter Di perairan sekitar Atol Kaledupa, Sulawesi Tenggara
82
IV. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Kesimpulan 1.
Jumlah jenis karang batu terbanyak dijumpai di Atol Kaledupa , yaitu sebanyak 238 jenis yang termasuk dalam 71 marga. Berdasarkan hasil RRA dan LIT, terumbu karang di Pulau Kaledupa dapat dikategorikan baik, sedangkan terumbu karang di pulau Tomia, Pulau Lintea dan karang Kaledupa dikategorikan sedang.
2.
Perairan Wakatobi memiliki keanekaragaman jenis ikan yang relatif tinggi dengan banyaknya ikan indikator, Ikan major serta ikan target bernilai ekonomis. Masih dijumpai ikan Napoleon dan ikan Pari Manta.
3.
Kepadatan lamun di daerah Wakatobi cukup besar yaitu 66%, dengan tipe padang lamun yang berasosiasi dengan terumbu karang dan didominasi oleh Thallassodendron ciliatum.
4.
Kualitas perairan Wakatobi tergolong bersih, jernih dan belum terlihat adanya pengaruh kegiatan manusia.
5.
Kondisi suhu, salinitas, kecerahan, kekeruhan dan intensitas matahari di perairan Kepulauan Wakatobi tergolong baik, sedangkan kecepatan arus tergolong cukup kuat.
Rekomendasi
1.
Keberadaan terumbu karang di Kepulauan Wakatobi perlu dijaga dari kerusakan lebih lanjut. Hal ini sangat berkaitan dengan kebedaraan biota-biota lainnya seperti ikan karang, moluska atau hewan-hewan lain yang hidupnya berasosiasi dengan terumbu karang.
2.
Perairan Wakatobi sangat potensial untuk dijadikan kawasan konservasi dilihat dari keanekaragaman baik jenis-jenis karang maupun biota-biota lain yang hidup berasosiasi dengan terumbun karang.
3.
Program COREMAP sangat cocok untuk diimplementasikan di Kawasan ini. Namun dalam pelaksanaannya harus terpadu antara aspek yang satu dengan yang lainnya.
83
DAFTAR PUSTAKA rd
Allen, Gerald R. 1997. Marine Fishes of the Great Barrier Reef and South-East Asia. 3 edition. Western Australian Museum 292 pp. American Publich Health Association; American water works Assocition dan Water Pollution Control Federation 1980. Standard methods for the examination of water and wastewater. th APHA,AWWA,WPCF. 15 eds. Azkab. M.H. 1991. Study on seagrass on community structure and biomass in the southern part of Seribu Islands In : Proceeding of the Regional Symposium on Living Resources in Coastal Areas. (A. Alcala ed). University of Philippines, Manila p. 353-362. Bell, JD and R. Galzin. 1984. Influence of living coral cover on coral reef fish communities. Marine Ecology Progress Series, 15: 265-274 Bouchon_Navaro, Y. and Bouchon, C. 1989. Correlations between chaetodontid fishes and coral communities of the Gulf of Aqaba (Red Sea). Env. Biol. Fish. 25: 47-60 Carritt D.E. dan J.H. Carpenter, 1966. Comparison and evaluation of currently modifications of Winkler method for determining dissolved oxygen in seawater. A NASCO Report. J. Mar. Res. (24)3 : 286 – 318. Daly, M.C., M.A.Cooper., I.Wilson., D.G. Smith and G.D.G Hooper, 1991. Cenozoic plate tectonics and basin evoluation in Indonesia. Marine and Petroleum Geology, V.pp 21 Dartnal, A.J. and M. Jones (eds.) 1986. A manual survey methods: living resources coastal areas. AseanAustralia Cooperative Programme on Marine Science Handbook. AIMS, Townsville,167p. Den Hartog,C. 1970. The seagrass of the world. North-Holand Publ. Co., Amsterdam, 275p. English, S., C. Wilkinson and V. Baker 1994. Survey manual for tropical marine resources. Australian Institute of Marine Science, Townsiville, pp. 368. Fonseca,M.S. 1987. The management of seagrass syetem. Trop.Coast.Area.Manag. ICLARM Newsletter 2(2): 5-7. Grasshoff, K. 1976. Determination of nitrate. Dalam : Methods of seawater analysis. (Grasshoff eds.). Verlag Chemie-Weinheim- New york : 137 – 145. Halminton, W, 1979. Tectonic of the Inonesia Region. Geological Survey professional paper1078. US.Gov.print.Off Washington 345pp Heijs, F.M.L. and J.J.W.M. Brouns 1986. A survey of seagrass community around the Bismarck Sea, Papua New Guinea. Proc.K. Ned.Akad.Wet. C89 (1) :11-44. Hilomen, V.V. and H.T. Yap. 1991. Preliminary analysis of trends in individual abundance and species richness of the families Pomacentridae and Labridae in Puerto Galera, Oriental Mindoro, Philippines. Proc. Regional Symposium Living Resources Coastal Areas, Manila. P. 141-149 Jones, G.P. and Syms, C. 1995. Influence of disturbance and habitat degradation on coral reef fissh communities. In: Reefish’95: Recruitment and Population Dynamics of Coral Reef Fishes. G.P. Jones, P.J. Dohehrty, B.D. Mapstone & L. Howlett (eds). First International Workshop, Queensland. P.225-237
84
Koreleff, F. 1976. Determination of phosphorus. Dalam : Methods of seawater analysis. (Grasshoff eds.). Verlag Chemie-Weinheim- New york : 117 – 126. Kuenen, Ph.H. 1933. Geology of coral reef. The Snellius Expedition in the Eastern part of the Netherlands East Indies 1929-1930. Bol.V. geological results, part 2 Kemink En Zoon N.V. Utrecht Kuiter, Rudie H. and H. Debelius. 1994. Southeast Asia Tropical Fish Guide. IKAN Unterwasserarchiv, Frankfurt. 321 pp. Men. KHL 1988. Pedoman Penentuan Baku Mutu Lingkungan. Baku Mutu Air Laut untuk kehidupan biota. Sekretariat Men. Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup. Mukai, H., K. Aioi and Y. Ishida 1980. Distribution and biomassa of eelgrass (Zostera marina L.)and other seagrasses in Odawa Bay, Central Japan. Aquat. Bot. 8 : 337-342. Nienhuis, P.H., J. Coosen and W. KIswara 1989. Community structure and biomass distribution of seagrass and macrofauna in the Flores sea, Indonesia. Net.J.Sci.Res. 23 (2) : 197-214. Satumanatpan, S and S. Sudara. 1992. Reef fish in Gulf of Thailand. Proc. Marine Science: Living rd Coastal Resourrces, 3 ASEAN Science & Tchnology Week , Singapore. p. 145-150 Strickland J.D.H. dan T.R. Parsons, 1968. Determination of reactive nitrite. Dalam : A practical handbook of seawater analysis (Stevenson J.C ; L.W. Billingsley and R.H. Wigmore eds). Fis. Res. Board. Can. Canada : 77 – 78. Suharsono, Giyanto, Yahmantoro and A.J. Munkajee. 1998. Changes of distribution and abundance of reef fish in Jakarta Bay and Seribu Islands. Proc. Coral Reef Evaluation Workshop Pulau Seribu, Jakarta. p. 37-54 Suharti, R.S. 1996. Keanekaragaman jenis dan kelimpahan ikan Pomacentridae di terumbu karang Selat Sunda. OLDI 29: 29-39 Thorhaug, A. and C.B. Austin 1986. Restoration of seagrass with economic analysis. Environ. Conserv. 3(4) : 259-267.
85
TIM PENELITI BASELINE STUDI WAKATOBI - Koordinator
: 1. Dra. Nurul Dhewani M.S., Msi
- Koral
: 2. Dr. Suharsono 3. Agus Budiyanto 4. Ricoh Siringo-ringo
- Ikan Karang
: 5. Dra. Sasanti R. Suharti, MSc 6. Drs. Imam Supriyanto 7. Yahmantoro
- Lamun
: 8. Drs. Husni Azkab 9. Asep Rasyidin
- GIS
: 10. Abdullah S. 11. Roostam
- Kualitas Air
: 12. Drs. Horas P. Hutagalung 13. Abdul Rozak
- Oseanografi
: 14. Sudarto
- Data Analis
: 15. Rahmat, S.Kom 16. Djuariah
- Administrator
: 17. Mayudi
86
LAMPIRAN
87
Lampiran 1. Jumlah dan Sebaran Jenis Karang Batu Hidup di Wakatobi dan sekitarnya No. I
Marga Jenis ASTROCOENIIDAE 1 Stylocoeiniella armata 2 S. guentheri
II
A
L
O B
K
A C
0 0
1 0
S
I D
E
0 0
1 1
1 0
3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
POCILLOPORIDAE Pocillopora damicornis P. eydouxi P. meandrina P. verrucosa P. woodjonesi Seriatopora caliendrum S. hystrix Stylophora pistillata Palauastrea ramosa Madracis Kirby
1 0 1 1 0 0 1 1 1 0
1 1 0 1 0 1 1 1 1 0
1 1 0 1 0 0 1 1 0 0
1 0 0 1 0 0 1 1 0 0
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38
ACROPORIDAE Montipora monasteriata M. tuberculosa M. hoffmeisteri M. millepora M. spongodes M. spumosa M. undata M. danae M. verrucosa M. incrassata M. foveolata M. venosa M. digitata M. hispida M. efforescens M. grisea M. stellata M. informis M. foliosa M. aequituberculata M. turgescens M. crassituberculata Anacropora forbesi A. puertogelerae A. reticulata A. matthai
0 1 1 0 1 0 0 1 0 0 1 1 1 0 1 0 0 1 1 1 0 1 0 0 0 1
1 0 0 0 1 0 0 1 1 0 0 1 1 0 0 1 0 1 1 0 1 0 0 1 0 1
0 1 0 0 0 1 1 1 1 1 0 1 1 1 0 0 0 1 1 0 0 1 0 0 0 0
1 0 0 1 0 0 0 1 1 1 0 1 1 1 1 0 0 1 1 0 1 0 0 0 1 0
0 1 1 1 0 0 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 1 1 1 0
III
88
39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85
Acropora abrolhosensis A. aculeus A. acuminata A. anthocercis A. aspera A. austera A. brueggemanni A. carduus Acropora caroliniana A. cerealis A. clathrata A. cuneata A. cytherea A. danai A. dendrum A. digitifera A. divaricata A. donei A. echinata A. elseyi A. florida A. formosa A. gemmifera A. glauca A. grandis A. granulosa A. horrida A. humilis A. hyacinthus A. jaquelineae A. kirstyae A. latistella A. longicyathus A. lovelli A. microclados A. microphthalma A. millepora A. nana A. nasuta A. nobilis A. palifera A. palmerae A. paniculata A. pulchra A. robusta A. samoensis A. sarmentosa
0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 1 0 1 1 1 0 0 0 1 1 0 1 1 1 0 1 0 1 1 0 0 0 1 0 0 0 0 1 0 1 1 0 0 1 1 0 1
0 1 1 0 0 1 0 0 1 1 3 1 1 0 0 1 1 0 1 0 0 1 1 0 1 0 0 1 1 0 0 0 1 1 0 1 0 1 1 1 1 0 1 0 0 0 1
0 0 0 1 0 0 1 0 1 1 1 0 1 0 1 0 1 1 1 0 0 1 1 0 0 0 0 1 1 0 1 0 1 0 0 0 1 0 1 1 1 1 1 0 0 1 1
0 0 0 0 1 1 0 1 0 0 1 0 1 1 0 1 1 0 1 0 0 1 1 1 0 0 0 1 1 1 0 1 1 0 1 1 1 0 0 1 1 0 1 1 0 0 1
1 1 1 1 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 0 1 0 1 1 1 1 0 1 1 1 0 1
89
86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 105 IV
V
A. secale A. selago A. solitaryensis A. spicifera Acropora stoddarti A. subglabra A. subulata A. tenuis A. turtuosa A. valenciennesi A. valida A. vaughani A. loripes A. speciosa A. verweyi Acropora yongei Astreopora explanata A. gracilis A. listeri A. myriophthalma
PORITIDAE 106 Porites annae 107 P. cylindrica 108 P. lichen 109 P. lobata 110 P. lutea 111 P. nigrescens 112 P. rus 113 P. solida 114 P. vaughani 115 Goniopora columna 116 G. djiboutiensis 117 G. lobata 118 G. minor 119 G. palmensis 120 G. pandoraensis 121 G. pendulus 122 G. stokesi 123 G. stutchburyi 124 G. tenuidens 125 Alveopora catalai 126 A. gigas 127 A. spongiosa 128 A. tizardi
0 0 0 0 1 0 0 1 1 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 1 1 0 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 1 0 0 1 0 0 0 0 0 0
1 0 1 1 0 1 0 0 0 1 1 0 1 1 1 0 0 1 0 1 0 0 1 1 1 1 1 1 1 0 0 1 1 1 0 0 0 1 0 0 1 0 0 0 0
0 0 0 0 1 0 0 1 0 0 1 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 1 1 0 1 1 1 1 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 1 0 1 1 0 1
1 0 1 0 0 0 1 0 1 0 0 1 0 1 0 1 1 0 0 1 0 0 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 0 0 1 1 0 0 1 0 0 1 0 1 0
0 1 0 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 0 0 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 0 0 1 0 1 1 0 1 1 1
SIDERASTREIDAE
90
129 130 131 132 133 134 135 136 137 138 VI
Pseudosiderastrea tayami Psammocora contigua P. digitata P. explanulata P. profundacella P. superficialis Coscinaraea columna C. exesa C. marshae C. wellsi
AGARICIIDAE 139 Pavona cactus 140 P. clavus 141 P. decussata 142 P. explanulata 143 P. minuta 144 P. varians 145 P. venosa 146 Leptoseris explanata 147 L. foliosa 148 L. mycetoseroides 149 Leptoseris papyracea 150 L. scabra 151 L. yabei 152 Gardineroseris planulata 153 Coeloseris mayeri 154 Pachyseris rugosa 155 P. speciosa
VII 156 157 158 159 160 161 162 163 164 165 166 167 168 169 170 171
FUNGIIDAE Cycloseris patelliformis C. vaughani Diaseris distorta D. fragilis Heliofungia actiniformis Fungia concinna F. danai F. echinata F. fungites F. molluccensis F. paumotensis F. repanda F. scruposa F. scutaria F. simplex F. valida
1 0 0 1 0 1 0 1 0 1
1 0 1 1 1 0 0 0 1 1
1 0 0 0 0 0 1 1 0 0
1 1 0 0 1 1 1 0 0 0
1 1 1 1 1 1 1 1
0 1 0 0 0 0 1 0 1 1 0 0 0 0 1 1 1
0 0 1 1 0 1 1 1 0 0 0 0 1 0 1 1 1
1 0 1 0 0 1 1 0 0 0 1 1 0 1 1 1 1
0 1 0 1 1 1 1 0 0 1 1 1 0 1 1 1 1
1 1 0 0 1 1 1 1 1 0 1 1 1 0 1 1 1
0 1 0 0 1 0 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0
1 0 1 0 1 1 0 1 0 0 1 1 0 0 0 1
0 1 0 1 1 0 1 1 0 1 0 0 0 1 0 0
0 0 1 1 1 0 0 1 0 0 0 1 1 1 0 1
1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1
1
91
172 173 174 175 176 177 178 179
Herpolitha limax Polyphyllia talpina Halomitra pileus Sandalolitha robusta Lithophyllon edwardsi L. elegans Podabacia crustacea Zooplius echinata
1 0 0 1 0 0 1 0
1 1 1 1 0 0 1 0
1 0 0 1 1 0 1 0
1 1 0 1 0 1 1 0
1 1 1 1 0 0 1 1
0 1 1 1
0 1 1 0
0 1 1 0
0 1 1 1
0 1 1 1
1 0 0 0 1 0 1 0
1 0 1 1 1 0 1 1
0 0 1 0 1 1 0 1
0 0 1 1 1 1 1 1
1 1 0 1 1 1 1 0
MUSSIDAE 191 Blastomussa merleti 192 B. wellsi 193 Cynarina lacrymalis 194 Scolymia australis 195 Scolymia vitiensis 196 Acanthastrea bowerbanki 197 A. echinata 198 A. hillae 199 Lobophyllia corymbosa 200 L. diminuta 201 L. hataii 202 L. hemprichii 203 L. pachysepta 204 Symphyllia radians 205 S. recta 206 S. valenciennesii 207 S. agaricia
0 0 1 0 0 0 0 1 1 0 0 1 1 0 0 1 0
1 0 1 1 0 0 0 0 1 0 1 1 0 1 0 0 1
0 0 1 0 1 0 0 1 1 0 0 1 0 0 0 0 0
0 1 1 1 0 1 0 0 1 0 0 1 0 0 0 1 1
1 0 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 0 1 1 0 1
MERULINIDAE 208 Hydnophora exesa 209 H. microconos 210 H. pilosa
1 0 1
0 1 0
1 1 0
0 1 0
1 1 1
VIII OCULINIDAE 180 Galaxea astreata 181 G. fascicularis 182 Acrhelia horrescens IX 183 184 185 186 187 188 189 190 X
XI
PECTINIIDAE Echinophyllia aspera E. echinata Oxypora glabra O. lacera Mycedium elephantotus Pectinia alcicornis P. lactuca P. paeonia
92
211 212 213 214
H. rigida Merulina ampliata M. scabricula Scapophyllia cylindrica
FAVIIDAE 215 Caulastrea curvata 216 C. furcata 217 C. tumida 218 Favia favus 219 F. laxa 220 F. lizardensis 221 F. maritima 222 F. matthaii 223 F. maxima 224 F. pallida 225 F. rotumana 226 F. rotundata 227 F. speciosa 228 F. stelligera 229 F. veroni 230 Barabattoia amicorum 231 Favites abdita 232 F. chinensis 233 F. complanata 234 F. flexuosa 235 F. halicora 236 F. pentagona 237 F. russelli 238 Goniastrea aspera 239 G. australensis 240 G. favulus 241 G. palauensis 242 G. pectinata 243 G. retiformis 244 Platygyra daedalea 245 Platygyra lamellina 246 P. pini 247 P. sinensis 248 Leptoria phrygia 249 Oulophyllia bennettae 250 O. crispa 251 Montastrea annuligera 252 M. curta 253 M. magnistellata 254 M. valenciennesi 255 Plesiastrea versipora
0 1 1 0
1 1 1 1
0 1 1 0
1 1 1 0
0 1 1 1
1 0 1 0 1 0 0 1 1 0 1 0 0 0 1 0 1 1 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 1 1 1 0 1 0 0 0 1 1
1 0 0 1 1 1 0 1 0 1 0 1 1 1 0 0 1 0 0 0 1 1 1 1 0 1 1 0 1 1 1 1 0 1 0 0 1 1 0 1 1
0 1 1 0 1 0 1 1 0 0 1 0 0 1 0 0 1 0 0 1 1 0 1 0 1 0 0 1 1 0 1 1 0 1 0 0 0 1 1 1 1
0 1 0 0 1 0 1 1 1 0 0 1 0 1 0 1 1 0 1 0 1 0 1 0 0 0 0 1 1 1 1 1 0 1 0 1 0 1 0 1 1
1 0 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 1 0 1 1 1 0 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1
93
256 257 258 259 260 261 262 263 264 265 266 267 268
1 0 1 1 1 1 0 1 1 0 1 1 1
1 0 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1
1 1 1 1 1 1 0 1 1 0 0 1 1
1 0 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1
1 1 1 1 0 1 1 1 1 0 1 1 1
1
1
1
1
1
1 1 0 1 0 1 1
1 1 1 1 1 1 1
1 0 0 1 0 1 1
1 0 0 1 0 1 1
1 1 1 1 1 1 1
0 0 1 0 1 0 0 0 1
1 1 0 1 0 1 1 1 0
0 1 1 0 1 1 0 1 1
1 0 0 1 0 0 0 0 1
1 1 1 0 1 1 1 1 1
XVI TUBIPORIDAE 286 Tubipora musica
1
1
1
1
1
XVII HELIOPORIDAE 287 Heliopora coerulea
1
1
1
1
1
XVIII MILLEPORIDAE 288 Millepora platyphylla 289 M. tenella 290 M. exaesa
0 1 1
1 1 1
1 1 1
1 0 0
1 1 1
XIII 269
Diploastrea heliopora Leptastrea inaequalis L. pruinosa L. purpurea L. transversa Cyphastrea chalcidicum C. japonica C. microphthalma Cyphastrea serailia Echinopora gemmacea E. horrida E. lamellosa Echinopora mammiformis TRACHYPHYLLIIDAE Trachyphyllia geoffroyi
XIV CARYOPHYLLIIDAE 270 Euphyllia ancora 271 E. cristata 272 E. divisa 273 E. glabrescens 274 Catalaphyllia jardinei 275 Plerogyra sinuosa 276 Physogyra lichtensteini XV 277 278 279 280 281 282 283 284 285
DENDROPHYLLIIDAE Turbinaria peltata T. frondens T. mesenterina T. reniformis T. stellulata T. conspicua Heteropsammia cochlea Tubastrea faulkneri T. micrantha
94
XIX STYLASTERIDAE 291 Distichopora sp. 292 Stylaster sp. Jumlah jenis Jumlah marga
Keterangan : A. = Pulau Wangi-wangi B. = Pulau Kaledupa C. = Pulau Tomia D. = Pulau Lintea E .= Karang Kaledupa
1 0
1 1
1 1
1 0
1 1
131 55
174 64
146 56
163 64
238 71
0 = Tidak dijumpai 1 = Dijumpai
95
Lampiran 2. Kelimpahan dan kehadiran ikan yang dicatat melalui metode LIT di lereng perairan Wakatobi, Oktober 2001 Jenis
Kelimpahan
terumbu,
Kehadiran (%)
IKAN MAJOR POMACENTRIDAE Abudefduf saxatilis Acanthochromis polyacanthus Amblyglyphidodon aureus Amblyglyphidodon curacao Amblyglyphidodon leucogaster Amphiprion clarkii Amphiprion ocellaris Amphiprion perideraion Amphiprion sandaracinos Cheiloprion labiatus Chromis amboinensis Chromis analis Chromis atripes Chromis caudalis Chromis elerae Chromis lineata Chromis margaritifer Chromis nitida Chromis retrofasciata Chromis ternatensis Chromis viridis Chromis weberi Chromis xanthura Chromis sp. Chrysiptera rex Chrysiptera rollandi Chrysiptera springeri Chrysiptera sp. Chrysiptera talboti Dascyllus aruanus Dascyllus reticulatus Dascyllus trimaculatus Glyphidodontops hemicyanea Hemiglyphidodon plagiometopon Lepidosygus tapeinosoma Neopomacentrus cyanomos Paraglyphidodon melas Paraglyphidodon nigroris Plectroglyphidodon dicki Plectroglyphidodon lacrymatus Pomacentrus alexanderae Pomacentrus amboinensis Pomacentrus bankanensis Pomacentrus brachialis Pomacentrus burroughi Pomacentrus chrysurus Pomacentrus lepidogenys Pomacentrus lepidolepis
107 69 185 307 476 105 21 46 69 1 205 305 231 120 14 73 471 9 113 1874 66 933 541 20 93 38 28 4 79 2 591 291 23 11 50 21 67 454 49 125 171 106 68 2 5 30 116 32
16.67 28.83 75 70.83 100 100 20.83 33.33 50 4.16 58.33 70.83 41.66 45.83 4.17 29.17 79.16 4.17 41.66 87.5 16.66 62.5 75 4.17 62.5 50 16.66 4.17 62.5 4.17 91.66 83.33 16.66 16.66 8.33 4.17 58.33 100 41.66 58.33 66.67 37.5 41.66 4.17 8.33 8.33 45.83 16.66
96
Jenis Pomacentrus moluccensis Pomacentrus nigromarginatus Pomacentrus pavo Pomacentrus philippinus Pomacentrus sp. Premnas biaculeatus Stegastes apicalis LABRIDAE Anampses meleagrides Anampses sp. Bodianus axillaris Bodianus diana Bodianus mesothorax Cheilinus fasciatus Cheilinus sp. Cheilinus trilobatus Cheilinus undulatus Cheilinus unifasciatus Cheilio inermis Cirrhilabrus cyanopleura Coris gaimard Gomphosus varius Halichoeres hortulanus Halichoeres marginatus Halichoeres melanurus Halichoeres scapularis Halichoeres sp. Halichoeres trimaculatus Labrichthys unimaculatus Labroides alleni Labroides bicolor Labroides dimidiatus Labroides pectoralis Stethojulis bandanensis Thallasoma hardwickii Thallasoma janseni Thallasoma lunare Thallasoma lutescens POMACANTHIDAE Centropyge bicolor Centropyge bispinosus Centropyge eibli Centropyge multifasciatus Centropyge nox Centropyge tibicen Centropyge sp. Centropyge vrolicki Chaetodontoplus mesoleucus Pomacanthus imperator Pomacanthus navarchus Pomacanthus sextriatus
Kelimpahan 285 56 3 183 8 6 13
Kehadiran (%) 87.5 33.33 4.17 58.33 4.17 8.33 25
5 21 6 10 30 20 2 16 2 1 3 85 14 30 83 12 31 12 16 36 5 1 35 62 2 1 99 15 98 4
12.5 16.66 12.5 12.5 62.5 20.83 4.17 16.66 4.17 4.17 4.17 20.83 33.33 50 91.66 20.83 45.83 8.33 20.83 20.83 12.5 4.17 79.17 79.17 4.17 4.17 91.66 20.83 87.5 12.5
9 1 11 5 9 16 1 21 10 1 2 4
25 4.17 25 20.83 20.83 25 4.17 37.5 16.66 4.17 8.33 33.33
97
Jenis Pomacanthus xanthometopon Pygoplites diachantus SERRANIDAE Labracinus cyclophthalmus Pseudanthias bimaculatus Pseudanthias dispar Pseudanthias fasciatus Pseudanthias huchti Pseudanthias pleurotaenia Pseudanthias squamipinnis Pseudanthias sp. Pseudanthias tuka Pseudochromis bitaeniata Pseudochromis fuscus Pseudochromis paccagnellae Pseudochromis splendens Serranosirrhitus latus ACANTHURIDAE Zebrasoma scopas Zebrasoma veliferum APOGONIDAE Apogon compressus Cheilodipterus macrodon Cheilodipterus quenquelineata BLENIIDAE Paracirrhites forsteri Paracirrhites hemistictus TETHRODONTIDAE Arothron nigropunctatus AULOSTOMIDAE Aulostomus chinensis Fistularia commersonii CENTRISCIDAE Aeoliscus strigatus MICRODESMIDAE Ptereleotris ovides DIPLOPRIONIDAE Diploprion bifasciatus MONACNTHIDAE Amanses scopas Oxymonacanthus longirostris CANTHIGASTERIDAE Canthigaster solandri Canthigaster valentini PARACIRRHITIDAE Paracirrhites forsteri Paracirrhites hemistictus BALISTIDAE Balistapus undulatus Balistoides conspicillum
Kelimpahan 10 28
Kehadiran (%) 29.16 70.83
4 12 125 6 104 92 359 65 222 2 2 79 25 7
12.5 4.17 33.33 8.33 33.33 29.16 54.16 12.5 54.16 4.17 4.17 54.16 33.33 4.17
152 12
100 25
49 22 77
16.66 16.66 16.66
11 3
25 4.17
4
12.5
19 1
45.83 4.17
5
4.17
7
12.5
2
4.17
14 9
20.83 16.66
8 10
20.83 20.83
10 3
25 4.17
70 2
79.16 8.33
98
Jenis Balistoides viridescens Melichthys niger Melichthys vidua Odonus niger Rhinecanthus aculeatus Sufflamen bursa Sufflamen chrysopterus OSTRACIONIDAE Ostracion meleagris Ostracion sp. SCORPAENIDAE Pterois volitans ZANCLIDAE Zanclus cornutus MALACANTHIDAE Malacanthus lattovittatus HOLOCENTRIDAE Myripristis hexagonatus Myripristis murdjan Myripristis sp. Myripristis violacea Neoniphon sammara Myripristis adusta Sargocentron caudimaculatus Sargocentron rubrum Sargocentron spinifer Sargocentron sp. DASYATIDAE Taeniura lymma PRIACANTHIDAE Priacanthus hamrur PARAPERCIDAE Parapercis sp. EPHIPPIDAE Platax orbicularis Platax teira IKAN TARGET SERRANIDAE Aetaloperca roghaa Anyperodon leucogrammicus Cephalopholis argus Cephalopholis boenack Cephalopholis cyanostigma Cephalopholis fasciatus Cephalopholis formosa Cephalopholis miniata Cephalopholis pachycentron Cephalopholis sexmaculatus Cephalopholis spiloparaea Cephalopholis sp.
Kelimpahan 2 23 68 654 3 8 1
Kehadiran (%) 4.17 37.5 66.67 58.33 8.33 20.83 4.17
3 4
12.5 8.33
1
4.17
94
95.83
2
4.17
2 20 13 13 107 23 270 51 4 15
4.17 25 8.33 8.33 54.16 20.83 66.67 37.5 8.33 12.5
9
16.66
10
12.5
2
4.17
1 1
4.17 4.17
2 5 32 2 36 2 2 13 8 5 4 1
8.33 20.83 33.33 8.33 62.5 8.33 8.33 33.33 12.5 16.66 8.33 4.17
99
Jenis Cephalopholis urodeta Epinephelus fasciatus Epinephelus quoyanus Epinephelus sp. Gracila albomarginata Plectropomus laevis Plectropomus leopardus Plectropomus maculatus Variola louti LUTJANIDAE Lutjanus biguttatus Lutjanus bohar Lutjanus decussatus Lutjanus fulviflamma Lutjanus fulvus Lutjanus gibus Lutjanus semicinctus Lutjanus sp. Macolor maculatus Macolor niger Symphorichthys spilurus LETHRINIDAE Gnatodentex aurolineatus Lethrinus harak Lethrinus erythropterus Lethrinus lentjan Lethrinus olivaceus Monotaxis grandoculis CENTROPOMIDAE Psammoperca waigiensis SIGANIDAE Siganus canaliculatus Siganus corallinus Siganus doliatus Siganus guttatus Siganus vulpinus Siganus puellus Siganus punctatus Siganus spinus Siganus stellatus Siganus vermiculatus Siganus virgatus ACANTHURIDAE Acanthurus dussumieri Acanthurus lineatus Acanthurus nigricans Acanthurus nigricauda Acanthurus olivaceus Acanthurus pyroferum Acanthurus sp.
Kelimpahan 41 18 1 5 15 3 1 1 4
Kehadiran (%) 70.83 45.83 4.17 12.5 20.83 8.33 4.17 4.17 12.5
174 56 75 26 36 213 8 1 16 41 1
20.83 62.5 79.16 33.33 54.16 45.83 25 4.17 20.83 58.33 4.17
128 6 12 7 6 145
33.33 20.33 33.33 12.5 12.5 83.33
1
4.17
15 6 2 16 39 15 6 12 3 15 18
4.17 8.33 8.33 8.33 58.33 20.83 12.5 8.33 4.17 8.33 37.5
10 15 50 10 16 71 20
12.5 16.66 58.33 4.17 25 75 16.66
100
Jenis Acanthurus thompsoni Acanthurus triostegus Ctenochaetus binotatus Ctenochaetus striatus Ctenochaetus strigosus Ctenochaetus tominiensis Naso brevirostris Naso lituratus Naso sp. Naso unicornis Naso vlamingi Paracanthurus hepatus CAESIONIDAE Caesio caerulaurea Caesio cuning Caesio lunaris Caesio teres Dipterygonatus balteatus Pterocaesio pisang Pterocaesio randalli Pterocaesio tile Pterocaesio trilineata HAEMULIDAE Plectorhynchus celebicus Plectorhinchus chaetodontoides Plectorhinchus goldmanni Plectorhinchus lessoni Plectorhinchus lineatus Plectorhynchus orientalis Plectorhinchus picus Plectorhynchus scotaf SCOLOPSIDAE Scolopsis bilineatus Scolopsis ciliatus Scolopsis margaritifer CARANGIDAE Carangoides bajad Caranx melampygus Caranx sp. Carangoides sp. Elegatis sp. LABRIDAE Cheilinus chlorurus Cheilinus fasciatus Cheilinus trilobatus Cheilinus unifasciatus Cheilinus sp. Choerodon ancorago Epibulus insidiator Hemigymnus fasciatus
Kelimpahan 86 2 62 355 62 8 118 48 1 165 5 3
Kehadiran (%) 45.83 4.17 58.33 95.83 54.16 12.5 45.83 62.5 4.17 83.33 12.5 4.17
1591 223 678 1061 20 147 1246 412 220
50 41.66 37.5 41.66 4.17 12.5 45.83 33.33 20.83
4 15 12 2 20 2 15 4
8.33 29.16 29.16 4.17 33.33 8.33 8.33 8.33
38 3 50
41.66 4.17 54.16
3 9 16 2 7
4.17 25 25 8.33 12.5
18 58 9 23 2 15 41 29
37.5 62.5 16.66 41.66 4.17 12.5 62.5 45.83
101
Jenis Hemigymnus melapterus Oxycheilinus diagrammus MULLIDAE Mulloidichthys flavolineata Parupeneus barberinoides Parupeneus barberinus Parupeneus bifasciatus Parupeneus cyclostomus Parupeneus indicus Parupeneus macronema Parupeneus multifasciatus Upeneus tragula MYLIOBATIDAE Aetobatus narinari SCOMBRIDAE Rastrelliger sp. SCARIDAE Bolbometopon muricatus Scarus atropectoralis Scarus bicolor Scarus bleekeri Scarus bowersi Scarus dimidiatus Scarus ghobban Scarus hypselopterus Scarus niger Scarus oviceps Scarus rubroviolaceus Scarus sordidus Scarus schlegeli Scarus sp. IKAN INDICATOR CHAETODONTIDAE Chaetodon adiergastos Chaetodon auriga Chaetodon baronessa Chaetodon bennetti Chaetodon citrinellus Chaetodon ephippium Chaetodon kleini Chaetodon lineolatus Chaetodon lunula Chaetodon semeion Chaetodon speculum Chaetodon melannotus Chaetodon meyeri Chaetodon ocellicaudus Chaetodon ornatissimus Chaetodon oxicephalus Chaetodon punctatofasciatus
Kelimpahan 56 21
Kehadiran (%) 83.33 37.5
15 14 34 87 10 2 6 142 3
12.5 20.83 45.83 75 16.66 4.17 4.17 91.66 4.17
4
8.33
30
4.17
15 6 15 34 11 26 20 15 41 21 4 42 13 217
16.66 12.5 33.33 54.16 16.66 45.83 33.33 4.17 62.5 33.33 4.17 58.33 29.16 54.16
25 9 39 22 19 14 157 8 1 15 15 52 32 17 24 1 46
33.33 20.83 66.66 45.83 16.66 25 95.83 12.5 4.17 29.16 37.5 75 58.33 33.33 45.83 4.17 62.5
102
Jenis Chaetodon rafflesii Chaetodon trifascialis Chaetodon trifasciatus Chaetodon ulietensis Chaetodon unimaculatus Chaetodon vagabundus Coradion altivelis Hemitaurichthys polylepsis Heniochus chrysostomus Heniochus monoceros Heniochus varius Heniochus singularis Forcifiger longirostris
Kelimpahan 7 24 113 31 28 37 2 178 20 27 66 4 91
Kehadiran (%) 16.66 41.66 95.83 41.66 37.5 45.83 4.17 41.66 37.5 45.83 83.33 8.33 95.83
103
Lampiran 3. Index Keanegaraman Jenis
TOTAL Jumlah Species H' =- S(ni/N)log(ni/N) E = H/2log S
A
B
C
D
E
F
G
H
136 60
156 73
203 75
184 72
191 82
163 70
142 62
136 68
1.618736197 1.744413513 1.700949129 1.638633535 1.668144978 1.591308421 1.589275164 1.666813587 0.274042014 0.281819541 0.273077322 0.265584028 0.262387941 0.25962391 0.266916823 0.273810885
Keterangan : A. = Karang Kaledupa bagian timur B. = Karang Kaledupa bagian barat C. = Pulau Kaledupa bagian barat D. = Pulau Kaledupa bagian utara E. = Pulau Kaledupa bagian timur F. = Pulau Tomia bagian utara G. = Pulau Lintea bagian utara H .= Pulau Lintea bagian selatan
104
105
106
107
108
109
110
111
112
113
114
115
116
117
118
119
120
121
122
123
124
125
Karang merayap (Coral encrusting)
Karang submasif
126
Karang massif dari jenis Porites sp. dan karang lunak (soft coral)
Padang lamun yang dijumpai di lokasi penelitian
127
Gorgonian
Metode RRA untuk ikan karang yang diterapkan dalam penelitian.
128
Tabel 6. Tabel Posisi Geografi Stasiun Penelitian di perairan Wakatobi
I. REEF TOP Kaledupa No. St. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Longitude 123o 31’33.0” E 123o 31’44.0” E 123o 30’35.9” E 123o 30’08.8” E 123o 29’29.1” E 123o 28’44.6” E 123o 28’52.1” E 123o 28’12.8” E 123o 27’07.5” E 123o 26’54.6” E 123o 28’24.0” E 123o 28’32.9” E 123o 27’50.7” E 123o 28’24.5” E 123o 30’27.6” E 123o 32’22.8” E 123o 33’49.7” E 123o 35’41.9” E 123o 36’16.3” E 123o 35’40.1” E 123o 35’27.4” E 123o 33’04.1” E 123o 31’03.2” E 123o 31’31.1” E 123o 31’27.7” E
No. St. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Longitude 123o 50’41.3” 123o 49’51.7” 123o 49’30.4” 123o 50’04.6” 123o 50’24.3” 123o 50’29.8” 123o 50’35.7” 123o 51’04.2” 123o 51’37.2” 123o 52’20.2” 123o 52’51.8” 123o 53’28.0” 123o 54’01.1” 123o 55’11.2” 123o 55’47.5” 123o 56’27.4” 123o 56’49.3” 123o 55’45.0” 123o 54’20.6” 123o 53’20.7” 123o 52’13.7” 123o 52’17.2” 123o 51’26.3” 123o 51’25.0” 123o 51’23.7”
Wangi-wangi Latitude 05 50’32.7” S 05o 49’37.6” S 05o 48’59.0” S 05o 47’55.4” S 05o 46’58.8” S 05o 46’10.0” S 05o 47’06.0” S 05o 47’30.7” S 05o 46’19.4” S 05o 45’32.3” S 05o 45’28.9” S 05o 43’50.3” S 05o 42’01.6” S 05o 40’50.0” S 05o 42’18.4” S 05o 44’01.3” S 05o 45’35.8” S 05o 47’04.3” S 05o 49’05.2” S 05o 50’33.1” S 05o 52’57.9” S 05o 53’04.6” S 05o 53’02.8” S 05o 51’33.6” S 05o 51’03.2” S o
No. St. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
Tomia E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E
Longitude 123o 30’55.3” 123o 29’52.3” 123o 28’47.0” 123o 27’35.0” 123o 27’41.1” 123o 28’48.0” 123o 29’45.2” 123o 31’34.3” 123o 33’42.1” 123o 34’46.0” 123o 36’37.2” 123o 38’16.4” 123o 38’47.9” 123o 38’38.9” 123o 38’36.3” 123o 38’31.7” 123o 38’36.9” 123o 37’09.6” 123o 35’10.9” 123o 33’34.2” 123o 32’04.5” 123o 31’09.2” 123o 31’12.8” 123o 31’32.5” 123o 31’37.0” 123o 31’51.4”
E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E
Latitude 05o 20’ 32.6’ 05o 19’ 55.4’ 05o 19’ 24.1’ 05o 19’ 39.5’ 05o 20’ 55.9’ 05o 21’ 52.8’ 05o 22’ 09.6’ 05o 23’ 00.6’ 05o 23’ 42.1’ 05o 25’ 01.7’ 05o 26’ 03.9’ 05o 26’ 14.9’ 05o 25’ 19.1’ 05o 22’ 59.4’ 05o 20’ 54.3’ 05o 18’ 34.2’ 05o 17’ 20.8’ 05o 15’ 46.5’ 05o 14’ 46.5’ 05o 14’ 55.6’ 05o 14’ 45.1’ 05o 15’ 39.4’ 05o 16’ 24.7’ 05o 17’ 36.4’ 05o 18’ 52.9’ 05o 20’ 42.4’
S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S
Atol Kaledupa Latitude 05o 47’ 25.9’ 05o 48’ 09.1’ 05o 49’ 15.2’ 05o 50’ 12.4’ 05o 51’ 25.1’ 05o 52’ 39.2’ 05o 52’ 33.4’ 05o 54’ 17.5’ 05o 53’ 19.9’ 05o 52’ 14.0’ 05o 51’ 28.8’ 05o 50’ 46.0’ 05o 50’ 13.5’ 05o 49’ 59.1’ 05o 49’ 33.1’ 05o 49’ 25.0’ 05o 48’ 40.6’ 05o 48’ 04.3’ 05o 47’ 58.4’ 05o 47’ 42.9’ 05o 47’ 23.1’ 05o 46’ 44.3’ 05o 46’ 55.2’ 05o 47’ 34.8’ 05o 47’ 49.8’
S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S
No. St. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Longitude 123o 55’34.8” E 123o 55’11.8” E 123o 54’36.7” E 123o 54’15.6” E 123o 52’54.3” E 123o 51’12.1” E 123o 49’55.9” E 123o 47’18.5” E 123o 45’30.5” E 123o 44’50.9” E 123o 43’37.2” E 123o 41’55.2” E 123o 41’01.3” E 123o 39’32.5” E 123o 38’16.9” E 123o 37’24.7” E 123o 54’24.0” E 123o 54’23.0” E 123o 55’46.4” E 123o 56’24.1” E 123o 55’18.8” E 123o 53’05.7” E 123o 52’29.5” E 123o 50’32.9” E 123o 49’12.9” E 123o 47’23.0” E 123o 42’23.2” E 123o 45’32.1” E 123o 44’16.6” E 123o 40’23.3” E
Latitude 05o 44’36.3” S 05o 44’40.2” S 05o 44’40.0” S 05o 44’06.7” S 05o 43’08.5” S 05o 42’34.4” S 05o 43’01.7” S 05o 42’14.6” S 05o 40’50.4” S 05o 39’43.6” S 05o 38’32.8” S 05o 37’23.0” S 05o 36’52.6” S 05o 36’36.2” S 05o 35’26.6” S 05o 34’45.5” S 05o 47’37.7” S 05o 48’06.0” S 05o 47’50.5” S 05o 45’10.5” S 05o 48’54.8” S 05o 48’49.3” S 05o 48’28.6” S 05o 48’01.7” S 05o 45’48.1” S 05o 45’08.7” S 05o 44’45.8” S 05o 43’02.8” S 05o 41’42.1” S 05o 41’29.2” S
129
31 32 33 34 35 36
123o 42’19.8” E 123o 39’16.9” E 123o 39’55.9” E 123o 39’19.5” E 123o 39’25.7” E 123o 54’28.5” E
No. St. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Longitude 123o 52’02.1” E 123o 50’39.3” E 123o 49’43.5” E 123o 49’28.5” E 123o 49’59.1” E 123o 50’21.0” E 123o 50’27.6” E 123o 50’40.6” E 123o 51’41.1” E 123o 52’31.2” E 123o 53’26.0” E 123o 54’35.2” E 123o 55’31.6” E 123o 56’39.9” E 123o 56’26.7” E 123o 54’45.2” E 123o 53’20.7” E 123o 52’34.1” E
05o 41’30.0” S 05o 38’39.0” S 05o 37’50.5” S 05o 36’27.1” S 05o 35’03.2” S 05o 47’15.0” S
II. REEF EDGE Kaledupa No. St. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 20
Tomia
Longitude 123o 31’25.4” E 123o 30’13.5” E 123o 29’22.0” E 123o 27’07.9” E 123o 27’35.2” E 123o 28’34.6” E 123o 28’19.9” E 123o 27’48.3” E 123o 28’00.0” E 123o 30’19.3” E 123o 37’41.6” E 123o 32’44.6” E 123o 34’17.3” E 123o 35’49.9” E 123o 36’20.4” E 123o 35’39.5” E 123o 35’35.2” E 123o 33’17.2” E 123o 31’25.7” E
Latitude 05o 51’24.8” S 05o 49’39.8” S 05o 47’49.6” S 05o 46’38.8” S 05o 45’25.8” S 05o 45’32.7” S 05o 43’37.7” S 05o 42’04.0” S 05o 40’56.9” S 05o 42’09.3” S 05o 43’15.5” S 05o 44’26.3” S 05o 46’00.3” S 05o 47’25.4” S 05o 49’14.7” S 05o 51’09.7” S 05o 53’04.6” S 05o 53’11.3” S 05o 51’38.9” S
Pulau Tomia No. St. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Longitude 123o 53’43.4” E 123o 54’57.5” E 123o 56’03.7” E 123o 57’56.8” E 123o 59’57.1” E 123o 00’29.6” E 123o 58’17.3” E 123o 56’13.4” E 123o 54’18.2” E 123o 53’29.8” E
Latitude 05o 46’10.5” S 05o 47’23.7” S 05o 48’08.1” S 05o 49’19.5” S 05o 50’07.0” S 05o 51’16.5” S 05o 52’48.1” S 05o 54’16.7” S 05o 53’20.4” S 05o 52’05.3” S 05o 50’59.0” S 05o 50’07.9” S 05o 49’59.5” S 05o 49’20.3” S 05o 48’07.8” S 05o 47’49.9” S 05o 47’27.1” S 05o 46’23.7” S
Wangi-wangi Latitude 05o 46’41.6” S 05o 46’57.8” S 05o 46’57.6” S 05o 47’06.5” S 05o 46’20.8” S 05o 45’25.5” S 05o 44’07.6” S 05o 43’14.8” S 05o 42’54.0” S 05o 44’10.5” S
No. St. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Longitude 123o 31.008’ 123o 29.669’ 123o 27.941’ 123o 27.610’ 123o 28.323’ 123o 29.458’ 123o 31.029’ 123o 32.242’ 123o 33.847’ 123o 35.004’ 123o 36.886’ 123o 38.493’ 123o 38.131’ 123o 38.691’ 123o 38.671’ 123o 38.800’ 123o 37.987’ 123o 36.048’ 123o 34.505’ 123o 32.672’ 123o 31.192’ 123o 31.410’ 123o 31.520’ 123o 31.786’
E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E
Latitude 05o 20.534’ 05o 20.534’ 05o 19.422’ 05o 20.750’ 05o 21.573’ 05o 22.134’ 05o 22.588’ 05o 23.326’ 05o 23.849’ 05o 25.455’ 05o 26.178’ 05o 26.131’ 05o 24.844’ 05o 23.025’ 05o 20.990’ 05o 18.711’ 05o 16.241’ 05o 15.031’ 05o 14.456’ 05o 14.733’ 05o 15.450’ 05o 17.374’ 05o 18.889’ 05o 20.670’
S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S
Latitude 05o 45’23.0” 05o 44’40.7” 05o 44’19.2” 05o 43’51.1”
S S S S
Atol Kaledupa No. St. 1 2 3 4
Longitude 123o 47’ 25.9” 123o 47’ 56.9” 123o 48’ 25.1” 123o 47’ 32.9”
E E E E
Latitude 05o 54’ 35.6” 05o 54’ 42.1” 05o 54’ 57.4” 05o 55’ 50.9”
S S S S
No. St. 37 38 39 40
Longitude 123o 45’38.0” 123o 45’10.8” 123o 44’23.7” 123o 43’39.3”
E E E E
130
5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36
123o 47’ 14.5” 123o 48’ 15.7” 123o 49’ 00.3” 123o 49’ 05.4” 123o 48’ 52.4” 123o 48’ 53.8” 123o 49’ 09.6” 123o 48’ 21.0” 123o 48’ 03.7” 123o 47’ 44.8” 123o 47’ 13.5” 123o 46’ 22.0” 123o 46’ 05.0” 123o 46’ 23.1” 123o 46’ 33.6” 123o 46’ 21.9” 123o 46’ 11.3” 123o 46’ 04.5” 123o 45’ 45.7” 123o 45’ 34.3” 123o 45’ 25.4” 123o 45’ 15.9” 123o 45’ 00.2” 123o 44’ 34.8” 123o 44’ 08.0” 123o 42’ 47.7” 123o 42’ 41.5” 123o 43’ 13.5” 123o 43’ 27.1” 123o 43’ 35.7” 123o 43’ 57.4” 123o 44’ 24.2”
E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E
05o 56’ 38.2” 05o 56’ 16.5” 05o 55’ 15.1” 05o 54’ 04.1” 05o 53’ 06.0” 05o 51’ 56.6” 05o 50’ 56.3” 05o 49’ 41.6” 05o 48’ 51.4” 05o 48’ 30.2” 05o 48’ 54.6” 05o 48’ 54.8” 05o 48’ 13.1” 05o 47’ 15.3” 05o 46’ 47.9” 05o 46’ 25.0” 05o 46’ 16.9” 05o 46’ 24.0” 05o 46’ 21.6” 05o 45’ 58.6” 05o 45’ 43.9” 05o 45’ 34.9” 05o 45’ 19.0” 05o 44’ 41.5” 05o 44’ 06.2” 05o 44’ 53.8” 05o 45’ 17.8” 05o 46’ 09.9” 05o 46’ 42.2” 05o 47’ 05.4” 05o 47’ 32.1” 05o 48’ 17.6”
S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S
41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71
123o 42’05.5” 123o 42’13.1” 123o 41’09.0” 123o 40’38.3” 123o 39’35.1” 123o 38’15.9” 123o 36’47.4” 123o 36’17.4” 123o 36’01.9” 123o 35’35.8” 123o 35’54.2” 123o 37’39.0” 123o 38’31.3” 123o 39’29.1” 123o 40’23.2” 123o 41’41.7” 123o 55’38.4” 123o 56’14.5” 123o 54’26.0” 123o 53’55.0” 123o 51’07.0” 123o 52’30.3” 123o 50’59.0” 123o 50’33.0” 123o 49’02.0” 123o 48’23.0” 123o 44’01.4” 123o 45’13.4” 123o 46’51.1” 123o 47’28.4” 123o 48’06.7”
E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E
05o 43’06.1” 05o 42’01.1” 05o 40’41.0” 05o 39’23.8” 05o 38’44.6” 05o 38’29.7” 05o 37’54.0” 05o 36’19.7” 05o 35’02.8” 05o 33’19.2” 05o 31’39.4” 05o 32’10.1” 05o 33’40.4” 05o 35’01.7” 05o 36’17.4” 05o 36’20.2” 05o 44’13.9” 05o 46’07.0” 05o 42’13.0” 05o 41’23.0” 05o 41’23.0” 05o 41’28.0” 05o 41’56.0” 05o 43’28.0” 05o 42’40.0” 05o 41’32.0” 05o 37’04.3” 05o 38’56.5” 05o 39’36.1” 05o 40’18.5” 05o 40’53.3”
S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S
III. KUALITAS AIR Atol Bag. Selatan No. St. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Longitude 123o 44’11.3” E 123o 47’03.8” E 123o 48’37.0” E 123o 49’10.4” E 123o 47’43.3” E 123o 46’07.4” E 123o 47’38.0” E 123o 47’05.7” E 123o 45’44.5” E 123o 45’05.3” E
Atol Bag. Utara
Latitude 05o 54’45.1” S 05o 55’55.5” S 05o 55’09.1” S 05o 54’03.8” S 05o 54’18.7” S 05o 53’43.4” S 05o 52’52.7” S 05o 50’02.9” S 05o 49’07.2” S 05o 47’45.9” S
No. St. 1 2 3 4 5 6 7 8
Kaledupa No. St. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Longitude 123o 52’47.6” 123o 51’03.5” 123o 50’08.4” 123o 49’21.9” 123o 48’30.8” 123o 48’12.3” 123o 46’43.0” 123o 45’52.3” 123o 44’05.6” 123o 42’17.4” 123o 44’32.7” 123o 46’47.9”
E E E E E E E E E E E E
Longitude 123o 41’06.4’ 123o 39’52.7’ 123o 39’02.0’ 123o 37’02.9’ 123o 36’44.6’ 123o 36’50.9’ 123o 38’09.3’ 123o 35’12.1’
S S S S S S S S
Latitude 05o 41’08.9” 05o 40’51.7” 05o 41’45.9” 05o 42’09.8” 05o 40’02.9” 05o 38’25.2” 05o 36’22.3” 05o 37’36.6”
E E E E E E E E
Tomia Latitude 05o 30’59.0’ 05o 32’15.0’ 05o 31’11.0’ 05o 32’33.5’ 05o 32’51.3’ 05o 30’52.8’ 05o 30’38.3’ 05o 29’05.6’ 05o 28’28.4’ 05o 27’44.8’ 05o 32’16.0’ 05o 35’11.7’
S S S S S S S S S S S S
No. St. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Longitude 123o 50’28.9” E 123o 52’50.5” E 123o 51’17.5” E 123o 54’36.0” E 123o 54’36.5” E 123o 53’37.6” E 123o 53’12.6” E 123o 54’05.3” E 123o 53’33.4” E 123o 54’19.8” E 123o 56’54.9” E 123o 59’15.7” E
Latitude 05o 49’10.6” S 05o 48’36.7” S 05o 49’59.5” S 05o 47’42.2” S 05o 50’45.1” S 05o 51’33.6” S 05o 50’18.9” S 05o 45’24.5” S 05o 48’45.9” S 05o 42’59.7” S 05o 43’20.6” S 05o 44’42.8” S
131
13 14 15
123o 49’11.6” E 123o 51’46.0” E 123o 53’27.1” E
05o 35’12.5’ S 05o 35’44.2’ S 05o 34’06.2’ S
Longitude 123 o 31’44.1” 123 o 30’33.4” 123 o 31’48.6” 123 o 28’26.5” 123 o 28’28.0”
E E E E E
Latitude 05 o 19’21.2” 05 o 19’56.5” 05 o 20’04.8” 05 o 19’09.3” 05 o 21’38.1”
S S S S S
No. St. 6 7 8 9 10
Longitude 123 o 33’17.5” 123 o 34’00.9” 123 o 34’57.6” 123 o 36’02.8” 123 o 32’21.2”
E E E E E
Latitude 05 o 23’09.5” 05 o 23’19.9” 05 o 24’19.3” 05 o 23’43.4” 05 o 23’51.5”
S S S S S
E E E E E E E E E E
Latitude 05o 54’46.7’’ 05o 57’00.0’’ 05o 46’00.0’’ 05o 40’00.0’’ 05o 38’00.0’’ 05o 44’00.0’’ 05o 44’00.0’’ 05o 42’00.0’’ 05o 46’00.0’’ 05o 32’00.0’’
S S S S S S S S S S
No. St. 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Longitude 123o 26’00.0.’’ 123o 34’00.0.’’ 123o 42’00.0.’’ 123o 42’00.0.’’ 123o 54’00.0.’’ 123o 51’00.0.’’ 123o 39’00.0.’’ 123o 50’00.0.’’ 123o 32’00.0.’’ 123o 25’00.0.’’
E E E E E E E E E E
Latitude 05o 16’00.0’’ 05o 12’00.0’’ 05o 17’00.0’’ 05o 25’00.0’’ 05o 52’00.0’’ 05o 30’00.0’’ 05o 29’00.0’’ 05o 37’00.0’’ 05o 28’00.0’’ 05o 23’16.0’’
S S S S S S S S S S
13 14
123o 00’46.2” E 123o 56’31.5” E
05o 45’54.1” S 05o 46’45.7” S
Wangi-Wangi No. St. 1 2 3 4 5
IV. OSEANOGRAFI No. St. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Longitude 123o 45’17.1’’ 123o 45’00.0.’’ 123o 38’00.0.’’ 123o 34’00.0.’’ 123o 39’00.0.’’ 123o 46’00.0.’’ 123o 51’00.0.’’ 123o 56’00.0.’’ 124o 01’12.0.’’ 123o 32’00.0.’’
132