BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Geografi merupakan cabang ilmu kebumian yang mempelajari seluruh aspek kehidupan baik pada lingkungan biotik, abiotik, maupun hasil proses kehidupan berupa budaya (culture) dalam ruang lingkup spasial maupun temporal. Salah satu hal yang mengisi lingkungan abiotik ialah air. Air dalam berbagai bentuk merupakan sumberdaya yang penting bagi kehidupan manusia. Air mengalami perubahan wujud secara alami melalui daur hidrologi. Jumlah air di bumi relatif tetap, namun distribusi secara spasialnya berubah-ubah. Air di permukaan bumi mengalami penguapan sehingga berubah wujud menjadi uap air. Uap air yang ada di udara selanjutnya mengalami kondensasi sehingga uap air berubah menjadi titik-titik air. Pada saat titik-titik air memiliki massa yang cukup berat, maka titik-titik air itu akan jatuh yang dikenal dengan presipitasi. Air yang berasal dari presipitasi sebagian akan mengalir di permukaan bumi secara langsung (overland flow) dan sebagian yang lain akan meresap ke dalam tanah. Pada titik-titik tertentu di permukaan bumi akan muncul mataair (spring) dan rembesan (seepage) sebagai bukti adanya air yang mengalir di bawah tanah. Oleh karena itu mataair menjadi salah satu bagian dari siklus hidrologi. Mataair merupakan bentukan hasil aliran airtanah yang terpusat di suatu tempat yang mengalir keluar permukaan bumi sebagai aliran air (Tolman, 1937). Seyogyanya, mataair memiliki jumlah dan mutu air yang relatif tetap baik pada musim penghujan maupun pada musim kemarau. Terlebih lagi dalam pengembangan persediaan air bagi masyarakat, jumlah dan mutu air menjadi hal yang pentig (Linzey dan Franzini, 1986). Hal ini memiliki arti bahwa selain jumlah air yang harus mencukupi kebutuhan, juga perlu diperhatikan mengenai kualitas airnya. Namun hal itu sedikit berbeda jika kita melihat kenyataan pemanfaatan air di daerah bentuklahan solusional berupa karst atau bentuklahan denudasional yang mengalami proses struktural. Di daerah ini penduduk menilai
1
bahwa jumlah air lebih penting dibandingkan dengan kualitas air dari sumber air yang ada. Bentuklahan asal proses solusional (karst) merupakan bentuklahan yang terbentuk oleh proses pelarutan (solusional) pada batuan yang mudah larut seperti batugamping, dolomit, gypsum, dan batugaram. Bentuklahan karst yang khusus tersusun dari batugamping berasal dari batukarang di dasar laut yang mengalami pengangkatan. Wilayah karst di Jawa dapat ditemui di beberapa tempat seperti pada Pegunungan Sewu di Kabupaten Gunungkidul bagian selatan, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Kabupaten Pacitan bagian selatan dan Kabupaten Kebumen bagian selatan, Provinsi Jawa Tengah, serta di daerah Pangandaran, Provinsi Jawa Barat. Batukarang yang berada di dasar laut mengalami proses pengangkatan oleh aktivitas tektonik. Batukarang yang terangkat menjadi batugamping memiliki karakter relatif lunak sehingga mudah terlarutkan oleh air. Air yang mengisi rongga batuan berperan dalam memperlebar celah batuan dan menghasilkan kantong-kantong air di dalam batuan. Sementara itu, proses pelarutan batugamping di permukaan bumi menimbulkan kenampakan berupa bukit-bukit batugamping. Batugamping yang cenderung resisten dan memiliki sedikit rongga/celah batuan akan membentuk kubah/bukit yang disebut kubah karst atau perbukitan karst jika berjumlah banyak, sebaliknya bagian yang memiliki rongga/celah batuan yang lebih banyak akan terlarutkan dan membentuk lembah karst atau cekungan karst, dolina, dan uvala. Gambar 1.2. bagian (d) menunjukkan gambaran mengenai bentuklahan karst secara sederhana. Bentuklahan
asal
proses
denudasional
merupakan
satuan
besar
bentuklahan yang terbentuk oleh proses eksogen berupa degradasi/denudasi, yaitu proses pelapukan, erosi, longsor, dan transportasi. Contoh satuan bentuklahan denudasional berupa pegunungan terkikis, perbukitan terkikis, bukit sisa, kaki lereng, kipas rombakan lereng, dan lahan rusak. Bentuklahan asal proses struktural merupakan satuan besar bentuklahan yang terbenuk akibat pengaruh struktur geologis yang kuat seperti patahan dan lipatan. Kenampakan di alam berupa pegunungan blok sesar, gawir sesar, pegunungan lipatan, dan perbukitan plato. Bentuklahan struktural di wilayah beriklim tropis biasanya bekerja pula
2
proses denudasional berupa pelapukan, erosi, dan transportasi material permukaan bumi. Contoh bentuklahan struktural yang mengalami proses denudasional ialah Perbukitan Baturagung di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Perbukitan Baturagung berada pada perbatasan Kabupaten Bantul dan Kabupaten Sleman dengan Kabupaten Gunungkidul, serta perbatasan Kabupaten Gunungkidul dengan Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah. Perbukitan Baturagung terbentuk dari proses struktural. Hal itu didukung dengan ditemukannya gawir sesar atau bidang patahan berupa patahan bertingkat yang ditunjukkan pada Gambar 1.1. Sementara itu proses denudasional di Perbukitan Baturagung tampak dari adanya batuan yang tersingkap, pelapukan, erosi, dan transportasi di permukaan tanah.
Gawir Sesar Perbukitan Baturagung
Gambar 1.1. Gawir Sesar Perbukitan Baturagung Salah satu kecamatan yang berada pada Perbukitan Baturagung yaitu Kecamatan Gedangsari, Kabupaten Gunungkidul. Sumber air utama yang digunakan masyarakat di Kecamatan Gedangsari berupa mataair dan sumur gali. Sumur gali banyak dimanfaatkan saat musim penghujan di wilayah Desa Ngalang, Desa Hargomulyo, Desa Tegalrejo, dan Desa Sampang. Sumur gali di Desa Hargomulyo, Desa Sampang, dan Desa Tegalrejo bagian bawah masih dimanfaatkan walaupun kedalaman muka air sumur mencapai lebih dari 10 meter dari permukaan tanah. Mataair cukup banyak ditemukan di Kecamatan Gedangsari. Mataair dimanfaatkan oleh masyarakat Desa Mertelu, Desa Serut,
3
Desa Sampang, dan Desa Watugajah saat musim penghujan. Sementara saat musim kemarau mataair yang dimanfaatkan berada di Desa Ngalang, Desa Hargomulyo, Desa Serut, Desa Sampang, Desa Watugajah, Desa Mertelu, dan Desa Tegalrejo. Obyek kajian yang akan diteliti ialah mataair yang berada di Kecamatan Gedangsari, Kabupaten Gunungkidul. Kecamatan Gedangsari berada pada lereng selatan Perbukitan Baturagung. Kecamatan Gedangsari tergolong dalam kecamatan yang sulit memperoleh air, terutama pada wilayah utara yang merupakan bagian Perbukitan Baturagung. Keberadaan mataair menjadi hal yang sangat penting bagi penduduk guna mencukupi kebutuhan air untuk kehidupan sehari-hari. Mataair menjadi sumber air utama penduduk terutama saat musim kemarau.
1.2. Perumusan Masalah Mataair merupakan salah satu sumber air yang penting bagi kehidupan manusia. Mataair tidak dapat ditemukan di semua tempat. Keberadaan mataair di daerah penelitian utamanya dimanfaatkan sebagai sumber air untuk kebutuhan domestik. Tidak semua debit mataair mampu mencukupi kebutuhan akan air di suatu daerah. Tolman (1937) mengatakan bahwa faktor penting yang mempengaruhi keberadaan mataair dan besarnya debit air dari mataair itu ialah : (1) curah hujan, (2) karakter hidrologis material permukaan tanah terutama permeabilitasnya, (3) topografi, (4) karakteristik hidrologi dari penampang akuifer, dan (5) struktur geologi. Faktor topografi dan struktur geologi menunjukkan bahwa keterdapatan mataair dipengaruhi oleh satuan bentuklahan di mana mataair itu berada. Sementara itu penggunaan lahan mempengaruhi besarnya air yang meresap ke dalam tanah yang kemudian muncul sebagai mataair. Berdasarkan uraian tersebut di atas dan dari faktor di lapangan dapat dirumuskan perumusan masalah: bagaimana karakteristik mataair dan daerah resapan mataair di daerah penelitian? Lalu, faktor apakah yang mempengaruhi debit dan kontinuitas mataair di daerah penelitian? Mengenai beberapa hal yang menjadi perumusan masalah di atas perlu dilakukan studi tentang kondisi mataair, yaitu mengenai karakteristik daerah
4
resapan mataair. Lebih lanjut, daerah resapan mataair akan terkait dengan kuantitas debit mataair dan fluktuasi aliran mataair di wilayah itu. Latar belakang tersebut mendorong penulis untuk melakukan penelitian tentang mataair, khususnya daerah resapan mataair di Kecamatan Gedangsari, dengan judul: “Karakterisasi Mataair di Kecamatan Gedangsari, Kabupaten Gunungkidul”. Karakterisasi adalah kegiatan untuk menentukan karakter suatu hal, dalam hal ini menentukan karakter mataair. Karakter yang dimaksud meliputi tipe mataair, debit, dan fluktuasi aliran mataair.
1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahap hingga pada akhirnya dapat menemukan karateristik setiap mataair di Kecamatan Gedangsari. Penelitian ini bertujuan untuk : 1) mencari tahu karakter mataair dan daerah resapan setiap mataair di Kecamatan Gedangsari, Kabupaten Gunungkidul melalui metode analisa deskriptif debit dan fluktuasi aliran mataair 2) mencari tahu faktor makrorelief yang mempengaruhi debit dan fluktuasi mataair di daerah penelitian dengan menganalisa hubungan faktor litologi, geologi, geomorfologi, serta penggunaan lahan baik di sekitar lokasi kemunculan mataair maupun di daerah resapan mataair yang diperkirakan sehingga diketahui tipe mataair yang ada di Kecamatan Gedangsari
1.4. Kegunaan Penelitian Adapun kegunaan penelitian ini adalah: 1) melalui hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan mengenai karakter mataair dan daerah resapan mataair di Kecamatan Gedangsari 2) melalui pengetahuan tentang karateristik mataair daerah resapan mataair diharapan pemerintah dan masyarakat dapat menjaga setiap daerah resapan itu demi keberlangsungan mataair itu sendiri
5
1.5. Tinjauan Pustaka 1.5.1. Karakteristik Geologi Kondisi mataair bisa dipengaruhi oleh faktor dalam dan luar. Faktor dalam dipengaruhi oleh geologi dan karakteristik tanah. Selain formasi geologi, struktur geologi seperti perlapisan batuan, serta dip dan strike juga memiliki peran terhadap kemunculan mataair. Purbo (1985) menyatakan bahwa litologi dan umur batuan mempengaruhi debit mataair. Makin tua umur batuan, maka debit mataair akan semakin kecil, kecuali pada batuan gamping dimana semakin tua umur batuan gamping maka debitnya akan semakin besar. Pemunculan mataair dipengaruhi oleh beberapa faktor. Asri (2008) juga mengungkapkan bahwa munculnya mataair dan besarnya debit air pada mataair salah satunya dipengaruhi oleh kondisi litologi daerah itu. Abdurrahman (1990) menyatakan hal yang sama bahwa keberadaan mataair di suatu tempat dipengaruhi oleh umur batuan penyusunnya. Daerah lereng gunung berumur batuan kuarter debit mataairnya lebih besar dibanding daerah mataair yang berumur batuan tersier.
1.5.2. Penutup Lahan dan Penggunaan Lahan Daerah Resapan Mataair Penutup lahan dan penggunaan lahan yang baik bagi suatu mataair ialah berupa hutan tanaman tinggi dengan kombinasi rumput dan tanaman rendah di dalamnya. Foresta dkk. (2000) menyatakan bahwa antara tumbuhan tinggi dan besar dengan tumbuhan rumput rendah memiliki efek berbeda dalam pengaruh erosi, aliran permukaan, dan infiltrasi air ke dalam tanah sebagai simpanan air. Hamilton dan King (1990) menyatakan bahwa ada fenomena terbalik dari pemahaman mengenai penggunaan lahan di suatu Daerah Aliran Sungai (DAS) di daerah beriklim tropis. Tidak ada bukti bahwa curah hujan di daerah tropika akan menurun hingga level kering bagi suatu wilayah. Penanaman kembali lahan kritis juga belum tentu mengembalikan cadangan hidrologis DAS. Di beberapa tempat dengan hutan yang lebat, jumlah air yang tersedia malah sedikit. Sebaliknya, di tempat-tempat yang hutannya gundul, tinggi muka air tanahnya malah naik. Hutan di suatu wilayah tidak mempengaruhi curah hujan yang jatuh di daerah itu.
6
Kombinasi antara unsur besarnya lereng, jenis tumbuhan penutup lahan, dan unsur di dalam tanah menentukan persediaan air dalam tanah.
1.5.3. Batas Resapan Mataair Hutasoit dkk. (2006) menyatakan daerah resapan mataair dapat ditentukan melalui beberapa cara, yaitu: topografi, geologi, dan analisis isotop stabil Oksigen-18 dan deuterium (Hidrogen-2) dalam contoh air mataair. Pendekatan melalui topografi dilakukan dengan melihat kecenderungan arah lereng dan bentuk muka bumi yang memiliki kemungkinan memunculkan mataair di suatu tempat. Pendekatan secara geologi dilakukan lebih mendalam, yaitu dengan menyertakan kemungkinan faktor formasi geologi, perlapisan batuan, serta faktor geologi lain seperti dip dan strike, dan pengaruh sesar atau kekar. Ketiga pendekatan itu pernah dilakukan baik di Indonesia maupun di luar negeri. Pendekatan itu pernah dilakukan oleh Meyboom dan Toth (1966 dalam Freeze & Cherry, 1979) untuk menentukan daerah resapan di Kanada. Sementara di Indonesia, penggunaan analisis data isotop telah beberapa kali digunakan untuk menduga daerah resapan di Bandung oleh Geyh (1990) dan Juanda & Sunarwan (1998), di lembah Baliem, Irian Jaya oleh Hutasoit dan Ashari (1998), dan d Dieng, Jawa Tengah oleh Abidin dkk. (1995). Penentuan daerah resapan mataair (tangkapan air) dapat dilakukan dengan pendekatan agihan tumbuhan, topografi, geologi (formasi geologi dan struktur geologi), dan analisis isotop stabil Oksigen-18 dan deuterium (Hidrogen-2) dalam contoh air mataair. Penentuan daerah resapan mataair di dalam penelitian ini dilakukan dengan pendekatan agihan tumbuhan dan geologi. Pendekatan agihan tumbuhan dan topografi diamati langsung di lapangan. Pendekatan geologi dilakukan dengan dukungan informasi dari peta geologi dan pengamatan batuan di lapangan. Todd (1980) menyatakan bahwa luas daerah resapan mataair dan curah hujan memiliki pengaruh terhadap debit mataair. Salah satu pendekatan dilakukan dengan melihat besarnya debit mataair yang dibandingkan dengan besarnya curah hujan di daerah yang diduga sebagai daerah resapan mataair. Pendekatan ini
7
dipilih untuk penelitian karena cukup mudah dilakukan untuk memperkirakan luas daerah resapan air. Gambar 1.2. yaitu grafik dasar hubungan antara curah hujan tahunan dengan debit tahunan mataair menunjukkan bagaimana cara menentukan luas daerah resapan air suatu mataair berdasarkan curah hujan di daerah yang diperkirakan sebagai daerah resapan mataair serta debit aliran mataair tersebut. Sumbu X menunjukkan debit aliran mataair, sumbu Y menunjukkan perkiraan luas daerah resapan air, sementara sumbu diagonal (sumbu Z) menunjukkan nilai resapan air dari curah hujan tahunan yang jatuh di kawasan munculnya mataair yang diduga sebagai daerah resapan mataair. Cara untuk menentukan luas daerah resapan mataair yaitu berdasarkan sumbu X dan sumbu Z. Caranya dengan mencatat curah hujan tahunan yang jatuh di kawasan yang diperkirakan sebagai daerah resapan air. Selanjutnya menghitung jumlah air yang meresap ke dalam tanah dengan mengalikan koefisien resapan batuan daerah resapan dengan curah hujan yang jatuh di daerah resapan. Hasil perkalian tersebut dicatat sebagai nilai sumbu Z. Kemudian mencatat debit rerata tahunan mataair kemudian membuat garis tegaklurus hingga memotong jumlah curah hujan yang meresap di daerah yang diperkirakan sebagai daerah resapan air. Kemudian dibuat garis tegaklurus ke kiri menuju sumbu Y. Titik perpotongan garis di sumbu Y tersebut merupakan perkiraan luas daerah resapan air dari mataair yang diamati. Annual recharge yang dimaksud dalam Gambar 1.2. yaitu hasil perkalian antara koefisien resapan batuan dengan masukan/input berupa curah hujan tahunan yang berperan sebagai sumber air utama yang akan keluar melalui mataair. Koefisien resapan batuan pada formasi batuan dengan susunan andesit, dasit, breksi, dan lava andesit diketahui sebesar 0,2 (Hutasoit dkk, 2006). Susunan batuan ini mirip dengan susunan batuan pada Formasi Kebobutak, Formasi Semilir, Formasi Nglanggran, dan Formasi Sambipitu di Kecamatan Gedangsari. Spring discharge diketahui dengan menghitung debit rerata tahunan mataair dengan cara mencari rerata kisaran debit saat musim kemarau maupun saat musim penghujan. Catchment area of spring merupakan daerah resapan air yang diperkirakan dari suatu mataair.
8
Gambar 1.2. Hubungan Antara Luas Daerah Resapan Air Mataair dan Curah Hujan Tahunan dengan Besar Debit Mataair (Todd, 1980 dalam Hutasoit dkk, 2006).
Penentuan luas daerah resapan air dilakukan seperti pada Gambar 1.2. kemudian diterapkan pada model 3 dimensi aplikasi Googleearth dengan memperhatikan dip dan strike serta struktur geologi berupa patahan atau kontak geologi. Penentuan batas daerah resapan air dilakukan pula melalui agihan tumbuhan, topografi, dan geologi. Ketiga hal ini dipilih karena menurut peneliti ketiga pendekatan ini bisa diterapkan untuk penelitian karakterisasi mataair di Kecamatan Gedangsari. Selain tiga pendekatan di atas, penentuan daerah resapan mataair dapat dilakukan pula dengan melihat distribusi tumbuh-tumbuhan, pendekatan dengan melihat penurunan tekanan air berlawanan dengan daerah debitan yang akan mengalami kenaikan tekanan air (kondisi ini dapat diaplikasikan pada saat mengukur tekanan air pada suatu lubang bor secara vertikal) serta pendekatan lain yang dikemukakan oleh Freeze dan Cherry (1979, dalam Lubis 2006) dengan menganalisa pola aliran airtanah. Aliran airtanah akan menunjukkan pola arah gerakan air di dalam tanah yang bisa menunjukkan ke arah mana suatu aliran airtanah berkumpul.
9
1.5.4. Faktor Penentu Debit dan Fluktuasi Mataair Arsyad (1989) menyatakan bahwa besarnya air yang dapat meresap ke dalam tanah dipengaruhi baik oleh karakteristik mikrorelief pada tanah maupun karakteristik makrorelief yang ditunjukkan oleh kenampakan lahannya. Faktor mikrorelief tanah yang mempengaruhi infiltrasi yaitu : ukuran pori tanah, kemantapan pori, kandungan air di dalam tanah, serta profil tanah yang menentukan kecepatan masukan air. Kenampakan mikro relief ini terbentuk berdasarkan jenis tanah hasil proses alam. Sebagai contoh, tanah di perbukitan denudasi memiliki karakteristik mikrorelief berbeda dengan tanah di daerah lereng gunungapi muda. Ada hubungan erat antara kenampakan makro yang ditunjukkan dari karakteristik lahan maupun kenampakan mikro yang ditunjukkan dari karakteristik tanah. Struktur geologi, kemiringan lereng, relief, dan topografi, penggunaan lahan, serta penutup lahan mempengaruhi karakteristik hidrologi dari penampang akuifer dan karakter hidrologis material permukaan tanah terutama permeabilitasnya.
1.5.5. Debit dan Fluktuasi Mataair Mataair yang baik memiliki kualitas air, kuantitas aliran, dan fluktuasi mataair yang baik. Yang dimaksud fluktuasi aliran mataair yaitu derajat besarnya perbedaan debit mataair saat musim kemarau dan penghujan. Mataair dengan debit aliran cenderung tetap sepanjang tahun disebut mataair berfluktuasi aliran rendah. Sebaliknya mataair yang memiliki perbedaan debit mencolok antara musim kemarau dan penghujan disebut mataair berfluktuasi tinggi. Todd (2005) mengelompokkan mataair akibat gaya gravitasi berdasarkan tekanan hidrostatis yang mempengaruhi aliran air menjadi 5 tipe, seperti disajikan pada Gambar 1.2. yaitu: 1) mataair depresi (depression spring), yaitu mataair yang terjadi ketika permukaan tanah memotong muka airtanah 2) mataair kontak (contact spring), yaitu mataair yang terjadi saat batuan tidak kedap air berada di atas batuan kedap air sehingga pada titik perpotongan antara dua tipe batuan itu muncul mataair
10
3) mataair artesis (artesian spring), yaitu mataair yang terjadi akibat keluarnya airtanah dari akuifer tertekan di bawah permukaan bumi 4) mataair dari batuan kedap air (impervious rock spring), yaitu mataair yang ada pada batuan kedap air yang memiliki retakan 5) mataair retakan (fracture spring or tubular spring), yaitu mataair yang terjadi akibat adanya rekahan atau retakan di batuan kedap air yang saling terhubung membentuk sistem airtanah.
(e)
Gambar 1.3. Kenampakan Mataair (a) mataair tertekan, (b) mataair kontak, (c) mataair retakan, (d) mataair lubang pada kondisi solusional (Todd, 2005) serta (e) mataair artesis.
Menurut Tolman (1937), berdasarkan sifat aliran airnya, mataair dikelompokkan menjadi 4 tipe, yaitu: 1) mataair perenial (perenial spring), yaitu mataair yang mengalirkan air sepanjang tahun, tidak terkontrol oleh musim 2) mataair periodik (periodically spring), yaitu mataair yang mengalirkan air hanya pada saat terjadi kejadian hujan saja 3) mataair intermitten (intermitten spring), yaitu mataair yang mengalirkan air hanya pada saat musim hujan, sementara pada musim kemarau tidak mengalirkan air
11
4) episodically flowing spring, yaitu mataair yang mengalirkan air pada saatsaat tertentu yang tidak berhubungan dengan musim atau kejadian hujan.
Meinzer (1923 dalam Todd, 2005) mengklasifikasi mataair berdasarkan besarnya debit aliran mataair menjadi 8 klas seperti disajikan pada Tabel 1.1.: Tabel 1.1. Klasifikasi Mataair Berdasarkan Debit Aliran Klas I II III IV V VI VII VIII
Debit Rata-Rata > 10 m3/detik 1 – 10 m3/detik 0,1 – 1 m3/detik 10 – 100 dm3/detik (lt/s) 1 – 10 dm3/detik (lt/s) 0,1 – 1 dm3/detik (lt/s) 10 – 100 cm3/detik (ml/s) < 10 cm3/detik (ml/s)
Satuan yang Lain > 10.000 liter/detik 1000-10.000 liter/detik 100 – 1.000 liter/detik 10 – 100 liter/detik 1 – 10 liter/detik 100 ml/detik – 1 liter/detik 10 – 100 ml/detik < 10 ml/detik
(Meinzer, 1923, dalam Todd, 2005)
1.5.6. Penelitian Sebelumnya Beberapa penelitian sebelumnya yang digunakan sebagai bahan masukan dan acuan yaitu penelitian oleh Ig. L. Setyawan Purnama (1990). Ig. L. Setyawan Purnama (1990) dalam skripsinya yang berjudul “Hidrologi Mataair di Pegunungan Baturagung, Daerah Istimewa Yogyakarta” ingin mempelajari karakteristik sebaran, luah, serta kualitas air dari setiap mataair di daerah penelitiannya. Tujuan khusus yang ingin dicapai yaitu memetakan lokasi mata air, mempelajari pola agihan mata air, serta faktor-faktor yang mempengaruhi agihan mata air di daerah penelitian. Di samping itu, penelitian yang dilakukan juga bertujuan untuk mengukur luah mata air di daerah penelitian serta mempelajari faktor-faktor
yang
mempengaruhi
besar-kecilnya
luah
mata
air,
serta
membandingkan kualitas air pada mata air yang memiliki litologi yang berbeda. Metode penelitian yang digunakan ialah metode analisa deskriptif dan komparatif. Analisa dekriptif dilakukan untuk menjelaskan pola agihan mata air dan faktorfaktor yang mempengaruhi agihan mata air, menjelaskan perbedaan luah mata air dan faktor-faktor yang mempengaruhi perbedaan luah mata air. Analisa komparatif digunakan untuk membandingkan kualitas air mata air di tiap jenis
12
batuan yang berbeda, yaitu mata air yang ada pada jenis batuan sedimen, batuan volkanik, serta batuan percampuran antara sedimen, volkanik, dan batugamping. Hal yang diambil dari penelitian ini yaitu analisa deskriptif dan komparatif yang dilakukan untuk mengetahui faktor penentu karakter mataair di Kecamatan Gedangsari. Asri (2008) dalam skripsinya yang berjudul “Karakteristik Mata Air di Kecamatan Panggang dan Purwosari, Kabupaten Gunungkidul” merumuskan permasalahan bagaimana karakteristik mata air di Kecamatan Panggang dan Purwosari meliputi agihan mata air, tipe aliran, variasi debit, dan arah keluaran mata air sekaligus mencari tahu apakah ada keterkaitan antara karakteristik mata air dengan kondisi litologi dan struktur batuan/kekar. Menurut Asri (2008), Kecamatan Panggang dan Purwosari secara litologi tersusun oleh batuan gamping yang mudah larut, relatif tebal, dan telah mengalami rekahan-rekahan diaklas. Oleh sebab itu peneliti ingin mencari tahu bagaimana karakteristik mata air meliputi agihan, tipe aliran, variasi debit, dan Daya Hantar Listrik (DHL) air dari setiap mata air, serta mencari tahu keterkaitan antara karakteristik mata air dengan adanya pola kelurusan dari sesar dan kekar pada batuan. Hasil penelitiannya menyatakan bahwa pemunculan titik-titik mata air dipengaruhi oleh adanya struktur batuan yang ditandai dengan adanya kekar yang terdapat di permukaan bumi. Hal itu mempengaruhi karakteristik masing-masing tipe mata air yang ada di daerah penelitian yaitu tipe mata air retakan (fracture), kontak (contact), tertekan (confined), dan drainase bebas (free drainage). Hal yang diambil dari penelitian ini ialah pengaruh struktur batuan terhadap munculnya mataair yang selanjutnya akan menentukan tipe mataair, terutama untuk mataair di Kecamatan Gedangsari. Ardina Purbo (1985) dalam skripsinya yang berjudul “Hubungan Antara Litologi dengan Luah pada Mataair di Pulau Jawa”. Penelitian ini bertujuan untuk mencari hubungan antara litologi dengan luah mata air terbesar yang dapat muncul di daerah Pulau Jawa dan juga mencari hubungan antara umur batuan dengan luah mata air. Menurutnya daerah dengan curah hujan yang sama dengan batuan yang berbeda memiliki luah yang berbeda pada mata air di masing-masing
13
daerahnya. Cara yang digunakan untuk mencari hubungan di atas ialah melalui analisa statistik dan analisa deskriptif dari data-data yang diperoleh. Hasil yang diperoleh kemudian digeneralisasi untuk seluruh Pulau Jawa. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan erat antara litologi dengan luah mata air terbesar yang dapat dicapai pada masing-masing daerah. Nilai koefisien korelasi terhitung tingkatnya 0,95. Sementara itu pada analisia umur batuan dengan luah mata air hanya dapat dilakukan terhadap batuan gunungapi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin tua umur batuan yang berasal dari gunungapi, semakin kecil luah mata air yang muncul. Harga koefisien korelasinya 0,9. Pada analisa hubungan antara umur batuan dan luah mata air pada batugamping menunjukkan penyimpangan dari hipotesis. Batugamping berumur Miosen ternyata memiliki luah lebih besar daripada batugamping berumur Pliosen. Terjadinya hal ini disebabkan batugamping semakin lama semakin banyak mengalami pelarutan sehingga kelulusannya bertambah. Hal yang diambil dari penelitian ini ialah bagaimana litologi dan umur batuan dapat mempengaruhi debit mataair di Kecamatan Gedangsari. L. M. Hutasoit, S. Azan, A. M. Ramdhan melakukan penelitian tentang Penentuan Daerah Resapan Sumber Mataair Daerah Sibolangit, Sumatera Utara. Tujuan penelitian ini ialah untuk menentukan kawasan/daerah resapan air sebagai sumber mataair Sibolangit dengan lebih cermat. Penelitian ini menggunakan tiga pendekatan dalam menentukan daerah resapan; yaitu topografi, geologi dan analisis isotop stabil Oksigen-18 dan deuterium (Hidrogen-2) dalam contoh air mataair. Dari studi geologi, unsur litologi dan kekar memegang peranan yang sangat penting dalam mengontrol aliran airtanah dari daerah resapan ke lokasi mataair. Dari hubungan luas total daerah resapan dengan luas daerah resapan di daerah penelitian, diperkirakan bahwa luas daerah resapan dari daerah penelitian masih merupakan sebahagian (37-43%) dari total daerah resapan, sehingga disimpulkan masih ada daerah di luar daerah penelitian yang merupakan daerah resapan air mataair Sibolangit. Hal yang diambil dari penelitian ini ialah metode penentuan daerah resapan air. Metode topografi dan geologi, serta bagan
14
penentuan luasan daerah resapan mataair oleh Todd yang diadopsi oleh Hutasoit dipakai untuk menentukan daerah resapan mataair di Kecamatan Gedangsari.
1.6. Landasan Teori Salah satu kejadian di dalam siklus hidrologi ialah munculnya airtanah di permukaan bumi melalui mataair atau rembesan. Pada saat airtanah mengalami penekanan, muka airtanah berpotongan dengan permukaan tanah, ataupun adanya rekahan atau sesar, hal itu dapat memicu terjadinya rembesan atau mataair. Air meresap ke dalam tanah memiliki arah vertikal. Namun, air juga dapat bergerak dengan arah horisontal. Gerakan air di bawah permukaan tanah dengan arah horisontal disebut rembesan lateral (Arsyad, 1989). Gerakan air dengan arah mendatar ini disebabkan oleh adanya perbedaan permeabilitas berbagai lapisan tanah yang tidak seragam serta dikontrol oleh kemiringan lereng permukaan tanah. Air yang masuk lapisan atas tanah dengan kecepatan agak cepat, memiliki kemungkinan tertahan oleh lapisan yang memiliki permeabilitas lambat atau kedap air sehingga air terkumpul di atasnya. Air yang mengumpul di atas lapisan tanah yang kedap air itu akan mengalir ke arah horisontal. Hal ini memicu timbulnya aliran bawah permukaan (interflow). Dengan adanya dukungan dari faktor lereng yang miring, air yang mengalir secara horisontal tadi akan keluar di permukaan tanah, jauh di bagian bawah lereng itu. Kemunculan air tersebut dapat berupa rembesan dan mataair. Adanya perbedaan karakteristik daerah resapan mataair inilah yang akan menentukan tipe dan karakteriktik mataair atau rembesan yang muncul.
1.7. Kerangka Pemikiran Mataair tidak muncul begitu saja tanpa sebab. Air yang keluar pada mataair berasal dari daerah resapan mataair. Daerah resapan air suatu mataair dapat berada di sekitar mataair, daerah di bagian atas mataair, namun juga dapat berada jauh dari letak mataair itu sendiri. Hal ini bergantung pada tipe mataair. Karakteristik daerah tangkapan air (recharge area) mataair menentukan kondisi mataair yang ada. Keberadaan air tanah yang nantinya muncul sebagai mataair
15
dipengaruhi baik oleh faktor dari dalam struktur tanah itu sendiri (faktor mikrorelief) maupun dari faktor di luar (faktor makrorelief) daerah resapannya. Faktor dari dalam tanah yang berpengaruh meliputi ukuran pori, kemantapan pori, kandungan air, serta profil tanah yang dinyatakan sebagai sifat fisik tanah penyusun akuifer. Sementara itu faktor luar yang mempengaruhi keberadaan air pada daerah resapan meliputi besarnya curah hujan, struktur geologi penyusun akuifer, topografi, bentuklahan, penggunaan lahan, serta penutup lahan. Faktor dari dalam dan faktor dari luar memiliki hubungan yang erat satu sama lain, dimana keduanya menentukan kondisi atau karakter daerah resapan air mataair. Selanjutnya karakter daerah resapan air akan menentukan bagaimana karakter mataair itu sendiri. Yang dimaksud karakter daerah resapan mataair adalah keseluruhan luas, morfologi atau topografi muka bumi, susunan formasi geologi dan struktur geologi, jenis tanah, batuan, curah hujan, penggunaan lahan, dan penutup lahan yang mempengaruhi mataair yang muncul. Yang dimaksud karakter mataair adalah keseluruhan sifat mataair meliputi tipe mataair, aliran mataair, debit mataair, dan fluktuasi aliran mataair. Berdasarkan uraian tersebut di atas maka dapat digambarkan sebagai berikut:
Faktor struktur tanah (mikrorelief)
Faktor dari Luar (makrorelief)
- ukuran pori tanah
- curah hujan
- bentuklahan
- kemantapan pori tanah
- struktur geologi
- penutup lahan
- kandungan air dalam tanah
- lereng dan topografi
- karakteristik profil tanah
- penggunaan lahan
karakter daerah resapan mataair
karakter mataair Gambar 1.4. Kerangka Pemikiran Penelitian
16
Kecamatan Gedangsari memiliki faktor geologi, karakteristik relief, bentuklahan, penggunaan lahan, serta penutup lahan yang beragam. Beragamnya kenampakan makro yang ada di daerah mataair akan mempengaruhi kenampakan mikrorelief yang ada. Kombinasi antara faktor makrorelief dan mikrorelief menentukan bagaimana karakteristik akuifer airtanah. Pada keadaan tertentu yang terkontrol oleh faktor luar dan dalam, muncullah kenampakan mataair di permukaan bumi. Faktor geologi seperti dip dan strike, jenis batuan penyusun akuifer, kemiringan lereng, serta karakteristik mikro tanah mampu mempengaruhi munculnya mataair. 1.8. Batasan Istilah Airtanah adalah air yang mengisi rongga-rongga batuan di bawah permukaan tanah pada zona jenuh air (Adji, 2006). Akuifer adalah formasi batuan atau perlapisan batuan yang jenuh air dan lolos air yang mampu menyimpan dan mengalirkan airtanah dalam dalam jumlah yang cukup (Adji, 2006). Daerah resapan mataair adalah wilayah dimana air yang berada di permukaan tanah, baik air hujan maupun air permukaan mengalami proses penyusupan (infiltrasi) secara gravitatif melalui lubang pori tanah atau batuan, atau celah atau rekahan pada tanah atau batuan (Lubis, 2006). Mataair adalah bentukan hasil aliran airtanah yang terpusat di suatu tempat yang mengalir keluar permukaan bumi sebagai aliran air (Tolman, 1937).
17