Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)
BAGIAN 4 KEGIATAN DAUR ULANG SAMPAH DI INDONESIA Bagian ini menjelaskan mengapa daur-ulang diperlukan, bagaimana potensi daur-ulang sampah kota, khususnya plastik dan kertas di Indonesia. Juga dijelaskan tentang peran sektor informal dalam daur-ulang sampah di Indonesia. Guna lebih memahami, mahasiswa diminta mengamati aktivitas daur-ulang yang terjadi di lingkungannya.
4.1 Alasan Daur-Ulang Daur-ulang (yang dimaksud di sini adalah reuse dan recycling) limbah pada dasarnya telah dimulai sejak lama. Di Indonesiapun, khususnya di daerah pertanian, masyarakat sudah mengenal daur ulang limbah, khususnya limbah yang bersifat hayati, seperti sisa makanan, daun-daunan dsb. Dalam sistem pengelolaan persampahan, upaya daur-ulang memang cukup menonjol, dan umumnya melibatkan sektor informal. Beberapa alasan mengapa daur-ulang mendapat perhatian [31]: a. Alasan ketersediaan sumber daya alam: beberapa sumber daya alam bersifat dapat terbarukan dengan siklus yang sistematis, seperti siklus air. Yang lain termasuk dalam katagori tidak terbarukan, sehingga ketersediaannya di alam menjadi kendala utama. Berdasarkan hal itu, maka salah satu alasan daur-ulang adalah ketersediaan sumber-daya alam b. Alasan nilai ekonomi: limbah yang dihasilkan dari suatu kegiatan ternyata dapat bernilai ekonomi bila dimanfaatkan kembali. Pemanfaatan tersebut dapat dalam bentuk pemanfaatan enersi, atau pemanfaatan bahan, baik sebagai bahan utama ataupun sebagai bahan pembantu c. Alasan lingkungan: alasan lain yang paling mendapat perhatian adalah perlindungan terhadap lingkungan. Komponen limbah yang dibuang ke lingkungan dalam banyak hal mendatangkan dampak negatif pada lingkungan dengan pencemarannya. Pengolahan limbah akan menjadi kewajiban. Namun bila dalam upaya tersebut dapat pula dimanfaatkan nilai ekonomisnya, maka hal tersebut akan menjadi pilihan yang cukup menarik. Dalam beberapa hal alasan-alasan tersebut saling terkait seperti yang lain dan saling mendukung, sehingga upaya daur-ulang menjadi lebih terarah dan menarik. Bentuk lain pemanfaatan limbah dalam daur-ulang adalah kemungkinannya sebagai sumber enersi. Paling tidak terdapat dua bentuk enersi hasil daur-ulang yang telah biasa dijumpai di lapangan, yaitu [32]: − Sebagai enersi panas seperti yang dikeluarkan dari sebuah insinerator dengan bahan bakar limbah bernilai kalor tinggi, − Sebagai enersi kimia seperti yang dikeluarkan dari sebuah reaktor anaerob atau sebuah landfill limbah organik seperti sampah, yaitu dalam bentuk gas metan Kemungkinan lain dari pemanfaatan limbah misalnya sebagai sumber protein atau bahan lain, baik dengan rekayasa yang sistematis seperti dalam pembuatan alkohol, maupun sebagai bahan makanan. Sebagai bahan makanan pendekatan ini telah banyak digunakan di Indonesia, khsususnya dari limbah yang berkatagori organik, misalnya sebagai pakan ternak atau sebagai pakan cacing. Bahan buangan berbentuk padat, seperti kertas, logam, plastik adalah bahan yang biasa didaur-ulang. Bahan ini bisa saja didaur-pakai secara langsung atau harus mengalami proses terlebih dahulu untuk menjadi bahan baku baru. Bahan buangan ini banyak dijumpai, dan biasanya merupakan bahan pengemas produk. Bahan inilah yang pada tingkat konsumen kadang menimbulkan permasalahan, khususnya dalam pengelolaan sampah kota. Di negara industri, aplikasi pengemas yang mudah didaurulang akan menjadi salah satu faktor dalam meningkatkan nilai saing produk tersebut di pasar. Sebenarnya sampah mempunyai potensi untuk didaur-ulang. Proses daur ulang harus memperhatikan komposisi dan karakteristik limbah yang dominan, terutama bila daur ulang dilakukan di tempat pembuangan akhir. Hal lain yang mempengaruhi adalah ketersediaan tenaga operasional agar proses berkelanjutan. Proses daur ulang juga dilakukan di sumber timbulan dan tempat penampungan sementara, atau pada skala kawasan. Daur ulang yang dilakukan di sumber maupun penampungan sementara atau di skalab kawasan, dapat meminimalkan biaya pengangkutan ke pembuangan akhir. 4.2 Daur-Ulang Limbah Secara Umum Proses daur-ulang pada umumnya membutuhkan rekayasa dalam bentuk [33]: a. Pemisahan dan pengelompokan: yaitu untuk mendapatkan limbah yang sejenis. Kegiatan ini dapat dilaksanakan secara manual (dilakukan dengan tangan manusia secara langsung) maupun secara mekanis (dilakukan oleh mesin).
Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB
31
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)
b.
Pemurnian: yaitu untuk mendapatkan bahan/elemen semurni mungkin, baik melalui proses fisik, kimia, biologi, atau termal. c. Pencampuran: yaitu untuk mendapatkan bahan yang lebih bermanfaat, misalnya sejenis limbah dicampur dengan limbah lain atau dengan bahan lain d. Pengolahan atau perlakuan: yaitu untuk mengolah buangan menjadi bahan yang siap pakai. Sasaran utama dari rekayasa tersebut adalah bagaimana mendapatkan bahan yang sebaik mungkin sesuai fungsi dari bahan daur-ulang tersebut. Upaya pertama daur-ulang adalah bagaimana memisahkan limbah di sumbernya, yang sebetulnya merupakan kegiatan yang mudah dilaksanakan. Tabel 4.1 berikut adalah potensi daur-ulang dari sampah. Banyak pengolahan limbah (padat, cair dan gas) menghasilkan residu seperti sludge atau debu, atu residu lain, yang pada gilirannya harus ditangani lebih lanjut. Kadangkala limbah yang terbentuk tersebut, seperti sludge, menjadi bermasalah karena berkatagori sebagai limbah berbahaya. Tabel 4.1: Sampah anoganik dalam sampah [32, 33] BAHAN YANG DIDAUR-ULANG Alumunium Kertas : • Kertas koran • Corrugated cardboard • Kertas kualitas tinggi • Kertas campuran Plastik dan nomor kelompoknya: • PETE : Kode 1 • HDPE : Kode 2 • PVC : kode 3 • LDPE : kode 4 • PP : kode 5 • PS : kode 6 • Multilayer dan lain-2 : kode 7 • Plastik campuran : 4 % Glass Logam ferrous Metal non-ferrous Limbah bahan bangunan Kayu Oli bekas Ban Batteri accu (Lead-acid) Batteri rumah tangga
JENIS PENGGUNAAN Wadah soft drink, beer
• • •
Kardus packaging Kertas komputer, kertas tulis HVS Campuran kertas bersih, koran, majalah, putih/berwarna
• Botol soft drink, film • Botol air, Botol susu • Pipa, ember, botol • Bungkus tipis, lain-lain bahan film bungkus • Label untuk botol/kontainer, casing battery • Packaging komponen listrik/ elektronik, tableware, plate • Packaging multilayer, beberapa botol • Kombinasi di atas Botol dan wadah warna jernih, hijau, coklat Tin cans Alumunium, tembaga, timah Tanah, aspal, beton, kayu, logam Kotak kontainer, scrap, sisa proyek Proses ulang oli bekas daur ulang : macam-macam Daur-ulang : asam, plastik, Pb Daur-ulang Zn, Hg, Ag
4.3 Potensi Daur Ulang Sampah Daur Ulang Kertas Bekas Di negara maju kertas merupakan komponen sampah yang paling banyak dijumpai. Bersama dengan wadah karton gelombang serta boxboard, jumlahnya sekitar 25 - 40 % berat. Beberapa jenis kertas yang dijumpai dalam sampah adalah [4]: − Kertas campuran: kertas beraneka ragam dengan kualitas yang bervariasi, seperti majalah, buku, arsip kantor, karton, kertas pembungkus. − Karton bergelombang − Kertas kraft putih maupun berwarna yang belum dicetak. − Kertas koran: surat kabar Masing-masing mempunyai tingkat kualitas tertentu, tergantung pada jenis serat, sumber, homogenitas, cetakan yang ada, karakteristik fisik dan kimia. Kertas berkualitas tinggi, seperti kertas komputer, kertas kantor, mempunyai serat panjang dengan persentase tinggi. Persentase jenis kertas bekas yang biasa dijumpai di Amerika Serikat adalah [4]: − Kertas koran: 17,7 % − Buku dan majalah: 8,7 % − Cetakan komersial: 6,4 % − Kertas kantor: 10,1 % − Paperboard lain: 10,1 % − Packaging kertas: 7,8 % − Paper non-packaging lain: 10,6 % − Tissu dan pembersih: 5,9 % − Bahan corrugated: 22,7 %
Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB
32
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)
Prinsip daur ulang kertas secara sederhana yang banyak dijumpai di Indonesia, khususnya pada sektor informal adalah: • Kertas direndam dalam air hingga menjadi lembut untuk memudahkan proses penghancuran menjadi bubur kertas. • Bubur kertas yang terbentuk diletakkan dalam suatu cetakan dengan ukuran tertentu. • Setelah tercetak, kertas yang masih basah dikeluarkan dari cetakan kemudian dikeringkan di terik matahari. • Untuk skala besar, digunakan mesin pencetak daur ulang kertas. Gambar 4.2 adalah contoh bentuk skema pembuat kertas yang dibuat oleh PPT ITB.
Kertas Daur Ulang Siap Dikerin gkan
Bubur Kertas di Atas P encetak Alas Pencetak Kertas
Motor Penggerak Mesin Daur Ulang
Mesin Pembuat Kertas Daur Ulang Gambar 4.1: Mesin pembuat kertas daur ulang
Daur Ulang Plastik [4] Walaupun plastik telah dipakai lebih dari 60 tahun yang lalu, namun penggunaannya sebagai packaging meningkat secara tajam dalam 35 tahun terakhir ini. Hampir semua plastik packaging akhirnya dibuang, sehingga jumlahnya dalam sampah meningkat dari 3 % berat (1970-an) menjadi 7 % (1990-an). Penggunaan plastik sebagai packaging mempunyai keunggulan dibanding yang lain, baik sebagai bahan kontainer (wadah) maupun sebagai pembungkus, karena: − Lebih ringan − Lebih kuat − Lebih mudah dibentuk − Dapat diatur agar fleksibel atau kaku − Merupakan isolator yang baik − Dapat digunakan untuk pengemas makanan dingin atau panas Bahan plastik dijumpai dalam bentuk 7 kelompok seperti yang disebutkan dalam Tabel 4.1, dengan uraian ringkas sebagai berikut [4]: • Polyethylene terephthalate (PETE/1): − Didaur ulang sebagai fiber polyester untuk sleeping bag, bantal, baju dingin − Post consumer PETE digunakan untuk fiber karpet, film, kontainetr makanan, plastik otomotif − Dari daur-ulang konvensional, sekarang terdapat upaya pembuatan botol depolymerisasi menjadi ethylene glycol dan terephthalic acid, kemudian repolimerisasi menjadi resin botol soft drink, misalnya coca-cola • High-density polyethylene (HDPE/2): − Sifatnya berbeda satu dengan lain tergantung produk yang akan dihasilkan − Botol susu dari resin dengan indeks leleh rendah − HDPE rigid terbuat dari resin dengan indeks leleh yang tinggi − Misalnya digunakan pada lapis dalam dari botol oli yang terdiri dari 3 lapis • Polyvinyl chloride (PVC/3): − Banyak digunkan untuk packaging makanan, kabel listrik, isolasi kabel, pipa plastic, ember − Produk daur-ulang lain: kontainer non-makanan, floor tile, selang kebun, mainan, pot bunga, pipa drainage • Low-density polyethylene (LDPE/4): misalnya untuk packaging makanan. Sebagian besar berakhir pada sampah dan landfill. • Polypropylene (PP/5): biasanya untuk bungkus batere, tutup botol, label, atau kadangkalan untuk kontainer makanan. • Polystyrene (PS/6) • Lain-lain bahan-bahan plastik multilayer (7)
Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB
33
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)
Disamping itu, plastik biasanya diklasifikasi dalam 2 katagori umum, yaitu: − Clean commercial grade scrape (plastik awal) − Post consumer scrap (plastik limbah) Dua jenis plastik post consumer yang paling sering didaur ulang adalah PETE(1), yang banyak digunakan untuk botol soft drink, dan HDPE(2), biasanya untuk wadah susu, botol air kemasan, atau pembungkus detergen. Beberapa permasalah pemasaran plastik: • Harga plastik daur-ulang relatif murah, karena bahan bakunya juga relatif murah. Perlu ada insentif untuk pengangkutan • Pengangkutan dan pengolahan plastik bekas belum tersedia secara luas, sehingga konsumer kesulitan menemukan outletnya • Specific weight yang rendah: rasio volume-ke-berat plastik sangat tinggi, terutama PS untuk produk busa spons. • Terkontaminasi dengan bahan lain seperti makanan, dsb yang menyulitkan dalam daur-ulangnya Pengolahan plastik secara profesional meliputi: • Tahap bale breaking dan sorting: − Pemilahan awal (presorted) dipecah kemudian dipilah kembali − Botol PETE misalnya secara manual dipisah berdasarkan warna. Plastik yang tidak diinginkan dibuang. • Granulation dan washing: − Botol dipotong-potong, kemudian dicuci dengan air panas, detergen, diaduk untuk menghilangkan label, lem dan kotoran lainnya − Pemisahan: setelah dicuci, diendapkan (PETE) sedang yang ringan (HDPE) mengapung. − Pengeringan: untuk menghilangkan air, kemudian dikeringkan dengan udara panas agar kelembaban mejadi lebih kecil dari 0,5 % − Air classification: pemisahan bagian plastik ringan (missal tutup polypropylene) dengan yang berat − Pemisahan electrostatic: missal memisahkan tutup alumunium − Ekstrusi resin: resin kemudian difluidisasi menggunakan extruder, dan dilelehkan, dikenal sebagai melt filtration • Pelletizing: melt extruder berbentuk seperti spageti. Selanjutnya melalui orifice, kemudian dipotong kecil-kecil, lalu didinginkan dengan air. Pelet dipasarkan dengan kadar air kurang dari 0,5 %. Pengolahan plastik sederhana di sektor informal di Indonesia (lihat Gambar 4.2): • Plastik bekas yang terkumpul, dikeringkan melalui matahari kemudian ditutup dengan ram kawat agar plastik (terutama plastik kresek) tidak beterbangan. • Setelah kering, plastik dimasukkan dalam cetakan kemudian dipanaskan/dibakar di dalam tungku pembakar sampai terbentuk cairan plastik. • Cairan plastik yang terbentuk kemudian didinginkan dengan direndam dalam air. • Setelah dingin, lembaran plastik dikeluarkan dari cetakan. Cetakan yang digunakan berupa logam agar plastik cair tidak lengket 4.4 Daur-ulang dalam Penanganan Sampah Kota Upaya 3R bukan saja terbatas dilakukan pada sumber sampah, tetapi sangat dianjurkan untuk dillaksanakan dalam seluruh rangkaian penanganan sampah, yaitu mulai dari TPS sampah ke titik akhir di TPA. Berdasarkan arus pergerakan sampah sejak dari sumber hingga menuju ke pemrosesan akhir, penanganan sampah di suatu kota di Indonesia dapat dibagi dalam 3 kelompok utama, yaitu: a. Penanganan sampah tingkat sumber b. Penanganan sampah tingkat kawasan, dan c. Penanganan sampah tingkat kota. Uraian lanjut tentang penanganan sampah terdapat pada Bagian 5 Diktat ini. Secara umum, upaya daur-ulang (R2 dan R3) dalam sistem penanganan sampah kota adalah sebagai berikut: Guna menentukan potensi daur-ulang, dibutuhkan adanya survei tentang persentase sampah pada masing-masing sumber, dan pada masing-masing tingkat penanganan sampah, sehingga dapat dibuat neraca alur sampah mulai dari sumber sampai ke TPA. Contoh neraca persentase sampah dari mulai sumber sampai ke TPA adalah seperti terlihat dalam Gambar 4.3 di bawah ini. Langkah awal agar upaya kegiatan R2 dab R3 berhasil adalah melakukan pemilahan. Pemilahan sampah di sumbernya paling tidak dilakukan dengan mengelompokkan sampah menjadi dua kelompok besar, yaitu sampah hayati (sampah organik) dan sampah non-hayati (sampah nonorganik).
Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB
34
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)
-
Pemilahan di sumbernya seperti di rumah tangga, di industri, di pasar, dsb, sangat membantu upaya R2 dab R3 karena akan memperoleh bahan dengan kondisi bersih.
Cerobong Asap Tempat Pemasukkan Cetakan Plastik Ruang Bakar
Pintu Ruang Bakar
Tem pat Cetakan Plastik
Gambar 4.2 : Mesin daur ulang plastik [35] SAMPAH 100%
Sampah Anorganik 28%
Sampah Organik 70%
Pengomposan 30-40%
Residu 4%
Pemanfaatan lain 2%
Residu 28-38%
Residu 3-13%
Sampah B 3 2%
Daur-ulang 15-25%
Insinerasi Sampah 25%
Residu 4%
Tempat Pemerosesan Akhir (TPA )
Gambar 4.3: Contoh neraca persentase sampah mulai sumber sampai ke TPA -
-
Untuk memudahkan penggunaan, disamping kriteria yang terkait dengan fungsi, maka dibutuhkan pengaturan warna: o Sampah organik: warna gelap o Sampah anorganik: warna terang o Sampah B3 rumah tangga: warna merah (standar internasional) Pemilahan sampah dikelompokkan menjadi beberapa jenis sampah seperti : o Sampah basah, yang akan digunakan misalnya sebagai bahan baku kompos o Sampah kering, yang digunakan sebagai bahan daur ulang Teknik-teknik pengolahan dan pemanfaatan sampah antara lain adalah: o Pemotongan sampah o Pengomposan sampah baik dengan cara konvensional maupun dengan rekayasa
Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB
35
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)
o Pengomposan sampah secara vermi-kompos o Pemrosesan sampah sebagai sumber gas-bio o Pembakaran dalam Insinerator. Beberapa contoh kegiatan upaya 3R adalah sebagai berikut: Contoh pengerjaan upaya 3-R untuk daerah perumahan dan fasilitas sosial tercantum dalam Tabel 4.2. Contoh pengerjaan upaya 3-R untuk daerah fasilitas umum (perkantoran, sekolah, rumah sakit) tercantum dalam Tabel 4.3. Contoh pengerjaan upaya 3-R untuk daerah komersial (pasar, pertokoan, restoran, hotel) tercantum dalam Tabel 4.4. Tabel 4.2: Contoh pengerjaan 3R pada perumahan dan fasilitas sosial Penanganan 3R R1
R2
R3
Contoh Cara Pengerjaan 1 2 3 4 1 2 3 4 5 1 2
Pilih produk dengan pengemas yang dapat didaur-ulang Hindari pemakaian dan pembelian produk yang menghasilkan sampah dalam jumlah besar Gunakan produk yang dapat diisi ulang (refill) Kurangi penggunaan bahan sekali pakai Gunakan kembali wadah/kemasan untuk fungsi yang sama atau fungsi lainnya Gunakan wadah/kantong yang dapat digunakan berulang-ulang Gunakan baterai yang dapat di-charge kembali Jual atau berikan sampah yang telah terpilah kepada pihak yang memerlukan Lakukan penanganan untuk sampah anorganik menjadi barang yang bermanfaat Pilih produk dan kemasan yang dapat didaur ulang dan mudah terurai Lakukan penanganan untuk sampah organik menjadi kompos dengan berbagai cara yang telah ada (sesuai ketentuan) atau manfaatkan sesuai dengan kreativitas masing-masing
Tabel 4.3: Contoh pengerjaan 3R pada fasilitas umum Penanganan 3R
R1
R2 R3
Cara pengerjaan 1 2 3 4 5 6 1 2 1 2
Gunakan kedua sisi kertas untuk penulisan dan fotokopi Gunakan alat tulis yang dapat diisi kembali Sediakan jaringan informasi dengan komputer (tanpa kertas) Maksimumkan penggunaan alat-alat penyimpan elektronik yang dapat dihapus dan ditulis kembali Khusus untuk rumah sakit, gunakan incinerator untuk sampah medis Gunakan produk yang dapat diisi ulang (refill) Kurangi penggunaan bahan sekali pakai Gunakan alat kantor yang dapat digunakan berulang-ulang Gunakan alat-alat penyimpan elektronik yang dapat dihapus dan ditulis kembali Olah sampah kertas menjadi kertas/karton kembali Olah sampah organik menjadi kompos
Tabel 4.4 : Contoh pengerjaan 3R pada daerah komersial Penanganan 3R
Cara pengerjaan 1 2
R1
3 4 5 6 7 1
R2
R3
2 1 2 3 4 5
Berikan insentif oleh produsen bagi pembeli yang mengembalikan kemasan yang dapat digunakan kembali Berikan tambahan biaya bagi pembeli yang meminta kemasan/bungkusan untuk produk yang dibelinya Memberikan kemasan/bungkusan hanya kepada produk yang benar-benar memerlukannya Sediakan produk yang kemasannya tidak menghasilkan sampah dalam jumlah besar Kenakan biaya tambahan untuk permintaan kantong plastik belanjaan Jual atau berikan sampah yang telah terpilah kepada yang memerlukannya Berikan insentif bagi konsumen yang membawa wadah sendiri, atau wadah belanjaan yang diproduksi oleh swalayan yang bersangkutan sebagai bukti pelanggan setia Gunakan kembali sampah yang masih dapat dimanfaatkkan untuk produk lain, seperti pakan ternak Sediakan perlengkapan untuk pengisian kembali produk umum isi ulang (minyak, minuman) Jual produk-produk hasil daur ulang sampah dengan lebih menarik Berilah insentif kepada masyarakat yang membeli barang hasil daur ulang sampah Olah kembali buangan dari proses yang dilakukan sehingga bermanfaat bagi proses lainnya Lakukan penanganan sampah organik menjadi kompos atau memanfaatkan sesuai dengan kebutuhan Lakukan penanganan sampah anorganik
Fungsi pemilahan dapat dilaksanakan dengan pengaturan: − Penyekatan sarana pengumpulan-pengangkutan sesuai dengan jenis sampah − Penjadwalan waktu pengumpulan sampah yang mudah membusuk, hendaknya diangkut paling lama 2 hari sekali, sedang sampah non-hayati (anorganik) diangkut dengan frekuensi seminggu sekali.
Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB
36
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)
4.5 Peran Sektor Informal di Indonesia Daur ulang sampah di Indonesia banyak dilakukan oleh sektor informal, terutama oleh pemulung, mulai dari rumah tangga sampai ke TPA. Tetapi metode daur ulang yang dilakukan oleh pemulung terbatas pada pemisahan/pengelompokan. Berdasarkan komposisinya, sampah terbagi dalam dua kategori besar, yaitu sampah organik (atau sampah basah) dan sampah anorganik (atau sampah kering). Dari komposisi sampah tersebut, para pemulung memungut sampah anorganik yang masih bernilai ekonomis dan dapat didaur ulang sebagai bahan baku industri atau langsung diolah menjadi barang jadi yang dapat dijual. Barang-barang buangan yang dikumpulkan oleh para pemulung adalah yang dapat digunakan sebagai bahan baku primer maupun sekunder bagi industri tertentu. Bahan-bahan anorganik yang biasa dipungut oleh para pemulung mencakup jenis kertas, plastik, metal/logam, kaca/gelas, karet, dan lain-lain. Sampah yang dipisahkan umumnya adalah sampah yang dapat dimanfaatkan kembali secara langsung, misalnya sampah botol, kardus, koran, barang-barang plastik, dan sebagainya. Terdapat pula aktivitas pemilahan sampah sisa makanan dan/atau sampah dapur yang dapat digunakan sebagai makanan ternak, bahan kompos dan sebagainya, seperti terlihat di Denpasar. Berdasarkan cara kerja pemulung yang sebagian besar beroperasi di kawasan-kawasan pemukiman, pasar, perkantoran maupun di TPS sampai ke TPA, maka dapat dikatakan bahwa sampah anorganik yang diserap oleh pemulung merupakan sampah yang belum dapat tertanggulangi oleh Pemerintah Daerah. Hal ini di satu sisi menunjukkan bahwa kegiatan pemulungan memberikan kontribusi kepada Pemerintah Daerah dalam hal penanganan sampah. Namun di sisi yang lain, bantuan kegiatan pemulungan terhadap penaggulangan masalah sampah menjadi tidak nyata terasa manfaatnya, karena mungkin Pemerintah Daerah menganggap bahwa kegiatan pemulungan merupakan hal yang sudah semestinya terjadi, dengan mengabaikan segi bantuannya terhadap penanganan kebersihan kota. Menurut prakiraan Agenda 21 Indonesia [36] potensi daur-ulang sampah kering adalah 15-25%, sedang potensi sampah basah yang dapat dikomposkan adalah 30-40%, sehingga potensi daur-ulang sampah diprakirakan sebesar 45-65 %. Namun tingkat daur-ulang di kota-kota di Indonesia baik melalui usaha pemulung maupun usaha daur-ulang di rumah tangga, dan pengomposan jumlahnya diprakirakan tidak lebih dari 10% (satuan berat). Bila perhitungan yang digunakan berdasarkan volume, maka angka tersebut akan menjadi tinggi karena faktor densitas, misalnya botol plastik yang mempunyai volume besar, tetapi dengan berat yang rendah. Kehadiran kelompok pemulung dalam sistem pengelolaan persampahan menimbulkan dua pendapat controversial yang berbeda, yaitu mereka yang menganggap bahwa aktivitas ini disamping memberikan kesempatan pada masyarakat tidak mampu untuk berusaha di sektor ini, juga akan membantu mengurangi sampah yang harus diangkut. Pendapat lain menganggap bahwa upaya ini dari sudut harga diri bangsa tidaklah baik. Sampah yang dihasilkan oleh rumah tangga akan berkurang beratnya sesuai dengan perjalanan sampah tersebut ke tempat pembuangan akhir. Secara skematis aktivitas pemulungan ini ditunjukkan dalam Gambar 4.3 berikut ini. Recovered materials
Bandar
Bos Lapak
Suppliers and Intermediate
Factories
Market
Prcocessed Goods
Waste Trades
Mobile Scavengers Scavengers Temporary Dumping
Scavengers Final Disposal
Handcart Crews Drivers Team
Gambar 4.3 : Alur aktivitas daur-ulang sector informal [modivikasi dari Ref. 37]
Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB
37
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)
Sampah yang dipisahkan umumnya sudah tidak murni lagi (kotor, basah, dan sebagainya) karena sampah tersebut sudah tercampur dengan sampah lainnya dari berbagai sumber. Oleh karena itu, kondisi sampah yang dihasilkan oleh pemulung umumnya memiliki kualitas yang tidak begitu baik dibandingkan dengan yang dipisahkan di sumber sampah. Pemisahan sampah oleh pemulung ini relatif masih sedikitl, diprakirakan kurang dari 2% dari jumlah sampah yang terkumpul di TPS. Selain di TPS, pemulungan sampah juga terjadi di TPA. Seperti halnya pemulungan di TPS, hasil pemulungan sampah di TPA juga memiliki kualitas yang rendah atau bahkan lebih rendah dibandingkan di TPS. Tetapi bila dibandingkan dengan di TPS, pemulungan di TPA memiliki persentase yang lebih besar, yaitu kira-kira 5% dari sampah yang tiba di TPA. Daur-ulang sampah kota sudah sejak tahun 1980-an yang lalu telah dirasakan pentingnya, dalam upaya pengurangan sampah yang harus diangkut. Aktivitas pemulung yang banyak dijumpai di kota-kota dalam mendaur-ulang sampah kering dinilai dapat membantu menurunkan jumlah sampah yang harus diangkut ke final disposal. Konsep kawasan industri sampah sudah diperkenalkan sejak tahun 1980-an oleh Prof. Hasan Poerbo melalui PPLH ITB dalam upaya membantu pengelola persampahan mengurangi sampah yang perlu diangkut. Sarana yang terletak di kawasan permukiman ini diproyeksikan menerima dan memilah sampah sesuai jenisnya untuk didaur-ulang [13]. Residu sampah yang tidak terdaur-ulang akan diangkut ke pembuangan akhir. Secara bertahap konsep pengolahan sampah secara terpadu tersebut telah dicoba diterapkan dalam skala terbatas di beberapa kota di Indonesia, namun umumnya tidak berlangsung lama. Konsep ini kurang mendapatkan tanggapan yang positif dari pemerintah kota, khususnya dari sebagian besar pengelola persampahan. Terdapat kehawatiran mereka bahwa upaya ini akan mengganggu sistem operasional yang telah baku yaitu dengan konsep “kumpul – angkut – buang”. Penyebab lain adalah karena pengelola sampah di kota-kota Indonesia belum secara penuh menganggap bahwa konsep ini sebagai bagian dari sistem penanganan sampah kota. Mereka lebih melihat sarana ini sebagai upaya untuk memperoleh penghargaan dari pemerintah, bahwa mereka telah memasukkan upaya daur-ulang dalam sistem pengelolaan persampahannya, khususnya dalam upaya memperoleh penghargaan kota terbaik yang secara rutin diberikan oleh pemerintah [9]. Sampah kering merupakan obyek daur-ulang yang paling banyak dijumpai di kota-kota besar di Indonesia, dengan melibatkan aktivitas sektor informal lainnya yaitu dari ibu rumah tangga, petugas kebersihan, penjual barang bekas, juga pemulung. Baju bekas, kertas koran, botol bekas, kertas bekas semen dsb dianggap bukan sampah tetapi barang yang dapat dijual kembali. Pedagang perantara hadir di pelosok-pelosok kampung di kota-kota di Indonesia untuk membeli barang-barang bekas ini langsung dari rumah ke rumah. Tabel 4.2 berikut menggambarkan pengurangan sampah dari sumber sampai ke TPA, khususnya melalui aktivitas daur-ulang yang ada di Indonesia. Tabel 4.2 : Pengurangan sampah dari sumber ke final disposal [28] Sumber sampah Rumah
Bak sampah Gerobak sampah Penampungan sementara Pengangkutan sampah TPA
Perlakuan sampah Dipilah oleh ibu rumah tangga Dipilah oleh pembantu Dibakar, tercecer di tanah Dipulung oleh pemulung Dibakar, tercecer di tanah Dipilah oleh petugas Tercecer ke tanah Dipulung oleh pemulung Tercecer ke tanah Dipilah petugas Tercecer ke tanah Dipulung pemulung Dikomposkan, dsb Dibakar Diurug dalam tanah
Studi yang dilakukan di Bandung [38] mengungkapkan bahwa sampah kering yang didaur ulang dari lingkungan permukiman besarnya antara 10,9% - 14,6% untuk permukiman kelas menegah ke atas, dan antara 21,9% - 26,5% untuk permukiman menengah ke bawah. Bahan yang didaur-ulang oleh aktivitas pemulung adalah plastik (PE, PS, PP, HDPE, LDPE, PVC dan drum), kertas (warna, duplex, arsip, cone, koran, HVS), logam (alumunium, tembaga, kuningan, seng, besi, drum), kain (majun, polyster, kapas), gelas/kaca (botol bir, botol kecap, botol obat), dan karet. Sedang sampah yang dinilai tidak terdaur-ulang oleh pemulung antara lain adalah sisa makanan, plastik kemasan makanan ringan, batu batere, lampu. Pengomposan merupakan salah satu teknik pengolahan limbah yang mengandung bahan organik biodegradabel (dapat diuraikan oleh mikroorganisme). Fungsi kompos adalah selain sebagai pupuk organik, akan berfungsi pula untuk memperbaiki struktur tanah, memperbesar kemampuan tanah untuk
Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB
38
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)
menyerap dan menahan air serta zat hara yang lain. Dilihat dari komposisi, maka sebagian sampah kota di Indonesia adalah tergolong sampah hayati, atau secara umum dikenal sebagai sampah organik, atau sampah basah. Melihat komposisinya yang sebagian besar adalah sisa-sisa makanan, khususnya sampah dapur, maka jenis sampah ini akan cepat membusuk, atau terdegradasi oleh mikroorganisme yang berlimpah di alam ini. Bila ini terjadi, massanya akan berkurang dengan besar. Cara inilah yang sebetulnya dikembangkan oleh manusia dalam bentuk pengomposan dan biogasifikasi. Namun bila mekanisme ini berlangsung secara alamiah, khususnya di lingkungan yang sudah jenuh daya dukungnya, maka akan timbullah masalah estetika serta gangguan lainnya terutama karena adanya bau, seperti terjadi di timbunan sampah yang tidak terurus dengan baik. Dengan kondisi kelembaban yang tinggi, serta temperatur yang relatif tinggi seperti di Indonesia ini, maka kecepatan mikroorganisme dalam menguraikan materi-materi sampah yang biodegradabel ini akan lebih baik pula. Cara-cara inilah yang mendorong misalnya untuk: − Pengembangan ‘composter’ individual di rumah-rumah [39, 40] yang sudah diuji cobakan di beberapa permukiman di Indonesia, − Pembuatan kompos di lingkungan permukiman atau di final disposal [39] − Uji coba penggunaan cacing tanah sebagai pemusnah sampah basah [41] Dari penelitian terhadap porsi bagian sampah anorganik yang dianggap mempunyai nilai ekonomis, ternyata bagian sampah yang terdaur-ulang antara 4-6% (berat), sementara sebagian besar yaitu 3234% (berat) tidak mempunyai nilai ekonomis (Tabel 4.3). Nilai ini diperoleh berdasarkan hasil pemilihan bagian sampah yang dilakukan oleh pemulung yang biasa melakukan pemulungan sampah untuk dijual pada lapan atau bandar. Tabel 4.3: Contoh potensi daur-ulang dari sampah kering [19]
Komponen terdau-ulang
Komponen
% berat basah TS-1
TS-2
Kertas keras
0,92
0,95
Kertas arsip putih
0,14
0,34
Botol gelas
1,77
0,50
Botol air minum
0,29
0,19
Gelas minum plastik
0,17
0,34
Can
0,22
0,32
Plastik PE
0,03
0,42
Plastik lain-lain
1,63
0,47
Alumunium
0,06
0,05
Karton/cardboard
0,33
0,31
Kertas koran
0,13
0,16
Logam
0,03 5,69
4,08
Sisa makanan
33,90
58,04
Daun dsb
12,32
2,21
Tisu- kertas
11,02
1,78
Tekstil
0,89
0,90
kayu
1,98
0,70
Total komponen organik
60,10
63,62
Lain-lain: an-organik non-daur ulang
34,21
32,30
Komponen organik
Total komponen ter-daur-ulang
Pengomposan secara tradisional telah dikenal di Indonesia. Beberapa kota besar di Indonesia telah menerapkan cara ini. Namun permasalahan utama yang dijumpai adalah masalah pemasaran. Banyak usaha pengomposan tidak dapat berlanjut, karena tidak tersedianya pasar yang dapat menyerap produk yang dihasilkan. Disamping masalah harga yang perlu memperhitungkan ongkos pengangkutan, juga karena kualitas yang dihasilkan belum memenuhi keinginan pasar. Penelitian-penelitian skala laboratorium maupun lapangan terus berlanjut untuk meningkatkan kualitas kompos yang dihasilkan, misalnya mencampur dengan dedak, penggunaan enzim sellulase untuk mempercepat masa pengomposan [39]. Uji coba individual composter telah menunjukkan hasil yang positif. Sebuah composter dengan kapasitas 60 m3 yang rata-rata menerima sampah dapur dari 5 orang perhari, dapat digunakan sampai 6 bulan. Setelah 6 bulan akan dihasilkan kompos yang kualitasnya cukup baik. Beberapa kota di Indonesia telah mencoba cara ini di beberapa permukiman. Bila cara ini dapat diterapkan dan diterima oleh masyarakat, maka sebagian sampah dari permukiman akan dapat tertangani.
Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB
39
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)
Upaya lain yang dapat dilakukan adalah memanfaatkan sampah basah sebagai makanan cacing. Cacing yang digunakan umumnya dari jenis Lumbricus. Masalah utama yang perlu mendapat perhatian adalah pemisahan sampah di sumber, yaitu untuk memperoleh sampah yang cocok untuk makanan cacing. Sampah yang telah dipilah tersebut kemudian dikomposkan selama 2 minggu. Berdasarkan uji coba skala permukiman [41], maka sebanyak 40% sampah basah dari rumah tangga melalui pemilahan manual yang dapat dimanfaatkan untuk makanan cacing. Dari kegiatan ini akan diperoleh casting yaitu bahan sejenis kompos, dengan kualitas yang baik dan dengan ukuran butir yang sudah halus dan siap dijual. Disamping itu dihasilkan biomas cacing yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber protein, misalnya untuk pakan ternak dan ikan.
Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB
40
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)
BAGIAN 5 PENANGANAN SAMPAH KOTA Bagian ini menjelaskan tentang tingkat pengelolaan, tingkat/kualitas pelayanan, daerah / jenis pelayanan dari sistem pengelolaan sampah kota, serta stakeholders yang berperan dalam pengelolaan sampah. Dijelaskan pula komponen teknis operasional dalam pengelolaan. Tugas bagi mahasiswa adalah mengamati sistem pengelolaan sampah di lingkungannya. 5.1 Pendahuluan Menurut UU-18/2008 tentang Pengelolaan Sampah, terdapat 2 kelompok utama pengelolaan sampah, yaitu: c. Pengurangan sampah (waste minimization), yang terdiri dari pembatasan terjadinya sampah, gunaulang dan daur-ulang d. Penanganan sampah (waste handling), yang terdiri dari: − Pemilahan: pengelompokan dan pemisahan sampah sesuai dengan jenis, jumlah, dan/atau sifat sampah − Pengumpulan: pengambilan dan pemindahan sampah dari sumber sampah ke tempat penampungan sementara atau tempat pengolahan sampah terpadu − Pengangkutan: membawa sampah dari sumber dan/atau dari tempat penampungan sampah sementara atau dari tempat pengolahan sampah terpadu menuju ke tempat pemrosesan akhir − Pengolahan: mengubah karakteristik, komposisi, dan jumlah sampah − Pemrosesan akhir sampah: pengembalian sampah dan/atau residu hasil pengolahan sebelumnya ke media lingkungan secara aman. Dalam terminologi pengelolaan sampah di Indonesia selama ini, penanganan sampah dikenal sebagai teknik operasional persampahan. Dalam bahasan berikut diuraikan beberapa hal penting yang terkait dalam kegiatan penanganan sampah dalam sistem pengelolaan sampah kota di Indonesia, khususnya: − Tingkat pengelolaan − Tingkat dan kualitas pelayanan − Daerah pelayanan − Jenis pelayanan. Di samping sebagai bagian dari infrastruktur sebuah kota, pengelolaan sampah merupakan salah satu dari sekian banyak upaya dalam pengelolaan lingkungan. Akan tetapi dalam kenyataan di lapangan kadangkala terjadi penyimpangan pengelolaan, sehingga timbul ekses yang mengakibatkan dampak negatif terhadap lingkungan itu sendiri. Kelemahan dalam manajemen dan keterbatasan biaya operasional ditambah dengan langkanya tenaga profesional dalam penanganan persampahan merupakan faktor penyebab utama permasalahan tersebut. Permasalahan yang dihadapi dalam teknis operasional penanganan persampahan di antaranya [42]: − Kapasitas peralatan yang belum memadai − Pemeliharaan alat yang kurang − Lemahnya pembinaan tenaga pelaksana khususnya tenaga harian lepas − Terbatasnya metode operasional yang sesuai dengan kondisi daerah − Siklus operasi persampahan tidak lengkap/terputus karena berbedanya penanggungjawab − Koordinasi sektoral antar birokrasi pemerintah seringkali lemah − Manajemen operasional lebih dititikberatkan pada aspek pelaksanaan, sedangkan aspek pengendaliannya lemah − Perencanaan operasional seringkali hanya untuk jangka pendek. 5.2. Stakeholders Pengelola Sampah Kota Dalam pengelolaan persampahan skala kota yang rumit, terdapat beragam stakeholders yang terlibat baik langsung maupun tidak langsung. Setiap stakeholders berperan sesuai dengan posisinya masingmasing. Dalam skala kota, peran Pemerintah Kota dalam mengelola sampah sangatlah penting, dan pengelolaan sampah merupakan salah satu tugas utamanya sebagai bentuk pelayanan yang merupakan bagian dari infrastruktur kota tersebut. Stakeholders utama yang biasa terdapat dalam pengelolaan sampah di Indonesia antara lain [43]: a. Pengelola kota, yang biasanya bertindak sebagai pengelola sampah b. Institusi swasta (non-pemerintah) yang berkarya dalam pengelolaan sampah
Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB
41
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)
c. d. e. f. g.
Institusi swasta yang terkait secara langsung dengan persoalan sampah, seperti produsen yang menggunakan pengemas bagi produknya. Masyarakat atau institusi penghasil sampah yang menggantungkan penanganan sampahnya pada sistem yang berlaku di sebuah kota Institusi non-pemerintah yang bergerak dalam pengelolaan sampah, termasuk aktivitas daur-ulang, seperti swasta, LSM, pengelola real estate, dsb yang aktivitasnya perlu berkoordinasi dengan pengelola sampah kota Masyarakat yang bertindak secara individu dalam penanganan sampah, baik secara langsung maupun tidak langsung, misalnya kelompok pemulung yang memanfaatkan sampah sebagai sumber penghasil Institusi yang tertarik dan peduli (concern) terhadap persoalan persampahan, termasuk perguruan tinggi.
Berdasarkan hal di atas, pengelolaan sampah di Indonesia, khususnya di sebuah kota, mengenal 3 (tiga) kelompok pengelolaan, yaitu [43]: a. Pengelolaan oleh swadaya masyarakat: pengelolaan sampah mulai dari sumber sampai ke tempat pengumpulan, atau ke tempat pemrosesan lainnya. Di kota-kota, pengelolaan ini biasanya dilaksanakan oleh RT/RW, dengan kegiatan mengumpulkan sampah dari bak sampah di sumber sampah, misalnya di rumah-rumah, diangkut dengan sarana yang disiapkan sendiri oleh masyarakat, menuju ke tempat penampungan sementara. b. Pengelolaan formal: biasanya dilaksanakan oleh Pemerintah Kota, atau institusi lain termasuk swasta yang ditunjuk oleh Kota. Pembuangan sampah tahap pertama dilakukan oleh penghasil sampah. Di daerah pemukiman biasanya kegiatan ini dilaksanakan oleh RT/RW, dimana sampah diangkut dari bak sampah ke TPS. Tahap berikutnya, sampah dari TPS diangkut ke TPA oleh truk sampah milik pengelola kota atau institusi yang ditunjuk. Biasanya anggaran suatu kota belum mampu menangani seluruh sampah yang dihasilkan. c. Pengelolaan Informal: terbentuk karena adanya dorongan kebutuhan untuk hidup dari sebagian masyarakat ,yang secara tidak disadari telah ikut berperan serta dalam penanganann sampah kota. Sistem informal ini memandang sampah sebagai sumber daya ekonomi melalui kegiatan pemungutan, pemilahan, dan penjualan sampah untuk didaur-ulang. Rangkaian kegiatan ini melibatkan pemulung, tukang loak, lapak, bandar, dan industri daur-ulang dalam rangkaian sistem perdagangan. Pengelolaan sampah dari sebuah kota adalah sebuah sistem yang kompleks, dan tidak dapat disejajarkan atau disederhanakan begitu saja, misalnya dengan penanganan sampah daerah pedesaan. Demikian pula keberhasilan upaya-upaya sektor informal saat ini tidak dapat begitu saja diaplikasikan dalam menggantikan sistem formal yang selama ini ada. Dibutuhkan waktu yang lama karena menyangkut juga perubahan perilaku masyarakat serta kemauan semua fihak untuk menerapkannya. 5.3 Tingkat Pengelolaan [44] Berdasarkan arus pergerakan sampah sejak dari sumber hingga menuju ke pemrosesan atau akhir, penanganan sampah di suatu kota di Indonesia dapat dibagi dalam 3 kelompok utama tingkat pengelolaan, yaitu: d. Penanganan sampah tingkat sumber e. Penanganan sampah tingkat kawasan, dan f. Penanganan sampah tingkat kota. Penanganan Sampah Tingkat Sumber: Penanganan sampah tingkat sumber merupakan kegiatan penanganan secara individual yang dilakukan sendiri oleh penghasil sampah dalam area dimana penghasil sampah tersebut berada. Beberapa ciri penanganan sampah di tingkat ini: − Sangat tergantung pada karakter, kebiasaan dan cara pandang penghasil sampah − Dapat berbentuk individu atau kelompok individu atau dalam bentuk institusi misalnya kantor, hotel, dsb − Dapat berkarakter homogen, seperti dari sebuah rumah tinggal, atau bersifat heterogen, seperti pejalan kaki di keramaian, pedagang kaki lima di tempat-tempat umum − Keberhasilan upaya-upaya dalam penanganan sampah sangat tergatung pada tingkat kesadaran masing-masing individu. − Pada level ini peran serta masyakat sebagai penghasil sampah sangatlah dominan, sehingga pendekatan penanganan sampah yang berbasiskan masyarakat penghasil sampah merupakan dasar dalam strategi pengelolaan sampah. Beberapa kriteria penanganan sampah di tingkat sumber:
Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB
42
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)
− − −
− −
Penanganan sampah hendaknya tidak lagi hanya bertumpu pada aktivitas pengumpulan, pengangkutan dan pembuangan sampah Penanganan sampah di tingkat sumber diharapkan dapat menerapkan upaya minimasi yaitu dengan cara 3R Minimasi sampah hendaknya dilakukan sejak sampah belum terbentuk yaitu dengan menghemat penggunaan bahan, membatasi konsumsi sesuai kebutuhan, memilih bahan yang mengandung sedikit sampah, dsb Upaya memanfaatkan sampah dilakukan dengan menggunakan kembali sampah sesuai fungsinya seperti halnya pada penggunaan botol minuman atau kemasan lainnya. Upaya mendaur ulang sampah dapat dilakukan dengan memilah sampah menurut jenisnya Pengomposan sampah, misalnya dengan composter, diharapkan dapat diterapkan di sumber (rumah tangga, kantor, sekolah, dll) yang secara signifikan akan megurangi sampah pada tingkat berikutnya.
Penanganan Sampah Tingkat Kawasan: Penanganan sampah tingkat kawasan merupakan kegiatan penanganan secara komunal untuk melayani sebagian atau keseluruhan sampah yang ada dalam area dimana pengelola kawasan berada. Beberapa ciri penanganan sampah tingkat kawasan: − Bersifat heterogen, sampah berasal dari sumber-sumber yang berbeda − Dalam level ini akan bertemu dan saling berinteraksi stakeholders yang berasal dari tingkat sumber dengan tingkat kota − Keberhasilan upaya dalam penanganan sampah skala ini sangat tergatung pada level kesadaran kelompok pembentuk tingkat kawasan, misalnya RT, RW, Kelurahan, atau lainnya. Oleh karena kelompok ini terdiri dari individu-individu yang mungkin mempunyai pemahaman berbeda tentang persampahan, maka peran organisasi pengelola serta dukungan inisiator dan atau stakeholders penentu lainnya, seperti Ketua RT, Ketua RW, Lurah, atau LSM yang mengorganisir pengelolaan sampah pada tingkat ini sangat penting − Peran serta masyarakat seperti yang diharapkan terjadi pada tingkat sumber, pada tingkat kawasan akan relatif lebih sulit dibangun − Peran aktif pengelola kota sangat menentukan, agar sistem pengelolaan tingkat kawasan ini tetap merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam sistem pengelolaan sampah kota secara menyeluruh. Beberapa kriteria penanganan sampah di tingkat kawasan: − Pengelolaan sampah tingkat kawasan harus mendorong peningkatan upaya minimisasi sampah untuk mengurangi beban pada pengelolaan tingkat kota, khususnya yang akan diangkut ke TPA − Pengelolaan sampah kawasan harus mampu melayani masyarakat yang berada dalam daerah pelayanan yang telah ditentukan − Lokasi pengumpulan sementara (TPS) dapat difungsikan sebagai pusat pengolahan sampah tingkat kawasan, atau sebaliknya, yang berfungsi untuk pemindahan, daur ulang, atau penanganan sampah lainnya dari daerah yang bersangkutan − Pemilahan sampah dikelompokkan menjadi beberapa jenis sampah seperti: o Sampah basah, yang akan digunakan misalnya sebagai bahan baku kompos o Sampah kering, yang digunakan sebagai bahan daur ulang o Sampah berbahaya rumah tangga, yang selanjutnya akan dikelola sesuai dengan ketentuan yang berlaku. − Insinerator skala kecil tidak direkomendasi karena biasanya belum sesuai dengan kondisi sampah yang memiliki kandungan organik tinggi (> 60 %), kadar air tinggi (> 60 %) dan nilai kalor rendah (< 1200 kkal/kg), karena akan menyebabkan tinginya konsumsi bahan bakar tambahan serta menimbulkan pencemaran udara akibat tidak tersedianya fasilitas penanggulangan pencemaran yang memadai. Penanganan Sampah Tingkat Kota: Penanganan sampah tingkat kota merupakan penanganan sampah yang dilakukan oleh pengelola kebersihan kota, baik dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah, atau dilaksanakan oleh institusi lain yang ditunjuk untuk itu, yang bertugas untuk melayani sebagian atau seluruh wilayah yang ada dalam kota yang menjadi tanggung jawabnya. Beberapa ciri penanganan sampah di tingkat ini: − Pengelolaan sampah diposisikan sebagai bagian dari infrastruktur perkotaan − Bila dikelola langsung oleh Pemerinta Daerah, maka bentuk pengelolaan dapat berupa Perusahaan Daerah, Dinas, Unit Pelayanan Teknis (UPTD) atau sebagai Seksi dari sebuah Dinas. − Terdapat kemungkinan bahwa pengelolaan tersebut dilaksanakan oleh fihak luar atau swasta, baik keseluruhan pelayanan, maupun sebagian dari pelayanan, dengan kontrol kualitas pelayanan tetap dibawah kendali Pemerinta Daerah
Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB
43
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)
−
Ciri khas dari level ini adalah bagaimana memperlihatkan agar kota itu terlihat bersih, sehingga area yang merupakan wajah sebuah kota akan lebih diprioritaskan pelayanannya.
Beberapa kriteria penanganan sampah di tingkat kota: − Sumber sampah dari kegiatan kota yang dianggap khusus, seperti jalan protokol, taman kota, instansi penting, pusat perdagangan, dan sejenisnya dapat dilayani dengan sistem langsung (doorto-door), dimana sampah langsung dikumpulkan dan diangkut oleh truk sampah ke tempat pemrosesan akhir − Prinsip pengolahan dan daur-ulang sampah adalah mengedepankan pemanfaatan sampah sebagai sumber daya sehingga sampah yang harus dibuang ke TPA menjadi lebih sedikit − Keberhasilan upaya pengolahan dan daur-ulang sangat tergantung pada adanya pemilahan sampah mulai dari sumber, pada wadah komunal, pada sarana pengumpul dan pengangkut, sehingga sampah yang akan diangkut ke lokasi pengolahan telah terpilah sesuai jenis atau komposisinya − Walaupun terdapat kemungkinan mendapatkan nilai tambah dari hasil penjualan produk pengolahan atau daur-ulang, namun dasar pemikiran pengolahan dan daur-ulang sampah hendaknya didasarkan atas pendekatan non-profit-center. Upaya tersebut bertujuan untuk mengurangi sampah yang akan diurug di landfill − Sarana di tingkat kawasan atau TPS dapat berfungsi untuk pengumpulan sampah berkatagori B3 dari kegiatan rumah tangga, untuk ditangani lebih lanjut − Sampah yang telah terpisah di sarana tersebut siap untuk diangkut ke TPA oleh institusi yang diserahi wewenang untuk pengangkutan sampah − Konsep penanganan sampah di TPA hendaknya bertumpu pada beberapa prinsip, yaitu [45]: o Penanganan sampah di sarana ini hendaknya terpadu o Bahan yang masih bernilai ekonomis hendaknya diupayakan untuk didaur-ulang sebelum dilakukan upaya terakhir dengan pengurugan sampah ke dalam tanah o Pada lokasi ini dapat dioperasikan beberapa jenis pengolahan sampah, seperti pengomposan, biogasifikasi, ataupun insinerasi bila memenuhi syarat o Sarana ini berfungsi pula sebagai tempat penyimpanan sementara bahan berbahaya yang terkumpul dari kegiatan kota, untuk diangkut ke lokasi pemrosesan yang sesuai o Sarana ini dioperasikan secara bertanggung jawab, sehingga tidak mendatangkan pencemaran lingkungan, dan tidak mendatangkan permasalahan terhadap kesehatan dan estetika bagi masyarakat sekitarnya 5.4 Daerah Pelayanan Tingkat pelayanan: Tingkat pelayanan merupakan ukuran kemampuan pengelola kota untuk menyediakan pelayanan kebersihan kepada masyarakat, baik secara kuantitas maupun kualitas. Guna menentukan tingkat pelayanan pengelolaan sampah di kota tersebut, digunakan 2 (dua) indikator utama, yaitu [14]: − Persentase jumlah penduduk kota dan sarana lain yang memperoleh pelayanan dari sistem − Persentase timbulan sampah yang dapat dikelola oleh pengelola sampah tingkat kota Dalam merancang sistem pengelolaan sampah, maka persentase pelayanan setiap sumber sampah perlu ditentukan, yang didasarkan atas kondisi serta kemampuan sistem itu sendiri, misalnya: − Pelayanan bagi lingkungan permukiman saat ini baru mencapai 40%. Maka dalam 5 tahun ke depan diproyeksikan menjadi 50%, dan 10 tahun ke depan diproyeksikan menjadi 75% − Pelayanan di daerah jalan protokol, pasar, rumah sakit, hotel, taman kota, perkantoran, dan fasilitas umum mendapat prioiritas utama misalnya ditargetkan menjadi 100%. Pengertian penduduk kota yang dilayani biasanya tidak terbatas pada pelayanan dimana penduduk tersebut bertempat tinggal, tetapi mencakup pula dimana penduduk itu beraktivitas. Pelayanan tidak terbatas dalam arti hanya menyingkirkan sampah dari lingkungan sumber sampah, dan keluar dari kota tersebut, tetapi juga mengandung pengertian bahwa pengelolaan sampah mencakup pelayanan agar sampah yang ditangani tidak mengganggu kesehatan dan lingkungan, khususnya bagi masyarakat dan lingkungan yang bukan penghasil sampah yang ditangani tersebut, seperti yang tinggal di sekitar TPA. Kualitas pelayanan: Kualitas pelayanan meliputi frekuensi pengumpulan dan pengangkutan, dukungan dan kondisi prasarana/sarana, serta estetika hasil pelayanan. Frekuensi pengumpulan dan pengangkutan akan terkait dengan sistem pelayanan yang ada serta jenis sampah yang akan dikelola. Sampah basah sangat dianjurkan untuk diangkut minimum 2 hari sekali, sedangkan sampah kering dapat dilakukan 1-2 kali seminggu. Daerah pelayanan: Daerah pelayanan merupakan daerah yang berada dalam tanggung jawab pengelola sebuah kota, yang dilayani pengelolaan sampahnya, paling tidak sampah didaerah tersebut diangkut menuju pengolahan
Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB
44
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)
atau pemrosesan akhir. Daerah yang tidak dilayani diharapkan menangani sampahnya secara mandiri baik secara individu, maupun secara komunal. Beberapa pertimbangan yang biasa digunakan di Indonesia adalah [7]: − Daerah dengan kepadatan rendah dianggap masih memiliki daya dukung lingkungan yang tinggi sehingga dapat menerapkan pola penanganan sampah setempat yang mandiri − Daerah dengan tingkat kepadatan di atas 50 jiwa/ha perlu mendapatkan pelayanan persampahan karena penerapan pola penanganan sampah setempat akan berpotensi menimbulkan gangguan lingkungan. − Prioritas daerah pelayanan dimulai dari daerah pusat kota, daerah komersial, permukiman dengan kepadatan tinggi, daerah permukiman baru, kawasan strategis atau kawasan andalan − Pengembangan daerah pelayanan diarahkan dengan menerapkan model “rumah tumbuh” yaitu pengembangan ke wilayah yang berdekatan atau berbatasan langsung dengan wilayah yang telah mendapat pelayanan. Jenis pelayanan: Berdasarkan penentuan skala kepentingan daerah pelayanan, frekuensi pelayanan dapat dibagi dalam beberapa kondisi sebagai berikut [7]: − Kondisi-1: wilayah dengan pelayanan intensif, adalah daerah di jalan protokol, pusat kota, kawasan pemukiman tidak teratur, dan daerah komersial − Kondisi-2: wilayah dengan pelayanan menengah adalah kawasan pemukiman teratur − Kondisi-3: wilayah dengan pelayanan rendah adalah daerah pinggiran kota − Kondisi-4: wilayah tanpa pelayanan, misalnya karena lokasinya terlalu jauh, dan belum terjangkau oleh truk pengangkut sampah. Lebih lanjut, penentuan jenis pelayanan berdasarkan skala kepentingan daerah pelayanan dapat dilihat pada Tabel 5.1, yang dilakukan berdasarkan pengembangan tata ruang kota. Hasil perencanaan daerah pelayanan berupa identifikasi masalah dan potensi yang tergambar dalam peta-peta sebagai berikut [3] : − Peta problem : minimal menggambarkan kerawanan sampah, tingkat kesulitan pelayanan, kerapatan timbulan sampah, tata guna lahan, jumlah penduduk, kepadatan rumah/bangunan. − Peta pemecahan masalah : menggambarkan pola yang digunakan, kapasitas perencanaan, meliputi alat dan personel, jenis sarana dan prasarana, potensi pendapatan jasa pelayanan serta rute dan penugasan Jenis pelayanan pengelola sampah dapat dibagi seperti terlihat dalam Tabel 5.1, yaitu: − Penyapuan jalan − Pengumpulan sampah − Pengangkutan sampah − Penanganan sampah 5.5 Teknik Operasional Penanganan Sampah Teknik operasional penanganan sampah perkotaan meliputi dasar-dasar perencanaan untuk kegiatankegiatan [4]: − Pewadahan sampah − Pengumpulan sampah − Pemindahan sampah − Pengangkutan sampah − Pengolahan dan pendaur-ulangan sampah − Pemrosesan akhir sampah. Kegiatan pemilahan dan daur ulang semaksimal mungkin dilakukan sejak dari pewadahan sampah sampai dengan pemrosesan akhir sampah. Teknik operasional pengelolaan sampah perkotaan yang terdiri atas kegiatan pewadahan sampai dengan pemrosesan akhir sampah harus bersifat terpadu dengan melakukan pemilahan sejak dari sumbernya. Skema teknik operasional pengelolaan persampahan dapat dilihat pada Gambar 5.1 berikut. Sub sistem pengumpulan sampah dikenal dengan beberapa pola seperti: − Pola individual: pada pola ini dilakukan pengumpulan sampah dari rumah ke rumah dengan alat angkut jarak pendek seperti gerobak atau yang lainnya untuk diangkut ke penampungan sementara. Pola ini dapat dilakukan juga dengan cara door-to-door menggunakan truk sampah untuk langsung diangkut ke pengolahan/pemrosesan sampah. − Pola komunal: pada pola ini pengumpulan sampah dari beberapa rumah dilakukan pada satu titik pengumpulan, yang dilakukan langsung oleh penghasil sampah untuk kemudian diangkut ke TPA.
Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB
45
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)
Tabel 5.1 : Skala kepentingan daerah pelayanan [7] Nilai No. 1
2
3
4
5
6
Parameter
Bobot
Fungsi dan nilai daerah : a. Daerah di jalan protokol/pusat kota b. Daerah komersial c. Daerah perumahan teratur d. Daerah industri e. Jalan, taman, dan hutan kota f. Daerah perumahan tidak teratur, selokan Kepadatan penduduk : a. > 50 jiwa/ha < 100 jiwa/ha (rendah) b. > 100 jiwa/ha < 300 jiwa/ha (sedang) c. > 300 jiwa/ha (tinggi) Daerah pelayanan : a. Yang sudah dilayani b. Yang dekat dengan yang sudah dilayani c. Yang jauh dari daerah pelayanan Kondisi lingkungan : a. Baik (sampah dikelola, lingkungan bersih) b. Sedang (sampah dikelola, lingkungan kotor) c. Buruk (sampah tidak dikelola, lingkungan kotor) d. Buruk sekali (sampah tidak dikelola, lingkungan sangat kotor), daerah endemis penyakit menular Tingkatan pendapatan penduduk : a. Rendah b. Sedang c. Tinggi Topografi : a. Datar/rata (kemiringan < 5% b. Bergelombang (kemiringan 5-15%) c. Berbukit/curam (kemiringan > 15%)
3 − − − − − − 3 − − − 3 − − − 2 − − −
Kerawanan sanitasi − 3 3 4 2 3 5 − 1 3 5 − 5 3 1 − 1 2 3
Potensi ekonomi − 4 5 4 4 1 1 − 4 3 1 − 4 3 1 − 4 3 2
−
4
1
2 − − − 1 − − −
− 5 3 1 − 2 3 3
− 1 3 5 − 4 3 1
Keterangan : angka total tertinggi dari skor (bobot nilai) merupakan pelayanan tingkat pertama, angka-angka berikut di bawahnya merupakan pelayanan selanjutnya.
Aspek penyimpanan dan pengumpulan membutuhkan pengetahuan dasar tentang karakteristik masingmasing sampah agar tidak menimbulkan permasalahan, baik dari sudut biaya operasi maupun keselamatan kerja dan lingkungan. Subsistem pemindahan menerima sampah yang berasal dari sumber, untuk kemudian diangkut ke TPA. Dikenal dua pola yaitu sistem yang permanen dan yang dapat diangkut (dipindahkan). Subsistem pemindahan mempunyai sasaran-sasaran sebagai berikut: − Sebagai peredam tingkat ketergantungan fase pengumpulan dengan fase pengangkutan − Pos pengendalian tingkat kebersihan wilayah yang bersangkutan. Subsistem pengangkutan terdiri atas tiga jenis, yaitu: − Pengangkutan dari satu lokasi pemindahan ke TPA − Pengangkutan dari kelompok pemindahan menuju ke TPA − Pengangkutan dengan pola door-to-door. Aspek pengangkutan sampah kadang dilupakan dan dianggap dapat berjalan dengan sendirinya sehingga menjadi permasalahan besar apabila sampah harus diangkut ke luar dari sumber asalnya guna diproses lebih jauh. Hal ini terutama menyangkut pengamanan selama perjalanannya. 5.6 Pengelolaan Sampah Terpadu Secara historis, pengelolaan limbah berangkat dari fungsi kerekayasaan. Hal ini terkait dengan evolusi masyarakat teknologi, yang memanfaatkan kemampuan berproduksi secara massal. Aliran bahan baku, enersi dan fluida dalam masyarakat modern dan produk ikutannya yang berupa limbah ditunjukkan dalam Gambar 5.2 berikut ini.
Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB
46
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)
Timbulan Sampah
Penanganan Sampah : Pemisahan – Pewadahan – Proses di sumber
Pengumpulan
Pemindahan dan Pengangkutan
Pemisahan – Pemerosesan – dan Transformasi Sampah
Pembuangan Akhir (Disposal) Pemrosesan akhir Gambar 5.1 : Skema teknik operasional pengelolaan sampah [modifikasi dari Ref. 4]
Bahan Proses Residu
Bahan Baku
Residu
Residu
Manufacturing
Proses dan Recovery
2nd Manufacturing
Konsumen (Penggunaan Produk)
Final Disposal
Gambar 5.2 : Aliran bahan baku dan limbah dalam masyarakat industri [32] Pengelolaan sampah pada masyarakat modern bertambah lama bertambah kompleks sejalan dengan kekomplekan masyarakat itu sendiri. Pengelolaan sampah pada masyarakat modern membutuhkan keterlibatan beragam teknologi dan beragam disiplin ilmu. Termasuk di dalamnya teknologi-teknologi yang terkait dengan bagaimana mengontrol timbulan (generation), pengumpulan (collection), pemindahan (transfer), pengangkutan (transportation), pemrosesan (processing), pembuangan akhir (final disposal) sampah yang dihasilkan pada masyarakat tersebut. Pendekatannya tidak lagi sesederhana menghadapi masyarakat non-industri, seperti di perdesaan. Seluruh proses tersebut hendaknya diselesaikan dalam rangka bagaimana melindungi kesehatan masyarakat, pelestarian lingkungan hidup, namun secara estetika dan juga secara ekonomi dapat diterima. Beragam pertimbangan perlu dimasukkan, seperti aspek adminsitratif, finansial, legal, arsitektural, planning, kerekayasaan. Semua disiplin ini diharapkan saling berkomunikasi dan berinteraksi satu
Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB
47
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)
dengan yang lain dalam hubungan interdipliner yang positif agar sebuah pengelolaan persampahan yang terintegrasi dapat tercapai secara baik. Pengelolaan sampah terpadu dapat didefinisikan sebagai pemilihan dan penerapan teknik-teknik, teknologi, dan program-program manajemen yang sesuai, untuk mencapai sasaran dan tujuan yang spesifik dari pengelolaan sampah. USEPA di Amerika Serikat [46] mengidentifikasi 4 (empat) dasar pilihan manajemen strategi, yaitu: a. Reduksi sampah di sumber b. Recycling dan pengomposan c. Transfer ke enersi (waste-to-energy) d. Landfilling Negara Bagian Kalifornia mengartikan konsep integrasi tersebut dengan menerapkan secara hierarkhi pilihan teknologi tersebut, yaitu : a. Reduksi sampah di sumber b. Recycling dan pengomposan c. Transformasi limbah d. Landfilling yang artinya transformasi sampah baru dipertimbangkan bila telah dilakukan upaya-upaya recycling atau pengomposan sebelumnya, guna mengurangi secara kuantitatif sampah. Gambar 5.3 merupakan konsep pengelolaan sampah permukiman secara terintegrasi. Sumber Sampah Permukiman Pemilahan Sampah
Pengumpulan Curb side
Pengumpulan atau ke produsen
Kembali ke Produsen
Pusat Penerima
TPS atau Pusat Recovery Sampah
Fasilitas Transformasi Sampah
Landfill
Ke Fasilitas Penampung Sampah Berbahaya
Pengemas , kaleng minuman , dsb
- Kertas - Karton - Plastik - Aluminium - Gelas - Besi
- Kompos - Metan - Enersi /gas
Gambar 5.3 Pengelolaan sampah permukiman secara terintegrasi [32] Telah dibahas sebelumnya, bahwa penanganan sampah yang terintegrasi bertujuan untuk meminimalkan atau mengurangi sampah yang terangkut menuju pemrosesan akhir. Pengelolaan sampah yang hanya mengandalkan proses kumpul-angkut-buang menyisakan banyak permasalahan dan kendala, antara lain ketersediaan lahan untuk pembuangan akhirnya. Daur ulang sampah sudah menjadi dasar yang diamanatkan oleh UU-18/2008. Masing-masing kota diperkirakan pada tahun-tahun mendatang akan mengalami penambahan penduduk yang cukup besar sehingga pembuangan sampah akan mengalami peningkatan yang pesat pula, terutama sampah organik yang merupakan jumlah sampah terbanyak. Persentase pemanfaatan kembali sampah oleh masyarakat masih jauh dari jumlah sampah yang dihasilkan, sehingga volume sampah yang belum tertanggulangi masih banyak. Untuk mendukung upaya pemerintah dalam strategi pengurangan sampah tentunya pemanfaatan kembali sampah merupakan hal yang sangat penting dan sangat diajurkan.
Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB
48
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)
Selain dapat mengurangi timbulan sampah yang berasal dari sumbernya sendiri, kegiatan pemanfaatan kembali khususnya sampah an-organik ini banyak sekali manfaatnya bagi warga, seperti diperolehnya usaha sampingan, pembukaan lapangan pekerjaan baru, memperkuat kepedulian terhadap lingkungan, juga memperkuat peranserta masyarakat. Manfaat lain yang mungkin dirasakan oleh pemerintah adalah mengurangi subsidi untuk penanganan sampah. Sampai saat ini timbulan sampah yang dapat ditangani oleh pemerintah daerah belum mencapai 100%. Hal ini berarti masih terdapat sampah yang tertinggal atau tidak tertangani oleh pemerintah daerah disebabkan oleh keterbatasan sarana dan prasarana yang ada. Upaya pemanfaatan kembali, pengolahan dan kampanye pengurangan sampah terutama sampah non-organik merupakan alternatif yang sangat positif sebagai kerangka untuk menjawab permasalahan persampahan tersebut. Sektor informal yang berkecimpung dalam masalah pendaur-ulangan barang-barang bekas atau sampah memiliki potensi dalam pengurangan sampah khususnya sampah non-organik yang ada di perkotaan. Sektor informal yang selama ini telah aktif dalam upaya daur-ulang sampah kota yaitu pemulung, lapak dan bandar perlu diintegrasikan dalam sistem pengelolaan sampah kota yang berpusat pada sarana pengelolaan sampah tersebut. Program daur-ulang pada dasarnya tidak hanya dilakukan di sumber-sumber timbulan sampah, akan tetapi juga diterapkan di tempat transit sampah (TPS) yang dapat disebut sebagai pengolahan skala kawasan, atau dalam lokasi pengolahan/pemrosesan akhir. Penerapan program daur-ulang dan proses pengolahannya di tempat pengolahan/pemrosesan akhir, dikenal dengan konsep Pengolahan Sampah Terpadu. Konsep ini prinsipnya menyatukan secara terpadu kegiatan pembuangan akhir dengan kegiatan proses pemilahan, daur ulang, dan komposting, dan upaya lainnya agar sampah yang akan diurug menjadi lebih sedikit. PPT dan PPLH ITB pada tahun 1980-an telah memperkenalkan dan menguji-coba konsep ini sebagai Kawasan Industri Sampah (KIS) [13]. Salah satu skenario kegiatan dan proses dari pengolahan sampah terpadu ini dapat dilihat pada Gambar 5.4 berikut. Dengan pengembangan sistem pengolahan sampah terpadu ini, fungsi dari tempat pemrosesan akhir sampah pada beberapa tahun mendatang dapat menjadi tidak dominan karena kapasitas sampah yang akan diurug lebih kecil daripada sampah yang dapat diolah atau dimanfaatkan lagi, hal ini seiring dengan tahap pengembangan pengelolaan persampahan yang semakin meningkat. 5.7 Pengelolaan Sampah Regional Dengan terbatasnya lahan untuk pemrosesan, serta makin banyaknya permasalahan yang dihadapi oleh sebuah kota, maka idea pengelolaan sampah bersama dari daerah yang saling berdekatan atau beskala regional, makin banyak mendapat perhatian di Indonesia. Konsep pertama yang muncul adalah berasal dari Denpasar dan sekitarnya, dengan konsep pengelolaan sampah bersama antara Kota DenpaSAR, Kabupaten BAdung, Kabupaten GIanyar dan Kabupaten TAbanan atau SARBAGITA. Berdasarkan Peraturan Bersama antara Pemerintah Kota Denpasar, Kabupaten Badung, Kabupaten Gianyar, dan Kabupaten Tabanan, nomor 660.2/2868/Sekret; nomor 840.B tahun 2000; nomor 658.1/3367/Ek; nomor 390.B tahun 2000 tanggal 24 Juli 2000, tentang Pokok-Pokok Kerjasama Pemerintahan, Pembangunan, dan Kemasyarakatan dalam Pengelolaan Sampah antara Pemerintah Kota Denpasar, Kabupaten Badung, Kabupaten Gianyar, dan Kabupaten Tabanan, ditetapkan 4 (empat) program pokok atau disebut program strategis yang mencakup [47]: Penetapan Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) sampah lintas kabupaten/kota. Pembentukkan wadah kerjasama dalam suatu badan pengelola kebersihan Bali bagian Selatan Pembentukan wadah pengawasan independen Pembentukan Peraturan Pemerintah (Perda) yang mendukung pengelolaan sampah, seperti tarif, organisasi, pengawasan, perencanaan, dan lain-lain. Untuk meningkatkan kondisi lingkungan hidup daerah dan perkotaan di Propinsi Bali, khususnya di Bali Selatan yang mengalami pertumbuhan urbanisasi yang sangat pesat, Pemerintah Pusat mendapat bantuan dari Bank Dunia (IBRD) melalui Program Bali Urban Infrastructure Project (BUIP)-P3KT, yang di dalam pelaksanaannya khusus menyangkut persampahan ditangani oleh Proyek Pengelolaan Sampah Bali (Solid Waste Menagement in Bali) mulai Tahun Anggaran 1997/1998 sampai dengan 2001/2002. Restrukturisasi pembentukan institusi pengelolaan persampahan di Bali Selatan, yang kemudian disebut Sarbagita, telah disepakati melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) tanggal 16 April 2001 di antara keempat Pemerintah Daerah/Kota Sarbagita. Institusi atau badan yang telah disepakati untuk dibentuk adalah : Badan Pengatur dan Pengendalian Kebersihan Sarbagita (BPPKS), Badan Pengelola Kebersihan Sarbagita (BPKS), dan Badan Pengawas Pengelolaan Kebersihan Sarbagita (BP2KS). Institusi atau badan tersebut mempunyai fungsi dan tugas pokok masing-masing yang sudah ditetapkan melalui Keputusan Bersama Pemerintah Daerah/Kota [47]. Konsep yang sama dicoba dikembangkan di Jakarta dan sekitarnya, yaitu pengelolaan sampah bersama, khususnya dalam pengadaan TPA, bagi kota JAkarta, BOgor, DEpok, TAngerang dan BEKas,
Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB
49
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)
atau JABODETABEK. Namun upaya yang mendapat dukungan dari Pemerintah pusat tersebut, sampai saat ini belum terlihat realisasinya. Terdapat perbedaan persepsi dan kepentingan diantara kota dan kabupaten yang terlibat di dalamnya. Konsep sejenis berjalan cukup baik di Yoyakarta, yaitu antara Daerah Istimewa YogyaKARTA, Kabupaten SleMAN dan dan Kabuoaten BanTUL, atau KARTAMANTUL. Hal yang sama dirintis di tempat lain, seperti di metropolitan Makassar, Gorontalo dsb. Sedang Bandung Raya menampilkan idea pengelolaan sampah bersama antara Garut, Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Sumedang, dan Kota Cimahi [48] yang telah dirintais sejak tahun 2004. Sumber Timbulan Sampah Swadaya Masyarakat Tempat Pemrosesan Akhir Sampah (TPA)
Proses Pemisahan
Proses Pemilahan
Sampah Organik
Layak Kompos
Sampah Anorganik
Tak Layak Kompos
Tak Layak Daur Ulang
Layak Daur Ulang
INSTALASI KOMPOS Residu
SLF
Abu
Abu Pilihan Campuran Kompos
Produk Kompos
Insinerator
Produk Lain
Bahan Daur Ulang
Gambar 5.4 : Flow chart pengolahan sampah terpadu [47]
Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB
50
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)
BAGIAN 6 PEWADAHAN, PENGUMPULAN DAN PEMINDAHAN Bagian ini menjelaskan aktivitas teknik operasional persampahan, mulai dari pewadahan sampai ke transfer. Dijelaskan tentang jenis dan pola pewadahan, serta sistem transfer. Dijelaskan pula subsistem ini di Indonesia dan di negara maju. Guna lebih memahami, mahasiswa diminta mengamati aktivitas susb-sistem ini di lingkungannya. 6.1 Pewadahan Sampah Pewadahan sampah merupakan cara penampungan sampah sementara di sumbernya baik individual maupun komunal. Wadah sampah individual umumnya ditempatkan di muka rumah atau bangunan lainnya. Sedangkan wadah sampah komunal ditempatkan di tempat terbuka yang mudah diakses. Sampah diwadahi sehingga memudahkan dalam pengangkutannya. Idealnya jenis wadah disesuaikan dengan jenis sampah yang akan dikelola agar memudahkan dalam penanganan berikutnya, khususnya dalam upaya daur-ulang. Di samping itu, dengan adanya wadah yang baik, maka: − Bau akibat pembusukan sampah yang juga menarik datangnya lalat, dapat diatasi. − Air hujan yang berpotensi menambah kadar air di sampah, dapat kendalikan − Pencampuran sampah yang tidak sejenis, dapat dihindari Berdasarkan letak dan kebutuhan dalam sistem penanganan sampah, maka pewadahan sampah dapat dibagi menjadi beberapa tingkat (level), yaitu: a. Level-1 : wadah sampah yang menampung sampah langsung dari sumbernya. Pada umumnya wadah sampah pertama ini diletakkan di tempat-tempat yang terlihat dan mudah dicapai oleh pemakai, misalnya diletakkan di dapur, di ruang kerja, dsb. Biasanya wadah sampah jenis ini adalah tidak statis, tetapi mudah diangkat dan dibawa ke wadah sampah level-2. b. Level-2 : bersifat sebagai pengumpul sementara, merupakan wadah yang menampung sampah dari wadah level-1 maupun langsung dari sumbernya. Wadah sampah level-2 ini diletakkan di luar kantor, sekolah, rumah, atau tepi jalan atau dalam ruang yang disediakan, seperti dalam apartemen bertingkat . Melihat perannya yang berfungsi sebagai titik temu antara sumber sampah dan sistem pengumpul, maka guna kemudahan dalam pemindahannya, wadah sampah ini seharusnya tidak bersifat permanen, seperti yang diarahkan dalam SNI tentang pengelolaan sampah di Indonesia. Namun pada kenyataannya di permukiman permanen, akan dijumpai wadah sampah dalam bentuk bak sampah permanen di depan rumah, yang menambah waktu operasi untuk pengosongannya. c. Level-3 : merupakan wadah sentral, biasanya bervolume besar yang akan menampung sampah dari wadah level-2, bila sistem memang membutuhkan. Wadah sampah ini sebaiknya terbuat dari konstruksi khusus dan ditempatkan sesuai dengan sistem pengangkutan sampahnya. Mengingat bahaya-bahaya yang dapat ditimbulkan oleh sampah tersebut, maka wadah sampah yang digunakan sebaiknya memenuhi persyaratan sebagai berikut : kuat dan tahan terhadap korosi, kedap air, tidak mengeluarkan bau, tidak dapat dimasuki serangga binatang dan air hujan serta kapasitasnya sesuai dengan sampah yang akan ditampung. Wadah sampah hendaknya mendorong terjadinya upaya daur-ulang, yaitu disesuaikan dengan jenis sampah yang telah terpilah. Di negara maju adalah hal yang umum dijumpai wadah sampah yang terdiri dari dari beragam jenis sesuai jenis sampahnya. Namun di Indonesia, yang sampai saat ini masih belum berhasil menerapkan konsep pemilahan, maka paling tidak hendaknya wadah tersebut menampung secara terpisah, misalnya: a. Sampah organik, seperti daun sisa, sayuran, kulit buah lunak, sisa makanan, dengan wadah warna gelap seperti hijau b. Sampah anorganik seperti gelas, plastik, logam, dan lain-lainnya, dengan wadah warna terang seperti kuning c. Sampah bahan berbahaya beracun dari rumah tangga dengan warna merah, dan dianjurkan diberi lambang (label) khusus Di Indonesia dikenal pola pewadahan sampah individual dan komunal. Wadah individual adalah wadah yang hanya menerima sampah dari sebuah rumah, atau sebuah bangunan, sedang wadah komunal memungkinkan sampah yang ditampung berasal dari beberapa rumah atau dari beberapa bangunan. Pewadahan dimulai dengan pemilahan baik untuk pewadahan individual maupun komunal, dan sebaiknya disesuaikan dengan jenis sampah. Beberapa hal penting yang perlu diperhatikan: − Pada umumnya wadah sampah individual level-2 ditempatkan di tepi jalan atau di muka fasilitas umum, dan wadah sampah komunal terletak di suatu tempat yang tebuka, sehingga memudahkan para petugas untuk mengambilnya dengan cepat, teratur, dan higienis.
Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB
51
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)
− − − − − − − − −
Wadah sampah dari rumah sebaiknya diletakkan di halaman muka, dianjurkan tidak di luar pagar, sedang wadah sampah hotel dan sejenisnya ditempatkan di halaman belakang Tidak mengambil lahan trotoar, kecuali bagi wadah sampah untuk pejalan kaki Didesain secara indah, dan dijamin kebersihannya, khususnya bila terletak di jalan protokol Tidak mengganggu pemakai jalan atau sarana umum lainnya. Mudah untuk pengoperasiannya, yaitu mudah dan cepat untuk dikosongkan. Jarak antar wadah sampah untuk pejalan kaki minimal 100 m. Mudah dijangkau oleh petugas sehingga waktu pengambilan dapat lebih cepat dan singkat. Aman dari gangguan binatang ataupun dari pemungut barang bekas, sehingga sampah tidak dalam keadaan berserakan. Tertutup dan tidak mudah rusak dan kedap air.
Penentuan ukuran volume biasanya berdasarkan jumlah penghuni tiap rumah/sumber, timbulan sampah per pemakai, tingkat hidup masyarakat, frekuensi pengambilan atau pengumpulan sampah dan cara pemindahan sampah, manual atau mekanik. Beberapa jenis wadah berdasarkan sumber sampahnya dapat dilihat pada Tabel 6.1, sedang persyaratan untuk bahan adalah seperti pada Tabel 6.2. Contoh wadah dan penggunaannya dapat dilihat pada Tabel 6.3. Berdasarkan pedoman dari Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah [7], maka: a. Pola pewadahan individual: diperuntukkan bagi daerah pemukiman berpenghasilan menengah-tinggi dan daerah komersial. Bentuk yang dipakai tergantung selera dan kemampuan pengadaan dari pemiliknya, dengan kriteria: − Bentuk: kotak, silinder, kantung, kontainer. − Sifat: dapat diangkat, tertutup. − Bahan: logam, plastik. Alternatif bahan harus bersifat kedap terhadap air, panas matahari, tahan diperlakukan kasar, mudah dibersihkan. − Ukuran: 10-50 liter untuk pemukiman, toko kecil, 100-500 liter untuk kantor, toko besar, hotel, rumah makan. − Pengadaan: pribadi, swadaya masyarakat, instansi pengelola. b.
Pola pewadahan komunal : diperuntukkan bagi daerah pemukiman sedang/kumuh, taman kota, jalan, pasar. Bentuk ditentukan oleh pihak instansi pengelola karena sifat penggunaannya adalah umum, dengan kriteria: − Bentuk: kotak, silinder, kontainer. − Sifat: tidak bersatu dengan tanah, dapat diangkat, tertutup. − Bahan: logam, plastik. Alternatif bahan harus bersifat kedap terhadap air, panas matahari, tahan diperlakukan kasar, mudah dibersihkan. − Ukuran: 100-500 liter untuk pinggir jalan, taman kota, 1-10 m3 untuk pemukiman dan pasar. − Pengadaan: pemilik, badan swasta (sekaligus sebagai usaha promosi hasil produksi), instansi pengelola. Tabel 6.1: Jenis pewadahan dan sumber sampahnya [7] Jenis pewadahan - Kantong plastik/kertas, volume sesuai yang tersedia di pasaran - Bak sampah permanen, ukuran bervariasi, biasanya dari Daerah perumahan pasangan - Bin plastik/tong, volume 40-60 Iiter, dengan tutup, khususnya permukiman yang pernah dibina oleh Dinas Kebersihan - Bin/tong sampah, volume 50–60 Iiter - Bin plastik, volume 120-140 Iiter dengan tutup dan memakai roda. Pasar 3 - Gerobak sampah, volume 1,0 m . 3 - Kontainer dari Armroll kapasitas 6–10 m . - Bak sampah. - Kantong plastik, volume bervariasi. Pertokoan - Bin plastik/tong, volume 50-60 Iiter. - Bin plastik, volume 120-140 liter dgn roda. 3 - Kontainer volume 1 m beroda. Perkantoran/Hotel 3 - Kontainer besar volume 6-10 m . a. Bin plastik/tong volume 50-60 Iiter, yang dipasang secara Tempat umum, jalan, dan permanen. taman b. Bin plastik, volume 120 - 140 L dengan roda. Sumber sampah
Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB
52
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)
No. 1. 2. 3. 4. 5.
Tabel 6.2: Pola dan karakteristik pewadahan sampah [7] Pola pewadahan Individual Komunal Karakteristik Kotak, silinder, kontainer, bin (tong), Kotak, silinder, kontainer, bin Bentuk/jenis semua bertutup, dan kantong plastik. (tong), semua bertutup. Ringan, mudah dipindahkan, dan mudah Ringan, mudah dipindahkan, dan Sifat dikosongkan. mudah dikosongkan. Logam, plastik, fiberglass kayu, bambu, Logam, plastik, fibreglass, kayu, Bahan rotan, kertas. bambu, rotan. Pinggir jalan dan taman = 30–40 L Volume Pemukiman dan toko kecil 10–40 L Untuk pemukiman dan pasar = 100–1000 L Pengadaan Pribadi, instansi, pengelola. Instansi, pengelola
1.
Tabel 6.3: Contoh wadah dan penggunaannya [7] Umur wadah Wadah Kapasitas Pelayanan (life time) Kantong plastik 10-40 L 1 KK 2-3 hari
2.
Bin
3. 4. 5. 6. 7.
No.
40 L
1 KK
2-3 tahun
Bin Bin Kontainer Kontainer
120 L 240 L 1.000 L 500 L
2-3 tahun 2-3 tahun 2-3 tahun 2-3 tahun
Bin
30-40 L
2-3 KK 4-6 KK 80 KK 40 KK Pejalan kaki, taman
Keterangan Individual Maksimal pengambilan 3 hari 1 kali. Toko Komunal Komunal
2-3 tahun
6.2 Pengumpulan Sampah Jenis Pengumpulan sampah Pengumpulan sampah adalah proses penanganan sampah dengan cara pengumpulan dari masingmasing sumber sampah untuk diangkut ke (1) tempat penampungan sementara atau ke (2) pengolahan sampah skala kawasan, atau (3) langsung ke tempat pemrosesan akhir tanpa melalui proses pemindahan. Operasional pengumpulan dan pengangkutan sampah mulai dari sumber sampah hingga ke lokasi pemrosesan akhir atau ke lokasi pemrosesan akhir, dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu secara langsung (door to door), atau secara tidak langsung (dengan menggunakan transfer depo/container ) sebagai Tempat Penampungan Sementara (TPS), dengan penjelasan sebagai berikut [7]: a. Secara langsung (door to door): Pada sistem ini proses pengumpulan dan pengangkutan sampah dilakukan bersamaan. Sampah dari tiap-tiap sumber akan diambil, dikumpulkan dan langsung diangkut ke tempat pemrosesan, atau ke tempat pembuangan akhir (lihat Gambar 6.1). b. Secara tidak langsung (communal): Pada sistem ini, sebelum diangkut ke tempat pemrosesan, atau ke tempat pemrosesan akhir, sampah dari masing-masing sumber dikumpulkan dahulu oleh sarana pengumpul seperti dalam gerobak tangan (hand cart) dan diangkut ke TPS. Dengan adanya TPS ini maka proses pengumpulan sampah secara tidak langsung dapat digambarkan seperti pada Gambar 6.2. Dalam hal ini, TPS dapat pula berfungsi sebagai lokasi pemrosesan skala kawasan guna mengurangi jumlah sampah yang harus diangkut ke pemrosesan akhir. Pada sistem communal ini, sampah dari masing-masing sumber akan dikumpulkan dahulu dalam gerobak tangan (hand cart) atau yang sejenis dan diangkut ke TPS. Gerobak tangan merupakan alat pengangkutan sampah sederhana yang paling sering dijumpai di kota-kota di Indonesia, dan memiliki kriteria persyaratan sebagai berikut: − Mudah dalam loading dan unloading − Memiliki konstruksi yang ringan dan sesuai dengan kondisi jalan yang ditempuh − Sebaiknya mempunyai tutup
Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB
53
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)
Daerah pelayanan
Transportasi Koleksi
Pemero sesan atau TPA
Transportasi Transmisi
Gambar 6.1 : Bagan proses pengumpulan dan pengangkutan secara langsung
Daerah pelayanan TPS atau Pemerose san Kawasan
Transportasi Koleksi
Pemrose san atau TPA
Transportasi Transmisi
Gambar 6.2: Bagan proses pengumpulan dan pengangkutan secara tidak langsung Tempat penampungan sementara merupakan suatu bangunan atau tempat yang digunakan untuk memindahkan sampah dari gerobak tangan (hand cart) ke landasan, kontainer atau langsung ke truk pengangkut sampah. Tempat penampungan sementara ini berupa [49, 50]: a. Transfer station I / transfer depo, biasanya terdiri dari: − Bangunan untuk ruangan kantor. − Bangunan tempat penampungan/pemuatan sampah. − Pelataran parkir. − Tempat penyimpanan peralatan. Untuk suatu lokasi transfer depo, atau di Indonesia dikenal sebagai Tempat Penampungan 2 Sementara (TPS) seperti di atas diperlukan areal tanah minimal seluas 200 m . Bila lokasi ini berfungsi juga sebagai tempat pemrosesan sampah skala kawasan, maka dibutuhkan tambahan luas lahan sesuai aktivitas yang akan dijalankan. 3 b. Kontener besar (steel container) volume 6 – 10 m : Diletakkan di pinggir jalan dan tidak mengganggu lalu lintas. Dibutuhkan landasan permanen sekitar 2 25-50 m untuk meletakkan kontainer. Di banyak tempat di kota-kota Indonesia, landasan ini tidak disediakan, dan kontainer diletakkan begitu saja di lahan tersedia. Penempatan sarana ini juga bermasalah karena sulit untuk memperoleh lahan, dan belum tentu masyarakat yang tempat tinggalnya dekat dengan sarana ini bersedia menerima. c. Bak komunal yang dibangun permanen dan terletak di pinggir jalan: Hal yang harus diperhatikan adalah waktu pengumpulan dan frekuensi pengumpulan. Sebaiknya waktu pengumpulan sampah adalah saat dimana aktivitas masyarakat tidak begitu padat, misalnya pagi hingga siang hari. Frekuensi pengumpulan sampah menentukan banyaknya sampah yang dapat dikumpulkan dan diangkut perhari. Semakin besar frekuensi pengumpulan sampah, semakin banyak volume sampah yang dikumpulkan per service per kapita. Bila sistem pengumpulan telah memasukkan upaya daur-ulang, maka frekuensi pengumpulan sampah dapat diatur sesuai dengan jenis sampah yang akan dikumpulkan. Dalam hal ini sampah kering dapat dikumpulkan lebih jarang. Untuk menjaga kebersihan dan keindahan jalan-jalan, maka perlu diatur kegiatan penyapuan jalan. Pada umumnya, sampah hasil penyapuan jalan berupa daun-daunan kering, dahan/ranting dan debu jalan. Penyapuan jalan sebaiknya dilakukan secara simultan oleh juru sapu, yaitu menyapu sampah di jalan, mengumpulkannya dalam wadah serta mengangkutnya ke tempat penampungan sementara dengan menggunakan gerobak tangan. Untuk memudahkan pengawasan dan untuk menjaga kebersihan kawasan, penyapuan jalan dilakukan dengan pembagian kelompok kerja (shift).
Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB
54
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)
Pola Pengumpulan Sampah Bersama dengan kegiatan pewadahan, maka pengumpulan sampah merupakan kegiatan awal dalam rangkaian pengelolaan sampah. Beberapa hal penting yang perlu mendapat perhatian adalah [7]: a. Pengumpulan sampah harus memperhatikan: Keseimbangan pembebanan tugas. Optimasi penggunaan alat, waktu dan petugas. Minimasi jarak operasi. b. Faktor-faktor yang mempengaruhi pola pengumpulan sampah: Jumlah sampah terangkut. Jumlah penduduk. Luas daerah operasi. Kepadatan penduduk dan tingkat penyebaran rumah. Panjang dan lebar jalan. Kondisi sarana penghubung (jalan, gang). Jarak titik pengumpulan dengan lokasi. Pola pengumpulan sampah terdiri atas [7]: Individual langsung. Individual tidak langsung. Komunal langsung. Komunal tidak langsung. Penyapuan jalan dan taman. a.
b.
c.
d.
e.
Pola individual langsung oleh truk pengangkut menuju ke pemrosesan: Bila kondisi topografi bergelombang (rata-rata > 5%), hanya alat pengumpul mesin yang dapat beroperasi, sedang alat pengumpul non-mesin akan sulit beroperasi. Kondisi jalan cukup lebar dan operasi tidak mengganggu pemakai jalan lainnya. Kondisi dan jumlah alat memadai. 3 Jumlah timbulan sampah > 0,3 m /hari. Biasanya daerah layanan adalah pertokoan, kawasan pemukiman yang tersusun rapi, daerah elite, dan jalan protokol. Layanan dapat pula diterapkan pada daerah gang. Petugas pengangkut tidak masuk ke gang, hanya akan memberi tanda bila sarana pengangkut ini datang, misal dengan bunyi-bunyian. Pola individual tidak langsung, dengan menggunakan pengumpul sejenis gerobak sampah, dapat diterapkan bila: Lahan untuk lokasi pemindahan tersedia. Lahan ini dapat difungsikan sebagai tempat pemrosesan sampah skala kawasan Kondisi topografi relatif datar (rata-rata < 5%), dapat digunakan alat pengumpul non-mesin (gerobak, becak). Alat pengumpul masih dapat menjangkau secara langsung. Lebar jalan atau gang cukup lebar untuk dapat dilalui alat pengumpul tanpa mengganggu pemakai jalan lainnya. Terdapat organisasi pengelola pengumpulan sampah dengan sistem pengendaliannya. Pola komunal langsung oleh truk pengangkut dilakukan, bila : Alat angkut terbatas Kemampuan pengendalian personil dan peralatan relatif rendah. Alat pengumpul sulit menjangkau sumber-sumber sampah individual (kondisi daerah berbukit, gang/jalan sempit). Peran serta masyarakat tinggi. Wadah komunal ditempatkan sesuai dengan kebutuhan dan di lokasi yang mudah dijangkau oleh alat pengangkut (truk). Pemukiman tidak teratur. Pola komunal tidak langsung, dengan persyaratan sebagai berikut : Peran serta masyarakat tinggi. Wadah komunal ditempatkan sesuai dengan kebutuhan dan di lokasi yang mudah dijangkau alat pengumpul. Lahan untuk lokasi pemindahan tersedia. Lahan ini dapat difungsikan sebagai tempat pemrosesan sampah skala kawasan Bagi kondisi topografi yang relatif datar (rata-rata < 5%), dapat digunakan alat pengumpul non mesin (gerobak, becak) dan bagi kondisi topografi > 5% dapat digunakan cara lain seperti pikulan, kontainer kecil beroda dan karung. Lebar jalan/gang dapat dilalui alat pengumpul tanpa mengganggu pemakai jalan lainnya. Harus ada organisasi pengelola pengumpulan sampah. Pola penyapuan jalan, dengan persyaratan sebagai berikut : Juru sapu harus mengetahui cara penyapuan untuk setiap daerah pelayanan (diperkeras, tanah, lapangan rumput, dan lain-lain).
Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB
55
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)
-
Penanganan penyapuan jalan untuk setiap daerah berbeda tergantung pada fungsi dan nilai daerah yang dilayani. Pengumpulan sampah hasil penyapuan jalan diangkut ke lokasi pemindahan untuk kemudian diangkut ke pemrosesan akhir. Pengendalian personel dan peralatan harus baik.
Perencanaan operasional pengumpulan harus memperhatikan: − Ritasi antara 1 - 4 rit per hari. − Periodisasi: untuk sampah mudah membusuk maksimal 3 hari sekali namun sebaiknya setiap hari, tergantung dari kapasitas kerja, desain peralatan, kualitas kerja, serta kondisi komposisi sampah. Semakin besar persentase sampah organik, periodisasi pelayanan semakin sering. Untuk sampah kering, periode pengumpulannya dapat dilakukan lebih dari 3 hari 1 kali. Sedang sampah B3 disesuaikan dengan ketentuan yang berlaku. − Mempunyai daerah pelayanan tertentu dan tetap. − Mempunyai petugas pelaksana yang tetap dan perlu dipindahkan secara periodik. − Pembebanan pekerjaan diusahakan merata dengan kriteria jumlah sampah terangkut, jarak tempuh, kondisi daerah, dan jenis sampah yang akan diangkut. 6.3 Beberapa Kriteria yang Berlaku di Indonesia Berdasarkan pedoman dari Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah (sekarang Departemen Pekerjaan Umum) [14], maka: a. Kriteria alat pengumpul (ukuran/kapasitas, jenis) − Sesuai dengan kondisi jalan. 3 − Bila tidak bermesin disesuaikan dengan kapasitas tenaga kerja maksimal yaitu 1,5 m , dan hanya untuk daerah datar. − Bermesin untuk daerah yang berbukit. b. Frekuensi pengumpulan ditentukan menurut lokasi pelayanan/pemukiman, pasar, dan lain-lain, pada umumnya 2-4 kali sehari. c. Jadwal pengumpulan adalah di saat tidak mengganggu aktivitas masyarakat terpadat, sebelum jam 7.00, jam 10.00 – 15.00, atau sesudah jam 17.00. d. Periodisasi pengumpulan 1 hari, 2 hari, atau maksimal 3 hari sekali, tergantung dari beberapa kondisi seperti: − Komposisi sampah; semakin besar persentase organiknya, semakin kecil periodisasi pelayanan. Contoh: untuk pasar 0,5-1 hari, tetapi perkantoran 3 hari. − Kapasitas kerja. − Desain peralatannya. − Kualitas pelayanan yang diinginkan. e. Pengumpulan secara terpisah − Pemisahan dengan warna gerobak, misalnya sampah organik warna hijau. − Diatur dengan jadwal dan periode pengumpulan. − Himbauan bahwa sampah non organik hanya dikeluarkan pada hari tertentu (misalnya setiap hari sabtu). − Gerobak dengan 2 kontainer terpisah. − Pengumpulan sampah organik dilaksanakan 1-2 hari sekali, sampah non organik dilaksanakan 4-8 hari sekali. f. Pengumpulan langsung − Pengumpulan langsung dilakukan di daerah pemukiman teratur dengan lebar jalan memadai untuk dilalui truk. − Pengumpulan langsung menggunakan truk dengan kapasitas 6-10 m3. − Pengumpulan langsung mengumpulkan sampah dari wadah sampah individual atau wadah sampah komunal dengan kapasitas 120-500 liter. − Untuk meningkatkan efisiensi pengumpulan, truk dapat dilengkapi dengan alat pengangkat wadah sampah otomatis (lifting unit) yang kompatibel dengan wadah sampah kontainer C-90 (90 L), C-120 (120 L) dan C-240 (240 L). − Dilaksanakan untuk titik komunal, dan daerah protokol, serta sumber sampah besar, seperti : pasar, pusat perbelanjaan, pusat perkantoran, rumah susun, hotel, dan restoran besar, serta 3 sumber sampah > 1 m . g. Rasio tenaga pengumpulan terhadap jumlah penduduk/volume sampah − Pengumpulan dengan menggunakan gerobak: 2 petugas dengan 1 gerobak kapasitas 1 m3, satu hari 2 trip, melayani 1000 penduduk untuk radius pelayanan tidak lebih dari 1000 meter. 3 − Pengumpulan langsung dengan menggunakan truk kapasitas 6 m , 1 truk dengan crew 2 orang dengan wadah sampah berupa tong atau kontainer maksimum 120 liter dapat melayani 10.000 penduduk. h. Penyapuan/kebersihan jalan merupakan tanggung jawab pemilik atau pengguna persil, termasuk saluran air hujan, tidak terkecuali perkantoran (pemerintah/non pemerintah), bangunan besar, rumah sakit, pusat ibadah, dan sebagainya. Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB
56
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)
i.
Klasifikasi jalan menurut kerawanan sampah − Jalan pusat kota area perbelanjaan. − Jalan di area pasar, jalan utama pusat kota. − Jalan pinggir kota pusat perbelanjaan. − Jalan kolektor pusat kota. − Jalan pemukiman pendapatan rendah. − Jalan pemukiman pendapatan tinggi. Klasifikasi jalan menurut frekuensi penyapuan seperti dalam Tabel 6.4
j.
Tabel 6.4 Klasifikasi jalan menurut frekuensi penyapuan Klasifikasi jalan Frekuensi penyapuan - Jalan pusat kota area perbelanjaan 3 x per-hari - Jalan di area pasar, jalan utama pusat kota 3x per-hari - Jalan pusat kota area perbelanjaan 2x per-hari - Jalan kolektor pusat kota 2 hari 1x - Jalan pinggir kota pusat perbelanjaan 2 hari 1x - Jalan pemukiman pendapatan tinggi 2 hari 1x - Jalan pemukiman pendapatan rendah 2 hari 1x Rasio kebutuhan personil penyapuan/panjang jalan = 1 orang petugas untuk 1 km jalan 6.4
Pemindahan Sampah
Pemindahan sampah merupakan tahapan untuk memindahkan sampah hasil pengumpulan ke dalam alat pengangkut untuk dibawa ke tempat pemrosesan atau ke pemrosesan akhir. Tipe pemindahan sampah dapat dilihat pada Tabel 6.5. Lokasi pemindahan sampah hendaknya memudahkan bagi sarana pengumpul dan pengangkut sampah untuk masuk dan keluar dari lokasi pemindahan, dan tidak jauh dari sumber sampah. Pemrosesan sampah atau pemilahan sampah dapat dilakukan di lokasi ini, sehingga sarana ini dapat berfungsi sebagai lokasi pemrosesan tingkat kawasan. Pemindahan sampah dilakukan oleh petugas kebersihan, yang dapat dilakukan secara manual atau mekanik, atau kombinasi misalnya pengisian kontainer dilakukan secara manual oleh petugas pengumpul, sedangkan pengangkutan kontainer ke atas truk dilakukan secara mekanis (load haul). Tabel 6.5 : Tipe pemindahan (transfer) [7] No. 1 2
Uraian Luas lahan Fungsi
-
-
3
Daerah Pemakai
-
Transfer Tipe I >= 200 m2 Tempat pertemuan peralatan pengumpul dan pengangkutan sebelum pemindahan. Tempat penyimpanan atau kebersihan. Bengkel sederhana. Kantor Wilayah/ pengendali. Tempat pemilahan. Tempat pengomposan. Baik sekali untuk daerah yang mudah mendapat lahan.
Transfer Tipe II 60 - 200 m2 - Tempat pertemuan peralatan pengumpul dan pengangkutan sebelum pemindahan. - Tempat parkir gerobak. - Tempat pemilahan.
Transfer Tipe III 10 - 20 m2 - Tempat pertemuan gerobak dan kontainer (610 m3). - Lokasi penempatan kontainer komunal (1- 10 m3). - Tempat pemilahan.
- Daerah yang sulit mendapat lahan yang kosong dan daerah protokol.
Berdasarkan pedoman dari Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah [14], maka: 3 3 3 a. Kriteria Titik Komunal untuk lokasi pengumpulan (1m , 6m , 10m ) − Dikosongkan setiap hari minimal dengan frekuensi 1 kali. − Untuk memaksimalkan kebersihan lokasi transfer, perlu ada penjadwalan pengisian dan pengosongan. − Mudah dijangkau, tidak mengganggu arus lalu lintas, atau kenyamanan pejalan kaki. − Terisolasi, tetap bersih. − Pembongkaran titik pemindahan sebaiknya memperhatikan kaidah isolasi pencemaran dan diatur jadwalnya yang tidak mengganggu kenyamanan dan kesehatan masyarakat pemakai jalan dan sekitarnya b. Kriteria tipe tempat penampungan sementara (tipe landasan kontainer, tipe transfer dipo): − Pelataran berdinding:
Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB
57
Diktat Kuliah TL-3104 (Versi 2010)
−
Ukuran panjang dan lebar dibuat sedemikian rupa sehingga memudahkan keluar masuk dan pemuatan truk. Bila pemuatan tidak langsung dilakukan dari gerobak maka harus tersedia tempat khusus penimbunan sampah sementara. Dinding dibuat cukup tinggi sehingga dapat berfungsi sebagai isolator terhadap daerah sekitarnya. Isolasi bertujuan menghilangkan kesan kotor dari kerja pemindahan. Kontainer muat-hela: Berupa kontainer yang umumnya bervolume 8-10 m3. Gerobak langsung menumpahkan muatannya ke dalam kontainer ini. Setelah penuh maka kontainer ini akan dibawa ke lokasi pembuangan akhir. Metode ini membutuhkan biaya modal yang cukup besar karena dibutuhkan truk dengan tipe khusus (load hauled truck).
6.5 Pengumpulan Sampah di Negara Maju Terminologi pengumpulan (collection) sampah di negara maju adalah mengumpulkan sampah dari beragam sumber sampah, kemudian membawanya ke tempat pemindahan atau ke tempat pemrosesan. Dibedakan antara sistem pengelolaan untuk [4, 32]: a. Sampah tidak dipilah (commingled wastes) b. Sampah dipilah Berdasarkan jenis permukiman yang biasa digunakan, maka pengumpulan sampah juga mempertimbangkan jenis bangunan yang akan dilayani, yaitu: a. Rumah tinggal yang tidak bertingkat b. Apartemen sampai tingkat menengah (sampai 7 tingkat) c. Apartemen bertingkat tinggal lebih dari 7 tingkat Sampah yang berasal dari masing-masing penghuni rumah tinggal biasa sampai rumah tinggal berbentuk apartemen tingkat menengah, biasanya dibawa sendiri oleh penghuni ke kontainer yang lebih besar di lantai dasar. Sedang bila berbentuk apartemen tinggi, maka mekanisme transfer sampah ke kontainer pengumpul di tingkat dasar dapat berupa: − Sampah dikumpulkan di tiap tingkat, lalu kontainer berisi sampah dari tiap tingkat dibawa ke kontainer pengumpul di lantai dasar. − Sampah, biasanya telah terbungkus plastik, dijatuhkan melalui sistem yang berada di setiap tingkat, menuju kontainer pengumpul di lantai dasar − Sistem pelayanan yang sering dijumpai, khususnya bila sampah berasal dari apartemen bertingkat,, adalah secara langsung-individual (door-to-door), yang dikenal sebagai sistem curb . Dengan cara ini, penghuni atau penanggung jawab apartemen membawa wadah sampah yang penuh ke pinggir jalan di depan apartemen atau rumahnya, dan membawa kembali ke halaman apartemen atau rumahnya bila telah diambil sampahnya oleh petugas. Untuk itu perlu kepastian dan kejelasan jadwal pengumpulan. Sistem pemindahan dari kontainer ke truk pengumpul biasanya mekanis, sehingga tumpahan sampah dapat dihindari. Bila bersifat mekanis, maka kontainer di setiap rumah harus standar. Terdapat variasi pelayanan yang mirip dengan sistem komunal yang biasa diterapkan di Indonesia. Dalam kompleks apartemen yang luas, yang terdiri dari beberapa apartemen tingkat tinggi, sampah dari masing-masing apartemen disalurkan melalui sistem pneumatis menuju ke tempat penampungan komunal, atau menuju tempat pemrosesan komunal. Bila pengelolaan sampah di daerah tersebut telah mengenal sistem pemilahan berdasarkan jenis sampahnya, maka tata-cara pengumpulan yang sering dijumpai adalah: − Pengumpulan sampah dilakukan dengan dengan sistem curb, dengan menggunakan kendaraan pengumpul yang berbeda, atau kendaraan yang sama tetapi dengan jadwal pengumpulan yang berbeda − Pengumpulan sampah terdaur-ulang (biasanya sampah kering) dengan sistem curb, dan pengumpulan sampahnya dilakukan oleh organisasi kemanusiaan yang khusus mengumpulkan bahan-bahan tidak terpakai seperti baju bekas, kertas bekas, dsb − Barang-barang yang tidak terpakai lagi, seperti kasur, mebel, TV, kulkas, limbah B3, dsb dibawa secara sendiri oleh penghasil ke lokasi penampungan sementara, dan dimasukkan sendiri ke masing-masing kontainer terpisah atau ruangan khusus bila limbah berbahaya, yang telah tersedia di lokasi tersebut. Seseorang yang berminat dengan barang bekas tersebut secara gratis dapat mengambilnya untuk digunakan kembali. Barang-barang tersebut sesuai jadwal yang ditentukan kemudian diangkut ke tempat pemrosesan lebih lanjut sesuai jenisnya oleh pengelola sampah kota.
Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB
58