POTENSI EKONOMI KEGIATAN DAUR ULANG SAMPAH TETRAPAK KEMASAN PRODUK PADA SEKTOR INFORMAL DI KOTA BANDUNG ECONOMIC POTENTIAL OF TETRAPAK PACKAGING WASTE RECYCLING FOR THE INFORMAL SECTOR IN BANDUNG Cut Raihan1 dan Tri Padmi Damanhuri2 Program Studi Teknik Lingkungan ITB, Jl. Ganesa 10 Bandung 1
[email protected],
[email protected] Abstrak : Proses konsumsi menimbulkan produk sampingan berupa limbah atau sampah yang selanjutnya akan dibuang ke lingkungan. Jika usaha daur ulang dioptimalkan kinerjanya, dan jika masyarakat turut serta berpartisipasi dalam pemilahan dan pengumpulan sampah yang berpotensi untuk di daur ulang, maka nilai ekonomi sampah, khususnya sampah tetrapak kemasan produk dapat meningkat. Di Kota Bandung, kegiatan daur ulang sampah tetrapak kemasan produk yang terjadi dimulai dari tingkat pemulung, tukang loak, lapak hingga tingkat bandar besar. Jumlah pemulung di Kota Bandung menduduki jumlah terbesar dalam aktivitas daur ulang sampah tetrapak kemasan produk yaitu sebesar 31% dibandingkan jumlah tukang loak 28%, lapak 17%, bandar kecil 12% dan bandar besar 12 %. Hal ini disebabkan oleh keadaan ekonomi yang memburuk belakangan ini sehingga memicu tumbuhnya usaha pada sektor daur ulang sampah. Potensi ekonomi yang terdapat dalam usaha daur ulang sampah tetrapak kemasan produk pada tiap tingkatan pelaku daur ulang berbeda-beda.Untuk tingkat pemulung, harga jual berkisar antara Rp.200-Rp.500/kg. Untuk tingkatan tukang loak, harga beli dan jual berkisar antara Rp.100-Rp.550/kg. Untuk tingkatan lapak harga jual dan beli berkisar antara Rp.100Rp.600/kg. Sedangkan untuk bandar kecil dan besar harga jual dan harga beli berkisar antara Rp.150-Rp.650/kg. Selama ini potensi daur ulang sampah tetrapak kemasan produk tidak dimanfaatkan secara optimal. Secara umum hambatan yang sering ditemui oleh para pelaku daur ulang baik dari tingkat pemulung sampai bandar besar adalah rendahnya harga jual sampah tetrapak kemasan produk serta sulitnya menemukan sampah tersebut. Kata Kunci: potensi ekonomi, sampah tetrapak kemasan produk, daur ulang Abstract : . Cunsumption activities raises the consumption side products such as waste or garbage which will then be discarded to the environment. If used, recycling of product packaging tetrapak waste can be optimalized and the economic value of product packaging tetrapak waste can be increased. Recycling activities begin from the lowest level until the highest level. The lower level of recycling performers can be found in a bigger number (31%) compared to the higher level recycling agent (28%, 17%, 12% and 12%). This condition is caused by the economic situation that has worsened in several years in recent times. Economic potention consisted in recycling product packaging tetrapak varies in value. For ”pemulung”, the price rate is about Rp.200,00Rp.500,00/kg. For ”tukang loak” the price rate is about Rp.100,00-Rp.550,00/kg. For ”lapak” the price rate is about Rp.100,00-Rp.600,00/kg, and for ”bandar kecil and Bandar besar” the price rate is about Rp.150,00-Rp.650,00/kg. We can conclude that the economic value in recycling product packaging tetrapak is quite promising. Generally, the obstruction met by the recycling performers are the low selling price of product packaging tetrapak waste and the difficulty of finding the waste. Key Words : economic potention, product packaging tetrapak waste, recycling
SW4-1
PENDAHULUAN Dewasa ini, volume sampah di Kota Bandung mengalami kenaikan. Berdasarkan data dari PD. Kebersihan pada tahun 2008, jumlah penduduk Kota Bandung 2.296.848 jiwa, maka volume sampah domestik Kota Bandung adalah sebesar 7500 m3 per hari. Jumlah sampah yang terangkut ke TPA oleh pihak PD Kebersihan hanya mencapai sekitar 60% saja. Hal ini dapat mengganggu kondisi kesehatan lingkungan karena sampah yang menumpuk dan tidak terangkut. Maka usaha daur ulang merupakan salah satu usaha strategis untuk mengatasi masalah ini. Pertambahan jumlah penduduk, perubahan pola konsumsi masyarakat, pertumbuhan ekonomi, perubahan pendapatan, urbanisasi, dan industrialisasi menyebabkan tingginya jumlah timbulan sampah dan menghasilkan sampah dengan jenis yang beragam (Narayana, 2009). Salah satu jenis sampah tersebut adalah sampah kemasan yang berbahaya dan/atau sulit diurai oleh proses alam seperti kaleng besi, kaleng aluminium, botol kaca, kemasan plastik, kemasan kertas, dan kemasan kertas aluminium (Hsu et al., 2002). Tidak adanya usaha pemisahan sampah mulai dari sumber merupakan salah satu hal yang menyebabkan menurunnya ataupun menghilangnya potensi daur ulang sampah. Dengan demikian, volume sampah yang masuk ke TPA tiap harinya menjadi besar. Pemisahan sampah biasanya dilakukan hanya oleh sektor informal seperti pemulung, tukang loak, lapak serta bandar. Mereka mengumpulkan sampah yang dianggap masih memiliki potensi daur ulang. Kegiatan ini hanya dapat mereduksi sampah dalam jumlah yang kurang signifikan karena kurangnya perhatian pihak pengelola kota. Terdapat potensi ekonomi yang cukup besar pada sektor usaha daur ulang kertas, plastik, logam, dll. Namun hingga saat ini belum banyak pihak yang mau berusaha dalam sektor ini. Dalam makalah ini akan disajikan potensi ekonomi yang belum dimanfaatkan secara optimal dari sampah, khususnya sampah kemasan yaitu sampah tetrapak kemasan produk di Kota Bandung ini beserta dengan beberapa hal lain yang berkenaan dengan sektor informal daur ulang sampah tetrapak kemasan produk ini. Daur ulang sampah merupakan salah satu strategi dalam upaya pengelolaan sampah kota berkelanjutan. Terdapat banyak alasan yang melatarbelakangi penerapan kegiatan daur ulang sampah baik di negara maju maupun negara berkembang (Bolaane, 2006). Daur ulang merupakan upaya kesadaran lingkungan dan merupakan salah satu metode yang paling efektif dalam kegiatan pengelolaan sampah (Nas et al., 2004). Berdasarkan hasil penelitian para ahli, kegiatan daur ulang dapat mereduksi jumlah total timbulan sampah yang ditimbun dalam tanah dan merupakan salah satu upaya konservasi sumber daya alam (Bolaane, 2006). Kegiatan daur ulang tidak terlepas dari peranan para pelaku daur ulang sektor informal. Pengelola sampah sektor informal umumnya berskala kecil, termasuk usaha padat karya, tidak memiliki hak ijin usaha, dan teknologi yang diaplikasikan pun masih sederhana (Wilson et al., 2006).
SW4-2
METODOLOGI Metode yang dilakukan dalam penyusunan makalah ini adalah dengan melakukan survey lapangan serta obervasi dan wawancara pada pelaku daur ulang di Kota Bandung. Data lapangan (survey), meliputi kegiatan pemulungan dan daur ulang sampah tetrapak kemasan produk (sektor informal) di tingkat pemulung hingga bandar besar. Survey ini dilakukan dalam periode bulan OktoberDesember 2009 di Kota Bandung, secara menyebar dan acak. Observasi dan wawancara dilakukan pada tiap pelaku daur ulang yang ditemui pada saat survey dengan tujuan melihat kondisi eksisting kegiatan daur ulang di Kota Bandung. Survey dilakukan dengan menggunakan daftar pertanyaan yang meliputi data-data sbb. : 1. Identitas responden 2. Kegiatan pengumpulan barang: • Lama operasi • Lokasi operasi • Sumber penerimaan barang • Kegiatan yang dilakukan terhadap barang daur ulang • Jenis barang yang diperjual-belikan • Tujuan penjualan barang • Periode penjualan dan pembelian barang • Besarnya massa perdagangan sampah tetrapak kemasan produk • Nilai ekonomi (harga) dalam usaha jual-beli Data sekunder yang dibutuhkan adalah data persebaran jumlah TPS dan TPA di Bandung (didapat dari PD. Kebersihan), serta jumlah pelaku daur ulang eksisting Kota Bandung (didapat dari beberapa laporan tugas akhir ITB). Perhitungan dan pengolahan data meliputi pengolahan data primer hasil survey pelaku daur ulang mulai dari tingkatan pemulung dan tukang loak hingga tingkat bandar besar untuk mengetahui potensi ekonomi sampah tetrapak kemasan produk yang belum termanfaatkan secara optimal di wilayah studi Kota Bandung.
HASIL DAN PEMBAHASAN Sampah tetrapak kemasan produk merupakan jenis sampah yang unik karena tidak dapat dikelompokkan menjadi sampah organik ataupun sampah nonorganik. Komposisi kertas (karton) yang mencapai 74% menyebabkan sampah ini sering dianggap sebagai organik. Namun, 26% sisanya merupakan bahan nonorganik yang dapat berdampak buruk bagi lingkungan. Selama ini para pelaku daur ulang jarang yang mengumpulkan sampah jenis ini dengan alasan harga jual kembali yang sangat murah bahkan terkadang tidak laku dan sulitnya menemukan sampah jenis ini di sumber. Mereka biasanya menggabungkan sampah tetrapak ke dalam sampah kertas khususnya duplex hanya untuk menambah massa dari duplex itu sendiri. Akan tetapi, jika dilihat dari komponen penyusun tetrapak itu sendiri, seharusnya penanganannya atau proses daur ulang tetrapak berbeda dengan jenis kertas lainnya, karena terdapat lapisan polietilen (21%) dan
SW4-3
aluminium (5%) di dalam kemasan tetrapak. Oleh karena itu, perlu penanganan khusus untuk sampah kemasan tetrapak tersebut. Proses daur ulang sampah tetrapak kemasan produk di Kota Bandung didominasi oleh sektor informal yang terdiri dari : Pemulung, Tukang loak, Lapak serta Bandar Kecil dan Bandar Besar. Seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1. Bandar Besar Bandar Kecil Lapak Tukang Loak Pemulung
Gambar 1 Tingkatan pelaku daur ulang di Kota Bandung Pemulung akan menjual barang daur ulang ke pihak tukang loak sebagai mata rantai berikutnya dalam perjalanan sampah untuk didaur ulang. Pihak tukang loak akan menjual barang pada pihak lapak. Pihak lapak akan menjual barangnya kepada pihak bandar kecil dan bandar besar. Bandar besar adalah penampung terakhir yang menjual barangnya ke pabrik atau industri daur ulang. Sumber penerimaan tiap pelaku bervariasi. Ada bandar besar yang hanya menerima pembelian dengan batasan berat minimal, namun ada juga yang menerima dari pelaku individu, loak maupun lapak. Barang-barang ini dapat diolah menjadi barang yang sama ataupun sebagai bahan baku primer ataupun sekunder untuk pembuatan barang lainnya. Tidak semua pelaku daur ulang membeli dan menjual sampah tetrapak kemasan produk. Dari 164 pelaku daur ulang yang disurvey yaitu terdiri dari 52 pemulung, 52 tukang loak, 30 lapak, dan 30 bandar, mayoritas mengumpulkan jenis sampah tetrapak ini, namun selebihnya memilih untuk mengumpulkan rongsokan lain selain kemasan tetrapak. Proporsi jumlah pelaku daur ulang mulai dari tingkat pemulung hingga tingkat bandar besar yang akan menyalurkan barang ke pihak pabrik cukup bervariasi. Berdasarkan hasil survey yang dilakukan dengan 164 sampel, diketahui bahwa perbandingan jumlah pelaku daur ulang yang beraktivitas mengumpulkan sampah tetrapak kemasan produk di Kota Bandung adalah pemulung sebanyak 38 pelaku (31%), tukang loak sebanyak 34 pelaku (28%), lapak sebanyak 21 pelaku (17%), bandar kecil sebanyak 14 pelaku (12%), dan bandar besar sebanyak 14 pelaku (12%). Dapat disimpulkan bahwa proporsi terbanyak pelaku daur ulang adalah pada pemulung dan tukang loak. Hal ini dapat dikarenakan oleh keadaan ekonomi yang memburuk pada beberapa tahun belakangan ini sehingga banyak orang memulai usahanya di bidang persampahan. Kondisi proporsi ini dapat dilihat pada Gambar 2 berikut ini.
SW4-4
Bandar besar (n=14) 12% Bandar kecil (n=14) 12%
Pemulung (n=38) Tukang Loak (n=34) Lapak (n=21) Bandar kecil (n=14)
Pemulung (n=38) 31% Tukang Loak (n=34) 28%
Lapak (n=21) 17%
Bandar besar (n=14)
Gambar 2 Persentase jumlah pelaku sektor informal formal yang mengumpulkan sampah tetrapak kemasan produk Usaha daur ulang sampah terutama sampah kertas di Kota Bandung menurut hasil survey sudah berjalan lebih dari 20 tahun. Pelaku daur ulang yang berumur lebih besar dari ari 20 tahun didominasi oleh bandar besar yang kemudian diikuti oleh lapak dan bandar kecil. Hal ini dikarenakan untuk membangun usaha daur ulang, makin tinggi tingkatan usahanya makin besar pula networking yang diperlukan. Banyaknya lapak yang baru mulai beroperasi ini bisa dikarenakan oleh keadaan ekonomi yang semakin tidak menentu belakangan ini dan tinggi tingginya tingkat pengangguran karena pemutusan hubungan kerja yang dilakukan oleh berbagai pihak. Berdasarkan sumber dari Dinas Tenaga Kerja Kota Bandung, jumlah umlah pengangguran akibat PHK bertambah sekitar 2000 orang tiap tahunnya. Sektor persampahan ini mungkin dianggap sebagai salah satu sektor yang cukup dapat diandalkan karena setiap hari masyarakat menghasilkan sampah dan sebagian besar sampah ini masih memiliki memiliki nilai jual yang cukup tinggi. Untuk memulai usaha ini tidak dibutuhkan modal yang terlalu besar dan perputaran uang yang terjadi didalamnya pun cukup cepat. Namun kegiatan pengumpulan sampah ini memerlukan pengetahuan yang cukup, khususnya mengenai jenis-jenis jenis sampah dan pemilahan sampah berdasarkan jenisnya. Pada Gambar 3 ditunjukkan lama operasi pada pelaku daur ulang yaitu lapak, bandar kecil dan bandar besar. 100% 1 90% 80%
4 1
3
2 2 2
1
Persentase
70% 60%
3
3
8
≥20 tahun
50%
15-19 19 tahun 10-14 14 tahun
40% 5
30%
0-4 4 tahun
7 20%
5-9 9 tahun
12
10%
2
0% Lapak
Bandar Kecil
Bandar Besar
Status
Gambar 3 Lama operasi pelaku daur ulang sampah tetrapak kemasan produk di Kota Bandung sampai tahun 2009 SW4-5
Pada pelaku daur ulang yang lain yaitu pemulung dan tukang loak waktu operasi mereka didasarkan pada jam kerja yang dijalani tiap hari. Tidak terdapat perbedaan yang mencolok antara keduanya. Walaupun disetiap disetiap rentang waktu jam kerja ini, jumlah pemulung lebih besar daripada tukang loak. Perbedaan jumlah ini disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya, pemulung dalam mencari barang daur ulang hanya bermodalkan karung sedangkan tukang loak bermodalkan gerobak yang memiliki daya tampung lebih besar. besar Lama operasi untuk masing masingmasing tingkatan pelaku daur ulang sampah tetrapak kemasan produk dapat dilihat pada Gambar 4. 2
> 12 jam
3 41
6-12 jam
44 6
0-5 jam
8 0
5
10
15
20
25
tukang loak
30
35
40
45
50
pemulung
Gambar 4 Jam kerja pemulung dan tukang loak Terdapat berbagai jenis kertas duplex, seperti tetrapak, karton warna, arsip warna, buku atau majalah, dan kertas pembungkus. pembungkus Kertas duplex dengan massa yang paling besar ditemukan pada lapak, bandar kecil, dan bandar bbesar adalah jenis karton warna. Hal ini dikarenakan sumber sum penerimaan sampah kertas yang berbeda-beda beda pada tiap tingkatan pelaku daur ulang di Kota Bandung. Tabel 1 dan Gambar 5 menunjukkan jumlah massa dan persentase kertas duplex yang dikumpulkan di tiap tingkat pelaku daur ulang. Tabel 1 Jumlah massa kertas duplex yang dikumpulkan Jumlah massa kertas duplex (kg/hari) Jenis kertas duplex Lapak Bandar kecil Bandar besar Tetrapak 127.8 241.25 728.5 Karton warna 1039.5 1167.1 3025 Arsip warna 224.1 184.9 1679.5 Buku/majalah 394.8 363.25 1093.5 lainnya 81.8 148.5 873.5 TOTAL 1868 2105 7400
buku/ majalah 21%
lainnya 4%
tetrapak 7% tetrapak karton warna arsip warna
arsip warna 12%
karton warna 56%
a. Lapak
SW4-6
buku/majalah lainnya
lainnya buku/ 7% majalah 17% arsip warna 9%
tetrapak 12%
lainnya 12% tetrapak
tetrapak
buku/ majalah 15%
karton warna
karton warna 55%
tetrapak 10% karton warna
arsip warna
arsip warna
buku/majalah
buku/majalah
lainnya
arsip warna 22%
b. Bandar Kecil
karton warna 41%
lainnya
c. Bandar Besar
Gambar 5 Persentase kertas duplex yang dikumpulkan Pelaku daur ulang khususnya pemulung dan tukang loak memiliki daerah kerjanya masing-masing. masing. Mereka tersebar diseluruh kecamatan Kota Bandung. Seringkali mereka mencari rongsokan sampai ke daerah yang jauh dari kecamatan tempat tinggalnya. Karena hal inilah sangat sulit mendapatkan data jumlah pemulung yang pasti di Kota Bandung. Berdasarkan asumsi jumlah pemulung 12 orang setiap TPS (Damanhuri, Damanhuri, 2005), maka dapat dilakukan perhitungan jumlah tetrapak dan kertas duplex yang dikumpulkan oleh pemulung. pemulung Sedangkan dangkan untuk tukang loak belum ada data pasti sampai saat ini. Maka Mak untuk makalah ini, digunakan jumlah tukang loak 5 orang tiap kecamatan saja. Terlihat pada Gambar 6 dan Gambar 7. Jumlah massa (Kg./hari)
jumlah tetrapak terambil jumlah duplex terambil 3500 3000 2500 2000 1500 1000 500 0
Kecamatan
Jumlah massa (Kg./hari)
Gambar 6 Komposisi duplex dan tetrapak yang diambil oleh pemulung tiap kecamatan jumlah tetrapak terambil jumlah duplex terambil
250 200 150 100 50 0
Kecamatan
Gambar 7 Komposisi duplex dan tetrapak yang diambil oleh tukang loak tiap kecamatan SW4-7
Tiap pelaku pasar daur ulang dari pemulung, tukang loak sampai bandar besar memiliki tingkatan harga pembelian dan penjualan yang berbeda-beda. Tingkatan harga ini jika dimulai dengan harga terendah sampai harga tertinggi yaitu pemulung, tukang loak, lapak, bandar kecil, dan bandar besar Untuk tingkat pemulung, harga beli tidak ada karena pemulung hanya mengambil sampah dan jarang membeli. Sedangkan tukang loak tidak mengambil sampah, melainkan membeli dari perumahan, kantor dan sebagainya. Agar lebih jelas, dapat dilihat pada Tabel 2 dan Tabel 3 yang menunjukkan kisaran dan ratarata harga beli dan jual untuk sampah tetrapak kemasan produk pada pelaku daur ulang di Kota Bandung. Tabel 2 Kisaran harga beli-jual sampah tetrapak kemasan produk Pelaku Daur Harga Beli Kertas Harga Jual Kertas No. Ulang Duplex Duplex 1 Pemulung Rp. 0,00 Rp. 200,00 – Rp. 500,00 2 Tukang Loak Rp. 100,00 – Rp. 300,00 Rp. 200,00 – Rp. 550,00 3 Lapak Rp. 100,00 – Rp. 400,00 Rp. 200,00 – Rp. 600,00 4 Bandar Kecil Rp. 150,00 – Rp. 400,00 Rp. 250,00 – Rp. 500,00 5 Bandar Besar Rp. 200,00 – Rp. 400,00 Rp. 300,00 – Rp. 650,00 Survey mewakili 164 pelaku daur ulang di Kota Bandung Tabel 3 Rata-rata harga beli-jual sampah tetrapak kemasan produk Pelaku Daur Harga Beli Kertas Harga Jual Kertas No. Ulang Duplex Duplex 1 Pemulung Rp. 0,00 Rp. 295,00 2 Tukang Loak Rp. 208,00 Rp. 303,00 3 Lapak Rp. 270,00 Rp. 398,00 4 Bandar Kecil Rp. 264,00 Rp. 380,00 5 Bandar Besar Rp. 296,00 Rp. 450,00 Survey mewakili 164 pelaku daur ulang di Kota Bandung Perbedaan tingkat harga beli-jual ini juga dapat dilihat pada Gambar 8 yaitu grafik yang menunjukkan tingkatan harga jual-beli antara bandar besar besar, bandar kecil, dan lapak. Pada grafik ini dapat diketahui bahwa secara umum tingkat harga beli-jual bandar besar adalah yang tertinggi, selanjutnya diikuti oleh bandar kecil dan lapak. Harga beli-jual kertas duplex pada umumnya memiliki tingkatan yang sesuai dengan trend tersebut, namun kondisi ini dapat mengalami perubahan, bergantung pada beberapa faktor, diantaranya lokasi usaha dan tujuan penjualan, kegiatan yang dilakukan oleh pelaku, dll. Harga beli-jual kertas duplex bisa juga berubah hingga harga beli-jual lapak melebihi harga jualbeli bandar. Hal ini bisa dikarenakan harga beli-jual sedang naik-turun. Jadi bisa saja ketika survey hari ke sekian, harga yang ada sudah berbeda, jadi jika harga beli-jual suatu lapak ketika survey melebihi harga jual-beli rata-rata bandar kecil, ini berarti keadaan ekonomi saat itu sedang baik sehingga semua harga rongsokan pada hari itu mengalami kenaikan disemua tingkat pasar pelaku daur ulang, tidak hanya lapak yang disurvey saat itu. Karena itulah, harga tiap rongsokan bisa berubah setiap harinya.
SW4-8
700
Harga Jual (Rp)
600 500
Lapak
400
Bandar kecil Bandar besar
300
Linear (Lapak) 200
Linear (Bandar kecil) Linear (Bandar besar)
100 0 0
100
200 300 Harga Beli (Rp)
400
500
Gambar 8 Fluktuasi harga beli-jual pelaku daur ulang sampah tetrapak kemasan produk di Kota Bandung Selisih nilai harga jual dan harga beli dapat dikonversi menjadi nilai keuntungan bagi pelaku daur ulang sampah tetrapak kemasan produk. Estimasi pendapatan setiap harinya didapat dengan mengalikan jumlah massa sampah kemasan tetrapak dengan keuntungan yang diperoleh untuk setiap kilogram sampah kemasan tetrapak. Dari setiap pelaku daur ulang, dapat dihitung keuntungan dan pendapatan yang didapatkan dari kegiatan pembelian dan penjualan sampah tetrapak kemasan produk. Keuntungan dan pendapatan pelaku daur ulang tergantung pada beberapa hal, antara lain waktu kerja/operasi, komposisi jenis sampah yang diperdagangkan serta status dari pelaku itu sendiri. Pemulung memiliki keuntungan yang paling besar, karena tidak memerlukan modal awal dalam pencarian barang rongsokan.Pendapatan harian pemulung dipengaruhi oleh jam kerja, ketersediaan sampah pada daerah yang mereka lewati, ada atau tidaknya acara (misalnya acara pernikahan, pesta). Berdasarkan hasil survey terhadap 52 pemulung di Kota Bandung, diketahui rata-rata penghasilan yang didapat dari penjualan sampah tetrapak kemasan produk adalah Rp.4.071,00 per hari, dan kisaran pendapatan ke-52 pemulung yang disurvey antara Rp.250,00–Rp.12.250,00 per hari. Gambar 9 memperlihatkan pendapatan yang didapat oleh pemulung tiap harinya berdasarkan hasil survey. Rp.7.501,00Rp.10.000,00 5%
Rp.0-Rp.2.500,00 > Rp.10.000,00 2%
Rp.2.501,00-Rp.5.000,00 Rp.5.001,00-Rp.7.500,00 Rp.7.501,00-Rp.10.000,00 > Rp.10.000,00
Rp.5.001,00Rp.7.500,00 19%
Rp.0Rp.2.500,00 33%
Rp.2.501,00Rp.5.000,00 41%
Gambar 9 Pendapatan harian pemulung
SW4-9
Pendapatan harian tukang loak sedikit berbeda dari pemulung. Tukang loak harus memiliki modal awal untuk membeli gerobak atau roda. Beberapa tukang loak yang ditemui mengaku bahwa mereka mempunyai pelanggan tetap dalam meyuplai barang. Biasanya pelanggan ini mau memberi keringanan pada tukang loak untuk membayar sebagian dari sampah yang dibeli, dengan catatan setelah tukang loak menjual barang dagangannya, ia melunasi sebagian pembayaran yang tertunda. Transaksi seperti ini hanya terjadi jika antar penjual barang dengan tukang loak telah terjalin kepercayaan. Berdasarkan hasil survey terhadap 52 tukang loak di Kota Bandung, diketahui rata-rata penghasilan yang didapat dari penjualan sampah tetrapak kemasan produk adalah Rp.3.309,00 per hari, dan kisaran pendapatan ke-52 tukang loak yang disurvey antara Rp.250,00–Rp.15.250,00 per hari. Gambar 10 memperlihatkan pendapatan yang didapat oleh tukang loak tiap harinya berdasarkan hasil survey.
Rp.8.001,00Rp.12.000,00 2%
Rp.12.001,00Rp.14.000,00 2%
Rp.0-Rp.4.000,00 > Rp.14.000,00 2%
Rp.4.001,00-Rp.8.000,00 Rp.8.001,00-Rp.12.000,00 Rp.12.001,00-Rp.14.000,00
Rp.4.001,00Rp.8.000,00 12%
> Rp.14.000,00
Rp.0-Rp.4.000,00 82%
Gambar 10 Pendapatan harian tukang loak Margin keuntungan untuk bandar lebih besar dibandingkan dengan margin keuntungan yang diperoleh pihak lapak. Perubahan harga ini ditentukan oleh pabrik. Faktor utama yang mempengaruhi fluktuasi harga rongsokan dari pabrik adalah faktor permintaan konsumen akan barang olahan pabrik tersebut. Jika permintaan konsumen sedang tinggi, pabrik memerlukan banyak rongsokan untuk diolah menjadi bahan baku yang selanjutnya diolah menjadi kertas baru untuk memenuhi kebutuhan pasar tersebut, sehingga harga rongsokan bisa naik. Sebaliknya, jika permintaan konsumen turun, pabrik jadi tidak memerlukan banyak rongsokan, sehingga harga turun. Kegiatan perdagangan kertas duplex daur ulang ini juga dipengaruhi oleh pembangunan ekonomi dalam negeri itu sendiri. Bila kegiatan pembangunan ekonomi menurun, maka produksi, pendapatan, tabungan, dan investasi akan turun. Kegiatan perusahaan berkurang. Arus barang dan jasa berkurang. Sehingga menyebabkan kegiatan perdagangan berkurang, termasuk kegiatan perdagangan bahan potensial daur ulang. Gambar 11 memperlihatkan pendapatan perhari pada lapak, bandar kecil, dan bandar besar berdasarkan hasil survey di Kota Bandung.
SW4-10
100%
0 2
0
90% 3
80%
5
70%
Persentase
60% 2 50%
0
>Rp.100.000,00 Rp.75.001,00-Rp.100.000,00 Rp.50.001,00-Rp.75.000,00
26
Rp.25.001,00-Rp.50.000,00
40%
Rp.0-Rp.25.000,00
10 30% 7 20%
10%
0%
lapak (n=21)
bandar kecil (n=14) bandar besar (n=14) Status
Gambar 11 Perbandingan tingkat pendapatan pelaku daur ulang sampah tetrapak kemasan produk di Kota Bandung
KESIMPULAN Berdasarkan hasil yang diperoleh dari observasi dan wawancara terhadap 164 pelaku daur ulang, maka disimpulkan bahwa Kota Bandung terdapat potensi ekonomi daur ulang untuk sektor informal. Aliran daur ulang sampah tetrapak kemasan produk yaitu pemulung-tukang loak-lapak-bandar kecil-bandar besar. Tetapi aliran ini tidak baku, artinya pemulung/tukang loak bisa langsung menjual rongsokannya ke bandar kecil/bandar besar. Proporsi terbanyak pelaku daur ulang adalah pada tingkat pemulung sebanyak 38 pelaku (31%), dan selanjutnya tukang loak sebanyak 34 pelaku (28%), lapak sebanyak 21 pelaku (17%), bandar kecil sebanyak 14 pelaku (12%), dan bandar besar sebanyak 14 pelaku (12%). Hal ini dapat dikarenakan oleh keadaan ekonomi yang memburuk sehingga banyak orang memulai usahanya sebagai pemulung dan tukang loak karena modal yang dibutuhkan cenderung lebih sedikit dibanding modal yang dibutuhkan untuk menjadi bandar besar. Bandar besar memiliki umur operasi yang lebih panjang dibanding bandar kecil ataupun lapak. Bandar besar memiliki tingkat pendapatan tertinggi. Hal ini disebabkan besarnya kuantitas jual-beli yang dilakukannya dan juga tingkat harga jual-beli yang lebih tinggi dibanding pelaku daur ulang pada tingkatan di bawahnya. Harga jual-beli sampah tetrapak kemasan produk di tiap pelaku daur ulang bisa berubah-ubah. Perubahan harga ini ditentukan oleh pabrik. Faktor utama yang mempengaruhi fluktuasi harga rongsokan dari pabrik adalah faktor permintaan konsumen akan barang olahan pabrik tersebut. Jika permintaan konsumen tinggi, harga rongsokan bisa naik. Sebaliknya, jika permintaan konsumen turun, pabrik jadi tidak memerlukan banyak rongsokan, sehingga harga turun. Faktor lainnya yang turut mempengaruhi tingkat harga ini adalah musim. SW4-11
UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian ini didanai oleh Program Hibah Kompetisi Institusi (PHKI) ITB.
DAFTAR PUSTAKA Bolaane, B., 2006. Constraints to Promoting People Centred Approaches in Recycling. Habitat International 30, 731–740. Damanhuri, E., dan Padmi, T., 2008. Pengelolaan Sampah. Bandung: Teknik Lingkungan, ITB. Faramita, Nadia. 2007. Analisa Material Sampah Berpotensi Daur Ulang di Kota Bandung. Bandung : Laporan Tugas Akhir, Program Studi Teknik Lingkungan, ITB Hsu, E., Kuo, C., 2002. Household Solid Waste Recycling Induced Production Values and Employment Opportunities in Taiwan. Journal of Minerals & Materials Characterization & Engineering, Vol. 1, No.2, 121-129. Narayana, T., 2009. Municipal Solid Waste Management in India: From Waste Disposal to Recovery of Resources. Journal of Waste Management 29, 1163–1166. Nas, Peter J. M., Jaffe, R., 2004. Informal Waste Management: Shifting The Focus from Problem to Potential. Environment, Development and Sustainability 6, 337–353 Tchobanoglous, G., Theisen, H., dan Vigil, Samuel A. (1993). Integrated Solid Waste Management. Engineering Principles and Management Issues. Singapore: McGraw-Hill Book Co. Wilson, David C., Velis, C., Cheeseman, C., 2006. Role of Informal Sector Recycling in Waste Management in Developing Countries. Habitat International 30, 797–808.
SW4-12