1
BAGAIMANA IMPLEMENTASI KURIKULUM 2013 PAUD? Oleh : Jamaluddin, S.Kom., M.Pd Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mengambil keputusan untuk mengubah (lagi) kurikulum pendidikan dari Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) menjadi Kurikulum 2013. KTSP yang mulai diterapkan tahun 2006 sebagai hasil evaluasi atas Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang diterapkan tahun 2004 secara resmi akan diganti pada tahun ajaran baru. Sebagai salah satu perangkat atau instrumen pendidikan, kurikulum bukan harga mati. Evaluasi dan perubahan atas kurikulum adalah suatu keniscayaan bahkan keharusan. Setiap kurikulum pasti dilakukan penggantian, perubahan, perbaikan, pengembangan, penyempurnaan, atau apa pun namanya. Kalau ada kurikulum yang tidak pernah dikembangkan sudah dapat dipastikan akan “ditinggal” oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Keberhasilan suatu kurikulum merupakan proses panjang, mulai dari kristalisasi berbagai gagasan dan konsep ideal tentang pendidikan, perumusan desain kurikulum, persiapan pendidik dan tenaga kependidikan, serta sarana dan prasarana, tata kelola pelaksanaan kurikulum termasuk pembelajaran dan penilaian pembelajaran dan kurikulum (Anita Lie: 2012). Perubahan dan pergantian Kurikulum dalam sejarah kebijakan pendidikan nasional di Indonesia sudah sering terjadi? Sejak Indonesia merdeka, sekitar 12 kali sistem pendidikan nasional Indonesia telah berubah-ubah kurikulum. Perubahan terakhir ialah dengan pemberlakuan Kurikulum 2013 untuk menggantikan Kurikulum 2006 yang lebih dikenal sebagai Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Perjalan perubahan Kurikulum pendidikan di Indonesia dapat disimak dalam Gambar 1 berikut.
2 Bagaimana dengan Kebijakan Kurikulum 2013 PAUD? Pada penerapan (implementasi Kurikulum 2013 PAUD) di lapangan, guru salah satunya harus menggunakan pendekatan ilmiah (scientific), karena pendekatan ini lebih efektif hasilnya dibandingkan pendekatan tradisional. Namun saat ini banyak dijumpai kenyataan bahwa sebagian besar guru-guru PAUD yang mengajar di lembaga PAUD belum akrab dengan pendekatan pembelajaran saintific di kelasnya masingmasing. Pengalaman belajar dalam Kurikulum sebelumnya, yang cenderung disipliner, sarat beban materi kognitif, Oleh Pengembang Kurikulum 2013 PAUD diyakini bahwa pembelajaran tematik dengan pendekatan saintific merupakan sebagai salah satu model pengajaran yang efektif (highly effective teaching model). Selain itu, pembelajaran ini dianggap mampu mewadahi dan menyentuh secara terpadu dimensi emosi, fisik, dan akademik (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2013). Dari latar belakang tersebut, pertanyaan yang relevan tentang kebijakan ini adalah: Mengapa perlu pembelajaran tematik dengan pendekatan saintific dalam Kurikulum 2013 PAUD Ini??? Esensi Pendekatan Ilmiah (Pendekatan Scientific) Pada hakikatnya, sebuah proses pembelajaran yang dilakukan di satuan pendidikan saat ini bisa kita dipadankan sebagai sebuah proses ilmiah. Oleh sebab itulah, dalam Kurikulum 2013 PAUD diamanatkan tentang apa sebenarnya esensi dari pendekatan saintifik pada kegiatan pembelajaran. Ada sebuah keyakinan bahwa pendekatan ilmiah merupakan sebentuk titian emas perkembangan dan pengembangan sikap (ranah afektif), keterampilan (ranah psikomotorik), dan pengetahuan (ranah kognitif) anak. Pada suatu pendekatan yang dilakukan atau proses kerja yang memenuhi kriteria ilmiah, para saintis lebih mementingkan penggunaan pelararan induktif (inductive reasoning) daripada penggunaan penalaran deduktif (deductive reasoning). Penalaran deduktif adalah bentuk penalaran yang mencoba melihat fenomena-fenomena umum untuk kemudian membuat sebuah simpulan yang khusus. Penalaran induktif (inductive reasoning) adalah kebalikannya. Penalaran induktif justru memandang fenomena-fenomena atau situasi-situasi yang khusus lalu berikutnya membuat sebuah simpulan secara keseluruhan (umum). Esensinya, pada penggunaan penalaran induktif, bukti-bukti khusus (spesifik) ditempatkan ke dalam suatu relasi (hubungan) gagasan/ide yang lebih luas (umum). Sedangkan metode ilmiah pada umumnya meletakkan fenomena-fenomena unik dengan kajian khusus/spesifik dan detail lalu setelah itu kemudian merumuskan sebuah simpulan yang bersifat umum.
3
Penalaran induktif dan penalaran deduktif
Kriteria Pendekatan Scientific (Pendekatan Ilmiah) Lalu bagaimanakah kriteria sebuah pendekatan pembelajaran sehingga dapat dikatakan sebagai pendekatan ilmiah atau pendekatan scientific? Berikut ini tujuah (7) kriteria sebuah pendekatan pembelajaran dapat dikatakan sebagai pembelajaran scientific, yaitu: 1. Materi pembelajaran berbasis pada fakta atau fenomena yang dapat dijelaskan dengan logika atau penalaran tertentu; bukan sebatas kira-kira, khayalan, legenda, atau dongeng semata. 2. Penjelasan guru, respon anak, dan interaksi edukatif guru-anak terbebas dari prasangka yang serta-merta, pemikiran subjektif, atau penalaran yang menyimpang dari alur berpikir logis. 3. Mendorong dan menginspirasi anak berpikir secara kritis, analistis, dan tepat dalam mengidentifikasi, memahami, memecahkan masalah, dan mengaplikasikan materi pembelajaran. 4. Mendorong dan menginspirasi anak mampu berpikir hipotetik dalam melihat perbedaan, kesamaan, dan tautan satu sama lain dari materi pembelajaran. 5. Mendorong dan menginspirasi anak mampu memahami, menerapkan, dan mengembangkan pola berpikir yang rasional dan objektif dalam merespon materi pembelajaran. 6. Berbasis pada konsep, teori, dan fakta empiris yang dapat dipertanggungjawabkan. 7. Tujuan pembelajaran dirumuskan secara sederhana dan jelas, namun menarik sistem penyajiannya. Kemudian, sebuah proses pembelajaran harus terhindar dari sifat-sifat atau nilai-nilai nonilmiah yang meliputi intuisi, penggunaan akal sehat yang keliru, prasangka, penemuan melalui coba-coba, dan asal berpikir kritis.
4 1. Intuisi. Intuisi sering dimaknai sebagai kecakapan praktis yang kemunculannya bersifat irasional dan individual. Intuisi juga bermakna kemampuan tingkat tinggi yang dimiliki oleh seseorang atas dasar pengalaman dan kecakapannya. Istilah ini sering juga dipahami sebagai penilaian terhadap sikap, pengetahuan, dan keterampilan secara cepat dan berjalan dengan sendirinya. Kemampuan intuitif itu biasanya didapat secara cepat tanpa melalui proses panjang dan tanpa disadari. Namun demikian, intuisi sama sekali menafikan dimensi alur pikir yang sistemik. 2. Akal sehat. Guru dan peserta didik harus menggunakan akal sehat selama proses pembelajaran, karena memang hal itu dapat menunjukan ranah sikap, keterampilan, dan pengetahuan yang benar. Namun demikian, jika guru dan peserta didik hanya semata-mata menggunakan akal sehat dapat pula menyesatkanmereka dalam proses dan pencapaian tujuan pembelajaran. 3. Prasangka. Sikap, keterampilan, dan pengetahuan yang diperoleh semata-mata atas dasar akal sehat (comon sense) umumnya sangat kuat dipandu kepentingan seseorang (guru, peserta didik, dan sejenisnya) yang menjadi pelakunya. Ketika akal sehat terlalu kuat didomplengi kepentingan pelakunya, seringkali mereka menjeneralisasi hal-hal khusus menjadi terlalu luas. Hal inilah yang menyebabkan penggunaan akal sehat berubah menjadi prasangka atau pemikiran skeptis. Berpikir skeptis atau prasangka itu memang penting, jika diolah secara baik. Sebaliknya akan berubah menjadi prasangka buruk atau sikap tidak percaya, jika diwarnai oleh kepentingan subjektif guru dan peserta didik. 4. Penemuan coba-coba. Tindakan atau aksi coba-coba seringkali melahirkan wujud atau temuan yang bermakna. Namun demikian, keterampilan dan pengetahuan yang ditemukan dengan caracoba-coba selalu bersifat tidak terkontrol, tidak memiliki kepastian, dan tidak bersistematika baku. Tentu saja, tindakan coba-coba itu ada manfaatnya bahkan mampu mendorong kreatifitas.Karena itu, kalau memang tindakan coba-coba ini akan dilakukan, harus diserta dengan pencatatan atas setiap tindakan, sampai dengan menemukan kepastian jawaban. Misalnya, seorang peserta didik mencoba meraba-raba tombol-tombol sebuah komputer laptop, tiba-tiba dia kaget komputer laptop itu menyala. Peserta didik pun melihat lambang tombol yang menyebabkan komputer laptop itu menyala dan mengulangi lagi tindakannya, hingga dia sampai pada kepastian jawaban atas tombol dengan lambang seperti apa yang bisa memastikan bahwa komputer laptop itu bisa menyala.
5 5. Berpikir kritis. Kamampuan berpikir kritis itu ada pada semua orang, khususnya mereka yang normal hingga jenius. Secara akademik diyakini bahwa pemikiran kritis itu umumnya dimiliki oleh orang yang bependidikan tinggi. Orang seperti ini biasanya pemikirannya dipercaya benar oleh banyak orang. Tentu saja hasil pemikirannya itu tidak semuanya benar, karena bukan berdasarkan hasil eksperimen yang valid dan reliabel karena pendapatnya itu hanya didasari atas pikiran yang logis semata.
Langkah-Langkah Pembelajaran pada Pendekatan Scientific (Pendekatan Ilmiah)
Pendekatan scientific dan 3 ranah yang disentuh Proses pembelajaran yanag mengimplementasikan pendekatan scientific akan menyentuh tiga ranah, yaitu: sikap (afektif), pengetahuan (kognitif), dan keterampilan (psikomotor). Dengan proses pembelajaran yang demikian maka diharapkan hasil belajar melahirkan anak didik yang produktif, kreatif, inovatif, dan afektif melalui penguatan sikap, keterampilan, dan pengetahuan yang terintegrasi. Perhatikan diagram berikut. Adapun penjelasan dari diagram pendekatan pembelajaran scientific (pendekatan ilmiah) dengan menyentuh ketiga ranah tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: Ranah sikap menggamit transformasi substansi atau materi ajar agar anak didik “tahu mengapa.”
Ranah keterampilan menggamit transformasi substansi atau materi ajar agar anak didik “tahu bagaimana”.
Ranah pengetahuan menggamit transformasi substansi atau materi ajar agar anak didik “tahu apa.”
Hasil akhirnya adalah peningkatan dan keseimbangan antara kemampuan untuk menjadi manusia yang baik (soft skills) dan manusia yang memiliki kecakapan dan pengetahuan untuk
6 hidup secara layak (hard skills) dari anak didik yang meliputi aspek kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan.
Kurikulum 2013 PAUD menekankan pada dimensi pedagogik modern dalam pembelajaran, yaitu menggunakan pendekatan ilmiah.
Pendekatan ilmiah (scientific appoach) dalam pembelajaran sebagaimana dimaksud meliputi mengamati, menanya, menalar, mencoba, membentuk jejaring untuk semua mata pelajaran.
Langkah-langkah pembelajaran scientific meliputi:
Langkah-langkah pendekatan scientific 1. Mengamati (Observing) Pada tahap ini anak mengamati objek dengan menggunakan panca inderanya (melihat, meraba, menghidu, mendengar, mengecap). 2. Menanya (Questioning) Pada kegiatan ini, anak dimotivasi untuk mengajukan pertanyaan tentang informasi dari apa yang diamati (dimulai dari pertanyaan bersifat fakta sampai ke pertanyaan yang bersifat analisa). Beberapa pertanyaan kunci yang dapat dipakai guru dalam mengembangkan potensi anak adalah: 5 W + 1 H (What, Why, Where, When, Who, dan How) Apa…...? Mengapa …….? Dimana.…..? Kapan…..? Siapa….? Bagaimana…? 3. Mengumpulkan informasi (Collecting) Kegiatan mengumpulkan informasi (Collecting): mengamati objek/kejadian/ aktivitas melakukan eksperimen bertanyapada teman/ guru/ orang dewasa melihat gambar pada buku yang berhubungan dengan objek. 4. Mengasosiasi(Associating) Kegiatan mengasosiasi (Associating): Mengolah informasi yang sudah dikumpulkan dari hasil pengamatan sebelumnya, dengan menghubungkan/mengaitkan informasi yang didapat.
7 5. Mengomunikasikan (Communicating) Kegiatan mengkomunikasikan (Communicating:) Anak menyampaikan hasil pengamatan, kesimpulan berdasarkan hasil analisis secara lisan dengan bahasa sederhana, atau secara tertulis berupa gambar / simbol.