BAB VII FAKTOR-FAKTOR PERUBAHAN PADA LANGGAN
7.1. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Kearifan Lokal (Langgan) pada Masyarakat Nelayan Di Desa Muara-Binuangeun Langgan sebagai suatu bentuk kearifan lokal masyarakat yang merupakan kebudayaan setempat, tumbuh dan berkembang pada kehidupan masyarakat, tentunya mengalami benturan-benturan dengan berbagai faktor perubahan yang dapat mengakibatkan terjadinya perubahan pada kearifan lokal itu sendiri. Adanya faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan kebudayaan masyarakat berimplikasi pada berubahnya Langgan yang merupakan kearifan lokal masyarakat. Akan tetapi dalam prakteknya, tidak semua faktor perubahan kebudayaan ini berpengaruh pada Langgan yang merupakan kearifan lokal masyarakat. Faktorfaktor penyebab perubahan ini tentu saja bersesuaian dengan karakteristik dari kearifan lokal yang berkembang pada masyarakat setempat. Kenyataan di lapangan menunjukan bahwa faktor perubahan (Lihat Pendekatan Konseptual, (faktor-faktor perubahan berdasarkan hasil penelitian sebelumnya atau juga yang terdapat pada buku pustaka)) ini, banyak yang tidak dapat merubah pola aplikasi Langgan sebagai kearifan lokal masyarakat. Karena kearifan lokal tersebut ternyata bersifat dinamis sehingga mampu menyesuaikan diri dengan berbagai perubahan yang terjadi pada lingkungannya atau pada masyarakat setempat, yang merupakan tempat tumbuh dan berkembangnya kearifan lokal tersebut. Hal ini terbukti dari masih terus terjaga dan adanya Langgan sampai saat ini. Bahkan Langgan dalam perkembangannya terus bertambah besar dan menguasai pasar
132
ikan dan sosial-ekonomi masyarakat di tingkat lokal. VRP (16 th) pelajar SMA berpendapat bahwa : ”Langgan yang terdapat di sekitar desa Muara sampai desa Cikiruh wetan jumlahnya semakin hari, semakin bertambah. Banyak orang yang memiliki modal, menjadi Langgan di desa ini dan anehnya banyak pula masyarakat terutama nelayan yang meminjam modal pada Langgan tersebut.” Berikut ini adalah faktor-faktor yang dapat mengakibatkan perubahan kearifan lokal Langgan berdasarkan hasil studi di lapangan.
7.1.1. Interfensi Ulama melalui Agama Islam Faham agama yang mengharamkan hal-hal mistik di luar ketentuan agama seperti keyakinan pada adanya penunggu pulau Tinjil di tengah laut yaitu Nyi Neneng, kepercayaan terhadap buaya putih yang bersemayam di bawah jembatan yang menghubungkan antara desa Muara dengan Cikiruh wetan, faham agama yang melarang / mengharamkan laut dan di haramkannya Langgan sebagai suatu bentuk “riba”, ternyata sedikit banyak telah membuat kebudayaan masyarakat salah satunya adalah kearifan lokal masyarakat menunjukan adanya perubahan. Langgan di pandang sebagai suatu bentuk lain dari praktek Rentenir yang biasanya memberikan pinjaman yang menuntut bunga yang besar dari pinjaman tersebut. Inilah yang menyebabkan Langgan di pandang sebagai suatu riba oleh para ulama. Sebenarnya, praktek yang dilakukan oleh Langgan jauh lebih merugikan jika di bandingkan dengan “Rentenir”. Selain menuntut bunga yang besar dari materi yang dipinjamkan, Langgan juga menuntut agar nelayan yang meminjam modal padanya agar menjual hasil tangkapannya pada Langgan dengan harga yang ditetapkan olehnya dan biasanya harga tersebut relatif murah dari pada harga yang seharusnya diterima oleh nelayan.
133
“Langgan itu mirip rentenir,hanya bedanya rentenir lebih kasar sedangkan Langgan agak lunak sehingga nelayan tidak sadar kalau mereka sebenarnya berurusan dengan rentenir (VRP (16 th).” Faham ulama yang mengharamkan upacara ruwatan laut dan keyakinan pada hal-hal tertentu seperti keyakinan pada Nyi Neneng penunggu laut, buaya putih yang ada di bawah jembatan Binuangeun dan lain lain, ternyata sempat menghentikan kepercayaan / keyakinan masyarakat tersebut sebagai suatu adat dan kebudayaan masyarakat setempat. Upacara ruwatan ini sempat terhenti karena dilarang oleh para ulama. Kemudian pada saat musim paceklik tiba dan berkepanjangan, masyarakat mulai percaya bahwa itu adalah kutukan / peringatan bagi mereka yang telah meninggalkan upacara ruwatan. Masyarakat yakin bahwa paceklik yang menimpa mereka akibat mereka lalay memenuhi permintaan penunggu laut yang menguasai laut tempat masyarakat mencari nafkah. Kembalinya keyakinan ini telah membangkitkan kembali budaya masyarakat nelayan di desa tersebut. Upacara ruwatan dan keyakinan terhadap hal-hal gaib kembali tumbuh kembali. Faham ulama ini juga ternyata mempengaruhi Langgan secara tidak langsung. Langgan yang merupakan kearifan lokal masyarakat yang melekat pada budaya masyarakat setempat tentu saja ikut mengalami perubahan. Akan tetapi pengaruh tersebut tidak cukup besar mengubah Langgan. Hal ini di sebabkan image yang di bangun oleh Langgan begitu kuat. Masyarakat menganggap bahwa Langgan adalah penolong masyarakat dan hubungan / kerjasama yang di bangun di pandang sebagai hubungan yang saling menguntungkan. Inilah yang menyebabkan faham agama sulit menembus dan merubah mekanisme yang dijalankan oleh Langgan. Ditambah lagi orang-orang yang terlibat dalam Langgan
134
bahkan menjadi Langgan adalah orang-orang yang secara agama di pandang baik karena menyandang gelar / status sebagai Haji dan sebagainya.
Gambar 7.1. Mesjid tempat berkumpulnya para ulama.
7.1.2. Interfensi kebijakan pemerintah melalui TPI Tempat Pelelangan Ikan disingkat menjadi TPI, adalah tempat berlangsungnya aktivitas atau transaksi jual beli ikan yang umumnya ada di daerah sekitar pantai. Disini terdapat orang-orang yang melakukan aktivitas jual beli ikan hasil tangkapan nelayan di laut. Tempat Pelelangan Ikan pada awalnya dikelola oleh Koperasi Unit Desa (KUD), akan tetapi tidak berlangsung lama dan pada akhirnya bangkrut. Untuk melanjutkan kembali fungsi TPI, maka TPI diserahkan kembali pada Dinas Perikanan. Sama seperti saat dikelola oleh KUD, pengelolaan oleh Dinas Perikanan secara langsung ternyata juga tidak berhasil dan bangkrut. Akhirnya pengelolaan TPI diserahkan pada tokoh masyarakat Desa Muara. Saat ini, TPI dipegang oleh Bapak Bai, seorang tokoh masyarakat desa. Dari satu orang ini, kemudian merekrut beberapa orang untuk mengelola TPI. Penanggungjawab TPI saat ini, dipegang oleh Bapak Bai, dan bagian administrasi dipegang oleh H. Endang yang dibantu oleh Bapak Yogi dan beberapa karyawan yang membantu dalam proses kerja TPI.
135
Tempat Pelelangan Ikan (TPI) ternyata memberi dampak yang cukup besar dalam merubah pola operasi yang dilakukan oleh Langgan. Langgan yang semula menerima langsung hasil tangkapan nelayan dari nelayan, kini harus melalui administrasi TPI terlebih dahulu. Keuntungan yang besar pun kini mulai di pengaruhi oleh kebijakan pemerintah melalui TPI. Ikan yang di terima oleh Langgan, terlebih dahulu di potong beberapa persen oleh pemerintah melalui TPI. Pemotongan tersebut sebagian besar merupakan simpanan nelayan yang dapat di ambil sewaktu-waktu oleh nelayan yang bersangkutan. Tugas TPI, selain melakukan pencatatan hasil tangkapan dan memotong beberapa persen untuk tabungan nelayan serta untuk pendapatan daerah, TPI juga melakukan standarisasi hasil tangkapan nelayan. Standarisasi ini sangat membantu nelayan karena dengan standarisasi yang di lakukan TPI, Langgan tidak dapat memberikan harga seenaknya pada hasil tangkapan nelayan. Nelayan dapat memperoleh harga yang sesuai dari hasil yang mereka peroleh. Berdasarkan hal ini, TPI telah merubah / mencampuri kebijakan yang di terapkan oleh Langgan. TPI juga telah dapat mengisi alur mekanisme kerja Langgan dalam sistem kerja Langgan yang ada di Desa Muara Binuangeun. Disatu sisi, TPI telah dapat membantu nelayan dalam memperoleh haknya, tetapi disisi lain TPI telah mencampuri mekanisme kerja yang diterapkan oleh Langgan.
7.1.3. Kemiskinan dan perpindahan profesi yang terjadi pada masyarakat Berdasarkan data dari pemerintah desa setempat, sebagian besar mata pencaharian penduduk desa Muara adalah sebagai nelayan. Mata pencaharian sebagai nelayan ini ternyata membuat masyarakat menjadi miskin. Pendapatan
136
bersih masyarakat perhari rata-rata sekitar Rp. 15.000,- sampai Rp. 25.000,- pada saat musim panen ikan. Sementara pada saat musim paceklik, banyak masyarakat yang sama sekali tidak berpendapatan. Hal ini terjadi, karena sebenarnya sebagian besar penduduk tidak memiliki modal untuk beraktifitas atau bekerja dalam mencari ikan di laut. Sehingga akhirnya mereka meminjam modal pada Langgan.
Gambar 7.2. Potret kehidupan masyarakat. Disisi lain, mulai bertambahnya penduduk, sementara mata pencaharian sebagai nelayan tidak lagi menjanjikan, maka banyak masyarakat beralih profesi dan meninggalkan pekerjaan sebagai nelayan. Misalnya saja menjadi pengusaha kecil sekala rumah tangga, mengolah ikan hasil tangkapan atau menjadi buruh tani (berdasarkan data desa Muara pada tahun 2009). Mata pencaharian baru inilah yang kemudian menjadi alternatif baru untuk nelayan. Implikasinya, banyak nelayan yang keluar dari sistem Langgan. Sementara nelayan kecil yang tidak mampu keluar dari sistem yang diterapkan Langgan, tetap menjadi nelayan atau menggunakan modal yang diperoleh dari Langgan untuk usaha sampingan.
137
Hal inilah yang kemudian menjadi penyebab perubahan pada Langgan. Langgan yang semula dikhususkan hanya untuk masyarakat yang bermata pencaharian sebagai nelayan, ternyata secara diam-diam banyak nelayan yang mencoba usaha kecil-kecilan di luar mata pencahariannya sebagai nelayan. Ini jugalah yang menyebabkan banyak Langgan yang gulung tikar. Penyebab Langgan “gulung tikar” selain karena hal tadi, adalah karena banyaknya masyarakat yang tidak mampu melunasi utang-utangnya pada Langgan. Disisi lain, karena masyarakat sudah mulai sadar bahwa praktek Langgan ternyata telah banyak merugikan masyarakat dan jika terus berurusan dengan Langgan, masyarakat sadar akan terus mengalami masalah kemiskinan, maka masyarakat mulai untuk keluar dari sistem Langgan. Kemudian, agar nelayan tetap meminjam modal pada Langgan, akhirnya Langgan menerapkan sistem persentase (bukan lagi membagi hasil tangkapan menjadi empat bagian, dimana nelayan hanya memperoleh satu bagian). Secara garis besar, inilah yang menyebabkan adanya perubahan (perubahan mekanisme pengambilan keuntungan oleh Langgan menjadi sistem persentase) pada Langgan.
7.2. Faktor-faktor Penyebab Nelayan Terlibat Langgan Nelayan di desa Muara, tergolong sebagai nelayan miskin. Penghasilan yang diterima nelayan setiap harinya rata-rata Rp. 15.000,- sampai Rp. 25.000,pada musim ikan sedang melimpah. Sementara jika musim paceklik tiba, penghasilan tersebut berada di bawah rata-rata bahkan tidak berpenghasilan sama sekali. Sebenarnya keterlibatan nelayan dalam Langgan, dipengaruhi oleh berbagai faktor. Akan tetapi berbagai faktor ini mengerucut pada kemiskinan yang
138
terjadi pada nelayan. Kemiskinan inilah yang menggiring masyarakat untuk terlibat dalam Langgan. Faktor-faktor tersebut diantaranya adalah :
7.2.1. Kondisi Alam Nelayan desa Muara-Binuangeun mengenal adanya dua musim yang mempengaruhi aktivitas mereka saat mencari ikan di laut. Dua musim tersebut diantaranya adalah musim angin selatan dan musim angin barat. Musim angin selatan biasanya disebut dengan musim paceklik atau musim paila. Pada musim ini, intensitas tiupan angin sangat kencang dan ketinggian ombak sangat tinggi. Jarak tempat melaut pun jadi lebih dekat bahkan banyak nelayan yang memutuskan untuk tidak pergi melaut. Hal ini berakibat pada menurunnya pendapatan nelayan. Musim paceklik juga biasanya terjadi apabila pada malam hari terjadi terang bulan. Terang bulan dapat mengakibatkan ikan tidak berkumpul pada penerangan yang dilakukan oleh nelayan untuk memancing ikan agar berkumpul seperti yang dilakukan oleh nelayan Kursin atau Bagang. Akibatnya pendapatan nelayan menjadi menurun. Sedangkan musim angin barat adalah musim yang merupakan berkah bagi para nelayan. Musim angin barat biasanya disebut sebagai musim panen ikan. Pada musim ini, kondisi alam sangat memungkinkan bagi nelayan untuk melaut. Intensitas tiupan angin dan ketinggian ombak pun relatif stabil sehingga memungkinkan bagi nelayan untuk beraktivitas di laut dalam menangkap ikan. Selain musim barat, musim tidak terang bulan juga merupakan anugerah bagi nelayan. Karena kondisi alam yang tidak terang bulan dan tidak hujan, memungkinkan ikan berkumpul pada penerangan yang di lakukan oleh nelayan
139
untuk menjebak ikan di laut. Seorang mantan nelayan (KYH, 59 Tahun) menuturkan bahwa : “ Nelayan penghasilana jadi along (melimpah / banyak) lamun usim barat atawa usim teu caang bulan. Tapi mun caang bulan mah atawa usim hujan gede, biasana tara menang lauk jeung jarang nelayan nu ka laut da laukna geh sieunen kana guludug jadi nyaramuni na karang. ( Penghasilan yang diperoleh nelayan menjadi melimpah / banyak pada saat musim barat atau musim tidak terang bulan. Tetapi apabila musim terang bulan atau musim hujan, biasanya nelayan tidak mendapat ikan dan jarang nelayan yang pergi melaut karena ikannya juga takut pada petir dan bersembunyi di bawah karang)”.
7.2.2. Budaya Masyarakat yang Konsumtif Kebiasaan yang terjadi pada nelayan di desa Muara, ternyata hampir sama dengan kebiasaan nelayan lain pada umumnya. Sikap pemborosan dan membeli barang-barang yang disukai pada musim barat (musim panen ikan), merupakan salah satu karakteristik dari masyarakat setempat. Sangat jarang sekali masyarakat yang menyisihkan uangnya untuk kebutuhan pada musim paceklik atau sebagai cadangan untuk memenuhi kebutuhan yang sifatnya mendesak. Barang-barang yang dibeli ini pada umumnya adalah barang-barang elektronika seperti TV, DVD, dan sebagainya serta pakaian yang mereka sukai. Jika musim paila tiba, barang-barang tersebut dijual kembali dengan harga yang jauh lebih murah dari harga yang layak diterimanya. Hal ini dimanfaatkan oleh masyarakat diluar desa maupun Langgan yang akan meminjamkan uang pada nelayan. Seorang narasumber mengatakan bahwa budaya konsumtif pada masyarakat nelayan desa Muara telah menggiring mereka untuk terlibat dalam Langgan. Ironisnya, kondisi seperti ini ternyata dimanfaatkan bahkan dibiarkan saja oleh para Langgan, yang
140
implikasinya nelayan terjebak kedalam sistem yang di bangun oleh Langgan. Fakta yang menunjukan kondisi ini adalah pernyataan dari nara sumber bahwa : “ Lamun hayang barang nu marurah, usim paila ulin ka Desa Muara. Pasti loba nu ngajual barang-barang elektronik atawa kabutuhan rumah tangga nu harga na marurah. Sanajan barang urut, tapi bararagus. Dari pada meli katoko nu harga na mahal mah mending meli ka nelayan nubutuh duit bae, (Jika ingin mendapatkan barang-barang elektronik bekas tapi bagus dengan harga yang relatif lebih murah, maka datang saja ke desa Muara pada musim paila / paceklik. Pasti akan banyak masyarakat nelayan yang menjual barang-barang elektronik atau kebutuhan rumah tangga yang sangat murah dan kita tidak perlu repot-repot beli ke toko dengan harga lebih mahal, lebih baik membeli barang tersebut dari nelayan yang sedang butuh uang segera), (RWN).” . Sikap atau budaya konsumtif ini juga sering menimbulkan tindakan kriminalitas pada musim paila. Hal ini terjadi karena hasil penjualan barangbarang tadi, tidak dapat mencukupi kebutuhan nelayan sementara musim paila masih berlangsung lama. Pada saat itulah sering terjadi pencurian, perampokan dan tindakan kriminalitas lainnya. Hal ini dilakukan semata-mata untuk menyambung hidup mereka. Sementara umumnya masyarakat tidak memiliki mata pencaharian lain selain sebagai nelayan. Akhirnya, jalan satu-satunya untuk menyambung hidup dan agar dapat bertahan, nelayan terpaksa banyak yang terlibat dalam Langgan.
7.2.3. Sikap Ketergantungan Nelayan Pada Alam Sebagian besar masyarakat pesisir di desa Muara-Binuangeun bermata pencaharian
sebagai
nelayan.
Mata
pencaharian
sebagai
nelayan
ini
mengakibatkan masyarakat nelayan menjadi bergantung pada alam. Profesi sebagai nelayan dipilih karena mata pencaharian ini di pandang yang paling
141
potensial untuk dilakukan. Di sisi lain, kondisi geografis alamnya memungkinkan masyarakat untuk bermata pencaharian sebagai nelayan. Kemudian, mata pencaharian sebagai nelayan ini dipilih karena sebenarnya masyarakat tidak memiliki kemampuan lain selain berprofesi sebagai nelayan. Aktivitas nelayan dalam mencari ikan dilaut sangat ditentukan oleh kondisi alam. Di desa Muara dikenal ada dua musim dalam mencari ikan, yaitu musim angin barat dan musim angin selatan. Musim angin barat ini merupakan musim nelayan pergi melaut. Pada musim ini ikan relatif sangat banyak. Sedangkan pada musim angin selatan atau disebut juga musim paceklik / paila, nelayan banyak yang tidak melaut. Karena selain tidak ada ikan, kondisi alam juga sangat berbahaya. Pada musim paila ini intensitas tiupan angin dan ombak tidak stabil, bahkan dapat menimbulkan terjadinya baday. Inilah yang menyebabkan nelayan tidak pergi melaut karena kondisi alam. Ini pulalah yang membuktikan bahwa nelayan sangat bergantung pada alam dalam mencari nafkah. Kemudian seiring dengan perkembangan zaman, dimana jumlah penduduk mulai bertambah banyak dan kebutuhan mulai meningkat sementara sumberdaya di laut yang bisa dimanfaatkan sangat terbatas bahkan tidak potensial lagi, akhirnya masyarakat sering kesulitan memenuhi kebutuhan hidupnya. Kehidupan sebagai nelayan yang selalu bergantung dan dikendalikan oleh alam tidak lagi menjanjikan secara ekonomi. Sementara ketergantungan ini sudah membudaya dan sulit untuk dilepaskan, akhirnya terjadi kemiskinan pada nelayan.
142
7.2.4. Program Pemerintah yang Tidak Mendukung Nelayan dan Tidak Tepat Sasaran Pemerintah
dengan
berbagai
kebijakannya
berusaha
untuk
mensejahterakan masyarakat. Akan tetapi, realita di lapangan menunjukan kebijakan ini justru tidak tepat sasaran bahkan dinilai cenderung tidak memihak masyarakat nelayan sebagai masyarakat sasaran. Hal ini terbukti dari lembaga keuangan atau koperasi yang merupakan kebijakan pemerintah untuk membantu masyarakat, ternyata tidak dapat mengakomodir kebutuhan nelayan. Selain itu, adanya Tempat Pelelangan Ikan (TPI), di satu sisi memang menguntungkan bagi nelayan karena membantu dalam melakukan pendataan dan standarisasi hasil tangkapan sehingga akan mengurangi tindakan kecurangan oleh pihak yang akan membeli hasil tangkapan nelayan. Akan tetapi, di sisi lain, TPI melakukan pemotongan beberapa persen sebagai balas jasa dan sebagai simpanan nelayan yang katanya akan dikembalikan pada nelayan saat nelayan membutuhkannya. Kurang begitu jelas simpanan itu dialokasikan. Buktinya pada musim paceklik, tidak sedikit nelayan yang kesulitan secara ekonomi. Sebenarnya, ada atau tidak adanya TPI, tidak dapat memberi perubahan yang besar kearah yang lebih baik pada nelayan. Pemotongan hasil tangkapan oleh TPI, dinilai memberatkan nelayan. Hal ini disebabkan karena mengurangi pendapatan nelayan setiap harinya. Pendapatan yang diperoleh nelayan, selain dipotong oleh TPI, juga dipotong oleh Langgan yang memberi pinjaman modal pada nelayan. Kebijakan lain yang dinilai merugikan nelayan adalah naiknya harga Bahan Bakar Minyak. Bahan Bakar Minyak (BBM) merupakan kebutuhan pokok nelayan untuk melaut. Pada saat harga BBM naik dipasaran, sementara tidak di
143
imbangi dengan naiknya harga hasil tangkapan ikan nelayan, menyebabkan pendapatan nelayan menjadi berkurang. Beberapa nara sumber menyatakan bahwa kelangkaan dan kenaikan harga BBM untuk melaut terkadang membuat nelayan tidak pergi melaut. Sehingga implikasinya adalah pendapatan nelayan menjadi tidak ada. Kondisi ini dimanfaatkan pula oleh para Langgan. Banyak Langgan yang kemudian menjual BBM jauh lebih mahal dari pada harga di pasaran. BBM ini kemudian menjadi salah satu media untuk menjerat nelayan terlibat dalam sistem yang di bangun oleh Langgan. Ini membuktikan bahwa beberapa kebijakan yang di buat pemerintah ternyata tidak mampu memberi perubahan atau membantu masyarakat nelayan.
7.2.5. Rendahnya Tingkat Pendidikan Nelayan Tingkat pendidikan masyarakat nelayan di desa Muara umumnya masih rendah. Dari jumlah keseluruhan masyarakat yang + 10.196 (Data desa Tahun 2009), penduduk yang hanya tamat SD / Sederajat sekitar + 952 jiwa laki-laki dan + 640 jiwa perempuan. Sedangkan yang dapat melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi hanya sekitar 50% dari jumlah yang lulus SD / Sederajat. Rendahnya tingkat pendidikan ini disebabkan oleh ketidakmampuan masyarakat untuk menyekolahkan anak-anaknya. Akhirnya alternatif yang di ambil adalah memasukan anak-anaknya ke pesantren atau membantu orang tuanya bekerja. Di sisi lain, kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan sangatlah rendah. Kondisi ini menjadi penyebab masyarakat nelayan menjadi kurang ilmu pengetahuannya sehingga tidak heran jika terus di bodohi oleh orang-orang disekitarnya. Situasi ini kemudian dimanfaatkan oleh orang-orang tertentu.
144
Implikasinya nelayan banyak dirugikan. Misalnya saja, kondisi ini banyak di manfaatkan oleh Langgan pada saat membuat kesepakatan / perjanjian peminjaman modal. Nelayan banyak dirugikan oleh kesepakatan dalam peminjaman modal pada Langgan. Perjanjian tersebut di nilai menguntungkan secara sepihak dan merugikan nelayan. Inilah yang kemudian menjadi penyebab nelayan terjerat utang pada Langgan.
145