BAB VI PEMBAHASAN 6.1 Karakteristik Subjek Penelitian Deskripsi sampel pada penelitian ini terdiri atas kelompok Konvensional memiliki rerata usia (62,3 ± 5,795) pada kelompok Kinesiotaping (65,1 ± 6,691), dan pada kelompok MRP (62,6 ± 6,168). Deskripsi tersebut menunjukkan bahwa Cerebro Vascular Accident memiliki keterkaitan resiko usia pada kategori tua. Faktor resiko kejadian stroke meningkat seiring bertambahnya usia, dan menjadi dua kali lipat setelah usia 55 tahun. Setiap tahun 28% terserang stroke dengan usia dibawah 65 tahun, dan 72% pasien stroke berusia lebih dari 65 tahun (American Hearth Assosiation, 2010). Mengingat bahwa sebagian besar penderita stroke adalah orang dewasa yang
lebih
tua
(American Hearth Assosiation,
2010),
penting
untuk
mempertimbangkan efek penuaan pada plastisitas dalam otak. Dalam penelitian ini karakteristik usia sampel memiliki rentang 55 hingga 73 tahun dimana usia merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi plastisitas dimana Fathi et al., (2010) menyampaikan bahwa plastisitas di korteks motorik berkurang pada lansia (usia 60-79) tapi tidak di paruh baya (usia 40 - 59) dewasa. Berdasarkan deskripsi sampel menurut jenis kelamin menunjukkan bahwa sampel penelitian Kelompok Konvensional jenis kelamin laki-laki sebanyak 5 orang dan perempuan sebanyak 5 orang. Kelompok Kinesiotaping jenis kelamin laki-laki sebanyak 6 orang dan perempuan sebanyak 4 orang. Kelompok MRP jenis kelamin laki-laki sebanyak 6 orang dan perempuan sebanyak 4 orang.
71
72
Hasil tersebut didukung oleh pernyataan Junaidi (2008) dan Pinzon et al. (2010) bahwa laki-laki cenderung lebih tinggi untuk terkena stroke dibandingkan perempuan, dengan perbandingan 1,3:1. Tetapi dalam penelitian ini jenis kelamin bukanlah salah satu pertimbangan yang mempengaruhi aspek penilaian dalam penelitian.
6.2 Metode Konvensional Meningkatkan Pola Jalan Pasien Post stroke Rerata skor WGS pada kelompok perlakuan metode Konvensional, mengalami penurunan dari rerata sebelum dan setelah perlakuan. Pengujian beda rerata pola jalan sebelum dan setelah intervensi didapatkan nilai p = 0,000 yang berarti ada perbedaan bermakna rata-rata nilai pola jalan sebelum dan setelah intervensi pada metode Konvensional. Hal tersebut menunjukkan bahwa intervensi
yang diberikan kepada kelompok
Konvensional
memberikan
peningkatan pola jalan yang bermakna pada pasien post stroke di Klinik Ontoseno Malang. Defisit neurologis menyebabkan hilangnya kekuatan pada tungkai dan gangguan keseimbangan dimana keduanya memiliki peran penting dalam kemampuan berjalan (Collen and Wade,1990). Untuk meningkatkan gait function pasien post stroke, fokus utamanya adalah meningkatkan kekuatan kekuatan otot, dan mengurangi tonus otot (spastisitas) lower extremity (Pang et al., 2005). Menurut Sullivan (2007) terapi latihan adalah metode yang paling umum digunakan untuk mengatasi masalah mobilitas fisik setelah kerusakan otak. Metode konvensional yang dilakukan adalah memberikan latihan berupa ROM
73
exercise dengan teknik free active dan active assisted. Beberapa teknik latihan ini bertujuan untuk meningkatkan aktivitas motorik, sensitivitas reseptor dan juga proses pembelajaran motorik. Latihan tersebut dilakukan secara berkala dan berkesinambungan, supaya derajat kekuatan otot pada penderita stroke dapat meningkat dan menunjukkan fungsi yang kembali optimal (Irfan, 2010) Makin sering dilakukan terapi latihan atau semakin besar intensitas waktu latihan maka semakin besar pula perbaikan kemampuan motorik pasien stroke, karena aktivasi jaringan saraf bersifat use-dependent, semakin sering digunakan semakin kuat dan semakin meningkat jumlah sinaps yang terbentuk (BrunoPetrina, 2007). Latihan gerak secara berulang membuat konsentrasi untuk melakukan gerakan berulang dengan kualitas sebaik mungkin. Dengan gerakan berulang dan terfokus dapat membangun koneksi baru antar neuron yang masih aktif (Levine, 2009) Sesuai dengan penelitian Milot et al.,(2013) dilakukan pada 30 pasien post stroke dengan intensitas latihan tiga kali dalam seminggu, selama enam minggu. Dalam penelitian ini dilaporkan bahwa terdapat peningkatan kekuatan pada hip dan ankle setelah latihan dan menunjukkan peningkatan kecepatan pola jalan yang signifikan. Hal ini sesuai dengan penelitian Yulinda (2009), mengatakan bahwa pasien post stroke mendapatkan peningkatan yang signifikan pada perbaikan
74
kekuatan otot dan status fungsional pasien post stroke ischemic, setelah dilakukan terapi latihan selama empat minggu. Hal serupa juga disampaikan Irdawati, (2008), dengan memberikan perlakuan melatih ROM terhadap pasien post stroke selama 12 hari didapatkan hasil bahwa kekuatan otot setelah terapi latihan jauh lebih tinggi daripada sebelum terapi. Hal di atas sesuai dengan penelitian yang dilakukan Wildani et al. (2009), dimana dilakukan studi observasional di RSI Sultan Agung Semarang selama 1 tahun didapatkan hasil bahwa terapi latihan yang dilakukan sebanyak 3 kali dalam seminggu berpengaruh secara signifikan terhadap peningkatan otot ekstrimitas.
6.3 Aplikasi Kinesiotaping Meningkatkan Pola Jalan Pasien Post stroke Rerata skor WGS pada kelompok perlakuan Aplikasi Kinesiotaping, mengalami penurunan dari rerata sebelum dan setelah perlakuan. Pengujian beda rerata pola jalan sebelum dan setelah intervensi didapatkan nilai p = 0,000 yang berarti ada perbedaan bermakna rata-rata nilai pola jalan sebelum dan setelah intervensi Kinesiotaping. Hal tersebut menunjukkan bahwa intervensi yang diberikan kepada Kinesiotaping memberikan peningkatan pola jalan yang bermakna pada pasien post stroke. Gangguan berjalan merupakan salah satu permasalahan aktivitas pasien post stroke (Patterson et al., 2007). Gangguan sensory dan motor control akan berakibat pada gangguan kontrol postur ADL dan gait (Garland et al., 2003).
75
Somatosensory stimulation, dan muscle activity feedback exercise efektif dalam peningkatan fungsi berjalan pasien post stroke (Geurts et al., 2005) Kinesiotaping melalui reseptor di cutaneus dapat memberikan rangsangan pada sistem neuromuskuler dalam mengaktivasi kinerja saraf dan otot saat melakukan suatu gerak fungsional (Yasukawa et al., 2006). Kinesiotaping juga akan memfasilitasi mechanoreseptor untuk mengarahkan gerakan yang sesuai dan memberikan rasa nyaman pada area yang dipasangkan (Kase et al., 2003). Kinesiotaping juga bermanfaat dalam meningkatkan kontrol postural, membatasi gerakan yang berlebihan dan meningkatkan somato-sensory feedback, (Broglio et al., 2009). Cowderoy et al. (2009), mengatakan bahwa Kinesiotaping dapat meningkatkan
sensitivitas
perceptual-motor
propioception.
propioceptif
merupakan salah satu sensory feedback yang diperlukan dalam informasi motor control, sehingga akan meningkatkan motor output dan movement respon. Sesuai dengan penelitian Ewa dan Carol (2006), bahwa Kinesiotaping dapat meningkatkan propioseptif feedback sehingga menghasilkan posisi tubuh yang benar, hal ini menjadi hal yang sangat dasar yang diperlukan ketika latihan untuk mengembalikan fungsi dari extrimitas dilakukan. Halseth et al. (2004), dalam penelitiannya juga mengatakan bahwa Kinesiotaping dapat memunculkan posisi sendi pada ankle dengan gerakan lateral dan plantar fleksi untuk meningkatkan propioception. Aplikasi Kinesiotaping menurunkan spastisitas pada ekstrimitas inferior, dan meningkatkan pola jalan pasien post stroke. Aplikasi Kinesiotaping pada otot
76
tibialis anterior, otot soleus dan tendon acilles secara signifikan meningkatkan fungsi ankle joint (Michalak et al.,2009). Gangguan keseimbangan pada pasien post stroke adalah akibat dari penurunan propioception dari sendi ankle yang berfungsi untuk mendistribusikan berat badan dengan tepat selama melakukan gerakan. Hasil dari penelitian yang dilakukan (Kim et al., 2012) menunjukkan bahwa aplikasi Kinesiotaping pada sendi ankle meningkatkan ankle propioception sehingga efektif dalam meningkatkan keseimbangan dan kemampuan berjalan pasien post stroke.
6.4 Metode Motor Relearning Programme Meningkatkan Pola Jalan Pasien Post stroke Rerata skor WGS pada kelompok perlakuan metode Motor Relearning Programme, mengalami penurunan dari rerata sebelum dan setelah perlakuan. Pengujian beda rerata pola jalan sebelum dan setelah intervensi didapatkan nilai p = 0,000 yang berarti ada perbedaan bermakna rata-rata nilai pola jalan sebelum dan setelah intervensi metode Motor Relearning Programme. Hal tersebut menunjukkan bahwa intervensi yang diberikan kepada Kelompok Motor Relearning Programme memberikan peningkatan pola jalan yang bermakna pada pasien post stroke di Klinik Ontoseno Malang. Seorang penderita stroke memiliki defisit pada motor programmes, motor memory, dan terkait dengan mekanisme Somatosensory-feedback, dimana akan menghambat gerakan fungsional (Chan-Dora, 2000). Mekanisme
yang mendasari proses pemulihan setelah stroke adalah
pulihnya fungsi sel otak dan terbukanya kembali sirkuit saraf yang sebelumnya
77
tertutup. Kemampuan fungsional pulih sejalan dengan pemulihan neurologis yang terjadi (Wirawan, 2009). Otak manusia terbukti adaptif dan plastis serta dapat mengadakan perubahan struktural dan fungsional apabila diberikan stimulasi lingkungan, stimulasi sensoris yang diterima individu sebagai sebuah pengalaman dan respon tindakan (sensomotorik), (Michael et al., 2004). Menurut Edward (2002) tentang plastisitas otak menjelaskan bahwa plastisitas otak mendasari semua keterampilan belajar dan merupakan bagian sistem saraf pusat dalam keadaan sehat dan kerusakan otak individu dalam berbagai usia. Hal ini menunjukkan bahwa sensorik stimulasi, jika diberikan secara efektif dan cukup sering dapat memperluas daerah sensorik dari korteks dan dimungkinkan memiliki implikasi untuk terapi. Functional recovery memerlukan pengalaman dan pemahaman tertentu secara spesifik menurut tempat dan tugasnya, sehingga membutuhkan relearning dengan cara memberikan stimulasi sebanyak mungkin pada sisi yang sakit dan mengajarkan kembali pengaturan posisi dan gerak. Metode Motor Relearning Programme dapat memberikan proses pembelajaran aktivitas fungsional serta menerapkan premis dasar bahwa kapasitas otak mampu untuk reorganisasi dan beradaptasi, dan dengan latihan yang terarah dapat membaik. Metode Motor Relearning Programme dapat mengeliminasi gerakan yang tidak diperlukan dan meningkatkan kemampuan pengaturan postural dan gerakan, (Susanti dan Irfan, 2010).
78
Motor learning menjelaskan bagaimana pola-pola motorik dapat dimodifikasi melalui pengamatan dan praktek secara berulang-ulang (Chan et al., 2002). Pendekatan metode motor relearning programme membantu mencapai kemampuan motorik normal dengan feedback yang tepat dan partisipasi aktif dari pasien (Dean and Shepherd, 1997). Langhamer dan stanghelle (2000) melakukan penelitian dengan judul “Bobath or Motor Relearning Programme: A comparison of two different approaches of physiotherapy in stroke rehabilitation” didapakan hasil bahwa kedua metode, yaitu Bobath dan MRP memiliki efek yang signifikan pada semua bagian dari kualitas gerak penderita stroke. Seperti yang diungkapkan oleh Chan-Dora et al. (2004), Motor relearning Programme lebih efektif dari Metode Konvensional untuk meningkatkan kemampuan fungsional pasien stroke.
6.5 MRP Tidak Lebih Efektif Daripada Kinesiotaping Tetapi Lebih Efektif Daripada Metode Konvensional Dalam Meningkatkan Pola Jalan Pasien Post Stroke Dari hasil uji statistik menunjukkan bahwa metode Kinesiotaping memiliki penurunan skor WGS paling tinggi yaitu 8,25 (28,51%), diikuti dengan MRP dengan penurunan skor WGS sebesar 7,02 (25,48%), dan metode Konvensional memiliki penurunan skor WGS paling kecil yaitu 4,25 (14,28%). Pasien dengan kondisi stroke akan mengalami banyak gangguan-gangguan yang bersifat fungsional (Irfan, 2010). Aktivitas fungsional berjalan pasien post stroke menjadi fokus utama dalam penelitian ini.
79
Otak manusia terbukti adaptif dan plastis serta dapat mengadakan perubahan struktural dan fungsional apabila diberikan stimulasi lingkungan, stimulasi sensoris yang diterima individu sebagai sebuah pengalaman dan respon tindakan (sensomotorik), (Michael et al., 2004). Plastisitas otak mampu mereorganisasi hingga tingkat tertentu tergantung dari input sensorik, pengalaman, dan pembelajaran. Derajad dan waktu pemulihan juga sangat dipengaruhi oleh letak dan luas dari kerusakan otak yang terjadi, (Chen, Cohen dan Hallet, 2002). Bergerak secara aktif merupakan cara terbaik untuk menstimulasi plastisitas otak, (Nelles et al., 2001). Pada Metode Konvensional dilakukan ROM exercise menggunakan teknik free active dan active assisted untuk meningkatkan gait function pasien post stroke, fokus utamanya adalah meningkatkan kekuatan kekuatan otot, dan mengurangi tonus otot (spastisitas) lower extremity (Pang et al., 2005). Latihan aktivitas motorik harus dilakukan dalam bentuk aktivitas fungsional karena tujuan dari rehabilitasi tidak hanya sekedar mengembalikan suatu pergerakan, akan tetapi mengembalikan fungsi (Irfan, 2010). Dalam metode MRP, Motor Learning menjelaskan bagaimana pola-pola motorik dapat dimodifikasi melalui pengamatan dan praktek secara berulang-ulang (Chan et al., 2002). Proses adaptasi dan skill learning merupakan komponen penting dari motor learning (Hallet dan Graftman, 1997). Pengaruh dari pengulangan gerak akan meningkatkan rangsangan pada primary motor cortex sehingga dapat berpengaruh pada proses plastisitas otak (Kawahira et al.,2010).
80
Manipulasi gait cycle dan fasilitasi gerakan involunter dapat meningkatkan kemampuan gerak pasien stroke dengan efektif tetapi memerlukan partisipasi aktif dari pasien (Van der Weel et al., 1991). Secara teori neuroplastisitas dimungkinkan terjadi jika terdapat aktivitas neuromuskuler dari berbagai stimulasi dan dilakukan berulang-ulang. Setiap pengulangan gerakan akan membentuk proses pembelajaran motorik, sehingga dengan latihan fungsional apapun akan berdampak pada proses pembelajaran motorik. Sifat plastisitas ini memiliki keuntungan dan kerugian. Keuntungan yang diperoleh dari plastisitas adalah kemampuan yang selalu berkembang, sehingga dengan menggunakan metode yang tepat dapat menghasilkan pola gerak normal. Tetapi jika metode yang digunakan tidak tepat, pola gerakan yang terbentuk juga tidak tepat sehingga pola gerak tidak normal tersebut terus-menerus dilakukan, maka akan terjadi proses adaptasi yang mengakibatkan kompensasi gerak dan kesulitan gerak permanen (Irfan, 2010). Sesuai kriteria inklusi, sampel pada penelitian ini adalah pasien post stroke yang telah mampu berjalan dan memiliki gangguan berjalan. Pasien post stroke akan melakukan gerakan kompensasi untuk berjalan. Pola gerak tidak normal akan mengakibatkan terbentuknya aktivitas yang tidak efisien. Sebuah gerakan fungsional merupakan sebuah rangkaian interaksi dari kontrol motorik pada otak dan feedback dari somatosensoris, visual, dan vestibular, (Haim, 2011). Kinesiotaping dapat memfasilitasi mechanoreceptor untuk mengarahkan gerakan yang sesuai dan memberikan rasa nyaman pada area
81
yang dipasangkan (Kase et al., 2003). Kinesiotaping juga dapat meningkatkan propioseptive feedback sehingga menghasilkan posisi tubuh yang benar (Ewa dan Carol, 2006). Seperti yang diungkapkan Kim et al., (2012), bahwa penambahan Kinesiotaping pada ankle joint memberikan hasil yang lebih efektif daripada fisioterapi Konvensional dalam meningkatkan keseimbangan dan kemampuan berjalan pasien stroke. Tetapi dalam aplikasi Kinesiotaping tidak ada intervensi untuk mengkoreksi pola gerakan kompensasi yang sudah terbentuk. Mc Donnell, 2006 mengatakan
bahwa
mengkombinasikan
appropriate
afferent
stimulation
menggunakan task-specific training menghasilkan peningkatan yang lebih besar dibandingkan dengan latihan sendiri. Dalam penelitian ini didapatkan hasil uji LSD bahwa MRP sama efektifnya dengan aplikasi Kinesiotaping dalam meningkatkan pola jalan pasien post stroke, tetapi lebih efektif jika dibandingkan dengan Metode Konvensional. Waktu yang dibutuhkan untuk functional recovery berdasarkan teori plastisitas adalah 2 minggu hingga 2 bulan, jika diberikan latihan minimal 30 menit setiap hari dan juga tergantung dari tingkat kesulitan atau kompleks tidaknya sebuah gerakan (Hosp dan Luft, 2011). Pada penelitian ini diberikan intervensi selama 45 hingga 60 menit setiap 3 kali dalam seminggu selama 4 minggu. Dari waktu intensitas intervensi yang dilakukan kemungkinan masih belum menunjukkan perubahan pada pola jalan
82
pasien post stroke, mengingat aktivitas fungsional berjalan merupakan sebuah rangkaian gerakan yang kompleks.
6.6 Kelemahan Penelitian Berbagai kelemahan dalam penelitian perbedaan efektivitas antara metode konvensional,
Kinesiotaping,
dan
Motor
Relearning
Programme
dalam
peningkatan pola jalan pasien post stroke, Diantaranya sebagai berikut: 1. Jumlah total sampel 30 orang sehingga membutuhkan tim untuk menyelesaikan penelitian dalam waktu singkat. 2. Tidak adanya kontrol aktivitas sehari-hari yang ikut berperan terhadap hasil penelitian 3. Banyaknya faktor penganggu seperti usia, lama setelah serangan, jenis stroke, berat atau ringan serangan stroke tersebut, sehingga mempengaruhi hasil peningkatan pola jalan pasien post stroke. 4. Penilaian skor WGS hanya menggunakan observasi visual sehingga dibutuhkan video recording. 5. Tidak adanya kesamaan waktu perlakuan, yang berkisar 45 – 60 menit sehingga tidak setiap pasien menerima perlakuan dengan waktu yang sama.