BAB IV KETENTUAN DAN POLA PENYELESAIAN KONTRAK Dalam setiap Kontrak selalu ada ketentuan-ketentuan yang bersifat umum, dan penyelesaian Kontrak, jika terjadi sengketa diantara para pihak. Setiap Kontrak yang dibuat meskipun oleh para pihak pada saat Kontrak secara lisan akan menghormati dan menjalankan Kontrak yang bersangkutan, hal ini sebenarnya merupakan itikad baik dari para pihak saja, meskipun demikian, ketentuan dan pola atau tata cara penyelesaian Kontrak jika terjadi wajib ada, kalaupun tidak dicantumkan akan kembali kepada ketentuan umum penyelesaian Kontrak151. A. KETENTUAN-KETENTUAN UMUM DALAM KONTRAK. I. Somasi. Somasi dapat diartikan sebagai teguran dari kreditur kepada debitur, karena debitur tidak memenuhi prestasi sebagaimana yang telah disepakati dalam kontrak. Dasar hukum Somasi diatur dalam Pasal 1238 KUH Perdata dan Pasal 1243 KUH Perdata. Setelah Kontrak selesai ditandatangani dan mengikat dan dilaksanakan oleh para pihak, terkadang tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan oleh para pihak, ada keadaan tertentu dimana para pihak tidak dapat memenuhi prestasi yang disanggupinya, misalnya ketika memperoleh kredit atau pinjaman dari bank, dan debitur wajib membayar setiap bulan dalam jumlah tertentu, karena usahanya tidak lancar, sehingga debitur tidak sanggup untuk membayar, dalam jangka waktu tertentu (yang sudah ditentukan) jika debitur tidak membayarnya, maka atas hal tersebut kreditur dapat men-somasi debitur agar memenuhi prestasinya. Dalam hal ini bahwa Somasi timbul karena para pihak atau salah satu pihak tidak memenuhi prestasinya sebagaimana yang telah disebutkan dalam Kontrak. Prestasi tersebut, baik tidak memenuhi prestasi sama sekali atau terlambat melakukan prestasi atau prestasi tidak sesuai dengan yang dijanjikan dalam Kontrak. 151
Uraian dalam bab ini sebagian besar diambil (sesuai keperluan dan di beberapa bagian dikutip tanpa perubahan) dari Salim H.S., op cit., hal. 96 – 104, hal. 163 – 183., Ricardo Simanjuntak, op cit., hal. 183 – 207, hal. 208 -219., Budiono Kusumohamidjojo, op cit., hal. 64 – 75. H.P. Pangabean, Praktik Peradilan Menangani Kasus Aset Yayasan (Termasuk Aset Lembaga Keagamaan) & Upaya Penanganan Sengketa Melalui Alternatif Penyelesaian Sengketa, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2005, hal. 122 – 129.
Dr. HABIB ADJIE,SH,MH
Page - 120 -
MAGISTER ILMU HUKUM- UNNAR SURABAYA
Dalam keadaan tertentu Somasi tidak diperlukan, dan debitur dapat langsung dinyatakan Wanprestasi antara lain152 : a.
Debitur menolak pemenuhan. Seorang kreditur tidak perlu mengajukan somasi apabila debitur menolak pemenuhan prestasinya, sehingga kreditur boleh berpendirian bahwa dalam sikap penolakan demikian suatu somasi tidak akan menimbulkan suatu perubahan (H.R. 1-2-1957).
b. Debitur mengakui kelalaiannya. Pengakuan demikian dapat terjadi secara tegas, akan tetapi juga secara implisit (diam-diam), misalnya dengan menawarkan ganti rugi. Pemenuhan prestasi tidak mungkin dilakukan. c.
Debitur lalai tanpa adanya somasi, apabila prestasi (di luar peristiwa overmacht) tidak mungkin dilakukan, misalnya karena debitur kehilangan barang yang harus diserahkan atau barang tersebut musnah. Tidak perlunya pernyataan lalai dalam hal ini sudah jelas dari sifatnya (somasi untuk pemenuhan prestasi).
d.
Pemenuhan tidak berarti lagi (zinloos) Tidak diperlukannya somasi, apabila kewajiban debitur untuk memberikan atau melakukan, hanya dapat diberikan atau dilakukan dalam batas waktu tertentu, yang dibiarkan lampau. Contoh klasik, kewajiban untuk menyerahkan pakaian pengantin atau peti mati. Penyerahan kedua barang tersebut setelah perkawinan atau setelah pemakaman tidak ada artinya lagi.
e. Debitur melakukan prestasi tidak sebagaimana mestinya. II. Wanprestasi. Bahwa kontrak yang telah disepakati secara sah tersebut telah menjadi hukum yang berlaku dan mengikat kedua belah pihak, maka tindakan-tindakan tidak melakukan kewajiban sesuai dengan substansi yang telah disepakati dalam kontrak tersebut dapat dikualifikasi sebagai perbuatan yang melanggar ataupun bertentangan dengan hukum, yaitu hukum yang telah dibangun melalui kesepakatan kontrak itu sendiri. Ketidakmampuan salah satu pihak tidak melakukan prestasi yang sudah disepakti dalam Kontrak, maka akan disebut Wanprestasi (ataupun ingkar janji (default), atau Wanprestasi terjadi apabila salah satu pihak dalam Kontrak tidak melaksanakan atau lalai melaksanakan prestasi (kewajiban) yang menjadi objek perikatan antara mereka atau para pihak dalam kontrak yang bersangkutan.
152
Niewenhuis dalam Salim, H.S. op cit., hal. 98.
Dr. HABIB ADJIE,SH,MH
Page - 121 -
MAGISTER ILMU HUKUM- UNNAR SURABAYA
Wanprestasi seorang debitur dapat didasarkan pada 4 (empat) alasan, yaitu153 : 1) Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya; 2) Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan; 3) Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat; 4) Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya. Oleh karena tindakan wanprestasi tersebut berpotensi menimbulkan kerugian bagi mitra berkontraknya, maka mitra berkontrak yang dirugikan berhak meminta perlindungan pengadilan untuk memaksa orang yang wanprestasi kembali menjalankan kewajibannya sesuai dengan kontrak yang telah disepakati. Selain itu, orang yang wanprestasi juga dapat di-hukum untuk mengganti kerugian dalam bentuk yang dimungkinkan oleh undang-undang, (Pasal 1236, 1239 dan 1243 KUH Perdata). Bentuknya berupa pengembalian biaya yang telah dibayarkan sehubungan dengan aktivitas berkontrak, ganti kerugian yang dialami mitra berkontrak akibat wanprestasi, termasuk juga bunga yang akan dikenakan terhadap jumlah ganti kerugian yang dituntut, baik atas dasar bunga yang diperjanjikan ataupun bunga yang terjadi demi hukum akibat dari kelalaian tersebut (moratorium interest). 1. Pengertian Wanprestasi Wanprestasi mempunyai hubungan yang sangat erat dengan somasi. Wanprestasi adalah tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara kreditur dengan debitur. Dalam restatement of the law of contracts (Amerika Serikat), wanprestasi atau breach of contracts dibedakan menjadi dua macam, yaitu total breachts dan partial breachts. Total breachts artinya pelaksanaan kontrak tidak mungkin dilaksanakan, sedangkan partial breachts artinya pelaksanaan perjanjian masih mungkin untuk dilaksanakan. Seorang debitur baru dikatakan wanprestasi apabila ia telah diberikan somasi oleh kreditur atau juru sita. Somasi itu minimal telah dilakukan sebanyak tiga kali oleh kreditur atau juru sita. Apabila somasi itu tidak diindahkannya, maka kreditur berhak membawa persoalan itu ke pengadilan. Dan pengadilanlah yang akan memutuskan, apakah debitur wanprestasi atau tidak. 2. Terjadinya Wanprestasi. Seperti yang telah dijelaskan di atas, fakta telah terjadinya ingkar janji ataupun tindakan lalai dari mitra berkontraknya merupakan ukuran yang sangat penting 153
Subekti, op cit., hal. 45.
Dr. HABIB ADJIE,SH,MH
Page - 122 -
MAGISTER ILMU HUKUM- UNNAR SURABAYA
bagi mitra berkontrak yang dirugikan (kreditur) untuk ter-lebih dahulu dibuktikan agar dapat menunrut ganti rugi terhadap kerugian yang dideritanya akibat dari wanprestasi. Artinya, tanpa pembuktian terjadinya ingkar janji (wanprestasi) maka tidak ada alasan dari mitra pihak yang dirugikan untuk meminta ganti kerugian atau meminta penghentian Kontrak secara sepihak (early termination). Hal ini secara tegas juga diatur dalam Pasal 1243 KUH Perdata yang menyatakan sebagai berikut: Penggantian biaya, rugi dan bunga karena tidak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan, apabila si berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika 3. Akibat Adanya Wanprestasi Ada empat akibat adanya wanprestasi, yaitu sebagai berikut. a. Perikatan tetap ada. Kreditur masih dapat menuntut kepada debitur pelaksanaan prestasi, apabila ia terlambat memenuhi prestasi. Di samping itu, kreditur berhak menuntut ganti rugi akibat keterlambatan melaksanakan prestasinya. Hal ini disebabkan kreditur akan mendapat keuntungan apabila debitur melaksanakan prestasi tepat pada waktunya. b. Debitur harus membayar ganti rugi kepada kreditur (Pasal 1243 KUH Perdata). c.
Beban risiko beralih untuk kerugian debitur, jika halangan itu timbul setelah debitur wanprestasi, kecuali bila ada kesengajaan atau kesalahan besar dari pihak kreditur. Oleh karena itu, debitur tidak dibenarkan untuk berpegang pada keadaan memaksa.
d.
Jika perikatan lahir dari perjanjian timbal balik, kreditur dapat membebaskan diri dari kewajibannya memberikan kontra prestasi dengan menggunakan Pasal 1266 KUH Perdata.
4. Tuntutan Atas Dasar Wanprestasi Kreditur dapat menuntut kepada debitur yang telah melakukan wanprestasi hal-hal sebagai berikut : a.
Kreditur dapat meminta pemenuhan prestasi saja dari debitur.
b.
Kreditur dapat menuntut prestasi disertai ganti rugi kepada debitur (Pasal 1267 KUH Perdata).
c.
Kreditur dapat menuntut dan meminta ganti rugi, hanya mungkin kerugian karena keterlambatan (H.R. 1 November 1918).
d.
Kreditur dapat menuntut pembatalan perjanjian.
e.
Kreditur dapat menuntut pembatalan disertai ganti rugi kepada debitur. Ganti rugi itu berupa pembayaran uang denda.
Dr. HABIB ADJIE,SH,MH
Page - 123 -
MAGISTER ILMU HUKUM- UNNAR SURABAYA
Di dalam hukum kontrak Amerika Serikat, sanksi utama terhadap breach of contract adalah pembayaran compensation (ganti rugi), yang terdiri atas costs (biaya) dan damages (ganti rugi), serta tuntutan pembatalan perjanjian (rescission). Akibat kelalaian kreditur yang dapat dipertanggungjawabkan, yaitu: a.
debitur berada dalam keadaan memaksa;
b.
beban risiko beralih untuk kerugian kreditur, dan dengan demikian debitur hanya bertanggung jawab atas wanprestasi dalam hal ada kesengajaan atau kesalahan besar lainnya;
c.
kreditur tetap diwajibkan memberi prestasi balasan (Pasal 1602 KUH Perdata).
III. Ganti Rugi. Ada dua sebab timbulnya ganti rugi, yaitu ganti rugi karena wanprestasi dan perbuatan melawan hukum. Ganti rugi karena wanprestasi diatur dalam Buku III KUH Perdata, yang dimulai dari Pasal 124 KUH Perdata sampai dengan Pasal 1252 KUH Perdata. Sedangkan ganti rugi karena perbuatan melawan hukum diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata. Ganti rugi karena perbuatan melawan hukum adalah suatu bentuk ganti rugi yang dibebankan kepada orang yang telah menimbulkan kesalahan kepada pihak yang dirugikannya. Ganti rugi itu timbul karena adanya kesalahan, bukan karena adanya perjanjian. Ganti rugi karena wanprestasi adalah suatu bentuk ganti rugi yang dibebankan kepada debitur yang tidak memenuhi isi perjanjian yang telah dibuat antara kreditur dengan debitur. Misalnya, A berjanji akan mengirimkan barang kepada B pada tanggal 10 Januari 1996. Akan tetapi, pada tanggal yang telah ditentukan, A belum juga mengirimkan barang tersebut kepada B. Supaya B dapat menuntut ganti rugi karena keterlambatan tersebut, maka B harus memberikan peringatan (somasi) kepada A, minimal tiga kali. Apabila peringatan/teguran itu telah dilakukan, maka barulah B dapat menuntut kepada A untuk membayar ganti kerugian. Jadi, momentum timbulnya ganti rugi adalah pada saat telah dilakukan Ssomasi. Ganti kerugian yang dapat dituntut oleh kreditur kepada debitur adalah sebagai berikut 1. Kerugian yang telah dideritanya, yaitu berupa penggantian biaya-biaya dan kerugian. 2.
Keuntungan yang sedianya akan diperoleh (Pasal 1246 KUH Perdata), ini ditujukan kepada bunga-bunga. Yang diartikan dengan biaya-biaya (ongkos-ongkos), yaitu ongkos yang telah
dikeluarkan oleh kreditur untuk mengurus objek perjanjian. Kerugian adalah berkurangnya harta kekayaan yang disebabkan adanya kerusakan atau kerugian. Sedangkan
Dr. HABIB ADJIE,SH,MH
Page - 124 -
MAGISTER ILMU HUKUM- UNNAR SURABAYA
bunga-bunga adalah keuntungan yang akan dinikmati oleh kreditur. Penggantian biaya-biaya, kerugian, dan bunga itu harus merupakan akibat langsung dari wanprestasi dan dapat diduga pada saat sebelum terjadinya perjanjian. Di dalam Pasal 1249 KUH Perdata ditentukan bahwa penggantian kerugian yang disebabkan wanprestasi hanya ditentukan dalam bentuk uang. Namun, dalam perkembangannya menurut para ahli dan yurisprudensi bahwa kerugian dapat dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yaitu ganti rugi materiil, dan ganti rugi immateriil154. Kerugian materiil
adalah
suatu
kerugian
yang
diderita
kreditur
dalam
bentuk
uang/kekayaan/benda. Sedangkan kerugian immateriil adalah suatu kerugian yang diderita oleh kreditur yang tidak bernilai uang, seperti rasa sakit, mukanya pucat, dan lainlain. IV. Keadaan Memaksa/Kahar/Force Majeur. Keadaan kahar atau force majeure adalah keadaan yang mengakibatkan salah satu atau semua pihak tidak dapat melaksanakan kewajiban dan/atau haknya tanpa memberi alasan sah kepada pihak lain untuk mengajukan klaim atau tuntutan terhadap pihak yang tidak dapat melaksanakan kewajiban (dan/atau haknya), karena keadaan kahar itu terjadi di luar kuasa atau kemampuan dari pihak yang tidak dapat melaksanakan kewajiban itu. Meskipun demikian, keadaan kahar tidak memberi alasan kepada para pihak untuk kemudian "tidak melakukan apa-apa". Berikut ini akibat-akibat yang secara logis dapat ditarik dari suatu keadaan kahar. a. Akal sehat mengharuskan, bahwa pihak yang tidak dapat melaksanakan kewajiban karena dilanda keadaan kahar harus sudah mengupayakan tindakan-tindakan untuk mengatasi keadaan kahar itu. Jika terjadi kebakaran, sangatlah logis jika dilakukan tindakan-tindakan untuk memadamkan kebakaran itu. b. Terlepas dari kemungkinan bahwa suatu keadaan kahar dapat diatasi atau tidak, keadaan itu harus diberitahukan selekas mungkin kepada pihak lainnya. Pihak berutang yang tidak bisa membayar utang kepada bank karena proses produksi terhenti dengan alasan yang berada di luar kuasanya, tidak bisa berdiam diri, dan baru menyatakan alasannya kepada bank, pada saat bank sudah menyatakan si pihak berutang itu sebagai cidera janji (default). Keadaan berdiam diri itu justru akan menempatkan si pihak berutang itu dalam posisi yang salah. 154
Asser's 1988 : 274 dalam Salim, H.S. op cit., hal. 101.
Dr. HABIB ADJIE,SH,MH
Page - 125 -
MAGISTER ILMU HUKUM- UNNAR SURABAYA
c. Dalam hal keadaan kahar yang sudah disampaikan oleh penderita kepada pihak lain, dan si penderita sudah mencoba untuk mengatasi keadaan kahar itu sebatas yang masuk akal, akan sia-sia bagi pihak lainnya itu untuk menuntut si penderita untuk melaksanakan kewajibannya secara normal berdasarkan kontrak di antara mereka. Jika keadaan kahar itu berkepanjangan, adalah lebih bijaksana bagi para pihak untuk mengakhiri kontrak yang mengikat mereka. Sering kali para pihak menyepakati satu definisi keadaan kahar yang berlaku timbal
balik.
Namun,
kadang-kadang
juga
dapat
diberlakukan
suatu
kesepakatan yang menetapkan, bahwa keadaan kahar untuk satu pihak didefinisikan secara lain, dibandingkan dengan definisi keadaan kahar untuk pihak lainnya. 1.
Dasar Hukum dan Pengertian Keadaan Memaksa Ketentuan tentang keadaan memaksa diatur dalam :
Pasal 1244 KUH Perdata : "Debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian, dan bunga, bila tak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepatnya waktu dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh suatu hal yang tidak terduga, yang tak dapat dipertanggung jawabkan kepadanya, walaupun tidak ada iktikad buruk padanya.
Pasal 1245 KUH Perdata : "Tidak ada penggantian biaya, kerugian, dan bunga, bila karena keadaan memaksa atau karena hal yang terjadi secara kebetulan, debitur terhalang untuk memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau melakukan sesuatu perbuatan yang terlarang olehnya". Ketentuan ini memberikan kelonggaran kepada debitur untuk tidak melakukan
penggantian biaya, kerugian, dan bunga kepada kreditur, oleh karena suatu keadaan yang berada di luar kekuasaannya. Ada tiga hal yang menyebabkan debitur tidak melakukan penggantian biaya, kerugian dan bunga, yaitu : 1. adanya suatu hal yang tak terduga sebelumnya, atau 2. terjadinya secara kebetulan, dan atau 3. keadaan memaksa. Yang diartikan dengan keadaan memaksa adalah suatu keadaan di mana debitur tidak dapat melakukan prestasinya kepada kreditur, yang disebabkan adanya kejadian yang berada di luar kekuasaannya. Misalnya karena adanya gempa bumi, banjir, lahar, dan lain-lain.
Dr. HABIB ADJIE,SH,MH
Page - 126 -
MAGISTER ILMU HUKUM- UNNAR SURABAYA
2.
Macam Keadaan Memaksa Keadaan memaksa dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu
1) keadaan memaksa absolut, dan 2) keadaan memaksa yang relatif. Keadaan memaksa absolut adalah suatu keadaan di mana debitur sama sekali tidak dapat memenuhi perutangannya kepada kreditur, oleh karena adanya gempa bumi, banjir bandang, dan adanya lahar. Contohnya, si A ingin membayar utangnya pada si B. Namun tiba-tiba pada saat si A ingin melakukan pembayaran utang, terjadi gempa bumi. Maka A sama sekali tidak dapat membayar utangnya pada B. Keadaan memaksa yang relatif adalah suatu keadaan yang menyebabkan debitur masih mungkin untuk melaksanakan prestasinya. Tetapi pelaksanaan prestasi itu harus dilakukan dengan memberikan korban yang besar yang tidak seimbang atau menggunakan kekuatan jiwa yang di luar kemampuan manusia atau kemungkinan tertimpa bahaya kerugian yang sangat besar. Contoh keadaan memaksa relatif, seorang penyanyi telah mengikat dirinya untuk menyanyi di suatu konser, tetapi beberapa detik sebelum pertunjukan, ia menerima kabar bahwa anaknya meninggal dunia. Contoh lainnya, A telah meminjam kredit usaha tani dari KUD, dengan janji akan dibayar pada musim panen. Tetapi sebelum panen, padinya diserang oleh ulat. Dengan demikian, pada saat itu ia tidak mampu membayar kredit usaha taninya kepada KUD, tetapi ia akan membayar pada musim panen mendatang. 3.
Teori-Teori Keadaan Memaksa Ada dua teori yang membahas tentang keadaan memaksa, yaitu
1) teori ketidakmungkinan (onmogelijkeheid), dan 2) teori penghapusan atau peniadaan kesalahan (afwesigheid van schuld). Teori ketidakmungkinan berpendapat bahwa keadaan memaksa adalah suatu keadaan
tidak
mungkin
melakukan
pemenuhan
prestasi
yang
diperjanjikan.
Ketidakmungkinan dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu : a. Ketidakmungkinan absolut atau objektif (absolut onmogelijkheid), yaitu suatu ketidakmungkinan sama sekali dari debitur untuk melakukan prestasinya pada kreditur. b. Ketidakmungkinan
relatif
atau
ketidakmungkinan
subjektif
(relative
onmogelijkheid), yaitu suatu ketidakmungkinan relatif dari debitur untuk memenuhi prestasinya. Teori/ajaran penghapusan atau peniadaan kesalahan (afwesigliehl van schuld), berarti dengan adanya overmacht terhapuslah kesalahan debitur atau overmacht peniadaan kesalahan. Sehingga akibat kesalahan yang telah ditiadakan tadi
Dr. HABIB ADJIE,SH,MH
Page - 127 -
MAGISTER ILMU HUKUM- UNNAR SURABAYA
tidak boleh/bisa dipertanggungjawabkan155. 4.
Akibat Keadaan Memaksa Ada tiga akibat keadaan memaksa, yaitu :
a. debitur tidak perlu membayar ganti rugi (Pasal 1244 KUH Perdata); b. beban risiko tidak berubah, terutama pada keadaan memaksa semcntara; c. kreditur tidak berhak atas pemenuhan prestasi, tetapi sekaligus demi huku m bebas dari kewajibannya untuk menyerahkan kontra prestasi, kecuali untuk yang disebut dalam Pasal 1460 KUH Perdata. Ketiga akibat itu dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yaitu : (1) akibat keadaan memaksa absolut, yaitu akibat nomor a dan c, dan (2) akibat keadaan memaksa relatif, yaitu akibat nomor b. Telah dengan jelas digambarkan di atas bahwa ketidakmampuan sorang mitra berkontrak dalam melaksanakan kewajiban yang telah disepakatinya dalam kontrak pada umumnya akan menimbulkan hukuman baginya untuk membayar ganti rugi kepada mitra berkontraknya yang telah dirugikan. Akan tetapi, hukuman tersebut tidak akan berlaku apabila ketidakmampuan ataupun rintangan debitur untuk memenuhi kewajibannya (berprestasi) disebabkan oleh suatu keadaan memaksa yang berada di luar kemampuannya untuk mengendalikannya; yang dikenal juga dengan doktrin force majeure. Doktrin force majeure sebagai dukungan terhadap prinsip bahwa prestasi yang diperjanjikan dalam suatu kontrak haruslah prestasi yang memungkinkan untuk dilakukan merupakan doktrin "pemaafan" yang dikenal secara universal dalam hukum kontrak negara-negara di dunia. Artinya, secara prinsip pengakuan terhadap ketidakmungkinan untuk melaksanakan suatu prestasi (impossibility of performance) disebabkan oleh halangan yang tidak dapat diduga akan terjadi sebelumnya serta yang bukan datang dari dirinya ataupun akibat dari kesalahannya, membuat orang yang secara normal tidak memungkinkan lagi untuk melaksanakan prestasinya tersebut dapat dimaafkan dan dibebaskan dari hukuman untuk membayar biaya, ganti rugi dan bunga (damages). Dalam Hukum Perdata Indonesia, ketentuan tentang keadaan force majeure yang dapat membebaskan seorang debitur dari kewajiban untuk membayar ganti rugi dengan tegas diatur dalam : Pasal 1245 KUH Perdata : Jika ada alasan untuk itu, si berutang harus dihukum untuk mengganti biaya, rugi dan bunga apabila ia tak dapat membuktikan, bahwa hal tidak 155
M. Yahya Harahap, op cit., hal. 84.
Dr. HABIB ADJIE,SH,MH
Page - 128 -
MAGISTER ILMU HUKUM- UNNAR SURABAYA
atau tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perikatan itu, disebabkan suatu hal yang tidak terduga, pun tak dapat dipertanggung-jawabkan padanya, kesemuanya itu pun jika iktikad buruk tidaklah ada pada pihaknya. Pasal 1245 KUH Perdata : Tidaklah biaya rugi dan bunga harus digantinya, apabila lantaran keadaan memaksa atau lantaran suatu kejadian tak disengaja si berutang berhalangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau lantaran hal-hal yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang. Dari pengaturan kedua pasal tersebut di atas terlihat bahwa dalam hukum Indonesia doktrin force majeure dilaksanakan demi hukum, bukan pelak-sanaan karena kesepakatan dalam kontrak (contractual obligation). Artinya, walaupun para pihak tidak secara spesifik mengatur keberlakukan doktrin force majeure dalam kontraknya, tetap saja demi hukum doktrin force majeure tersebut dapat berlaku sebagai alasan hukum bagi salah satu pihak yang tidak dapat melakukan kewajibannnya sesuai dengan yang telah diperjanjikan dalam kontrak, Tentang sifat force majeure itu sendiri menurut Subekti156 bahwa pada awalnya pengertian force majeure dipahami para sarjana sebagai halangan yang muncul dari kejadian hebat dan menimbulkan akibat besar dan luas dan permanen. Misalnya: bencana alam, wabah penyakit, peperangan, ataupun kekacauan yang begitu hebat sehingga debitur tidak mungkin sama sekali untuk rnemenuhi prestasinya, misalnya karena barang yang menjadi objek perjanjian musnah. Dalam perkembangannya, ternyata pemahaman tersebut lebih pada pengertian secara umum, karena, force majeure mencakup kejadian-kejadian penghalang yang tidak bersifat mutlak atau bersifat se-mentara. Menurut William F. Fox, cakupannya meliputi halangan yang timbul dari bencana alam (natural dissasters) hingga kekacauan politik suatu negara (political disruptions) 157. 5. Risiko. Dalam teori hukum dikenal suatu ajaran yang disebut dengan Resicoleer (ajaran tentang risiko). Resicoleer adalah suatu ajaran, yaitu seseorang ber-kewajiban untuk memikul kerugian, jika ada sesuatu kejadian di luar kesalahan salah satu pihak 156
Subekti, op cit., hal. 55. William F. Fox dalam bukunya The International Commercial Agreements (second edition), yang menggambarkan bahwa bentuk-bentuk halangan yang masuk pada kualifikasi force majeure tersebut tipikalnya lebih digambarkan pada bentuk-bentuk halangan yang diakibatkan oleh bencana alam (natural dissasters) walaupun banyak kemudian dikembangkan kepada halangan-halangan yang timbul dari suatu kekacauan politik suatu negara (political disruptions). 157
Dr. HABIB ADJIE,SH,MH
Page - 129 -
MAGISTER ILMU HUKUM- UNNAR SURABAYA
yang menimpa benda yang menjadj objek perjanjian. Ajaran ini timbul apabila terdapat keadaan memaksa (overmacht). Ajaran i ni dapat diterapkan pada perjanjian sepihak dan perjanjian timbal balik. Perjanjian sepihak adalah suatu perjanjian, di mana salah satu pihak aktit melakukan prestasi, sedangkan pihak lainnya pasif (Pasal 1237 KUH Perdata). Perjanjian timbal balik adalah suatu perjanjian yang kedua belah pihak diwajibkan untuk melakukan prestasi, sesuai dengan kesepakatan yang dibuat antara keduanya. Yang termasuk dalam perjanjian timbal balik, yaitu jual beli, sewa menyewa, tukar menukar, dan lain-lain. (Pasal 1545 KUH Perdata). B. POLA PENYELESAIAN SENGKETA DI BIDANG KONTRAK Ketika orang bersepakat untuk melakukan transaksi tertentu yang kemudian dituangkan dalam sebuah Kontrak, para pihak berharap Kontrak dapat berjalan dengan baik tanpa ada masalah apapun, tapi terkadang timbul permasalahan yang mungkin sebelumnya tidak pernah dibayangkan oleh para pihak, jika hal in terjadi maka para pihak harus menyiapkan diri untuk menghadapi suatu keadaan yang tidak mereka inginkan dan tidak dapat mereka ramalkan, yaitu bahwa pada suatu ketika mereka harus mengatasi suatu perselisihan di antara mereka. Dalam hal ini baik diingat, bagaimanapun hebatnya suatu perselisihan yang timbul dalam hubungan dengan suatu perjanjian yang bisa amat menyulitkan penyelesaian, perselisihan itu sendiri harus dianggap sebagai suatu keadaan yang biasa. Dengan bertolak dari anggapan itulah orang mensyaratkan, sesuai dengan akal sehat para pihak harus lebih dulu berupaya untuk menyelesaikan perselisihan mereka dengan cara baik-baik di antara mereka sendiri. Ilustrasi dibawah ini menunjukkan satu kategorisasi sederhana mengenai proses penyelesaian sengketa yang paling umum digunakan, yang tersusun
dari
konflik atau pertikaian yang paling hebat sampai kepada kerjasama atau kolaborasi yang paling baik, sebagai berikut 158 :
158
Gary Goodpaster, Tinjauan Terhadap Penyelesaian Sengketat., dalam Arbitrase di Indonesia, Felix O. Soebagio (editor) & Erman Rajagukguk (co editor), Ghalia Indonesia, jakarta, 1995, hal. 3.
Dr. HABIB ADJIE,SH,MH
Page - 130 -
MAGISTER ILMU HUKUM- UNNAR SURABAYA
PROSES PENYELESAIAN KONFLIK Pertentangan Ligitasi Pertikaian Pertarungan Tanpa bantuan pihak lain
Kompromi Negosiasi Bersaing Arbitrase
Kerjasama Negosiasi pemecahan masalah Negosiasi Kompromi
Mediasi
Para pihak bertarung yang kuat yang menang
Para pihak berargumentasi di hadapan pihak ketiga yang akan memutuskan
Para pihak berunding dan baik secara bersaing maupun pihak yang memutuskan
Para pihak berunding dengan bantuan pihak ketiga yang tidak berpihak (netral)
Dalam penyelesaian setiap sengketa dapat menggunakan cara-cara tertentu yang lazim dipergunakan dalam dunia Kontrak, sebagai jalan keluar untuk menyelesaikan sengketa yang bersangkutan. Pada dasarnya para pihak harus menyepakati hanya satu prosedur penyelesaian perselisihan. Jika upaya yang sudah disepakati tidak menyelesaikan sengketa tersebut, maka pola penyelesaiannya dapat menggunakan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS), yang umumnya ada tiga pilihan untuk menyelesaikan suatu perselisihan : melalui negosiasi,
melalui
pengadilan (litigasi)/gugatan, melalui arbitrase, atau melalui mediasi. Pola penyelesaian sengketa tersebut perlu ditegaskan agar tidak ada para pihak tiba-tiba yang memanfaatkan prosedur lain yang tidak dibicarakan sebelumnya, tetapi memang dimungkinkan oleh hukum. Jika pilihan tunggal tersebut telah disepakati, maka dapat disusun kesepakatan mengenai prosedur atau tata cara pelaksanaan penyelesaian suatu sengketa di antara para pihak. APS ini tersebut pula dalam Undang-undang Nonmor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yang dalam Pasal 10 ayat (1) disebutkan bahwa Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur
yang
disepakti oleh para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli. Untuk kebutuhan APS tersebut, Mahkamah Agung pun mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2003 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Cara ini merupakan pengintegrasian Mediasi ke dalam proses beracara di pengadilan sebagai salah satu instrument efektif untuk mengatasi kemungkinan penumpukan perkara di pengadilan.
Dr. HABIB ADJIE,SH,MH
Page - 131 -
MAGISTER ILMU HUKUM- UNNAR SURABAYA
1. Melalui Negosiasi. Merupakan cara untuk mencari penyelesaian masalah melalui diskusi (musyawarah) secara langsung antara pihak-pihak yang bersengketa yang hasilnya diterima oleh para pihak tersebut. Jadi negosiasi tampak sebagai suatu seni untuk mencapai kesepakatan dan bukan ilmu pengetahuan yang dapat dipelajari159. Agar dalam bernegosiasi mencapai hasil yang diharapkan oleh para pihak yang bersengketa. Maka harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut160: a.
Pihak-pihak bersedia bernegosiasi secara sukarela berdasarkan kesadaran yang penuh (willingness);:
b.
Pihak-pihak siap melakukan negosiasi (preparedness);
c.
Mempunyai wewenang mengambil keputusan (authoritative);
d.
Memiliki kekuatan yang relatif seimbang sehingga dapat menciptakan saling ketergantungan (relative equal bargaining power);
e.
Mempunyai kemauan menyelesaikan masalah (willlingness to settle).
2. Melalui Pengadilan (Litigasi)/gugatan. Penyelesaian sengketa dengan membawanya ke pengadilan merupakan cara klasik yang selarna ini dikenal umum. Cara kerjanya mengikuti hukum acara yang berlaku di masing-masing negara. Biasanya ada kesan, proses pengadilan memakan waktu lama, bertele-tele dan karena itu menjadi mahal. Proses pengadilan juga harus berlangsung terbuka, kecuali untuk perkara-perkara yang menyangkut hukum keluarga. Dan akan lebih banyak memakan waktu dan biaya, jika diantara pihak yang kalah mengajukan upaya Banding, Kasasi atau bahkan Peninjauan Kembali jika ditemukan Novum atau bukti baru. Penyelesaian melalui proses pengadilan adalah penyelesaian dengan menundukkan diri kepada prosedur yang ditetapkan oleh negara. Dalam hukum Indonesia, ketentuan dalam aktivitas perdata dan aktivi-tas bisnisnya (termasuk aktivitas berkontraknya) diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUH Dagang)135 yang pada pasal 1226 KUH Perdata dengan tegas diatur bahwa 159
Fiona Boyle, et al, A Practical Guide to Lawyering Skills, London : Cavendish Publishing Limited, 2003, hal. 273 dalamGatot Soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2006, hal. 1. 160 M. Zaidun, Mekanisme Alternatif Penyelesaian Sengketa (MAPS), Diklat Manajemen dan Hukum Perdagangan Bagi Konsultan Hukum dan Pengusaha, Ditjen PDN Depperindag, Kanwil Deperindag Propinsi Jawa Timur & Zaidun & Partners Law Firm, Hotel Sahid, Surabaya, 18 November – 10 Desember 1988, hal. 5.
Dr. HABIB ADJIE,SH,MH
Page - 132 -
MAGISTER ILMU HUKUM- UNNAR SURABAYA
penyelesaian sengketa yang terjadi antara para pihak yang berkontrak secara hukum hanya dapat diselesaikan melalui Pengadilan Negeri.Artinya, dalam hal sengketa yang muncul dalam pelaksanaan suatu kontrak tidak dapat diselesaikan secara damai maka tindakan hukum akibat telah terjadinya tindakan wanprestasi, ataupun akibat dari permasalahan legalitas dari suatu kontrak tidak dapat dipu-tuskan secara sendiri atau sepihak oleh pihak yang merasa benar, akan tetapi harus melakukannya melalui putusan Pengadilan Negeri. Sehingga perlu kiranya secara umum ataupun secara selayang pandang dijelaskan tentang dasar hukum formal ataupun hukum acara yang mengatur Pengadilan Negeri dalam menjalankan perannya dalam mengadili kasuskasus perdata yang dihadapkan kepadanya. Hukum acara perdata pada prinsipnya mengatur, antara lain tata cara pihak yang berperkara untuk mengajukan tuntutan hak, tata cara pengadilan yang berwenang memeriksa dan memutuskan perkara tersebut, serta tata cara pelaksanaan putusan tersebut. Ini merupakan hukum formal yang mendasari pengadilan dalam menjamin kepastian pelaksanaan hukum perdata sebagai hukum material yang berlaku. Dalam proses berperkara di pengadilan perdata di Indonesia, hukum acara perdata yang berlaku hingga saat ini masih merupakan hukum acara warisan Belanda, walaupun dalam beberapa hal telah dilakukan pembaharuan. Diantaranya HIR (Het Herzeine Indonesich Reglement) atau Reglement Indonesia yang Diperbaharui (RIB) Staatsblad 1941 No. 44 yang awalnya merupakan hukum acara perdata137 yang hanya berlaku un-tuk orang Indonesia (ketika itu disebut dengan Bumiputra) dan Timur Asing yang berdomisili di Jawa dan Madura; dan RBG (Reglement Buitengewesten) Staatsblad 1927 No. 227 yang pada awalnya merupakan hukum acara yang berlaku untuk orang Indonesia dan Timur Asing yang berdomisili di luar Jawa dan Madura138; termasuk juga RV (Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering) yang awalnya hanya berlaku bagi golongan Eropa dan dalam praktek peradilan ternyata masih dapat sebagai bagian hukum acara perdata Indonesia sepanjang hal-hal yang bersifat menyempurnakan HIR. Berperkara melalui Pengadilan Niaga merupakan cara lain dalam mencari penyelesaian perkara perdata. Walaupun Pengadilan Niaga masih berada dalam wilayah peradilan umum di Indonesia, akan tetapi Pengadilan Niaga mempunyai kompetensi khusus hanya untuk memeriksa dan memutuskan perkara-perkara yang berhubungan dengan pengajuan Permohonan Pailit dan pengajuan Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU); serta untuk memeriksa dan
Dr. HABIB ADJIE,SH,MH
Page - 133 -
MAGISTER ILMU HUKUM- UNNAR SURABAYA
memutuskan gugatan-gugatan yang berhubungan dengan sengketa Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Right) dengan ketentuan hukum acara yang telah diatur secara tersendiri. Pengadilan Niaga merupakan pengadilan baru di Indonesia yang lahir didasarkan pada UU Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) No. 4/1998 dan mulai beroperasi pada bulan September tahun 1998. Kehadiran Pengadilan Niaga di Indonesia tidak terlepas dari perdebatan permasalahan hukum ketika masa krisis moneter melan-da Indonesia mulai tahun 1997, khususnya dalam hal melakukan penagihan utang di Indonesia yang bagi para kreditur ataupun pelaku bisnis, khususnya para pelaku bisnis asing, semakin menunjukkan ketidakpastian hukum. Hukum Kepailitan yang berlaku di Indonesia ketika itu masih merupakan hukum kepailitan warisan Belanda yang dikenal dengan Peraturan Kepailitan (faillissements verordening); Staatsblad 1905-217 jo. Staatsblad 1906-348. Kesulitan yang dihadapi dalam penggunaan undang-undang kepailitan tersebut antara lain: bahwa selain dibutuhkan adanya insolvensi test sebagai persyaratan untuk dapatnya seorang debitur dinyatakan pailit, pengajuan pailit dilakukan dengan cara gugatan kepailitan yang diajukan ke Pengadilan Negeri sebagai pengadilan perdata tingkat pertama yang proses beracaranya sama dengan perkara perdata lain. Menghabiskan waktu 4 sampai dengan 6 tahun dalam berperkara sampai pada putusan pengadilan yang final. Bagi kreditur cara ini meru-pakan langkah hukum yang tidak efektif, khususnya dalam hal penyelesain sengketa utang-piutang. Penggunaan penyelesaian sengketa secara Litigasi mempunyai keuntungan dan juga kekurangan, antara lain :
Keuntungannnya161 : 1.
dalam mengambil alih keputusan dari para pihak, litigasi sekurang-kurangnya dalam batas tertentu menjamin bahwa kekuasaan tidak dapat mempengaruhi hasil dan dapat menjamin ketentraman sosial.
2.
litigasi sangat baik sekali untuk menemukan berbagai kesalahan dan masalah dalam posisi pihak lawan,
3.
litigasi memberikan suatu standar bagi prosedur yang adil dan memberikan peluang yang luas kepada para pihak untuk didengar keterangannya sebelum mengambil keputusan. 161
Salim H.S. op cit., hal. 141.
Dr. HABIB ADJIE,SH,MH
Page - 134 -
MAGISTER ILMU HUKUM- UNNAR SURABAYA
4.
litigasi membawa nilai-nilai masyarakat untuk penyelesaian sengketa pribadi.
5.
dalam sistem litigasi para hakim menerapkan nilai-nilai masyarakat yang terkandung dalam hukum untuk menyelesaikan sengketa.
Kekurangannya162 : 1. memaksa para pihak pada posisi yang ekstrem. 2. memerlukan pembelaan
(advocasy)
atas setiap
maksud
yang dapat
mempengaruhi putusan. 3. litugasi benar-benar mengangkat seluruh persoalan dalam suatu perkara, apakah persoalan materi (substantive) atau prosedur, untuk persamaan kepentingan dan mendorong para pihak melakukan penyelidikan fakta yang ekstrem dan seringkali marginal. 4. menyita waktu dan meningkatkan biaya keuangan. 5. fakta-fakta yang dapat dibuktikan membentuk kerangka persoalan, para pihak tidak selalu mampu mengungkapkan kekhawatiran mereka yang sebenarnya. 6. litigasi tidak mengupayakan untuk memperbaiki atau memulihkan hubungan para pohak yang bersengketa. 7. litigasi tidak cocok untuk sengketa yang bersifat polisentris, yaitu sengketa yang melibatkan banyak pihak, banyak persoalan dan beberapa kemungkinan alternative penyelesaian. Kekurangan lain yang juga perlu diperhatikan, yaitu jika gugatan tersebut diperiksa oleh hakim yang kurang menguasai permasalahan, sehingga bisa menimbulkan putusan yang jauh dari harapan para pihak yang mengajukan gugatan atau hakim terlalu menggunakan kewenangannya sebagai kewenangan yang merdeka yang tidak dapat diintervensi oleh siapapun, sehingga putusan cenderung tergantung pada kemampuan hakim itu sendiri.
162
Garry Goodpaster – dkk. dalam Salim H.S. ibid., hal 142.
Dr. HABIB ADJIE,SH,MH
Page - 135 -
MAGISTER ILMU HUKUM- UNNAR SURABAYA
Menurut Garry Goodpaster mengemukakan ada 6 (enam) alasan utama mengapa para pihak lebih memilih menyelesaikan sengketa mereka melalui proses litigasi daripada proses negosiasi, sebagai berikut163 : a. Refusal to deal – salah satu pihak menolak untuk bernegosiasi, sementara pihak yang lain tidak mempunyai kekuatan (bargaining power) untuk memaksa menyelesaikan sengketa melalui proses selain itu; b. Negotiation failures – negosiasi yang berlangsung di antara para pihak mengalami kegagalan, karena beberapa hal misal kurangnya keahlian bernegosiasi. Salah satu pihak beranggapan bahwa penyelesaian melalui litigasi memberikan hasil yang lebih memuaskan baginya. c. Zero-sum negotiations – para pihak melihat prospek penyelesaian sengketa melalui negosiasi akan menempatkan mereka pada situasi kemungkinan kalahmenang (a win-lose situation). Melalui litigasi diharapkan akan memberikan posisi yang lebih kuat untuk meminta sesuatu bahkan pembebanan biaya-biaya. Biasanya situasi ini muncul pada transaksi yang telah lewat waktu (jatuh tempo), sehingga pihak yang dirugikan sudah tidak lagi melihat adanya keuntungan apabila diselesaikan dengan negosiasi karena justru kontra produktif (buang waktu). d. The litigator-negotiator’s role – lawyer yang pada prinsipnya bekerja pada konteks area litigasi mungkin tidak berhasil melihat peluang penyelesaian melalui negosisasi untuk menyelesaikan sengketa melalui proses litigasi. e. Lawyer – client relationship in lawsuit – pengajuan proses gugatan di pengadilan acapkali mempengaruhi peluang klien dalam penyelesaian sengketa melalui proses negosiasi, ketika sengketa itu diserahkan kepada lawyernya yang lebih memilih menyelesaikan sengketa melalui proses litigasi dengan mengesampingkan proses negosiasi. f. The litigator – negotiator’s bias – lawyer yang berfungsi sebagai wakil untuk bernegosiasi ternyata justru meningkat faktor kompetisi yang beresiko. Sikap ini sebenarnya sebagai akibat kesalahan memahami prinsip melindungi kepentingan klien sebaik mungkin yang dimaknai bahwa sengketa harus diselesaikan melalui proses litigasi. 3. Melalui Mediasi. Upaya Media dilakukan dengan meminta pihak lain untuk memediatori 163
Garry Goodpaster dalam Agus Yudha Hernoko, op cit., hal. 283 – 284.
Dr. HABIB ADJIE,SH,MH
Page - 136 -
MAGISTER ILMU HUKUM- UNNAR SURABAYA
permasalahan yang bersangkutan atas kesepakatan para pihyak yang bersengketa, artinya para pihak yang bertikai memilih untuk berdamai melalui penengah yang mereka pilih sendiri dan sepakati bersama. Mediator biasanya dianggap profesional dalam bidangnya, berpandangan luas, dan bijaksana, tidak memihak, dan dijalankan jika para pihak yang bertikai itu sadar, penggunaan cara lain hanya akan lebih saling merugikan. Syarat lain, para pihak yang bertikai memang tidak melihat kebutuhan akan eksekusi yang harus dilakukan oleh pengadilan.
Karakteristik Lembaga Mediasi Pengertian tentang Mediasi mengandung unsur-unsur sebagai berikut164 :
a.
Mediasi adalah sebuah proses penyelesaian sengketa berdasarkan perundangan.
b.
Mediator terlibat dan diterima oleh para pihak yang bersengketa di dalam perundangan.
c.
Mediator bertugas membantu para pihak yang bersengketa untuk mencari penyelesaian.
d.
Mediator tidak mempunyai kewenangan membuat keputusan selama perundingan berlangsung.
e.
Tujuan mediasi adalah untuk mencapai atau menghasilkan kesepakatan yang dapat diterima pihak-pihak yang bersengketa guna mengakhiri sengketa.
Fuller dalam Riskim dan Westbrook menyebutkan 7 (tujuh) fungsi Mediator, yakni sebagai catalyst, educator, translator, resource, person, bearer of bad news, agent of realty, dan scapegoat sebagai berikut165 :
a.
sebagai "katalisator", mengandung pengertian bahwa ke-hadiran mediator dalam proses perundingan mampu men-dorong lahirnya suasana yang konstruktif bagi diskusi;
b.
sebagai "pendidik", berarti seseorang harus berusaha memahami aspirasi, prosedur kerja, keterbatasan politis, dan kendala usaha dari para pihak. Oleh sebab itu, ia harus berusaha melibatkan diri dalam dinamika perbedaan di antara para pihak;
c.
sebagai "penerjemah", berarti mediator harus berusaha menyampaikan dan merumuskan usulan pihak yang satu kepada pihak lainnya melalui bahasa atau ungkapan yang baik dengan tanpa mengurangi sasaran yang dicapai oleh 164 165
Sujud Margono dalam H.P. Pangabean, op cit., 122 – 123. Sujud Margono dalam H.P. Pangabean, ibid., hal. 123 – 124.
Dr. HABIB ADJIE,SH,MH
Page - 137 -
MAGISTER ILMU HUKUM- UNNAR SURABAYA
pengusul; d.
sebagai "nara sumber", berarti seseorang mediator harus mendayagunakan sumber sumber informasi, yang tersedia;
e.
sebagai "penyandang berita jelek", berarti seorang mediator harus menyadari bahwa para pihak dalam proses perundingan dapat bersikap emosional. Untuk itu mediator harus mengadakan pertemuan terpisah dengan pihak pihak terkait untuk menampung berbagai usulan;
f.
sebagai "agen realitas", berarti mediator harus berusaha member! pengertian secara jelas kepada salah satu pihak bahwa sasarannya tidak mungkin/tidak masuk akal tercapai melalui perundingan;
g.
sebagai "kambing hitam", berarti seorang mediator harus siap disalahkan misalnya dalam membuat kesepakatan hasil perundingan.
Riskim dan Westbrook membagi proses mediasi ke dalam 5 (lima) tahapan sebagai berikut166:
a.
Sepakat untuk menempuh proses mediasi;
b.
Memahami masalah-masalah;
c.
Membangkitkan pilihan-pilihan pemecahan masalah;
d.
Mencapai kesepakatan;
e.
Melaksanakan kesepakatan;
166
Sujud Margono dalam H.P. Pangabean, ibid., hal. 124.
Dr. HABIB ADJIE,SH,MH
Page - 138 -
MAGISTER ILMU HUKUM- UNNAR SURABAYA
Mediasi akan berfungsi dengan baik bilamana sesuai dengan beberapa syarat berikut ini167 : a.
Para pihak mempunyai kekuatan tawar-menawar yang sebanding;
b.
Para pihak menaruh perhatian terhadap hubungan di masan depan;
c.
Terdapat
banyak persoalan yang memungkinkan terjadinya pertukaran (trade
offs). d.
Terdapat urgensi atau batas waktu untuk menyelesaikan;
e.
Para pihak tidak memiliki permusuhan yang berlangsung lama dan mendalam;
f.
Apabila para pihak mempunyai pendukung atau pengikut, mereka tidak memiliki pengharapan yang banyak, tetapi dapat dikendalikan;
g.
Menetapkan
preseden
atau
mempertahankan suatu hak tidak lebih penting
dibandingkan menyelesaikan persoalan yang mendesak; h.
Jika para pihak berada dalam proses litigasi, kepentingan-kepentingan pelaku lainnya, seperti para pengacara dan penjamin tidak akan diperlakukan lebih baik dibandingkan dengan mediasi.
4. Melalui Arbitrase. Merupakan cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan, berdasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat oleh para pihak, dan dilakukan oleh arbiter yang dipilih dan diberi kewenangan mengambil keputusan168.
Karakteristik Lembaga Arbitrase Ada beberapa alasan mengapa beberapa pihak menggunakan lembaga ini,
yaitu169 : 1.
Adanya kebebasan, kepercayaan dan keamanan Arbitrase pada umumnya menarik bagi para pengusaha,pedagang, dan investor sebab memberikan kebebasan dan otonomi yang sangat luas kepada mereka. Secara relatif memberikan rasa aman terhadap keadaan yang tidak menentu dan ketidakpastian sehubungan dengan sistem hukum yang berbeda, juga menghindari kemungkinan keputusan hakim yang berat sebelah yang melindungi kepentingan (pihak) lokal dari mereka yang teriibat dalam suatu perkara.
167 168 169
Gary Goodpaster, op cit., hal. 17. Gatot Soemartono, op cit., hal. 2. Felix OS - Joni Emirzon dalam H.P. Pangabean, op cit., hal. 120 122.
Dr. HABIB ADJIE,SH,MH
Page - 139 -
MAGISTER ILMU HUKUM- UNNAR SURABAYA
2.
Wasit/arbiter memiliki keahlian (expertise). Para pihak sering kali memilih arbitrase karena mereka memiliki kepercayaan yang lebih besar terhadap keahlian arbiter mengenai persoalan
yang
dipersengketakan dibandingkanjika mereka menyerahkan penyelesaian kepada pihak pengadilan yang telah ditentukan. 3.
Lebih cepat dan hemat biaya. Proses pengambilan keputusan arbitrase sering kali lebih cepat, tidak terlalu formal, dan lebih murah daripada proses litigasi di pengadilan. Dikatakan lebih cepat, karena para pihak tidak harus menunggu dalam antrean proses litigasi, seperti adanya pemeriksaan pendahuluan. Sementara perkara berlangsung, para pihak masih tetap dapat menjalankan usa-hanya dan tidak merasakan kekecewaan dan ketidakpuasan yang terjadi dalam proses litigasi. Selain itu, dalam proses arbitrase tidak dimungkinkan banding atau kasasi, putusan bersifat final dan mengikat (final and binding).
4.
Bersifat Rahasia. Proses pengambilan keputusan dalam lingkungan arbitrase privat dan bukan bersifat umum, sehingga hanya para pihak yang bersengketa saja yang tahu. Sifat rahasia arbitrase ini dapat melindungi para pihak dari hal-hal yang tidak diinginkan atau merugikan akibat penyingkapan informasi bisnis kepada umum.
5.
Adanya kepekaan arbiter/wasit. Dalam mengambil keputusan, pengadilan seringkali meman-faatkan sengketa privat sebagai tempat untuk menonjolkan nilai-nilai masyarakat. Akibatnya, dalam menyelesaikan sengketa privat yang ditanganinya, pertimbangan hakim sering meng-utamakan kepentingan umum, sedangkan kepentingan privat/ pribadi merupakan pertimbangan kedua. Arbitrase pada umumnya menerapkan pola nilainilai secara terbalik, yaitu arbiter dalam pengambilan keputusan lebih mempertimbangkan
sengketa
sebagai
bersifat
privat
daripada
bersiiat
publik/umum. 6.
Bersifat nonpreseden. Pada umumnya putusan arbitrase tidak memiliki nilai atau sif at preseden. Oleh karena itu, untuk perkara yang serupa mung-kin saja dihasilkan keputusan arbitrase yang berbeda.
7.
Pelaksanaan putusan lebih mudah dilaksanakan Jika penyelesaian melalui proses pengadilan adalah penyelesaian dengan
Dr. HABIB ADJIE,SH,MH
Page - 140 -
MAGISTER ILMU HUKUM- UNNAR SURABAYA
menundukkan diri kepada prosedur yang ditetapkan oleh negara, maka penyelesaian melalui (badan) arbitrase merupakan penyelesaian yang dilakukan oleh lembaga swasta, dengan kekecualian tertentu. Arbitrase oleh ICC (International Chamber of Commerce, didirikan di Paris, tahun 1919) dan oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) 170 - (didirikan di Jakarta, tahun 1977) bersifat swasta, sdangkan ICSID (International Centre for the Settlement of Investment Disputes, didirikan di Washington, tahun 1966) dan UNCITRAL (United Nations Conference on International Trade Law, didirikan di New York, tahun 1976) misalnya adalah badanbadan yang governmental sifatnya. Lembaga-lembaga arbitrase pada umumnya mensyaratkan, para pihak yang akan mengajukan perselisihan mereka kepada lembaga yang bersangkutan sudah lebih dulu menyepakati pilihan penyelesaian seperti itu. Biasanya lembaga-lembaga itu malahan menetapkan rumusan ketentuan yang standar sifatnya yang harus disepakati oleh para pihak untuk dicantumkan dalam kontrak mereka171 . Dalam Penjelasan Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, dikemukakan beberapa keunggulan arbitrase dibanding dengan lembaga peradilan umum, antara lain : a. Dijamin kerahasiaan sengketa para pihak; b. Dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif; c. Para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai pengetahuan, pengalaman serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, jujur dan adil; 170
Disamping BANI yang secara khusus sebagai lembaga untuk memberikan penyelesaian secara adil dan cepat dalam sengketa perdagangan, industri dan keuangan, baik yang bersifat nasional maupun internasional. Ada juga BAPMI (Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia) yang secara khusus untuk menyelesaikan sengketa atau beda pendapat yang timbul di antara para pihak yang berhubungan dengan kegiatan di bidang pasar modal di Indonesia dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku dikuasai sepenuhnya oleh para pihak. Secara khusus pula ada BASYARNAS (Badan Arbitrase Syriah Nasional) dengan tugas menyelesaikan secara adil dan cepat sengketa Muamalat/perdata yang timbul dalam bidang perdagangan, keuangan, industri, Jasa, dan lain-lain, yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa dan para pihak sepakat secara tertulis untuk menyerahkan penyelesaianya tersebut kepada Basyarnas sesuai dengan prosedur BASYARNAS. 171 Budiono Kusumohamidjojo, op cit., hal. 72 – 73..
Dr. HABIB ADJIE,SH,MH
Page - 141 -
MAGISTER ILMU HUKUM- UNNAR SURABAYA
d. Para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalah serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase, dan e. Putusan arbitrase merupakan putusan yang mengikat para pihak dan dengan melalui tata cara (prosedur) sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan. 5. Melalui Lembaga Dading dalam HiR/RBg172 : Karakteristik Dading didasarkan pada berbagai ketentuan dalam HIR/RBg, antara lain : Pasal 130, 131, 132 HIR jo Pasal 154, Pasal 155, Pasal 156 RBg. Pasal 119, 120 HIR jo Pasal 143, Pasal 143a RBg, mencakup hal-hal sebagai berikut: 1. Pelaksanaan dading: pada hari yang ditentukan, dalam proses sidang (bukan dalam proses pre trial conference). 2. Pelaksana dading: Ketua Majelis dalam kedudukan sebagai fasilitator, mediator dan wasit. 3. Sasaran dading: mencoba memperdamaikan, bukan keharusan (untuk damai); jika tercapai perdamaian, dibuatkan Akta damai (disebut Akta damai) - (acte van vergelijk = surat penyelesaian perselisihan), kecuali untuk kasus cerai di Pengadilan Agama: a. Perkara tentang hukum kebendaan dapat dibuat Akta damai. b. Perkara tentang hukum kekeluargaan tidak dapat dibuat Akta damai. sifat Akta damai itu : "final and binding". 4. Sarana pendukung dading : dalam proses damai, Ketua dapat menggunakan juru bahasa (Psl. 131 HIR/ Psl. 152 RBg); dalam proses persidangan Ketua berhak memberi nasihat kepada Kedua pihak tentang : a.
upaya hukum biasa (untuk ajukan perlawanan/ verzet, banding dan kasasi).
b.
upaya hukum luar biasa (untuk ajukan derden verzet rekes sipil voeging dan toessenkomst serta vrijwaring) (Pasal 132 HIR / Pasal 156 RBg).
dalam proses pengajuan surat gugatan : 172
H.P. Pangabean, op cit., hal. 124 – 129.
Dr. HABIB ADJIE,SH,MH
Page - 142 -
MAGISTER ILMU HUKUM- UNNAR SURABAYA
a.
Ketua Pengadilan berkuasa memberi nasihat dan pertolongan kepada Penggugat tentang hal memasukkan gugatan (Pasal 119 HIR/Pasal 143 RBg). Pasal ini menempatkan Hakim bertindak aktif untuk memudahkan para pihak memasukkan gugatan.
b.
Ketua Pengadilan juga berkewajiban menerima dan memperingatkan pihak berperkara atas adanya putusan hakim desa yang berkaitan dengan gugatan perkara, Pasal 120 a HIR/Pasal 143 (a) RBg, karena putusan Hakim desa mengandung sifat perdamaian.
5. Cara Efektif Menerapkan Lembaga Dading (damai) Dengan adanya berbagai karakteristik lembaga dading diperoleh adanya 2 (dua) aspek prosedural yang perlu dikembangkan untuk efektifitas lembaga dading, yaitu : 1. Aspek negatif: a. HIR/RBg tidak memberikan ketentuan bersifat imperatif kepada Hakim menerapkan lembaga dading. b. HIR/RBg tidak memisahkan tahapan pendahuluan sebelum proses pemeriksaan materi perkara. Untuk mengatasi aspek negatif itu, disarankan hal sebagai berikut : a. agar para Hakim menempatkan diri selaku fasilitator yang berwenang menentukan acara persidangan pertama, kedua, ketiga dan seterusnya untuk memberikan saran damai dan atau informasi hukum tentang cara terbaik untuk penyelesaian sengketa termasuk alternatif penyelesaian sengketa; b. agar Ketua Pengadilan Tingkat Pertama membuatkan surat penetapan tentang tahapan persidangan perkara perdata dengan isi sebagai berikut: Tahap I : Pengajuan surat gugatan, untuk meneliti kelengkapan isi posita dan petitum gugatan (Pasal 132 HIR/ Pasal 119 RBg). Proses ini dimaksudkan menyempurnakan petitum gugatan sesuai posita gugatan untuk mencegah terjadinya putusan Hakim yang non exceutable. Tahap II : Upaya perdamaian (pre trial conference) untuk memberi saran-saran dan informasi tentang acara sidang dan juga saran-saran perdamaian. Dalam tahap II ini Hakim berfungsi 2 (dua) hal alternatif, yaitu: a.
Hakim sebagai fasilitator, yang memberikan arahan dan informasi dengan cara bagaimana tuntutan sengketa dapat lebih cepat dan efisien di selesaikan;
Dr. HABIB ADJIE,SH,MH
Page - 143 -
MAGISTER ILMU HUKUM- UNNAR SURABAYA
b.
Hakim sebagai mediator, yang memberi bimbingan alternatif penyelesaian sengketa secara damai, jika kedua pihak sepakat menunjuk Hakim tersebut sebagai mediator;
Dalam proses mediasi ini, Hakim memberi-kan jalan keluar (solusi) dengan berpadanan pada prinsip win-win solution. Tahap III : Hakim berfungsi sebagai wasit, memeriksa dan mengadili isi tuntutan perkara itu dalam 2 (dua) aspek, yaitu :
aspek
materil,
menyangkut
berbagai
fakta
dan
bukti
perkara/argumentum.
aspek formal, menyangkut penerapan hukum yang sesuai untuk pemutusan perkara itu. Sebagai wasit, Hakim memberi putusan itu dapat menerapkan prinsip win lose solution. (Proses litigasi)
2. Aspek positif: a. Bahwa dalam setiap tahap persidangan perkara, Hakim berhak mengharuskan para pihak bersengketa untuk hadir sendiri dalam persidangan, agar proses perkara dapat diselesaikan secara cepat; b. Bahwa Hakim setiap saat dapat menghentikan proses persidangan jika kedua pihak telah sepakat menyelesaikannya secara damai; c. Bahwa isi Akta damai dapat dikuatkan putusan Hakim untuk menghukum pihak berperkara memenuhi isi Akta damai, Akta damai itu bersifat final and binding. Aspek positif itu dapat dikembangkan dengan membuat berbagai sarana informasi tentang penyelesaian sengketa dalam bentuk papan panel atau bagan atau pamflet dan menempatkannya pada tempat pengumuman di sekitar ruang sidang atau ruang tunggu pengadilan.
Gambaran Tentang Perbandingan Cara-cara Penyelesaian Sengketa Antara Lembaga Annexed Court (AC) Alternatif Penyelesaian Sengketa Dengan Lembaga Dading173: No
Pokok Bahasan
Dading (Pasal 130 HiR)
1.
Pengambil putusan dan kedudukan
Hakim Majelis (Fasilitator/wasit ) Mediasi
MEDIASI
ARBITRASE
LITIGASI
Para pihak (fasilitator)
Arbiter (wasit)
Hakim Majelis (wasit)
173
M. Yahya Harahap dalam Sujud Margono - dalam H.P. Pangabean, op cit., hal. 124 – 129.
Dr. HABIB ADJIE,SH,MH
Page - 144 -
MAGISTER ILMU HUKUM- UNNAR SURABAYA
2. Prosedure 3.
4. 5. 6.
7. 8. 9.
Pokok bahasan (pembuktian)
Pro Trial Conference (PTC) Aspek materil (materi kasus) + argumentasi
Informal
Agak formal
Formalistik
Aspek materil (materi kasus)
Aspek materil (materi kasus + argumentasi)
Aspek materil (judexfactf) Aspek formal (penerapan hukum)
Jangka waktu
1 - 12 bulan
3 - 6 minggu
3 - 6 bulan
1 – 9 tahun
Biaya
Sangat murah
Sangat murah
Mahal
Mahal
Prospek penanganan
Manageable / predictable
Manageable / predictable
Manageable / Predictable
Unpredictable
Publikasi
Terbuka untuk umum
Sangat pribadi
Sangat rahasia
Terbuka unluk umum
Cara pendekatan
Persuasive / koperatif
Persuasive / koperatif
Konfrontatif
Konfrontatif
Fokus Penyelesaian
Mencari solusi
Mencari solusi (lupakan yang lalu)
Fakta dimasa lalu
Fakta di masa lalu
10. Prinsip Penyelesaian 11. Sikap para pihak
Win - win Win-win solution Win lose Win - lose solution solution (sama(sama-sama solution (kalah (kalah -menang) sama menang) menang) menang) Sukarela/sepakat (bebas emosi)
Sukarela / sepakat (bebas emosi)
12
Objek gugatan
13 Status putusan
14
Pelaksana eksekusi
Segala bidang sengketa
Segala bidang sengketa
Setara putusan Hakim (bht)
Tidak dapat dipaksakan
Ketua Pengadilan Negeri
Para pihak
Membela diri dan menuntut hak (emosional) Bidang perniagaan (perniagaan, perbankan, keuangan, penanaman modal, industri, HAKI) Final dan binding (fiatering Ketua PN) Ketua Pengadilan Negeri
Membela diri dan menuntut hak (emosional)
Segala bidang sengketa
Final + binding.
Ketua Pengadilan Negeri
C. BERAKHIRNYA KONTRAK. Normalnya, suatu kontrak akan hapus setelah kontrak tersebut berakhir. Artinya, ketika seluruh bentuk-bentuk perikatan yang telah disepakati dalam kontrak telah
Dr. HABIB ADJIE,SH,MH
Page - 145 -
MAGISTER ILMU HUKUM- UNNAR SURABAYA
dilaksanakan, maka kontrak tersebut akan berakhir dan hapus dengan sendirinya.
Hapusnya perikatan (Pasal 1881 sampai dengan Pasal 1456 KUHPerdata), terdiri dari : 1.
Pembayaran (betaling), Pembayaran dalam konteks ini harus dipahami secara luas. Artinya lebih
mengarah pada pengertian pemenuhan prestasi (performance) dalam suatu perjanjian. Pembayaran, dalam hal ini, tidak hanya dalam bentuk penyerahan sejumlah uang semata, akan tetapi juga termasuk pada pelaksanaan prestasi lainnya sesuai dengan bentuk ataupun jenis dari perjan-jian yang telah disepakati. Misalnya dalam perjanjian kredit, pembayaran dapat diartikan sebagai bentuk penyerahan uang kepada pihak kreditur sebagai pengembalian ataupun pelunasan uang pinjaman yang telah diterimanya dari kreditur tersebut berdasarkan perjanjian kredit yang disepakati. Berbeda dengan perjanjian jual beli, pembayaran harga barang yang dijual kepada penjual yang diikuti oleh penyerahan objek jual beli oleh penjual kepada pembeli dapat juga diartikan dengan pembayaran oleh penjual dan oleh si pembeli yang mengakibatkan kontrak jual beli tersebut menjadi secara sempurna terpenuhi sehingga menjadi berakhir dan hapus. Begitu juga terhadap kewajiban dari pihak ketiga yang ber-tindak sebagai penanggung (guarantor) yang baru akan berakhir setelah penanggung tersebut menyelesaikan kewajibannya sesuai dengan keten-tuan kontrak pertanggungan yang disepakatinya. Pengertian pembayaran dalam arti luas ini diatur dalam Pasal 1382 KUH Perdata, sebagai berikut :
Tiap-tiap perikatan dapat dipenuhi oleh siapa saja yang berkepentingan, sepertinya seorang yang turut berutang atau seorang penanggung utang.
Suatu perikatan bahkan dapat dipenuhi juga oleh seorang pihak ketiga, yang tidak mempunyai kepentingan asal saja orang pihak ketiga itu bertindak atas nama dan untuk melunasi utangnya si berutang, atau jika ia bertindak atas namanya sendiri, asal ia tidak menggantikan hak-hak si berpiutang. Pasal 1382 KUH Perdata tersebut menjelaskan bahwa pembayaran merupakan suatu
tindakan pemenuhan kewajiban terhadap tiap-tiap perikatan dari orang-orang yang berkepentingan untuk itu. Tidak dibatasi hanya dalam pemenuhan kewajiban debitur dalam penjanjian utang-piutang semata, akan tetapi pada seluruh bentuk perikatan ataupun kontrak yang meletakkan bahwa pihak yang terikat untuk melaksanakan kewajiban sebagai debitur ataupun pihak yang berutang. Pembayaran itu sendiri pada umumnya dilakukan oleh orang yang terikat
Dr. HABIB ADJIE,SH,MH
Page - 146 -
MAGISTER ILMU HUKUM- UNNAR SURABAYA
untuk melakukan pembayaran tersebut, dalam hal ini adalah debitur. Dalam Pasal 1382 KUH Perdata, diatur bahwa yang dapat melakukan pembayaran tersebut adalah: 1) debitur sendiri sebagai pihak yang langsung terikat dalam perjanjian, 2)
penjamin atau borgtocht atau guarantor (personal guarantor ataupun corporate guarantor) yang sebelumnya memberikan penjaminan atas pembayaran objek perikatan perjanjian tersebut,
3) Orang ketiga yang melakukan pembayaran atas nama debitur. Sedangkan pihak yang berhak untuk menerima pembayaran diatur dalam Pasal 1385 yaitu: 1) Kreditur sendiri sebagai pihak yang langsung berkepentingan 2) Kepada seseorang yang telah diberi kuasa oleh kreditur 3) Kepada orang yang telah ditunjuk hakim untuk berhak menerima pembayaran, 4) Ataupun orang-orang yang ditetapkan oleh undang-undang. Ketentuan-ketentuan yang diatur sebagai dasar dari pengakhiran kontrak melalui pembayaran tersebut di atas, sangat menekankan pada bentuk-bentuk kesepakatan dari pihak-pihak berkontrak. Misalnya, tentang pembayaran kepada pihak yang berhak dengan jumlah dan tatacara yang disepakati oleh pihak yang berkewajiban untuk membayar dan pihak yang berhak untuk menerima pembayaran tersebut sesuai dengan perjanjian yang telah disepakatinya. Artinya, tidak ada alasan dilakukannya pembayaran terhadap pihak lain tanpa adanya dasar dari kewajiban untuk membayar terhadap pihak tersebut. Kecuali memang jika dimaksudkan sebagai pemberian sukarela ataupun hadiah, ataupun hibah. Demikian juga misalnya, tentang kehadiran pihak ketiga yang bersedia melakukan pembayaran ataupun pelaksanaan dari kewajiban debitur, hal tersebut juga harus dilakukan berdasarkan kesepakatan yang tegas dalam kontrak. Artinya, walaupun memungkinkan, tidak semua bentuk pengambilalihan kewajiban debitur yang dilakukan oleh pihak ketiga dapat diterima oleh kreditur. Dalam banyak pelaksanaan prestasi, sering kreditur tidak memberikan persetujuan terhadap hadimya pihak ketiga untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban yang disepakatinya dengan debitur tersebut. Berbeda halnya bila kehadiran pihak ketiga untuk meng-ambil alih pelaksanaan prestasi (pembayaran) dari debitur tersebut telah mendapat persetujuan dari kreditur. Misalnya pada kesepakatan untuk melakukan pemotretan, bila dalam kontrak pemotretan antara A dan B tersebut telah disepakati untuk dilakukan oleh B, maka tidak begitu saja pemotretan tersebut dapat dilakukan C. Karena pemilihan B dilakukan oleh A
Dr. HABIB ADJIE,SH,MH
Page - 147 -
MAGISTER ILMU HUKUM- UNNAR SURABAYA
didasarkan oleh reputasi dan hasil karyanya selama ini. Akan teta-pi pada contoh lain, dapat saja seorang pemberi kerja (project owner) memberikan kesempatan kepada kontraktornya (main contractor) hak untuk men-subkontrak-kan pekerjaannya kepada sub kontraktor sepanjang kualitas pekerjaan tersebut sama dengan ketentuan yang telah disepakati, dan kehadiran sub kontraktor tersebut telah atas sepengetahuan ataupun ijin dari pemberi kerja. Sehingga pemahaman terhadap hal-hal tersebut di atas akan memberikan gambaran bagi seorang perancang kontrak untuk membangun kejelasan dalam proses pelaksanaan hak dan kewajiban dari masing-ma-sing pihak berkontrak. 2.
Penawaran pembayaran tunai yang (asalkan) diikuti dengan penyimpanan atau penitipan/konsinyasi. Pelunasan utang dengan menawarkan pembayaran secara tunai yang diikuti
dengan konsinyasi
atau
penitipan pembayaran
tersebut
kepada
pengadilan
dimungkinkan oleh undang-undang terhadap debitur dalam jika kreditur menolak pembayaran yang dilakukan oleh debitur tersebut kepadanya, padahal secara kontraktual sebenarnya debitur tersebut berhak untuk melakukan pembayaran seperti yang ditawarkannya tersebut. Dengan pengertian lain, atas hak yang dimilikinya untuk melakukan pembayaran kewajibannya tersebut, maka debitur tersebut dapat menitipkan pembayaran tersebut ke pengadilan sebagai dasar dari perlindungan haknya, untuk tidak dapat dihukum wanprestasi (default) dan segera mengakhiri ataupun menghapuskan kontrak yang menjadi dasar kewajibannya untuk melakukan pembayaran tersebut. Pembayaran dengan cara menitipkan uang tersebut ke pengadilan secara hukum akan membebaskan si berutang dari kewajibannya dan menjadi dasar dari hapusnya perikatan yang melahirkan kewajiban dari si berutang tersebut sepanjang dilakukan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 1404 KUH Perdata sampai dengan Pasal 1412 KUH Perdata. Tentang tata cara penawaran pembayaran tunai yang diikuti dengan penitipan di Pengadilan tersebut, Pasal 1405 KUH perdata memberikan tuntunan sebagai berikut : 1) Bahwa penawaran tersebut dilakukan kepada seorang berpiutang atau kepada seorang yang berkuasa menerimanya untuk si berpiutang tersebut; 2) Bahwa penawaran tersebut dilakukan oleh seorang yang berkuasa membayar; 3) Bahwa penawaran tersebut haruslah mengenai semua uang pokok dan bunga yang dapat ditagih, beserta biaya yang telah ditetapkan dan mengenai sejumlah uang untuk biaya yang belum ditetapkan, dengan tidak mengurangi penetapan kemudian;
Dr. HABIB ADJIE,SH,MH
Page - 148 -
MAGISTER ILMU HUKUM- UNNAR SURABAYA
4) Bahwa waktu yang ditetapkan telah tiba untuk mengambil tindakan penawaran tersebut; 5) Bahwa syarat yang menjadi dasar dari lahirnya utang tersebut telah terpenuhi; 6) Bahwa penawaran dilakukan di tempat dimana menurut perjanjian pembayaran harus dilakukan, dan jika tiada suatu perjanjian khusus mengenai itu, kepada siberpiutang pribadi atau di tempat tinggal yang sungguh-sungguh atau di tempat tinggal yang telah dipilihnya; 7) Bahwa penawaran tersebut dilakukan oleh seorang notaris, atau juru sita, kedua-duanya disertai dua orang saksi. Bahwa jika terhadap langkah penawaran untuk pembayaran tunai yang disebutkan di atas, ternyata mendapat penolakan dari pihak kreditur, maka debitor dapat melakukan penyimpanan ataupun penitipan uang tersebut ke Pengadilan. Dalam Pasal 1406 KUH Perdata ditegaskan bahwa penyimpanan ataupun penitipan pembayaran tunai sebagai dasar dari pelunasan terhadap kreditur tersebut tidak perlu harus berada dibawah penguasaan hakim, akan tetapi penyimpanan atau penitipan tersebut telah sah bila dilakukan dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut: 1) Penyimpanan tersebut didahului oleh suatu keterangan yang diberita-hukan kepada si kreditur, yang memuat tentang hari, tanggal, jam dan tempat dimana pembayaran yang ditawarkan tersebut akan disimpan atau dititipkan. 2) Si debitur telah melepaskan barang ataupun pembayaran tunai yang ditawarkannya tersebut dengan menitipkannya kepada kas peny-impanan atau penitipan di kepaniteraan Pengadilan yang, jika ada perselisihan, akan mengadilinya, disertai dengan bunga sampai pada hari penitipan; 3) Bahwa oleh notaris atau juru sita, yang disertai dua orang saksi, dibuat berita acara penyimpanan yang menerangkan jumlah dan jenis mata uang yang ditawarkan, sikap penolakan si kreditur ataupun teri-tang ketidakhadiran dari debitur untuk menerima penawaran tersebut, serta tentang tindakan penyimpanan ataupun penitipan pembayaran yang ditawarkan tersebut ke pengadilan. Dalam hal si kreditur tidak datang untuk menerima berita acara penyimpanan tersebut, maka berita acara penyimpanan tersebut akan diberitahukan kepadanya dengan peringatan untuk juga mengambil pembayaran tunai yang telah dititipkan tersebut. Jika kreditur sama sekali tidak menyangkal tentang sah atau tidaknya penyimpanan tersebut dalam waktu lebih dari satu tahun sejak pemberitahuan tersebut diberikan kepada kreditur, maka debitur yang telah melakukan pembayaran melalui penitipan tersebut akan dibebaskan dari utangnya, begitu juga dengan si penanggung.
Dr. HABIB ADJIE,SH,MH
Page - 149 -
MAGISTER ILMU HUKUM- UNNAR SURABAYA
Artinya pembayaran yang dititipkan tersebut telah dapat secara hukum dianggap sebagai pelunasan utangnya. Pelunasan utang melalui cara penitipan tersebut juga menjadi sah apabila pengadilan memutuskan bahwa penawaran pembayaran tunai yang telah dititipkan tersebut dinyatakan sah. Sebelum adanya putusan yang berkekuatan tetap dari pengadilan terhadap status hukum dari pembayaran melalui penitipan tersebut, atau masa waktu dimana si kreditur tidak memberikan sangkalan belum melebihi waktu satu tahun sebelum pemberitahuan berita acara petitipan tersebut disampaikan kepadanya, debitur, secara hukum masih dapat menarik pembayaran yang telah dititipkannya tersebut, dengan konsekuensi bahwa kewajibannya sebagai debitur akan tetap seperti adanya, akan tetapi jika telah ada putusan pengadilan yang berkekuatan tetap ataupun jika pembayaran melalui penitipan tersebut telah. dinyatakan sah, akibat dari telah terlampuinya waktu lebih dari satu tahun tanpa sanggahan dari kreditur terhadap keabsahan penitipan tersebut, raaka debitur tidak dapat lagi mengambil uang pembayaran yang dititipkannya tersebut karena pembayaran tersebut telah secara hukum dinyatakan menjadi dasar pelunasan utang si debitur. Artinya, hapusnya perikatan yang didasarkan pembayaran dengan cara raenitipkan di Pengadilan tersebut baru akan efektif setelah kreditur menerimanya, ataupun setelah adanya putusan pengadilan yang berkekuatan tetap terhadap keabsahan dari penitipan tersebut. Konsekuensi dari keabsahan pembayaran melalui penitipan di pengadilan tersebut, akan memberikan konsekuensi hukum tidak dapatnya debitur tersebut dinyatakan wan prestasi, oleh karena itu, tidak dapat dikenakan bunga, ataupun dibenankan denda sejak hari penitipan. Jikapun pembayaran tersebut dalam bentuk penyerahan barang, maka keabsahan pembayaran dengan menitipkan barang tersebut akan memberikan konsekuensi bahwa debitur tidak lagi bertanggungjawab terhadap risiko atas barang yang dititipkan tersebut sejak hari penitipan. Bahkan dalam perjanjian yang bersifat timbal balik, debitur yang telah secara sah melakukan prestasinya tersebut dapat menuntut pelaksanaan prestasi dari krediturnya tersebut. Jikapun, setelah putusan pengadilan yang berkekuatan tetap yang telah mensahkan pembayaran melalui penitipan tersebut, kreditur mengijinkan debitur untuk mengambil kembali pembayaran dalam penitipan tersebut setelah putusan pengadilan yang berkekuatan tetap, maka status utang dari debitur akibat dari pengambilan kembali titipan tersebut tidak lagi dilindungi oleh jaminan kebendaan, jika utang tersebut dilindungi oleh jaminan kebendaan sebelumnya, karena status utang
Dr. HABIB ADJIE,SH,MH
Page - 150 -
MAGISTER ILMU HUKUM- UNNAR SURABAYA
sebelumnya telah hapus, begitu juga dengan perjanjian jaminan kebendaan yang mengikuti perjanjian yang mendasari hadirnya kewajiban membayar tersebut. Dalam Pasal 1407 KUH Perdata ditegaskan bahwa biaya yang dikeluarkan untuk menyelenggarakan penawaran pembayaran tunai dan penyimpanan, harus dipikul oleh si kreditur, jika terbukti bahwa tindakan pembayaran tunai melalui penitipan tersebut ternyata terbukti dilakukan secara sah. 3.
Pembaharuan utang (Novatie), Pembaharuan utang atau Novasi merupakan peritiwa hukum yang dapat
menghapuskan perikatan ataupun kontrak yang diperbaharuinya. Artinya dengan adanya suatu kesepakatan baru yang disetujui semua pihak, maka kesepakatan lama akan menjadi hapus dengan sendirinya. Dalam Pasal 1413 KUH Perdata, dijelaskan tiga bentuk pembaharuan utang yang di-perbolehkan, sebagai berikut: 1) Apabila debitur dan krediturnya sepakat untuk membuat suatu perikatan baru menggantikan perikatan yang lama yang membuat perikatan lama hapus karenanya atau yang disebut juga dengan novasi objektif. Contoh dari pembaharuan utang seperti ini, misalnya A sebagai penjual yang melakukan kontrak jual beli dengan B sebagai pembeli. Dalam hal terjadinya ketidakmampuan dari B untuk melunasi barang yang telah dibelinya, maka kedua belah pihak sepakat mencari penyelesaian dengan melakukan pembaharuan utang dengan menyepakati perjanjian sewa menyewa, dimana kewajiban membayar yang melekat pada si pembeli dalam perjanjian jual beli sebelumnya, dirubah bentuk peny elesaianny a ataupun pembay aranny a dengan memberikan hak bagi A untuk menyewa gedung miliknya, dimana pembayaran sewa dari gedung milik B tersebut dibayarkan dari kewajiban B yang belum terbayar pada A pada perjanjian jual beli sebelumnya. Dari contoh tersebut para pihak berkontrak tetap A dan B, akan tetapi materi kontrak yang disepakati telah berubah dari perjanjian jual beli menjadi perjanjian sewa menyewa, yang secara tegas memberikan konsekuensi hapusnya perjanjian jual beli tersebut. 2) Apabila seorang debitur baru ditunjuk untuk menggantikan debitur lama yang membebaskan debitur lama dari kewajibannya atau yang disebut juga dengan novasi subjektif pasif. Contoh dari pembaharuan utang seperti ini, misalnya A sebagai debitur terhadap B, mengusulkan agar kedudukannya sebagi debitur digantikan oleh C kepada B. Dimana bila B sebagai kreditur menyetujui pergantian debitur tersebut, konsekuensinya secara tegas akan membebaskan A dari seluruh
Dr. HABIB ADJIE,SH,MH
Page - 151 -
MAGISTER ILMU HUKUM- UNNAR SURABAYA
kewajibannya kepada B sebagai konsekuensinya dari telah hapusnya perikatan A dengan B sebelumnya. Dalam hal pergantian debitur tersebut, persetujuan dari kreditur merupakan syarat mutlak, begitu juga dengan persetujuan dari kreditur untuk membebaskan debitur lama sebagai akibat dari pembaharuan utang melalui pembaharuan debitur tersebut. 3) Apabila si kreditur lama digantikan oleh si kreditur baru, dimana se-bagai akibatnya si debitur dibebaskan dari kewajibarmya terhadap kreditur lama, karena telah beralih kepada kreditur baru atau yang disebut juga dengan novasi subjektif aktif. Contoh pembaharuan utang seperti ini, misalnya A selaku kreditur melakukan kesepakat-an pembaharuan dengan B selaku debiturnya, dimana A menunjuk C sebagai kreditur baru yang menggantikan seluruh hak-hak kreditur yang dimilikinya sebagai kreditur lama, dan oleh karena itu, membe-baskan B untuk membayar utang kepada A, akan tetapi harus membayarnya kepada C sebagai kreditur baru. Seluruh bentuk-bentuk pembaharuan utang tersebut di atas haruslah dilakukan oleh orang-orang yang berwenang untuk melakukannya, dan pembaharuan utang tersebut harus dengan tegas dinyatakan tidak dapat dilakukakan secara lisan. Begitu juga tentang pembebasan debitur dari kewajibannya yang didasarkan perikatan yang lama (yang telah diperbaharui) menjadi syarat utama yang harus secara tegas diperjanjikan dalam pembaharuan utang baik yang bersifat subjektif maupun objektif tersebut. Harus juga diperhatikan bahwa akibat dari pembaharuan utang tersebut, akan menimbulkan akibat tidak berlakunya lagi seluruh ketentuan-ketentuan yang telah disepakati dalam perjanjian yang telah diperbaharui, karena perjanjian tersebut telah hapus. Sehingga dalam hal perjanjian yang lama dijamin dengan hak-hak istimewa ataupun adanya jaminan-jaminan kebendaan dalani bentuk hak tanggungan, gadai ataupun fidusia, maka hams ada ketegasan dalam perjanjian yang diperbaharui untuk tetap mempertahankan hak-hak istimewa ataupun jaminan-jaminan tersebut sebagai hak-hak istimewa ataupun jaminan-jaminan yang tetap melekat pada perbaharuan utang yang dilakukan. Karena bila tidak, maka hak-hak istimewa ataupun jaminan-jaminan tersebut tidak akan berpindah pada piutang yang baru. Dalam hal yang berubah adalah si debitur lama menjadi debitur baru, maka hak-hak istimewa ataupun jaminan-jaminan kebendaan yang disepakati pada perjanjian lama tidak akan berpindah kepada harta dari debitur baru. Sehingga jikapun dipertahankan, maka jaminan-jaminan tersebut
Dr. HABIB ADJIE,SH,MH
Page - 152 -
MAGISTER ILMU HUKUM- UNNAR SURABAYA
merupakan jaminan yang mengikat pemberi jaminan lama, atau terhadap harta debitur baru dilakukan penjaminan yang baru. 4.
Perjumpaan utang (kompensasi)/set off. Kompensasi adalah perjumpaan utang antara debitur dan kreditur yang sama-
sama mempunyai piutang ataupun tagihan antara kedua belah pi-hak. Contohnya A mempunyai tagihan Rp. 1.000.000,- kepada B, dimana pada saat yang bersamaan B juga mempunyai tagihan kepada A. Dengan ke-adaan ini A dan B dapat mengadakan perjumpaan utang yang akhirnya akan membebaskan kedua belah pihak dari utangnya masing-masing aki-bat dari utang dan piutang yang telah diperjumpakan tersebut. Kompensasi ini umumnya terjadi dengan sendirinya (Pasal 1426 KUH Perdata) sebagai suatu reaksi antara debitur dan kreditur untuk menyeder-hanakan pemenuhan prestasi antara kedua belah pihak yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam dua perjanjian utang piutang, dimana dalam perjanjian, yang satu berkedudukan sebagai debitur, sementara dalam perjanjian yang satu lagi sebagai kreditur. Kompensasi ini dapat juga digunakan dalam memberi kepastian pembayaran dari debitur yang pailit. Bila si debitur ternyata mempunyai tagihan pada kreditur, maka hal tersebut dapat diperjumpakan sehingga lunas. Dalam kompensasi dapat juga terjadi pembayaran untuk sebagian tanpa mengurangi pengertian prinsip dari pembayaran yang bersifat keseluruhan. Contohnya apabila A mempunyai utang kepada B sejumlah Rp. 500.000,- dimana pada saat yang sama A juga mempunyai piutang Rp. 1 juta kepada si B maka perjumpaan utang dapat dilakukan dimana B akhirnya mempunyai utang Rp. 500.000,kepada si A. Kompensasi ini tidak dapat dilakukan dengan merugikan hak kreditur lain. Hal ini mungkin terjadi misalnya dalam hal seorang debitur dari suatu kreditur yang kemudian dinyatakan pailit atas kewajibannya pada pihak lain, membeli piutang salah satu dari kreditur si pailit tersebut yang kemudian piutang tersebut dikompensasikannya kepada utangnya terhadap si pailit. Kompensasi seperti ini tidak sah secara hukum dan dapat dibatalkan karena sebagai debitur, dia tidak dapat secara bad faith melakukan pelunasan melalui set off dari hasil pembelian tagihan seorang kreditur konkuren pailit. Dimana terhadap pemenuhan tagihan yang bersifat separatis tersebut dalam Pasal 1132 akan mendapatkan pembayaran secara proporsional. 5.
Percampuran utang. Percampuran utang terjadi apabila kedudukan sebagai pihak debitur dan pihak
kreditur berkumpul pada satu orang yang memberi konsekuensi hukum utang tersebut
Dr. HABIB ADJIE,SH,MH
Page - 153 -
MAGISTER ILMU HUKUM- UNNAR SURABAYA
menjadi hapus. Contoh percampuran utang dalam hal ini, misalnya A sebagai seorang penyewa rumah, yang mempunyai kewajiban untuk mem bayar sewa rumah yang ditempatinya hingga pada waktu tertentu sesuai dengan yang disepakati dalam kontrak sewa menyewa, tiba tiba berubah menjadi pemilik dari rumah yang disewanya tersebut karena A telah membeli rumah tersebut dari pemiliknya. Dalam hal ini terjadi percampuran dalam diri A, dimana satu sisi, kedudukannya merupakan penyewa terhadap pemilik rumah yang ditempatinya, sementara pada sisi lain dia telah berubah menjadi pemilik rumah yang disewanya tersebut sebagai akibat dari kesepakatan jual beli yang telah dilaksanakannya. Sehingga dengan adanya percampuran utang tersebut, secara hukum akan membebaskan A dari kewajibannya karena telah hapusnya perjanjian sewa menyewa akibat dari percampuran utang tersebut. 6.
Pembebasan utang, Pembebasan utang merupakan suatu langkah hukum pengapusan utang,
dimana kreditur secara sukarela membebaskan debitur dari kewajiban membayar utangnya kepada kreditur tersebut. Tindakan ini merupakan suatu tindakan Kreditur yang tidak terjadi akibat dari bentuk-bentuk hapusnya utang seperti yang telah dijelaskan di atas. Artinya, pembebasan utang tersebut tidak terjadi akibat dari telah dilakukannya pelunasan, ataupun tidak terjadi akibat dari novasi ataupun set off, akan tetapi lebih merupakan suatu tindakan ataupun pernyataan dari kreditur untuk meng-hapuskan piutangnya terhadap debiturnya tersebut. Misalnya, kreditur tersebut secara tegas menyatakan kepada debiturnya bahwa utang-utangnya kepada kreditur tersebut telah hapus, yang diikuti dengan pengem-balian surat perjanjian utang piutang tersebut kepada debiturnya. Sebagai suatu perjanjian yang memberikan konsekuensi hapusnya perjanjian yang lama, langkah pembebasan utang ini, tidak dapat hanya dengan persangkaan, akan tetapi harus dengan dapat tegas dibuktikan. Sehingga sebaiknya dilakukan melalui suatu perjanjian tertulis yang menegaskan sikap dari Kreditur untuk membebaskan debiturnya dari seluruh kewajibannya, serta juga sikap dari debitur untuk menerima pembebasan tersebut. Pembebasan utang tersebut juga harus secara jelas diatur, khususnya bila pembebasan tersebut dilakukan terhadap beberapa debitur yang secara tanggung renteng diwajibkan untuk melunasi utang tersebut, karena bila tidak ditegaskan, maka pembebasan tersebut akan diartikan sebagai pembebasan juga terhadap debitur lainnya. Berbeda halnya dengan posisi penanggung (guarantor) terhadap debitur yang
Dr. HABIB ADJIE,SH,MH
Page - 154 -
MAGISTER ILMU HUKUM- UNNAR SURABAYA
akan dibebaskan dari kewajibannya tersebut, pembebasan tersebut akan secara otomatis akan membebaskan kewajibannya sebagai penanggung. Artinya kreditur tidak dapat membebaskan debitur dari utang-utangnya, akan tetapi tetap mengikat penanggungnya terhadap pembayaran utang tersebut. Akan tetapi, Kreditur dapat membebaskan penanggung dari keajiban untuk menjadi penjamin terhadap utang-utang debitur utama, tanpa membebaskan debitur utama dari kewajiban untuk melunasi utangnya kepada kreditur tersebut. Selain dari alasan-alasan hukum yang melatarbelakangi alasan peng-hapusan perikatan-perikatan ataupun kontrak seperti yang dijelaskan di atas, perikatan-perikatan juga dapat hapus akibat dari musnahnya barang yang menjadi bahan perjanjian, dimana musnahnya barang tersebut sama sekali tidak disebabkan oleh kesalahan si debitur, dan musnahnya barang tersebut terjadi sebelum kesepakatan untuk menyerahkannya terlampaui. Dari ketentuan tersebut terlihat bahwa dasar dari penghapusan perikatan tersebut terjadi akibat dari tidak mungkinnya lagi dilakukan pelaksanaan kontrak yang disepakati akibat dari telah musnahnya barang yang diper-janjikan. Selain itu, hapusnya suatu kontrak dapat juga terjadi akibat dari batalnya kontrak tersebut, misalnya akibat dari ketidakjelasan objek perjanjian, ataupun akibat belum dewasanya pihak-pihak yang berkontrak, akibat adanya penipuan ataupun paksaan, ataupun akibat dari pelang-garan hukum, kesusilaan ataupun ketertiban hukum. Konsekuensi dari batalnya kontrak ini, akan menimbulkan penghapusan pada kontrak yang telah batal tersebut secara hukum. 7.
Batal atau pembatalan,
1. Pengertiannya Kebatalan kontrak diatur dalam Pasal 1446 KUH Perdata sampai dengan Pasal 1456 KUH Perdata. Ada 3 (tiga) tiga penyebab timbulnya pembatalan kontrak, yaitu : a. adanya perjanjian yang dibuat oleh orang-orang yang belum dewasa dan di bawah pengampuan; b. tidak mengindahkan bentuk perjanjian yang disyaratkan dalam undang-undang; c. adanya cacat kehendak. Cacat kehendak (wilsgebreken) adalah kekurangan dalam kehendak orang atau orang-orang yang melakukan perbuatan yang menghalangi terjadinya persesuaian kehendak dari para pihak dalam perjanjian. Cacat kehendak dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) macam, yaitu : a. Kekhilafan (dwalling) adalah suatu penggambaran yang keliru mengenai orangnya
Dr. HABIB ADJIE,SH,MH
Page - 155 -
MAGISTER ILMU HUKUM- UNNAR SURABAYA
atau objek perjanjian yang dibuat oleh para pihak. Dwaling dibagi menjadi dua macam, yaitu (1) dwaling tentang orangnya dan (2) dwaling, di dalam kemandirian benda. b. Paksaan (dwang), yaitu suatu ancaman yang dilakukan oleh seseorang kepada orang lain atau pihak ketiga, sehingga memberi kesan dan dapat menimbulkan ketakutan pada orang yang berakal sehat, bahwa dirinya. orang-orangnya, atau kekayaannya terancam rugi besar dalam waktu dekat (Pasal 1324 KUH Perdata). c. Penipuan (bedrog) adalah dengan sengaja mengajukan gambaran atau fakta yang salah untuk memasuki suatu perjanjian. Di samping ketiga cacat kehendak itu, dalam doktrin dikenal cacat kehendak keempat, yaitu penyalahgunaan keadaan (undue influence). Pada mulanya ajaran penyalahgunaan keadaan timbul di Inggris pada abad ke-15 dan 16. Hal ini disebabkan dalam hukum Inggris hanya dikenal paksaan fisik, sedangkan paksaan moral tidak diatur dalam Common Law. Untuk melengkapi hal itu maka dalam equity diciptakan doktrin atau ajaran undue influence tersebut. Undue influence didasarkan pada penyalahgunaan keadaan ekonomis dan psikologis salah satu pihak. Penyalahgunaan keadaan ekonomis adalah penyalahgunaan keadaan oleh salah satu pihak, terutama ekonomi kuat terhadap ekonomi lemah. Dengan demikian, si ekonomi lemah tidak mempunyai kekuasaan yang berimbang untuk saling tawar-menawar antara keduanya. 2. Macam Kebatalan Kebatalan dapat dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yaitu : 1) kebatalan mutlak dan 2) kebatalan relatif. Kebatalan mutlak adalah suatu kebatalan yang tidak perlu dituntut secara tegas. Kebatalan mutlak terjadi karena (1) cacat bentuknya, (2) perjanjian itu dilarang undang-undang, (3) bertentangan dengan kesusilaan, dan (4) bertentangan dengan ketertiban umum. Contoh kebatalan mutlak : a.
Perjanjian yang harus dibuat dengan bentuk tertentu, ternyata bentuk itu tidak dipenuhi.
b.
Perjanjian yang bersifat formil, misalnya hibah yang harus dibuat dengan akta notaris.
c.
Perjanjian perburuhan harus tertulis.
Dr. HABIB ADJIE,SH,MH
Page - 156 -
MAGISTER ILMU HUKUM- UNNAR SURABAYA
d.
Perjanjian kawin harus dibuat dengan akta notaris (Pasal 147 KUH Perdata). Kebatalan relatif adalah suatu kebatalan yang dituntut secara tegas, dan
biasanya diajukan oleh salah satu pihak. Misalnya wakil dari orang yang tidak berwenang melakukan perbuatan hukum atau orang yang terhadapnya dilakukan kekerasan atau penipuan atau orang yang berada dalam kekhilafan. Contoh kebatalan relative : a.
Perjanjian yang diancam dengan actio pauliana, yaitu perjanjian yang menimbulkan
kerugian
pihak
kreditur
maka
kreditur
dapat
meminta
kebatalan/pembatalan yang dibuat dengan debitur yang merugikan kreditur. b.
Perjanjian yang hanya berlaku bagi Pihak I dan II, tetapi tidak berlaku bagi kreditur.
c.
Perjanjian jual beli antara suami istri, kalau merugikan kreditur dapat dimintakan pembatalan.
d.
Perjanjian penghadiahan antara suami istri, kalau merugikan kreditur dapat dimintakan pembatalan.
3.
Akibat Kebatalan Akibat kebatalan kontrak dapat dilihat dari dua aspek, yaitu
(1) orang-orang yang tidak wenang melakukan perbuatan hukum, dan (2) cacat kehendak. Akibat kebatalan perikatan bagi orang-orang yang tidak berwenang melakukan perbuatan hukum adalah pulihnya barang-barang dan orang-orang yang ber-sangkutan, seperti sebelum perikatan dibuat (Pasal 1451 KUH Perdata). Dengan pengertian, bahwa segala sesuatu yang telah diberikan atau dibayar kepada orang yang tidak berwenang hanya dapat dituntut kembali bila : a.
barang yang bersangkutan masih berada di tangan orang yang tidak berwenang lagi;
b.
orang yang tidak berwenang itu telah mendapat keuntungan dari apa yang lelah diberikan atau dibayar;
c.
apa yang dinikmati telah dipakai bagi kepentingannya. Akibat kebatalan karena cacat kehendak, yaitu pulihnya barang-barang dan
orang-orang yang bersangkutan seperti dalam keadaan semula (Pasal 1452 KUH Perdata). 4. Jangka Waktu Pembatalan Perjanjian Undang-undang tidak membatasi jangka waktu tuntutan pembatalan perjanjian secara khusus. Namun, dalam undang-undang ditentukan jangka waktu yang pendek, yaitu lima tahun (Pasal 1454 KUH Perdata). Jangka waktu itu mulai berlaku bagi :
Dr. HABIB ADJIE,SH,MH
Page - 157 -
MAGISTER ILMU HUKUM- UNNAR SURABAYA
a.
orang yang belum dewasa, sejak hari kedewasaannya;
b.
pengampuan, sejak hari pencabutan pengampuan;
c.
paksaan, sejak hari paksaan berhenti;
d.
penipuan, sejak hari diketahuinya penipuan;
e.
pembayaran tak terutang, sejak debitur mengetahui bahwa ia tidak mempunyai utang pada kreditur; dan
f.
tuntutan pembatalan perikatan menjadi gugur, apabila perikatan itu dikuatkan secara tegas atau secara diam-diam oleh orang-orang tersebut di atas (Pasal 1456 KUH Perdata).
8. Berlakunya Syarat Batal. Syarat batal adalah suatu syarat yang bila dipenuhi akan menghapuskan perjanjian dan membawa segala sesuatu pada keadaan semula, seolah-olah tidak ada suatu perjanjian (Pasal 1265 KUH Perdata). Biasanya syarat batal berlaku pada perjanjian timbal balik. Seperti pada perjanjian jual beli, sewa-menyewa, dan lain-lain. 9. Jangka waktunya telah berakhir. Setiap kontrak yang dibuat oleh para pihak, baik kontrak yang dibuat melalui akta di bawah tangan maupun yang dibuat oleh atau di hadapan/oleh pejabat yang berwenang telah ditentukan secara tegas jangka waktu dan tanggal berakhirnya kontrak. Penentuan jangka waktu dan tanggal berakhirnya kontrak dimaksudkan bahwa salah satu pihak tidak perlu memberitahukan tentang berakhirnya kontrak tersebut, namun para pihak telah mengetahuinya masing-masing. Penentuan jangka waktu dan tanggal berakhirnya kontrak adalah didasarkan pada kemauan dan kesepakatan para pihak. Ada kontrak yang jangka waktu dan tanggal berakhirnya kontrak singkat dan ada juga jangka waktu dan tanggal berakhirnya lama. 10. Dilaksanakan Objek Perjanjian. Pada dasarnya objek perjanjian adalah sama dengan prestasi. Prestasi itu terdiri dari melakukan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu. Di dalam perjanjian timbal balik, seperti jual beli, sewa-menyewa, tukar-menukar, dan lain-lain telah ditentukan objek perjanjian. Misalnya, dalam perjanjian jual beli tanah, yang menjadi objek perjanjian adalah barang dan harga. Pihak penjual tanah berkewajiban untuk menyerahkan tanah secara riil dan menyerahkan surat-surat tanah tersebut, begitu juga pembeli tanah berkewajiban untuk menyerahkan uang harga tanah tersebut. Sedangkan hak dari penjual tanah adalah menerima uang harga tanah dan hak dari pihak pembeli menerima tanah beserta surat-surat yang menyertainya. Dengan telah dilaksanakan objek perjanjian maka perjanjian antara penjual dan
Dr. HABIB ADJIE,SH,MH
Page - 158 -
MAGISTER ILMU HUKUM- UNNAR SURABAYA
pembeli telah berakhir, baik secara diam-diam maupun secara tegas. Contoh lainnya, dalam perjanjian jasa dokter, di mana dokter memeriksa pasien dan menyerahkan resep kepada pasien, dan pasien membayar jasa dokter. Sejak terjadi pembayaran jasa dokter oleh pasien, pada saat itulah perjanjian itu telah berakhir. 11. Kesepakatan Kedua Belah Pihak. Kesepakatan kedua belah pihak merupakan salah satu cara berakhirnya kontrak, di mana kedua belah pihak telah sepakat untuk menghentikan kontrak yang telah ditutup antara keduanya. Motivasi mereka untuk menyepakati berakhirnya kontrak tersebut adalah berbeda-beda antara satu dengan lainnya. Ada yang menyepakatinya didasarkan pada nilai-nilai kemanusiaan dan ada juga yang menyepakati karena bisnis. Pertimbangan karena bisnis adalah didasarkan pada untung rugi. Apabila salah satu pihak merasa rugi untuk melaksanakan substansi kontrak tersebut, salah satu meminta kepada pihak lainnya untuk mengakhiri kontrak tersebut dan pihak lainnya akan menyetujuinya. 12. Pemutusan Kontrak Secara Sepihak. Pada dasarnya kontrak harus dilaksanakan oleh para pihak berdasarkan itikad baik, namun dalam kenyataannya sering kali salah satu pihak tidak melaksanakan substansi kontrak, walaupun mereka telah diberikan somasi sebanyak tiga kali berturutturut. Karena salah satu pihak lalai melaksanakan prestasinya maka pihak yang lainnya dengan sangat terpaksa memutuskan kontrak itu secara sepihak. Pemutusan kontrak secara sepihak merupakan salah satu cara untuk mengakhiri kontrak yang dibuat oleh para pihak. Artinya pihak kreditur menghentikan berlakunya kontrak yang dibuat dengan debitur, walaupun jangka waktunya belum berakhir. Ini disebabkan debitur tidak melaksanakan prestasi sebagaimana mestinya. 13. Berdasarkan Putusan Pengadilan. Penyelesaian sengketa di bidang kontrak dapat ditempuh melalui dua pola, yaitu melalui pengadilan dan di luar pengadilan. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan lazim disebut dengan alternative dispute resolution (ADR). Cara ini dapat dilakukan dengan konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan penilaian ahli. Apabila kelima cara itu telah dilakukan oleh para pihak namun masih juga menemui jalan buntu maka salah satu pihak, terutama pihak yang dirugikan dalam pelaksanaan kontrak dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri di tempat kontrak atau objek berada. Berdasarkan apa yang diajukan oleh para pihak maka Pengadilan dapat memutuskan untuk mengakhiri kontrak yang dibuat oleh para pihak, berdasarkan alat bukti yang disampaikannya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa berakhirnya
Dr. HABIB ADJIE,SH,MH
Page - 159 -
MAGISTER ILMU HUKUM- UNNAR SURABAYA
kontrak karena putusan pengadilan, yaitu tidak berlakunya kontrak yang dibuat oleh para pihak, yang disebabkan adanya putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Di kalangan pengusaha, dalam penyelesaian sengketa jarang mengajukan gugatan ke Pengadilan. Karena untuk mengajukan perkara ke pengadilan membutuhkan biaya yang besar, waktu yang lama, dan timbulnya konflik yang terusmenerus di kalangan mereka. Untuk menghindari hal itu, mereka menggunakan cara-cara yang dianggap menguntungkan kedua belah pihak. Walaupun di dalam kontrak yang dibuat oleh para pihak telah ditentukan cara penyelesaian sengketa, yaitu melalui pengadilan, namun dalam kenyataannya para pihak jarang menyelesaikan sengketa tersebut ke pengadilan. Di kalangan pengusaha, jarang para pihak menggugat pihak lawannya ke pengadilan, hal ini dikemukakan Stewart Maculay. Stewart Maculay yang telah melakukan riset terhadap pengusaha di Wiscounsin, Amerika Serikat174, menemukan bahwa banyak di antara mereka cenderung mengenyampingkan hukum kontrak (formal) dan doktrin kontrak. Terutama mereka menghindari untuk saling menggugat meskipun perkaranya benarbenar menurut hukum formal. Alasannya tidak aneh; pengusaha saling tergantung; mereka hidup dan bekerja dalam jaringan hubungan yang berkesinambungan. Di antara perusahaan manufaktur mungkin membeli penjepit kertas, pulpen, dan peralatan kantor dari dealer yang sama dari tahun ke tahun. Langsung menggugat; atau berselisih kelewat batas, atau mempertahankan hak-hak, atau mempertahankan hak-hak yang tidak masuk akal akan mengganggu; ini cenderung meretakkan hubungan yang bernilai ini. Juga ada norma, praktik, dan konsepsi rasa hormat dan sportif yang biasanya dianut oleh pengusaha. Cara apapun yang akan ditempuh jika terjadi atau timbul sengketa atau konflik dari suatu kontrak, akan kembali kepada pihak yang terlibat didalamnya, disamping dapat ditempuh cara-cara sebagaimana diuraikan di atas, suatu konflik diselesaikan dapat ditempuh dengan hasil yang saling menguntungkan (win-win outcame), langkahlangkahnya sebagai berikut175 : a. Perceived conflict – untuk konflik persepsi tentang cara saya versus cara kamu, defenisikan kembali dengan cara mengidentifikasikan kembali hasil-hasil yang diharapkan para pihak. 174
Lawrence M. Friedman, 2001: 197 dalam Salim, H.S. op cit., hal. 182.. Ronny H. Mustamu, Konflik dan Negosiasi (Makalah), Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Kristen Petra, Surabaya, 2000. 175
Dr. HABIB ADJIE,SH,MH
Page - 160 -
MAGISTER ILMU HUKUM- UNNAR SURABAYA
b. Fixed Pie – untuk konflik jumlah kue yang tetap tentang bagaimana membagi sejumlah tetap sumber-sumber, capai persetujuan dulu terhadap metode penyelesaian yang dianggap adil untuk semua pihak dan terapkan; c. Displaced and Misatributed – untuk konflik jenis ini perlu dilakukan pendefinisian kembali batasan-batasan yang jelas tentang persoalan yang sesungguhnya terjadi dan pihak-pihak yang seharusnya terlibat. D. YURISDIKSI. Dalam akhir setiap kontrak ada yang mencantumkan Yurisdiksi atau pilihan hukum dari sebuah kontrak yang berarti kekuasaan untuk mengadili di tempat dan menurut hukum atau juga ada yang tidak mencantumkan klausul Yurisdiksi tersebut176. Adanya pencantuman klausul Yurisdiksi tersebut merupakan antisipasi dari para pihak jika terjadi persengketaan mengenai hukum mana dan pengadilan mana perselisihan tersebut jika akan diselesaikan melalui jalur pengadilan. Yurisdiksi umumnya terdapat pada kontrak yang bersifat internasional, yang melibatkan dua pihak dari warga negara yang berbeda (yang berkaitan dengan Hukum Perdata Internasional) , namun dalam hal ini, pemakaian Yurisdiksi tidak harus seperti itu, dua warga negara yang tunduk pada hukum yang sama pun mempunyai hak untuk melakukan pilihan hukum atau Yurisdiksi dari hukum negara mana yang mereka rasakan akan menjadi ukuran hukum yang mengatur penjanjian yang mereka sepakati. Akan tetapi dalam hal melakukan pilihan hukum antara pihak berkontrak Indonesia dengan asing, maka ketika disepakati pilihan hukum (hukum material) yang mengatur kontrak adalah hukum asing dari negara tertentu, maka pihak Indonesia, atau pihak berkontrak di mana bukan hukum yang dikenalnya dipilih sebagai dasar hukum yang mengatur kontrak harus sangat memahami ketentuan-ketentuan hukum dari negara terlebih dahulu sebelum menyetujuinya. Hal ini dapat saja dilakukan dengan terlebih dahulu meminta legal opinion dari ahli hukum di negara tempat pilihan hukum dipilih. Karena sangat besar 176
Umumnya setiap kontrak bisnis transnasional memual klausula Pilihan Hukum (Choice of Law) dan Choice of Forum. Choice of Law menunjuka suatu sistem hukum tertentu sebagai hukum yang mengatur kontrak itu, sedangkan Choice of Forum berupa pemilihan atau penujnjukkan lembaga pengadilan mana atau lembaga arbitrase mana yang dipilih para pihak untuk menyelesaikan sengketa yang mungkin timbul dari kontrak itu. Catur Irianto, Pelaksanaan Klausula-klausula Arbitrase Dalam Perjanjian Bisnis, Inti Media Pustaka, Bandung, 2007, Hal. 11.
Dr. HABIB ADJIE,SH,MH
Page - 161 -
MAGISTER ILMU HUKUM- UNNAR SURABAYA
kemungkinan hukum dari negara tertentu yang dipilih para pihak sebagai hukum yang mengatur kontrak berbeda tidak mengatur seperti yang diharapkan oleh salah satu pihak yang berkontrak terhadap transaksi bisnis yang diperjanjikan. Pada umumnya, pilihan hukum dicantumkan dalam klausul tersendiri, bersamaan dengan pilihan jurisdiksi. Akan tetapi sering juga pilihan hukum yang mengatur dan pilihan jurisdiksi ini dibuat dalam dua klausul yang berbeda Dalam praktek Kontrak ditemukan klausul Jurisdiksi dan Pilihan Hukum (Choice of Law), misalnya dalam Kontrak disebutkan jika terjadi sengketa (Dispute), maka para pihak telah menentukan dengan mengunakan hukum Indonesia (sebagai Choice of Law) para pihak dengan penyelesaian di pengadilan Singapura. Terhadap langkah penyelesaian perkara di muka pengadilan, yaitu bahwa perkara akan diperiksa dengan menggunakan ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia, akan tetapi pengadilan yang memeriksa adalah pengadilan Singapura dengan menggunakan hukum acara (Law of Procedure) Singapura. Dalam pelaksanaanya, hakim Singapura yang tidak menguasai hukum Indonesia akan rnendatangkan saksi ahli hukum Indonesia, yang akan menghadirkan opini hukumnya (dalam bentuk affidavit yang dapat juga dilanjutkan dengan cross-check avffidavif di depan pengadilan Singapura) atau kesaksiannya yang akan digunakan oleh Hakim Singapura untuk memutuskan perkara dengan menggunakan hukum Indonesia sebagai hukum yang dipilih oleh para pihak. Akan tetapi harus dengan cermat diperhatikan bahwa pilihan hukum, atau pilihan jurisdiksi terhadap kontrak adalah keputusan yang sangat penting bagi para pihak dalam kontrak. Artinya, pertimbangan pilihan hukum dan jurisdiksi harus sangat dikaitkan dengan realisasi pelaksanaan atau eksekusi dari putusan pengadilan setelah diputus oleh pengadilan yang dipilih oleh para pihak yang berkontrak. Sudah menjadi prinsip yang berlaku umum (sovereignty of court), bahwa putusan pengadilan negara asing tidak dapat dieksekusi secara langsung di negara lain, kecuali bila antara negara-negara telah ada perjanjian atau traktat baik yang bersifat bilateral atau multilteral untuk saling mengakui atau saling menjalankan putusan (mutual recognition between contracting parties) dari negara-negara yang telah menandatangani perjanjian. Hal ini berarti putusan pengadilan dari Negara asing tidak serta merta dapat dieksekusi langsung di Negara lain, jika tidak ada perjanjian di antara Negara tersebut. Jika hal tersebut terjadi maka atas putusan pengadilan, pihak yang memenangkan perkara, harus melakukan upaya gugatan kembali (re-litigasi)
Dr. HABIB ADJIE,SH,MH
Page - 162 -
MAGISTER ILMU HUKUM- UNNAR SURABAYA
terhadap pihak yang telah kalah di pengadilan di luar negeri tersebut di pengadilan dimana eksekusi akan dilakukan, dengan menggunakan putusan dari pengadilan luar negeri tersebut sebagai salah satu bukti utama. Disamping pilihan hukum dikenal juga Pilihan Domisili (dalam hal ini antara sesama warga negara Indonesia), dalam hal untuk menentukan domisili hukum yang menjadi dasar kewenangan dari Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutuskan gugatan dalam hal terjadinya dispute antara pihak yang berkontrak. Secara umum dasar untuk menentukan kewenangan Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutuskan gugatan perdata diletakkan pada domisili hukum si tergugat. Hal ini diatur dalam Pasal 118 ayat (1) HIR yang menyatakan sebagai berikut: Gugatan-gugatan Perdata, yang pada tingkat pertama termasuk wewenang Pengadilan Negeri, diajukan dengan surat permo-honan yang ditandatangani oleh penggugat atau kuasanya sesuai dengan ketentuan pasal 123 kepada ketua Pengadilan Negeri yang mempunyai wilayah hukum dimana tergugat bertempat tinggal atau jika dia tidak mempunyai tempat tinggal yang diketahui, di tempat kediaman yang sebenarnya. Akan tetapi, selanjutnya pada Pasal 118 ayat 2 ditegaskan bahwa dalam hal tergugat lebih dari satu orang dimana masing-masing dari tergugat tersebut tidak tinggal dalam satu wilayah Pengadilan Negeri, maka kewenangan Pengadilan Negeri dalam memeriksa dan pemu-tuskan gugatan tersebut dapat didasarkan pada tempat tinggal dari salah satu tergugat yang pemilihannya pengadilan tersebut diserah-kan pada keinginan dari penggugat. Dari ketentuan di atas, telah jelas bahwa walaupun tidak diperjanjikan oleh para pihak yang berkontrak, dalam hal terjadinya konflik yang menuju pada gugatan perdata dari salah satu pihak berkontrak yang dirugikan tersebut, maka undangundang telah dengan te-gas menyatakan domisili atau tempat tinggal dari tergugat sebagai dasar hukum yang menentukan kewenangan dari pengadilan negeri yang akan mengadili perkara tersebut. Umumnya, bila pihak tergugat tersebut adalah perorangan (personal entity) maka domisili hukumnya akan ditentukan dari KTP yang dimilikinya. Selanjutnya bila tergugat tersebut adalah badan hukum, misalnya Perseroan Terbatas, maka domisili hukumnya akan ditentukan pada domisili hukum di anggaran dasarnya. Sehingga untuk menghindari potensi permasalahan sehubungan dengan kewenangan pengadilan perlulah diperhatikan ketentuan Pasal 118 ayat 4 yang secara
Dr. HABIB ADJIE,SH,MH
Page - 163 -
MAGISTER ILMU HUKUM- UNNAR SURABAYA
tegas memberikan kewenangan kepada para pihak yang berkontrak untuk menyepakati pengadilan yang akan memeriksa perkara yang mungkin terjadi, se-bagai berikut: Jika dengan suaru akte telah dipilih akan tempat tinggal, maka jika dikehendaki, penggugat dapat mengajukan gugatannya kepada Ketua Pengadilan Negeri yang mempunyai wilayah hukum yang meliputi tempat tinggal pilihan itu. Penentuan kewenangan pengadilan dalam mengadili perkara tersebut dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan cara menegaskan pilihan pengadilan berdasarkan salah satu domisili pihak-pihak yang berkontrak, atau dapat juga dilakukan dengan memilih pengadilan yang tidak berada dalam wilayah hukum tergugat atapun penggugat, akan tetapi pada wilayah dimana benda ataupun proyek yang akan dilaksanakan tersebut berada. Dalam hal pilihan domisili ataupun pilihan jurisdiksi tersebut telah dengan tegas disepakati dalam kontrak, maka pengadilan tersebutlah nantinya yang secara hukum akan mempunyai kewenangan untuk mengadili perkara yang mungkin akan terjadi. Dengan pengertian lain, gugatan perdata tidak dapat lagi diajukan pada pengadilan di luar dari yang telah disepakati dalam kontrak tersebut. Di samping itu, persoalan lain yang harus diantisipasi dalam menetapkan arah penyelesaian sengketa adalah persoalan kaidah hukum. Ada kalanya, terutama jika para pihak merasa yakin betul dengan pilihan yurisdiksi yang akan mengatur pelaksanaan kontrak, para pihak akan memilih penerapan ketentuan-ketentuan hukum secara ketat. Tetapi para pihak dapat juga memanfaatkan pertimbangan-pertimbangan hakim (atau wasit arbitrase) yang lebih terbuka sifatnya. Jika demikian halnya, mereka akan menetapkan, bahwa sengketa dapat diselesaikan juga dengan berdasarkan prinsip ex aequo et bono (berdasarkan keadilan dan kepantasan). ------------------------------
Dr. HABIB ADJIE,SH,MH
Page - 164 -
MAGISTER ILMU HUKUM- UNNAR SURABAYA