PENATAAN STRUKTUR KONTRAK
IV.
Sebagai suatu bentuk institusi, kontrak Perhutanan Sosial
merupakan
pengembangan
dari
kontrak
Tumpang
Sari.
Dengan membandingkan kedua tipe kontrak dapat
dianalisa perbedaan dalam hak-hak di antara Perhutani dan Pesanggem.
ponse~siKontrak Perhutanan ~ o s i a l
1.
A s ~ e kSilvikultur Sistem
silvikultur
mencakup
berbagai
aspek
manajemen hutan, yaitu produksi, konservasi tanah dan air, lingkungan hidup, dan sosial Prahasto,
1987).
Aspek-aspek
(Perhutani, 1988;
ini
inheren
dalam
penataan kedua tipe kontrak, sehingga variasi dalam aspek
ini
membedakan
kedua
tipe
kontrak
menurut
strukturnya. Semua tipe kontrak yang diterapkan dalam manajemen hutan
di
Jawa
melibatkan
dua
partisipan,
yaitu
Perhutani sebagai kuasa negara dalam melaksanakan tugas manajemen hutan, dan penduduk di sekitar hutan yang berperan sebagai penyedia tenaga kerja.
Pola hubungan
antara
menurut
kedua
partisipan
berbeda-beda
tipe
kontrak, akan tetapi landasan kontrak identik, yaitu transaksi
penawaran dan permintaan tenaga kerja.
Kontrak Tumpang Sari telah lama dikenal dalam manajemen hutan di
Jawa, sejak
zaman pemerintahan
kolonial Belanda, dan masih bertahan hingga saat ini. Sistem ini diterapkan dalam kegiatan peremajaan hutan sebagai bagian dari
rangkaian
siklus pengusahaan
hutan, terutama di kawasan hutan jati (Prahasto, 1987). Dengan kata lain, Tumpang Sari merupakan bagian dari kegiatan produksi komoditi hutan.
Oleh karena seluruh
rangkaian siklus pengusahaan hutan terdistribusi merata secara spasiall, kegiatan Tumpang Sari ada sepanjang tahun.
Akan tetapi, di dalam satu siklus penanaman,
kegiatan ini hanya berlangsung selama 2 hingga 3 tahun dari tahap awal kegiatan silvikultur, yang meliputi kegiatan pembibitan, persiapan lahan, penanaman dan pemeliharaan.
Dalam tahap-tahap selanjutnya, kegiatan
silvikultur berlangsung berdasarkan kontrak harian atau pun borongan. Dalam kontrak harian atau borongan berlaku taraf upah
ajek, sedangkan di Tumpang Sari dan
Perhutanan
'~ntuk siklus tanaman 80 tahun, setiap tahunnya tersedia sekitar 12.5 ribu hektar lahan untuk peremajaan, atau setara dengan 0.7 pessen dari 1.8 juta hektar hutan produksi di Jawa.
Sosial
taraf
tanaman
upah
tumpang
bervariasi
sari.
menurut
Perbedaan
produktivitas
dalam
ha1
ini
berkaitan dengan bentuk hubungan antara Pesanggem (atau peker ja )
dengan
sumberdaya
lahan
.
Dalam
kontrak
Tumpang Sari dan Perhutanan Sosial, keputusan-keputusan mengenai curahan tenaga kerja oleh Pesanggem secara langsung
berkaitan
lahan hutan.
dengan
ketersediaan
sumberdaya
Dengan kata lain, penawaran tenaga kerja
melalui sistem Tumpang Sari dan Perhutanan Sosial turut dipengaruhi
oleh
kontribusi
lahan
hutan
terhadap
pendapatan tenaga kerja, sedangkan pada tipe kontrak yang lain ditentukan oleh tingkat upah ajek. Adanya
kaitan
langsung dari kegiatan Pesanggem
dengan sumberdaya lahan menyebabkan penerapan kontrak Tumpang Sari dan Perhutanan Sosial terkendala pula oleh pertimbangan
kesesuaian
antara
dengan kondisi faktor fisik.
metoda
silvikultur
Sebagai contoh, di lokasi
tertentu sistem tumpang sari tidak diterapkan, atau diterapkan tetapi dengan persyaratan teknik yang lebih ketat. penurunan
Hal ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya performa
produksi
tanaman
kayu
akibat
penurunan kesuburan tanah baik karena erosi maupun oleh persaingan antara tanaman kayu dan tanaman tumpang sari dalam penyerapan unsur hara tanah (Perhutani, 1980).
Dua
modifikasi
penting
dalam
aspek silvikultur
yang dilakukan dalam penerapan sistem Perhutanan Sosial ialah
jarak
pertanian.
tanam Jarak
dan tanam
komposisi tanaman
jenis
kayu
pada
sistem
3x3
meter,
Tumpang Sari berkisar antara 2x1 hingga tergantung
jenis tanaman
pada
kesesuaian
sistem
Perhutanan
tanah
Sosial,
jarak tanam berkisar antara 4x2 hingga
meter,
suatu
peningkatan
ini masih
silvikultur,
Dalam
dan
kondisi
Penjarangan
(bonita).
pokok
tanaman
sementara
yang
6x3
cukup
besarti.
tetap memperhatikan
azas-azas
perhatian
bagi
kepentingan
Pesanggem lebih ditingkatkan (Perhutani, 1990; 1980). Dalam ha1 komposisi jenis tanaman pertanian, ada pula modifikasi yang nyata dalam sistem Perhutanan Sosial. Beberapa jenis tanaman pertanian, yang dalam sistem Tumpang Sari dilarang pengusahaannya, diizinkan dalam Perhutanan Sosial (Perhutani, 1990). Peningkatan jarak tanam dalam sistem Perhutanan Sosial merupakan percepatan jadwal kegiatan penjarangan tanaman, khususnya penjarangan lima tahun pertama. dalam
sistem
Tumpang
dilakukan
pada
sedangkan
dalam
saat
Sari, tanaman
Perhutanan
penjarangan berusia Sosial,
lima
Di
pertama tahun,
kegiatan
ini
dilakukan sejak tahap awal kegiatan peremajaan hutan.
Dengan cara ini, selama periode lima tahun pertama, luas bidang garapan Andil Perhutanan Sosial lebih besar daripada Tumpang Sari, dan keduanya menjadi identik mulai tahun keenam dan seterusnya. Penentuan jangka waktu kontrak ada hubungannya dengan praktek penjarangan yang diterapkan dan efek yang ditimbulkan terhadap kecepatan penurunan produktivitas tanaman tumpang sari 'semusim.
Dalam Tumpang
Sari, efek naungan terhadap penurunan produktivitas tanaman semusim terjadi lebih cepat, yaitu mulai tahun kedua, karena luas bidang garapan untuk tanaman tumpang sari lebih sempit.
Karena itu, jangka waktu kontrak
lebih
tahun
daripada
Sebaliknya
dalam
2
tidak
Perhutanan
layak
Sosial,
garapan tanaman tumpang sari yang
diterapkan.
dengan
bidang
lebih luas, efek
naungan terhadap penurunan produktivitas baru terjadi mulai tahun keempat atau lima. peranan
tanaman
Pesanggem
semusim
(diharapkan)
Sesudah tahun kelima,
sebagai diambil
sumber alih
pendapatan
oleh
tanaman
tahunan non-kayu, yang berproduksi mulai tahun keenam atau tujuh.
Oleh karena itu, jangka waktu kontrak di
atas lima tahun dianggap layak. Menurut sistem silvikultur yang berlaku, kegiatan penjarangan tanaman kayu dilakukan tiap
lima tahun
sekali selama satu siklus penanaman (Perhutani, 1988)~enjarangan pestama disebut sebagai "penjarangan tanpa hasilw, karena tegakan tanaman hasil tebangan tidak diperhitungkan
sebagai
penerimaan
bagi
Perhutani.
Dengan demikian berarti bahwa, terlepas dari pengaruh faktor-faktor dalam
lain,
~ o s i a l tidak
Perhutanan
terhadap
percepatan
produksi
maupun
penjarangan
pertama
memberikan
pengaruh
pendapatan
Perhutani.
Sebaliknya, bagi fihak Pesanggem, kegiatan ini memberikan
efek
positif
terhadap
pendapatannya
karena
meningkatnya luas bidang garapan Andil. Akses Pesanggem Perhutanan Sosial dalam manajemen produksi lebih besar daripada Pesanggem Tumpang Sari, Dalam
pemilihan
jenis tanaman, Pesanggem Perhutanan
Sosial dapat bernegosiasi dengan fihak Perhutani,
Pola
hubungan Perhutani-Pesanggem dalam Tumpang Sari lebih bersifat instruktif, dan pembinaan terhadap Pesanggem berlangsung
secasa
perorangan.
Dalam
Perhutanan
Sosial , b s u r musyawarah lebih menon jol , penyuluhan dan pembinaan dilakukan dengan pendekatan kelompok,
dan
dengan intensitas yang lebih tinggi (Anon, 1991a, b; Rochani, 1989).
A s ~ e kStrateaik Berikut
ini dicantumkan rumusan tentang tujuan
manajemen hutan, yakni dalam konteks-konteks kehutanan secara nasional, kehutanan Perum Perhutani di Jawa, dan kehutanan dengan sistem Perhutanan Sosial.
Tu juan
manajemen hutan dalam konteks kehutanan secara umum adalah: "Memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya dari sumber- alam hutan dalam rangka peningkatan pendapatan negarh, meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat dalam arti luas dengan selalu memperhatikan kelestarian sumbernyass. (Soerjono, 1978)
...
Dalam konteks misi Perum Perhutani, tujuan manajemen hutan dirumuskan sebagai: (ii)
Meningkatkan
(i) Menyukseskan reboisasi,
produktivitas
lahan,
(iii)
Meningkatkan pendapatan ~erhutani dan masyarakat, (iv) Meningkatkan mutu lingkungan hidup dan kesejahteraan masyarakat ,
(v)
Mendorang
terjalinnya
hubungan
harmonis antara masyarakat dan aparat Perhutani, dan (vi) Menjamin keamanan dan kelestarian hutan atas dasar kesadaran serta partisipasi aktif masyarakat melalui perobahan penyuluhan
persepsi
dan
pembinaan.
perilaku Perumusan
sebagai dalam
hasil konteks
pengembangan Perhutanan Sosial Perum Perhutani lebih
spesifik dan dibedakan menurut tahapan, yakni sebagai berikut
.
: k a nJ
( i ) Terbinanya KTH (kelompok
Tani Hutan),
(ii) ~erhasilnya tanaman hutan,
Peningkatan pendapatan anggota KTH;
-aka
(iv) Menuju KTH mandiri/berswadaya, pemeliharaan usaha
dan
produktif
mandiri,
keamanan KTH;
hutan,
Janaka
(iii)
menenaa:
(v) Terjaminnya
(vi) Pengembangan
~anianq:
(vii) KTH
(viii) Terjaminnya keamanan dan kelestarian
hutan, (ix) Tercapainya masyarakat yang sejahtera, dan (x)
Tercapainya
produktivitas
hutan
yang
optimal
(Bratamihardja, 1990; Galam ~erhutani, 1990b). Rumusan-rumusan konteks
manajemen
mencerminkan
di hutan
aspek
atas
ini,
Perum
strategik
terutama
dalam
Perhutani,
jelas
dari manajemen hutan di
Jawa umumnya, dan Perhutanan Sosial khususnya. dari
manajemen
hutan
ialah
mengenai
Sasaran hubungan
fundamental segi tiga P-M-H (Pengelola Hutan-Masyarakat atau Penduduk sekitar Hutan-Sumberdaya Hutan; Gambar 4.1, halamaan 88).
Lihat
Pada waktu-waktu sebelumnya,
hubungan Perhutani-Hutan (P-H) mendapat penekanan Lebih besar,
dan
setelah
terjadi
perobahan
dalam
faham
mengenai pentingnya peranan penduduk sekitar hutan di dalam pembangunan hutan, strategi manajemen mengalami penyesuaian dengan
menempatkan komponen penduduk di
sekitar hutan (M) sebagai bagian dari sistem hubungan P-M-H.
Pada dasarnya, hubungan segi tiga P-M-H adalah
suatu institusi yang mengatur perilaku Perhutani dan penduduk di sekitar hutan dalam kepentingannya dengan
.
sumberdaya hutan
(H)
sekitar
hutan
(M)
terhadap
satu
obyek
~erhutani (P)'
sama-sama yaitu
memiliki
sumberdaya
dan penduduk kepentingan hutan,
yang
dituntut mengemban bermacam-macam fungsi yang tercakup dalam fungsi produksi hasil hutan, ekonomi, konservasi sumberdaya alam dan lingkungan, dan sosial. umum
dapat
ekonomi,
diringkaskan
sosial,
dan
Secara
menjadi tiga fungsi, yaitu
lingkungan.
Pertalian
antar
fungsi-fungsi ini sangat rumit, tetapi tumpuan utama terletak pada satu komponen dari ekosistem hutan, yaitu sumberdaya lahan. Peranan lahan sangat strategik, karena alokasi dan pemanfaatannya menentukan bagaimana perimbangan fungsi hutan dicapai, dan sekaligus menentukan kelanggengan dari sumberdaya tersebut beserta fungsi-fungsinya.
'~alam model hubungan institusi ini , komponen Pengelola Hutan, atau Perhutani (P) mewakili juga fihak ketiga, yaitu pemerintah dan masyarakat konsumen produk-produk hutan.
.
Sumberdaya hutan
Pengelola hutan
Gambar 4.1.
<
>
Masyarakat sekitar hutan (MI
Model Hubungan Institusional Pengelola Hutan-Masyarakat sekitar Hutan-SumberDaya Hutan (P-M-H)
Dalam ha1 ini jelas bahwa aspek silvikultur merupakan instrumen
manajemen
yang
sangat
penting,
yang
diharapkan untuk dapat mengakomodasikan
kepentingan-
kepentingan yang berciri konflik.
satu fihak,
fungsi produksi dan
Di
konservasi hutan
yang menjadi
sasaran kepentingan ~erhutaniakan tetap dipertahankan, dan sementara itu taraf hidup penduduk di sekitar hutan juga diupayakan untuk ditingkatkan, di mana lahan hutan menjadi tumpuan utamanya.
Secara implisit, di dalam konsepsi manajemen hutan dan
Perhutanan
Sosial
Perum
Perhutani
terkandung
pendapatan bahwa penduduk di sekitar hutan harus secara langsung menikmati manfaat dari hutan agar pembangunan hutan
dengan
berbagai
fungsinya
dapat
berlangsung
Pendapat ini didasarkan pada kesimpulan bahwa
lestari.
penurunan (peningkatan) taraf kesejahteraan penduduk di sekitar hutan cenderung akan diikuti oleh peningkatan (penurunan) kerusakan
kegiatan-kegiatan pada
hutan.
Yaw
Salah
menimbulkan
satu
akibat
yang
ditimbulkan, yang paling dirasakan dan dipandang paling serius ialah dalam bentuk tekanan terhadap sumberdaya hutan
dan
gangguan
terhadap
keharmonisan
hubungan
sosial antara penduduk dan pelaksana manajemen hutan. Kenyataan ini merupakan salah satu indikasi mengenai adanya fenomena penunggang gratis, di mana Perhutanan Sosial
berfungsi
diharapkan
efektif
sebagai
suatu
strategi penanggulangannya.
-
Pukunaan Sektor non H u t m Kesadaran mengenai pentingnya meningkatkan kesejahteraan penduduk di sekitar hutan telah dijabarkan melalui beberapa program di bidang-bidang yang lebih berciri
non-hutan,
yakni
yang
tidak
berhubungan
langsung dengan pemanfaatan lahan hutan.
Sejak perte-
ngahan tahun 70-an, dilaksanakan program-program HALU (Mantri-Lurah),
atau
implementasi dari Hutan (PMDH).
Prosperity
approach,
sebagai
konsep Pembinaan Masayarakat
Desa
Sasaran utama program-program ini ialah
penyediaan kesempatan ker ja dan prasarana fisik untuk kepentingan
mum
bagi
(Damosoehardjo, 1985).
penduduk
Belakangan,
pedesaan
program-program
yang berciri non-hutan ini meluas, antara lain sampai ke bidang-bidang usaha kerajinan.
Kontribusi Perhutani
terutama dalam bentuk bimbingan teknis. Di
dalam
penerapan
Perhutanan
Sosial,
bidang-
bidang kegiatan non-hutan juga diintegrasikan sebagai bagian dari pembinaan KTH (Kelompok Tani Hutan, yaitu kelompok Pesanggem) , dan dikenal Bidang
Hasil
pembinaan
Pokokw
bidang
.
(LBHP)
organisasi
dengan nama
Program dan
ItLima
ini meliputi
administrasi
KTH,
permodalan, usaha produktif, dan integrasi ke dalam lingkungan masyarakat (Perhutani, 1991, 1990a, 1989a, b, c).
LBHP merupakan bagian dari usaha pengembangan
potensi kooperatif untuk memajukan perekonomian KTH, yang diharapkan akan yang
berarti
lingkungannya.
dari
meningkat
hingga
perekonomian
menjadi bagian masyarakat
di
Sebagian dari kegiatan-kegiatan bidang
usaha pemupukan modal dan produksi, dari program LBHP, masih memiliki Sebagian
kaitan
besar
dari
dengan
dana
yang
sumberdaya hutan. dialokasikan
untuk
pemupukan modal berasal dari pendapatan tenaga kerja dalam kegiatan produksi hutan.
Hal seperti ini lazim
dijumpai dalam masyarakat dengan ekonomi yang sangat agraris,
yaitu
sektor
sebagai
sumber
utama
Begitu juga halnya dengan kegiatan
pembentukan modal. bidang produksi,
primer
yang antara lain meliputi kegiatan
peternakan dan industri kerajinan rumah tangga, masih menggunakan bahan makan (ternak) dan bahan baku dari komoditi
hutan.
Namun,
ditinjau
dari
segi
impak
kegiatan terhadap sumberdaya lahan hutan, kegiatankegiatan
ini
berbeda
dengan
kegiatan
tumpang
sari
tanaman pertanian dalam kontrak Tumpang Sari maupun Perhutanan
Sosial.
Impak
dari
komponen
kegiatan
tumpang sari secara langsung mengenai sumberdaya lahan, sedangkan dari komponen LBHP bersifat tidak langsung. Dari gambaran ini nampak bahwa sebetulnya, kontrak Perhutanan Sosial terdiri dari dua komponen program, yaitu komponen silvikultur dengan pola Agroforestry, dan LBHP.
Diduga bahwa pengembangan komponen LBHP
bertolak dari kesadaran akan keterbatasan sumberdaya lahan hutan dalam menopang secara langsung perekonomian
penduduk di sekitar hutan.
Ada indikasi bahwa komponen
ini
sebagai
diharapkan
mungkin
akan
berperan
menjadi
berkembang
kegiatan-kegiatan
yang
pemanfaatan lahan hutan.
langsung
pelengkap, substitut
bahkan terhadap
berhubungan
dengan
Dalam kerangka ini, dipandang
penting untuk memperhitungkan potensi pengembangan dari komponen
Data
LBHP'.
menunjukkan
sejauh
dikembangkan oleh
yang
mana
disajikan
komponen
berikut
tersebut
Perhutani sejak penerapan
ini telah
kontrak
Perhutanan Sosial, dan prospek untuk pengembangannya di waktu-waktu yang akan datang. Dalam kurun waktu kurang daripada lima tahun, dari seluruh (988) unit KTH (Kelompok Tani Hutan) Perhutanan Sosial, jumlah yang telah berhasil mengembangkan bidang usaha non-hutan adalah sebagai berikut:
1.5 persen
telah mengembangkan perikanan kolam sebanyak 15 unit; 0.3
persen
mengembangkan warung 3 unit;
0.1
persen
l~enelitian-penelitian mengenai Perhutanan Sosial yang selama ini dilakukan, pada umumnya tidak menyentuh komponen ini, karena perhatian utama diberikan pada komponen silvikultur-Agroforestry, dalam kaitannya dengan aspek-aspek sosial-ekonomi. Analisis dalam penelitian ini melihat adanya indikasi mengenai peranan potensial yang cukup penting dari komponen LBHP.
'
mengembangkan
ternak
sapi
ekor;
5
12.6
persen
mengembangkan ternak kambing sebanyak 386 ekor, ratarata 3 ekor tiap KTH.
Cabang usaha pemupukan modal
telah mencapai jumlah dana sebesar 39.7
juta rupiah,
atau rata-rata 92.4 rupiah per KTH. Hasil analisis regresi, dicantumkan dalam Tabel 4.1
(halaman
94),
sebagai berikut.
memperlihatkan
beberapa
indikasi
Pertama, jumlah dana simpanan dan
ternak kambing bertumbuh cukup pesat dan nyata, yaitu berturut-turut 26.4 per tahun.
ekor per KTH
ribu rupiah dan 1.2
Kedua, ada kecenderungan bahwa jumlah dana
simpanan dan ternak kambing per KTH dengan lahan Andil yang tergolong kritis lebih tinggi daripada KTH dengan lahan Andil yang tergolong normal.
Sebaliknya, jumlah
dana simpanan dan ternak kambing di lahan Andil yang terkena
gangguan
penggembalaan
liar
dan
pencurian
cenderung lebih rendah, dan nyata secara statistik, dibandingkan dengan di lahan Andil tanpa gangguan. Beberapa
implikasi
yang
dapat
diturunkan
hasil analisis ini adalah sebagai berikut.
dari
Pengembang-
an LBHP, dalam kurun waktu kurang daripada lima tahun, masih bertumpu pada usaha di lahan Andil.
Akan tetapi,
perkembangannya yang pesat, sementara penerimaan dari waktu
ke
waktu
menandakan
bahwa
bidang
usaha
ini
memiliki
potensi
yang
besar
untuk
pengembangan
selanjutnya.
2.
Sistem Imbalan
Sebagai suatu bentuk institusi, kontrak mendistribusikan hak dan kewajiban di antara partisipannya, dan dapat digolongkan menurut kriteria primer dan sekunder. Kriteria primer mendefinisikan kontrak menurut struktur
Tabel 4.1.
Hasil Estimasi Koefisien Regresi Perkembangan Usaha Pemupukan Modal dan Ternak Kambing pada Perhutanan Sosial di Unit I Jawa Tengah -
-
Jumlah Dana Simpanan per KTH (1000 rupiah)
Peubah Independen
Jumlah Ternak Kambing per KTH
Usia Perhutanan Sosial Kondisi Lahan Andil (Kritis, D=l; normal, D=O) Situasi Gangguan terhadap Tanaman di Lahan Andil (Ada gangguan, D=l; tidak ada, D=O) -38.6 (0.090)
-1.7 (0.060)
- - - -
a~ngkadalam tanda
( )
adalah nilai peluang.
pengklaim residual.
Berdasarkan kriteria ini, Tumpang
Sari dan Perhutanan Sosial tergolong kontrak di
mana
Perhutani
residualnyal.
berkedudukan
sebagai
upahan, pengklaim
(Di taraf unit Andil , Pesanggem juga
berkedudukan sebagai pengklaim residual, namun imbalan atas jasa tenaga kerjanya diberikan dalam bentuk hak atas hasil produksi tanaman tumpang sari).
Kriteria-
kriteria sekunder, yang diterapkan dalam identifikasi struktur kontrak dikelompokkan menjadi dua, yaitu (i) Sistem imbalan, yang meliputi unit-unit pengukuran, insentif, sanksi dan restriksi; dan (ii) Struktur hakkewajiban, yang digambarkan dalam bentuk distribusi klaim. Di
dalam
buku
pedoman
pelaksanaan
program
Perhutanan sosial (~erhutani,19894) ditetapkan bahwa kontribusi Pesanggem
faktor diukur
lahan dengan
hutan
terhadap
pendapatan
pendapatan
keluarga
yang
berasal dari hasil gasapan lahan Andil dengan tanaman tumpang sari
(sama dengan konsep residu net0 yang
'~erdasarkan struktur pengklaim residual, Barzel (1989) mengklasifikasikan kontrak (di bidang pertanian) ke dalam tiga tipe, yaitu upahan, sakapan, dan sewaan.
digunakan dalam penelitian ini). busi
tenaga kerja
Sebaliknya, kontri-
Pesanggem terhadap produksi
diukur dengan persentase tumbuh tanaman kayu.
kayu Hasil
analisis yang dicantumkan dalam bab kelima menunjukkan korelasi yang lemah antara curahan tenaga kerja dengan persentase tumbuh tanaman kayu. ini,
dorongan
bagi
sangat besar.
Dalam keadaan seperti
berkembangnya
shirking
perilaku
Namun, diduga bahwa kriteria evaluasi
ini merupakan alternatif yang paling baik, misalnya jika dibandingkan, misalnya, volume
produksi
sangat besar
kayu.
dengan keuntungan atau
Resiko
jika kriteria
karena
evaluasi
penyimpangan
yang
digunakan
sangat dipengaruhi oleh ketakpastian karena panjangnya jangka waktu evaluasi, seperti halnya dalam pengukuran keuntungan atau produksi kayu di akhir siklus. Menurut Perhutani
ketentuan di
berhak
dalam
mengakhiri
perjanjian kontrak,
secara
sefihak
ikatan
kontrak dengan Pesanggem jika persentase tumbuh tanaman * kayu (dalam periode 1 tahun) kurang daripada 50 persen (Perhutani, 1990~).
Menurut
informasi
di
lapang,
sanksi ini belum pernah berlaku dalam kasus Perhutanan Sosial.
Dalam kenyataan, jarang sekali terjadi kasus
persentase
tumbuh
50
persen
atau
kurang,
sehingga
ketentuan mengenai ha1 ini secara aktual tidak efektif.
Di dalam proses penataan kontrak, unit-unit pengukuran ditetapkan oleh ~erhutanisecara sefihak.
Salah
satu aspek penting yang mempengaruhi efisiensi dalam penerapan unit pengukuran ialah
pemisahan komponen-
komponen variasi performa (persentase tumbuh tanaman) dari
faktor-faktor yang dapat dikendalikan (misalnya
tenaga kerja) terhadap faktor-faktor yang bersifat random.
Diduga bahwa karena mahalnya usaha untuk
memisahkan
sumber-sumber
variasi
ini,
maka
angka
minimum persentase tumbuh tanaman kayu sebagai kriteria pengenaan sanksi dalam bentuk pencabutan hak garapan Andil,
ditetapkan cukup rendah.
potensial
cenderung
menguntungkan
Hal
ini, secara
fihak
Pesanggem,
tetapi di lain fihak cenderung merugikan Perhutani, terutama karena pengurangan curahan tenaga kerja secara diam-diam oleh Pesanggem (jika terjadi) tidak mudah diusut oleh Perhutani.
Mungkin karena alasan ini maka
kegiatan supervisi dan pengawasan diterapkan secara intensif, dengan maksud untuk memperkecil pengaruh dari faktor manusia terhadap variasi persentase tumbuh. Usaha
pengendalian
juga
ditempuh
melalui
penyediaan insentif bagi Pesanggem, di antaranya dalam bentuk
subsidi
suku
bunga
kredit
pupuk,
dengan
pertimbangan bahwa pemakaian pupuk pada tanaman tumpang
sari mengandung efek positif bagi pertumbuhan tanaman kayu.
Selain itu, juga disediakan penyuluhan mengenai
kegiatan-kegiatan produksi, di mana beban biaya dipikul oleh Perhutani.
Jasa penyuluhan memiliki efek ganda,
yaitu untuk keberhasilan produksi bagi Pesanggem dan sebagai fungsi pengawasan bagi kepentingan Perhutani. Insentif
lain
disediakan
dalam
bentuk
uang
kontrak, yang penyalurannya dilakukan dalam dua tahap, yaitu di tahun pertama dan kedua dari masa kontrak. Sebagian
uang
kontrak
diberikan
pada
tahun
kedua
dimaksudkan untuk memberikan insentif bagi Pesahggem untuk mencapai target persentase tumbuh tanaman yang menjaminnya menerima sisa dari uang kontrak.
UNuk
mengakomodasikan pengaruh faktor fisik dalam pemberian imbalan, besar uang kontrak dibedakan menurut bonital yaitu Pesanggem di Andil berbonita tinggi
(rendah)
menerima uang kontrak dalam jumlah lebih kecil (besar). Jangka waktu yang panjang untuk menggarap Andil merupakan bentuk
insentif lain yang disediakan bagi
'~onita adalah indikator kemampuan lahan hutan bagi pertumbuhan dan produksi tanaman kayu. Bonita tinggi (rendah) menunjukkan kemampuan lahan tinggi (rendah.)
.
Pesanggem dalam kontrak Perhutanan Sosial.
Pesanggem
dapat mengakhiri ikatan kontrak sebelum berakhir jangka waktu yang disediakan jika sewaktu-waktu dikehendakinya
.
Ada
kemudahan dalam
ha1
ini, karena
bagi
Pesanggem dikenakan kewajiban-kewajiban hanya ketika memasuki sistem kontrak, tidak pada ~aat~keluar dari ikatan kontrak. tawar-menawar
Hal ini menunjukkan rendahnya posisi di
fihak
Pesanggem,
karena
jumlah
penduduk yang tinggi di satu fihak menekan tingkat upah dan di lain fihak menaikkan biaya pengorganisasian tenaga kerja andaikata tawar-menawar hendak dilakukan secara berkelompok. Perhutani
juga menyediakan
asuransi kecelakaan
(tenaga kerja), sebagai penerapan dari undang-undang perburuhan yang berlaku (~erhutani,1990c; 1980). Penerapan unit-unit pengukuran kontribusi maupun insentif-insentif berlaku sama pada kontrak Tumpang Sari dan Perhutanan Sosial.
Penetapannya dilakukan
secara sefihak oleh Perhutani. Restriksi yang diterapkan dapat dibedakan menurut tiga golongan, yaitu menyangkut hak garapan atas lahan Andil, teknik
silvikultur, dan pemanfaatan sumber-
sumber produktif (secara terinci dapat dilihat dalam Lampiran
Bl).
Dalam
kategori
pertama,
Perhutani
mencegah transfer hak pengelolaan lahan hutan, yang berstatus dikuasai oleh negara, dari Pesanggem kepada fihak lain.
Dalam kategori kedua, restriksi berupa
pembatasan jenis-jenis tanaman yang boleh diusahakan di lahan Andil. kemerosotan
Restriksi ini bertujuan untuk mencegah produksi
tanaman
kayu dan kelestarian
sumberdaya alam agar tidak sampai melewati batas yang dapat diterima.
Dalam katagori ketiga, restriksi
berhubungan dengan pemanfaatan hasil produksi, yang mencerminkan pola distribusi hak-hak dalam pernanfaatan hasil produksi.
Rincian dari pola distribusi ini
disajikan dalam konfigurasi struktur kontrak.
3.
Struktur Klaim
Tabel 4.2 (halaman 101-103) mencantumkan konfigurasi struktur klaim, yang menggambarkan distribusi hak dan kewajiban di antara Perhutani dan Pesanggem yang ditata dalam kontrakl, ~nalisismengenai pola distribusi hak-kewajiban
akan memberikan
petunjuk mengenai
l~okumen-dokumentertulis sumber informasi mengenai butir-butir perjanjian kontrak ialah Perhutani, 1980 (untuk Tumpang Sari) dan Perhutani, 1990c (untuk Perhutanan Sosial).
Tabel 4.2.
Struktur Klaim dalam Kontrak Tumpang Sari dan Perhutanan Sosial Tumpang Sari
Perhutanan Sosial
Unsur-unsur ~ontrakl Perhutani; Perhutani; Pesanggem Pesanggem
+
-
garapan kepada individu fihak ketiga, selain ahli waris
+
-
Menutup kemungkinan klaim sebagai hak milik atas lahan negara yang dikelola oleh Perhutani
+
-
-t-
-
1. Transfer hak garap
+
-
+
-
2. Penetapan luas lahan
Andil tiap Pesanggem 3. Mencegah transfer hak
4.
5. Penetapan syarat-syarat
silvikultur dan klaim untuk menerapkannya secara konsisten
'~laim positif ( + ) ialah hak untuk mengklaim, klaim negatif ( - ) adalah kewajiban atau pengakuan atas klaim (positif) fihak lain.
- --
Tumpang Sari
Perhutanan Sosial
Unsur-unsur Kontrak Perhutani; Perhutani; Pesanggem Pesanggem
6. Klaim atas produksi kayu
tanaman kehutanan, kayu tanaman keras, dan hasil hutan ikutan 7.
8.
9.
+
Pemilihan jenis tanaman pertanian
+
Perumusan cara penanaman dan pemeliharaan
+
Pencabutan hak garapan karena kelalaian memenuhi kewajiban, dan mengalihkan kepada fihak lain +
-
10. Menyediakan semua bibit
tanaman, selain bibit tanaman pertanian
-
+
-
+
-
+
-
+
-
+
-
+
11. Penyuluhan dan
pembinaan Pesanggem 12. Uang kontrak
(Lanjutan Tabel 4.2) Tumpang Sari
Perhutanan Sosial
Unsur-unsur Kontrak Perhutani; Perhutani; Pesanggem Pesanggem
13. Menjaga keselamatan Pesanggem selama masa kontrak bekerja di lahan Andil, dan penyediaan santunan (tenaga kerja)
-
+
14. Klaim atas hasil tanaman pertanian, selain kayu, selama masa kontrak
-
+
+
-
+
-
penyuluhan dan bimbingan
+
-
18. Keamanan hutan
-
-
15. Penentuan batas-batas
klaim atas hasil tanaman rumput dan kayu bakar 16. Pelaksanaan penanaman
dan pemeliharaan tanaman kayu 17. Petunjuk teknis melalui
akses Pesanggem
secara
institusional terhadap arus
pendapatan dari sumberdaya lahan hutan. Aspek-aspek yang ditata dalam perjanjian kontrak terdiri dari 18 butir, dapat dipisahkan ke dalam dua golongan, yaitu aspek produktif dan aspek kepemilikan. (Hanya satu butir ketentuan bertalian dengan pengamanan hutan yang menjadi tanggung jawab bersama).
Ikhtisar
dari konfigurasi struktur klaim dimuat dalam Tabel 4.3 (halaman 105).
Jumlah klaim bagi Perhutani (+,
-)
dalam kontrak Tumpang sari dan Perhutanan Sosial adalah identik.
Di fihak Pesanggem, perbedaan jumlah klaim
positif ( + , maupun klaim negatif
antara kedua
( -)
tipe kontrak hanya sebanyak 2 butir, dan kelebihan ini dimiliki oleh Pesanggem Perhutanan Sosial. Perhutani memiliki
klaim positif
dalam
jumlah
paling banyak, baik mengenai aspek produktif maupun kepemilikan lahan.
Struktur klaim demikian konsisten
dengan struktur pengklaim residual yang berlaku, yaitu bahwa
jumlah
residual.
klaim positif Hal
ini
condong pada pengklaim
menunjukkan
bahwa
kedudukan
Perhutani sebagai pengklaim residual masih dalam batas menguntungkan, dan memiliki kemampuan ekonomik untuk mengendalikan
redistribusi pendapatan, seperti yang
nampak dalam
uraian di atas ini mengenai
penyediaan
Tabel 4.3.
Proporsi Satuan-satuan Klaim positif dan negatif dari Kontrak Tumpang Sari dan Perhutanan ~osial ~ u m p a n g ~ Perhutanan Sosial Sari
Proporsi klaim ( + ) terhadap total klaim
PRH
PSG
PRH
PSG
12/18
5/18
12/18
7/18
Proporsi klaim ( + ) atas unsur-unsur produktif terhadap total klaim (+)
7/12
Proporsi klaim (+) atas kepemilikan sumberdaya lahan terhadap total klaim (+)
4/12
a~RH:Perhutani; PSG:
1/5
7/12
3/7
4/12
Pesanggem
insentif yang lebih besar bagi Pesanggem Perhutanan Sosial.
Makin tinggi nilai sumberdaya lahan relatif
terhadap tingkat upah, taraf insentif untuk menarik Pesanggem ke dalam sistem kontribusi tidak perlu sangat tinggi
.
Kelebihan dua klaim positif yang dimiliki oleh Pesanggem Perhutanan Sosial (8)
dalam Tabel 4.2
pernyataan
dalam
ialah butir-butir (7) dan
(halaman 101-103).
berbagai
dokumen
Perum
PernyataanPerhutani
menyebutkan bahwa kontrak Perhutanan Sosial dibangun berdasarkan azas partisipasi.
Di
sini, Pesanggem
disebut berkedudukan sebagai mitra sejajar, dari pola hubungan yang bersifat equal partnership 1988b;
Bratamihardja, 1987).
(Perhutani,
Partisipasi, menurut
Schmid
(1987), identik dengan kekuasaan atau akses
untuk
mempengaruhi
mengenai
proses
pengendalian
pengambilan
sumber-sumber
keputusan
interdependensi.
Ketentuan dalam butir-butir 7 dan 8 memberikan akses dalam manajemen hutan yang lebih besar kepada Pesanggem Perhutanan Sosial daripada Tumpang Sari. dalam
bab
kelima
(berikut
ini)
Analisis
menunjukkan
bahwa
perbedaan ini mengandung efek performa yang sangat nyata
.
karena sefihak
Akan tetapi, akses ini masih sangat terbatas gugus oleh
oportunitas,
yang
ditetapkan
secara
Perhutani,
tetap
dibatasi
dengan
ketentuan-ketentuan pelaksanaan, terutama menyangkut teknik
silvikultur
menunjukkan
(Perhutani, 1990~).
Hal
ini
bahwa struktur hak-hak yang ditata di
dalam kontrak Perhutanan Sosial pun pada dasarnya tidak
setimbang (sejajar), melainkan condong kepada Perhutani sebagai pengklaim residual yang menguasai sumberdaya lahan hutan.
4.
Fesimpulan
Pertama, penataan struktur kontrak didominasi oleh mekanisme transaksi administratif, baik mengenai aspek produktif, kepemilikan, dan penyediaan insentif bagi Pesanggem.
~erjanjiankontrak hanya mengenai komponen
silvikultur-Agroforestry
dari
Sosial,
komponen
tidak
mengenai
kontrak
Perhutanan
LBHP,
sekalipun
komponen inipun mengandung insentif bagi Pesanggem. Kedua, adanya kepentingan-kepentingan atas sumberdaya lahan hutan yang bersifat konflik dan tingginya intensitas penduduk
permintaan di
akan
sekitarnya
mendorong perkembangan
sumberdaya
menciptakan
dalam
kontrak
ini
lebih
Pesanggem (Perhutanan Sosial).
oleh
kondisi
yang
struktur kontrak dari
Tumpang Sari ke Perhutanan Sosial. struktur
hutan
Perkembangan dalam
condong
kepada
fihak
Jumlah klaim Perhutani
adalah tetap, akan tetapi derajat akses yang dimilikinya
menjadi
oportunitas
berkurang. yang
dimiliki
Dengan oleh
kata
lain, gugus
Perhutani
relatif terhadap yang dimiliki oleh Pesanggem.
menurun
Ketiga,
restrukturisasi
hak-hak
didukung
oleh
modifikasi dalam aspek silvikultur, yang memungkinkan dilakukannya realokasi lahan antara tanaman kayu dan tanaman tumpang sari.
Karena teknik silvikultur secara
langsung mengenai aspek produksi, faktor ini secara langsung turut menentukan distribusi pendapatan aktual. Keempat,
perkembangan
dilatarbelakangi
oleh
dalam
suatu
struktur
keyakinan
bahwa
kontrak dengan
memperbesar arus manfaat dari sumberdaya lahan hutan kepada penduduk di sekitarnya tujuan-tujuan manajemen hutan, yang mencakup kepentingan produksi, konservasi, dan
sosial,
struktur
lebih mudah
insentif
dalam
dicapai. kontrak
sangat condong kepada Pesanggem.
Itulah sebabnya Perhutanan
Sosial
Namun di fihak lain,
struktur kontrak secara keseluruhan sangat membatasi kesempatan bagi Pesanggem, terutama dalam ha1 pilihanpilihan yang diperkirakan mempunyai efek langsung, dan berdampak negatif, kayu.
pada lahan dan produksi tanaman
Sebagai perimbangan, kepada Pesanggem diberikan
insentif-insentif
tambahan
secara
substitut bentuk
insentif melalui
langsung,
sebagai
peningkatan akses
terhadap sumberdaya lahan hutan. Kelima, ada indikasi bahwa pilihan pada kontrak Perhutanan Sosial sebagai suatu alternatif institusi
lebih
dipengaruhi
oleh
opini
publik,
pertimbangan komersial dari Perhutani.
ketimbang
Pengembangan
komponen LBHP di luar perjanjian kontrak, yang sangat condong pada kepentingan langsung Pesanggem, memberikan petunjuk bahwa selain komponen silvikultur-agroforestry Perhutani juga berusaha melihat potensi dari alternatif fain sebagai bagian dari pendekatan masalah. Keenam, redistribusi pendapatan yang condong pada fihak
Pesanggem
lebih
dimungkinkan
oleh
kemampuan
ekonomik fihak Perhutani, terutama melalui penyediaan insentif langsung, ketimbang oleh karena menguatnya posisi ker jal.
tawar-menawar
Pesanggem
dalam
pasar
tenaga
Fenomena ini tidak mendapat perhatian dalam
model Barzel (1989), yaitu bahwa efek dari penurunan lahan
terhadap
distribusi pendapatan ada batas minimumnya.
Setelah
rasio
tingkat
upah
dengan
rente
batas ini dicapai, mekanisme transaksi administratif berperan dalam meredistribusikan pendapatan.
'~en~ataan ini merupakan indikasi perilaku penunggangan gratis.
lain
adanya