PENYELESAIAN SENGKETA KONTRAK BERDASARKAN AZAS PROPORSIONALITAS
Oleh: Agus Yudha Hernoko∗ The objective of this article is to argue that the issue of equal and unequal position of the parties is irrelevant to commercial contract. The essence of commercial contract that ponders business relationship without interruption does not deal with the issue of mathematical equality; rather, it emphasizes on proportional exchange of interests of the parties irrespective of result obtained by the parties. There are four important issues that recommended in this paper. First, the principle of proportionality is applied in the entire phases of contract, i.e. in negotiation, formation, and enforcement phases. Second, the principle of proportionality is not perceived from mathematical equality perspective but it is viewed from fair exchange process and proportionate result, which is acceptable by both parties. Third, the principle of proportionality is a doctrine of “fair contract”, which improves the doctrine of freedom of contract that may lead to unfairness. It is recommended that jurists, currently, be not regard the doctrine of freedom of contract sacred; rather, they shall find other philosophical basis to develop “fair contract” procedurally as well as substantively. Fourth, the principle of proportionality is applied as best choice of dispute settlement. Key words: dispute settlement, principle of proportionality, fair contract. 1. Pendahuluan Adagium “setiap langkah bisnis adalah langkah hukum” merupakan keniscayaan dalam dinamika bisnis modern. Dalam perspektif bisnis, aspek hukum tersebut termanifestasi dalam bentuk kontrak yang merupakan bagian penting dari suatu proses bisnis, yang sarat dengan pertukaran kepentingan di antara para pelakunya. Kontrak pada dasarnya sebuah formulasi penuangan proses bisnis ke dalam bahasa hukum. Oleh karena itu keberhasilan dalam bisnis antara lain juga akan ditentukan oleh struktur atau bangunan kontrak yang di buat oleh para pihak. ∗
Dr. Agus Yudha Hernoko, Departemen Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Airlangga. Kritik dan saran terhadap artikel ini dapat disampaikan kepada penulis melalui:
[email protected].
1
Sebagai suatu proses, kontrak yang ideal seharusnya mampu mewadahi pertukaran kepentingan para pihak secara fair dan adil (proporsional). Aktifitas bisnis pada dasarnya senantiasa dilandasi aspek hukum terkait, ibaratnya sebuah kereta api hanya akan dapat berjalan menuju tujuannya apabila ditopang dengan rel yang berfungsi sebagai landasan geraknya. Tidak berlebihan kiranya apabila keberhasilan suatu proses bisnis yang menjadi tujuan akhir para pihak hendaknya senantiasa memperhatikan aspek kontraktual yang membingkai aktifitas bisnis mereka. Dengan demikian, bagaimana agar bisnis mereka berjalan sesuai tujuan akan berkorelasi dengan struktur kontrak yang dibangun bersama.1 Kontrak akan melindungi proses bisnis para pihak, apabila pertama-tama dan terutama, kontrak tersebut dibuat secara sah karena hal ini menjadi penentu proses hubungan hukum selanjutnya. Kontrak sebagai instrumen pertukaran hak dan kewajiban diharapkan dapat berlangsung dengan baik, fair dan proporsional sesuai kesepakatan para pihak. Aturan main pertukaran ini menjadi domain para pihak, kecuali dalam batas-batas tertentu muncul intervensi, antara lain, baik dari undang-undang yang bersifat memaksa maupun dari otoritas tertentu (hakim). Namun sifat intervensi ini lebih ditujukan untuk menjaga proses pertukaran hak dan kewajiban berlangsung secara fair. Dinamika
bisnis
dengan
pasang
surutnya,
juga
berakibat
pada
keberlangsungan hubungan kontraktual para pihak. Apa yang diproyeksikan lancar, untung, memuaskan, prospek bisnis cerah kadangkala dapat berubah merugi dan memutus hubungan bisnis para pihak. ”Siapa yang dapat memastikan hujan esok hari”, demikian pula dengan kontrak. Para pihak yang berkontrak senantiasa berharap kontraknya berakhir dengan ”happy ending”, namun tidak menutup 1
Menurut Scott J. Burnham dalam proses perancangan kontrak perlu diperhatikan “The Three P’s of Drafting Principles”, untuk meminalisir potensi sengketa. Tiga prinsip tersebut, yaitu: a. predict what may happen; b. provide faor that contingency; and c. protect your clien with a remedy. Periksa Scott J. Burnham, Drafting Contracts, Second ed., The Michie Company Law Publishes, Charlottesville, Virginia, 1993, h. 2.
2
kemungkinan kontrak dimaksud menemui hambatan bahkan berujung pada kegagalan kontrak. Kegagalan kontrak yang bermuara pada sengketa acapkali dipandang sebagai monster inefisiensi yang menakutkan bagi kelangsungan bisnis para pihak. Terlebih apabila berkaca pada penyelesaian yang berlangsung di rimba peradilan Indonesia, prinsip beracara yang “cepat, sederhana dan murah” berganti dengan stigma “tidak cepat, tidak sederhana dan tidak murah”. Dengan kata lain kegagalan kontrak yang bermuara pada sengketa di pengadilan seringkali diindikasikan akan berlangsung unfairness, uncertainty dan ineficiency. Oleh karena itu para pihak berupaya mencari pola penyelesaian yang terbaik bagi mereka, terutama model penyelesaian yang bernuansa win-win solution. Terlepas dari pilihan penyelesaian sengketa oleh para pihak, pengadilan masih tetap merupakan institusi formal penyelesai sengketa meskipun cenderung bersifat “the last resort”. Dengan demikian dalam menyelesaikan sengketa kontrak di antara pihak, pengadilan (i.c. hakim) harus tetap mengacu pada prinsip-prinsip dan norma yang mendasari hubungan kontraktual tersebut. Terkait dengan upaya penyelesaian sengketa kontrak sebagaimana terurai sebelumnya, penulis mencoba menawarkan sebuah konsep penyelesaian sengketa yang bersumber pada azas proporsionalitas. Melalui azas proporsionalitas diharapkan dapat dihasilkan model penyelesaian yang elegan dan saling menguntungkan. Oleh karena itu, beranjak dari uraian latar belakang tersebut di atas dirumuskan isu hukum sentral sebagai bertikut: “Azas Proporsionalitas Sebaga Instrumen Penyelesaian Sengketa Kontrak”.
2. Penyebab Timbulnya Sengketa Komersial Para pelaku bisnis dalam hubungannya dengan pihak lain senantiasa mengharapkan agar kontrak yang mereka buat dapat berjalan sebagaimana yang diharapkan. Namun demikian, dalam perjalanan waktu tidak menutup kemungkinan terjadi sengketa diantara mereka, meskipun hal ini sebenarnya sama sekali tidak 3
diharapkan.
Sengketa
pada
umumnya
muncul
sebagai
akibat
adanya
ketidaksepakatan, perbedaan, gangguan, kompetisi, atau ketidakseimbangan di antara para pihak. Sengketa atau konflik muncul sebagai akibat dari beberapa, antara lain: a. Scarce Resource, kelangkaan sumber-sumber yang signifikan terhadap eksistensi partisipan konflik. Pada kondisi ini pendekatan yang paling sering digunakan adalah kompetisi yang bermuara pada zero-sum game (satu pihak menang, yang lain kalah); b. Ambiguous Jurisdictions, kondisi dimana batas-batas (kewenangan atau hak) saling dilanggar, sehingga satu pihak mengambil keuntungan yang seharusnya juga menjadi bagian dari keuntungan pihak lain; c. Intimacy, keterdekatan yang seringkali bermuara pada koflik mendalam jika perbedaan-perbedaan yang terjadi tidak dikelola dengan matang. Konflik berbasis intimacy biasanya bersifat lebih mendalam dibanding partisipan yang tidak memilik pengalaman “kenal” satu sama lain; d. We-They Distinctions, terjadi dalam kondisi dimana orang menciptakan diskriminasi yang sifatnya berseberangan.2 Sengketa bisnis dalam kontrak komersial seringkali berawal dari kesalahan mendasar dalam proses terbentuknya kontrak dengan berbagai faktor atau penyebabnya, antara lain: a. Ketidak pahaman terhadap proses bisnis yang dilakukan. Kondisi ini muncul ketika pelaku bisnis semata-mata terjebak pada orientasi keuntungan serta karakter coba-coba (gambling) tanpa memprediksi kemungkinan risiko yang akan menimpanya.
2
Ronny H. Mustamu, Konflik dan Negosiasi (Makalah), Jurusan Manajemen FE Universitas Kristen Petra, Surabaya, 2000.
4
b. Ketidakmampuan mengenali partner atau mitra bisnisnya, ada sementara pelaku bisnis yang sekedar memperhatikan performa atau penampilan fisik mitra bisnisnya tanpa meneliti lebih lanjut track record dan bonafiditas. Joke yang berkembang menerangkan bahwa beberapa pelaku bisnis lokal begitu mudahnya terpaku dan tertarik untuk terlibat dengan kerjasama yang ditawarkan mitra bisnis asingnya, semata-mata berasumsi bahwa orang asing selalu lebih unggul segala-galanya, tanpa memperhatikan prinsip “know your partner”. c. Tidak adanya legal cover yang melandasi proses bisnis mereka. Hal ini menunjukkan rendahnya pemahaman dan apresiasi hukum pelaku bisnis dalam melindungi aktifitas bisnis mereka. Muara konflik sebagaimana terurai di atas, dikarenakan pelaku bisnis tidak memperhatikan aspek “legal cover” dalam memperoteksi bisnis mereka, khususnya aspek kontraktualnya. Dalam praktik dapat diperbandingkan bagaimana aspek hukum (kontrak) dikesampingkan semata-mata tuntutan bisnis (profit oriented), seolah-olah aspek “legal cover” ini sekedar “the last resort” dalam mata rantai aktifitas bisnis mereka. Bukankah pelaku bisnis begitu terikatnya dengan metode analisis-evaluasi, antara lain dengan penerapan berbagai model audit (misal: audit keuangan – financial audit) dalam upaya mengawasi jalannya bisnis. Namun demikian jarang yang menempatkan audit hukum (legal audit – termasuk audit kontrak) sebagai kebutuhan primer dalam bisnis mereka. Terbukti pada saat penyusunan rencana anggaran dan belanja perusahaan, jarang pelaku bisnis yang menganggarkan/mengalokasikan biaya hukum untuk meng”cover” risiko bisnis mereka, kalaupun ada lebih sekedar menyerap pos-pos anggaran lain tanpa melalui pertimbangan dan perhitungan yang cermat. Sehingga ketika kemudian muncul sengketa yang mengharuskan pelaku bisnis mengeluarkan biaya (dana) dicarilah langkah “akal-akalan” untuk menutup biaya hukum tersebut melalui “dana taktis”, yang
konon
menurut
tertib
keuangan
perusahaan
tidak
pernah
dapat
dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu dapat dipastikan kondisi demikian akan
5
mengantar bisnis mereka pada kondisi yang tidak menguntungkan “losses but not profit”. Ketika suatu konflik atau sengketa menjadi semakin berkembang mengancam jalannya bisnis, berbagai bentuk konsekuensi akan bermunculan dan mempengaruhi individu, hubungan, tugas dan keputusan sebagai suatu bentuk: respon personal, respon komunitas dan politisasi (ketiganya disebut “elemen spiral”). Dalam hal ini terdapat segitiga konflik yang merupakan penjabaran ketiga elemen spiral tersebut, yaitu: people, process, problem. Bagaimana menyelesaikan konflik dengan hasil yang saling menguntungkan (win-win outcome), berikut ini langkah-langkah yang dapat ditempuh, yaitu: 3 a. Perceived conflict: untuk konflik persepsi tentang “cara saya” versus “cara kamu”, definisikan kembali isu dengan cara mengidentifikasikan kembali hasilhasil yang diharapkan para pihak; b. Fixed Pie: untuk konflik “jumlah kue yang tetap” tentang bagaimana membagi sejumlah tetap sumber-sumber, capai persetujuan dulu terhadap metode penyelesaian yang dianggap adil untuk semua pihak dan terapkan; c. Displaced and Misatributed: untuk konflik jenis ini perlu dilakukan pendefinisian kembali batasan-batasan yang jelas tentang persoalan yang sesungguhnya terjadi dan pihak-pihak yang seharusnya terlibat.
3. Makna dan Daya Kerja Azas Proporsionalitas Menurut pendapat penulis untuk mencari makna azas proporsionalitas dalam kontrak harus beranjak dari makna filosofis keadilan. Hal ini dapat ditelusuri dalam berbagai pendapat serta pemikiran para filosof dan sarjana. Filosof besar seperti Aristoteles,4 menyatakan bahwa” justice consists in treating equals equally 3
Ibid.
4
Raymond Wacks, Jurisprudence, Blackstone Press Limited, London, 1995, h. 178. Periksa juga O. Notohamidjojo, Masalah: Keadilan, Tirta Amerta, Semarang, 1971, h. 7. Menurut Plato keadilan merupakan bagian dari virtue (kebajikan), Periksa Burhanuddin Salam, Ibid.
6
and unequals unequally, in proportion to their inequality” (prinsip bahwa yang sama diperlakukan secara sama, dan yang tidak sama juga diperlakukan tidak sama, secara proporsional). Ulpianus5 menggambarkan keadilan sebagai “justitia est constans et perpetua voluntas ius suum cuique tribuendi” (keadilan adalah kehendak yang terus menerus dan tetap memberikan kepada masing-masing apa yang menjadi haknya “to give everybody his own”). Artinya keadilan dapat terwujud apabila sesuatu yang diberikan kepada seseorang sebanding dengan yang seharusnya ia terima (praeter proportionem dignitas ipsius). Pada hakikatnya gagasan tersebut merupakan titik tolak bagi pemaknaan azas proporsionalitas dalam hubungan kontraktual para pihak. Demikian pula dengan pandangan beberapa sarjana, seperti Paul Tillich,6 L.J. van Apeldoorn,7 J. van Kan dan J.H. Beekhuis,8 yang menyatakan bahwa keadilan itu memperlakukan sama terhadap hal yang sama dan memperlakukan yang tidak sama sebanding dengan ketidaksamaannya. Beauchamp dan Bowie,9 dengan kriteria pembagian proporsionalnya, serta pemikiran John Rawls10 tentang ”justice as fairness” yang menekan prinsip hak berlandaskan rasionalitas, kebebasan dan kesamaan. P.S. Atijah11 memberikan landasan pemikiran mengenai azas proporsionalitas dalam kaitannya dengan peran kontrak sebagai landasan pertukaran yang adil di dunia bisnis, bahwa transaksi para pihak yang berkontrak sesuai dengan apa yang diinginkan (proportion in what they want). Pandangan para sarjana
Pemikiran Aristoteles tentang keadilan tersebut merupakan titik tolak pemikiran pentingnya azas proporsionalitas dalam hubungan kontraktual para pihak. 5 O. Notohamidjojo, Op. Cit., h. 18 -19. 6 Paul Tillich, Cinta, Kekuasaan dan Keadilan, Pustaka Eureka, Surabaya, 2004, h. 74-75. 7 L.J. van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Cet. xxx, Pradnya Paramita, Jakarta, 2004, h. 11-13. 8 J. van Kan dan J.H. Beekhuis, Pengantar Ilmu Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990, h .171-172. 9 Ibid., h. 95. 10 Loc. Cit. 11 P.S. Atijah, An Introduction to The Law of Contract, 4th Ed., Oxford University Press Inc., New York, 1995, h. 5.
7
tersebut di atas merupakan dasar bagi argumentasi yang dibangun untuk merumuskan makna azas proporsionalitas. Menurut Lyons12 suatu iklim kontrak yang sesungguhnya, pada hakikatnya memberi peluang bagi perbedaan pendapat, tawar-menawar, atau bahkan perbedaan-perbedaan yang relevan di antara para pihak. Argumen kontrak menuntut pertukaran gagasan secara bebas dan melalui proses, meminjam istilah Gadamer,13 to-and-for, pada akhirnya semua pihak akan sampai pada kesepakatan bersama mengenai prinsip-prinsip keadilan yang tepat bagi mereka. Hanya dalam proses seperti ini hasil dari suatu kesepakatan sungguh-sungguh merefleksikan kepentingan semua pihak. Pada dasarnya azas proporsionalitas merupakan perwujudan doktrin ”keadilan berkontrak” yang mengoreksi dominasi azas kebebasan berkontrak yang dalam beberapa hal justru menimbulkan ketidakadilan. Konrad Zweigert dan Hein Kotz,14 mengingatkan para sarjana untuk membuang sikap yang memperlihatkan seolah-olah kebebasan berkontrak merupakan prinsip utama dalam pembentukan undang-undang kontrak. Tugas utama para sarjana kini bukan lagi mengagungkan kebebasan
berkontrak,
melainkan
mencari
kriteria
serta
prosedur
bagi
perkembangan doktrin “keadilan kontraktual”. Perwujudan keadilan berkontrak ditentukan melalui dua pendekatan. Pertama, pendekatan prosedural, pendekatan ini menitikberatkan pada persoalan kebebasan kehendak dalam suatu kontrak. Pendekatan kedua, yaitu pendekatan substantif yang menekan kandungan atau substansi serta pelaksanaan kontrak. Dalam pendekatan substanstif perlu diperhatikan adanya kepentingan yang berbeda. Mengambil moralitas pertimbangan tersebut, maka azas proporsionalitas bermakna sebagai ”azas yang melandasi atau mendasari pertukaran hak dan 12
Andre Ata Ujan, Keadilan dan Demokrasi (Telaah Filsafat Politik John Rawls), Kanisius, Yogjakarta, 1999, h. 140. 13 Loc. Cit. 14 Periksa Sakina Shaik Ahmad Yusoff, “Isi Kandungan Kontrak: Klasifikasi Terma Dan Permasalahannya”, Malaysian Journal of Law and Society, Faculty of Law Universiti Kebangsaan Malaysia, Vol. V, 2001.h. 87-88.
8
kewajiban para pihak sesuai proporsi, beban dan atau bagiannya.” Azas proporsionalitas mengandaikan berlangsungnya mekanisme pembagian hak dan kewajiban secara proporsional yang diwujudkan dalam seluruh proses hubungan kontraktual, baik pada fase pra kontraktual, pembentukan kontrak maupun pelaksanaan kontrak. Azas proporsional sangat berorientasi pada konteks hubungan dan kepentingan para pihak, dalam arti menjaga kelangsungan hubungan bisnis mereka. Untuk itu dalam kajian ini diajukan suatu kriteria yang dapat dijadikan pedoman untuk menemukan azas proporsionalitas dalam kontrak, sebagai berikut: a. kontrak yang bersubstansi azas proporsionalitas adalah kontrak yang memberikan pengakuan terhadap hak, peluang dan kesempatan yang sama kepada para kontraktan untuk menentukan pertukaran yang adil bagi mereka. Kesamaan bukan dalam arti ”kesamaan hasil” melainkan pada posisi para pihak yang mengandaikan ”kesetaraan kedudukan dan hak (equitability)” (prinsip kesamaan hak/kesetaraan hak); b. berlandaskan pada kesamaan/kesetaraan hak tersebut, maka kontrak yang bersubstansi azas proporsionalitas adalah kontrak yang dilandasi oleh kebebasan para kontraktan untuk menentukan substansi apa yang adil dan apa yang tidak adil bagi mereka (prinsip kebebasan); c. kontrak yang bersubstansi azas proporsionalitas adalah kontrak yang mampu menjamin pelaksanaan hak dan sekaligus mendistribusikan kewajiban secara proporsional bagi para pihak. Perlu digarisbawahi bahwa keadilan tidak berarti semua orang harus selalu mendapatkan sesuatu dalam jumlah yang sama, dalam konteks ini dimungkinkan adanya hasil akhir yang berbeda. Dalam hal ini maka prinsip distribusi-proporsional terhadap hak dan kewajiban para pihak harus mengacu pertukaran yang fair (prinsip distribusi-proporsional). Dengan demikian, kontrak sebagai proses mata rantai hubungan para pihak harus dibangun berdasarkan pemahaman keadilan yang dilandasi atas pengakuan hak para kontraktan. Pengakuan terhadap eksistensi hak para kontraktan tersebut 9
termanifestasi dalam pemberian peluang dan kesempatan yang sama dalam pertukaran kepentingan (hak dan kewajiban). Namun demikian, pengakuan terhadap hak, kebebasan, dan kesamaan dalam pertukaran kepentingan (hak dan kewajiban)
tersebut
tetap
harus
dalam
bingkai
aturan
main
yang
mempertimbangkan prinsip distribusi yang proporsional. Ukuran proporsionalitas pertukaran hak dan kewajiban didasarkan pada nilai-nilai kesetaraan (equitability), kebebasan, distribusi-proporsional, tentunya juga tidak dapat dilepaskan dari azas atau prinsip kecermatan (zorgvuldigheid), kelayakan (redelijkheid; reasonableness) dan kepatutan (billijkheid; equity). Untuk menemukan azas proporsionalitas dalam kontrak dengan menggunakan kriteria atau ukuran nilai-nilai tersebut di atas, hendaknya tidak diartikan akan diperoleh hasil temuan
berupa
angka-angka
matematis.
Azas
proporsionalitas
tidak
mempermasalahkan keseimbangan (kesamaan) hasil secara matematis, namun lebih menekankan proporsi pembagian hak dan kewajiban di antara para pihak yang berlangsung secara layak dan patut (fair and reasonableness). Pendapat ini perlu penulis ajukan untuk menjawab pertanyaan mengenai apa makna, kriteria maupun wujud azas proporsionalitas. Bukan hal yang mudah, bahkan mustahil menimbang atau menakar hubungan kontraktual yang sesuai dengan azas proporsionalitas dalam bentuk hasil akhir yang terukur secara matematis. Azas-azas pokok dalam hukum kontrak yang lain pun tidak ada yang memberikan jawaban yang pasti mengenai makna, kriteria maupun wujud nyatanya. Namun azas-azas tersebut dapat ditemukan dan diterima melalui interpretasi yang komprehensif, dengan memperhatikan karakteristiknya masing-masing.
4. Upaya Penyelesaian Sengketa Berdasarkan Azas Proporsionalitas Adakalanya pelaku bisnis bersikap rasional ketika menghadapi sengketa bisnis karena hal itu dianggap sebagai bagian dari risiko bisnis. Persoalan terpenting bagi pelaku bisnis adalah bagaimana upaya mereka dalam mengantisipasi atau mencegah kemungkinan terjadinya sengketa. Oleh karena itu, umumnya dalam 10
kontrak binsis (komersial) para pihak mencantumkan kalusul penyelesaian sengketa (“dispute settlement clause” atau “midnight clause”) dalam kontrak mereka.15 Jika pada akhirnya sengketa berkembang menjadi lebih kompleks maka upaya penyelesaian yang umumnya dilakukan atau dipilih oleh para pelaku bisnis berkisar pada dua opsi, yaitu : a. Penyelesaian melalui jalur litigasi (in court settlement). b. Penyelesaian melalui jalur non litigasi (out of court settlement). Menurut Fisher dan Ury16 terdapat tiga faktor utama yang mempengaruhi proses penyelesaian sengketa, yaitu: kepentingan (interest), hak (rights) dan status kekuasaan (power). Para pihak yang bersengketa ingin kepentingannya tercapai, hak-haknya terpenuhi dan status kekuasaannya diperlihatkan, dimanfaatkan serta dipertahankan. Penyelesaian sengketa perdata di pengadilan umumnya didasarkan pada: a. Adanya wanprestasi atau ingkar janji salah satu pihak, dimana untuk gugatan ini harus didasarkan pada adanya hubungan kontraktual (privity of contract) di antara para pihak (penggugat dan tergugat); b. Adanya perbuatan melanggar hukum (onrechtmatigedaad), dimana dalam gugatan berdasarkan perbuatan melanggar hukum tidak perlu didahului adanya hubungan kontraktual diantara para pihak, namun yang paling elementer adalah adanya perbuatan yang merugikan pihak lain serta terdapat hubungan kausal antara
perbuatan
dengan
kerugian
yang
ditimbulkan
sebagai
akibat
kesalahannya. Sudah menjadi pendapat umum, khususnya di Indonesia, mengenai tidak efektif dan efisiennya proses penyelesaian sengketa melalui proses litigasi. Bahkan 15
Basuki Rekso Wibowo, Menyelesaikan Sengketa Bisnis Di Luar Pengadilan (Pidato), Disampaikan pada pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Bidang Ilmu Hukum, Fakultas HukumUniversitas Airlangga, 17 Desember 2005, h.4. 16 M. Zaidun, Mekanisme Alternatif Penyelesaian Sengketa (MAPS), Diklat Manajemen dan Hukum Perdagangan Bagi Konsultan Hukum dan Pengusaha, diselenggarakan atas kerjasama Ditjen PDN Depprindag, Kanwil Depprindag Prop. Jawa Timur dengan Zaidun & Partners Law Firm, Hotel Sahid, Surabaya, 18 November – 10 Desember 1998, h. 5.
11
belakangan muncul kritik bahwa proses penyelesaian sengketa melalui peradilan tidak menjamin kepastian hukum (uncertainty), penuh kejutan dan tidak dapat diprediksi (unpredictable), buang waktu dan mahal, meskipun pada azasnya beracara di pengadilan itu “sederhana, cepat dan biaya ringan”. Bagi dunia bisnis proses yang demikian jelas akan mengakibatkan bonafiditas dan kredibilitas pelaku bisnis menjadi rendah serta menimbulkan ekonomi biaya tinggi (high cost economy). Karenanya penyelesaian sengketa melalui pengadilan tetap merupakan upaya “ultimum remidium”. Pengadilan dipandang sebagai “the last resort”, sebagai tempat terakhir mencari kebenaran dan keadilan.17 Basuki Rekso Wibowo18 mengemukakan bahwa paradigma beracara di pengadilan
telah
mengalami
pergeseran
yang memprihatinkan.
Idealisme
berperkara untuk menegakkan keadilan yang substansial, telah bergeser menjadi pergulatan kesempatan dan kekuatan untuk saling mengalahkan (to be the winner, not the losser). Dengan pergeseran paradigma tersebut maka keadilan direduksi menjadi persoalan kalah dan menang. Pengadilan (yang sesat tersebut) yang seharusnya menjadi tempat pencari keadilan berubah menjadi ’plaza keadilan’, dimana pengadilan merupakan arena transaksi kalah-menang. Kondisi demikian akhirnya membuat masyarakat pencari keadilan sedapat mungkin menghindari pengadilan dalam menyelesaikan berbagai problematika hukum yang mereka hadapi. 19 M. Yahya Harahap,20 mengemukakan bahwa penyelesaian sengketa bisnis melalui lembaga peradilan dinilai kurang efektif oleh para pelaku bisnis, karena: a. penyelesaian perkara yang lambat dan banyak membuang waktu; b. biaya mahal; c. peradilan tidak responsif terhadap kepentingan umum;
17
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata , Sinar Grafika, Jakarta, 2006, h. 160. Basuki Rekso Wibowo, Op. Cit.,8. 19 Ibid. 20 IM. Yahya Harahap, Op. Cit., h.14. 18
12
d. putusan pengadilan tidak menyelesaikan sengketa; e. kemampuan hakim bersifat generalis; f. putusan pengadilan seringkali dijatuhkan tidak disertai dengan pertimbangan yang cukup rasional. Seperti halnya dalam penyusunan kontrak bisnis yang perlu menekankan konsep win-win solution, maka dalam hal terjadi sengketa tentunya perlu diupayakan penyelesaian yang terbaik dan elegan, suatu penyelesaian sengketa yang cepat, efektif dan efisien. Dalam penyelesaian sengketa bisnis diantara mereka maka penyelesaian yang terbaik dan ideal adalah pola penyelesaian win-win solution, terutama melalui Alternative Dispute Resolution (ADR), antara lain meliputi: negosiasi, mediasi dan arbitrase. Pola ADR ini dipandang sebagai alternatif terbaik bagi para pihak. Melalui wadah ini keberadaan para pihak samasama terlindungi, kredibilitas maupun bonafiditas para pihak tetap terjaga. Selain itu ADR dipandang sebagai pilihan terbaik (the best choice), karena: a. bersifat “informal”; b. penyelesaian secara “kooperatif” oleh para pihak yang bersengketa; c. biaya “murah” (nominal cost atau zero-cost); d. penyelesaian “cepat” (quick); e. menyelesaikan sengketa serta ,memperbaiki hubungan “masa depan” (the future); f. penyelesaian secara “kompromi” (compromise); g. hasil yang dicapai sama-sama “menang” (win-win); h. hubungan semakin “mesra”; i. tidak antagonistik serta tidak ada dendam; j. pemenuhan secara “sukarela”. 21
21
M. Yahya Harahap , op. cit., h. 169. Meskipun demikian, tidak dalam semua kasus asumsi tersebut di atas benar, kadang ADR justru lebih lama dan mahal. Oleh karena itu, ukurannya tidak semata-mata murah atau mahal, cepat atau lambat (semua itu bersifat relatif), tetapi bagaimana sengketa itu diselesaikan secara elegan dan bernuansa ‘win-win’ merupakan fokus pilihannya.
13
Menurut Goldberg,22 terdapat empat tujuan penyelesaian sengketa altenatif, yaitu: a. mengurangi kemacetan di pengadilan; b. meningkatkan keterlibatan masyarakat dan proses penyelesaian sengketa; c. memperlancar jalur keadilan; d. memberikan kesempatan bagi tercapainya penyelesaian sengketa yang menghasilkan keputusan yang dapat diterima oleh semua pihak. Negosiasi sebagai salah satu alternatif utama penyelesaian sengketa merupakan sarana bagi pihak-pihak untuk mendiskusikan penyelesaiannya tanpa keterlibatan pihak ketiga penengah yang tidak berwenang mengambil keputusan (mediasi), maupun pihak ketiga pengambil keputusan (arbitrase dan litigasi).23 Untuk itu agar penyelesaian sengketa melalui negosiasi berjalan efektif, disyaratkan: a. Pihak-pihak bersedia bernegosiasi secara sukarela berdasarkan kesadaran yang penuh (willingness). b. Pihak-pihak siap melakukan negosiasi (preparedness). c. Mempunyai wewenang mengambil keputusan (authoritative). d. Memiliki kekuatan yang relatif seimbang sehingga dapat menciptakan saling ketergantungan (relative equal bargaining power). e. Mempunyai kemauan menyelesaikan masalah (willingness to settle).24 Dalam kerangka kontrak bisnis yang “win-win solution”, maka sejak awal pembuatan kontrak sampai dengan pelaksanaannya, serta apabila kemungkinan terjadi sengketa di antara para pihak hendaknya senantiasa dihindari hal-hal yang dapat merusak pola kemitraan yang terbingkai dalam kontrak. Sehingga upaya penyelesaian sengketa yang terjadi di antara para pihak juga diarahkan pada pola 22
M. Zaidun, Loc. Cit. Menurut Ros Macdonald dan McGill, negosiasi merupakan alternatif penyelesaian sengketa yang paling banyak dipilih dalam menyelesaian sengketa bisnis. Periksa Ros Macdonald & McGill, Op. Cit., h. 299. 24 M. Zaidun, Op. Cit. h. 7. 23
14
penyelesaian “win-win solution”. Oleh karena itu negosiasi sebagai suatu proses yang utuh dan padu dalam suatu kontrak bisnis harus senantiasa mewarnai mulai tahap pra-kotraktual, pembuatan kontrak, serta pelaksanaan kontrak, bahkan seandainya terjadi sengketa. Dalam hal ini negosiator harus mampu menyusun langkah, tahapan, gaya maupun strategi untuk mampu bernegosiasi menyelesaikan masalah yang timbul. Melalui negosiasi diharapkan tercipta hubungan yang harmonis dan saling menguntungkan para pihak di antara para pihak, sehingga adanya hubungan yang win-win solution akan mendukung terciptanya iklim usaha yang kondusif. Negosiasi sebagai bagian dari metode alternatif penyelesaian sengketa, ternyata tidak selalu menjadi pilihan para pihak dalam menyelesaikan sengketa di antara mereka. Adakalanya proses negosiasi menghadapi fase kegagalan karena, antara lain, tidak diterima, diabaikan atau ditolak pihak lain, akhirnya justru berujung pada pilihan penyelesaian melalui jalur litigasi. Garry Goodpaster25 dalam artikelnya “Lawsuits as Negotiations”, mengemukakan enam alasan utama mengapa para pihak lebih memilih menyelesaikan sengketa mereka melalui proses litigasi daripada proses negosiasi, sebagai berikut: a. ‘Refusal to deal’, salah satu pihak menolak untuk bernegosiasi, sementara pihak yang lain tidak mempunyai kekuatan (bargaining power) untuk memaksa menyelesaikan sengketa melalui proses selain itu; b. ‘Negosiation failures’, negosiasi yang berlangsung di antara para pihak mengalami kegagalan, karena beberapa hal misal kurangnya keahlian bernegosiasi. Salah satu pihak beranggapan bahwa penyelesaian melalui litigasi memberikan hasil yang lebih memuaskan baginya; c. ‘Zero-sum negotiations’, para pihak melihat prospek penyelesaian sengketa melalui negosiasi akan menempatkan mereka pada situasi kemungkinan “kalah25
Inns of Court School of Law-City University-London, , Negotiation, Oxford University Press, London, 2004, h. 25.
15
menang” (a win-lose situation). Melalui litigasi diharapkan akan memberikan posisi yang lebih kuat untuk meminta sesuatu bahkan pembebanan biaya-biaya. Biasanya situasi ini muncul pada transaksi yang telah lewat waktu (jatuh tempo), sehingga pihak yang dirugikan sudah tidak lagi melihat adanya keuntungan apabila diselesaikan dengan negosiasi karena justru kontra produktif (buang waktu); d. ‘The litigator-negotiator’s role’, lawyer yang pada prinsipnya bekerja pada konteks area litigasi mungkin tidak berhasil melihat peluang penyelesaian melalui negosiasi, dan oleh karena itu lebih menyarankan kepada kliennya untuk menyelesaikan sengketa melalui proses litigasi; e. ‘Lawyer-client relationships in lawsuits’, pengajuan proses gugatan di pengadilan acapkali mempengaruhi peluang klien dalam penyelesaian sengketa melalui proses negosiasi, ketika sengketa itu diserahkan kepada lawyernya yang lebih memilih menyelesaikan sengketa melalui proses litigasi dengan mengesampingkan proses negosiasi; f. ‘The litigator-negotiator’s bias’, lawyer yang berfungsi sebagai wakil untuk bernegosiasi ternyata justru meningkat faktor kompetisi yang berisiko. Sikap ini sebenarnya
sebagai
akibat
kesalahan
memahami
prinsip
melindungi
kepentingan klien sebaik mungkin yang dimaknai bahwa sengketa harsu diselesaikan melalui proses litigasi. Arthur S. Hartkamp, J.M. van dunne maupun E.H. Hondius mengakui pentingnya negosiasi kontrak dengan merujuk praktik pengadilan. Di Belanda, praktik pengadilan melihat negosiasi sebagai fase yang menentukan apakah suatu kontrak mempunyai daya kerja mengikat para pihak atau sebaliknya. Hal ini dapat dicermati dalam putusan Hoge Raad terkait perkara Plas v. Valburg, HR 18 Juni
16
1982, Nj 1983, 723, yang memutuskan bahwa proses negosiasi dapat dibagi dalam tiga tahap, yaitu:26 a. Tahap pertama (initial stage), selama proses negosiasi berjalan kerugian yang timbul tidak menimbulkan hak gugat atas ganti rugi yang diderita. Pada tahap ini para pihak bebas untuk menghentikan negosiasi, dan tidak ada kewajiban untuk memberi ganti rugi. b. Tahap kedua (continuing stage), memasuki tahap ini negosiasi dapat dihentikan oleh salah satu pihak, dengan konsekuensi pihak yang menghentikan proses negosiasi tersebut wajib memberikan ganti rugi; c. Tahap ketiga (final stage), pada tahap ini para pihak tidak dapat menghentikan negosiasi yang bertentangan dengan itikad baik. Pelanggaran terhadap kewajiban ini membawa akibat timbulnya kewajiban memberi ganti rugi kepada pihak lain (meliputi segala biaya yang telah dikeluarkan maupun kehilangan keuntungan yang diharapkan). Keberadaan negosiasi sebagai salah satu instrumen penyelesaian sengketa kontrak bahkan secara eksplisit telah diakui dalam UPICC maupun RUU Kontrak (ELIPS), antara lain dalam hal terjadi hardship (kesulitan). Dalam hal terdapat kesulitan pelaksanaan kontrak, sebelum berujung pada sengketa yang lebih kompleks dibuka peluang untuk (re)negosiasi dengan syarat itikad baik dan kooperatif (vide Pasal 1.7, 5.3 dan 6.2.3). Tujuan dari renegosiasi ini agar diperoleh pertukaran hak dan kewajiban yang wajar dalam pelaksanaan kontrak, serta sedapat mungkin menghindarkan potensi konflik semakin berkembang ke arah yang merugikan para pihak. Dalam perspektif Indonesia, dimana masih banyak lawyer yang kurang menguasai prinsip dan teknik bernegosiasi dengan baik, maka alasan yang dikemukakan oleh Garry Goodpaster di atas (‘The litigator-negotiator’s role’; 26
Pendirian Hoge Raad ini sebagaimana ditegaskan oleh Arthur S. Hartkamp, J.M. van dunne maupun E.H. Hondius. Periksa Ridwan Khairandy, Itikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, FH UI : Pascasarjana, 2003, h. 256.
17
‘Lawyer-client relationships in lawsuits‘; The litigator-negotiator’s bias’’) dapat merugikan kepentingan klien dan merusak citra profesi mereka. Dengan kemampuan dan teknik negosiasi yang lemah, ujung-ujungnya mereka hanya mampu membangun retorika “pada pokoknya” dalam bernegosiasi. Tanpa bermaksud berprasangka, anggapan bahwa sebagian lawyer masih berwatak “traditional and instant oriented”27 tampaknya memperoleh pembenaran dari “track record” kasus-kasus yang ditangani. 28 5. Penerapan Azas Proporsionalitas Dalam penyelesaian Sengketa Praktik pengadilan dalam menyelesaikan sengketa bisnis, termasuk sengketa di bidang kontrak komersial, pada dasarnya telah sejak lama menerapkan azas proporsionalitas dalam upaya memberikan putusan yang seadil-adilnya bagi para pihak. Penerapan azas proporsionalitas dalam sengketa bisnis tampak menonjol serta memegang posisi dalam proses pembuktian. Hal ini dikarenakan hukum pembuktian (law of evidence) dalam beperkara merupakan bagian yang sangat kompleks dalam proses litigasi. Menurut John J. Cound,29 kompleksitas dalam sengketa perdata, khususnya kontrak komersial, terletak pada aspek pembuktian yang berkaitan dengan kemampuan merekonstruksi kejadian atau peristiwa masa lalu sebagai suatu kebenaran. Meskipun kebenaran yang dicari dan diwujudkan bukan kebenaran yang bersifat absolut, tetapi bersifat kebenaran relatif atau bahkan cukup bersifat kemungkinan namun untuk mencari kebenaran tersebut acapkali
27
Menurut saya paham “traditional and instant oriented”, bahwa sengketa senantiasa diselesaikan melalui proses litigasi dan selanjutnya berharap memperoleh fee atas jasanya. Paham ini terkesan menutup proses alternatif lainnya, karena ketidakpahaman dan ketidakmampuan mereka dalam mengaktualisasi diri. Artinya mereka tidak profesional dengan profesinya. 28 Tanpa bermaksud menggeneralisir, dalam perspektif proses peradilan di Indonesia tengara negatif praktik ’The litigator-negotiator’s role’; ‘Lawyer-client relationships in lawsuits‘; The litigator-negotiator’s bias’ ini dapat diindikasikan pada pilihan litigasi yang lebih dominan menjadi area permainan para lawyer. Hal ini dapat dicermati dalam berbagai kasus di pengadilan yang pada proses awal persidangan disarankan untuk diselesaikan secara mediasi, namun kecenderungan menunjukkan beberapa lawyer lebih senang menyelesaikannya melalui jalur litigasi atas dasar pertimbangan non yuridis (?). 29 Periksa M. Yahya Harahap, Op. Cit., h. 496.
18
tetap menghadapi kesulitan. Menurut M. Yahya Harahap30 kesulitan menemukan dan mewujudkan kebenaran, terutama disebabkan beberapa faktor: a. Pertama,
faktor
sistem
adversarial
(adversarial
system).
Sistem
ini
mengharuskan memberi hak yang sama kepada para pihak yang beperkara untuk saling mengajukan kebenaran masing-masing, serta mempunyai hak untuk saling membantah kebenaran yang diajukan pihak lawan sesuai dengan proses adversarial (adversarial proceeding). b. Kedua, pada prinsipnya, kedudukan hakim dalam proses pembuktian, sesuai dengan sistem adversarial adalah lemah dan pasif. Tidak aktif mencari dan menemukan kebenaran di luar apa yang diajukan dan disampaikan para pihak dalam persidangan. Kedudukan hakim dalam proses perdata sesuai dengan sistem adversarial atau kontentiosa tidak boleh melangkah ke arah sistem inkuisitorial (inquisitorial system). Hakim perdata dalam menjalankan fungsi mencari kebenaran, dihalangi oleh berbagai tembok pembatasan. Misalnya, tidak bebas memilih sesuatu apabila hakim dihadapkan dengan alat bukti yang sempurna dan mengikat (akta otentik, pengakuan atau sumpah). Dalam hal itu, sekalipun kebenarannya diragukan, hakim tidak mempunyai kebebasan untuk menilainya. c. Ketiga, mencari dan menemukan kebenaran semakin lemah dan sulit, disebabkan fakta dan bukti yang diajukan para pihak tidak dianalisis dan dinilai oleh ahli (not analyzed and appraised by experts). Pengaturan mengenai prinsip hukum pembuktian ditinjau dari aspek ketentuan undang-undang dapat disimak dari ketentuan Pasal 1865 BW dan Pasal 163 HIR - Pasal 283 RBG. Ketentuan Pasal 1865 BW menyatakan, “Setiap orang yang mengaku mempunyai suatu hak, atau menunjuk suatu peristiwa untuk meneguhkan haknya itu atau untuk membantah suatu hak orang lain, wajib membuktikan adanya hak itu atau kejadian yang dikemukakan itu.” Sementara itu,
30
Ibid.
19
Pasal 163 HIR dengan substansi yang tidak berbeda menegaskan, bahwa,”Barang siapa yang mengatakan ia meempunyai hak, atau ia menyebutkan sesuatu perbuatan untuk menguatkan haknya itu, atau membantah hak orang lain, maka orang itu harus membuktikan adanya hak itu atau adanya kejadian itu.” Apabila dicermati substansi kedua aturan tersebut secara teknis yustisial dapat disimpulkan:31 a. siapa yang mendalil sesuatu hak, kepadanya dibebankan “wajib bukti” untuk membuktikan hak yang didalilkannya; dan b. siapa yang mengajukan dalil bantahan dalam rangka melumpuhkan hak yang didalilkan pihak lain, kepadanya dipikulkan beban pembuktian untuk membuktikan dalil bantahan dimaksud. Sebagaimana
ditegaskan
M.
Yahya
Harahap,
penerapan
azas
proporsionalitas dalam proses pembuktian sangat relevan, mengingat dalam ilmu hukum tidak pernah ditemukan, diperoleh, maupun dihasilkan pembuktian logis sebagaimana pasti dan logisnya pembuktian yang dihasilkan ilmu pasti (eksakta). Dalam pembuktian sengketa perdata, meskipun telah ditetapkan metode beban wajib bukti, batas minimal pembuktian, syarat formil dan materiil maupun alat bukti yang sah dipergunakan membuktikan fakta atau peristiwa hukum, namun demikian tidak pernah, bahkan tidak mungkin dihasilkan pembuktian yang sempurna dan logis apalagi pasti. Bahkan pembuktian perkara menurut hukum pada prinsipnya selalu mengandung ketidakpastian relatif, sehingga kebenaran yang dihasilkan dari sistem pembuktian itu, pada dasarnya bersitat kebenaran nisbi atau relatif.32 Terkait dengan kontrak komersial yang berorientasi keberlangusngan hubungan para pihak, fungsi azas proporsionalitas menunjukkan pada karakter 31
Menurut Raymond Emson, dalam Common Law, asas atau prinsip pembagian beban pembuktian dirumuskan dalam kalimat ungkapan: “he who asserts must prove”; “siapa yang menyatakan sesuatu, wajib membuktikannya.” Prinsip ini disebut standar “ burden of proof” yang berlaku sebagai general rule dalam pembagian beban pembuktian. Ibid., h. 523. 32 Ibid., h. 507.
20
kegunaan yang ‘operasional dan implementatif’33 dengan tujuan mewujudkan apa yang dibutuhkan para pihak. Dengan demikian fungsi azas proporsionalitas, baik dalam proses pembentukan maupun pelaksanaan kontrak komersial, termasuk ketika terjadi kegagalan kontrak yang bermuara pada sengketa dapat diuraikan dalam proses mata rantai berikut ini: a. Dalam tahap pra kontrak, azas proporsionalitas membuka peluang negosiasi bagi para pihak untuk melakukan pertukaran hak dan kewajiban secara fair. Oleh karena itu adalah tidak proporsional dan harus ditolak proses negosiasi dengan itikad buruk; b. Dalam pembentukan kontrak, azas proporsional menjamin kesetaraan hak serta kebebasan dalam menentukan/mengatur proporsi hak dan kewajiban para pihak berlangsung secara fair; c. Dalam pelaksanaan kontrak, azas proporsional menjamin terwujudnya distribusi pertukaran hak dan kewajiban menurut proporsi yang disepakati/dibebankan pada para pihak; d. Dalam hal terjadi kegagalan dalam pelaksanaan kontrak, maka harus dinilai secara
proporsional
apakah
kegagalan
tersebut
bersifat
fundamental
(fundamental breach) sehingga menggangu pelaksanaan sebagaian besar kontrak atau sekedar hal-hal yang sederhana/kesalahan kecil (minor important). Oleh karena itu pengujian melalui azas proporsionalitas sangat menentukan dalil
kegagalan
pelaksanaan
kontrak,
agar
jangan
sampai
terjadi
penyalahgunaan oleh salah satu pihak dalam memanfaatkan klausul kegagalan pelaksanaan kontrak, semata-mata demi keuntungan salah satu pihak dengan merugikan pihak lain;
33
Karakter ‘operasional dan implementatif’ dari azas proporsionalitas hendaknya tidak diartikan bahwa azas ini dengan sendirinya berlaku mengikat para pihak. Sesuai dengan sifatnya, azas berkedudukan sebagai meta norma sehingga tidak dapat langsung mengikat para pihak. Namun yang dimaksudkan dalam kajian ini adalah seyogyanya para pihak menuangkan dan mengimplementasikan azas proporsionalitas ini ke dalam klausul-klausul kontrak yang mereka buat.
21
e. Bahkan dalam hal terjadi sengketa kontrak, azas proporsionalitas menekankan bahwa proporsi beban pembuktian kepada para pihak harus dibagi menurut pertimbangan yang fair. Terkait dengan beban pembuktian, penerapan azas proporsionalitas akan membantu memberikan justifikasi mengenai putusan terhadap perkara dimaksud, dengan berpedoman pada azas atau prinsip berikut:34 a. Hakim tidak boleh bersikap berat sebelah (prinsip fair trial) dan memihak parsial (prinsip imparsialitas – tidak memihak). Hakim dituntut untuk secara bijaksana membagi beban pembuktian kepada pihak-pihak yang bersengketa secara adil dan proporsional. Hal ini dapat dilihat Putusan MA No. 1490 K/Pdt/1987, bahwa berdasar Pasal 163 HIR, “barangsiapa mendalilkan sesuatu hak atau tentang adanya suatu fakta untuk menegakkan hak maupun untuk menyangkal hak orang lain, harus membuktikan hak tersebut atau fakta lain.” Demikian juga dalam Putusan MA No. 2786 K/Pdt/1983, hakim telah menerapkan beban pembuktian secara seimbang dan adil kepada pihak-pihak yang bersengketa. b. Menegakkan Risiko Alokasi Pembebanan Pembuktian Sebagaimana diuraikan di atas, pembebanan pembuktian dilakukan dengan mendasarkan pada prinsip fair trial dan prinsip imparsial sesuai dengan mekanisme alokasi yang digariskan dalam sistem hukum pembuktian. Dalam mekanisme alokasi tersebut melekat risiko yang harus ditanggung akibatnya oleh masing-masing pihak. Pihak yang menurut hukum dibebani pembuktian, berarti mendapat alokasi untuk membuktikan hal itu. Apabila terdapat pihak yang tidak mampu membuktikan apa yang dialokasikan kepadanya, maka pihak tersebut menanggung risiko kehilangan hak atau kedudukan atas kegagalan memberi bukti yang relevan atas hal tersebut. Dengan demikian, apabila pengalokasian beban pembuktian dilakukan secara adil dan tidak memihak, 34
Ibid., h. 518-521.
22
hakim harus tegas menegakkan risiko atas kegagalan membuktikan apa yang dipikulkan kepada suatu pihak (vide Putusan MA No. 3565 K/Pdt/1984 dan Putusan MA No. 2418 K/Pdt/1984) Penerapan azas proporsionalitas dalam pembebanan pembuktian juga dikaitkan dengan pembuktian berdasarkan kepatutan. Pembebanan pembuktian berdasar kepatutan ini dengan cara meletakkan beban pembuktian yang seimbang untung dan ruginya kepada para pihak (proporsional). Bahkan acapkali pengertian kepatutan dapat dijadikan untuk menambah atau memperkuat ketentuan hukum. Misalnya dengan memberi penegasan bahwa ketentuan pasal undang-undang yang bersangkutan sesuai dengan kepatutan dan peraturan yang berlaku. Dalam hal ini kepatutan mempunyai daya kerja memperkuat ketentuan hukum tersebut. Namun demikian terbuka kemungkinan kepatutan itu diterapkan untuk mengesampingkan ketentuan
undang-undang
yang
berlaku,
apabila
ketentuannya
dianggap
bertentangan dengan rasa keadilan. Bahkan dalam kompromi maupun dalam perdamaian, para pihak menyingkirkan atau mengesampingkan hukum berdasar kepatutan yang mereka anggap adil (vide Putusan MA No. 94 K/Sip/ 1956, Putusan MA No. 337 K/Pdt/ 1984, Putusan MA No. 1057 K/Pdt/ 1984, Putusan MA No. 211 K/Pdt/ 1987, Putusan MA No. 3322 K/Pdt/ 1991) Sehubungan dengan penerapan azas kepatutan sebagaimana terurai di atas perlu diperhatikan beberapa hal, sebagai berikut: a. Pedoman yang dijadikan patokan pembebanan pembuktian berdasar azas kepatutan tidak berpegang teguh secara kaku kepada landasan Pasal 1865 BW dan Pasal 163 HIR, apabila dengan penerapan tersebut justru timbul ketidakpatutan atau ketidakadilan. b. Beban Pembuktian melalui pendekatan fleksibel (flexiblility approach) menurut Raymond Emson,35 berdasarkan pendekatan ini maka penerapan pembebanan pembuktian tidak secara kaku berpegang pada proposisi, “he who asserts must
35
Ibid., h. 528.
23
prove”, tetapi tergantung pada keadaan gugatan (the legal burden of proof depends on the circumstances). Menurut Pitlo,36 rasio penerapan azas kepatutan suatu perkara yang disidangkan di pengadilan, beranjak dari pemikiran bahwa dalam proses tersebut, di satu sisi saling berhadapan dua pihak (penggugat dan tergugat) yang sama-sama ingin membenarkan dalil-dalilnya. Sedangkan pada sisi lain, hakim sebagai pihak ketiga wajib untuk bersikap fair dan tidak memihak. Dalam kedudukan yang demikian, hakim wajib memberikan kesempatan yang sama dengan cara meletakkan beban pembuktian yang berpedoman kepada beratnya dalil yang hendak dibuktikan. Hakim harus membagi beban pembuktian sedemikian rupa agar secara proporsional berlangsung seimbang, sehingga pihak yang dibebani kewajiban pembuktian, tidak lebih ringan dari pihak lawan apabila dia mengajukan pembuktian. Terhadap kritik yang menyatakan bahwa dengan penerapan azas kepatutan dalam pembebanan pembuktian akan melemahkan aspek kepastian hukum, Pitlo37 memberikan argumentasinya, bahwa” ... dalam soal-soal dimana undang-undang sedikit sekali memberi kepastian, pendapat Hakim tentang kepatutan merupakan tiang terakhir yang menunjang kepastian hukum.” Mengacu pada uraian di atas, apabila terjadi sengketa kontrak, pada prinsipnya para pihak berupaya menempuh mekanisme yang mampu memberikan hasil terbaik bagi mereka. Pola penyelesaian dengan menggunakan mekanisme ADR maupun melalui pengadilan, keduanya tetap merupakan manifestasi penerapan azas proprosionalitas yang membagi beban pembuktian secara proporsional. Bukankah para pihak senantiasa memohon kepada majelis hakim untuk memberikan putusan yang seadil-adilnya, ex aequo et bono, berdasarkan fakta-fakta
hukum,
dan
pertimbangan-pertimbangan
bersubstansikan
ratio
decidendi yang tepat, etis dan bermoral. Dengan demikian, seluruh rangkaian proses 36
Pitlo, Pembuktian dan Daluwarsa, Intermasa, Jakarta, 1986, h. 48.
37
Ibid., h. 49.
24
tersebut pada dasarnya merupakan perwujudan penyelesaian sengketa berdasarkan azas proporsionalitas.
6. Penutup a. Fungsi azas proporsionalitas dalam kontrak komersial adalah: (i) dalam tahapan pra kontrak, memjamin terwujudnya proses negosiasi kontrak yang fair, (ii) dalam pembentukan kontrak, menjamin kesetaraan hak serta kebebasan dalam menentukan
isi
kontrak,
(iii) dalam
pelaksanaan
kontrak,
menjamin
terwujudnya distribusi pertukaran hak dan kewajiban sesuai proporsinya; b. Azas proporsionalitas seyogyanya dijadikan dasar untuk: (i) menjamin pertukaran hak dan kewajiban dalam berkontrak, (ii) rambu-rambu aturan main dalam transaksi bisnis para pihak, dan (iii) sebagai batu uji atau tolok ukur eksistensi kontrak; c. Dalam hal terjadinya kegagalan dalam pelaksanaan kontrak, maka kadar kesalahan harus diukur berdasarkan azas proporsionalitas, sehingga terhadap kesalahan kecil (minor important) tidak serta merta mengakibatkan pemutusan kontrak atau pembebanan ganti rugi terhadap pihak lain. Hal demikian adalah tidak
proporsional
dan
karenanya
harus
ditolak
berdasarkan
azas
proporsionalitas. Oleh karena itu, dalam hal terjadi sengketa mengenai kegagalan pelaksanaan kewajiban kontraktual, maka hakim harus berpegang pada penerapan azas proporsionalitas dalam menilai pembagian beban kewajiban para pihak yang berkontrak.
25
DAFTAR PUSTAKA
Apeldoorn, L.J. van, Pengantar Ilmu Hukum, Cet. xxx, Pradnya Paramita, Jakarta, 2004. Atijah,P.S., An Introduction to The Law of Contract, 4th Ed., Oxford University Press Inc., New York, 1995. Burnham, Scott J., Drafting Contracts, Second ed., The Michie Company Law Publishes, Charlottesville, Virginia, 1993. Harahap, M. Yahya, Hukum Acara Perdata , Sinar Grafika, Jakarta, 2006. Inns of Court School of Law-City University-London, , Negotiation, Oxford University Press, London, 2004. Kan, J. van dan J.H. Beekhuis, Pengantar Ilmu Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990. Khairandy, Ridwan, Itikad Pascasarjana, 2003.
Baik
Dalam
26
Kebebasan
Berkontrak,
FH UI :
Macdonald, Ros - McGill, Drafting, Butterworths, Australia, 1997. Mustamu, Ronny H., Konflik dan Negosiasi (Makalah), Jurusan Manajemen FE Universitas Kristen Petra, Surabaya, 2000. Notohamidjojo, O., Masalah: Keadilan, Tirta Amerta, Semarang, 1971. Pitlo, Pembuktian dan Daluwarsa, Intermasa, Jakarta, 1986. Salam, Burhanuddin, Etika Sosial, Rineka Cipta, jakarta, 1997. Tillich, Paul, Cinta, Kekuasaan dan Keadilan, Pustaka Eureka, Surabaya, 2004. Ujan, Andre Ata, Keadilan dan Demokrasi (Telaah Filsafat Politik John Rawls), Kanisius, Yogjakarta, 1999. Wacks, Raymond, Jurisprudence, Blackstone Press Limited, London, 1995. Wibowo, Basuki Rekso, Menyelesaikan Sengketa Bisnis Di Luar Pengadilan (Pidato), Disampaikan pada pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Bidang Ilmu Hukum, Fakultas HukumUniversitas Airlangga, 17 Desember 2005. Yusoff, Sakina Shaik Ahmad, “Isi Kandungan Kontrak: Klasifikasi Terma Dan Permasalahannya”, Malaysian Journal of Law and Society, Faculty of Law Universiti Kebangsaan Malaysia, Vol. V, 2001. Zaidun, M., Mekanisme Alternatif Penyelesaian Sengketa (MAPS), Diklat Manajemen dan Hukum Perdagangan Bagi Konsultan Hukum dan Pengusaha, diselenggarakan atas kerjasama Ditjen PDN Depprindag, Kanwil Depprindag Prop. Jawa Timur dengan Zaidun & Partners Law Firm, Hotel Sahid, Surabaya, 18 November – 10 Desember 1998.
27