BAB III SIKAP GEREJA DALAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KURIMA
3.1 Pengantar Bab ini berisikan tentang data hasil observasi dan wawancara dengan informan kunci mengenai sikap Gereja dalam proses pemberdayaan masyarakat yang notabenenya jemaat Baithel Polimo di Era Otonomi Khusus. Sejalan dengan penelitian yang dimaksudkan dalam bab satu, maka dalam hal ini, penulis akan menguraikan secara berurut kondisi umum wilayah Kurima yang juga merupakan bagian dari suku Dani,1 latar belakang masuknya Gereja di Balim Yalimo hingga ke Kurima, bagaimana gereja memahami otonomi khusus, seterusnya akan di lanjutkan dengan bagaimana sikap gereja dalam pemberdayaan masyarakat.
3.2 Letak Geografis dan Demografis Kabupaten Jayawijaya berada di kawasan Pegunungan Tengah Papua. Daerah ini terdiri atas seuntaian pegunungan yang relatif tinggi sehingga Kabupaten Jayawijaya dijuluki pegunungan Jayawijaya. Untaian gunung di Jayawijaya yaitu; Puncak Mandala, Puncak Yamin, dan Puncak Trikora. Selain daerah pegunungan, juga terdapat dataran rendah yaitu; Sebutan “Orang Dani” yang sekarang dipakai untuk menamakan penduduk Lembah Balim sebenarnya merupakan sebutan orang Moni, penduduk dataran tinggi Paniai, untuk menyebut penduduk Lembah Balim. Nama Dani memiliki arti “orang asing” itu mula-mula berbunyi Ndani dan pertama kali didengar dan digunakan oleh suatu ekspedisi yang terdiri dari orang-orang Amerika dan Belanda yang mengunjungi daerah tempat tinggal orang Moni dalam Tahun 1926. Setelah mengalami perubahan sedikit dengan hilangnya fonem N, nama itu menjadi Dani dan masuk dalam kepustakaan etnografi. Koentjaraningrat, “Masyarakat Terasing di Indonesia,” (Jakarta, Gramedia 1993), 270 1
22
Lembah Baliem. Kota Wamena adalah Ibukota Kabupaten Jayawijaya yang terdapat di Lembah Baliem. Lembah Baliem didiami oleh suku Dani, dimana suku ini merupakan peradaban suku yang bisa dikatakan masih sangat baru. Jika dihitung keberadaan Pulau Papua ditemukan pada tahun 1511 oleh bangsa Portugis dalam perjalanannya mencari rempah-rempah, sedangkan suku Dani sendiri baru ditemukan pada tahun 1954 oleh Lourentz pada saat melakukan ekspedisi ke Gunung Trikora. Sampai dengan saat ini diperkirakan Suku Dani yang mendiami wilayah lembah Baliem merupakan generasi ke-5 Suku Dani. Suku Dani yang mendiami daerah Lembah Baliem merupakan salah satu suku terbesar yang mendiami Wilayah Pegunungan Tengah Papua. Selain Suku Dani, Wilayah Pegunungan Tengah Papua didiami oleh suku Ekari, Moni, Damal, Amugme dan beberapa sub suku lainnya. Secara Astronomis Kabupaten Jayawijaya terletak pada 138°30°- 139°40¹ BT dan 3° 45¹-4° 20¹ LS. Adapun batas-batas wilayahnya yakni bagian utara berbatasan dengan Kabupaten Memberamo Tengah, Kabupaten Yalimo dan Kabupaten Tolikara, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Nduga dan Kabupaten Yahukimo, sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Nduga dan Kabupaten Lanny Jaya sedangkan sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Yahukimo dan Kabupaten Yalimo.2 Sejarah mencatat, Kabupaten Jayawijaya dibentuk berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1969, tentang pembentukan Propinsi Otonom Irian Barat dan Kabupaten-Kabupaten Otonom di Propinsi Irian Barat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1969 Nomor 47, tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2907). Pada tahun 2002 melalui Undang-Undang No. 26 Tahun 2002 diadakan pemekaran
2
BPS, Kabupaten Jayawijaya dalam Angka. 2009, 3.
23
Kabupaten Jayawijaya dengan menambah 3 kabupaten baru yaitu Kabupaten Tolikara Karubaga, Kabupaten Pegunungan Bintang, dan Kabupaten Yahukimo. Karena pemekaran kabupaten yang telah terjadi pada tahun 2002 ini maka seluruh wilayah Kurima dan orang Baliem yang berada di Kurima tergabung di dalam kabupaten Yahukimo karena menurut letak geografi, distrik Kurima menjadi salah satu kecamatan selain kecamatan Ninia dan Anggruk yang berada dalam bagian kabupaten Yahukimo. Kabupaten Yahukimo merupakan kabupaten yang beribu kota di Dekai. Kabupaten hasil pemekaran ini merupakan kabupaten dengan jumlah distrik terbanyak dari 29 kabupaten/kota di Provinsi Papua. Kabupaten ini memiliki 51 distrik, sebagai berikut. Distrik Kurima, Distrik Ninia, Distrik Anggruk, Distrik Dekai, Distrik Obio, Distrik Suru-Suru, Distrik Wusama, Distrik Amuma, Distrik Musaik, Distrik Pasema, Distrik Hogio, Distrik Mugi, Distrik Soba, Distrik Werima, Distrik Tangma, Distrik Ukha, Distrik Panggema, Distrik Kosarek, Distrik Nipsan, Distrik Ubahak, Distrik Pronggoli, Distrik Walma, Distrik Yahuliambut, Distrik Hereapini, Distrik Ubalihi, Distrik Dirwemna, Distrik Holuwon, Distrik Lolat, Distrik Soloikma, Distrik Sela, Distrik Korupun, Distrik Langda, Distrik Bomela, Distrik Suntamon, Distrik Seradala, Distrik Sobaham, Distrik Kebianggama, Distrik Kwelamdua, Distrik Kwikma, Distrik Hilipuk, Distrik Duram, Distrik Yogosem, Distrik Kayo, Distrik Sumo, Distrik Silimo, Distrik Samenage, dan Distrik Nalca. Secara astronomis Yahukimo terletak pada 138045’’- 1400154’ Bujur Timur dan 3039’ - 5002’ LS. Sedangkan secara geografis Yahukimo berbatasan langsung dengan Kabupaten Jayawijaya, Kabupaten Yalimo dan Kabupaten Kerom di sebelah utara, Kabupaten Boven Digoel dan Kabupaten Asmat di sebelah selatan, Kabupaten Nduga di sebelah barat dan Kabupaten Pegunungan Bintang di sebelah timur. Kabupaten dengan luas wilayah ± 17.152 Km2 ini memiliki topografi wilayah yang cukup bervariasi antara 100 meter sampai dengan
24
3.000 meter diatas permukaan laut (dpl). Sebagian besar wilayahnya terdiri dari pengunungan (dataran tinggi) yang dilalui beberapa aliran sungai dan anak sungai yang berasal dari bukit dan gunung yang ada di sekitarnya. Dataran rendah yang ada di Kabupaten Yahukimo berupa hutan dan rawa berair yang meliputi distrik Dekai, Seradala, Sumo, Obio, dan Suru-suru.3 Distrik Kurima merupakan distrik terluas (3,53% dari luas Kabupaten Yahukimo) dari 51 distrik di Kabupaten Yahukimo yaitu sekitar 605 km2 dan merupakan salah satu kecamatan tertua di Yahukimo, dan menjadi salah satu titik konsentrasi persebaran penduduk yang ada di yahukimo. Kurima dapat dicapai lebih mudah dengan menggunakan perjalanan darat dari Wamena (Jayawijaya) dibandingkan perjalanan ke Ibu Kota Yahukimo. Jarak tempuh antara satu desa dan desa lain di Kurima umumnya dengan berjalan kaki, melewati jalan setapak, bukit dan lereng gunung. Jarak antara satu kampung dengan kampung lain bisa berjam-jam bahkan berhari-hari bila dilalui dengan berjalan kaki. Penduduk yang berada di Kurima tersebar dalam berbagai kampung-kampung terpisah dan memiliki jumlah penduduk yang relatif sedikit. Total ada 22 kampung (desa) yang ada di Kurima dengan jumlah penduduk yang ada di Kurima berjumlah 13,985 jiwa dan rata-rata jumlah penduduk dalam satu kampung memiliki jumlah jiwa antara 200-600 jiwa.
3 Katalog Badan Pusat Statitik Kabupaten yahukimo, Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Yahukimo 2013, 24-26
25
3.3 Karakteristik Masyarakat Kurima 3.3.1 Kondisi Sosial Budaya Masyarakat Kurima biasanya bermukim di rumah-rumah tradisional Honai4 yang terbagi atas honai laki-laki yang disebut pilamo/rumah dan honai untuk perempuan (ebe ai) sedangkan biasanya didalam honawi terdapat tempat pertemuan untuk laki-laki yang biasa di sebut “O Silimo”5, “Lese/lesoma” (dapur/tempat masak-masak), “Wam Awila” (kandang Babi). Bagi masyarakat Kurima, Seorang laki-laki ketika menginjak usia lima tahun hingga dewasa harus sudah mengenakan holim atau dikenal dengan istilah koteka sebagai busana pria. Kaum wanita mengenakan youngal yaitu rok dari kulit kayu kering. Budaya bahasa suku dalam sistem komunikasi ataupun sistem kekerabatan yang dimiliki oleh masing-masing masyarakat Kurima sebagaimana terwujud dalam kehidupan mereka sehari-hari dalam berinteraksi. Selain itu hewan babi mempunyai nilai tukar yang tinggi sebagai aset berharga dibandingkan hewan lain. Dalam berbagai ritual tradisional yang sering digelar masyarakat, babi menjadi tolok ukur prestise golongan tertentu. Babi sangat penting dalam kehidupan orang Dani karena dagingnya dapat dimakan, darahnya digunakan untuk berbagai macam upacara gaib, tulang dan ekornya dapat dibuat hiasan, tulang rusuknya dibuat sebagai pisau untuk mengupas ubi, alat kelaminnya diikat pada gelang guna menolak ruh jahat, dan sebagai alat tukar babi memiliki nilai ekonomi, tetapi juga untuk mengukuhkan perdamaian dan persatuan antarkelompok kerabat maupun antarkonfederasi dalam upacara-
“Honai” adalah rumah yang rendah berbentuk bulat, yang terbuat dari batang-batang kayu kasar, dindingnya terdiri dari dua deret papan kayu yang juga kasar. Atapnya berbentuk payung dan ditutupi rumput yang diikat dan disusun berlapis-lapis. Untuk mengikat atap rumput serta bagian-bagian lain dari honai digunakan tali rotan. Satu honai terdiri dari dua bagian, yaitu loteng dan ruang lantai dasar. Pintu masuknya sangat rendah sehingga untuk masuk dengan cara merangkak. 5 Pengertian “O Silimo”’ secara umum sebagai arena bermain anak-anak (dari komunitas O Silimo setempat), tempat pertemuan, tempat mengadakan pernikahan, tempat acara-acara umum. O Silimo merupakan tempat milik bersama/umum. Tempat itu tidak dimilik oleh siapapun. O Silimo secara khusus adalah tempat memulai atau mengadakan “inisiasi” pemuda remaja dari komunitas atau O Silimo setempat. Jadi secara tidak langsung O Silimo merupakan tempat sakral bagi komunitas masyarakat setempat. Agus A. Alua, Nilai-Nilai Hidup Masyarakat Hubula di Lembah Baliem Papua, (Jayapura: Biro Penelitian STFT Fajar Timur, 2003), 40 4
26
upacara pesta babi yang besar.6 Selain itu, Adat Papua tidak mengharuskan anak menuntut ilmu yang tinggi. Anak dan kaum perempuan cenderung berperan sebagai pekerja dan mutlak melakukan urusan domestik rumah tangga. Salah satu tugas utama istri adalah menjaga babi sebagai aset keluarga tersebut. Ada pembagian kerja antara anggota keluarga berdasarkan jenis kelaminnya. Anak memiliki tugas untuk bekerja dan berkebun. Peran ayah lebih menjaga nilai-nilai adat tetap terjaga dalam keluarga tersebut.
3.3.2 Sistem Ekonomi Masyarakat Tanah Papua merupakan pulau yang memiliki kekayaan berlipat ganda, baik dari kearifan lokal hingga kekayaan akan alamnya berupa emas, nikel, tembaga, minyak, gas, kayu namun pada kenyataannya mayoritas rakyat Yahukimo terkhusus pada masyarakat Dani yang berada di Distrik Kurima masih hidup dalam taraf ekonomi konvensional dan primitif. Hutan merupakan dapur bagi masyarakat Kurima dimana terdapat bahan makanan seperti kelapa hutan, buah merah (Pandanus Sp) berupa buah pandan bernilai gizi tinggi yang berkhasiat seperti gingseng, pohon kasuari, kulit pohon lawang, gaharu (kayu yang dapat di produksi menjadi minyak wangi), dan rotan. Selain hutan, tanah juga bagaikan Ibu yang memberi hidup sebagai tempat bercocok tanam untuk memenuhi kebutuhan hidup seharihari. Pola bercocok tanam/pertanian tradisional (Yawu & Leget)7 masyarakat Baliem bersifat “Seminomad”. Pada bidang atau tanah yang luas dengan dikelilingi pagar khas suku Baliem, dan dibedakan dengan parit-parit kecil atau dengan pagar batu yang disusun sedemikian rupa sehingga tampak mengelilingi areal perkebunan, hal ini (khusus untuk dataran rendah). Untuk masyarakat yang bercocok tanam di bagian perbukitan atau lereng-lereng gunung cukup Koentjaraningrat, Masyarakat Terasing…, 273 Pemahaman “Yawu & Leget”, pada masyarakat suku Baliem, memiliki berbagai macam arti kata. Kata “Yawu” sendiri memiliki makna sebagai perbuatan (berbuat), atau bekerja, melakukan atau (melaksanakan sesuatu). Orang yang sedang melakukan suatu pekerja disebut sedang melakukan “yawu”, atau sedang bekerja. Sedangkan “leget” memiliki makna sebagai “pagar” atau “pagar pembatas”. Konon, pada jaman dahulu, masyarakat Baliem melakukan “leget” untuk membatasi ruang gerak binatang peliharaan, seperti babi (wam) dll. Tujuan sederhannya ialah untuk menghalau binatang dari hasil perkebunan masyarakat. R. Doddy A. Darmajana, “Introduction Teknologi Pertanian Pada Pengembangan Wilayah Pedesaan Wamena”, Makalah, LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia-Wamena 1996), 157 6 7
27
berbeda. Pola pertanian demikian menuntut suatu keberanian, kekuatan, kemauan keras, keterampilan, pilihan akan tempat dan waktu/musim yang tepat, sabar-tabah-setia, saling membantu dan gotong royong8. Produksi pertanian utama yang ditanam adalah ubi-ubian dan sayur-sayuran. Dengan kondisi tanah dan iklim yang ada. Normatifnya Yahukimo dapat dikembangkan produk pertanian seperti cengkeh, kopi dan tembakau. Namun karena tingkat pendidikan dan kepemilikan teknologi yang rendah maka masyarakat masih menanam ubi dan tidak berani beralih ke produk pertanian lainnya yang lebih produktif. Tidak terciptanya lapangan pekerjaan, tidak ada kegiatan pembagunan oleh Pemerintah di Distrik Kurima dan upah gaji yang minim mengakibatkan banyak masyarakat yang mengabdikan dirinya ke kota untuk memperoleh pekerjaan dan upah gaji yang besar.
3.3.3 Sistem Pemerintahan Sistem penyelenggaraan pemerintahan di Kecamatan Kurima, terbagi atas satu kelurahan (Obolma) dan 20 desa (Desa Hesmat, Ibiroma, Kima, Air Garam, Hihundes, Hukem, Kilise, Lukulema, Wanem, Parela, Jagaralo, Soro, Sukuarek, Heimo, Pusuage, Tukuarek, Anjelma, Wuklipinua, Wuluageima, Jilino). Dan sekretaris wilayah di Kecamatan dibantu oleh lima orang staff pemerintahan dan lima orang “hansip” (penjaga kampung) sebagai wakil pemerintah di tingkat desa/dusun. Di dalam pemerintahan distrik juga tersedia ketua pembangunan desa, ketua kemasyarakatan desa, dan ketua administrasi desa. Semua badan pemerintahan ini, bekerja dibawah pengawasan kepala distrik. Pengaturan penyelenggaraan pemerintahan di tingkat distrik dan desa, secara umum dikoordinir oleh kepala distrik atau “camat”9 setempat, sebagai kepala wilayah di tingkat
8 Astrid S. Susanto, Kebudayaan Jayawijaya Dalam Pembangunan Bangsa, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,1993), 23
28
distrik. Dengan tujuan untuk mengarahkan roda pemerintahan dan untuk memperkuat tatanan pemerintahan di tingkat kecamatan. Secara keseluruhan, perangkat distrik dan desa, dibuat untuk menjangkau setiap wilayah desa yang wilayah jangkauannya jauh. Usaha-usaha tersebut dengan harapan agar mendapatkan distrik atau desa yang mampu menyelenggarakan kegiatan RT (Rumah Tangga) atau RW (Rumah Warga) dalam masyarakat setempat. Dengan demikian, penyelenggaraan roda pemerintahan di distrik Kurima dapat berjalan dengan lancer.
3.3.4 Interaksi Masyarakat Suku Dani Dengan Kekristenan Sebelum Tahun 1954, daerah Balim-Yalimo pernah disebut dalam berbagai laporan dari expedisi yang dilakukan para ahli. Pada oktober 1909, expedisi pertama dilakukan oleh beberapa orang Belanda ke daerah Wusak, Balim Selatan. Dua puluh tahun kemudian, yaitu tahun 1921-1922 expedisi Kremer berhasil mmencapai bagian Utara. Berselang lima tahun berikutnya, yaitu tahun 1928 datang lagi satu tim yang menyusuri sungai dan daerah Mamberamo ke bagian utara Mulia di Balim Barat. Dan pada tanggal 23 Juni 1938 untuk pertama kalinya satu tim dengan sebuah pesawat air menelusuri dan meneliti sungai Balim sampai batas Bokondini dan mendarat di danau Habbema yang letaknya di kaki gunung Trikora. Itulah expedisi yang dipimpin oleh Richard Archbold. Selama 14 bulan Richard Archbold menelusuri dan menyelidiki suatu daerah yang luas disekitar lembah balim. Kontak langsung masyarakat suku Dani di Balim dengan dunia luar baru di awali pada 20 April 1954 dengan menggunakan pesawat Cessna Sealand berbaling-baling tunggal milik CAMA (Christian And Missionary Alliance) yang dikemudikan pilot Al Lewis dan Ed Ulrich yang membawa misionaris Kemah Injil Pdt. E. Mickelson, L. Van-Stone, Elisa, Ruth dan Markus Gobay yang mendarat pertama kali di daerah Minimo dekat Hetigima yang di 9 Camat, sekretaris wilayah kecamatan, kepala pemerintahan tingkat kecamatan yang membawai beberapa kepala desa dan bertanggung jawab kepada bupati, Kamus Besar Bahasa Indonesia.
29
terima langsung oleh konfederasi Asso-Lokobal/Asso-Wetipo10. Kemudian Tahun 1955 lapangan terbang Hetigima mulai dikerjakan bersama-sama dengan penduduk setempat, melalui bahasa isyarat karena sulitnya komunikasi. Sebagai ongkos bagi pekerja diberikan kulit bia, kapak, garam, parang, dan sebagainya. Kemudian pada Tahun 1956 pemerintah Belanda menyusuri sungai Balim dari Minimo sampai di wesaput, lalu membuka dan mendirikan rumah Pos Pemerintah Belanda setelah berada di Wesaput, Pemerintah Belanda membuka lapangan terbang yang panjang dan lebar di wamena untuk mendaratnya pesawat Dakota (jenis F 27).11 Penginjil Silas Myhol menjelaskan bahwa: Belanda berada di Wesaput hingga Tahun 1962 karena pada Tahun 1963 Pemerintah Indonesia masuk ke Balim Yalimo dan mengusir Belanda. kemudian melalui SK Menteri Agama Nomor 77 Tahun 1978 tentang pelarangan bantuan luar negeri kepada lembaga keagamaan di Indonesia termasuk melarang adanya donasi dana keagamaan bagi gereja.12 Dengan kehadiran misionaris pada saat itu sebagian orang Dani tiba-tiba dihadapkan pada dunia luar yang diwakili oleh orang-orang asing. Cara hidup masyarakat suku Dani mulai berubah ke arah yang modern dengan di perlengkapi peralatan serba modern, dari yang berukuran kecil yang dipakai sehari-hari, sampai pesawat terbang yang digunakan sebagai alat transportasi untuk keluar daerah lembah balim. Kontak dengan dunia luar menjadi lebih merata ketika pemerintah Belanda dalam tahun 1956 mendirikan pos pemerintah di Wamena, yang dilengkapi dengan lapangan terbang yang dapat didarati pesawat-pesawat sebesar Dakota. Kontak langsung masyarakat Suku Dani dengan GKI sendiri baru terjadi pada Tahun 1958, dimana ibadah-ibadah GKI hanya dijalankan oleh pegawai-pegawai negeri, TNI, POLRI beserta keluarga mereka namun belum ada pengutusan secara resmi oleh Sinode GKI. 10
Asso Lokobal/Asso-Wetipo merupakan salah satu suku dari beberapa suku yang mendiami wilayah
Hetigima. 11
S. P. Usior, Di Belakang Gunung Terbitlah Terang (Wamena: Badan Pekerja Klasis Balim-Yalimo, 2000), 100, 12 Wawancara bersama Bpk Silas Myhol, perintis Penginjil Pertama yang di Sekolahkan Oleh GKI. Wamena, 25 Oktober 2015.
30
Di Tahun 1959 GKI secara resmi baru masuk ke Balim Yalimo, kemudian membuka Klasis Balim Yalimo dan Gereja Betlehem Wamena kemudian di Tahun 1960 Misionaris pergi ke Kurima untuk membuka Gereja Beithel Polimo. Gereja kemudian melakukan kontak langsung kepada masyarakat dengan melihat hal-hal humanistik masyarakat seperti kesehatan, pendidikan formal bahkan informal. Terkhusus Kontak masyarakat Dani yang berada di Kurima dengan orang luar, baru terjadi di Tahun 1960. Melalui expedisi yang dilakukan oleh D. M. Bromley ke Kurima, dimana Pada saat itulah suku Dani di Kurima baru mengenal dunia luar yang di wakili oleh orang asing misionaris itu. Namun misionaris itu tidak tinggal lama karena pisaunya di curi oleh masyarakat Kurima sehingga ia menganggap masyarakat Kurima jahat kemudian pergi meninggalkan mereka. Setelah kepergian itu selang beberapa hari dalam bulan November 1960 datang misionaris Pdt Zolner yang diminta dari Rheinische Missionsgesellschaft (RMG) dan Dokter W.Vriend dari ZNHK yang menetap beberapa hari di sana untuk membuka gereja, klinik, dan mendidik masyarakat Kurima. Perjalanan ini didampingi oleh Penginjil M. Fosba yang berasal dari Jayapura. Dengan kehadiran mereka maka masyarakat Kurima juga di perkenalkan dengan hal-hal baru lainnya seperti gula, garam, pisau, kulit bia, kapak, sekop, dan lainnya.13 Wakil ketua sinode GKI-TP mengatakan, bahwa: Kekristenan melalui misionaris seperti Pdt. S. Zollner dan penginjil-penginjil lainnya datang ke Papua dengan penuh pengorbanan, mereka masuk hutan, menebang pohon dan membuat peta untuk mencari manusianya. Mereka lebih meninggikan martabat masyarakat Papua termasuk masyarakat Dani yang ada di Kurima. Hal-hal yang dilakukan oleh Zollner dan para penginjil ini tidak dilakukan di era Otonomisasi.14
13
Hasil Wawancara dengan Pnt.Hans Walther Selaku Sekretaris Jemaat Beithel Polimo bersama Bapak Luis selaku mantan Sekretaris Jemaat Beithel Polimo. 27 Oktober 2015 14 Wawancara dengan Ibu Pdt.Yemima. Krey selaku Wakil Ketua Sinode GKI-TP. Salatiga, 21 September 2015
31
3.3.5 Masyarakat Kurima di Era Otonomi Khusus Otonomi Khusus (Otsus) yang terkandung didalam UU N0.21 Tahun 2001 di tujukan untuk meningkatkan layanan-layanan umum, mempercepat proses pembangunan dan pendayagunaan keseluruhan penduduk Propinsi Papua, khusus masyarakat asli Papua. Dalam mandatnya untuk melanjutkan dan melaksanakan ketetapan MPR No. VI/MPR/!999, sejak lahirnya UU No. 21/2001 mengenai Otsus untuk Papua menggarisbawahi beberapa elemenelemen penting dan diperlukan dalam menghadapi hak-hak masyarakat asli Papua dan upayaupaya pemberdayaan masyarakat melalui lembaga keagamaan (gereja). Diantaranya sebagai berikut: 1.
UU Otsus Tentang Keagamaan UU N0 21/2001 Bab XV pasal 54 huruf (d) tentang “Memberikan dukungan kepada
setiap lembaga keagamaan secara proporsional berdasarkan jumlah umat dan tidak bersifat mengikat.” Bentuk dukungan secara tertulis telah diatur dalam UU Otsus Papua pasal 55 angka (1) tentang “Alokasi keuangan dan sumber daya lain oleh pemerintah dalam rangka pembangunan keagamaan di Provinsi Papua dilakukan secara proporsional berdasarkan jumlah umat dan tidak bersifat mengikat. 2.
UU Otsus Tentang Pendidikan Memberi kesempatan dan ruang dalam bidang keagamaan termasuk gereja dalam
pelayanannya di bidang pendidikan maka UU Otsus Papua secara tertulis telah dicantumkan dalam UU Otsus Bab XVI Pasal 56 Nomor (4) tentang “Dalam mengembangkan dan menyelenggarakan pendidikan, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada lembaga keagamaan, lembaga swadaya masyarakat dan dunia usaha yang memenuhi syarat sesuai dengan peraturan perundang-undangan untuk mengembangkan dan menyelenggarakan pendidikan yang bermutu di Provinsi Papua.” 32
3.
UU Otsus Tentang Kesehatan Untuk menciptakan pelayanan kesehatan yang beranekaragam, UU Otsus juga telah
mengatur didalam Bab XVII tentang Kesehatan dalam pasal 59 ayat (4) berbunyi “Dalam melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Pemerintah Provinsi memberikan peranan sebesar-besarnya kepada lembaga keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, dan dunia usaha yang memenuhi persyaratan. Kemudian pasal 60 ayat (1) berbunyi “Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota berkewajiban merencanakan dan melaksanakan program-program perbaikan dan peningkatan gizi penduduk, dan pelaksanaannya dapat melibatkan lembaga keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, dan dunia usaha yang memenuhi persyaratan”. Dengan adanya UU Otsus yang dinilai dapat mendukung pelayanan keagamaan bagi masyarakat Papua, namun bagi pemahaman gereja seperti yang disampaikan oleh Wakil Ketua Sinode GKI Tanah Papua, Ibu Pdt. Y. Krey, bahwa otsus merupakan politisasi Pemerintah Pusat dalam mengatasi atau meredam permintaan Kemerdekaan dari masyarakat asli Papua. Di tambahkan lagi oleh wakil ketua sinode bahwa ada hal-hal penting yang terkandung sebagai dasar rekomendasi dari MPR dan di kabulkan secara khusus untuk Papua sebagai metode penanggulangan konflik dengan penawaran politik tertentu. Komitmen Pemerintah Pusat melalui Perundangan mengenai Otonomi Khusus untuk Papua termasuk (1) Menghormati hak-hak asasi manusia, nilai-nilai keagamaan, demokrasi, nilai-nilai hukum dan budaya yang ada diidalam masyarakat adat, (2) Menghormati pelbagai macam dan keanekaragaman kehidupan sosial-budaya di masyarakat papua, (3) Melindungi dan menghormati etika-etika dan moral-moral, (4) Melindungi hak-hak
fundamental dari
penduduk asli dan hak-hak asasi manusia, (5) Memastikan tegaknya hukum, (6) Menjaga demokrasi, (7) Menghormati pluralism, dan (8) Memecahkan masalah-masalah pelanggaran hak-hak asasi manusia terhadap penduduk asli Papua. Pada awalnya beberapa masyarakat 33
lokal Papua mengharapkan Otsus sebagai kiriman berkat dari Pemerintah Pusat yang akan membawa perbaikan dalam penghidupan mereka atau berfungsi sebagai jalan keluar dari berbagai keluhan masyarakat. Keluhan yang telah lama ada ini memicu pengharapan besar terhadap Otsus yang di pandang sebagai “penyelamatan” (salvation) yang menghasilkan perubahan sosial secara langsung. Pemikiran untuk mendapatkan perubahan cepat ini kemungkinan akan bertolak belakang dengan hasil berkelanjutan jangka panjang yang diperlukan. Gereja melihat dan memahami bahwa Otonomi Khusus sebagai sesuatu yang tidak jelas (kabur). Otsus dipandang tidak jelas karena selama berjalannya hingga tersisa 9 Tahun lagi masa berakhir Otsus bagi masyarakat Papua, tidak ada hasil signifikan yang ditandai pada perubahan SDM masyarakat asli Papua. Pembangunan secara fisik telah terjadi, tetapi secara ekonomi masyarakat Kurima masih bergantung pada orang lain dan tidak mandiri. Ditambahkan lagi oleh wakil ketua sinode GKI-TP, bahwa: Didalam pelayanan-pelayanan yang dilakukan oleh gereja bagi masyarakat Papua, Otsus dipandang sebagai salah satu penghambat. Gereja telah memetakan injil namun bekerja di Sinode GKI, gereja mengalami kesukaran-kesukaran. Bagaimana gereja bisa mendapatkan anggaran dari pemerintah kepada Sinode GKI. Dalam Otsus tertulis gereja-gereja yang ada mula-mula GKI di akui besar dan memiliki BPK tetapi untuk memperoleh anggaran itu tidak mudah, karena ada proses yang berbelit dan dana yang keluar untuk GKI melalui sinode hanya mencapai 1-2M saja. Bagaimana sinode dapat mengurus suatu pekerjaan yang besar di Tanah Papua ini. Jika pendidikan di GKI dianggap selama ini menolong orang Papua, maka masukan dana melalui GKI dan bukan membuat suatu pendidikan yang baru atau membuat sekolah-sekolah unggulan dengan bisnis pendidikan yang lain dan menggunakan uang otsus lalu menerima anak-anak Papua. Gereja memahami bahwa pendidikan GKI telah menjangkau seluruh wilayah Papua, namun program pendidikan itu tidak masuk dalam sistem pendidikan gereja yang dapat mengenai sasaran pada seluruh komponen masyarakat Papua. Dalam hal lain YPK (Yayasan Persekolahan Kristen) dipahami bagaikan jaring yang sudah menangkap dan mencerdaskan anak Papua.15 Kucuran dana Otonomi Khusus yang diturunkan oleh Pemerintah Pusat kepada masyarakat Papua melalui program-program yang menguncurkan dana dalam jumlah besar ke kampung-kampung justru sebaliknya membuat orang Papua tidak berdaya karena 15
Wawancara dengan Ibu Pdt. Y. Krey selaku Wakil Ketua Sinode GKI-TP. Salatiga 21 September
2015.
34
masyarakat tidak diajarkan dalam manajemen uang dengan baik demi meningkatkan pemberdayaan pada masyarakat. Sedangkan bantuan kepada Gereja lebih cenderung di berikan pada hari-hari besar gerejawi, kemudian orientasi pelayanan menjadi berubah. Ada dua hal penting yang menjadi tolak ukur dari pelayanan gereja dan pemerintah. 1.
Injil datang karena orang merasa terpanggil membebaskan umat dengan iman mereka dan memberdayakan masyarakat dengan mensejahterakan masyarakat Papua.
2.
Otonomi Khusus datang sebagai solusi politisasi dalam mengatasi keinginan berdirinya Negara Papua yang Merdeka dan terlepas dari bingkai NKRI. Maka dinamika politik sangat besar dan selalu ada gesekan-gesekan yang membuat tidak memprotek kehidupan orang Papua. Itu terbukti terhadap pelayanan publik terhadap umat seperti kesehatan, pertanian, peternakan tidak menjadi Nampak. Pendekatan sosial kultur juga tidak Nampak dalam perjalanan di era Otsus. Pekerjaan diwilayah-wilayah baru tidak diawali dengan penelitian untuk mengetahui kebutuhan dasar masyarakat sehingga seterusnya pemerintah dapat melakukan pembangunan yang terarah. Pemerintah tidak menciptakan pekerjaan yang dapat merespon masyarakat Papua menjadi rajin bekerja, namun selalu kata malas yang ditanamkan bagi masyarakat Papua. Bagi harapan gereja bahwa pemerintah harus berani memberikan dana yang besar
kepada gereja dengan alasan melihat pelayanan gereja yang telah berlangsung di Papua selama bertahun-tahun dan dalam 5 Tahun kemudian gereja pertanggung jawabkan kepada Negara. Gereja juga merasa bahwa jika dana otsus di berikan pada sistem gereja maka akan di jamin kesejahteraan orang asli Papua. Tentu juga dengan melihat presentasi program (Master Plan) yang akan dikerjakan gereja. Hal ini senada dengan pendapat ketua klasis Balim Yalimo bahwa, apabila pemerintah ingin berhasil dalam upaya pemberdayaan masyarakat Papua maka pemerintah mustinya menindak lanjuti kegiatan yang telah dilakukan oleh Gereja. Dalam Era Otonomi Khusus Ketua Klasis balim Yalimo melihat bahwa 35
pemerintah memang telah membangun akses kesehatan seperti puskesmas, Rumah sakit dan pendidikan seperti sekolah bahkan mengambil alih sekolah YPK yang tidak sanggup di kelola lagi oleh gereja. Namun dalam pelayanannya justru tidak banyak menolong masyarakat. Seperti pelayanan kesehatan, meskipun dipuskesmas ataupun rumah sakit telah ada dokter, namun pasien tidak tertangani dengan baik. Hal ini dilihat sebagai akibat dari para pelayan rumah sakit yang hanya fokus bagaimana mendapatkan kucuran dana yang besar di bandingkan bagaimana melayani pasien atau masyarakat dengan baik. Ketika gereja dihadapi dalam keadaan ini, gereja (para pendeta) melakukan protes namun sering dianggap sebagai bagian politisasi untuk mencapai Papua Merdeka bahkan dianggap sebagai sparatis. Menurut Ketua Klasis Balim Yalimo, bahwa: Era Otonomi Khusus ternyata kepentingan-kepentingan politik lebih berperan, penempatan kepala distrik juga tidak sesuai dengan karier seseorang yang sesuai dengan jabatan tersebut. Hal ini juga berdampak dalam ketidak keseriusan seorang kepala distrik untuk setia di distrik dan mengurus distrik. Seperti kenyataan yang terdapat Kurima, dimana kepala distrik justru sering didapati tinggal dikota-kota besar dan hanya sesekali datang kedistrik Kurima. Meski demikian tak dapat dipungkiri bahwa bantuan dana keagamaan dari pemerintah bagi pelayanan gereja nyatanya memang ada, seperti bantuan keagamaan setiap tahun dari pemerintah Yahukimo sekitar 1M untuk Gereja GKI yang berada di wilayah Yahukimo, termasuk di Kurima. Dana tersebut kemudian diatur dalam kelembagaan tingkat Klasis Balim-Yalimo dan dibagikan untuk wilayah Yalimo dan Kurima-Mugi. Biasanya wilayah Yalimo mendapat bantuan sebesar 700-800 juta rupiah setiap Tahun karena Yalimo merupakan penduduk terbanyak sedangkan untuk wilayah Kurima-Mugi mendapat bantuan dana sebesar 300-400 juta rupiah setiap Tahun. Meskipun ada bantuan-bantuan dari pemerintah, namun ketua Klasis berpendapat bahwa bantuan tersebut sangat terbatas jika dibandingkan dengan kebutuhan pelayanan gereja yang bersifat menyeluruh.16 Sekretaris GKI Beithel Polimo di Kurima berpendapat bahwa era Otsus yang berlangsung di Papua ini sebenarnya membawa dampak positif karena ada perhatian khusus dari pemerintah pusat kepada pembangunan di atas tanah Papua, namun negatifnya ialah pengolahan dana yang menjadi masalah di Papua. Nyatanya bagi masyarakat di Kurima bahwa Kucuran dana otsus justru menimbulkan pola hidup ketergantungan masyarakat pada 16
Wawancara dengan Pdt. Yudas Meage selaku Ketua Klasis Balim-Yalimo. Wamena, 19 Oktober
2015
36
uang, segala bentuk kegiatan harus ada uang. Hal ini berpengaruh besar bagi programprogram pemberdayaan yang dilakukan gereja untuk masyarakat. Minat masyarakat menjadi berkurang dimana dahulu masyarakat dapat terlibat dengan sukarela, namun di era Otsus harus ada uang. Sedangkan gereja tidak memiliki daya lagi untuk memberikan uang. Di Era ini Pemerintah mengutus orang untuk masuk di daerah yang baru dengan membawa uang. Pendekatan ini disebutkan oleh Ibu Y. Krey sebagai pendekatan uang. Dalam pemahaman Gereja masa kini bahwa Era Otonomi Khusus merupakan salah satu penghambat dalam pelayanan Gereja masa kini. Era Otsus kini telah berhasil membawa suku Dani termasuk masyarakat suku Dani yang berada di Kurima masuk didalam peradaban yang baru, beradaban yang lebih modern, peradaban dalam pendekatan uang sehingga masyakat untuk melakukan kegiatan-kegiatan sosial akan termotivasi apabila akan diberikan upah atau uang yang banyak. Bahasa yang sama juga di sampaikan oleh Yudas Meage bahwa di Kurima dahulu untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, gereja menggunakan tenaga pembantu (masyarakat kampung) yang dibekali dengan pengetahuan yang cukup seperti menjadi tukang, guru injil dan ahli tani. Meskipun mereka tidak memperoleh gaji yang besar, tetapi mereka dapat bekerja dengan sungguh karena semangat iman yang mereka miliki. Namun untuk Era Otonomi Khusus dimana kucuran dana yang besar itu justru lebih mempengaruhi pelayanan para pekerja pembantu. Motivasi dalam pelayanan lebih kepada pendekatan uang yang diterima. Apabila mereka tidak memperoleh uang yang cukup maka pekerja pembantu itu bekerja dengan malas-malasan.
3.4 Misi GKI Di Tanah Papua Berdasarkan Tata Gereja GKI TP disebutkan bahwa Visi dan Misi GKI Di TP ialah “menghadirkan tanda-tanda kerajaan Allah” sebagai visi yang menjadi dasar, pedoman dan tujuan hidup persekutuan dan pelayanannya di Tanah Papua. Yang dimaksud dengan kerajaan 37
Allah17 adalah suasana dan keadaan kekuasaan dan pemerintah Allah yang mencakup, seluruh alam semesta, termasuk manusia. Khusus bagi manusia, suasana kerajaan Allah mencakup seluruh aspek kehidupannya, rohani dan jasmani. Sedangkan yang dimaksudkan dengan tanda-tanda kerajaan Allah adalah segala hal yang baik dan menyenangkan kehidupan manusia sebagimana disebutkan pada aspek rohani dan jasmani, antara lain kesetiaan dan ketaatan kepada Tuhan. Kebebasan perdamaian, kesejahteraan, kesehatan, kemampuan dan ketrampilan, keamanan, ketertiban dan lain sebagainya yang mendatangkan sukacita dan kebahagiaan (syalom) kepada manusia. Singkatnya: Tanda-Tanda Kerajaan Allah adalah tanda-tanda syalom atau tanda-tanda keselamatan bagi manusia. Tanda-Tanda Kerajaan Allah dalam aspek rohani manusia mencakup hubungan (relasi) yang baik, benar, erat dan harmonis dengan Allah, dengan sesama manusia dan dengan alam sekitar, dimana manusia menaati perintah Allah, menghormati dan menghargai harkat serta martabat sesama manusia serta memelihara, melindungi dan mengolah alam sekitar secara bertanggung jawab sebagai ciptaan Allah. Tanda-tanda Kerajaan Allah dalam aspek jasmani manusia mencakup seluruh keberadaan (eksistensi) manusia, yaitu segala hal yang dimiliki manusia, seperti kemampuan, perasaan, keinginan, pengetahuan (hikmat), dan lain sebagainya yang dapat di manfaatkan seseorang untuk mencapai segala kebutuhannya, seperti sukacita, kesehatan, kekuatan, kesejahteraan, kebebasan, perdamaian, ketertiban dan lain sebagainya, sehingga seorang manusia dapat menikmati hidup yang layak sebagaimana dimaksudkan Tuhan Allah sang pencipta. Berdasarkan Visi GKI di Tanah Papua ini, maka Misi yang dirumuskan adalah mewujudkan Tanda-Tanda Kerajaan Allah atau Tanda-Tanda Syalom yang mencakup segala
17
Tata Gereja & Pedoman Penggembalaan GKI Di TP, (Jayapura: Sinode GKI 1998), 3.
38
bidang kegiatan (ekonomi, kesehatan, pendidikan, perdamaian, keamanan dan lain-lain) secara konkrit dan relevan melalui persekutuan (Koinonia), kesaksian (Marturia), dan pelayanan kasih (Diakonia). Berkaitan dengan penjelasan di atas maka konsekwensi logis dalam menguraikan peraturan penggembalaan dalam GKI Di Tanah Papua ialah bagaimana Pedoman Pelayanan dan Penggembalaan yang ada mampu mencerminkan visi dan misi yang dirumuskan di atas, yakni mewujudkan tanda-tanda kerajaan Allah yang mencakup berbagai aspek-aspek kehidupan (fisik, psikis, sosial, spiritual) secara konkrit dan relevan melalui Tri panggilan gereja itu sendiri yakni: Persekutuan, Kesaksian, dan Pelayanan. Selanjutnya secara konkrit makna itu diatur dalam Struktur Organisasi Pembinaan Jemaat GKI Di TP, yaitu melalui program-program kerja dan pelayanan mulai dari tingkat Sinodal, Klasis, hingga jemaat untuk mencapai kemandirian18 di bidang: Theologia, Daya dan Dana.
18
Yang dimaksudkan oleh GKI TP dengan kemandirian di bidang: Teologi, Daya dan Dana ialah: a). Kemandirian di bidang Theologia yaitu kemampuan untuk menggumuli semua persoalan yang dihadapi gereja dalam konteks Papua dan mencari pemecahannya secara teologis pula tanpa harus terikat pada rumusanrumusan teologis dari dunia barat. b) Di Bidang Daya ialah kemampuan untuk melaksanakan segala tugas gereja dengan mengandalkan kekuatan/tenaga dari warga GKI sendiri baik secara kuantitas maupun kualitas. c) Di bidang Dana yaitu kemampuan untuk membiayai segala pekerjaan gereja itu atas kemampuan dana yang diperoleh dari dalam GKI sendiri.
39
SIDANG SINODE · · · · · ·
BADAN PEMERIKSA PERBENDAHARAAN GEREJA: · KETUA · SEKRETARIS · ANGGOTA 3 ORANG
BADAN PEKERJA AM SINODE GKI: KETUA WAKIL KETUA SEKRETARIS WAKIL SEKRETARIS BENDAHARA ANGGOTA-ANGGOTA: 8 ORANG SEKRETARIS TATA USAHA
KEUANGAN STAF
YAYASAN PERCETAKAN BALAI BUKU KETUA
OTTOW GEISSLER KETUA
KEPEGAWAIAN STAF
DEPARTEMEN
PENDIDIKAN KRISTEN KETUA
BADAN PEMERIKSA PERBENDAHARAAN GEREJA KLASIS DAN JEMAAT: · KETUA · SEKRETARIS · ANGGOTA (3ORANG)
· · · · · ·
DIAKONIA KETUA
PEMB. JEMAAT SEKRETARIS 4 ANGGOTA
PEKABARAN INJIL SEKRETARIS
PENDIDIKAN SEKRETARIS
PENELITIAN PENGEMBANGAN
SEKRETARIS
PENDIDIKAN SEKRETARIS
SIDANG KLASIS
BADAN PEKERJA KLASIS GKI: KETUA WAKIL KETUA SEKRETARIS WAKIL SEKRETARIS BENDAHARA ANGGOTA-ANGGOTA: 4 ORANG SEKRETARIAT KOMISI PEKABARAN INJIL SEKRETARIS · SUKU TERASING · PEMUKIMAN BARU · PEMBERDAYAAN MASY. DESA
YAYASAN PENDIDIKAN KRISTEN · TK · SD · SMTP · SMTA
KOMISI PEMB. JMT SEKRETARIS 4 ANGGOTA · PAR · PAM · PW · PKB
KOMISI PENDIDIKAN SEKRETARIS · PENDIDIKAN · SOSIAL · BUDAYA
SIDANG JEMAAT
MAJELIS JEMAAT · · ·
KETUA WAKIL KETUA SEKRETARIS
· · ·
WAKIL SEKRETARIS BENDAHARA ANGGOTA (Disesuaikan)
URUSAN PEKABARAN INJIL
URUSAN PEMBINAAN JEMAAT
URUSAN DIAKONIA
URUSAN EKUBANG
URUSAN TATA USAHA
URUSAN PEKABARAN INJIL
PAR. PAM. PW. PKB
KEGIATAN SOSIAL / KESEHATAN
EKONOMI KEUANGAN PEMBANGUN AN
KESEKRETARI ATAN
BADAN PELAYANAN
BADAN PELAYANAN
KOMISI EKUBANG SEKRETARIS · EKONOMI · KEUANGAN · PEMBANGUNAN
BADAN PELAYANAN
BADAN PELAYANAN
JEMAAT GKI DI TANAH PAPUA
Gambar 3.1 Struktur GKI TP Tingkat: Sinode, Klasis, dan Jemaat
40
SIDANG JEMAAT
MAJELIS JEMAAT · · · · · ·
KETUA WAKIL SEKRETARIS WAKIL KETUA BENDAHARA SEKRETARIATAN ANGGOTA (disesuaikan) URUSAN PEKABARAN INJIL
URUSAN PEMBINAAN JEMAAT
URUSAN DIAKONIA
URUSAN EKUBANG
URUSAN TATA USAHA
URUSAN PEKABARAN INJIL
PAR. PAM. PW. PKB
KEGIATAN SOSIAL / KESEHATAN
EKONOMI KEUANGAN PEMBANGUNAN
KESEKRETARIATAN
BADAN PELAYANAN PAR - GKI
BADAN PELAYANAN PAM - GKI
BADAN PELAYANAN PW - GKI
BADAN PELAYANAN PKB - GKI
JEMAAT GKI TANAH PAPUA
Gambar 3.2 Struktur GKI TP Tingkat Jemaat
41
3.5 Gambaran Umum GKI Beithel Polimo Kurima GKI Beithel Polimo merupakan salah satu buah tangan para penginjil dari GKI yang didirikan sebagai Gereja Induk di Wilayah Kurima dan diterima kepala suku Liemoke Siep. Penyambutan dilakukan dengan pertumpahan darah babi sebagai tanda resmi penerimaan GKI di wilayah Kurima. Untuk kepastian waktu penerimaan injil melalui GKI ini tidak di catat secara khusus sehingga para pekerja gereja sendiri tidak dapat memastikan waktu kapan Injil itu diterima di wilayah Kurima secara resmi. Hal ini tentu saja mengakibatkan Gereja tidak pernah melakukan perayaan HUT Gereja. Namun belakangan ini ketika penelitian tesis ini dilakukan barulah gereja sadar untuk mencari informasi resmi dan mulai diketahui bahwa pada 4 November 1961 secara resmi GKI diterima di wilayah Kurima dan GKI Beithel Polimo didirikan. Sebagai respon masyarakat dalam menerima injil, maka di Tahun 1974 sekitar 60 jiwa jemaat GKI Beithel Polimo memberi diri untuk di baptis dan dilayani oleh penginjil M. Fosba. Dengan berjalannya waktu, gereja juga mengalami perkembangan baik secara fisik dan juga bertambahnya jumlah jiwa sebagai jemaat tetap. Selain ibadah mingguan, ada juga ibadah unsur keluarga, PKB yang baru dibentuk tahun 2015, PW, PAR, dan Sekolah Minggu. Pelayanan lainnya ialah dalam bentuk pastoral bagi ibu-ibu janda dan ibu-ibu yang belum menerima injil karena Ibu-Ibu dianggap memiliki peran sangat penting dalam keluarga. Dalam pelayanan di GKI Baithel Polimo belum ada pelayanan khusus katekisasi untuk melakukan sidi, namun katekisasi biasanya dilakukan pada saat anak berusia remaja yang bersedia memberi diri dibaptis. Di bawah ini jumlah jemaat yang digambarkan dalam tabel.
42
TABEL 1 JUMLAH JEMAAT GKI BAITHEL POLIMO
Kelompok
Kepala
Laki-Laki
Perempuan
Jumlah Jiwa
Keluarga I
9
20
18
38
II
6
24
37
61
III
8
11
12
23
IV
12
22
21
43
Total Jumlah Jiwa
165 Jiwa
Tabel di atas menjelaskan jumlah jiwa secara keseluruhan, di mana kepala keluarga juga di masukan dalam penjumlahan laki-laki. Maka dengan demikian jumlah jiwa tersebut yang hingga saat ini yang menjadi jemaat tetap di GKI Baithel Polimo.
3.5.1 Tingkat Pendidikan Pendidikan merupakan salah satu tolak ukur dari kemajuan suatu masyarakat. Tentu hal tersebut harus didukung oleh tersedianya bahkan terjangkaunya sarana pendidikan oleh masyarakat atau jemaat. Masyarakat Kurima yang notabenenya anggota jemaat saat ini bisa dikatakan maju karena sarana pendidikan yang baik dan mudah dijangkau oleh masyarakat atau jemaat. Kecamatan Kurima memiliki sarana pendidikan mulai dari TK hingga SMA. Di bawah ini tingkat pendidikan yang digambarkan dalam tabel berikut ini.
43
TABEL 2 PRESENTASE TINGKAT PENDIDIKAN
GKI BEITHEL POLIMO
JENIS PENDIDIKAN SD
SMP
SMA
D-III
S1
WILAYAH 1
12
4
3
2
2
WILAYAH 2
16
4
2
2
WILAYAH 3
3
2
2
1
WILAYAH 4
17
1
2
1
S2
Sumber: Data Resmi di Berikan Langsung Oleh Sekretaris Jemaat GKI Beithel Polimo di Kurima.
Sarana pendidikan yang terbilang telah maju, namun dari tabel di atas menjelaskan bahwa tingkat pendidikan jemaat masih rendah dimana rata-rata pendidikan jemaat hanya mencapai pada tingkatan SD sedangkan untuk mencapai tingkat pendidikan dijenjang yang lebih tinggi masih minim. Dari data ini menunjukan bahwa pemberdayaan dalam bidang pendidikan bagi jemaat belum berjalan sehingga menjadi faktor dalam perkembangan jemaat dibidang pemberdayaan lainnya terutama dalam memperoleh pekerjaan. Dari jumlah pendidikan yang masih minim menjadi dampak bagi jemaat dalam memperoleh pekerjaan. Dibawah ini dapat dilihat bidang-bidang pekerjaan yang ada pada jemaat.
44
TABEL 3 KLASIFIKASI JEMAAT MENURUT MATA PENCAHARIAN
NO
JENIS PEKERJAAN
JUMLAH
1
PNS
13
2
TNI
3
POLRI
1
4
SWASTA/PETANI
81
Sumber: Data Resmi di berikan langsung oleh Sekretaris Jemaat GKI-TP Beithel Polimo di Kurima.
Tabel di atas memberi penjelasan bahwa rata-rata pekerjaan yang dimiliki oleh jemat Beithel Polimo ialah swasta/petani, meskipun sedikit dari jemaat juga bekerja menjadi PNS dan POLRI. Petani yang dimaksudkan ialah bukanlah petani sukses, namun petani kecil yang dimana hasil pertaniannya untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari jemaat dan pelayan gereja. Dari data pekerjaan yang dimiliki oleh jemaat, dapat dilihat bahwa ini menjadi bukti ketidak berdayaannya jemaat terutama dalam memberikan persembahan untuk menunjang pekerjaan pelayanan gereja ditengah-tengah masyarakat Kurima.
3.6 Upaya-Upaya Gereja Dalam Pemberdayaan Masyarakat Di Era Otonomi Khusus Sejak GKI di Tanah Papua melaksanakan kegiatan pekabaran Injil dan pembinaan terhadap masyarakat setempat digunakan metode pendekatan menyeluruh atau pendekatan multi Injil. Para penyiar Injil dalam pemberitaannya tidak hanya menekankan aspek spiritual saja tetapi aspek jasmaninya, seperti kesehatan, ekonomi, pendidikan.19 Menurut Hans Walther dalam wawancara bersama penulis mengatakan bahwa gereja memahami pemberdayaan masyarakat sebagai bagian dari tugas panggilan gereja.
19
Ismail Roby Silak, Hidup dan Kerja Para Penyiar Injil Di Balim Yalimu (Papua, Tabura 2006), 169.
45
Pemberdayaan dipahami sebagai usaha memperhatikan kesejahteraan dan menciptakan kemandirian masyarakat terutama dalam era Otonomi Khusus. Hal tersebut tentu saja termasuk tingkat kesehatan, pendidikan bahkan Ekonomi/mata pencaharian jemaat.
3.6.1 Pemberdayaan Dalam Bidang Pendidikan Dengan hadirnya misionaris terdahulu di Kurima, pemberdayaan dalam bidang pendidikan sangat Nampak karena dapat memberi kesadaran dan mengubah peradaban hidup anak-anak Kurima untuk masuk dalam dunia pendidikan, dimana gereja melalui para penginjil memberi pendidikan mulai dari injil diajarkan tetapi juga pendidikan formal di berikan. Formal dan non formal diberikan seperti pendidikan keterampilan dimana masyarakat didorong untuk mengikuti pelatihan pertukangan, kebidanan, pertanian, kehewanan, administrasi sederhana dan pelatihan lainnya yang dapat mendukung perubahan pada pembangunan masyarakat. Selain pendidikan keterampilan diberikan, pendidikan moralitas masyarakat juga dibentuk melalui gereja agar masyarakat sadar akan ketertinggalan yang dihadapinya. GKI melalui para misionaris dan penginjil terdahulu mereka tahu bahwa Papua dianugerahi Kekayaan Alam sehingga masyarakat harus sekolah agar kelak nanti masyarakat tidak dibodohi diatas negerinya sendiri.20 “Suatu Kelak Orang Lain Tidak Dapat Memimpin Negerinya ini, Tetapi Orang Papua Akan Berdiri Untuk Membangun Dirinya sendiri.”21 Dalam kesadaran Gereja akan pentingnya pemberdayaan dalam bidang pendidikan maka di Tahun 1963 untuk pertama kalinya dibuka sekolah yang diawali dengan pembukaan 4 Sekolah Dasar oleh Yayasan Persekolahan Kristen (YPK)22 di wilayah Anggruk dan 20
Wawancara Bersama Pdt. Alberth Suebuselaku Sekretaris Klasis Balim Yalimo, mengutip Misionaris I.S Kijne. Wamena, 22 Oktober 2015. 21 Pdt. A. Suebu mengutip kalimat yang pernah di utarakan oleh Misionaris I.S Kijne. Wasior, 25 Oktober 1925. 22 Dahulu ketika Gereja masih memiliki donator dari Belanda maka YPK disebut sebagai Yayasan Persekolahan Kristen, namun setelah pelarangan bantuan keagamaan melalui SK Menteri Keagamaan barulah YPK mengganti status menjadi Yayasan Pendidikan Kristen.
46
sekitarnya. O. Usior menjadi guru pertama di wilayah itu. Setelah Sembilan tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1972 sekolah pertukangan untuk pertama kalinya dibuka di Apahapsili sehingga masyarakat di utus dan didukung gereja untuk mengikuti pendidikan tersebut.
23
Melihat pentingnya sekolah maka dikemudian hari Gereja mulai membuka Skolah-Sekolah Dasar YPK di berbagai tempat termasuk di Kurima yang didirikan pada tahun 1970. Selain membuka Sekolah Dasar di Kurima, atas bantuan luar negeri maka anak-anak dari Kurima dapat di sekolahkan ke kota-kota besar untuk melanjutkan pendidikan dalam level yang lebih tinggi dengan tujuan dapat kembali membantu pekerjaan pelayanan Gereja dalam bidang pendidikan dan bidang lainnya. Injil melalui para misionaris telah masuk dengan aspek pemberdayaan terutama bagi masyarakat yang berada di Kurima yang mau membuka diri menerima gereja sehingga GKI dengan mudah mengambil anak-anak Kurima untuk di sekolahkan dan hal itu menjadi nampak berhasil ditinjau dari hasil kerja anak-anak Kurima pada saat ini yang telah di sekolahkan dahulu melalui gereja.24 Dijelaskan oleh Ketua klasis Balim Yalimo bahwa untuk membangun masyarakat asli seperti pada masa-masa pelayanan melalui misionaris sudah tidak berjalan lagi. Dana khusus untuk meningkatkan kualitas pendidikan pada masyarakat melalui gereja sudah tidak mencukupi sehingga beberapa sekolah yang dahulu dibangun oleh gereja sudah ditutup dan berganti status kepada sekolah inpres. Dahulu sekolah dapat di bangun dan berjalan karena ada bantuan dari luar negeri kepada gereja di Papua, namun jika hal itu diteruskan maka Gereja akan ditegur oleh pemerintah Indonesia. Hal yang serupa juga disampaikan oleh Sekretaris Klasis Balim-Yalimo bahwa pemerintah dengan mengambil alih sistem persekolahan YPK, maka pemerintah juga memutuskan semua donator biaya pendidikan
23 24
Ismail Roby Silak, Hidup dan Kerja Para Penyiar Injil Di Balim Yalimu (Papua, Tabura 2006), 30 Wawancara dengan Ibu Pdt. Y. Krey. Salatiga, 21 September 2015.
47
yang berasal dari luar seperti Belanda dan Jerman. Ketika gereja mendapatkan bantuan dari luar negeri, gereja merasa memiliki daya untuk membangun dalam dunia pendidikan bahkan klinik kesehatan bagi masyarakat. Bagi Pdt.A. Yoku, kelebihan dari Yayasan Persekolahan Kristen (YPK) ialah, gereja memiliki sistem kurikulum dalam memberi ilmu pengetahuan tetapi juga membentuk karakter kekristenan yang bertanggung jawab bagi peserta didik. Hal ini dipandang oleh Pdt.A Yoku berbeda ketika YPK diambil alih oleh pemerintah maka sistem kurikulumnya berbeda. Dalam kurikulum pemerintah, guru hanya lebih mementingkan pemberian ilmu pengetahuan kepada peserta didik, tetapi karakter hidup tidak diperhatikan. Sistem pendidikan yang digunakan Ketika masih menjadi Yayasan Persekolahan Kristen, dimana aktifitas pendidikan dalam pemberian ilmu pengetahuan hanya berlangsung hingga hari jumat dan pada hari sabtu siswa dilibatkan untuk membantu guru mempersiapkan pelayanan bagi gereja. Dalam era Otonomisasi pemerintah justru menanamkan sistem kurikulum pemerintah kepada YPK agar pengelolaan YPK bergantung pada pemerintah sehingga pemerintah dapat mengintervensi proses Pendidikan YPK. Pendeta Siegfred Zöllner mengatakan, ia mengetahui jelas tentang kurikulum Indonesia, karena pernah mendiskusikannya dan itu menunjukkan bahwa kurikulum Indonesia yang digunakan di Papua sangat tidak cocok dengan orang Papua, bahkan dengan kondisi daerahnya. Ia juga menilai, kurikulum ini seperti membebani orang Papua dan terkesan memaksakan kehendak. Menurutnya, Papua tidak bisa disamakan dengan daerah lain yang hampir mirip dengan Jakarta. Katanya, kurikulum harus mengarah kearah kehidupan sehari-hari. “Contoh di Jerman, para guru piara lebah untuk memproduksikan madu dan mereka melibatkan anak-anak mereka. Jadi mereka berpikir, bagaimana kita hidup kalau semua anak mereka pergi ke sekolah dan jika kita mati siapa yang akan pertahankan tempat mereka, jadi istilahnya mereka kaderkan anak-anak mereka dengan pengetahuan
48
lingkungan. Jadi sekolah harus bertanggung jawab, jangan sekolah terlalu mementingkan pengetahuan saja, tetapi tidak peduli dengan keperluan sehari-hari,” tegasnya menjelaskan.25 Menurut Sekretaris Jemaat GKI Baithel Polimo bahwa dalam Era Otsus, upaya di bidang pendidikan yang dapat dilakukan oleh gereja hanya sebatas meringankan beban orang tua dari hasil dana bantuan yang diberikan pemerintah melalui kelembagaan Klasis. Seturut dengan pandangan itu, Ketua Klasis Balim-Yalimo juga mengatakan bahwa upaya pemberdayaan dalam bidang pendidikan hanya dapat dilakukan oleh klasis dengan membantu dana pendidikan sesuai dengan proposal yang masuk tetapi lebih mengutamakan bagi anak yang menempuh jurusan pendidikan yang langkah di Balim-Yalimo termasuk Kurima seperti sekolah pilot, dokter, dan lainnya. Dalam era ini, di Papua hampir tidak ada lagi pendidikan keterampilan seperti pertukangan, kebidanan/keperawatan, pertanian, kehewanan, administrasi sederhana, perdagangan/bisnis dll yang diberikan secara sukarela oleh institusi sosial untuk meningkatkan kehidupan masyarakat desa. Beberapa anak-anak Kurima telah menyelesaikan pendidikan namun masih menganggur karena keterbatasan keterampilan dalam bekerja.
3.6.2 Pemberdayaan Dalam Bidang Kesehatan Sebuah tulisan dari Bons Strom, “Pelayanan Klinis Pastoral di Rumah Sakit Kristen”, dalam
Bunga
Rampai
tentang
Pelayanan
Penyembuhan
yang
Mengutuhkan menyatakan dalam diri manusia terdapat tiga segi yaitu: pertama: manusia sebagai soma, yaitu: tubuh - fisik - badan; kedua: manusia sebagai psyche, yaitu manusia sebagai suatu oknum yang dapat merasa, beremosi, berpikir, dan ketiga: manusia sebagai makluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Karena itu, manusia disebut sebagai suatu kesatuan sosio-psycho-somatis. Ketiga segi yang terdapat dalam diri manusia itu perlu 25 Penjelasan menyangkut Kurikulum Pendidikan di Papua yang ditegaskan dan di kutip dalam majalah kemitraan. 9 April 2015.
49
mendapat perhatian dari gereja dalam upaya memberikan pelayanan kesehatan bagi warganya. Pemberdayaan yang dilakukan bersama misionaris dari Belanda dan Jerman itu tidak hanya di mengerti bagaimana mengisi anak dengan pengetahuan, namun pemberdayaan di lakukan dari sejak anak berada di dalam kandungan. Hal itu di tandai dengan pelayanan kesehatan yang konsisten, dimana para perawat seperti Ibu Sawen dan Ibu Sawut dengan satu tim yang kuat serius melayani dengan memberikan makanan yang bergizi bagi Ibu-ibu hamil, mereka setia dari satu tempat ketempat yang lain sehingga menghasilkan anak-anak yang kuat, sehat dan berpikiran cerdas. Untuk menunjang kesehatan yang baik maka gereja atas dukungan dari luar negeri juga membuka klinik dan juga membangun kerja sama dengan Dokter. Klinik di Kurima dibuka sejak Februari 1974 oleh suter Martha. Terutama dalam hal kesehatan, Gereja sangat serius karena gereja melihat bahwa dalam bidang kesehatan masyarakat perlu diselamatkan. Pemberdayaan kesehatan yang dilakukan Klasis Balim-Yalimo dengan membuka klinik-klinik kecil di setiap desa, bekerja sama dengan dokter yang berada di kota, dan upaya menjangkau langsung kepada masyarakat yang mengalami gangguan kesehatan dalam era otonomisasi ini sudah tidak dilakukan lagi oleh klasis. Hal ini karena segala bentuk program kesehatan yang diupayakan melalui gereja kini telah diambil alih sepenuhnya oleh pemerintah. Upaya kecil yang saat ini dilakukan gereja Beithel Polimo bagi jemaat hanya sebatas pemberian imunisasi. Dalam pemahaman budaya masyarakat Kurima, sakit dianggap sebagai gangguan fisik karena masuknya mistis yang melebihi kekuatan manusia sehingga merusak tubuh manusia. Penyakit datang karena jumlah manusia semakin banyak dan merusak lingkungan. Apabila alam terganggu maka orang-orang akan terserang sakit. Selain itu Masyarakat papua
50
sangat rentan terjangkit penyakit gizi buruk bagi bayi dan balita, sanitasi, pernafasan, paruparu basah, penyakit kulit, AIDS, sakit gigi, malaria, dan lain lain. Masyarakat papua yang bertempat tinggal di honai sangat rawan memiliki banyak penyakit terutama pernafasan. Dalam honai terdapat dapur dengan menggunakan kayu bakar. Aktivitas harian kaum ibu, perempuan dan anak-anak tinggal di Honai tanpa ventilasi. Banyaknya menghirup asap kayu bakar dalam kurun waktu berjam-jam sangat beresiko terhadap gangguan paru-paru dan sakit pernafasan lainnya. Tanda umumnya adalah sebagian besar anak suku yahukimo yang beringus dan rambut tidak sehat. Anak-anak sering kali tidak mengenakan pakaian hingga umur 5-7 tahun sehingga kulit sering tidak terawat dan jarang membersihkan diri secara teratur. Di honai perempuan, perempuan dan anak anak hidup dalam tempat yang tidak higienis. Dalam honai perempuan terdapat dapur dan kandang babi. Anak-anak dan ibu rawan terkena banyak penyakit karena hidup bersama kotoran babi yang mengandung banyak bakteri berbahaya. Gereja memahami bahwa pelayanan tidak hanya dilakukan melalui pemberitaan firman saja, namun kesejahteraan umat Tuhan juga harus dilayani. Hal kesehatan merupakan salah satu hal terpenting yang dilihat oleh gereja dalam pengembangan pemberdayaan masyarakat Kurima. Namun dengan diputusnya bantuan dana dari luar negeri maka gereja tidak berdaya lagi dalam mengelola klinik sehingga klinik yang tadinya ada di Kurima kini sudah tidak difungsikan lagi. Pelayanan kesehatan kini dilakukan dengan cara memberi imunisasi bagi masyarakat oleh gereja dalam ibadah-ibadah Minggu. Warga jemaat di Klasis Balim Yalimo menganggap, gereja saat ini kurang memperhatikan warga jemaatnya atas kondisi kesehatan. Dan juga dinilai tidak pernah melakukan sosialisasi tentang kesehatan, advokasi maupun pendampingan Orang Dengan HIV dan AIDS (ODHA). Sebab menurut mereka, dengan kurangnya sosialisasi, maka banyak
51
warga jemaat yang belum paham akan pentingnya hidup sehat, bahkan ada yang sakit tidak mau pergi berobat ke rumah sakit. Kata Okto yang adalah ketua Komunitas Gerakan Pemuda Peduli Pendidikan Wilayah Kurima (KGP3WK).26 Para penginjil atau pelayan diperhatikan klasis, tetapi warga jemaat tidak ada. Perhatian gereja ada hanya dari pelayan atau penginjil setempat. GKI harus memiliki suatu wadah yang mengakomodir kondisi kesehatan pada warga jemaat. “Bila perlu fungsikan wadah yang ada dengan tenaga-tenaga warga GKI, karena banyak warga GKI yang punya potensi, tetapi tidak digunakan potensi itu. Bagi Ketua Klasis Balim Yalimo, waktu lalu ada balai-balai pengobatan yang dibangun oleh gereja, tetapi sekarang karena adanya pemekaran Kabupaten dan distrik maka pemerintah mengambil alih balai-balai itu dan dijadikan sebagai Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas). Sekarang sudah ada Puskesmas, jadi gereja tidak masuk lagi kesana, supaya tidak terjadi benturan,” contoh seperti di Kurima, Yogosem dan di Angguruk dimana ada pusat pelayanan kesehatan dari gereja, tetapi karena adanya pemekaran, tempat-tempat tersebut dialihkan ke pemerintah, dalam hal ini pihak distrik setempat. Selain tempat, tenaga juga mengalami hal serupa, artinya tenaga gereja untuk kesehatan itu diperbantukan ke Puskesmas pemerintah. Tetapi Yudas menganggap, daerah yang jauh dari Puskesmas sangat membutuhkan penanganan kesehatan dari gereja, karena otomatis sentuhan pemerintah belum terpenuhi. Selain itu, Yudas Meage juga menyampaikan kesulitan penanganan orang dengan penyakit HIV dan AIDS. Menurutnya, untuk masalah HIV dan AIDS pihaknya pernah ada komisi KPKC di tingkat klasis yang bekerja sama dengan KPKC tingkat Sinode dan pemerintah, bahkan pihaknya sempat memfasilitasi pendeta-pendeta untuk meningkatkan sosialisasi, tetapi menurutnya, ketidakadaan suatu wadah untuk menangani atau mengadvokasi menjadi persoalan utama. “Jadi untuk sosialisasi dan advokasi memerlukan wadah dan biaya yang cukup besar. Tetapi sebagai relawan-relawan di masing-masing jemaat 26
Pendapat Oktovianus Hesegem yang dikutip di dalam Majalah Kemitraan. Wamena, 11 April 2015.
52
sedang berjalan yang difasilitasi oleh kami (klasis). Macam di Wamena dan di Kurima melalui media yang di sediakan. Tetapi itupun belum berjalan maksimal, karena belum ada wadah yang benar-benar menjalankannya.” jika ada wadah dan orang yang sungguh-sungguh menjalankan, semua itu bisa berjalan kembali. Kalau waktu lalu tanpa uang bisa dijalankan, tetapi sekarang tanpa uang sulit. Hanya orang yang punya hati saja yang bisa menjalankan. Untuk wadah mengenai data pengindap HIV dan AIDS warga jemaat di gereja, katanya belum ada, karena belum ada wadah yang menangani kesehatan atau HIV dan AIDS itu. “Bagaimana data bisa ada, sedangkan tidak ada wadah yang menjalankan?” Namun untuk saat ini jika ada warga jemaat yang mau memeriksakan diri dan diketahui terdeteksi HIV dan AIDS, pihaknya langsung mengirim mereka ke Klinik Walihole Yoka Pantai Jayapura. Selaku Ketua Klasis balim-Yalimo, ia menyadari bahwa GKI-TP merupakan organisasi gereja yang besar, mestinya memiliki suatu lembaga atau LSM yang bisa menangani bagian kesehatan untuk sosialisasi, advokasi hingga penanganan dan pendampingan, namun itu belum ada.
3.6.3 Pemberdayaan Dalam Bidang Pertanian dan Peternakan Bentuk pelatihan-pelatihan dalam mengolah kearifan lokal masyarakat, seperti Pelatihan berkebun, beternak dan pelatihan lainnya gereja tidak melakukan secara langsung. Biasanya gereja bekerja sama dengan P3W GKI (Pusat Pembinaan dan Pengembangan Wanita Gereja Kristen Injili)27. Bentuk kerja samanya ialah gereja mendorong agar Ibu-Ibu untuk mengikuti kegiatan yang dilakukan oleh P3W. Sedangkan bentuk kerja sama yang dilakukan oleh Klasis ialah memberi dukungan dana untuk memperlancar kegiatan yang dilakukan P3W bagi Ibu-ibu di Kurima. Kegiatan yang dilakukan biasanya lebih kepada
27
Kehadiran P3W-GKI adalah untuk melakukan pekerjaan pemberdayaan bagi perempuan Papua untuk ikut serta menjadi alat kesaksian dan pelayanan di tengah keluarga, gereja dan masyarakat .
53
pelatihan-pelatihan membaca, kepemimpinan, pemanfaatan hasil kebun sebagai bahan makanan yang sehat seperti baru-baru ini dibulan April P3W melati Ibu-Ibu Rayon Kurima termasuk Ibu-ibu dari Jemaat Beithel Polimo untuk pembuatan tahu dan tempe. Dari hasil pelatihan yang dilakukan dianggap membawa perubahan yang signifikan bagi Ibu-ibu terkhusus komunikasi yang lancar didalam pelayanan-pelayanan gereja. Meski pelatihan perkebunan dan peternakan telah dilakukan, namun dalam pengelolahan perkebunan dan masih terbatas. Hal ini menurut sekretaris Jemaat Polimo karena terbatasnya perlengkapan berkebun, alat reproduksi, dan wadah yang dapat membantu jual-beli hasil kebun dan peternakan. Kearifan lokal jemaat hingga saat ini masih dalam tahap pengelolaan secara tradisional dan hasilnya masih di nikmati oleh jemaat dan para penginjil gereja. Di Era Otonomi Khusus dengan melihat keterbatasan yang dimiliki oleh gereja terutama dalam bidang pemberdayaan masyarakat, menurut ketua klasis Balim Yalimo bahwa masyarakat sudah diajak untuk memanfaatkan kearifan lokal seperti melibatkan masyarakat dalam mengolah perkebunan seperti mengolah kopi dan umbi-umbian. Namun masyarakat merasa hasil yang diperoleh tidak besar sehingga masyarakat lebih bergantung pada bantuan-bantuan yang diberikan pemerintah dan bekerja kepada pengusaha-pengusaha yang dapat memberi penghasilan lebih besar. Maka dengan alasan ini, kearifan lokal tidak dilakukan lagi.
54