BAB III Hasil Penelitian Peran Dan Kedudukan Perempuan Buru Dalam Masyarakat Dan Gereja Di Buru Selatan “...andaikata aku jatuh di tengah-tengah perjalananku, aku akan mati bahagia, sebab bagaimanapun jalannya telah terbuka, dan aku telah ikut membantu membuka jalan itu suatu jalan bagi kemerdekaan dan kebebasan Perempuan....” ____R.A Kartini___
3.1. Pengantar Secara umum, perempuan (anavina) merupakan bagian integral dari seluruh masyarakat di Buru Selatan. Sebagai bagian real masyarakat, perempuan haruslah dipandang sama dan sederajat dengan laki-laki. Dalam kaitan itu maka berbagai peran dan kedudukan yang dilakukan dan dimiliki oleh laki-laki, semestinya juga dapat dijalani oleh perempuan. Kenyataannya dalam kehidupan masyarakat di Buru Selatan, perempuan justru tidak diberikan kebebasan untuk melakukan berbagai peran yang mereka inginkan dan yang sesuai dengan ketrampilan diri mereka. Selain itu, kedudukan mereka juga sangat kecil dalam struktur masyarakat di Buru Selatan. Peran dan kedudukan yang rendah dari perempuan ini, ter-implementasi dalam berbagai tradisi dan adat istiadat yang berkembang dalam kehidupan masyarakat di Buru Selatan. Berbagai praktek hidup masyarakat memperlihatkan adanya diskriminasi dan ketidakadilan terhadap kaum perempuan. Meskipun begitu, harus diakui bahwa perempuanperempuan di Buru Selatan sama sekali tidak mempersoalkan berbagai tradisi dan praktek budaya tersebut. Mereka justru terlihat nyaman dan menikmati kehidupan seperti itu. Bagi mereka, ini adalah kodrat kehidupan yang harus mereka terima dan jalani dengan sepenuh hati. Fenomena ini menjadi hal yang menarik untuk diteliti, dengan melihat bagaimana peran dan kedudukan perempuan dalam realitas sosial budaya masyarakat di Buru Selatan.
Dengan demikian maka, pada bab ini penulis akan menguraikan hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan. Berdasarkan data yang terhimpun, maka pembahasan akan difokuskan kepada beberapa hal penting, diantaranya adalah: pertama peran dan kedudukan perempuan dalam masyarakat di Buru Selatan; kedua peran dan kedudukan perempuan dalam gereja di Buru selatan; serta ketiga kondisi sosial budaya dengan berbagai praktek adat istidat yang terjadi dalam kehidupan masyarakat dan gereja di Buru Selatan. Sebelum itu, akan diuraikan terlebih dulu gambaran Pulau Buru (termasuk pemerintah dan klasis GPM di Buru Selatan) secara umum.
3.2. Gambaran Umum Pulau Buru. Pulau Buru adalah salah satu wilayah di Propinsi Maluku yang lebih dikenal dengan sebutan Fuka Bipolo. Pulau Buru sendiri merupakan salah satu pulau besar selain pulau Seram dalam wilayah teritorial Propinsi Maluku. Sampai saat ini, Pulau Buru telah dimekarkan ke dalam 2 Kabupaten, yakni Kab. Buru Utara dan Kab. Buru Selatan. Gambar 3.1.76 Peta Pulau Buru
3.2.1. Keadaan Alam.
76
Data dari Badan Statistik Propinsi Maluku.
Pulau Buru atau (Fuka Bipolo) terletak di antara 126-127⁰ BT dan 3-4⁰ LS. Jarak dari timur ke barat ± 140 km dan dari utara ke selatan ± 90 km. Pulau Buru dibatasi oleh beberapa laut, sebelah barat dan selatan dibatasi oleh laut Banda, sebelah utara dibatasi oleh laut Maluku, sebelah timur dibatasi oleh laut Seram.77 Pulau Buru memiliki beberapa buah teluk yang ikut memberi bentuk bagi pulau ini, yaitu teluk Kayeli dan teluk Bara. Pulau Buru juga memiliki sebuah danau yang terletak di tengah-tengah Pulau (pusat pulau) yaitu danau Rana, yang luasnya sekitar 10 Km². Pulau ini dialiri juga oleh beberapa wae78 besar diantaranya Waeapo, Waenibe, Waepoti yang mengalir di bagian utara; Waemala, Waetina dan Waekuma yang mengaliri bagian selatan. Terdapat juga tiga buah kaku79 yang tinggi yakni Kapalamada (2.735m), Date (Tomahu) dan Batabual. Dataran Pulau Buru dibentuk oleh daerah-daerah dataran rendah maupun daerahdaerah dataran tinggi dan bukit-bukit. Daratan Pulau Buru ditumbuhi oleh berbagai jenis pohon, seperti meranti, dammar, kayu besi dan kayu putih. Jenis-jenis kayu ini tumbuh dan menyebar di pedalaman Buru. Berbagai jenis tanaman yang diusahakan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan tiap-tiap hari antara lain: sayur-sayuran, umbi-umbian, pala80, feten81, kacang-kacangan, sagu dan bawang merah. Tanaman-tanaman yang memiliki nilai ekonomis tinggi seperti pala, kopi, cokelat, cengkeh, duren dan kelapa, terdapat di seluruh Pulau Buru. Selain itu ada juga kentang, wortel, tomat dan cabe yang tumbuh subur di daerah pegunungan (pedalaman) Pulau Buru. Berbagai jenis unggas dan hewan juga hidup di dataran
77
Mus Huliselan, Ely Rumahlewang & M. Isa Odar, Laporan Penelitian Orang-orang Bumi Lale dan Dunianya: Organisasi Sosial, Pertukaran dan Perubahan Sosial di sentral Pulau Buru, Maluku-Indonesia (Ambon: 1998), 44. 78 Wae adalah bahasa asli masyarakat Bipolo yang berarti sungai. 79 Kaku adalah bahasa asli masyarakat Buru yang berarti gunung. 80 Pala berarti Padi-padian, Pala yang dimaksudkan dalam tulisan ini sama sekali tidak mengarah ke tanaman Pala, yang merupakan salah satu jenis tanaman rempah-rempah di Indonesia. 81 Feten sebutan untuk tanaman hotong. Hotong adalah salah satu jenis tanaman serat asli di Pulau Buru. Bentuknya kecil seperti gandum dan memiliki rasa yang sangat enak. Tanaman ini, merupakan sejenis padi, lebih mirip alang-alang yang tumbuh di dataran rendah sampai dengan dataran tinggi pada semua jenis lahan. Tanaman hotong merupakan tanaman pangan alternatif pengganti beras yang dapat tumbuh dengan baik di lahan-lahan kering dan marjinal di seluruh Pulau Buru. Oleh masyarakat setempat tanaman ini sering diolah menjadi waji, kue tar dll
Pulau Buru diantaranya ayam, bebek, anjing, babi, rusa, babi hutan dan buaya. Ada juga Burung kakatua, perkutut, merpati, maleo dan elang yang hidup di alam pulau Buru. Selain itu, ada juga berbagai jenis ikan baik ikan air laut maupun ikan air tawar yang hidup di lautan, sungai-sungai dan danau di pulau Buru. Semua kekayaan alam ini digunakan oleh masyarakat untuk kebutuhan hidupnya sehari-hari. Kondisi iklim (musim) yang terdiri dari musim panas dan hujan turut mempengaruhi aktivitas tradisional masyarakat. Dua musim ini oleh masyarakat Buru dikenal dengan sebutan ful.timo (musim timur) yang terjadi mulai dari bulan Februari – Agustus, dan ful.fahat (musim barat) yang terjadi dari bulan agustus – februari.82 Pada musim barat, masyarakat biasanya melakukan aktivitas bercocok tanam atau berkebun (membersihkan hutan, membakar dan menanam), ada juga yang ke laut untuk menangkap ikan dan mengambil rumput laut sedangkan pada musim timur aktivitas masyarakat adalah memanen hasil kebun dan masuk hutan untuk berburu. Adapun penduduk yang mendiami pulau Buru baik di Buru bagian Utara maupun Buru bagian Selatan, terdiri dari berbagai etnis dan suku. Selain penduduk asli pulau Buru (orang Buru asli), ada juga kaum pendatang seperti orang Timor, Buton, Bugis, orang Lease dan Seram (Maluku Tengah), orang-orang dari Maluku Tenggara (kebanyakan orang Kei), etnis Tionghoa dan Jawa. Mereka semua hidup membaur menjadi satu, terutama di daerahdaerah pesisir pantai dan di ibukota kabupaten/kecamatan. Sementara di daerah-daerah pegunungan 99% penduduknya adalah orang Buru asli. 3.2.2. Sistem Pemerintahan. Kesatuan hidup (kesatuan sosial) masyarakat di pulau Buru pada awalnya, dibagi dalam dua wilayah besar yakni Fena Masarete dan Fena Lisela. Fena Masarete berada di wilayah Buru bagian selatan sedangkan Fena Lisela berada wialayah Buru bagian Utara, dan 82
Barbara Dix Grimes, The Pursuit of Prosperity and Blessing Social Life and Symbolic Action on Buru Island, Eastern Indonesia (Canberra: The Australian National University, 1993), 61.
sekaligus merupakan bagian dalam kekuasaan adat masyarakat Buru. Pada saat Portugis masuk di Buru,
kesatuan hidup masyarakat ini kemudian dibagi ke dalam tiga daerah
kekuasaan adat yakni Masarete, Lisela dan Kayeli. Pada zaman pemerintahan kolonial Belanda, ketiga daerah ini kemudian berkembang menjadi duabelas Regenschap83 yang dikuasai oleh duabelas Raja Patih yaitu: Kayeli, Liliali, Tagalisa, Lisela, Hukumina, Polumata, Waesama, Lumiati, Masarete, Fogi, Malulat dan Ambalau. Belanda kemudian menghapus lagi beberapa Raja Patih dan menyisakan hanya delapan Regenschap, yakni empat di bagian utara (Lisela, Tagalisa, Liliali dan Kayeli) dan empat di bagian selatan (Waesama, Masarete, Fogi dan Ambalau).84 Setelah kemerdekaan Indonesia, maka dalam perkembangan selanjutnya pulau Buru dimasukkan dalam wilayah Pemerintah daerah tingkat I propinsi Maluku, daerah tingkat II kabupaten Maluku Tengah. Pada saat itu, pulau Buru dibagi menjadi tiga kecamatan yakni kecamatan Buru Utara Barat yang berpusat di Air Buaya, Buru Utara Timur yang berpusat di Namlea dan Buru Selatan yang berpusat di Leksula. Tahun 1999 pulau Buru dimekarkan menjadi kabupaten sendiri yakni kabupaten Buru yang berpusat di Namlea dengan sepuluh kecamatan yaitu:
1. Kecamatan Kapala Mada yang berpusat di Biloro. 2. Kecamatan Leksula berpusat di Leksula 3. Kecamatan Namrole berpusta di namrole 4. Kecamatan Waesama berpusat di Wamsisi 5. Kecamatan Ambalau berpusat di Waelua
83
Regenschap adalah istilah bahasa belanda yang menunjukkan kepada pembagian-pembagian wilayah kesatuan (dalam kekuasaan Belanda), yang dipimpin oleh seorang raja patih pilihan Belanda. 84 Grimes, The Pursuit of Prosperity and Blessing, 43. Lihat juga J.B.J Van Doren, Boeroe en Manipa Aanteekingeng en Geschiedkundige (Amsterdam: Fieten Verzameld door), 10.
6. Kecamatan Batabual berpusat di Ilat 7. Kecamatan Wayapo berpusta di Mako 8. Kecamatan Namlea berpusat di Namlea 9. Kecamatan Waplau berpusat di Waplau 10. Kecamatan Air Buaya berpusat di Air Buaya.
Gambar 3.2.85 Pemetaan Wilayah Kabupaten dan Kecamatan di Pulau Buru.
Pada tanggal 9 September 2008, wilayah Pulau Buru bagian selatan dimekarkan menjadi kabupaten Buru Selatan, dengan lima kecamatan yaitu kecamatan Kapala Madan dengan ibukota Biloro, kecamatan Leksula dengan ibukota Leksula, kecamatan Namrole dengan ibukota Namrole, kecamatan Waesama dengan ibukota Wamsisi, dan kecamatan Ambalau dengan ibukota Wailua. Jumlah penduduk ± 73.666, yang terdiri dari 37.871 lakilaki dan 35.795 perempuan.86 Dengan demikian maka, saat ini pulau Buru telah terbagi menjadi dua wilayah kabupaten yakni kabupaten Buru Utara dan kabupaten Buru Selatan.
85 86
Data Statistik Kabupaten Buru Selatan. Sumber: BPS Maluku dan Dinas Capil Kependudukan Buru Selatan
Pulau Buru juga dikenal seperti kebanyakan daerah di propinsi Maluku sebagai daerah adat yang memiliki sistem pemerintahan adat sendiri, yang berbeda secara institusional dengan pemerintah daerah teritorial seperti kabupaten atau kecamatan. Pemerintahan adat di Pulau Buru, pada awalnya (sebelum adanya pengaruh kekuasaankekuasaan dari luar yang membawa berbagai perubahan di daerah pesisir sampai ke pedalaman) memperlihatan kesamaan baik di Masarete maupun Lisela. Wilayah Lisela dan Masarete masing-masing dipimpin oleh dua orang Matgugul.87 Wilayah Lisela dipimpin oleh Mat Gugul Nalbesi yang berkedudukan di bagian barat Rana dan Mat Gugul Waekolo di bagian Timur. Wilayah Masarete dipimpin oleh Mat Gugul Mual dan Mat Gugul Masbait. Setiap Mat Gugul membawahi empat Soa yang dipimpin oleh seorang Mat Lea.88 Setiap Soa sendiri membawahi beberapa mata rumah yang oleh masyarakat di Buru dikenal dengan sebutan Humlolin.
Tabel 3.1. Stratifikasi Sistem Pemerintahan Adat di Buru.89
87
Mat Gugul
Fena
Mat Lea
Noro
Mat.Gugul berasal dari kata Mat yang berarti Raja, Tuan atau Penguasa. Gugul berarti tanah. Jadi Mat.Gugul berarti raja tanah atau tuan tanah. 88 Huliselan, Rumahlewang & Odar, Laporan Penelitian Orang-orang Bumi Lale dan Dunianya, 44. 89 Startifikasi sistem pemerintah adat yang digambarkan dalam tabel adalah stratifikasi yang hanya berkaitan dengan kepala adat (raja adat) yang membawahi suku (fena), soa dan mata rumah. Tidak mencakup badan pemerintahan adat secara menyeluruh.
Kawasan
Humlolin
Penjabaran tugas dan tanggung jawab dari pemerintah adat di pulau Buru adalah sebagai berikut : a) Mat Gugul Mat Gugul disebut juga raja tanah. Mat Gugul merupakan jabatan tertinggi dalam masyarakat di Pulau Buru, yang bertugas untuk memutuskan perkara-perkara dalam masyarakat, mengatur dan menata keseimbangan antara manusia dengan Tuhan dan lingkungan, memimpin upacara-upacara keagamaan serta melakukan persembahan kepada leluhur. b) Hinolong Hinolong disebut juga pembuka pintu atau penjaga pintu, yang bertugas mendampingi raja berhubungan dengan masyarakat dan orang luar. Hinolong terdiri dari dua bagian yakni Hinolong Lea Keha (penjaga matahari terbit) dan Hinolong Lea Sebo (penjaga matahari terbenam). c) Portelu Jabatan ini adalah jabatan kerohanian. Portelu biasanya juga memimpin upacara keagaman. Tugasnya adalah mengatur pelanggaran-pelanggaran adat, mengatur masalah-masalah tanah, pemeliharan hutan serta melaksanakan kegiatan ritual. d) Matlea Jabatan ini adalah jabatan tertinggi di dalam Noro (Soa) yang bertanggung jawab penuh atas Noro. Matlea di sebut juga kepala soa, yang tugasnya tidak jauh berbeda dengan Mat Gugul tetapi hanya pada tingkat Noro. e) Kawasan
Jabatan ini adalah jabatan yang bertugas untuk mengkoordinir satu pemukiman tertentu (mata rumah) dari satu noro/soa tertentu. Kawasan mengatur tata tertib dalam wilayah mata rumah tersebut, sesuai adat dan menangani masalah-masalah yang terjadi didalamnya. f) Porwisi Jabatan ini adalah jabatan kerohanian sama dengan Portelu. Namun Porwisi hanya pada tingkat Noro/soa. g) Emrimu Emrimu bertugas menyampaikan pemerintahan pada masing-masing jenjang. Mat Gugul kepada Matlea, Matlea kepada Kawasan dan selanjutkan bagi masyarakat. Emrimu adalah penghubung antara atasan dan bawahan. Dalam sistem pemerintahan adat di Buru, terlihat adanya pembagian tugas dan pengorganisasian kerja yang sangat jelas. Tiap-tiap pemimpin mengurusi tugas-tugas pada jenjangnya masing-masing (Fena, Noro dan Humlolin). Tabel 3.2. Pembagian Tugas/Kerja Pemerintah Adat Sesuai dengan tingkatan masing-masing.
Pada tingkat Fena Mat Gugul Pemerintahan Hinolong
Penjaga
Pintu Portelu
Agama
Emrimu
Penghubung
Pada tingkat Noro Matlea Pemerintahan Porwisi
Agama
Emrimu
Penghubung
Pada tingkat Humlolin Kawasan
Koordinator
Emrimu
Penghubung
3.2.3. Kehidupan Sosial dan Klasifikasi Masyarakat. Masyarakat Buru sebagai sebuah kesatuan masyarakat yang hidup dan berkembang, terbentuk dari sejumlah Noro/Fena. Noro adalah kesatuan masyarakat yang terdiri dari beberapa mata rumah (Humlolin), yang juga terdiri dari beberapa rumah tangga (Huma Kemat).
Gambar 3.3.
Foto penulis bersama Matlea Noro Mual dan Kawasan Gebhain di lokasi penelitian Desa Wahaolon
Komentar penulis: Kedua pemimpin adat dalam masyarakat di desa Wahaolon ini sekaligus merepresentasi para pemimpin adat di pulau Buru yang ikut terlibat dalam menata dan mengatur kehidupan sosial masyarkaat termasuk didalamnya pembagian peran dan kedudukan antara laki-laki dan perempuan. Bagi masyarakat Buru khususnya masyarakat di Wahaolon, pemimpin adat merupakan pemimpin masyarakat.
Noro dipimpin oleh seorang Matlea. Noro bagi masyarakat Buru merupakan identitas dan ideologi yang menunjukkan adanya keistimewaan identitas pribadi atau kelompok. Setiap Noro di Buru memiliki sejarahnya tersendiri yang unik. Keistimewaan dan keunikan itu merupakan sebuah konfigurasi antara ide, mitos dan simbol yang menciptakan ideologi bagi masyarakat di masing-masing Noro, lengkap dengan berbagai tindakan sakral yang berkembang dan mengatur kehidupan masyarakat dalam Noro tersebut. Masyarakat Buru di setiap Noro memiliki 2 nama yakni nama luar dan nama dalam. Nama luar lebih dikenal dengan sebutan marga (yang dimiliki oleh semua orang dari bagian
timur Indonesia) sedangkan nama dalam adalah nama adat. Berikut ini, daftar nama adat dalam masyarakat Buru :90 Tabel.3.3. Nama luar (Marga) dan nama dalam (Noro) orang Buru.
Marga
Noro
Marga
Noro
Batuwael/Titawael
WAKIBO
Nurlatu
WAETEMUN
Batbual
BATBUAL
Nustelu
MARMAHU/WALPANGAT
Belen
EKDAFA
Salasiwa
TIFU
Besan
BAMAN
Seleky
GEBHAIN
Behuku/Hukunala
GEWAGIT
Selsily
GEBHUA
Biloro
HANGWASI
Sigmarlatu
TESLATU – WALUSU
Latbual
WAELUA
Solissa
MUAL
Latuwael
WANHEDAN
Talessy
……........................
Latuhukum
KAKHANGA
Tasane
WAGIDA
Lehelima
WAILY
Tasidjawa
FNABO
Lesbassa
GEBRIHI
Tomahu
SAMARMAHU
Lesbata
WAENU
Tomnussa
REBUT
Leskona
MAKTITA
Wael
WAHIDI
Lesnussa
MASBAIT
Wamese
WAKOLO
Leslessy
WADUPA
Wamnebo
SEGET
Warhangan
KAKFAFA
Liligoly – Tomhisa NALBESSI Natjikit
91
MIGODO
Dalam interaksi sosial sehari-hari, ada klasifikasi masyarakat yang didasarkan pada tempat tinggal orang Buru. Masyarakat yang mendiami daerah pegunungan disebut orang gunung atau Geba Fuka, yang sering disebut juga sebagai orang belakang, yang
90
Marga-marga ini disusun menurut abjad, bukan menurut marga yang paling besar – kecil atau marga yang pertama – terakhir mendiami Pulau Buru (Eddy Hukunala, Sepintas kilas tentang kepunahan pendudukan dan suku-suku terasing di Pulau Buru, Ambon, 1995. Tidak diterbitkan) 91 Nama noro dari marga Talessy ada akan tetapi karena faktor usia narasumber sudah tidak mengingatnya lagi.
menunjukkan kepada lokasi pemukiman mereka yang jauh dari pesisir pantai. Sementara masyarakat yang mendiami daerah pesisir disebut orang pante (Geba Masi).92 Kelompok-kelompok masyarakat yang mendiami daerah pegunungan (terutama di pedalaman Buru) masih memiliki sifat-sifat asli bahkan masih menganut agama/kepercayaan asli orang Buru dengan segala ritus-ritusnya. Mereka sering menyebut diri sebagai Geba Emlia. Geba Emlia sebenarnya merupakan sebutan terhadap masyarakat asli pulau Buru yang berbeda dengan masyarakat Buru yang lain, yang bertempat tinggal di daerah di pesisir pantai, atau yang tidak lagi menganut adat istiadat asli masyarakat Buru.93 Umumnya mereka merupakan masyarakat di sekitar danau Rana94 dan gunung Date.
3.2.4. Sistem Kekerabatan Masyarakat Buru. Sistem kekerabatan masyarakat di pulau Buru tersosialisasi dalam banyak bentuk hubungan kekerabatan yang menjadi simbol budaya bagi masyarakat. Salah satu bentuk hubungan kekerabatan itu adalah hubungan kai-wai atau kakak-wait. Kai berarti kaka dan wai berarti adik, jadi kai-wait adalah kakak-adik. Setiap Noro di Buru terikat dalam hubungan kekerabatan ini. Sebutan-sebutan seperti “kae to yako kai-wai” yang berarti kamu dan aku bersaudara (kakak-adik); atau “kita rua kai-wai” yang berarti kita berdua bersaudara, merupakan indikasi bahwa semua Noro yang ada di Buru adalah kaka wait. Ungkapan kakawait merupakan suatu upaya untuk mengatasi primodialisme yang mengagungkan masingmasing Noro sebagai yang paling benar, paling tinggi, paling berkuasa dan superior. Konsep 92
Orang pante adalah sebutan kepada warga masyarakat yang berdomisili di daerah pesisir pantai dan
sekitarnya. 93
Masyarakat Buru di daerah pesisir pantai, secara umum sudah mengalami banyak perubahan bari dari segi berpikir maupun berbudaya. Mereka masih menganut adat istiadat Buru tetapi telah diasimilasi dengan arus globalisasi dan kehidupan modern sehingga adat istiadat yang asli Buru tidak lagi ada dalam kehidupan masyarakat Buru di pesisir pantai. Adat istiadat yang masih berkembang di masyarakat Buru di pesisir pantai antara lain: adat perkawinan (telah mengalami perubahan terutama dalam harta kawin), gotong royong, dan hubungan kekerabatan dalam keluarga. 94 Danau Rana adalah danau terbesar di Pulau Buru, yang berada tepat di tengah-tengah Pulau Buru dan merupakan pusat dari Pulau Buru. Di sekitar daerah danau Rana terdapat sekitar 7 buah desa yang masih hidup dalam adat istiadat asli orang Buru. Dua desa diantaranya bahkan masih menganut agama asli (agama suku) Orang Buru.
kaka-wait sekaligus menentang ambisi atau kepentingan sekelompok orang (Noro tertentu) yang dapat mengorbankan orang lain (Noro lain) dan merusak tatanan hidup bersama masyarakat di Buru Hubungan kekerabatan lain dalam keluarga terlihat ketika ana menggiwa (anak sulung) sering menjadi nama bagi kedua orang tua, menggantikan nama panggilan asli orang tua. Misalnya anak sulung bernama Nona sementara ibunya bernama Agnes dan ayahnya bernama Yusti. Ibu Agnes dan bapak Yusti tidak lagi di sapa sebagaimana nama mereka tersebut tetapi di sapa Nona-Tama (untuk ayah) dan Nona-Tina (untuk ibu). Hal ini menunjukan sebuah sistem kekerabatan dan tananan sosial masyarakat Buru yang dalam, yang penuh dengan nilai etis moral dan budaya sekaligus menggambarkan adanya ikatan darah antara orang tua dan anak. Dengan nama panggilan orang tua berdasarkan nama anaknya tersebut, seorang anggota masyarakat di Buru Selatan yang telah memasuki jenjang rumah tangga atau lembaga perkawinan mendapatkan penghormatan dan penghargaan lebih dari sesama warga masyarakat yang belum menikah, dengan cara namanya tidak lagi disebut/disapa dalam pergaulan hidup sehari-hari. Dalam kaitan dengan pernikahan, ada juga hubungan kekerabatan antara keluarga perempuan dengan keluarga laki-laki yang dikenal dengan istilah kori sanat. Istilah ini menunjukkan hubungan yang erat antara keluarga yang berhubungan darah karena perkawinan. Salah satu bentuk kekerabatan lain dalam masyarakat Buru yang jika dilewati/dirusak akan mendapatkan sanksi bagi yang melanggar adalah hubungan wali dawen (ipar dan ipar). Hubungan kekerabatan ini merupakan salah satu sistem kekerabatan yang paling kuat dan erat di pegang oleh masyarakat Buru. Kekuatan hubungan kekerabatan walidawen bahkan melewati kuatnya ikatan kekerabatan kai-wai dan kori sanat. Masyarakat Buru sangat memberikan penghormatan dan penghargaan yang tinggi kepada saudara baik laki-laki maupun perempuan dari suami atau istrinya. Oleh karena itu, jika kedapatan ada yang
melakukan pelanggaran terhadap iparnya baik itu laki-laki maupun perempuan, maka ia akan menerima sanksi (denda) dan hukuman dari keluarga-nya dan memiliki citra buruk dari masyarakat.95
3.2.5. Sistem Kepercayaan (Religi). Kepercayaan (religi) masyarakat di Pulau Buru (baik Buru Utara maupun Buru Selatan) beraneka ragam. Ada banyak agama dan kepercayaan yang dianut oleh masyarakat seperti Islam, Kristen Katolik dan Kristen Protestan berkembang dan dianut oleh masyarakat di Pulau Buru, terutama masyarakat yang berada di pesisir pantai. Sementara sebagian besar masyarakat di daerah pegunungan, umumnya menganut agama Kristen Protestan. Selain itu, ada juga agama suku (agama asli)96 masyarakat Buru yang masih dianut oleh sebagian kecil masyarakat Buru terutama mereka yang berada di daerah pegunungan (pedalaman) Buru. Para penganut agama asli di Pulau Buru ini mendasari kepercayaan mereka kepada Tuhan yang disebut sebagai Opo Lastala, dengan berbagai macam ritus kepercayaan mereka. Mereka ini terutama adalah masyarakat yang masih hidup dalam adat dan budaya asli orang Buru, dan yang jarang bergaul dengan masyarakat dari luar Pulau Buru. Mereka disebut juga Geba Emlia dan umumnya bermukim di sekitar danau Rana. Dalam kepercayaan mereka, arwah para leluhur berdiam di tempat-tempat yang dianggap keramat seperti pohon-pohon besar, batu-batu besar atau di dalam goa-goa besar. Masing-masing Noro di Buru, memiliki tempat keramatnya sendiri. Danau Rana dan gunung Date dianggap sebagai tempat yang paling keramat oleh seluruh masyarakat di pulau Buru. Sementara itu, puji-pujian dan persembahan dilakukan di Huma Puji atau Huma Sikit (rumah puji), yang luasnya kira-kira 20-30 meter, tertutup dinding dari daun tikar, tidak memiliki jendela dan hanya berpintu satu. 95 96
Hasil wawancara dengan Bpk. S.S pada tgl 10 Okt 2011, Pukul 09.21 WIT Masyarakat di Buru menyebut agama suku ini dengan sebutan Hindo atau Hindu.
3.2.6. Klasis GPM (gereja) di Buru Selatan. Klasis GPM Buru Selatan merupakan salah satu lembaga keagamaan yang berada di lingkungan masyarakat di Pulau Buru khususnya wilayah Buru Selatan. Di samping Pemerintah adat, Klasis Buru Selatan dalam hal ini gereja juga memiliki pengaruh yang cukup besar bagi kehidupan masyarakat (individu maupun kelompok) dalam interaksi sosial mereka di Buru Selatan. Berbagai dinamika hidup masyarakat termasuk seperti tata cara pergaulan, pendidikan masyarakat, kesehatan masyarakat termasuk juga pembagian kerja yang meliputi peran dan kedudukan antar anggota masyarakat (laki-laki dan perempuan) ikut diperhatikan oleh gereja. Pejabat gereja dalam hal ini pendeta, memiliki pengaruh yang besar dalam masyarakat di Buru Selatan. Klasis GPM Buru Selatan terdiri dari 29 jemaat Gereja Protestan Maluku yang terbentang dari pesisir timur, barat dan pegunungan Pulau Buru bagian selatan. Adapun jemaat-jemaat ini dapat dijangkau dari pusat Sinode GPM (di Ambon) dan Pusat Klasis Buru Selatan, dengan menggunakan kapal perintis, kapal motor antar pulau dan long boad/jonson tempel serta jalan kaki dari pusat klasis yang terletak di kecamatan dan desa/jemaat GPM Leksula. Secara garis besar jemaat-jemaat di Klasis GPM Buru Selatan terbagi dalam 4 wilayah (sentra/rayon), yakni:
Tabel. 3.4. Pembagian Rayon jemaat di GPM Klasis Buru Selatan Rayon Pesisir Timur Jemaat-jemaat dalam rayon ini adalah :
Rayon Pesisir Barat Jemaat-jemaat dalam rayon ini adalah :
Jemaat GPM Waezoar (Jemaat PI) Jemaat GPM Labuang Jemaat GPM Waenono Jemaat GPM Kawanila (Jemaat PI) Jemaat GPM Wamkana Jemaat GPM Waenalu Rayon Pegunungan
Jemaat GPM Mepa Jemaat GPM Tifu Jemaat GPM Ewiri Jemaat GPM Waewali (Jemaat PI) Jemaat GPM Slealale Jemaat GPM Waeturen Jemaat GPM Grahwaen Jemaat GPM Waemulang Jemaat GPM Malilae (Jemaat PI) Rayon Pusat Klasis
Jemaat-jemaat dalam rayon ini adalah :
Jemaat-jemaat dalam rayon ini adalah :
Jemaat GPM Nusarua Jemaat GPM Wae Eken (Jemaat PI) Jemaat GPM Fakal Jemaat GPM Mngeswaen Jemaat GPM Waekatin Jemaat GPM Waelo Jemaat GPM Waeraman Jemaat GPM Uneth GPM Waemite (Jemaat PI) Jemaat GPM Batu Karang (Jemaat PI) Jemaat GPM Waenamaolon (Jemaat PI)
Jemaat GPM Leksula Jemaat GPM Kase Jemaat GPM Waehaolon (Jemaat PI)
Klasis Buru Selatan, secara geografis berada pada wilayah dataran rendah berhadapan dengan luas laut Banda dan laut Buru (khusus pesisis timur-barat di sekitar Leksula) dan wilayah dataran tinggi atau pegunungan. Di bagian belakang wilayah klasis GPM Buru Selatan terdapat perbukitan panjang yang oleh masyarakat disebut “Kaku”. Di daerah ini terdapat pohon kelapa, cengkeh, pala, coklat, kopi, duren, sagu dan kebun-kebun masyarakat. Selain itu, hampir di seluruh wilayah pelayanan klasis Buru Selatan terdapat juga beberapa bukti sejarah penginjilan yang dimulai dari zaman Belanda melalui zending UZV berupa rumah pendeta dan rumah camat (kantor resimen Belanda), gereja yang berusis di atas 100 tahun serta perkebunan kelapa yang sering disebut dusun jemaat dan dusun persekutuan klasis.
Berdasarkan data statistik terakhir awal januari 2011 warga GPM di klasis Buru Selatan berjumlah 3.666 kk dengan 13.855 jiwa yang terdiri dari laki-laki 6.909 orang dan perempuan 6.956 orang. Dari sisi kemajemukan jemaat, jemaat klasis GPM Buru Selatan 75% adalah masyarkaat asli Buru dan 25 % merupakan masyarakat pendatang dari luar Pulau Buru yang bekerja sebagai pegawai, guru, Anggota TNI/POLRI dan juga dari hubungan pernikahan. Dari sisi pendidikan sangat beragam mulai dari SD, SMP, SMA, Diploma, Sarjana dan Pasca Sarjana dengan rata-rata pendidikan adalah SMA. Mata pencarian utama warga jemaat di Klasis GPM Buru Selatan adalah petani dan nelayan. Tingkat kesehatan masyarakat/warga jemaat cukup baik dengan lingkungan desa/jemaat yang tertata dengan baik. Jemaat-jemaat yang menjadi pusat penelitian penulis adalah jemaat Kase, Leksula, Wahaolon, Waenamaolon, Batu Karang dan Mngeswaen, memiliki rata-rata tingkat pendidikan adalah SMP dan SMA. Ke-enam jemaat ini sekaligus merupakan ke-enam desa di mana penulis melakukan penelitian.
3.3. Peran dan Kedudukan Perempuan di Buru Selatan. Di daerah Buru Selatan, interaksi sosial yang terjadi dalam masyarakat sangat dipengaruhi oleh adat istiadat yang diturunkan secara turun temurun, dari zaman dulu hingga saat ini. Pengaruhnya ada dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat. Adat istiadat di Buru Selatan menjadi simbol hidup yang sacral, yang mengatur dan menata hidup seluruh
masyarakat baik laki-laki maupun perempuan, mulai dari orang tua sampai anak-anak. Adat istiadat ini, masih tetap hidup dalam kehidupan masyarakat hingga kini, dan telah menjadi simbol (kekuatan) yang mengatur dan mengikat kehidupan seluruh masyarakat.
Salah
satunya adalah tentang peran dan kedudukan (posisi) antara laki-laki dan perempuan di Buru. Umumnya, perempuan (anavina) memiliki peran dan kedudukan yang berbeda dengan kaum laki-laki di Buru Selatan. Peran dan kedudukan yang berbeda di antara mereka, telah ada sejak dulu. Peran dan kedudukan yang berbeda antara laki-laki dan perempuan ini, menandakan adanya pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan masyarakat. Pembagian peran kerja dan status sosial antara mereka, telah lama terbentuk dalam kosmologi dan kultur masyarakat, yang sangat kuat mengikat kehidupan mereka dari waktu ke waktu. Artinya bahwa semua hal menyangkut kehidupan laki-laki dan perempuan di Buru Selatan, telah diatur sesuai dengan adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat dengan didasarkan pada kepercayaan asli mereka.
3.3.1. Perempuan dalam Masyarakat Buru Zaman Dulu dan Masyarakat Saat ini. Masyarakat di Buru Selatan, selalu memandang bahwa perempuan (baik itu anak perempuan atau saudara-saudara perempuan) adalah harta yang sangat berharga dari setiap keluarga di Buru Selatan. Namun keberhargaan perempuan dalam pandangan masyarakat di Buru Selatan pada zaman dulu berbeda dengan keberhargaan perempuan dalam pandangan masyarakat pada saat ini. Pada zaman dulu, perempuan dipandang berharga oleh karena mereka adalah sumber kehidupan dalam keluarga. Keturunan keluarga (laki-laki) ada dalam diri perempuan oleh karena ia yang mengandung dan melahirkan anak. Perempuan juga yang mengatur dan menyiapkan seluruh kebutuhan keluarga. Ia yang berkebun, mengolah hasil kebun, memasak, menyiapkan makanan dan mengurus seluruh kebutuhan suami dan anak. Hal ini membuat
perempuan begitu dilindungi dalam kehidupan keluarga. Perempuan hanya boleh berada di dalam keluarga saja. Ia tidak diijinkan untuk berada di luar rumah, apalagi jika tidak bersama dengan saudara laki-laki atau suami-nya. “Anavina waktu dolo tu, cuma bisa tinggal di dalam rumah saja. Seng bisa pi kamana-mana. Dia merupakan harta dalam keluarga, yang harus dijaga dan dilindungi deng baik. Orang laki-laki dong paleng menjaga parampuang.”97 Dolo, katong orang parampuan neh, seng bisa bajalan takaruang. Katong Cuma bisa tinggal dalam rumah saja. Kalo kaluar jua harus laki-laki pi batamang dan itu hanya untuk hal-hal tertentu saja macam pi bantu-bantu di orang nikah bagitu. Orang laki-laki tuh paleng taku kalo katong parampuang sandiri ka luar rumah. Dong taku katong dapa ambe dari orang lain. Karena dolo tuh parampuan dianggap adalah sumber kehidupan. Laki-laki pung anak parampuang yang kadung deng melahirkan. Parampuan jua yang mamasa dan kasih siap samua kebutuhan di dalam rumah.98
Oleh karena perempuan begitu berharga dalam keluarga, maka setiap laki-laki di Buru Selatan memiliki tugas untuk menjaga dan melindungi mereka. Apalagi konteks sosial masyarakat saat itu, dipenuhi dengan peperangan antar suku di pulau Buru. Keberhargaan perempuan ini terlihat dalam pembayaran sejumlah harta kawin sebagai prasyarat bagi seorang laki-laki ketika mau kawin dengan seorang perempuan di Buru Selatan. Harta kawin di sini merupakan simbol bahwa seorang perempuan adalah harta dalam keluarganya sehingga laki-laki yang mau menikahinya harus menunjukkan usaha yang keras untuk mendapatkannya. Hal ini akan terbukti ketika ia mampu memenuhi semua persyaratan dalam harta kawin, yang diberikan kepada keluarga perempuan. “Perempuan itu berharga sekali dalam keluarga. Oleh karena itu dia harus tetap tinggal saja dalam lingkungan rumah. Bahkan di beberapa daerah pegunungan ada anak-anak perempuan yang disembunyikan oleh orang tuanya di dalam lumbung-lumbung padi, di rumah-rumah hutan agar tidak dilihat oleh orang lain terutama orang-orang di luar kampung/desa tersebut. Wujud dari berharganya perempuan itu adalah dalam jumlah harta kawin yang dikenakan kepada mereka seperti gong, tombak, parang, kain putih. Laki-laki yang mau kawin dengan seorang perempuan Buru harus memberikan harta kawin tersebut”.99
Keberhargaan perempuan menjadi berbeda dalam kehidupan masyarakat Buru Selatan semenjak masuknya bangsa asing ke Indonesia termasuk pulau Buru. Sejak masyarakat mengenal mata uang, mereka cenderung memandang keberhargaan perempuan dalam segi 97
Hasil wawancara dengan Ibu. O.L pada tgl 21 Okt 2011, pukul 19.00 WIT Hasil wawancara dengan Ibu. J.S pada tgl 12 Okt 2011, pukul 17.00 WIT 99 Hasil wawancara dengan Bpk. Y.H pada tgl 02 Nov 2011, pukul 19.28 WIT 98
ekonomi. Perempuan berharga dalam keluarga oleh karena memiliki nilai ekonomis bukan lagi nilai sebagai seorang manusia, sebagai sumber kehidupan dalam keluarga. Perempuan berharga oleh karena dalam diri perempuan terletak sejumlah harta kawin yang dapat diterima oleh keluarga dari pihak laki-laki (calon suami). Pandangan masyarakat terhadap perempuan seperti ini, terus bertahan hingga sekarang. Kondisi ini menyebabkan seorang perempuan terutama yang belum kawin atau masih remaja, sulit mendapatkan kebebasan dari keluarga untuk bersosialisasi dengan orang lain di sekitarnya, apalagi orang-orang yang berasal dari luar kampung atau desa tempat tinggalnya tersebut. Pembatasan terhadap ruang gerak perempuan ini kemudian berlanjut hingga ke berbagai aspek hidup lainnya seperti pendidikan, pemerintahan dan pekerjaan. “Banya orang tatua yang memadang kalo dong pung ana parampuang bisa menghasilkan banyak uang par dong. Makanya ana-ana parampuang apalai di daerah gunung itu, sulit par bebas dan sekolah. Dong hanya tinggal di rumah saja. Tunggu sampe ada laki-laki yang mau kaweng deng dong. Saat odng su kaweng, orang tua seng mau tau lai deng dong. Apapun yang dilakukan suami terhadap dong su seng jadi tangung jawab orang tatua lai. Parampuan su jadi barang yang bisa dapa jual dar keluarga dalam masyarakat”.100
3.3.2. Perempuan “Gunung” dan Perempuan “Pante”. Kehidupan masyarakat di Buru Selatan berbeda antara masyarakat di daerah pesisir pantai dan masyarakat di daerah pegunungan (pedalaman). Masyarakat di pesisir pantai bersifat lebih terbuka terhadap hal-hal baru di sekitar mereka (pendidikan, teknologi informasi dll). Sementara masyarakat di daerah pegunungan (pedalaman) lebih bersifat tertutup terhadap berbagai pengaruh yang datang dari luar adat istiadat mereka. Perbedaan ini disebabkan oleh karena masyarakat di daerah pesisir telah hidup lebih modern dalam arti telah ber-sekolah (mendapatkan pendidikan), memiliki informasi dan komunikasi yang memadai, telah berinteraksi dengan banyak orang dari luar Buru dan sebagainya. Sementara masyarakat di daerah pegunungan tidak memiliki semua itu, bahkan kebutuhan hidup seperti
100
Hasil wawancara dengan Ibu B.L pada tgl 23 Okt 2011, pukul 19.20 WIT
listrik, jalan dan sekolah tidak mereka miliki. Akibatnya mereka masih tetap bertahan dalam tradisi lama yang tertutup hanya dalam komunitas suku mereka saja. Perbedaan antara masyarakat di pesisir pantai dan masyarakat di daerah pegunungan ini, berdampak pula kepada kehidupan perempuan di daerah pegunungan dan perempuan di daerah pesisir pantai. Ada perbedaan besar antara perempuan di daerah pegunungan (pedalaman) dengan perempuan di daerah pesisir pantai di Buru Selatan, terutama dalam hal bersosialisasi dengan orang lain. Contohnya dapat terlihat dalam berbagai proses wawancara yang dilakukan oleh penulis dengan warga masyarakat/jemaat di Buru Selatan. Bagi masyarakat di pesisir pantai dan di pusat klasis atau kecamatan, perempuan telah diberikan ruang yang cukup besar untuk berinteraksi dengan orang lain bahkan melakukan berbagai aktivitas di luar kehidupan rumah-tangga. Mereka tidak lagi dibatasi untuk mengeluarkan pendapat dan berinteraksi dalam masyarakat (baik dalam area rumah tangga maupun luar rumah tangga) seperti yang terjadi pada masa dulu atau pada perempuan-perempuan di daerah pegunungan. Gambar 3.4. Proses Wawancara dengan Pemimpin adat di Desa Wahaolon.
Gambar 3.5 Proses Wawancara dengan keluarga Guru/Majelis Jemaat di Jemaat Leksula
Gambar 3.6. Proses FGD dengan para perempuan di Desa Leksula
Komentar Penulis:
Dalam gambar-gambar ini terlihat jelas adanya gap antara perempuan di daerah pesisir, di kota kecamatan dengan perempuan di daerah pegunungan. Dalam gambar (3.4.) wawancara hanya dilakukan dengan laki-laki oleh karena para perempuan di daerah wahaolon (pegunungan) menutup diri untuk diwawancara. Mereka hanya sibuk mempersiapkan makan di dapur. Bagi mereka, berbicara dengan orang lain apalagi yang berasal dari luar kampung mereka, hanya dapat dilakukan oleh laki-laki. Selain itu, memang kaum perempuan di daerah pegunungan memiliki tingkat pendidikan yang rendah sehingga sulit untuk mengeluarkan pendapat dan pikiran mereka. Gambar (3.5.) & (3.6.) adalah wawancara dengan pasangan suami istri di desa leksula (ibu kota kecamatan dan daerah pusat klasis) dan FGD dengan para perempuan di Leksula. Disini terlihat jelas bahwa para perempuan tidak dibatasi untuk mengeluarkan pendapat dan pikiran mereka. Bahkan mereka bersama dengan laki-laki (suami) turut bersosialisasi dengan orang lain.
3.3.3. Adat Perkawinan sebagai Penentu Peran dan Kedudukan Perempuan. Secara tradisional, sistem perkawinan di Buru Selatan terbagi ke dalam 2 jenis perkawinan yakni kaweng maso minta dan kaweng panjar. Kaweng maso minta adalah proses perkawinan yang dilakukan dengan cara keluarga laki-laki secara baik-baik datang ke rumah keluarga perempuan untuk meminang anak perempuan menjadi istri anak laki-laki mereka. Proses seperti ini dapat dilakukan dengan turut serta membawakan harta kawin yang telah disepakati ataupun tidak (harta kawin dibahas saat acara perkawinan). Kaweng maso minta biasanya dilakukan setelah anak laki-laki dan perempuan telah saling mengenal lebih dulu melalui hubungan pacaran dan telah memasuki jenjang kedewaaan. Jadi kaweng maso minta dilakukan pada saat anak laki-laki dan anak perempuan telah berusia dewasa (20 tahun ke-atas). Kaweng panjar atau yang dikenal juga dalam masyarakat di Buru Selatan dengan sebutan kaweng piara, merupakan bentuk perkawinan yang berbeda dari kaweng maso minta.
Proses kaweng panjar dapat dilakukan ketika anak perempuan masih kecil dan masih berada pada jenjang sekolah dasar bahkan masih dalam kandungan ibunya. Kaweng panjar didahului dengan proses pemberian harta kawin dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan sejak perempuan tersebut masih berada di dalam kandungan hingga perempuan lahir dan bertumbuh serta dirasakan telah pantas untuk diambil ke dalam keluarga laki-laki. Ketika keluarga calon suami membawakan harta kawin (harta panjar) kepada keluarga perempuan dan ketika di terima, saat itulah kaweng panjar telah terjadi. Dalam sistem kaweng panjar tidak ada masa berpacaran, oleh karena perkawinan ditentukan oleh pihak laki-laki yang telah melakukan panjar. Bahkan ada perempuan yang masih berusia delapan/sembilan tahun telah diambil dari keluarganya oleh pihak laki-laki (yang memanjar). Proses pemberian harta ini biasanya disesuaikan dengan permintaan keluarga perempuan. Jadi apapun yang diminta oleh keluarga perempuan untuk dipanjarkan keluarga laki-laki harus dipenuhi.101 Apabila kemudian perkawinan tersebut batal maka keluarga perempuan harus menggantikan harta panjar kepada keluarga laki-laki dua kali lipat besarnya. Bentuk perkawinan maso minta maupun perkawinan panjar atau piara, memiliki kesamaan yang terdapat pada harta kawin. Harta kawin, baik yang ada dalam bentuk kaweng maso minta maupun kaweng piara memiliki nilai yang sangat besar dan beragam jenisnya.102 Jenis-jenis harta kawin (sekaligus merupakan persyaratan perkawinan) yang harus dibayarkan oleh seorang laki-laki terhadap perempuan dalam proses perkawinan (baik maso minta maupun panjar) antara lain adalah: kain putih, piring, gelas, kawali (wajan besar), katue (parang), seekor babi (fafu katuben) dan uang (yang disebut sebagai harta air susu). Saat ini,
101
Hasil wawancara dengan Bpk S.S pada tgl 10 Okt 2011, Pukul 09.21 WIT dan Bpk V. N pada tgl 18 Okt 2011, pukul 10.05 WIT 102 Hasil wawancara dengan Bpk R.S pada tgl 16 Nov 2011 pukul 11.00 WIT
kalau persyaratan kawin di atas tidak ada, dapat dibayarkan dalam bentuk uang tergantung dari keluarga perempuan.103 Harta kawin yang besar seperti di atas adalah simbol bahwa seorang perempuan Buru benar-benar berharga dalam keluarganya. Namun, pemahaman masyarakat tentang harta kawin di Buru Selatan, tidak lagi sama antara masyarakat zaman dulu dan masyarakat saat ini. Zaman dulu, harta kawin yang diwajibkan untuk diberikan kepada keluarga perempuan dalam jumlah yang besar itu, semata-mata merupakan simbol betapa perempuan itu sangat berharga, bahwa perempuan adalah simbol hidup dalam keluarga. Dari perempuan ini, akan lahir keturunan bagi rumah-tangga. Selain itu, masyarakat pada zaman dulu percaya bahwa harta kawin yang mereka berikan kepada keluarga perempuan, suatu hari pasti akan kembali kepada mereka. Hal ini terjadi oleh karena perkawinan masyarakat pada zaman dulu adalah perkawinan saudara. Di mana seseorang yang di sebut orang Buru asli haruslah kawin dengan anak perempuan dari saudara ayahnya. Dengan demikian ia mengawini keponakan ayahnya sendiri (saudara sepupunya). Dolo, katong orang buru neh sodara kaweng sodara. Orang Buru asli itu adalah ketika lakilaki kaweng deng dia papa pung sodara pung ana parampuang. Jadi dia kaweng deng dia pung sodara sandiri. Makanya harta kaweng yang banya itu, waktu dolo seng jadi masalah. Karena orang tatua pikir, dong kasih akan par dong sodara sandiri deng nanti pasti akan bale jua par dong.104
Sementara itu, pandangan masyarakat tentang harta kawin mulai berubah sejak mereka mengenal yang namanya mata uang. Perempuan tidak lagi berharga semata-mata karena dia adalah sumber kehidupan tetapi lebih karena nilai ekonomi dalam dirinya. Harta kawin dalam dirinya tersebut dianggap dapat membawa keuntungan bagi keluarga. Perempuan sangat berharga dalam keluarga oleh karena ketika kawin, orang tua dapat memiliki banyak uang. Apalagi dalam kawin panjar, orang tua bisa mendapatkan banyak uang karena laki-laki (calon suami) musti memberikan semua hal yang diminta oleh keluarga perempuan. Jadi perempuan tidak lagi dianggap berharga karena dia yang melahirkan anak untuk keluarga tetapi karena dia nanti waktu kawin, orang tua akan dapat uang banyak.
103 104
Hasil wawancara dengan Bpk J.S pada tgl 13 Okt 2011 pukul 15.00 WIT Hasil wawancara dengan Bpk. V.L pada tgl 18 Okt 2011 pukul 20.00 WIT
Karena itu juga maka anak-anak perempuan itu, apalagi di daerah pegunungan begini yang dilarang untuk bersekolah dan keluar dari kampung ini.105
Pemaknaaan yang berbeda tentang harta kawin inilah, yang lambat laun menjadi salah satu akar kuat dari berbagai tindak diskriminasi terhadap kaum perempuan di Buru Selatan. Apalagi perkawinan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat di Buru Selatan saat ini, tidak lagi perkawinan saudara seperti pada zaman dulu. Siapapun dapat kawin dengan perempuan Buru asalkan ia mampu membayar harta kawin yang telah diwajibkan tersebut. Dampaknya adalah laki-laki terutama suami sering berpikir bahwa perempuan yang telah menjadi istrinya itu telah ia beli dengan sejumlah harta kawin tersebut. Oleh karena itu, suami berhak melakukan apapun terhadap istrinya atau menyuruh istri melakukan apapun sesuai kehendaknya termasuk mencukupi seluruh kebutuhan hidup keluarga. Dapat dikatakan bahwa, ada eksploitasi hidup terhadap istri dari suaminya. Hal ini diakui oleh sebagian besar masyarakat yang menjadi narasumber, baik di daerah pesisir maupun pegunungan seperti yang diungkapkan oleh Bpk AT dan Ibu JS. “Harta kawin yang besar, yang harus dibayarkan oleh laki-laki dalam setiap adat perkawinan, sering menjadi pemicu yang paling utama sehingga terjadi ketidakadilan dan diskriminasi terhadap perempuan dan menunjukkan adanya ketidak-seimbangan posisi di antara mereka. Laki-laki sering berpikir bahwa mereka telah membayar harta yang sangat besar karena itu maka perempuan harus melakukan segala pekerjaan yang ada dalam keluarga itu.”106 “Perempuan memikul banyak tanggungjawab dalam keluarga termasuk bekerja dengan berat oleh karena perempuan tersebut telah dibayar dengan harta kawin yang sangat besar dan banyak oleh suaminya.”107 “Perempuan-perempuan di Buru harus melakukan banyak pekerjaan rumah tangga termasuk juga berkebun dan mencari nafkah untuk kehidupan keluarga. Terkadang laki-laki hanya tinggal di rumah saja. Mereka beranggapan bahwa istri-istri mereka telah dibayar sehingga harus bekerja”108 “Pembayaran harta kawin yang besar dari laki-laki kepada keluarga perempuan di Buru menyebabkanadanya sikap harap gampang yang kemudian berpengaruh kepada peran-peran baku secara signifikan dalam masyarakat, di mana perempuan mendapat beban (melakukan pekerjaan) yang berat dibandingkan laki-laki. Contoh perempuan ketika pulang dari kebun diharuskan membawa banyak barang bawaan, renge fodo sambil gendong anak kecil
105
Hasil wawancara dengan ibu I.S pada tanggal 10 Nov 2011 pukul 17.00 WIT Hasil wawancara dengan Bpk A.T pada tgl 22 Okt 2011 pukul 23.00 WIT 107 Hasil wawancara dengan Ibu J.S pada tgl 21 Nov 2011 pukul 10.00 WIT 108 Hasil FGD bersama Para Perempuan di desa Kase pada tgl 15 Okt 2011 pukul 17.30 WIT 106
sedangkan laki-laki hanya memikul tombak dan parang saja. Contoh lain ketika perempuan juga harus membuat kopra, padahal pekerjaan ini harus dilakukan oleh laki-laki”.109
Masyarakat di Buru Selatan, juga menganut sistem perkawinan poligami, yang berkembang terutama di daerah pegunungan. Dalam sistem perkawinan ini, seorang lelaki boleh mengawini lebih dari satu orang istri, bahkan bisa mencapai lima orang istri. Sistem poligami ini diterima dalam masyarakat dan terjadi sejak dulu hingga saat ini. Rata-rata masyarakat di Buru (terutama pada zaman dulu), sering menganggap jika mereka belum memiliki anak laki-laki dalam perkawinan mereka maka rumah tangga mereka itu belum dapat disebut sebagai sebuah keluarga. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya berbagai praktek poligami dalam masyarakat.110 “Laki-laki Buru bisa kawin dan mempunyai hingga 5 orang istri. Asalkan dia dapat membayar harta kawin dan memberikan nafkah kepada mereka itu tidak menjadi masalah. Itu sah saja dan adat istiadat tidak melarang hal ini”.111 Ana laki-laki tuh paleng penting bagi seorang laki-laki Buru. Karena ana laki-laki selain menjadi kebanggaan dalam keluarga juga yang nanti menjaga keturunan itu tetap ada. Jadi ketika dia balom pung ana laki-laki maka dia akan kaweng tarus sampe dia pung anak lakilaki. Dan istri-istri sebelumnya dong menerima hal ini. Karena seng bisa heran kalo zaman dolo itu deng sakarang ini di daerah-daerah gunung itu, orang laki-laki dong bisa pung istri sampe 4-5 orang. 112
Meskipun demikian, ada satu hal menarik dan unik dalam sistem perkawinan poligami dalam kehidupan masyarakat di Buru Selatan, yakni adanya kerukunan dan hubungan yang erat antara istri-istri dari orang yang berpoligami tersebut. Dari istri pertama sampai terakhir tidak pernah terjadi keributan malahan mereka secara bersama-sama saling membantu dalam melayani sang suami. Hal ini dapat terjadi oleh karena suami mampu memberikan nafkah lahir batin (segala kebutuhan hidup perempuan termasuk kepuasaan seks) kepada semua istrinya tersebut.113 Dalam kehidupan masyarakat tradisional di Buru
109
Hasil FGD dengan para Perempuan di desa Leksula tgl 24 Okt 2011 pukul 15.30 WIT Hasil wawancara dengan Bpk Pdt. V.L pada tgl 18 Okt 2011 pukul 20.00 WIT 111 Hasil wawancara dengan Bpk. N.S pada tgl 14 Nov 2011 pukul 21.00 WIT 112 Hasil wawancara dengan Bpk. T.S pada tgl 29 Okt 2011 pukul 21.00 WIT 113 Hasil wawancara dengan Bpk Pdt S.H pada tgl 14 Okt 2011 pukul 13.00 WIT 110
Selatan, sistem poligami ini menunjukkan adanya kekuasaan, kekuatan (termasuk seks/kepuasan biologis) dan kekayaan yang besar dari seorang laki-laki Buru.
3.3.4. Pembagian tugas dalam Keluarga. Secara historis dalam masyarakat di Buru Selatan, telah tergambar jelas pembagian peran dan tugas antara laki-laki dan perempuan, baik dalam kehidupan keluarga maupun masyarakat. Dalam stratifikasi masyarakat, perempuan dalam keluarga selalu diberi ruang untuk memasak, mencuci, dan melakukan perkerjaan rumah tangga lainnya. Sementara lakilaki bertugas untuk berburu di hutan. Ketika ada acara atau pertemuan keluarga, perempuan memiliki bertugas menyiapkan sirih pinang sedangkan laki-laki harus menyiapkan eha114 yang didalamnya terdapat kola115. Disinilah semua keluarga duduk berkumpul dan merasakan kola secara bersama.116 Perempuan di Buru Selatan, setiap hari selalu melakukan berbagai pekerjaan rumah tangga. Mulai dari mencuci, memasak, mengurus anak dan rumah hingga berkebun dan membawakan hasil kebun ke rumah. Mereka terlihat melakukan pekerjaan-pekerjaan ini dengan sepenuh hati bahkan ada perempuan yang menganggap bahwa pekerjaan-pekerjaan tersebut merupakan bagian dari kodrat hidup mereka sebagai seorang perempuan. Katong parampuang neh, su pung nasib par bagini jua. Mamasa, bacuci, jaga ana, manyimpang rumah, itu su jadi katong pung tugas. Dari dolo, katong dapat ajar dari orang tatua par karja bagini. Jadi sampe sakarang katong musti karja akang.117 Parampuang, mau deng seng mau musti mamasa, bacuci deng ator dalam rumah. Katong pung laki seng mungkin karja akang. Dong su cape waktu pulang dari kabong.118
Gambar 3.7. Seorang anak perempuan yang sementara mencuci pakaian seluruh anggota keluarga
114
Eha adalah sageru (tuak) yang baru diperas dari pohon sageru/tuak. Kola adalah tempat minum sageru. Dalam kehidupan masyarakat di Buru Selatan, kola melambangkan adanya kebersamaan dan kesatuan dari seluruh masyarakat, tanpa perbedaan dan batasan (baik kelas/strata, usia, dll). 116 Hasil wawancara dengan Pdt. Bpk S.H pada tgl 10 Okt 2011 pukul 09.45 WIT 117 Hasil wawancara dengan Ibu H.S pada tgl 13 Nov 2011, pukul 11.00 WIT. 118 Hasil FGD dengan para perempuan di desa Wahaolon, 20 Nov 2011, pukul 15.00 WIT 115
Gambar 3.8. Para perempuan yang baru pulang dari kebun sambil membawakan hasil kebun (Keku tolfafak)
Gambar 3.9. Seorang ibu yang sementara renge fodo sambil membawa anak.
Gambar 3.10. Pada bagian atas seorang ibu yang baru pulang kebun sambil renge fodo sedangkan pada bagian ke dua ada seorang perempuan lagi yang sementar sibuk di dapur.
Komentar penulis:
Perempuan di Buru Selatan dalam menjalani kehidupan sehari-hari selalu diperhadapkan dengan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga seperti memasak dan mencuci, membawa hasil kebun dan mengurus anak. Semua pekerjaan ini menjadi tugas harian bagi mereka. Sementara itu, kaum lelaki sangat sulit untuk mengambil peran-peran rumah-tangga seperti ini. Hal ini terjadi bukan hanya karena adanya struktur budaya yang baku di masyarakat yang telah mengatur pembagian peran di natara mereka, tetapi juga karena kaum laki-laki di Buru Selatan umumnya tidak memiliki ketrampilan dan tidak terbiasa untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan tersebut. Beberapa gambar di atas secara jelas memperlihatkan adanya beban kerja yang banyak dari para perempuan di Buru. Meskipun, mereka tetap menerimanya dengan sepenuh hati dan melakukan rutinitas seperti ini setiap hari.
Dalam kehidupan masyarakat pada zaman dulu, terdapat pembagian peran dan posisi antara laki-laki dan perempuan. Hal ini terlihat jelas ketika laki-laki dan perempuan samasama pergi ke kebun atau hutan (sama-sama berjalan), wanita selalu renge fodo dan keku tolfafak sambil menggendong anak sedangkan laki-laki bertugas memikul tombak dan parang. Dalam berjalan, posisi wanita selalu berada di belakang laki-laki. Pembagian peran yang seperti ini, berhubungan dengan fungsi laki-laki untuk melindungi istri dan anaknya (keluarga) dari bahaya yang dapat mengancam kehidupan mereka. Hal ini berkaitan erat dengan keadaan sosial masyarakat pada saat itu, yang sering dihadapkan dengan peperangan antar suku. Untuk itu, dibuatlah pembagian peran atau tugas seperti di atas. Dengan memberikan semua beban yang berat kepada perempuan untuk dipikul maka laki-laki dapat dengan leluasa bergerak, mengawal dan menjaga keluarganya serta memberikan perlindungan bagi mereka dari dari berbagai serangan musuh (serangan dari fena/suku lain, binatang buas atau ular berbisa) di sepanjang perjalanan mereka.119 Hal yang menarik adalah bahwa sistem pembagian tugas seperti ini terus bertahan hingga sekarang meskipun zaman peperangan tersebut telah lama berakhir. Masyarakat tetap saja melakukan praktek pembagian kerja seperti diatas, dengan menempatkan semua hasil kebun untuk dibawa sang istri sementara laki-laki hanya memegang parang saja. Posisi
119
Hasil wawancara dengan Bpk D.S pada tgl 26 Okt 2011 pukul 19.50 WIT
berjalan antara keduanya juga masih sama, laki-laki berjalan di bagian depan dan perempuan di bagian belakang.
Gambar 3.11. Gambar 3.12. Posisi perempuan dan laki-laki di Buru Selatan ketika pergi dan pulang dari hutan/kebun.
Komentar penulis:
Dalam keseharian ketika perempuan dan laki-laki di Buru Selatan pergi dan pulang dari hutan atau kebun, maka kita akan melihat sebuah pemandangan unik namun tidak seimbang. Laki-laki akan membawa sedikit beban sementara perempuan membawa lebih banyak beban daripada yang dibawa laki-laki.lakilaki akan berjalan di bagian depan sementara perempuan di bagian belakang. Dalam proses berjalan seperti ini telah terlihat adanya dikriminasi terhadap perempuan dalam tatanan kehidupan keluarga-keluarga di Buru Selatan. Perempuan selalu menjadi yang nomor dua dan membawakan banyak beban dibandingkan dengan laki-laki.
Dalam kehidupan masyarakat di Buru Selatan, sistem pembagian kerja seperti di atas dianggap adil. Tidak ada masyarakat (baik laki-laki dan terutama perempuan) yang menganggap pembagian kerja seperti ini sebagai suatu hal yang mengandung ketidakadilan. Mereka terlihat “nyaman” dengan hal tersebut. Sistem pembagian tugas/peran tersebut mengalami sedikit pergeseran ketika masuknya gereja yang membawa pengaruh injil dalam kehidupan masyarakat di Buru Selatan. Sebagian besar pelayan (pendeta dan majelis jemaat), berupaya untuk memberikan pemahaman baru tentang tugas dan peran yang lebih adil dan sejajar antara laki-laki dan
perempuan bagi sebagian besar warga masyarakat yang menjadi warga jemaat dari gerejagereja di Buru Selatan. Usaha gereja-gereja ini didukung dengan masuknya arus globalisasi dan modernisasi di pulau Buru yang semakin merubah pemikiran sebagian masyarakat tentang kehidupan bersama antara laki-laki dan perempuan beserta dengan pembagian tugastugas dalam keluarga maupun masyarakat yang lebih merata di antara mereka.120 Kaum laki-laki, sedikit demi sedikit mulai membantu tugas-tugas dan pekerjaan dari para perempuan. Tugas-tugas rumah tangga seperti memasak, mencuci dan sebagainya mulai dilakukan oleh laki-laki walaupun hanya oleh sebagian kecil saja dari mereka. Begitupun ketika berjalan bersama, perempuan telah berdampingan sejajar dengan laki-laki bahkan mereka tidak lagi memikul beban yang berat karena laki-laki telah mengambil tanggung jawab tersebut. Umumnya masyarakat yang mengalami perubahan ini adalah yang berada di daerah pesisir pantai dan telah beragama resmi (khususnya Kristen). Sementara masyarakat yang belum beragama resmi (masih memeluk agama suku) dan yang hidup di daerah-daerah pegunungan yang jauh (di pedalaman pulau Buru), yang belum terjangkau oleh globalisasi dan modernisasi,
masih tetap hidup dan bertahan pada tradisi serta adat istiadat asli
masyarakat, yang mengandung diskriminasi terhadap perempuan.121 Laki-laki masih tetap berpikir bahwa pekerjaan-pekerjaan rumah tangga adalah tugas perempuan, sehingga mereka sulit untuk membantu perempuan dalam pekerjaan-pekerjaan tersebut. Dapat dikatakan bahwa ketimpangan peran dalam hal ini pembagian tugas dan kerja antara laki-laki dan perempuan di Buru Selatan terutama di daerah pegunungan, merupakan sebuah kebiasaan hidup yang telah ada sejak dulu dan tetap hidup dalam masyarakat hingga
120
Hasil wawancara dengan Bpk Pdt S.H pada tgl 14 Okt 2011 pukul 13.00 WIT Dalam penelitian ditemukan juga bahwa ada warga masyarakat yang sudah beragama tetapi masih tetap hidup dalam adat istiadat Buru yang lama, yang masih mengikuti sistem pembagian tugas/peran antara laki-laki dan perempuan seperti pada zaman dulu, yang menurut penulis mengandung nilai-nilai diskriminasi dan ketidakadilan terhadap perempuan. 121
saat ini. Meskipun pembagian tugas dan kerja seperti itu, sesungguhnya membuat perempuan memikul beban kerja lebih dari kekuatannya.
3.3.5. Kedudukan atau Peran dalam Pemerintah dan Gereja. Kedudukan atau posisi antara laki-laki dan perempuan tidak jauh berbeda dengan pembagian tugas dan peran mereka dalam kehidupan bersama di masyarakat, khususnya dalam bidang pemerintahan. Dalam sejarah kehidupan masyarakat Buru Selatan, tidak pernah ditemukan perempuan memiliki keterlibatan secara langsung dalam bidang pemerintahan. Perempuan tidak memiliki akses untuk menduduki posisi (jabatan) penting dalam bidang pemerintahan seperti kepala desa, badan adat (Matgugul, Matlea dan Kawasan). Semuanya menjadi hak dari kaum laki-laki. Hanya laki-laki saja yang dapat menjadi kepala desa atau kepala adat. Posisi perempuan hanya sebagai orang-orang yang bertugas untuk menyiapkan makan dan minum, tempat sirih pinang dan mempersiapkan tempat (balai desa) bagi pertemuanpertemuan atau rapat pemerintah atau badan adat desa. Hal ini diakui oleh kepala-kepala soa di beberapa desa yang diteliti oleh penulis seperti yang dikungkapkan oleh Bpk J.S selaku kepala Soa Gebhain di desa Leksula: “Sejak dulu hingga saat ini, perempuan tidak pernah memegang jabatan atau tugas dalam struktur pemerintah di desa-desa di Buru Selatan. Baik itu pemerintahan desa maupun pemerintahan adat. Hal ini memang telah menjadi kebiasaan dan sesuai dengan adat istiadat. Perempuan akan terlibat dalam acara-acara adat hanya untuk membantu menyiapkan segala kelengkapan acara”122
Perempuan juga tidak memiliki hak untuk terlibat dalam pengambilan keputusankeputusan penting di dalam masyarakat, termasuk dalam rapat-rapat atau pertemuanpertemuan desa. Bahkan di beberapa desa tertentu di daerah pegunungan dan pedalaman di Buru Selatan, perempuan dilarang untuk ikut dalam berbagai pertemuan desa apalagi menjadi
122
Hasil wawancara dengan Bpk J.S tgl 30 Okt 2011 pukul 14.00 WIT
pejabat pemerintah. Tempat atau posisi perempuan yang sesungguhnya adalah di dalam rumah tangga atau keluarga. Selain adat istiadat, penyebab lain minimnya keterlibatan perempuan serta rendahnya kedudukan mereka dalam struktur pemerintahan di Buru Selatan, adalah tingkat pendidikan perempuan yang rendah. Perempuan karena dibatasi untuk bersekolah, sering dianggap tidak memiliki ketrampilan dan kompetensi untuk menjadi pejabat desa dan ikut serta dalam pengambilan keputusan dalam masyarakat. Bahkan para perempuan sendiri mengakui hal tersebut, seperti yang diungkapkan oleh Sdri Y.L berikut ini : “Katong Anavina nih, seng pernah mo dilibatkan par masuk dalam badan pemerintahan. Bahkan dalam kegiatan desa kayak panitia pemilihan kades kalmareng tuh saja parampuang cuma 1 orang. Katong cuma dapat suruh untuk mamasa saja. Dong pikir, katong seng pung kemampuan, hanya menghambat dan kegiatan seng maksimal. Padahal itu cuma dong pung alasan.”123
Meskipun saat ini perempuan telah diberikan kedudukan dalam pemerintahan, namun presentasinya masih sangat kecil dan sedikit dibandingkan dengan laki-laki. Selain itu, perempuan juga sudah mulai dilibatkan dalam berbagai pertemuan desa dan ikut dalam mengeluarkan pendapat dan pikiran mereka. Hanya saja, dalam badan pemerintah adat (Matgugul, Matlea, Kawasan) perempuan memang belum dilibatkan. Masyarakat masih menganggap bahwa jabatan adat adalah tabu bagi kaum perempuan dan bertentangan dengan adat istiadat mereka. Parampuang dari dolo seng ada yang jadi badan adat. Yang bisa jadi kapala adat tuh hanya orang laki-laki saja. Su dari dolo akang bagitu. Orang tatua bilang jabatan adat itu sakral deng karas. Jadi parampuang seng bisa di situ.124
Peran dan kedudukan perempuan dalam gereja agaknya lebih baik jika dibandingkan dengan kedudukan mereka dalam pemerintahan. Gereja dalam hal ini GPM (Gereja Protestan Maluku), memberikan ruang yang sama kepada perempuan dan laki-laki untuk berperan dan memiliki posisi (kedudukan). Tidak ada pembedaan antara laki-laki dan perempuan untuk
123 124
Hasil wawancara dengan Sdri. Y.L tgl 15 Nov 2011 pukul 11.23 WIT Hasil wawancara dengan Bpk R.S pada tgl 16 Nov 2011 pukul 11.00 WIT
berperan dalam gereja. Tugas jabatan seperti majelis jemaat, koordinator organisasi pelayanan, koordinator unit, tuagama (koster) dipegang baik oleh perempuan maupun lakilaki tanpa pembatasan. Kalo dalam gereja, katong perempuan su banyak dilibatkan. Di leksula sini saja, majelis lakilaki deng perempuan sama banya. Perempuan saja banyak yang su jadi ketua panitia dalam kegiatan gereja. Selain itu, kegiatan-kegiatan perempuan banyak dilakukan bahkan turut serta melibatkan laki-laki. Jadi menurut beta, gereja ini membuka peluang yang besar kepada perempuan untuk berkarya dan menunjukkan katong pung kapasitas diri itu.125 “Partisipasi dan posisi perempuan dalam gereja itu selalu ada. Bahkan kalau mau dibilang lebih besar dari kaum laki-laki. perempuan bahkan memegang banyak jabatan pelayanan dalam gereja seperti majelis jemaat, pengurus organisasi pelayanan atau panitia gereja”126
Selain itu, gereja justru berusaha membantu warga jemaat khususnya perempuan ketika terjadi kasus-kasus seperti perkosaan, kaweng panjar atau poligami. Gereja berupaya untuk memberikan kesadaran dan pembaruan pemahaman dan pola pikir warga jemaat untuk membangun kehidupan yang lebih setara antara laki-laki dan perempuan. Upaya-upaya ini dilakukan oleh para pelayan gereja (pendeta dan badan majelis jemaat) melalui pelayanan ibadah, khotbah, PA dan kegiatan-kegiatan sosial gereja lainnya. “Kami para pelayan gereja di klasis Buru Selatan sini terutama pendeta selalu berupaya untuk menjadikan gereja ini, tidak hanya sebagai sebuah tempat beribadah umat tetapi lebih sebagai sebuah lembaga sosial masyarakat. Oleh karena itu, tugas-tugas pelayan gereja tidak hanya diarahkan pada kegiatan-kegiatan ibadah saja, khotbah, atau PA tetapi juga untuk menolong warga jemaat terkait dengan berbagai permasalah sosial dan adat istiadat seperti poligami, kawin panjar, kekerasan dalam rumah tangga yang sangat mendiskiminasi para perempuan”127.
Gereja (para pendeta) berpendapat bahwa perempuan dan laki-laki adalah ciptaan Tuhan. Diciptakan dengan maksud untuk saling melengkapi dan menolong satu dengan yang lain. Perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki untuk menikmati kehidupannya secara bebas sesuai dengan keinginannya. Dalam kesadaran ini, pihak gereja selalu berupaya untuk membuat berbagai kegiatan yang melibat secara bersama laki-laki dan perempuan
125
Hasil wawancara dengan Ibu J.S pada tgl 21 Nov 2011 pukul 10.00 WIT Hasil wawancara dengan Pdt Ibu E.R pada tgl 19 Okt 2011 pukul 09.44 WIT 127 Hasil wawancara dengan Pdt. Bpk. V.L pada tgl 18 Okt 2011 pukul 20.00 WIT 126
didalamnya. Selain itu, gereja berusaha keras membantu jemaat khususnya perempuan yang mengalami perlakuan yang diskriminatif dalam kehidupannya.128 Meskipun demikian, di beberapa jemaat tertentu khususnya di daerah pegunungan dan di pedalaman Buru Selatan, posisi dan kedudukan perempuan di dalam gereja masih kecil dan terbatas. Selain karena rendahnya tingkat pendidikan dari perempuan di daerah-daerah tersebut, adat istiadat yang masih mengakar kuat dalam masyarakat turut berpengaruh kepada keterlibatan mereka dalam gereja. Para pendeta di daerah-daerah tersebut, kesulitan untuk mencari sumber daya perempuan yang dapat dilibatkan menjadi para pelayan di dalam gereja. Beta pribadi mau saja par parampuang neh jadi majelis jemaat atau pung jabatan di wadah organisasi gereja. Tapi masalahnya cari parampuang yang par dudu di situ seng gampang. Sedangkan par jadi pengasuh saja susah apalai par jadi majelis jemaat. Orang-orang di sini neh, banya yang seng kasih ijin dong anak par pi sekolah akibatnya parampuang di sini terbatas dalam sumber daya. Banya dar dong yang seng skolah, jadi katong stengah mati par mau cari parampuang yang layak di majelis jemaat ini.129
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa peran dan kedudukan perempuan dalam pemerintah dan gereja memang sedikit berbeda. Perempuan lebih diberikan ruang dan posisi di dalam tugas jabatan dan pelayan gereja dibandingkan di bidang pemerintah dan adat.
3.3.6. Keterlibatan dalam Pendidikan. Adat istiadat masyarakat di Buru Selatan pada masa dulu, secara langsung tidak memberi ruang bagi kaum perempuan untuk bersekolah, belajar dan memperoleh pendidikan. Masyarakat (orang tua atau kaum laki-laki) beranggapan bahwa perempuan selayaknya tinggal di rumah, melakukan berbagai pekerjaan rumah tangga karena itu adalah tugas mereka. perempuan mesti belajar menjadi seorang ibu rumah tangga yang baik, karenanya ia harus tetap ada di rumah.130
128
Hasil wawancara dengan Pdt. Bpk. V.L pada tgl 18 Okt 2011 pukul 20.00 WIT Hasil wawancara dengan Pdt (Penginjil) Bpk J.M. pada tgl 14 Okt 2011 pukul 18.12 WIT 130 Hasil wawancara dengan Ibu P.L pada tgl 10 Okt 2011 pukul 16.20 WIT 129
Terbatasnya peluang anavina dalam dunia pendidikan, berkaitan juga dengan harta kawin yang ada dalam diri perempuan tersebut. Orang tua takut kalau anaknya bersekolah apalagi sampai ke luar Pulau Buru maka ia akan kawin dengan orang luar yang tentu akan berakibat pada ketiadaan harta kawin.131 Apalagi bila perempuan tersebut telah dipanjarkan (telah terikat dalam budaya kawin panjar), orang tua yang telah menerima harta panjar akan terancam untuk menggantikan harta tersebut dua kali lipat apabila anak perempuan mereka tidak kawin dengan pihak laki-laki yang telah melakukan panjar terhadapnya. Dengan ketakutan seperti itu maka orang tua selalu berupaya untuk membatasi anak-anak perempuan untuk memperoleh pendidikan. Tak jarang juga orang tua beserta calon suami menghentikan pendidikan anak-anak perempuan mereka pada waktu mereka masih berada di tingkat SD hanya dengan alasan tidak memiliki biaya untuk menyekolahkan anak mereka. Hal ini diakui sendiri oleh salah seorang pendeta yang bertugas di salah satu jemaat/desa di Buru Selatan. “Di jemaat saya ini, kira-kira 2 tahun lalu, ada anak perempuan yang belum menyelesaikan sekolah, masih di kelas 5 atau 6 SD sudah diberhentikan sekolah oleh orang tuanya dengan alasan bahwa mereka sudah tidak sanggup lagi membiayai anak tersebut sekolah. Padahal biaya sekolah sama sekali tidak dipungut oleh guru. Setelah dicari tau ternyata anak tersebut telah dipanjarkan dan pihak laki-laki telah menuntut untuk mengambil anak tersebut. Apabila dalam 2 bulan belum diserahkan pada pihak laki-laki maka orang tua harus mengganti harta yang telah dipanjarkan kepada mereka 2x lipat banyaknya”.132
Kondisi seperti ini jelas membuat para perempuan kehilangan peluang untuk meraih kehidupan yang lebih baik. Mereka juga kehilangan kesempatan untuk melibatkan diri dengan berbagai peran dalam masyarakat di Buru Selatan, oleh karena ketiadaan ketrampilan dan keahlian diri akibat tidak mendapatkan pendidikan yang memadai. Pada akhirnya mereka terpaksa kawin dan harus tetap bergelut dengan berbagai tugas rumah tangga yang berat. Selain karena perkawinan, ketiadaan sekolah dan guru untuk memberikan pendidikan kepada sebagian besar anak-anak di Buru Selatan juga menjadi salah satu penyebab lain yang menghambat kemajuan dari para perempuan (bahkan sebagian laki-laki) di Buru Selatan.
131 132
Hasil wawancara dengan Bpk H.L pada tgl 15 Okt 2011 pukul 08.50 WIT Hasil wawancara dengan Pdt (Penginjil) Bpk J.M. pada tgl 14 Okt 2011 pukul 18.12 WIT
Gambar 3.14. Seorang perempuan yang kehilangan hak untuk sekolah dan terpaksa harus menjadi ibu rumah tangga.
Gambar 3.15. Anak-anak di desa Wahaolon yang terancam tidak memperoleh pendidikan Oleh karena ketiadaan guru dalam mengajar di sekolah.
Komentar penulis:
Banyak perempuan di Buru Selatan baik yang berada di tingkat SD maupun SMA dan kuliah yang terpaksa harus terhenti harapan mereka untuk sekolah, mendapatkan pendidikan dan mengejar masa depan yang lebih baik. Keterbatasan peluang mereka di dunia pendidikan ini disebabakan oleh banyak faktor seperti ketiadaan biaya sekolah, ketiadaaan sekolah dan guru bahkan telah terikat oleh sistem kaweng panjar dalam masyarakat.
Pada saat ini, kesempatan perempuan dalam dunia pendidikan di Buru Selatan mulai bergerak maju ke arah yang lebih sejajar dengan laki-laki. Memang masih ada pembatasan terhadap perempuan untuk belajar dan memperoleh pendidikan, tetapi presentasenya kecil jika dibandingkan dengan zaman dulu, dan hanya terjadi di daerah-daerah pegunungan dan pedalaman pulau Buru yang belum memiliki sekolah. Umumnya mereka adalah masyarakat yang masih berpegang teguh pada adat istiadat Buru, yang melarang dan membatasi anak perempuan untuk memperoleh pendidikan. Ataupun juga masyarakat yang masih sering
terlibat dalam praktek kaweng panjar yang telah terlanjur menerima harta panjar terhadap anak perempuan mereka. Di daerah-daerah di pesisir pantai dan di beberapa daerah di pegunungan, masyarakat mulai menyadari arti penting pendidikan bagi anak-anak mereka (baik itu laki-laki dan perempuan). Mereka tidak lagi memberikan batasan bagi anak-anaknya yang mau bersekolah. Hanya saja, keterbatasan biaya pendidikan seringkali juga menjadi penghalang bagi sebagian besar anak perempuan di Buru Selatan, untuk belajar dan memperoleh pendidikan yang memadai bagi masa depan mereka. Selain itu ke-engganan sebagian besar guru untuk memberikan pendidikan bagi anak-anak yang berdomisili di daerah pegunungan dan pedalaman Buru Selatan juga memiliki pengaruh pada rendahnya sumber daya manusia terutama pendidikan dalam masyrakat di Buru Selatan. Faktor-faktor inilah yang menciptakan adanya kesenjangan dalam bidang pendidikan antara laki-laki dan perempuan di Buru Selatan serta membuat tingkat pendidikan dari masyarakat di Buru Selatan menjadi sangat kecil, jika dibandingkan dengan daerah lain di propinsi Maluku.133
3.4. Rangkuman. Peran dan kedudukan perempuan asli Buru di tengah-tengah keluarga, gereja dan masyarakat di Buru Selatan dalam kehidupan sehari-hari, dapat dikatakan kontradiktif. Di satu sisi perempuan terlihat “nyaman” dalam menikmati kehidupan mereka setiap waktu, sesuai dengan adat istiadat yang tumbuh dan berkembang sejak zaman dulu. Sementara di sisi lain, terlihat jelas bahwa proses hidup yang mereka jalani itu penuh dengan banyak ketidakadilan yang mendiskriminasikan hidup mereka. Berbagai bentuk ketidakadilan dan diskriminasi antara lain seperti terbatasnya pendidikan bagi perempuan, posisi yang kurang/kecil dalam pemerintahan, kesempatan yang
133
Hasil wawancara dengan Bpk R.S pada tgl 09 Nov 2011 pukul 19.30 WIT.
kecil untuk terlibat dalam berbagai keputusan penting baik dalam masyarakat maupun keluarga. Semua ini disebabkan karena pengaruh adat istiadat yang kuat dalam kehidupan masyarakat. Sementara dalam kehidupan gereja, perempuan dan laki-laki diberikan ruang yang sama baik dalam peran maupun kedudukan mereka. Harta kawin terutama dalam bentuk perkawinan kaweng panjar menjadi salah satu indikator kuat yang menyebabkan perempuan harus merelakan masa depan dan impian akan kehidupan yang lebih baik menjadi hilang. Harta panjar ini pula yang membuat perempuan terutama yang sudah kawin, terdiskriminasi oleh suaminya dan harus melakukan berbagai pekerjaan melebihi kekuatan mereka. Satu hal yang pasti bahwa perempuan yang sudah dipanjarkan akan sangat sulit untuk menjalani kehidupan sesuai dengan keinginan dirinya sendiri. Meskipun saat ini, peran dan kedudukan perempuan dan laki-laki terutama di daerah pesisir di Buru Selatan mulai bergerak ke-arah yang lebih setara, adil dan sejajar, namun masih ada perempuan di daerah pegunungan yang hidup dalam diskriminasi dan ketiadakadilan. Di daerah pesisir, kemajuan perempuan ini, berjalan bersama dengan masuknya arus globalisasi dan modernisasi dalam kehidupan masyarakat serta pengaruh Injil dan gereja yang kuat dalam masyarakat. Sementara di daerah pegunungan, ketiadaan informasi, komunikasi bahkan sekolah membuat masyarakat tetap hidup dalam kebiasaan-kebiasaan yang mendiskriminasi kaum perempuan dan belum tersentuh perubahan.