BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penelitian ini menganalisis kapasitas pendamping KUBE dan faktor penghambat pendampingan dengan mengambil studi kasus pendampingan Kelompok Usaha Bersama (KUBE) di Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Yogyakarta. KUBE merupakan salah satu bentuk program pengentasan kemiskinan dari pemerintah dengan mengutamakan peran masyarakat sebagai aktor utama atau lebih familiar dengan istilah pemberdayaan masyarakat (community empowerment). Dalam program pengentasan kemiskinan yang berbasis pemberdayaan masyarakat hampir selalu ditemui keberadaan pendamping, keterbatasan masyarakat dalam mengakses sumber daya, faktor pendidikan dan latihan ditambah faktor lain mengharuskan pendamping hadir untuk memfasilitasi agar program dapat berjalan dengan baik (Edi S,2014) Munculnya KUBE sebagai salah satu program pemerintah dalam upaya pengentasan kemiskinan tidak terlepas dari kondisi kemiskinan yang masih jauh dari apa yang diharapkan. United Nations Development Program (UNDP, 2010) mengatakan bahwa kemiskinan tidak dapat dipahami semata sebagai kemelaratan atau ketimpangan dalam distribusi aset material, immaterial dan sumber daya tetapi juga tentang pengucilan sosial, budaya marginalisasi, dan proses prospek dan peluang yang dirampas. Hal ini
1
menjadikan kemiskinan tidak hanya menjadi masalah bagi negara berkembang, negara maju sekalipun tidak bisa menghilangkan kemiskinan dari masyarakatnya. Kemajuan teknologi, kebijakan publik baru memang menciptakan peningkatan pendapatan suatu negara, namun tidak menjamin kemiskinan hilang begitu saja bahkan terus meningkat akibat kesenjangan antara orang kaya dan orang miskin. Berdasakan data Badan Pusat Statistik (BPS), angka kemiskinan Indonesia sejak tahun 2009 sampai 2014 menunjukkan grafik penurunan. Tahun 2009 jumlah penduduk miskin perkotaan berjumlah 11,91 juta jiwa dan penduduk miskin pedesaan berjumlah 20,62 juta jiwa, hingga pada tahun 2014 jumlah penduduk miskin perkotaan turun menjadi 10,36 juta jiwa dan penduduk miskin pedesaan 17,37 juta jiwa. Berikut adalah data angka kemiskinan Indonesia tahun 2009-2014 :
2009
Tabel 1.1 Penduduk miskin Indonesia 2009-2014 Garis Kemiskinan Penduduk Miskin Persentase (Rupiah ) (Juta ) Penduduk Miskin (%) Kota Desa Kota Desa Kota Desa 222 123 179 835 11,91 20,62 10,72 17,35
2010
232 989
192 354
11,10
19,93
9,87
16,56
2011
263 594
223 181
10,95
18,94
9,09
15,59
2012
277 382
240 441
10,51
18,08
8,60
14,70
2013
308 826
275 779
10,63
17,92
8,52
14,42
2014
326 853
296 681
10,36
17,37
8,16
13,76
Tahun
Sumber : Statistik Indonesia, Laporan Bulanan Data Sosial Ekonomi, BPS
2
Data statistik selanjutnya pada bulan Maret 2015 jumlah penduduk miskin di Indonesia 28,59 juta orang (11,22%), bertambah sebesar 0,86 juta orang dibandingkan dengan kondisi September 2014 yang sebesar 27,73 juta orang (10,96%). Tabel 1.2 Penduduk Miskin Indonesia 2014-2015 September 2014 Maret 2015 Perkotaan
8,16 % (10,36 juta orang)
8,29% (10,65 juta orang)
Pedesaan
13,76 % (17,37 juta orang)
14,21% (17,94 juta orang)
Sumber : Diolah dari data BPS 2015 Penurunan angka kemiskinan menunjukkan tren positif, namun tidak signifikan jika dibandingkan dengan jumlah dana yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam upaya pengentasan kemiskinan. Dalam laporan penelitian Haryati tentang dampak sosial ekonomi KUBE di empat Provinsi di Indonesia menunjukkan dari tahun 2004 sampai 2009 jumlah dana yang dikucurkan pemerintah mencapai 200,2 triliun rupiah. Berikut adalah distribusi dana pengentasan kemiskinan dari tahun 2004-2009 : Tabel 1.3 Distribusi Dana untuk Program Pengentasan Kemiskinan No Tahun Jumlah (triliun) 1 2004 18 2 2005 23 3 2006 42 4 2007 51 5 2009 66,2 Sumber : Haryati dkk (2011) Upaya penanggulangan kemiskinan telah diamanatkan dalam Undangundang Nomor 11 tahun 2009 tentang kesejahteraan sosial dalam Bab IV
3
Pasal 19-23 yang berbunyi “Penanggulangan kemiskinan merupakan kebijakan, program dan kegiatan yang dilakukan terhadap orang, keluarga, kelompok dan/atau masyarakat yang tidak mempunyai atau mempunyai mata pencaharian dan tidak dapat memenuhi kebutuhan yang layak bagi kemanusiaan”. Tujuan dari upaya penanggulangan kemiskinan dituangkan dalam pasal 20 yaitu (a) meningkatkan kapasitas dan mengembangkan kemampuan dasar dan kemampuan berusaha masyarakat miskin; (b) memperkuat peran masyarakat miskin dalam pengambilan keputusan kebijakan publik yang menjamin penghargaan,perlindungan,dan pemenuhan hak dasar; (c) mewujudkan kondisi dan lingkungan ekonomi, politik, dan sosial
yang
memungkinkan
masyarakat
miskin
dapat
memperoleh
kesempatan seluas-luasnya dalam pemenuhan hak-hak dasar dan peningkatan taraf hidup secara berkelanjutan, dan (d) memberikan rasa aman bagi kelompok masyarakat miskin dan rentan. Kementerian Sosial adalah salah satu lembaga negara yang menangani masalah kemiskinan. Kementerian Sosial memiliki visi yaitu mewujudkan kondisi masyarakat PMKS (Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial) menjadi berkesejahteraan sosial (www.kemsos.go.id). Pemberdayaan sosial adalah salah satu program kerja Kementerian Sosial dimana konsep pemberdayaan sosial berbasis masyarakat bukan barang baru dalam upaya pengentasan kemiskinan. Pentingnya pemberdayaan masyarakat berasal dari fakta bahwa hal ini sering dilihat sebagai solusi untuk masalah
4
keterbelakangan ekonomi dan kemiskinan yang meluas dan untuk mengembangkan negara (Sachs, 2005 dalam Judy N. dkk, 2012). Menurut (Akpan, 2006; Blowfield, 2005; Manteaw, 2008; Newell & Frynas, 2007, dalam Judy N.dkk, 2012) program pemberdayaan yang ada saat ini sering dikritik karena kebermanfaatan yang diperoleh hanya jangka pendek dan potensi untuk mengatasi permasalahan jangka panjang seperti kemiskinan dan keterbelakangan menjadi terbatas. Hal ini menjadi tantangan bagi pemerintah melalui kementerian maupun lembaga dibawahnya untuk menciptakan
program
pemberdayaan
yang
berkesinambungan
dan
memberikan manfaat jangka panjang. Program Pemberdayaan Fakir Miskin (P2FM) dengan pendekatan Kelompok Usaha Bersama (KUBE) menjadi menarik mengingat KUBE adalah salah satu embrio Lembaga Keuangan Mikro (LKM). Program Penanganan Fakir Miskin melalui Kelompok Usaha Bersama (P2FM KUBE) merupakan salah satu program penanganan kemiskinan yang dilaksanakan oleh Kementerian Sosial Republik Indonesia. P2FM-KUBE bertujuan untuk mempercepat penghapusan kemiskinan melalui; 1) Peningkatan kemampuan berusaha para anggota anggota secara bersama dalam kelompok; 2) Peningkatan pendapatan; 3) Pengembangan usaha; 4) Peningkatan kepedulian dan kesetia kawanan sosial diantara para anggota KUBE dengan masyarakat sekitar (Haryati R,2013)
5
Untuk Provinsi DIY, program KUBE-FM tahun 2011 berjumah 510 kelompok atau 5.100 kepala keluarga dengan rincian Kota Yogyakarta 65 kelompok, Kabupaten Bantul 90 kelompok, Kabupaten Kulonprogro 130 kelompok, Kabupaten Gunungkidul 135 kelompok dan Kabupaten Sleman 90 kelompok (Dinas Sosial DIY,2011). Khusus untuk penumbuhan KUBE baru di Kota Yogyakarta berjumlah 65 kelompok atau 650 kepala keluarga yang terbagi dalam 7 lokasi yaitu : Tabel 1.4 Lokasi KUBE Kota Yogyakarta No Lokasi Jumlah Kelompok 1. Prawirodirajan,Gondomanan 10 kelompok/100 KK 2. Ngupasan,Gondomanan 10 kelompok/100 KK 3. Bumijo, Jetis 10 kelompok/100 KK 4. Panembahan,Kraton 10 kelompok/100 KK 5. Kadipaten, Kraton 5 kelompok/50 KK 6. Patangpuluhan,Wirobrajan 10 kelompok/100 KK 7. Demangan, Gondomanan 10 kelompok/100 KK Sumber : Dinas Sosial Provinsi DIY, 2010 Data Dinas Sosial dan Transmigrasi Kota Yogyakarta sampai pada tahun 2015
jumlah
KUBE
yang ada
tercatat
sebanyak
509
kelompok.
(www.republika.co.id,2015). Dalam pelaksanaan program KUBE juga didukung dan difasilitasi dengan pendamping. Namun keberadaan pendamping dalam implementasi program KUBE masih mengalami permasalahan. Laporan penelitian Haryati dkk (2011), Mujiyadi dkk (2009) dan Suradi dkk (2007) tentang penanggulangan kemiskinan di beberapa provinsi di Indonesia memamparkan
6
masalah yang terjadi dalam pendampingan : 1) Mujiyadi dkk (2009) memaparkan bahwa dalam aspek konteks pedoman bagi pelaksana program, pendamping dan warga binaan kurang mudah dipahami sehingga pencapaian hasil KUBE belum optimal. Dari aspek input pelatihan pendamping belum mampu memberikan pengetahuan dalam pendampingan sosial sehingga pelaksanaan pendampingan menghadapi kendala. 2)
Laporan penelitian
Suradi dkk (2007) masalah serupa juga ditemukan yaitu aspek pelatihan pendamping
dirasakan
belum
memadai
dengan
kebutuhan,
belum
memberikan pengetahuan dan keterampilan sosial dalam pendampingan. Sedangkan dari aspek proses seleksi KUBE dan pendamping belum tepat, proposal tidak sesuai potensi lokal, dan kurangnya sosialisasi program. 3) Laporan Penelitian Haryati dkk (2011) masalah yang dihadapi pendamping diantaranya jumlah honor yang diterima tidak memadai dibanding dengan tugas yang diemban dan lamanya waktu bimbingan yaitu Rp 250,000,-/bulan selama 6 bulan. Terbatasnya kemampuan pendamping dalam bidang spesialisasi tertentu sehingga masukan masukan yang diberikan sangat terbatas dan ditambah dengan lemahnya SDM pendamping dan dukungan dari Lurah. Data permasalahan pendampingan dalam tiga penelitian yang berbeda menunjukkan bahwa terdapat perbedaaan aspek geografis, jenis usaha, latar belakang pendidikan, pemahaman tentang program ditambah dengan relasi, pemahaman terhadap pasar, perkembangan teknologi informasi sampai hal
7
yang bersifat personal seperti motivasi untuk berusaha menjadi permasalahan tersendiri yang dihadapi dalam program KUBE. Melihat arti
penting posisi dan peran pendamping dalam program
KUBE, penulis tertarik untuk meneliti dan mempelajari bagaimana kapasitas pendampingan KUBE dan mengkaji kendala-kendala yang mempengaruhi keberhasilan pendamping dalam melaksanakan tugas dengan mangambil kasus pendampingan KUBE di Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Yogyakarta. Merujuk kepada fungsi pendampingan yang dikemukakan oleh Ife (2008), penulis mencoba menganalisis kapasitas pendamping KUBE Dinsosnakertrans seperti tingkat pemahaman pendamping terhadap program, kemampuan dalam mendiasi dan negosiasi, kemampuan memberikan arahan, kemampuan membangun jaringan dan kemampuan komunikasi, sosialisasi serta motivasi pendamping. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana kapasitas pendamping KUBE Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Yogyakarta? 2. Apa kendala dalam proses pendampingan Kelompok Usaha Bersama (KUBE) di Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Yogyakarta ?
8
3. Apa indikator keberhasilan pendampingan KUBE Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Yogyakarta ? 1.3 Rumusan Tujuan Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan penelitian ini adalah: 1. Mengetahui kapasitas pendamping KUBE Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Yogyakarta. 2. Mengetahui kendala-kendala dalam pendampingan Kelompok Usaha Bersama (KUBE) di Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Yogyakarta. 3. Mengetahui indikator keberhasilan pendampingan KUBE Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Yogyakarta 1.4 Manfaat Penelitian 1.
Secara teoritis Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan evaluasi bagi program pemberdayaan
masyarakat
dalam
menghasilkan
dan
mengimplementasikan kegiatan pendampingan yang baik. 2. Secara Praktis a. Bagi Dinsosnakertrans Kota Yogyakarta, penelitian ini diharapkan menjadi bahan referensi, masukan maupun bahan evaluasi terhadap program
pengembangan
masyarakat
selanjutnya
agar
dapat
ditingkatkan dan semakin inovatif.
9
b. Bagi akademisi, penelitian ini bisa dijadikan referensi untuk melakukan penelitian lanjutan tentang community empowerment yang berhubungan kegiatan pendampingan. c. Bagi masyarakat, penelitian ini dapat dijadikan motivasi untuk berusaha mencapai tujuan bersama yaitu pengurangan angka kemiskinan di Indonesia pada umumnya dan DIY pada khususnya.
10