BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1.
Lokasi Penelitian Penelitian ini mengambil lokasi di Kabupaten Lebak. Pertimbangan
pemilihan lokasi ini adalah karena Kabupaten Lebak adalah salah kabupaten yang memisahkan diri pada tahun 2000 dan membentuk Propinsi Banten, dengan segala permasalahan yang masih sangat kompleks. Salah satunya adalah permasalahan kemiskinan dan ketimpangan yang tinggi. Akibatnya adalah pemerintah yang ada dituntut
untuk
dapat
menangkap
orientasi
pengembangan
wilayah
dan
mengoptimalkan potensi wilayah yang ada serta menghilangkan atau menurunkan permasalahan wilayah yang ada. Gambar 3.1. berikut adalah lokasi dari penelitian yang akan dilakukan:
Gambar 3.1. Peta administrasi Kabupaten Lebak
40
3.2.
Data Dan Sumber Data Data yang diperlukan dalam penelitian ini terbagi menjadi dua tipe yaitu: a.
Data sekunder terdiri dari data sosial seperti jumlah penduduk miskin (jiwa), jarak ke pusat kegiatan (km), jumlah petani (jiwa), pasangan usia subur (jiwa), jarak ke puskesmas terdekat (km), jumlah industri, topografi, luas wilayah (km2), kepadatan penduduk (jiwa/km2), jumlah petani (jiwa), jarak ke pasar (km), jarak ke SMA (km), jarak ke SMK (km), dan peta administrasi Kabupaten Lebak. Data yang diperlukan diambil dari data PODES tahun 2000, 2003, dan 2006. Data diperoleh dari BPS Propinsi Banten dan BPS Kabupaten Lebak.
b.
Data kelembagaan dalam bentuk RPJPD Kabupaten Lebak tahun 2008-2028, RPJMD Kabupaten Lebak tahun 2009-2014, dan RTRW Kabupaten Lebak tahun 2008-2028. Data diperoleh dari BPS Kabupaten Lebak dan Bappeda Kabupaten Lebak.
3.3.
Batasan Penelitian Dalam penelitian ini dibatasi pada kemiskinan yang dilihat dari sisi spasial,
yaitu melihat bagaimana pola sebaran kemiskinan di Kabupaten Lebak dihubungkan dengan unsur kedekatan antar desa. Variabel yang dipakai dalam penelitian ini adalah jumlah penduduk miskin, jarak ke pusat kegiatan, jumlah petani, pasangan usia subur, jarak ke puskesmas terdekat, jumlah industri, topografi, luas wilayah, kepadatan penduduk, jumlah petani, jarak ke pasar, jarak ke SMA, dan jarak ke SMK. Variabel tersebut diperoleh dari data-data yang ada pada data PODES. Sehingga data mengenai jumlah penduduk miskin merupakan proksi dari variabel jumlah masyarakat pra sejahtera I dan II. Selain itu, unsur kedekatan disini ditunjukkan dalam bentuk matriks kontiguitas (Matriks Wdij), yang digunakan sebagai pengkali terhadap variabel yang dianggap mempunyai unsur spasial.
41
3.4.
Definisi Operasional Variabel Operasionalisasi variabel yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat
dalam tabel dan penjelasan berikut: Tabel 3.1 Operasionalisasi Variabel No
Variabel
Batasan Pengertian
Simbol
Satuan
1.
Tingkat Kemiskinan Desa ke-i1)
Tingkat kemiskinan yang terjadi pada masyarakat desa ke-i pada tahun tertentu.
Yi
jiwa
2.
Penduduk2)
- Persentase Jumlah Penduduk Miskin pada tahun 2000, 2003, 2006 - Tingkat kepadatan penduduk miskin3).
Xi
% / jiwa
Xi
Jiwa /km2
3.
Matriks Kontiguitas4)
Matriks yang menyatakan ukuran analisis spasial yang menyatakan kedekatan desa i dan j.
Wdij
-
4.
Indeks Moran
Salah satu metode dalam analisis autokorelasi spasial
I
-
5.
Indeks Geary
Salah satu metode dalam analisis autokorelasi spasial
C
-
6.
Desa
Jumlah desa dalam wilayah penelitian
n
-
7.
Jarak desa
Merupakan jarak desa ke-i ke pusat kegiatan
Ln_Jrki
km
8.
Pasangan usia subur
Jumlah pasangan usia subur
Ln_Psgni
jiwa
9.
Spasial jumlah penduduk5)
Kedekatan dengan konsentrasi jumlah penduduk
Ln_WdijPdki
-
10. Topografi
Topografi (dummy), 1 adalah datar dan 0 adalah berbukit-bukit
Ln_Topi
-
11. Jumlah petani
jumlah petani di suatu desa pada tahun ke-i
Ln_Ptni
jiwa
12. Jarak SMK
Jarak desa ke SMK terdekat
Ln_JrSMKi
-
13. Spasial pasar6)
kedekatan dengan jarak pasar
Ln_WdijJrPs ri
-
jarak
14. Jarak puskesmas
jarak desa ke puskesmas terdekat
Ln_Jr Pskmsi
km
15. Spasial jumlah industri7)
kedekatan dengan jumlah industri
Ln_WdijIndsi
-
16. Spasial luas8)
kedekatan dengan luas wilayah
Ln_WdijLsi
-
17. Jarak SMA
jarak desa ke SMA terdekat
Ln_JrSMAi
km
42
Keterangan: 1)
Tingkat kemiskinan desa ke-i adalah penggabungan dari jumlah keluarga Pra Sejahtera dan Pra Sejahtera 1 yang ada pada data PODES tahun 2000, 2003, dan 2006.
2)
Penduduk, dalam variabel penduduk ini dipergunakan persentase jumlah penduduk miskin dan tingkat kepadatan penduduk miskin. Untuk kepadatan penduduk miskin diperoleh dengan formulasi:
3)
Tingkat Kepadatan Penduduk Miskin =
Jumlah Penduduk Miskin dengan Luas Wilayah
satuan
(jiwa/km2). 4)
Matriks Kontiguitas adalah matriks yang entri-entrinya adalah nilai pembobotan yang diberikan untuk perbandingan antar daerah. Matriks Kontiguitas merupakan matriks invers yang distandarisasi dengan didasarkan pada data dari nilai centroid dari tiap desa terhadap pusat kegiatan dari kabupaten yang membawahi.
5)
Kedekatan dengan konsentrasi jumlah penduduk = (
6)
Kedekatan dengan jarak pasar = (
7)
Kedekatan dengan jumlah industri = (
8)
Kedekatan dengan luas wilayah = (
3.5.
1 x Pdki) d ij − 1
1 x JrPsri) d ij − 1
1 x Indsi) d ij − 1
1 x Lsi) d ij − 1
Kerangka Pemikiran Persoalan kemiskinan adalah suatu permasalahan yang sudah ada sejak
dahulu.
Kemiskinan
biasanya
digambarkan
dengan
keterbelakangan
dan
ketertinggalan. Dari ukuran kehidupan modern pada masa kini mereka tidak menikmati fasilitas pendidikan, pelayanan kesehatan, dan kemudahan-kemudahan lainnya yang tersedia. Dalam penelitian ini, isu mengenai kemiskinan menjadi dasar utama. Kondisi nyata yang terjadi di masyarakat dengan segala permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat dengan bermuara pada masalah kemiskinan. Kemiskinan adalah fenomena yang begitu mudah ditemukan di mana-mana. Fakta kemiskinan baik menyangkut individu maupun masyarakat akan mudah dilihat, walaupun baru sekedar persepsi atau penilaian kualitatif. Kemiskinan dari sisi ekonomi dan waktu sangat berfluktuasi dan sangat rentan terhadap gejolak ekonomi makro, guncangan politik, dan sebab lain. Walaupun jumlah penduduk
43
miskin di suatu waktu menurun, pada sebagian orang hanya sesaat saja dan akan kembali miskin apabila ada guncangan. Persebaran dari kemiskinan yang terjadi pada suatu kawasan bisa membentuk suatu pola karakteristik dari persebaran kemiskinan yang sering disebut dengan kantong kemiskinan. Salah satu fenomena yang muncul adalah semakin jauh suatu tempat dari titik pertumbuhan (growth centre) akan semakin tingkat kemiskinan penghuninya. Titik pertumbuhan itu sendiri biasanya berlokasi di perkotaan yang merupakan pusat administrasi pemerintahan, pusat perdagangan, serta pusat dari berbagai fasilitas sosial dan ekonomi. Selain itu persebaran dari kantong kemiskinan dapat diklasifikasikan berdasarkan pada karakteristik dan ciri dari kantong kemiskinan tersebut, yaitu: 1) Daerah Terpencil (Remote Area) yaitu daerah yang jauh dari titik pertumbuhan yang hampir tidak/belum tersentuh oleh pembangunan. 2) Daerah Perdesaan (Rural Area), secara relatif daerah perdesaan lebih miskin dari daerah perkotaan. Lebih spesifik lagi, yang dimaksud dengan daerah perdesaan di sini adalah daerah yang basis perekonomiannya dari sektor pertanian. 3) Daerah Pinggiran Kota (Sub-urban Area). Masyarakatnya dapat dikategorikan berpenghasilan menengah ke bawah yang rentan perekonomiannya dan potensial untuk menjadi miskin. 4) Daerah Kumuh Perkotaan (Urban Slum). Penghuni daerah kumuh perkotaan ini biasanya kaum migran. Ada dua kondisi yang menyebabkan kemiskinan bisa terjadi, yakni kemiskinan alamiah dan karena buatan. Kemiskinan alamiah terjadi antara lain akibat sumber daya alam yang terbatas, penggunaan teknologi yang rendah dan bencana alam. Kemiskinan buatan terjadi karena lembaga-lembaga yang ada di masyarakat membuat sebagian anggota masyarakat tidak mampu menguasai sarana ekonomi dan berbagai fasilitas lain yang tersedia, hingga mereka tetap miskin. Maka itulah sebabnya para pakar ekonomi sering mengkritik
kebijakan
pembangunan yang melulu terfokus pada pertumbuhan ketimbang pemerataan. Berbagai persoalan kemiskinan penduduk memang menarik untuk disimak dari berbagai aspek, sosial, ekonomi, psikologi dan politik. Aspek sosial terutama akibat terbatasnya interaksi sosial dan penguasaan informasi. Aspek ekonomi akan tampak pada terbatasnya pemilikan alat produksi, upah kecil, daya tawar rendah, tabungan nihil, lemah mengantisipasi peluang. Dari aspek psikologi terutama
44
akibat rasa rendah diri, fatalisme, malas, dan rasa terisolir. Sedangkan, dari aspek politik berkaitan dengan kecilnya akses terhadap berbagai fasilitas dan kesempatan, diskriminatif, posisi lemah dalam proses pengambil keputusan. Substansi penelitian ini bertujuan untuk menjawab 3 (tiga) pertanyaan penelitian mengenai permasalahan kemiskinan yang terjadi di Kabupaten Lebak. Permasalahan pertama yang ditinjau dalam penelitian ini adalah adanya isu mengenai adanya kantong kemiskinan yang terjadi di Kabupaten Lebak. Untuk mengetahui bagaimana pola dari kantong kemiskinan yang terjadi dilakukan analisis visual spasial diskriptif, yaitu dengan melakukan pemetaan terhadap variabel persentase jumlah penduduk miskin dan tingkat kepadatan penduduk miskin serta gabungan dari kedua variabel tersebut yang terjadi di Kabupaten Lebak. Penggunaan data PODES untuk analisis autokorelasi spasial dengan Indeks Geary dan Moran sebagai alat analisisnya dimaksudkan untuk memperkuat pola spasial kemiskinan tingkat desa di Kabupaten Lebak yang dihasilkan dari analisis visual spasial diskriptif. Dari hasil pengolahan indeks ini akan terlihat pola spasial persebaran kemiskinan yang terjadi, apakah mengelompok, menyebar atau random. Setelah diketahui pola sebaran dari kantong kemiskinan yang terjadi di Kabupaten Lebak, maka langkah selanjutnya adalah menganalisis faktor yang menyebabkan munculnya kemiskinan di Kabupaten Lebak. Penyebab kemiskinan di Kabupaten Lebak dalam penelitian ini di bagi menjadi 4 kategori, yaitu: pertama, faktor karakteristik wilayah. Kedua, karakteristik struktur ekonomi dan sosial. Ketiga, sarana dan prasarana. Keempat, dari sisi sumber daya manusia. Identifikasi analisis dari faktor penyebab kemiskinan yang terjadi dilakukan melalui suatu analisis regresi spasial. Penggunaan analisis regresi spasial dimaksudkan untuk mengetahui faktor penyebab kemiskiskinan di Kabupaten Lebak selain dari faktor yang disebutkan dalam kategori diatas, juga melihat dari unsur kedekatan antar daerah (desa) di Kabupaten Lebak. Unsur kedekatan disini ditunjukkan dalam bentuk matriks kontiguitas (Matriks Wdij), yang digunakan sebagai pengkali terhadap variabel yang dianggap mempunyai unsur spasial. Hasil dari perhitungan autokorelasi spasial dengan menggunakan Indeks Geary dan Moran, dan regresi spasial dihubungkan dengan kebijakan-kebijakan yang berlaku di Kabupaten Lebak. Kebijakan ini dalam bentuk RPJPD, RPJMD,
45
dan RTRW. Dalam langkah ini, yang dilihat adalah apakah hasil dari pemetaan dan perhitungan dalam regresi spasial sudah mendukung atau sesuai dengan langkah kebijakan penanggulangan kemiskinan yang dilakukan oleh pemerintah daerah Kabupaten Lebak. Setelah sebaran dan faktor penyebab kemiskinan diketahui, maka diharapkan pemerintah mampu membuat suatu kebijakan yang mendukung pengentasan kemiskinan yang terjadi. Kebijakan di sini diharapkan mampu menjawab harapan dari masyarakat. Jika melihat dari masih banyak faktor yang menjadi penyebab dari munculnya kemiskinan masyarakat, dengan masing-masing karakteristik dari persebaran kemiskinan yang terjadi antar wilayah yang tidak sama, maka sewajarnya pemerintah yang berwenang mampu menetapkan suatu kebijakan penanganan kemiskinan dengan mulai mempertimbangkan karakteristik dari tiap kemiskinan yang terjadi. Diagram kerangka pemikiran dan matriks analisis penelitian dapat dilihat pada Gambar 3.2 dan Tabel 3.2. Kondisi Permasalahan Masyarakat
Kemiskinan
Faktor penyebab : - Karakteristik wilayah - Struktur ekonomi dan sosial - Sarana prasarana - SDM
Karakteristik Persebaran Kemiskinan
• Daerah Terpencil (Remote Area) • Daerah Pedesaan (Rural Area) • Daerah Pinggiran Kota (Suburban Area) • Daerah Kumuh Perkotaan (Urban Slum)
Rekomendasi Kebijakan : Bentuk Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan
Gambar 3.2. Kerangka Pemikiran
46
Tabel 3.2. Matriks Analisis Penelitian No 1
2
3
3.6.
Tujuan
Jenis dan Sumber Keluaran Data Menganalisis Data PODES • Pola • Spasial spasial pola spasial Lebak persebaran Autocorrelation Kabupaten sebaran Tahun 2000, 2003, kemiskinan (Geary’s kemiskinan di &Moran Index) dan 2004. Kabupaten • Analisis visualSumber : BPS Lebak. spasial deskriptif Menganalisis faktor-faktor penyebab kemiskinan Kabupaten Lebak.
Metode Analisis
Regresi spasial
di
Menganalisis kebijakan pemerintah daerah untuk pengentasan kemiskinan
Data PODES Kabupaten Lebak Tahun 2000, 2003, dan 2006.
Faktor-faktor spasial dan non spasial yang mempengaruhi kemiskinan
Sumber : BPS Analisis Deskriptif mengenai: • Strategi dan arah kebijakan pembangunan • Kendala yang dihadapi • Ketercapaian
RTRW • Data Tahun 2008-2028 • Data RPJPD Tahun 2008-2028 • RPJMD Tahun 2009-2014
Rekomendasi kebijakan dihubungkan dengan hasil analisis.
Sumber : Bappeda
Hipotesis Penelitian Berdasarkan latar belakang permasalahan dan kerangka pemikiran serta
tinjauan pustaka yang diuraikan sebelumnya, maka hipotesis yang bisa dibangun dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a.
Diduga persebaran kemiskinan desa yang terjadi di Kabupaten Lebak mempunyai pola mengelompok membentuk kantong kemiskinan.
b.
Diduga faktor penyebab dari munculnya kemiskinan berupa karakteristik struktur sosial ekonomi, struktur kewilayahan, kualitas sarana dan prasarana, serta kualitas SDM yang ada.
c.
Diduga kebijakan yang diambil pemerintah dalam usaha pengentasan kemiskinan adalah kebijakan yang bersifat kewilayahan, dan faktor penyebab kemiskinan menjadi prioritas utama dalam penanganannya.
47
3.7.
Model dan Alat Analisis
a.
Analisis Pola Spasial Sebaran Kemiskinan Analisis kemiskinan di wilayah perdesaan dilakukan dengan analisis
autokorelasi spasial dan menggunakan data PODES Kabupaten Lebak. Dalam analisis autokorelasi spasial ini menggunakan dua pendekatan, yaitu: 1.
Indeks Moran Untuk menghitung Indeks Moran, terlebih dahulu harus membuat contiguity matrix. Pembobotan tersebut didasarkan pada hubungan spasial antar daerah. Dengan menetapkan bahwa hubungan spasial antar daerah mengikuti Queen’s Moves, yaitu hubungan kedekatan desa satu dengan desa lain secara administratif dan saling berbatasan. Selain itu, juga melihat hubungan antar desa yang letaknya tidak berdekatan dan tidak berbatasan. Selanjutnya
dilakukan pengujian hipotesis dengan membuat sebuah
matriks Wij yang terstandarisasi dengan didasarkan pada data dari nilai centroid dari tiap-tiap desa terhadap pusat kegiatan dari kabupaten yang membawahinya . Formulasi umum dari Indeks Moran adalah (Arlinghaus, 1996):
I=
n x S0
n n ∑ ∑ W ( x − x )( x − x ) ij i i j i =1 j =1 n
∑ (x i =1
n
− x)
2
i
n
Dengan nilai S o = ∑∑Wij i =1 j =1
Di mana : I : Indeks Moran Wij : indeks/ukuran analisis spasial yang menyatakan kedekatan desa i dan j n : banyaknya desa xi : % jumlah KK miskin desa ke-i atau kepadatan penduduk KK miskin desa ke-I (KK/km2) xj : % jumlah KK miskin desa ke-j atau kepadatan penduduk KK miskin desa ke-j (KK/km2)
48
Di dalam perhitungan Indeks Moran ini dilakukan untuk dua variabel, yaitu perhitungan dengan menggunakan variabel persentase jumlah KK miskin desa ke-i dan variabel tingkat kepadatan penduduk KK miskin desa ke-i. Dalam penentuan hubungan spasial yang ada dalam Indeks Moran ini didasarkan pada hipotesis pembobotan sebagai berikut: Jika Indeks (I) mendekati 1 positif (+), maka berarti spatial autocorrelation positive. Atau bisa dikatakan variabel persentase jumlah KK miskin dan variabel tingkat kepadatan penduduk KK miskin cenderung mengelompok (cluster). Jika Indeks (I) mendekati 1 negatif (-), maka berarti spatial autocorrelation negative. Atau bisa dikatakan bahwa variabel persentase jumlah KK miskin dan variabel tingkat kepadatan penduduk KK miskin cenderung menyebar. Jika Indeks (I) = −
1 , maka Indeks tersebut bersifat random. Jika n −1
dimisalkan jumlah n adalah 100, maka yang terjadi adalah −
1 1 = − . Jumlah n yang tidak diperkenankan dalam 100 − 1 99
hipotesis ketiga ini adalah dengan jumlah n = 2. Karena yang terjadi adalah −
1 1 = − = - 1. Dengan nilai Indeks = -1, maka indeks 2 −1 1
akan bersifat spatial autocorrelation negative. Dengan variabel n yang semakin besar, maka nilai I akan mendekati nol (0). Data yang dipakai dalam Indeks Moran ini adalah data mengenai persentase jumlah KK miskin (%/jiwa) pada tahun 2000, 2003, dan 2003. Selain itu digunakan juga data mengenai tingkat kepadatan penduduk KK miskin (jiwa/km2) pada tahun 2000, 2003, dan 2006.
2.
Indeks Geary
Indeks Geary digunakan untuk melihat otokorelasi dari ukuran spasial. Seperti otokorelasi, otokorelasi spasial berarti bahwa terdapat kesamaan fenomena dan diantara keduanya saling berkorelasi. Namun, otokorelasi
49
disini lebih melihat kedekatan dari segi
waktunya. Spasial otokorelasi
adalah tentang kedekatan dalam (dua-dimensi) ruang. Formulasi umum dari Indeks Geary adalah (Arlinghaus, 1996): n n 2 ∑ ∑ W (x − x ) j ij i n −1 i = 1 j = 1 C= x n 2S 0 2 ∑ ( xi − x ) i =1
n
n
Dengan nilai S o = ∑∑Wij i =1 j =1
Di mana: C : Indeks Geary Wij : Indeks/ukuran analisis spasial yang menyatakan kedekatan desa i dan j n : banyaknya desa xi : % jumlah KK miskin desa ke-i atau kepadatan penduduk KK miskin desa ke-i xj : % jumlah KK miskin desa ke-j atau kepadatan penduduk KK miskin desa ke-j Sama halnya dengan perhitungan dalam Indeks Moran, dalam Indeks Geary juga dilakukan perhitungan untuk dua variabel, yaitu perhitungan dengan menggunakan variabel persentase jumlah KK miskin desa ke-i dan variabel kepadatan penduduk KK miskin desa ke-i. Data yang digunakan dalam analisis Indeks Geary ini sama dengan data yang digunakan dalam Indeks Moran. Dalam penentuan hubungan spasial antara desa i dan j yang ada dalam Indeks Geary ini didasarkan pada hipotesis pembobotan sebagai berikut: Jika Indeks (I) mendekati 0 positif (+), maka berarti spatial autocorrelation positive. Atau bisa dikatakan bahwa variabel
persentase jumlah KK miskin dan variabel tingkat kepadatan penduduk KK miskin cenderung bersifat mengelompok (cluster). Jika Indeks (I) mendekati 2 negatif (-), maka berarti spatial autocorrelation negative. Atau bisa dikatakan bahwa variabel
persentase jumlah KK miskin dan variabel tingkat kepadatan penduduk KK miskin cenderung bersifat menyebar.
50
Jika Indeks (I) mendekati 1, maka Indeks tersebut bersifat random
b.
Analisis Faktor Faktor Penyebab Kemiskinan
1.
Regresi Spasial
Model regresi yang melibatkan pengaruh spasial disebut dengan model regresi spasial. Ketika nilai observasi di suatu lokasi bergantung pada nilai observasi di lokasi sekitarnya, dikatakan ada spatial autocorrelation. Data spasial mungkin menunjukkan spatial autocorrelation dalam variabel dan galat (error). Salah satu pengaruh spasial yaitu autokorelasi spasial. Dalam penelitian ini, unit analisis yang akan digunakan adalah tingkat desa yang ada di Kabupaten Lebak. Formulasi umum regresi spasial yang terbentuk adalah (LeSage, 1999):
Yi = ρ + Wβ1 X 1 + β 2 X 2 + ε Dalam penelitian ini, dipergunakan matriks Wdij yaitu suatu ukuran analisis spasial yang menyatakan kedekatan desa i dan j. Dalam penelitian ini model yang digunakan sudah dimodifikasi menyesuaikan dengan jumlah variabel yang ada, sehingga modelnya menjadi: Yi = ρ + β1 Ln _ Jrk i + β 2 Ln _ P sgn i + β 3 Ln _ Wd ij Pdk i + β 4 Ln _ Top i + β 5 Ln _ Ptni + β 6 Ln _ JrSMK i + β 7 Ln _ Wd ij JrPsri + β 8 Ln _ JrPskmsi + β 9 Ln _ Wd ij Indsi + β 10 Ln _ Wd ij Ls i + β 11 Ln _ JrSMAi Di mana : Yi Wdij
: : :
Ln_Jrki
:
Ln_Psgni
:
tingkat kemiskinan unit desa ke-i (jiwa) intersep ukuran kedekatan spasial yang menyatakan kedekatan 1 desa i dan j. Dimana Wdij = d ij − 1 jarak dari desa ke-i ke pusat kegiatan yaitu Rangkasbitung (km) pasangan usia subur (jiwa)
51
2.
Ln_WdijPdki
:
kedekatan dengan konsentrasi jumlah penduduk atau 1 ( x Pdki) d ij − 1
Ln_Topi
:
Ln_Ptni Ln_JrSMKi
: :
Ln_WdijJrPsri
:
topografi (dummy), 1 adalah datar dan 0 adalah berbukit-bukit jumlah petani (jiwa) jarak desa ke SMK terdekat (km) 1 kedekatan dengan jarak pasar, atau ( x JrPsri) d ij − 1
Ln_Jr Pskmsi
:
jarak desa ke puskesmas terdekat (km)
Ln_WdijIndsi
:
kedekatan dengan jumlah industri, atau (
Ln_WdijLsi
:
kedekatan dengan luas wilayah, atau (
Ln_JrSMAi
:
jarak desa ke SMA terdekat (km)
1 x Indsi) d ij − 1
1 x Lsi) d ij − 1
Uji Multikolonieritas
Uji multikolonieritas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi ditemukan adanya korelasi antar variabel bebas (independen). Model regresi yang baik seharusnya tidak terjadi korelasi di antara variabel independen. Jika variabel independen saling berkorelasi, maka variabelvariabel ini tidak ortogonal. Variabel ortogonal adalah variabel independen yang nilai korelasi antar sesama variabel independen sama dengan nol. Untuk mendeteksi ada atau tidaknya multikolonieritas di dalam model regresi adalah sebagai berikut: a.
Nilai R2 yang dihasilkan oleh suatu estimasi model regresi empiris yang sangat tinggi, tetapi secara individual variabel-variabel independen banyak yang tidak signifikan mempengaruhi variabel dependen.
b.
Menganalisis matriks korelasi variabel-variabel independen. Jika antar variabel independen ada korelasi yang sangat tinggi (umumnya di
atas
0.90),
maka
hal
ini
merupakan
indikasi
adanya
multikolonieritas. Tidak adanya korelasi yang tinggi antar variabel independen
tidak
berarti
bebas
dari
multikolonieritas.
52
Multikolonieritas dapat disebabkan adanya efek kombinasi dua atau lebih variabel independen. c.
Multikolonieritas dapat juga dilihat dari (1) nilai toleransi dan lawannya (2) variance inflation factor (VIF). Kedua ukuran ini menunjukkan setiap variabel independen manakah yang dijelaskan oleh variabel independen lainnya. Dalam pengertian sederhana setiap variabel independen menjadi variabel dependen (terikat) dan diregres terhadap
variabel
independen
lainnya.
Toleransi
mengukur
variabilitas variabel independen yang dipilih yang tidak dijelaskan oleh variabel independen lainnya. Jadi nilai tolerance yang rendah sama dengan nilai VIF tinggi (karena VIF = 1/tolerance). c.
Sistem Informasi Geografis
Sistem Informasi Geografis (Geographic Information System/GIS) yang selanjutnya akan disebut SIG merupakan sistem informasi berbasis komputer yang digunakan untuk mengolah dan menyimpan data atau informasi geografis. SIG mempunyai kemampuan untuk menghubungkan berbagai data pada suatu titik tertentu di bumi, menggabungkannya, menganalisa dan akhirnya memetakan hasilnya. Data yang diolah pada SIG merupakan data spasial yaitu sebuah data yang berorientasi geografis dan merupakan lokasi yang memiliki sistem koordinat tertentu, sebagai dasar referensinya. Sehingga aplikasi SIG dapat menjawab beberapa pertanyaan seperti: lokasi, kondisi, tren, pola, dan pemodelan. Dalam penelitian ini SIG diaplikasikan untuk melihat lokasi, trend, dan pola dari sebaran kemiskinan yang terjadi di Kabupaten Lebak. Dalam penelitian ini, ada beberapa langkah yang dilakukan diantaranya adalah: a.
Menentukan nilai untuk variabel persentase jumlah KK miskin dan tingkat kepadatan penduduk KK miskin di Kabupaten Lebak.
b.
Menampilkan nilai dari variabel persentase jumlah KK miskin dan tingkat kepadatan penduduk KK miskin di Kabupaten Lebak dalam analisis visual spasial deskriptif.
c.
Dalam penelitian ini juga dilakukan overlay untuk kombinasi dari variabel persentase jumlah KK miskin dan tingkat kepadatan penduduk KK miskin
53
di Kabupaten Lebak. Overlay dimaksudkan untuk melihat kategori kelas persebaran kemiskinan di Kabupaten Lebak. Kategorisasi dimaksudkan untuk menentukan prioritas dari kebijakan yang akan diambil oleh pemerintah. d.
Langkah awal adalah dengan membagi data tabular ke dalam kelas.
e.
Cara yang diambil untuk melakukan pembagian kelas variabel dilakukan dengan didasarkan pada pola data (Lampiran 1).
Pembagian kelas dalam analisis ini ditunjukkan oleh Tabel 3.3 Tabel 3.3. Pembagian Kelas Variabel Persentase Jumlah KK Miskin Kode J1 J2 J3 J4
Kelas Sedikit Sedang Banyak Sangat Banyak
Tingkat Kepadatan Penduduk KK Miskin Kode Kelas K1 Rendah K2 Sedang K3 Tinggi K4 Sangat Tinggi
Selain didasarkan pada pola data yang ada, kriteria dari pengklasifikasian menjadi 4 kelas dalam program ArcGis 9.2 juga didasarkan pada 5 metode pengklasifikasian yaitu: •
Equal Area, yaitu metode pengklasifikasian dengan jumlah luas kawasan (area) dengan kriteria sama mempunyai luas yang sama.
•
Equal Interval, yaitu metode pengklasifikasian dengan jumlah luas kawasan (area) dengan kriteria sama dan interval yang sama.
•
Natural Break adalah metode pengklasifikasian dengan didasarkan pada pola homogenitas (cluster) dari suatu data tabular.
•
Quantile, yaitu metode pengklasifikasian pembagian luas suatu kawasan dengan membagi menjadi 4 luasan.
•
Standard Deviation, yaitu metode membagi kelas dengan cara menambah mean dan 1st Standard Deviation untuk kelas 1, mean dan 2x Standard Deviation, dst.
54
Dari lima metode diatas, dengan metode trial and error kepada tiap-tiap metode akan diketahui hasil yang terbaik. Hasil yang paling baik itulah yang menjadi dasar dari pemilihan metode kriteria pengklasifikasian kelas. f.
Langkah selanjutnya adalah melakukan overlay, yaitu penggabungan antara variabel persentase jumlah KK miskin dan tingkat kepadatan penduduk KK miskin di Kabupaten Lebak. Overlay ini dilakukan untuk mengetahui kelompok pembagian kemiskinan desa.
g.
Setelah dilakukan overlay, langkah selanjutnya adalah penentuan kelas kebijakan dalam hal ini didasarkan pada matriks berikut ini: 2
Tingkat Kepadatan Penduduk KK Miskin (KK/km ) KELAS SEDIKIT Persentase Jumlah KK Miskin (%/jiwa)
(J1) SEDANG (J2) BANYAK (J3) SANGAT BANYAK (J4)
RENDAH (K1)
SEDANG (K2)
TINGGI (K3)
(J1 K1) 1
(J1 K2) 2
(J1 K3) 3
SANGAT TINGGI (K4) (J1 K4) 4
(J2 K1) 5
(J2 K2) 6
(J2 K3) 7
(J2 K4) 8
(J3 K1) 9
(J3 K2) 10
(J3 K3) 11
(J3 K4) 12
(J4 K1) 13
(J4 K2) 14
(J4 K3) 15
(J4 K4) 16
Prioritas 4 Prioritas 3 Prioritas 2 Prioritas 1
Gambar 3.3. Matriks Pembagian Kelas Kemiskinan Desa Berdasarkan Persentase Jumlah KK Miskin dan Tingkat Kepadatan Penduduk KK Miskin. Kelas kategori yang menjadi prioritas 1 dari kebijakan adalah kelas 16 (J4 K4) dengan warna merah. Yaitu persentase jumlah KK miskin sangat banyak dan tingkat kepadatan penduduk KK miskin sangat tinggi. Kemudian priortitas yang kedua adalah kelas 11 (J3 K3), kelas 12 (J3 K4), kelas 15 (J4 K3). Selanjutnya adalah kelompok kelas prioritas ketiga, yaitu kelas 6 (J2 K2), kelas 7 (J2 K3), kelas 8 (J2 K4), kelas 10 (J3 K2), dan
55
kelas 14 (J4 K2). Prioritas terakhir adalah kelompok prioritas 4, yaitu kelas 2 (J1 K2), kelas 3 (J1 K3), kelas 4 (J1 K4), kelas 5 (J2 K1), kelas 9 (J3 K1), dan kelas 13 (J4 K1). Dengan diketahuinya pemusatan dari kantong kemiskinan di Kabupaten Lebak, diharapkan kebijakan yang diambil oleh pemerintah daerah mampu mengakomodir dan memberlakukan penanganan kemiskinan berdasarkan pada karakteristik kemiskinan yang terjadi pada masing-masing daerah (desa) tersebut. h.
Untuk lebih memudahkan dalam melihat komposisi dari pembagian prioritas kebijakan terhadap persebaran kantong kemiskinan yang terjadi di Kabupaten Lebak maka pembagian cluster peta didasarkan komposisi pembagian warna prioritas kebijakan seperti terlihat dalam pada Tabel 3.4.
Tabel 3.4. Komposisi Pembagian Warna Prioritas Kebijakan Prioritas
Warna
Prioritas 1 Prioritas 2 Prioritas 3
Setelah diketahui komposisi desa-desa yang termasuk dalam pembagian kelompok prioritas kebijakan, maka pemerintah dapat dengan mudah menentukan desa manakah yang menjadi pusat pembentukan kantong kemiskinan. Dengan harapan bahwa kebijakan yang diambil oleh pemerintah mampu melihat karakteristik kemiskinan yang selama ini menjadi masalah dalam setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah.
d.
Analisis Deskriptif Kebijakan Pemerintah untuk Penanggulangan Kemiskinan di Kabupaten Lebak.
Analisis
deskriptif
adalah
suatu
metode
yang
berkaitan
dengan
pengumpulan dan penyajian suatu gugusan data, sehingga memberikan informasi yang berguna (Idrus, 2009). Analisis deskriptif ini pada dasarnya adalah pendeskripsian suatu proses yang mencakup upaya penelusuran dan pengungkapan
56
informasi yang relevan terkandung dalam data. Dalam penelitian ini, yang dilakukan
adalah
mendeskriptifkan
mengenai
penggambaran
kebijakan
penanggulangan kemiskinan yang dilakukan oleh pemerintah daerah di Kabupaten Lebak. Penggambaran kebijakan penanggulangan kemiskinan yang dilakukan oleh pemerintah daerah Kabupaten Lebak dengan melihat dan mendeskripsikan program-program dan isu yang ada dalam RPJPD Kabupaten Lebak Tahun 2008 – 2028, RPJMD Kabupaten Lebak Tahun 2009 – 2014, dan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Lebak Tahun 2008 – 2028. Selain itu kebijakan yang
diambil tersebut dihubungkan dengan hasil analisis autokorelasi spasial dalam Indeks Geary dan Moran, analisis visual deskriptif mengenai pola dari kemiskinan yang terbentuk serta faktor yang dianggap menjadi penyebab kemiskinan yang diketahui dari hasil analisis regresi spasial. Sehingga akan diketahui apakah hasil analisis dalam penelitian ini mendukung kebijakan yang diambil oleh pemerintah Kabupaten Lebak, dan dapat dijelaskan jenis kebijakan yang seharusnya diambil oleh pemerintah Kabupaten Lebak dalam upayanya untuk mengatasi masalah kemiskinan.