BAB III ANALISIS PERMASALAHAN Bab ini menjabarkan proses analisis serta hasil yang didapatkan pada tahap analisis. Pertama, analisis mengenai pembagian mood untuk menentukan bagaimana melodi dapat dikelompokkan berdasarkan kandungan mood. Kedua, analisis mengenai melodi dan feature-nya. Ketiga, analisis bagaimana mengaitkan karakteristik atau feature dengan pengaruhnya terhadap persepsi mood.
III.1
Analisis Klasifikasi Mood
Tujuan analisis ini adalah untuk menentukan pembagian klasifikasi persepsi mood musik yang akan digunakan pada tahap selanjutnya dari Tesis ini. Sebagai langkah awal, penentuan pembagian mood ini haruslah dilakukan dengan memperhitungkan langkah analisis selanjutnya sehingga tidak mempersulit pelaksanaan langkah selanjutnya. Pembagian mood ini juga harus cukup komprehensif sehingga dapat digunakan untuk dasar pengembangan selanjutnya. Atas dasar tersebut, maka kriteria pembagian mood yang akan ditentukan adalah sebagai berikut: 1. Sederhana Pembagian mood tersebut haruslah tidak kompleks, hanya terdiri dari sedikit kelompok mood yang masing-masing kelompok mudah dideskripsikan serta dibedakan satu sama lain. Walaupun hasilnya lebih spesifik dan detail, pembagian yang terlampau banyak akan membuat analisis menjadi lebih sulit untuk dilakukan. Pembagian mood dengan lebih detail dapat dilakukan pada pengembangan selanjutnya. 2. Perbedaan ekstrim Perbedaan antar satu kelompok mood dengan kelompok mood lainnya haruslah cukup besar, sehingga mempermudah mengelompokkan melodi ke dengan pembagian mood ini. Perbedaan ini dianalisis secara heuristik dari sudut pandang psikologi musik mengenai persepsi manusia, walaupun tidak menutup kemungkinan jika dilihat dari sudut pandang pengolahan data primitif melodi berupa nada-nada, dua kelompok mood yang berdekatan dipandang dari psikologi musik mengenai persepsi mood oleh manusia memiliki karakteristik sangat berlainan.
III–1
III–2
3. Cakupan penuh Jangkauan mood yang dicakup oleh pembagian mood tersebut haruslah mencakup seluruh, atau paling tidak sebagian besar, dari kemungkinan mood yang ada. Sehingga pada analisis tahap selanjutnya yang menggunakan contoh melodi, semua contoh melodi dapat dimasukkan dalam kelompok mood yang ada. Terdapat dua referensi model pembagian mood yang banyak digunakan, yaitu model Hevner/Farnsworth dan model Thayer (lihat II.2). Model yang berdasar pada model Hevner mencakup semua mood dengan mengumpulkan kata-kata sifat berkenaan dengan mood, kemudian mengelompokkannya menjadi beberapa cluster. Sedangkan model yang berbasis model Thayer memandang mood sebagai besaran dua dimensi. Model Hevner ini sederhana karena dengan mudah dapat dipahami. Model Hevner ini fleksibel, model yang diturunkan dari model ini dapat memiliki cluster sesuai dengan kebutuhan. Definisi masing-masing cluster mood ditentukan oleh kata sifat mood yang masuk dalam masing-masing cluster. Dengan memasukkan seluruh kata sifat yang ada ke semua cluster, model yang diturunkan dari model Hevner ini dapat memenuhi kriteria ketiga, cakupan penuh. Kriteria kedua, yaitu perbedaan yang ekstrim dapat didapatkan dengan memilih cluster serta memasukkan kata-kata sifat ke dalam cluster tersebut dengan tepat. Masalah ambiguitas yang disinggung pada bagian sebelumnya dapat diatasi dengan memilih sejumlah kecil cluster, seperti yang disarankan oleh Skowronek [SKO06]. Akan tetapi, dari pengamatan terhadap beberapa klasifikasi mood model Hevner, seperti yang dikemukakan Farnsworth (lihat Tabel II.2) dan klasifikasi pada MIREX 2007 (lihat Tabel II.3), ambiguitas ini bukanlah hal yang mudah untuk dihindari. Pada model Thayer, mood dipandang sebagai besaran dua dimensi, yaitu “stress” dan “energi” (atau dalam istilah yang digunakan oleh Yang [YAN07b] arousal dan valence). Thayer merumuskan empat cluster sesuai dengan tinggi rendahnya dua dimensi mood tersebut [LIU03a]. Tetapi tidak menutup kemungkinan dua dimensi tersebut dipandang benar-benar sebagai dua dimensi nilai mood. Pembagian mood menjadi dua dimensi tersebut memenuhi kriteria pertama, yaitu kesederhanaan. Dua dimensi mood yang dipaparkan dalam model ini gamblang dan mudah dimengerti. Dimensi arousal berhubungan dengan tingkat mood yang
III–3
ditimbulkan, serta dimensi valence berhubungan dengan mood yang ditimbulkan, positif atau negatif. Kriteria kedua bisa dicapai dengan melihat titik-titik ekstrim dari nilai kedua dimensi mood. Musik dengan nilai arousal yang tinggi dapat secara gamblang dibedakan dengan musik dengan nilai arousal yang rendah. Begitu pula musik dengan mood yang sangat positif dapat dibedakan dengan musik dengan mood yang sangat negatif. Sedangkan kriteria ketiga, yaitu ketercakupan sudah dipenuhi oleh model Thayer ini. Kombinasi kedua dimensi mood ini dapat mencakup semua kata sifat mood yang dirumuskan oleh Hevner dalam modelnya. Dengan asumsi bahwa daftar kata sifat mood Hevner cukup lengkap, maka model Thayer ini mencakup seluruh sifat mood yang ada. Berdasarkan analisis di atas, kedua model referensi utama tersebut dapat memenuhi ketiga kriteria pembagian mood. Tingkat pemenuhan kedua model referensi tersebut dapat dilihat pada Tabel III.1. Dengan model yang berbasis pada model Hevner, pemenuhan dua dari tiga kriteria penentuan pembagian mood bergantung pada perumusan cluster dari kata-kata sifat mood, yaitu kriteria perbedaan dan kriteria cakupan. Jika perumusan tersebut salah, maka kriteria tersebut tidak lagi dapat dipenuhi. Kriteria yang paling susah untuk dipenuhi adalah kriteria perbedaan, karena itu pada Tabel III.1, nilai pemenuhan model Hevner terhadap kriteria tersebut kurang. Tabel III.1. Tingkat pemenuhan tiga kriteria pemilihan model mood oleh model mood Hevner dan Thayer. Sederhana Perbedaan Cakupan
Hevner Terpenuhi Kurang Terpenuhi Sangat Terpenuhi
Thayer Terpenuhi Terpenuhi Terpenuhi
Berdasarkan analisis tersebut, pembagian mood yang dipilih berbasiskan pada model Thayer. Pembagian mood yang dipilih berdasarkan pada model yang dikemukakan Yang pada [YAN07b] yang berdasar model Thayer (lihat Gambar II.3). Keempat cluster model Thayer tersebut dibagi menjadi seperti pada Tabel III.2. Nilai tepat masing-masing dimensinya diabaikan, hanya dilihat letaknya pada model dua dimensi Thayer tersebut.
III–4
Tabel III.2. Rumusan pembagian mood dari Gambar II.3 Cluster 1
2
3
4
Deskripsi Arousal tinggi, valence positif Kelompok mood ini memiliki emosi yang positif, dengan tingkat mood yang ditimbulkan tinggi. Mood yang masuk pada cluster ini misalnya senang, lagu mars. Arousal tinggi, valence negatif Mood yang masuk pada kelompok ini memiliki tingkat mood yang ditimbulkan tinggi, dengan emosi yang negatif. Cemas, marah dan yang sejenisnya adalah contoh mood yang termasuk pada kelompok ini. Arousal rendah, valence negatif Mood dengan emosi yang negatif dan tingkat mood rendah mencakup sedih, bosan, dsb. Arousal rendah, valence positif Mood pada kelompok ini membawa emosi yang positif, tapi kalem, seperti santai, tenang, damai.
III.2 Feature Melodi Berdasarkan prinsip pengenalan pola, seluruh persepsi manusia berdasar pada pola-pola. Begitu pula persepsi mood manusia terhadap suatu melodi. Persepsi mood tersebut juga berdasar pada pola-pola dari karakteristik melodi. Untuk dapat menyimpulkan karakteristik atau feature dari melodi mana yang berhubungan dengan mood tertentu, perlu dilakukan pemilihan feature yang mungkin berpengaruh. Feature dipilih secara heuristik berdasarkan pengamatan terhadap data berupa melodi. Feature yang terlihat mempunyai nilai yang berbeda pada melodi-melodi pada dua kelompok mood yang berbeda dipilih sebagai kandidat feature. Dari suatu melodi dapat diekstrak berbagai macam feature. Dari feature paling dasarnya, yaitu bahwa melodi adalah deretan nada, dapat diekstraksi feature berupa nada-nada tersebut. Nada memiliki dua dimensi, dimensi pitch dan dimensi waktu, yang terbagi dua: timing dan durasi, serta memiliki nilai intensitas (lihat Tabel II.1). Kemudian, berdasarkan teori musik, feature lain yang lebih rumit, seperti tonality (mayor/minornya musik) dibentuk oleh nada tersebut.
III.2.1
Tingkatan Feature
Feature terkait dengan melodi sangatlah banyak, dari mulai feature yang sederhana, yang dapat dipahami dan diekstraksi dari melodi dengan mudah, sampai feature
III–5
yang rumit, yaitu feature yang memerlukan pengetahuan yang cukup atas teori musik ataupun feature yang ekstraksinya memerlukan proses yang tidak sederhana. Feature yang rumit terbentuk dari feature yang sederhana, tetapi terdapat kemungkinan feature yang sederhana tidak cukup untuk membedakan antara satu jenis mood dengan jenis lainnya. Sebagai contoh, semua feature dapat diturunkan dari feature yang paling dasar dan paling sederhana, yaitu feature nada pada melodi. Tidak semua feature tersebut dapat diimplementasikan dalam Tesis ini. Karena itu, untuk mempermudah analisis, feature yang lebih sederhana diutamakan di atas feature yang rumit. Atas dasar tingkat kerumitan feature melodi, sebuah pembagian feature musik dirumuskan agar pemilihan feature untuk tahap berikutnya lebih mudah dilakukan. Melodi adalah deretan nada dalam dua dimensi. Deretan nada dalam melodi merupakan feature melodi yang paling sederhana. Dari feature-feature yang ada, sebagian hanya berkaitan dengan salah satu dimensi dari melodi. Sebagian yang lain berkaitan langsung dengan kedua dimensi melodi. Feature yang berkaitan dengan satu dimensi tentu saja lebih sederhana baik dari segi pemahaman maupun dari kerumitan ekstraksi feature dari data melodi. Rumusan pembagian feature melodi tersebut adalah sebagai berikut: 1. Feature tingkat 0 Feature pada tingkat ini adalah level terendah, yaitu tingkat primitif dalam melodi: data mengenai nada. Feature pada level ini mencakup daftar nada yang ada pada suatu melodi dan mencakup nilai pitch, durasi serta timing dari setiap nada tersebut. 2. Feature tingkat 1 Feature tingkat 1 ini mencakup feature sederhana yang hanya terkait salah satu dari dimensi nada, yaitu pitch saja atau durasi saja, belum melihat timing dan keterurutan, dan hanya berdasarkan perhitungan yang sederhana. Contoh feature yang dapat masuk ke kelompok ini adalah: rata-rata nilai pitch, jangkauan nada, rata-rata durasi, durasi terpanjang dan terpendek. 3. Feature tingkat 2 Pada kelompok ini, feature-feature yang tercakup merupakan feature-feature sederhana yang lebih rumit dibandingkan pada tingkat 1, yaitu feature sederhana yang dapat melibatkan kedua dimensi nada, yaitu kombinasi antara
III–6
dimensi pitch dengan dimensi waktu (baik durasi dan timing nada). Contoh feature pada kelompok ini adalah: interval pitch dan artikulasi. 4. Feature tingkat 3 dan selanjutnya Feature pada tingkat ini adalah feature yang memiliki abstraksi lebih tinggi di atas feature pada tingkat sebelumnya. Contoh feature pada level ini adalah: bentuk melodi dan pergerakan melodi. Berdasarkan pembagian tingkatan feature tersebut, analisis yang dilakukan terhadap feature akan dilakukan pada feature tingkat 1 dan 2. Feature pada tingkat 0 serta 3 dan selanjutnya tidak dipergunakan karena: 1. Feature tingkat 0 adalah tingkat dimana sistem generator melodi yang akan dibuat bekerja. Feature pada tingkat ini, yaitu daftar nada seperti apa adanya terlalu primitif sehingga analisis akan sulit dilakukan. 2. Berkebalikan dengan feature tingkat 0, feature tingkat 3 dan selanjutnya merupakan feature yang benar-benar diambil dari abstraksi teori musik. Hal ini menyebabkan hasil analisis akan susah untuk diterapkan dalam generator musik karena terlalu abstrak. Untuk diimplementasikan, feature ini sudah terwakili oleh feature pada tingkat yang lebih rendah. Misalnya, pergerakan melodi yang disjunct. Jika hanya seperti itu informasinya, maka susah untuk membuat melodi. Feature tersebut terwakili misalnya pada rata-rata nilai interval pitch yang tinggi. Feature rata-rata nilai interval pitch dapat dengan mudah diimplementasikan ke dalam sistem generator melodi.
III.2.2 Feature Tingkat 1 Feature tingkat 1 ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu pitch dan durasi. Feature pitch hanya berdasar pada pitch dari nada-nada yang ada pada melodi, sedangkan feature durasi hanya berdasar pada durasi dara nada-nada yang ada pada melodi.
III.2.2.1 Pitch Setiap nada memiliki pitch. Nilai pitch dapat direpresentasikan sebagai nilai pitch dari MIDI, yaitu nilai nominal 1-127. Nilai pitch ini merepresentasikan tinggi/rendahnya nada. Nilai pitch ini disebut juga nilai pitch absolut. Nada-nada dapat dikelompokkan menjadi oktaf-oktaf. Nilai pitch dapat diterjemahkan menjadi nilai oktaf serta nilai pitch di dalam oktaf tersebut. Nilai pitch di dalam oktaf disebut juga nilai pitch class.
III–7
Pada tingkatan pitch, tinggi-rendahnya nilai pitch berkaitan dengan mood. Nada-nada tinggi memiliki kecenderungan mood yang berbeda dengan nada-nada rendah. Sebagai contoh, suatu melodi ketika dimainkan pada oktaf yang berbeda memiliki “rasa” mood yang berbeda juga. Dalam setiap oktaf pun, setiap pitch class memiliki karakteristik tersendiri dalam membentuk melodi.
III.2.2.2
Durasi
Setiap nada memiliki durasi. Nilai durasi merepresentasikan berapa lama nada tersebut ada atau terdengar. Terkait dengan tempo dan ketukan dari melodi, nilai durasi dapat direpresentasikan dalam dua cara. Pertama, dengan menggunakan nilai ketukan dari nada. Kedua, dengan menggunakan ukuran waktu, misalnya dalam milidetik. Durasi erat kaitannya dengan dimensi arousal dari mood. Misalnya, dua buah lagu seperti pada Gambar III.1 memiliki nilai durasi yang berbeda. Lagu “Burung Kakaktua” memiliki durasi yang panjang-panjang, sedangkan “Cing Cang Keling” berdurasi pendek-pendek.
Gambar III.1. (a) Melodi lagu “Burung Kakaktua” (b) Melodi lagu “Cing Cang Keling”.
III.2.3 Feature Tingkat 2 Pada bagian sebelumnya, masing-masing dari dimensi pitch dan dimensi waktu dari melodi dibahas tersendiri. Padahal pada satu melodi, kedua dimensi tersebut tidak bisa dipisahkan. Bagian ini membahas feature yang bisa diturunkan dari gabungan keduanya.
III.2.3.1
Interval
Interval didefinisikan sebagai jarak pitch antar dua nada yang berurutan dalam melodi. Terdapat dua cara mengukur interval, yang perbedaannya hanya terletak pada pengikutsertaan durasi. Cara pertama, durasi diabaikan, informasi waktu yang dipergunakan hanya urutan kemunculan nada. Cara kedua, nilai durasi
III–8
diperhitungkan, sehingga interval pitch akan berbentuk vektor yang terdiri atas panjang dan sudut kemiringan vektor. Interval adalah feature utama yang menentukan sifat pergerakan melodi, apakah satu melodi bersifat conjunct atau disjunct. Dua jenis pergerakan melodi tersebut berpengaruh pada mood, seperti dapat dibandingkan antara dau melodi pada Gambar III.1. Melodi “Burung Kakaktua” lebih bersifat disjunct, sedangkan melodi “Cing Cang Keling” lebih bersifat conjunct. Jarak interval pada melodi “Burung Kakaktua” lebih jauh dibandingkan dengan jarak interval pitch pada melodi “Cing Cang Keling”.
III.2.3.2
Deretan Not
Melodi pada awalnya dibuat untuk dinyanyikan. Oleh karena itu, banyak dijumpai runtutan atau deretan nada yang memiliki interval kecil yang sama pada melodi, baik runtutan nada yang naik, maupun yang turun. Runtutan nada ini berpengaruh pada melodi secara keseluruhan. Hal yang dapat diukur pada feature ini adalah jumlah nada yang ada pada setiap deretan yang ada di melodi, interval pada deretan tersebut, dan banyaknya jumlah deretan naik dan turun.
III.3
Analisis Translator Parameter Mood ke Feature
Pengenalan adalah salah satu atribut dasar manusia dan organisme hidup lainnya. Suatu pola adalah deskripsi dari suatu benda. Manusia melakukan proses pengenalan setiap saat dalam hidup. Manusia dapat mengenali manusia lainnya di tengah keramaian dan menangkap apa yang dikatakan, memisahkan perkataan dari derau suara; mengenali suara-suara yang pernah didengar; mengenali nada dan mendengar musik; mengenali tema yang dibawa musik dan merasakannya; dan dapat membedakan senyuman dengan gestur marah. Dari sudut pandang psikologi kognitif, seorang manusia dapat dipandang sebagai sistem informasi yang sangat canggih, salah satunya karena kemampuan pengenalan polanya yang ulung [RUS03][TOU74]. Manusia mengenali karakter, gambar, dan musik dengan menggunakan panca indera. Pengenalan ini melibatkan identifikasi dan klasifikasi pola-pola spasial dan temporal. Pengenalan pola oleh manusia dapat dipandang sebagai masalah psikofisiologi yang melibatkan hubungan antara seorang manusia dengan stimulus fisik. Ketika seorang manusia merasakan suatu pola, ia melakukan penyimpulan
III–9
secara induktif dan menghubungkan persepsi ini dengan konsep umum yang didapatkannya dari pengalaman sebelumnya. Pengenalan pola oleh manusia pada kenyataannya adalah perkiraan apakah suatu input data berhubungan dengan salah satu himpunan populasi statistik yang didapatkan dari pengalaman manusia sebelumnya. Sehingga, permasalahan pengenalan pola dapat dipandang sebagai proses mencocokkan input data dengan populasi-populasi dengan mencari dan mencocokkan feature atau atribut dasar yang sama dalam anggota dari populasi tersebut [TOU74].
III.3.1
Pendekatan Pengenalan Pola
Terdapat tiga konsep pendekatan sebuah sistem untuk melakukan pengenalan pola: 1. Daftar Pola Mendaftarkan dan menyimpan semua anggota dari setiap kelompok pola. Ketika satu buah benda yang tidak diketahui diperlihatkan ke sistem, benda tersebut dicocokkan dengan pola yang tersimpan satu demi satu. Sistem kemudian mengelompokkan benda tersebut sesuai dengan pola yang cocok dengannya. 2. Kesamaan Sifat Menentukan karakteristik sebuah kelompok pola yang benar dari kesamaan sifat antara semua anggota dari kelompok tersebut. Asumsi dasar pada pendekatan ini adalah bahwa semua anggota dari sebuah kelompok pola mempunyai kesamaan sifat/feature. Karakteristik setiap kelompok tersebut dapat disimpan, dan kemudian jika suatu benda diperlihatkan ke sistem, maka feature diekstraksi dari benda tersebut kemudian dicocokkan dengan karakteristik feature yang tersimpan. Sistem kemudian mengelompokkan benda tersebut sesuai dengan karakteristik feature yang cocok dengan feature benda tersebut. 3. Konsep Clustering Apabila anggota dari masing-masing kelompok pola adalah vektor yang memiliki komponen berupa bilangan bulat, maka suatu kelompok pola dapat dikenali dari kedekatan setiap anggotanya pada ruang vektornya. Ketiga konsep pendekatan tersebut dapat diimplementasikan dengan menggunakan tiga metodologi utama:
III–10
1. Metode Heuristik Pendekatan heuristik berdasarkan pada intuisi dan pengalaman manusia, menggunakan konsep daftar anggota atau konsep kesamaan sifat. Sebuah sistem yang didesain dengan menggunakan prinsip ini biasanya terdiri dari himpunan prosedur yang khusus dibuat untuk masalah pengenalan yang spesifik. Pendekatan heuristik ini sangat bergantung pada desain sistem dan tidak dapat dibuat secara generik. 2. Metode Matematis Pendekatan matematis didasari pada aturan-aturan klasifikasi yang diformulasikan dan diturunkan dalam kerangka matematis. Konsep yang dapat digunakan adalah konsep kesamaan sifat dan konsep clustering. Metode matematis ini dapat dibagi dua: deterministik dan statistik. Pendekatan deterministik tidak menggunakan secara eksplisit sifat-sifat statistik dari kelompok pola. 3. Metode Linguistik (Sintaktik) Karakterisasi pola dengan menggunakan elemen-elemen primitif (atau subpola) dan hubungan antar elemen tersebut menjadi dasar dari pendekatan metode linguistik atau sintaktik ini, dengan menggunakan konsep kesamaan sifat. Sebuah pola dapat dideskripsikan sebagai struktur hirarkis dari subpola dengan beranalogi pada struktur sintaktik dari bahasa. Dengan begitu, teori bahasa formal dapat diaplikasikan pada permasalahan pengenalan pola.
III.3.2
Analisis Data Melodi
Analisis pengenalan pola dilakukan terhadap data melodi untuk mendapatkan kesimpulan mengenai karakteristik atau feature dari melodi yang berpengaruh pada mood. Terdapat dua pendekatan yang dapat ditempuh untuk dapat mendapatkan keterkaitan antara mood dengan feature. Pertama, dengan menggunakan data berupa melodi-melodi dari musik yang sudah ada. Kedua, dengan menggunakan data berupa melodi-melodi hasil dari generator melodi. Kedua pendekatan tersebut memerlukan data tambahan berupa label mood yang harus dilabeli secara manual oleh manusia. Pendekatan yang pertama memiliki kelemahan dibandingkan pendekatan kedua pada titik ekstraksi feature. Pendekatan kedua (lihat Gambar III.2) tidak memerlukan pengekstrak feature karena nilai feature sudah didapatkan dari parameter masukan ke sistem generator melodi.
III–11
(a)
(b) Gambar III.2. Proses analisis data melodi dengan pendekatan (a) data melodi berasal dari lagu-lagu yang sudah ada dan (b) data melodi berasal dari pembangkitan oleh generator melodi Kelebihan pendekatan pertama dibandingkan dengan yang kedua adalah pada pemilihan data melodi yang akan menjadi data masukan. Karena melodi berasal dari lagu-lagu yang sudah ada, melodi dapat dipilih sedemikian sehingga mewakili seluruh label mood yang mungkin. Pada pendekatan kedua, kombinasi nilai parameter bagi generator melodi menjadi patokan dalam membuat data masukan. Kombinasi nilai tersebut bisa sangat banyak, karena jumlah feature yang cukup besar. Dari data set berupa kumpulan melodi diekstraksi featurenya menjadi feature vector dari setiap melodi. Kemudian dari data berupa feature vector dilakukan analisis menggunakan algoritma-algoritma yang terdapat pada kakas WEKA [THE08]. Penggunaan kakas analisis data melodi dilakukan untuk mempermudah pengenalan pola pada data melodi. Dari semua kakas yang ada, WEKA dipilih karena: 1. Merupakan perangkat lunak open source, yang dirilis dalam lisensi GPL (General Public License). 2. Mengimplementasikan banyak teknik dan algoritma preproses data serta algoritma pemrosesan data. 3. Mudah digunakan karena antarmukanya sederhana dan mudah dipahami.
III–12
Tidak semua algoritma yang diimplementasikan di WEKA akan dicoba. Dari algoritma-algoritma yang diimplementasikan di WEKA, berikut ini adalah algoritma-algoritma yang dipilih, beserta dasar pemilihan algoritma tersebut: 1. Decision Tree (J48) Algoritma pembentuk pohon keputusan (decision tree) dipilih karena algoritma tersebut merupakan algoritma yang mudah dipelajari, juga hasil pembelajarannya dapat dengan mudah dipahami oleh manusia. Algoritma pembentuk pohon keputusan J48 pada WEKA secara khusus dipilih karena kemampuannya untuk menangani nilai feature berupa nilai numerik. 2. Jaringan Saraf Tiruan (MultilayerPerceptron) Algoritma jaringan saraf tiruan banyak dipakai pada kasus-kasus pemetaan sebuah fungsi yang rumit yang tidak dapat secara intuitif dideskripsikan. Penggunaan algoritma ini dalam bidang komposisi musik cukup berhasil [AME08]. 3. Bayesian Network Algoritma yang berdasar pada teorema Bayes ini sudah banyak diterapkan pada pemodelan pengetahuan pada bidang-bidang terkait dengan klasifikasi, misalnya klasifikasi dokumen, sistem temu-balik informasi, dsb [AME08]. 4. SVM Algoritma Support Vector Machine dipilih karena kemampuannya untuk tidak overfit terhadap data pelatihan. SVM dapat dipakai karena kemampuannya memodelkan sebuah fungsi tanpa mengetahui fungsi derifatif dari fungsi tersebut. SVM juga cukup banyak dipakai dalam bidang klasifikasi musik [POH05][LI04][POL05]. Pengenalan pola dengan cara analisis terhadap data melodi yang sudah ada dan terklasifikasikan memerlukan ekstraksi feature dari melodi tersebut. Setiap melodi perlu ditransformasikan menjadi suatu vektor feature yang mewakili melodi tersebut. Berdasarkan analisis feature pada bagian sebelumnya, maka dipilihlah feature-feature yang harus diekstraksi dari melodi untuk menjadi vektor feature. Daftar feature tersebut dapat dilihat pada Tabel III.3.
III.3.3
Analisis Hasil Pengujian
Jika berhasil, algoritma pada WEKA akan menghasilkan model klasifikasi translasi antara feature melodi dengan mood. Model ini secara langsung dapat digunakan
III–13
Tabel III.3. Daftar feature
Pitch Tingkat 1
Durasi
Interval
Tingkat 2
Kemiringan
Deretan Not
Nilai maksimum dari pitch absolut Nilai minimum dari pitch absolut Rata-rata nilai pitch absolut Rata-rata nilai pitch class Pitch class yang paling banyak muncul Oktaf rata-rata Durasi maksimum Durasi minimum Durasi yang paling banyak muncul Durasi rata-rata Jarak interval pitch maksimum Jarak interval pitch minimum Jarak rata-rata interval pitch Persentase interval naik Persentase interval turun Persentase interval datar Maksimum kemiringan interval Minimum kemiringan interval Rata-rata kemiringan interval Jumlah deretan not Jumlah deretan not naik Jumlah deretan not turun Rata-rata jumlah not pada deretan nada Rata-rata jumlah not pada deretan nada naik Rata-rata jumlah not pada deretan nada turun
untuk mengklasifikasikan data melodi ke dalam klasifikasi mood. Pada sistem generator melodi yang diinginkan dapat menerima parameter masukan berupa mood, diperlukan sebuah translator yang bekerja pada arah sebaliknya, yaitu translator yang dapat menerjemahkan nilai mood menjadi parameter detail yang mengatur feature dari melodi yang akan dihasilkan. Translator tersebut dapat dibuat dengan menganalisis lebih lanjut masing-masing feature yang berpengaruh terhadap mood dari melodi. Analisis tersebut dapat dibantu pula dengan menggunakan algoritma-algoritma pembelajaran. Misalnya, dengan menggunakan jaringan saraf tiruan dengan input dua dimensi mood (arousal dan valence), dicari fungsi untuk menghasilkan nilai parameter rata-rata interval. Pengujian terhadap pembuatan model keterkaitan feature terhadap mood telah dilaksanakan, dan hasil dari pengujian tersebut dapat dilihat pada bagian V.2. Dari
III–14
hasil pengujian untuk menentukan feature melodi yang memiliki pengaruh dalam menentukan mood, didapatkan bahwa dengan pendekatan pembelajaran dengan seluruh feature yang dipilih pada bagian sebelumnya, model pembelajaran yang didapatkan selalu overfit. Artinya, tidak diperoleh model mengenai feature yang mempengaruhi mood yang dapat digunakan secara umum. Model yang didapatkan hanya berjalan dengan baik untuk data pelatihan. Terkait dengan pemilihan feature, keadaan seperti ini dapat bersumber dari pemilihan feature yang kurang baik. Pada kasus melodi ini, aspek musik lainnya sama sekali diabaikan, sehingga tidak menutup kemungkinan bahwa feature yang diperlukan ikut terabaikan. Kemungkinan kedua adalah bahwa menurut psikologi, manusia cenderung melengkapi informasi yang diterimanya [DOB93]. Karena itu, ketika mengklasifikasikan melodi, nada-nada serta harmoni cenderung timbul pada otak manusia, kemudian klasifikasi yang dihasilkan akan terpengaruh oleh hal tersebut. Karena itu, feature yang diekstraksi tidak cukup untuk mengklasifikasikan melodi dengan benar. Karena pembentukan model tersebut tidak berhasil dilaksanakan, maka proses selanjutnya yaitu pemetaan lebih lanjut mood terhadap feature tidak dapat dilakukan. Perlu diusahakan dalam penelitian selanjutnya untuk mendapatkan pemetaan antara mood dengan feature.