BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pornografi dan Norma Kesusilaan. Istilah pornografi menurut sejarahnya berasal dari bahasa Yunani; dari kata porne yang artinya porstitusi, pelacur; dan graphien yang artinya menggambarkan, menulis, gambar,
atau tulisan. Secara harafiah
ponografi kemudian
diartikan sebagai
penggambaran atau representasi tubuh manusia atau perilaku seksual yang bertujuan membangkitkan nafsu birahi1. Sedangkan norma kesusilaan adalah peraturan sosial yang berasal dari hati nurani yang menghasilkan akhlak, sehingga seseorang dapat membedakan apa yang dianggap baik dan apa pula yang dianggap buruk2. Norma kesusilaan ini bersifat otonom yang berarti bahwa tidak semua orang memiliki setandar yang sama dalam penilaian tentang pelanggaran norma kesusilaan. Di negara-negara non sekuler dengan landasan hukum agama, pengertian pornografi dalam kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara diambil dari kitab suci. Bagi kalangan masyarakat ini, pengertian pornografi tidak sama dengan pengertian menurut kalangan masyrakat lainnya. Nilai-nilai kesusilaan yang menjadi tolok ukur pornografi adalah nilai-nilai kesusilaan agama. Pengertian pornografi tidak saja mencakup pengertian kecabulan tetapi juga mencakup adanya unsur-unsur seks, seksualitas, dan erotica seperti penggambaran bagian-bagian tubuh tertentu, misalnya paha, pantat, dan payudara serta ketelanjangan atau yang mengarah pada ketelanjangan, baik laki-laki maupun perempuan.
1
Dewan Perwakilan Rakyat. NASKAH AKADEMIK Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia Tentang Pornografi. hal. 8. 2 Kamus Besar Bahasa Indonesia. hal. 874.
16
Indonesia yang cenderung religius, meskipun tidak sama dengan pengertian dalam hukum agama, pengertian pornografi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara agak diwarnai nilai-nilai agama. B. Pengertian Hukum Pidana. Hukum pidana adalah sekumpulan peraturan hukum yang dibuat oleh negara, yang isinya berupa larangan maupun keharusan sedang bagi pelanggar terhadap larangan dan keharusan tersebut dikenakan sanksi yang dapat dipaksakan oleh negara3. Mengenai tujuan hukum pidana dikenal dua aliran, yaitu. 1. Untuk menakut-nakuti setiap orang jangan sampai melakukan perbuatan yang tidak baik (aliran klasik). 2. Untuk mendidik orang yang telah pernah melakukan perbuatan tidak baik menjadi baik dan dapat diterima kembali kedalam kehidupan lingkungannya (aliran modern)4. Menurut aliran klasik tujuan hukum pidana untuk melindungi individu dari kekuasaan penguasa atau negara. Sebaliknya aliran modern mengajarkan tujuan hukum pidana untuk melindungi masyarakat terhadap kejahatan, dengan demikian hukum pidana harus memperhatikan kejahatan dan keadaan penjahat, maka aliran ini mendapat pengaruh dari perkembangan kriminologi. Vos memandang perlu adanya aliran ketiga, yang merupakan kompromi aliran klasik dan modern. Dalam rancangan KUHP juli tahun 2006, tujuan pemidanaan ditentukan dalam Pasal 51, yaitu sebagai berikut. 1. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat.
3 4
Teguh Prasetyo. Hukum Pidana.Rajawali Pers, Jakarta 2011, hal .9. Ibid, hal. 14.
17
2. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna. 3. Menyelesaikan konflik yang timbul oleh tindakan pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyrakat. 4. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana. C. Pengertian Delik. Menurut Simons delik adalah kelakuan yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab. Sedangkan menurut Moeljatno delik adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut. Dan menurut Teguh Prasetyo delik adalah perbuatan yang melanggar hukum dilakukan dengan kesalahan oleh orang yang mampu bertanggaung jawab dan pelakunya diancam dengan pidana5. Delik-delik yang terdapat dalam KUHP adalah sebagai berikut. 1. Delik terhadap orang. 2. Delik terhadap harta 3. Delik terhadap negara/kekuasaan. Unsur-unsur delik adalah sebagai berikut6. 1. Aliran monistis. a. Suatu perbuatan. b. Melawan hukum. c. Diancam dengan sanksi. d. Dilakukan dengan kesalahan. e. Oleh orang yang dapat dipertanggung jawabkan.
5 6
Ibid, hal. 217. Ibid, hal. 218
18
2. Aliran dualis. a. Suatu perbuatan. b. Melawan hukum (dilarang). c. Diancam dengan sanksi pidana. Unsur-unsur delik dalam Pasal-pasal KUHP. 1. Unsur objektif. a. Suatu perbuatan. b. Suatu akibat. c. Suatu keadaan. d. (ketiganya dilarang dan diancam pidana). 2. Unsur subjektif. a. Dapat dipertanggung jawabkan. b. Kesalahan (dolus atau culpa) D. Pengaturan Pelanggaran Delik Pornografi Pengaturan mengenai pornografi diatur dalam KUHP dan undang-undang no 44 tahun 2008 tentang pornografi. Dalam KUHP pornografi digolongkan sebagai suatu delik susila yang diatur dalam beberapa pasal dalam Buku II Bab XIV tentang kejahatan terhadap kesusilaan, yaitu. a.
Pasal 281. Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah: 1. Barang siapa dengan sengaja dan terbuka melanggar kesusilaan; 2. Barang siapa dengan sengaja dan di muka orang lain yang ada di situ bertentangan kehendaknya, melanggar kesusilaan.
b.
Pasal 282. 1. Barang siapa menyiarkan, mempertunjukan atau menempelkan di muka umum tulisan, gambaran atau benda yang telah diketahui isinya melanggar kesusilaan, atau barang siapa dengan maksud untuk disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, membikin tulisan, 19
gambaran atau benda tersebut, memasukkannya ke dalam negeri, meneruskannya, mengeluarkannya dari negeri, atau memiliki persediaan, ataupun barang siapa secara terang-terangan atau dengan mengedarkan surat tanpa diminta, menawarkannya atau menunjukkannya sebagai bisa diperoleh, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda paling tinggi empat ribu lima ratus rupiah. 2. Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum tulisan, gambaran atau benda yang melanggar kesusilaan, ataupun barang siapa dengan maksud untuk disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, membikin, memasukkan ke dalam negeri, meneruskan mengeluarkannya dari negeri, atau memiliki persediaan, ataupun barang siapa secara terang-terangan atau dengan mengedarkan surat tanpa diminta, menawarkan, atau menunjuk sebagai bisa diperoleh, diancam, jika ada alasan kuat baginya untuk menduga bahwa tulisan, gambazan atau benda itu me!anggar kesusilaan, dengan pidana paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. 3. Kalau yang bersalah menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum tulisan, gambaran atau benda yang melanggar kesusilaan, ataupun barang siapa dengan maksud untuk disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, membikin, memasukkan ke dalam negeri, meneruskan mengeluarkannya dari negeri, atau memiliki persediaan, ataupun barang siapa secara terang-terangan atau dengan mengedarkan surat tanpa diminta, menawarkan, atau menunjuk sebagai bisa diperoleh, diancam, jika ada alasan kuat baginya untuk menduga bahwa tulisan, gambaran atau benda itu me!anggar kesusilaan, dengan pidana paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. c.
Pasal 283. 1. Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak sembilan ribu rupiah, barang siapa menawarkan, memberikan untuk terus maupun untuk sementara waktu, menyerahkan atau memperlihatkan tulisan, gambaran atau benda yang melanggar kesusilaan, maupun alat untuk mencegah atau menggugurkan kehamilan kepada seorang yang belum dewasa, dan yang diketahui atau sepatutnya harus diduga bahwa umumya belum tujuh belas tahun, jika isi tulisan, gambaran, benda atau alat itu telah diketahuinya 2. Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa membacakan isi tulisan yang melanggar kesusilaan di muka oranng yang belum dewasa sebagaimana dimaksud dalam ayat yang lalu, jika isi tadi telah diketahuinya. 3. Diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan atau pidana kurungan paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak sembilan ribu rupiah, barang siapa menawarkan, memberikan untuk terus maupun untuk sementara waktu, menyerahkan atau memperlihatkan, tulis- an, gambaran atau benda yang melanggar kesusilaan, maupun alat untuk mencegah atau menggugurkan kehamilan kepada seorang yang belum dewasa sebagaimana dimaksud dalam ayat pertama, jika ada alasan kuat baginya untuk menduga, bahwa tulisan, gambaran atau benda yang melang-
20
gar kesusilaan atau alat itu adalah alat untuk mencegah atau menggugurkan kehamilan. d.
Pasal 283 bis. Jika yang bersalah melakukan salah satu kejahatan tersebut dalam pasal 282 dan 283 dalam menjalankan pencariannya dan ketika itu belum lampau dua tahun sejak adanya pemidanaan yang menjadi pasti karena kejahatan semacam itu juga, maka dapat di cabut haknya untuk menjalankan pencarian tersebut.
Serta dalam Buku III Bab VI tentang pelanggaran kesusilaan yaitu dalam pasal. a.
Pasal 532. Diancam dengan pidana kurungan paling lama tiga hari atau pidana denda paling banyak dua ratus dua puluh lima rupiah. 1. Barang siapa di muka umum menyanyikan lagu-lagu yang melanggar kesusilaan. 2. Barang siapa di muka umum mengadakan pidato yang melanggar kesusilaan. 3. Barang siapa di tempat yang terlihat dari jalan umum mengadakan tulisan atau gambaran yang melanggar kesusilaan.
b.
Pasal 533. Diancam dengan pidana kurungan paling lama dua bulan atau pidana denda paling banyak tiga ribu rupiah. 1. Barang siapa di tempat untuk lalu lintas umum dengan terang-terangan mempertunjukkan atau menempelkan tulisan dengan judul, kulit, atau isi yang dibikin terbaca, maupun gambar atau benda, yang mampu membangkitkan nafsu birahi para remaja. 2. Barang siapa di tempat untuk lalu lintas umum dengan terang-terangan memperdengarkan isi tulisan yang mampu membangkitkan nafsu birahi para remaja. 3. Barang siapa secara terang-terangan atau tanpa diminta menawarkan suatu tulisan, gambar atau barang yang dapat merangsang nafsu berahi para remaja maupun secara terang-terangan atau dengan menyiarkan tulisan tanpa diminta, menunjuk sebagai bisa didapat, tulisan atau gambar yang dapat membangkitkan nafsu berahi para remaja. 4. Barang siapa menawarkan, memberikan untuk terus atau sementara waktu, menyerahkan atau memperlihatkan gambar atau benda yang demikian, pada seorang belum dewasa dan di bawah umur tujuh belas tahun. 5. Barang siapa memperdengarkan isi tulisan yang demikian di muka seorang yang belum dewasa dan dibawah umur tujuh belas tahun.
c.
Pasal 534. Barang siapa secara terang-terangan mempertunjukkan sesuatu sarana untuk mencegah kehamilan maupun secara terang-terangan atau tanpa diminta menawarkan, ataupun secara terang-terangan atau dengan menyiarkan tulisan tanpa diminta, menunjuk sebagai bisa didapat, sarana atau perantaraan
21
(diensten) yang demikian itu, diancam dengan pidana kurungan paling lama dua bulan atau pidana denda paling banyak tiga ribu rupiah. d.
Pasal 535. Barang siapa secara terang-terangan mempertunjukan sesuatu sarana untuk menggugurkan kandungan, maupun secara terang-terangan atau tanpa diminta menawarkan, ataupun secara terang-terangan atau dengan menyiarkan tulisan tanpa diminta, menunjuk sebagai bisa didapat, sarana atau perantaraan yang demikian itu, diancam dengan kurungan paling lama tiga bulan atau denda paling banyak tiga ribu rupiah. Selain pengaturan dalam KUHP seperti di atas, pornografi juga diatur secara khusus
dalam Undang-Undang Pornografi, yang diatur dalam beberapa pasal dalam Bab II tentang Larangan dan Pembatasan, yaitu. a.
Pasal 4. 1. Setiap Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat: a. persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang. b. kekerasan seksual. c. masturbasi atau onani. d. ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan; e. alat kelamin, atau f. pornografi anak. 2. Setiap Setiap orang dilarang menyediakan jasa pornografi yang. a. menyajikan secara eksplisit ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan. b. menyajikan secara eksplisit alat kelamin. c. mengeksploitasi atau memamerkan aktivitas seksual, atau d. menawarkan atau mengiklankan, baik langsung maupun tidak langsung layanan seksual.
b.
Pasal 5. Setiap orang dilarang meminjamkan atau mengunduh pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1).
c.
Pasal 6. Setiap orang dilarang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), kecuali yang diberi kewenangan oleh peraturan perundangundangan.
22
d.
Pasal 7. Setiap orang dilarang mendanai atau memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.
e.
Pasal 8. Setiap orang dilarang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi.
f.
Pasal 9. Setiap orang dilarang menjadikan orang lain sebagai objek atau model yang mengandung muatan pornografi.
g.
Pasal 10. Setiap orang dilarang mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya.
h.
Pasal 11. Setiap orang dilarang melibatkan anak dalam kegiatan dan/atau sebagai objek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 8, Pasal 9, atau pasal 10.
i.
Pasal 12. Setiap orang dilarang mengajak, membujuk, memanfaatkan, membiarkan, menyalah gunakan kekuasaan atau memaksa anak dalam menggunakan produk atau jasa pornografi.
j.
Pasal 13 1. Pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi yang memuat selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) wajib mendasarkan pada peraturan perundang-undangan. 2. Pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan di tempat dan dengan cara khusus.
k.
Pasal 14. Ketentuan mengenai syarat dan tata cara perizinan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan produk pornografi untuk tujuan dan kepentingan pendidikan dan pelayanan kesehatan dan pelaksanaan ketentuan Pasal 13 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
23
Serta diatur pada Bab VII tentang Ketentuan Pidana, yaitu. 1.
Pasal 29. Setiap orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).
2.
Pasal 30. Setiap orang yang menyediakan jasa pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
3.
Pasal 31. Setiap orang yang meminjamkan atau mengunduh pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
4.
Pasal 32. Setiap orang yang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
5.
Pasal 33. Setiap orang yang mendanai atau memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp 7.500.000.000,00 (tujuh miliar lima ratus juta rupiah).
6.
Pasal 34. Setiap orang yang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
24
7.
Pasal 35. Setiap orang yang menjadikan orang lain sebagai objek atau model yang mengandung muatan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).
8.
Pasal 36. Setiap orang yang mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
9.
Pasal 37. Setiap orang yang melibatkan anak dalam kegiatan dan/atau sebagai objek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dipidana dengan pidana yang sama dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 34, Pasal 35, dan Pasal 36, ditambah 1/3 (sepertiga) dari maksimum ancaman pidananya.
10. Pasal 38. Setiap orang yang mengajak, membujuk, memanfaatkan, membiarkan, menyalahgunakan kekuasaan, atau memaksa anak dalam menggunakan produk atau jasa pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). 11. Pasal 39. Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37, dan Pasal 38 adalah kejahatan.
12. Pasal 40. 1. Dalam hal tindak pidana pornografi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya. 2. Tindak pidana pornografi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang, baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut, baik sendiri maupun bersama-sama.
25
3. Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi, korporasi tersebut diwakili oleh pengurus. 4. Pengurus yang mewakili korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diwakili oleh orang lain. 5. Hakim dapat memerintahkan pengurus korporasi supaya pengurus korporasi menghadap sendiri di pengadilan dan dapat pula memerintahkan pengurus korporasi supaya pengurus tersebut dibawa ke sidang pengadilan. 6. Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, panggilan untuk menghadap dan penyerahan surat panggilan tersebut disampaikan kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau di tempat pengurus berkantor. 7. Dalam hal tindak pidana pornografi yang dilakukan korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, dijatuhkan pula pidana denda terhadap korporasi dengan ketentuan maksimum pidana dikalikan 3 (tiga) dari pidana denda yang ditentukan dalam setiap pasal dalam Bab ini. 13. Pasal 41. Selain pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (7), korporasi dapat dikenai pidana tambahan berupa: a. pembekuan izin usaha. b. pencabutan izin usaha. c. perampasan kekayaan hasil tindak pidana, dan d. pencabutan status badan hukum.
E. Hubungan KUHP dan Undang-Undang No. 44 tahun 2008 tentang Pornografi. Undang-undang pornogarafi dibuat karena dirasa kurang efektifnya upaya penegakan hukum terhadap pornografi dalam Undang-Undang yang telah ada seperti dalam KUHP, UU No. 28 Tahun 1992 tentang Perfilman, UU No. 40 tentang Pers, UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Maupun berbagai bentuk peraturan perundangundangan yang berlaku saat ini. Hal ini menyebabkan upaya penegakan hukum yang dilaksanakan aparat sering mengalami banyak kesulitan dan hambatan. Hubungan antara KUHP dan Undang-Undang Pornografi adalah suatu hubungan dua Undang-Undang dalam kedudukan yang sama-sama dalam lingkup hukum pidana. KUHP dan Undang-Undang Pornografi juga sama-sama mengatur delik kesusilaan yang dalam Undang-Undang Pornografi disebut delik Pornografi. Dalam hal ini
KUHP
memiliki sifat undang-undang yang lebih umum dan Undang-Undang Pornografi adalah undang-undang yang Khusus (Lex specialis derogate legi generalis). Undang-Undang
26
Pornografi berlaku sebagai pengganti KUHP untuk mengatur pelanggaran tindak pidana Pornografi yang didalam KUHP digolongkan dalam delik susila. Dalam KUHP pornografi dirumuskan dalam delik kesusilaan. Pengaturan delik kesusilaan ini terdapat didalam Pasal 281, 282, dan 283 yang merupaka kelompok Kejahatan dan Pasal 532, 533, 534, dan 535 KUHP dalam kelompok perbuatan pelanggaran kesusilaan. Dari masing-masing perumusan ketentuan hukum di atas sebenarnya terdapat satu syarat yang sama untuk dapat menilai suatu perbuatan itu sebagai delik susila, yaitu melanggar kesusilaan. Tentang apa yang dimaksud dengan melanggar kesusilaan, KUHP sendiri tidak memberikan penjelasan yang memadai. Untuk memberikan penjelasan yang memadai dan dalam perkembangan delik kesusilaan lebih dikenal dengan delik pornografi maka munculah Undang-Undang Pornografi untuk mengatasi kesulitan-kesulitan dalam penegakan hukum. Oleh karenanya, keberadaan Undang-Undang tentang Pornografi sangat diperlukan untuk tujuan memperjelas dan memperlengkap norma-norma hukum tentang pornografi, dan mempertegas perbedaan sanksi-sanksi pidana atas setiap tindak pelanggaran. Walaupun Undang-Undang Pornografi sebagai penyempurna atau penganti dalam proses tindak pidana kesusilaan atau pornografi. Undang-Undang Pornografi tidak membuat KUHP tidak berlaku lagi karena yang diatur Undang-Undang Pornografi hanya delik kesusilaan saja dan dalam KUHP masih banyak mengatur delik-delik lain yang tidak diatur dalam Undang-Undang Pornografi. Hubungan KUHP dan Undang-Undang Pornografi sesuai dengan asas hukum Lex specialis derogat legi generalis. Asas ini mengandung makna, bahwa aturan hukum yang
27
khusus akan mengesampingkan aturan hukum yang umum. Ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam asas Lex specialis derogat legi generalis7. a. Ketentuan-ketentuan yang didapati dalam aturan hukum umum tetap berlaku, kecuali yang diatur khusus dalam aturan hukum khusus tersebut. b. Ketentuan-ketentuan lex specialis harus sederajat dengan ketentuan-ketentuan lex generalis (undang-undang dengan undang-undang). c. Ketentuan-ketentuan lex specialis harus berada dalam lingkungan hukum (rezim) yang sama dengan lex generalis. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Undang-Undang Pornografi sama-sama termasuk lingkungan hukum pidana. F. Pembuktian Pemenuhan Tindak Pidana Delik Pornografi. Pembuktian adalah suatu proses untuk membuktikan bersalah atau tidaknya seseorang terdakwa yang dilakukan pemeriksaan di depan sidang pengadilan. Dalam pembuktian ini, Hakim perlu mempertimbangkan kepentingan masyarakat dan kepentingan terdakwa8. Kepentingan masyarakat berarti, bahwa seseorang yang telah melanggar ketentuan pidana (KUHP) atau undang-undang pidana lainnya, harus mendapat hukuman yang setimpal dengan kesalahannya. Sedangkan kepentingan terdakwa berarti, bahwa terdakwa harus diberlakukan secara adil sedemikian rupa, sehingga tidak ada seorang yang tidak bersalah mendapat hukuman. Atau kalau memeang ia bersalah jangan sampai mendapat hukuman yang terlalu berat. Tetapi hukuman itu harus seimbang dengan kesalahannya.
7 8
A.A. Oka Mahendara, SH. www.djpp.depkumham.go.id Darwan Prinst, SH. Hukum Acara Pidana Dalam Praktik. Djambatan, Jakarta 2002. hal. 136.
28
Dalam proses pembuktian dalam hukum pidana ada empat (4) macam teori tentang pembuktian, yaitu9. 1. Teori pembuktian positif. Menurut teori ini, bahwa bersalah atau tidaknya terdakwa tergantung sepenuhnya kepada sejumlah alat bukti yang telah ditetapkan terlebih dahulu. Keyakinan hakim menurut teori ini harus dikesampingkan dahulu. Teori ini berkembang pada abad pertengahan, dan kini jarang diterapkan dalam praktik di pengadilan. 2. Teori pembuktian negatif. Menurut teori ini hakim hanya boleh menjatuhkan pidana apabila sedikitdikitnya dua alat bukti yang telah ditentukan dalam undang-undang ada, ditambah keyakinan hakim yang diperoleh dari adanya alat-alat bukti itu. 3. Teori pembuktian bebas. Menurut teori ini alat-alat dan cara pembuktian tidak ditentukan dalam undang-undang. Teori ini mengakui adannya alat-alat bukti dan cara pembuktian. Akan tetapi tidak ditentukan atau tidak diatur dalam undang-undang. 4. Teori pembuktian berdasarkan keyakinan. Menurut teori ini hakim menjatuhkan pidana semata-mata berdasarkan keyakinan pribadinya dan dalam putusan ini tidak perlu menyebutkan alasan-alasan putusannya. Alat-alat bukti yang sah adalah alat-alat yang ada hubungannya dengan suatu tindak pidana, dimana alat tersebut dapt digunakan sebagai bahan pembuktian, guna menimbulkan keyakinan bagi hakim. Adapun alat-alat bukti yang sah menurut Pasal 184 ayat 1 KUHAP, adalah sebagai berikut10. 9
Ibid. Ibid, hal. 138.
10
29
1.
Keterangan Saksi. Keterangan saksi, adalah salah satu bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia (saksi) dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri, dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu. (Pasal 1 butir 27 KUHAP). Dalam keterangan saksi tidak termasuk keterangan yang diperoleh dari orang lain atau Testimonium De Auditu. (Penjelasan Pasal 185 KUHAP).
2. Keterangan Ahli. Keterangan ahli, adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang tentang suatu perkara pidana, guna kepentingan pemeriksaan. (Pasal 1 butir 28 KUHAP) Keterangan ahli, adalah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan (Pasal 186 KUHAP). 3. Surat. Tentang alat bukti surat diatur dalam Pasal 187 KUHAP, yaitu sebagai berukut: Pasal 187. Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat 1 huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah: a. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu. b. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenal hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan. 30
c. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dan padanya. d. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain. Adapun contoh-contoh dari alat bukti surat itu, adalah Berita Acara Pemerikaan (BAP) yang dibuat oleh Polisi, BAP Pengadilan, Berita Acara Penyitaan, Surat Perintah Penangkapan, Surat Perintah Penyitaan, Surat Perintah Penahanan, Surat Izin Penggeledahan, Surat Izin Penyitaan, dan lain-lain. 4. Petunjuk. Tentang petunjuk sebagai alat bukti diatur dalah KUHAP yaitu sebagai berikut: Pasal 188. a. Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. b. Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 hanya dapat diperoleh dari 1. keterangan saksi. 2. surat. 3. keterangan terdakwa. c. Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya. 5. Keterangan Terdakwa. Keterangan terdawa diatur dalam KUHAP, yaitu sebagai berikut. Pasal 189. 31
1. Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri. 2. Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya. 3. Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri. 4. Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertal dengan alat bukti yang lain. Dari ketentuan Psal 189 KUHAP itu dapat disimpulkan bahwa keterangan terdakwa harus diberikan di depan sidang pengadilan.Sedangkan keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang hanya dapat dipergunakan untuk menemukan bukti di sidang saja. Dalam hal terdakwa lebih dari satu orang, maka keterangan dari masingmasing terdakwa hanya berlaku untuk dirinya sendiri. Dengan kata lain keterangan terdakwa yang satu tidak boleh digunakan sebagai alat bukti bagi terdakwa yang lainnya. Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa telah bersalah melakukan tidak pidana, kalau tidak didukung oleh alat bukti lainnya. G. Unsur-unsur Pemenuhan Delik Pornografi. Dalam Udang-Undang Pornografi suatu perbuatan dapat dikatakan melanggar delik pornografi apabila memenuhi unsur-unsur sebagai berikut11. 1. Unsur setiap orang.
11
Sam Ardi. Pornografi di dalam UU Pornografi. WordPress.com
32
Unsur setiap orang dapat pula disebut sebagai subjek pornografi. Unsur setiap orang menunjuk kepada pelaku perbuatan sebagai subjek hukum diantaranya termasuk badan hukum. Bahwa dalam kasus pidana pornografi yang didakwa adalah terdakwa yaitu sebagai orang perorangan yang tidak dikecualikan dari orang pada umumnya. Bahwa dengan demikian, unsur ini terbukti apabila terdakwa melakukan perbuatan yang dirumuskan pada unsur kedua dan ketiga. 2. Unsur tampakan/wujudnya pornografi. Unsur wujud pornografi dapat pula disebut objek pornografi. Menurut KUHP objek pornografi adalah tulisan, gambar, dan benda, yang diperluas termasuk alat untuk mencegah dan menggugurkan kehamilan. Sedangkan wujud pornograafi menurut Undang-Undang Pornografi telah diperluas sedemikian rupa, sehingga termasuk gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi. 3. Unsur sifat yang terkandung dalam tampakan/wujud pornografi Di dalam tampakan atau wujud pornografi mengandung 3 sifat. Tiga sifat yang melekat yang tidak terpisahkan dengan wujud pornografi. Sifat tersebut ialah. a. Memuat kecabulan. b. Memuat eksploitasi seksual. dan c. Melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat. Tiga sifat tersebut merupakan unsur pornografi, namun bukan merupakan unsur normatif tindak pidana pornografi. Namun apabila dalam suatu kasus yang diusung jaksa ke sidang pengadilan, ternyata salah satu sifat tersebut tidak ada dalam benda pornografi yang didakwakan, maka ketiadaan sifat tersebut menjadi alasan peniadaan pidana. Berupa alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan yang tidak tertulis. Jadi masuk pada dasar pembenaran, meskipun perbuatannya telah 33
memenuhi unsur suatu tindak pidana pornografi. Terhadap pembuatnya tidak boleh dipidana. H. Penafsiran Undang-Undang Hukum Pidana . Penafsiran hukum merupakan hal yang penting dalam kehidupan hukum, sebagai reaksi atas ajaran legisme, yaitu aliran yang menyamakan hukum dan undang-undang sebagai pokok pikirannya. (Hakim tunduk pada undang-undang, semua hukum terdapat pada undang-undang. Hakim tidak menciptakan hukum, hakim itu hanya mulut atau corong badan legislatif, badan pembuat undang-undang). Akan tetapi dalam kenyataannya ternyata banyak dari undang-undang tidaklah jelas, andaikata jelas, senyatanya undang-undang tsb tidak mungkin lengkap dan tuntas. Dalam hal ini, tidak mungkin undang-undang secara lengkap dan tuntas mengatur kehidupan manusia, karena kehidupan manusia selalu berkembang. Melalui interpretasi atau penafsiran akan diberikan penjelasan mengenai rumusan undang-undang agar ruang lingkup norma dapat diterapkan pada peristiwa tertentu. Dalam hukum, dikenal beberapa metode penafsiran atau interpretasi yang meliputi. 1. Penafsiran Gramatikal. Penafsiran yang didasarkan hukum tata bahasa sehari-hari. Hal ini dilakukan apabila ada suatu istilah yang kurang terang atau kurang jelas dapat ditafsirkan menurut tata bahasa sehari-hari. 2. Penafsiran Autentik. Penafsiran oleh undang-undang, dimana undang-undang sudah mempunyai pengertian tentang suatu kata. 3. Penafsiran Teleologis. Penafsiran yang didasarkan kepada tujuan daripada undang-undang itu. 4. Penafsiran Sistemetis.
34
Penafsiran yang menghubungkan dengan bagian dari suatu undang-undang itu dengan bagian lain dari undang-undang itu juga. 5. Penafsiran Menurut Sejarah Undang-undang. Penafsiran dengan melihat kepada berkas-berkas atau bahan-bahan waktu undang-undang itu dibuat. 6. Penafsiran Menurut Sejarah Hukum. Penafsiran dengan melihat kepada sejarah hukum. Misalnya dengan melihat hukum yang pernah berlaku. 7. Penafsiran Ekstensif. Penafsiran dengan memperluas arti dari suatu istilah yang sebenarnya. 8. Penafsiran Analogis. Penafsiran suatu istilah berdasarkan ketentuan yang belum diatur oleh undangundang tetapi mempunyai asas yang sama dengan sesuatu hal yang telah diatur dalam undang-undang. 9. Penafsiran Mempertentangkan/redeneering acountration. Penafsiran secara menemukan kebalikan dari pengertian suatu istilah yang sedang dihadapi. 10. Penafsiran Mempersempit/restrieve interpretative. Penafsiran yang mempersempit pengertian suatu istilah12. I. Pertimbangan Hakim. Menurut Rusli Muhammad ada dua jenis pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan pemidanaan, yaitu pertimbangan yang bersifat yuridis dan non yuridis. 1. Pertimbangan yang bersifat Yuridis. Pertimbangan yang bersifat yuridis adalah pertimbangan hakim yang didasarkan pada fakta-fakta yuridis yang terungkap di dalam persidangan dan oleh 12
Teguh Prasetyo. Hukum Pidana.Rajawali Pers, Jakarta 2011, hal .34.
35
undang-undang fakta tersebut diantaranya dakwaan dan saksi, barang-barang bukti, pasal-pasal dala peraturan hukum pidana dan sebagainya13. Unsur-unsur pertimbangan yang bersifat yuridis adalah. a. Dakwaan jaksa penuntut umum. Dakwaan merupakan dasar hukum acara pidana karena berdasarkan itulah pemeriksaan di persidangan dilakukan. Dakwaaan selain yang berisikan identitas terdakwa, juga memuat uraian tindak pidana dilakukan. Dakwaan yang dijadikan pertimbangan hakim adalah dakwaan yang selalu dibaca disidang pengadilan. Pada umumnya keseluruhan dakwaan jaksa penuntut umum ditulis kembali dalam putusan hakim. b. Keterangan terdakwa. Keterangan terdakwa menurut KUHAP Pasal 184 butir e, digolongkan sebagai alat bukti. Keterangan terdakwa adalah apa yang dinyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan, ketahui, alami sendiri. Dengan membuktikan berbagai putusan pengadilan ternyata keterangan terdakwa menjadi bahan pertimbangan karena demikian pula kehendak undang-undang. c. Barang bukti. Yang dimaksud dengan barang bukti adalah semua benda yang dapat dikenakan penyitaan dan yang diajukan oleh penuntut umum di depan sidang pengadilan. d. Pasal-pasal peraturan pidana hukum pidana. Salah satu yang sering terungkap dalam proses persidangan adalah pasalpasal peraturan hukum pidana. Pasal-pasal ini bermula terlihat dan terungkap dalam surat dakwaan jaksa penuntut umum, yang diformulasikan sebagai
13
Rusli Muhammad, “Hukum Acara Kontemporer” Cetakan I. Citra Aditia Bakti. Yokyakarta. 2007. hal.212.
36
ketentuan hukum pidana yang terlanggar oleh terdakwa. Ppasal-pasal tersebut kemudia dijadikan dasar pemidanaan atau tidakan oleh hakim. 2. Pertimbangan yang bersifat non yuridis. Pertimbangan yang bersifat non yuridis adalah pertimbangan hakim yang didasarkan atas latar belakang dilakukannya tindak pidana, akibat-akibat yang ditimbulkan, kondisi diri terdakwa, keadaan sosial ekonomi dan lingkungan keluarga terdakwa, serta fakktor agama14. a. Latar belakang perbuatan terdakwa. Yang dimaksud denngan latar belakang perbuatan terdakwa adalah setiap keadaan yang menyebabkan timbulnya keinginan serta dorongan keras pada diri terdakwa dalam melakukan tindak pidana kriminal. b. Akibat perbuatan terdakwa. Perbuatan pidana yang dilakukan terdakwa sudah pasti membawa korban atau kerugian pada pihak lain. c. Kondisi diri terdakwa. Yang dimaksud dengan kondisi diri terdakwa adalah keadaan fisik tau pisikis terdakwa sebelum melakukan kejahatan, termasuk pula status sosial yang melekat pada diirinya. d. Keadaan sosial terdakwa. Salah satu yang harus dipertimbangkan adalah keadaan sosial ekonomi pembuat, misalnya tingkat pendapatan, dan biaya hidup. Ketentuan ini memang belum mengikat pengadilan sebab masih bersifat konsep. Meskipun begitu, kondisi sosial ekonomi tersebut dapat dijadikan pertimbangan dalam
14
Ibid. hal: 216
37
menjatuhkan putusan sepanjang hal tersebut merupakan fakta yang terungkap dimuka persidangan. e. Faktor agama terdakwa. Setiap puatusan pengadilan senantiasa diawali dengan kalimat “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”. Kalimat ini selain berfungsi sebagai kepala putusan, juga yang lebih penting merupakan suatu ikrar dari hakim bahwa apa yang diungkapkan dalam putusannya itu semata-mata untuk kkeadilan yang berdasarkan keTuhanan. Kata “keTuhanan” menunjukan suatu pemahaman yang berdimensi keagamaan. Dengan demikian putusan para hakim berdasarkan keTuhanan, berarti ia harus terikat oleh ajaranajaran agama. Keterikatan hakim terhadap ajaran agama harus menjadi ukuran penilaian dari setiap tindakan, aik tindakan para hakim itu sendiri maupun dan terutama tindakan para pembuat kejahatan.
38