BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konsep Epidemiologi Tifus Abdominalis Definisi epidemiologi dapat diartikan sesuai dengan komponen kata yang menyusun istilahnya yaitu epi yang artinya atas, demos artinya penduduk dan logos artinya ilmu. Dengan demikian epidemiologi adalah ilmu yang mempelajari segala sesuatu yang menimpa/terjadi pada penduduk (Lapau, 2013). Epidemiologi memiliki cakupan yang luas, yaitu mulai dari mempelajari wabah, penyakit infeksi, penyakit non infeksi, kekurangan gizi dan kelainan metabolisme. Menurut Mac Mahon, 1970 (dalam Lapau, 2013) epidemiologi adalah ilmu yang mempelajari kejadian dan distribusi penyakit berserta determinan atau faktor-faktor yang berhubungan dengan atau mempengaruhi penyakit tersebut. 2.1.1. Basil Salmonella dan Reservoir Mikoorganisme penyebab Tifus Abdominalis adalah bakteri Salmonella Typhi dari genus Salmonella. Bakteri Salmonella Typhi berbentuk basil atau batang, gram negatif, bergerak, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, tetapi memiliki fimbria, bersifat aerob dan anaerob fakultatif. Bakteri Salmonella Typhi memiliki ukuran antara 2-4x0,6 µm. Suhu optimum untuk bakteri ini berkembang biak adalah 370C dengan pH antara 6-8. Bakteri Salmonella Typhi ini dapat hidup sampai beberapa minggu di lingkungan seperti di dalam air, es, sampah dan debu. Reservoir bakteri Salmonella Typhi adalah manusia yang sedang sakit atau karier. Bakteri Salmonella
Typhi mati pada pemanasan (suhu 600C) selama 15-20 menit, pasteurisasi, pendidihan dan khlorisasi. Masa inkubasi Tifus Abdominalis 10-14 hari pada anak, variasi 5-40 hari, dengan perjalanan penyakit kadang-kadang tidak teratur. Pembiakan bakteri Salmonella Typhi selama satu malam dalam kaldu, maka akan terjadi kekeruhan menyeluruh tanpa pembentukan selaput. Koloni bakteri Salmonella Typhi tampak besar dengan garis tengah 2-3 mm, bulat agak cembung, jernih, licin dan tidak menyebabkan hemolisis (Kepmenkes RI No. 364, 2006). 2.1.2. Gambaran Epidemiologis Tifus Abdominalis Penyakit Tifus Abdominalis terdapat di seluruh dunia, terutama di negaranegara berkembang di daerah tropis. Penyakit ini telah ada sejak beberapa abad yang lalu. Periode Tahun 1607 sampai dengan Tahun 1624 di Kota Jamestown Virginia Amerika Serikat dilaporkan lebih 6.000 kematian akibat wabah Tifus Abdominalis. Peperangan di Negara Afrika Selatan akhir abad XIX, Negara Inggris dilaporkan kehilangan 13.000 serdadu akibat Tifus Abdominalis, padahal kematian akibat perang itu sendiri hanya 8.000 serdadu. Sampai awal abad XXI ini Tifus Abdominalis masih ada, diperkirakan 17 juta kasus pertahun, dengan kematian sekitar 600.000 kasus. Case Fatality Rate
(CFR) berkisar 10.000/100.000 dan menurun menjadi
1.000/100.000 bila mendapat pengobatan yang adekuat. Di Indonesia, Tifus Abdominalis jarang dijumpai secara epidemis tapi bersifat endemis dan banyak dijumpai di kota-kota besar. Tidak ada perbedaan yang nyata insiden Tifus Abdominalis pada pria dan wanita. Insiden tertinggi didapatkan pada
usia remaja dan usia dewasa muda. Simanjuntak (1990) mengemukakan bahwa insiden Tifus Abdominalis di Indonesia masih sangat tinggi berkisar 350-810 per 100.000 penduduk. Kasus Tifus Abdominalis di rumah sakit besar di Indonesia, menunjukkan angka kesakitan cenderung meningkat setiap tahun dengan rata-rata 500/100.000 penduduk. Case Fatality Rate
(CFR) diperkirakan sekitar 600-
5.000/100.000 sebagai akibat dari keterlambatan mendapat pengobatan serta tingginya biaya pengobatan. Tifus Abdominalis masih ada di gegara yang telah maju, bersifat sporadik terutama yang berhubungan dengan kegiatan wisata ke negara-negara sedang berkembang. Insiden Tifus Abdominalis Amerika Serikat tidak berbeda antara lakilaki dan wanita. Secara umum insiden Tifus Abdominalis dilaporkan 75% didapatkan pada umur kurang dari 30 tahun. Pada usia anak-anak biasanya diatas 1 tahun dan terbanyak diatas 5 tahun dengan manifestasi klinik lebih ringan (Kepmenkes RI No. 364, 2006). Penelitian yang dilakukan oleh Saraswati dkk (2012) karakteristik tersangka Demam Tifoid Pasien Rawat Inap di Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang Periode Tahun 2010 diperoleh hasil bahwa tersangka Tifus Abdominalis lebih banyak ditemukan pada rentang usia 12-30 tahun (50,76%), terbanyak perempuan (60%), dan tersebar merata di Kota Palembang. Gambaran klinik penderita Tifus Abdominalis yang paling banyak ditemui adalah demam (100%), mual (58,46%), muntah (50,31%), anoreksia (32,31%), nyeri perut (35,38%), batuk (32,31%), nyeri kepala (29,23%), lidah kotor (27,69%), diare (18,46%) dan konstipasi (12,31%). Rata-rata
lama demam penderita Tifus Abdominalis adalah 12,28 hari, waktu rata-rata munculnya gejala demam sampai pasien masuk Rumah Sakit adalah 7 hari. Rata-rata demam penderita Tifus Abdominalis turun pada hari ke 5,50 setelah pasien masuk Rumah Sakit. Rata-rata lama rawat inap penderita Tifus Abdominalis adalah 7,91 hari. Gambaran hasil pemeriksaan hematologi penderita Tifus Abdominalis diperoleh Anemia 61,54%, Leukopeni 52,31%, Leukositosis 10,77%, Trombositopeni 46,16, Aneosinofilia 47,69%, Limfositopeni 1,54% dan Limfositosis 44,62%. Hasil tes Widal penderita Tifus Abdominalis paling banyak Typhi O 1/320 (67,70%), dan Typhi H 1/320 (61,53%). Obat-obat antibiotika yang paling banyak digunakan penderita Tifus Abdominalis adalah Seftriakson (30,77%) dan Kloramfenikol (27,69%). 2.1.3. Cara Penularan Tifus Abdominalis dan Faktor-faktor yang Berperan Bakteri Salmonella Typhi Salmonella menular ke manusia melalui makanan dan minuman. Makanan dan minuman yang dikonsumsi manusia dapat tercemar oleh komponen feses atau urin dari pengidap Tifus Abdominalis. Beberapa kondisi kehidupan manusia yang sangat berperan pada penularan penyakit Tifus Abdominalis adalah (Kepmenkes RI No. 364, 2006) : 1.
Higiene perorangan yang rendah, seperti budaya cuci tangan yang tidak terbiasa. Budaya cuci tangan yang tidak terbiasa tampak jelas pada anak-anak, penyaji makanan serta pengasuh anak. Penelitian yang dilakukan oleh Rakhman, dkk (2009) tentang faktor–faktor risiko yang berpengaruh terhadap kejadian demam tifoid pada orang dewasa di RSUD dr H. Soemarno Sosroatmodjo Kabupaten
Bulungan Provinsi Kalimantan Timur diperoleh bahwa faktor resiko kejadian Tifus Abdominalis adalah kebiasaan mencuci tangan pakai sabun sebelum makan, dimana diketahui bahwa kebiasaan tidak mencuci tangan pakai sabun sebelum makan, risiko terkena demam tifoid meningkat 2,625 kali lebih besar dibandingkan dengan orang dewasa yang mempunyai kebiasaan mencuci tangan pakai sabun. 2.
Higiene makanan dan minuman yang rendah Higiene makanan dan minuman yang rendah merupakan faktor paling berperan pada penularan Tifus Abdominalis. Banyak sekali contoh untuk ini, diantaranya : makanan yang dicuci dengan air yang terkontaminasi (seperti sayur-sayuran dan buah-buahan), sayuran yang dipupuk dengan tinja manusia, makanan yang tercemar dengan debu, sampah, dihinggapi lalat, air minum yang tidak dimasak dan sebagainya. Menurut Rakhman, dkk (2009) kebiasaan jajan makanan di luar rumah berisiko terkena Tifus Abdominalis
meningkat 1,17 kali lebih besar
dibandingkan dengan orang dewasa yang tidak pernah jajan makanan di luar penyediaan rumah. 3.
Sanitasi lingkungan kumuh, dimana pengelolaan air limbah, kotoran dan sampah yang tidak memenuhi syarat kesehatan Penelitian yang dilakukan oleh Herawati dan Ghani (2007) diperoleh bahwa determinan kejadian Tifus Abdominalis di Indonesia adalah variabel lingkungan yaitu adanya saluran pembuangan limbah dan mempunyai tempat sampah diluar
rumah masing-masing Odds Ratio (OR) untuk terkena Tifus Abdominalis adalah 1,180 dan 1,098. 4.
Penyediaan air bersih yang tidak memadai Penelitian yang dilakukan oleh Herawati dan Ghani (2007) diperoleh bahwa salah satu determinan kejadian Tifus Abdominalis di Indonesia adalah penyediaan air bersih. Kualitas air yang buruk mempunyai peluang sebesar 1,401 untuk terkena Tifus Abdominalis.
5.
Jamban keluarga yang tidak memenuhi syarat Menurut Rakhman, dkk (2009) keluarga yang tidak mempunyai jamban mempunyai risiko terkena Tifus Abdominalis 1,1 kali lebih besar dibandingkan dengan keluarga yang mempunyai jamban.
6.
Pasien atau karier Tifus Abdominalis yang tidak diobati dengan sempurna Penyakit Tifus Abdominalis, meskipun sudah dinyatakan sembuh, penderita belum dikatakan sembuh total karena mereka masih dapat menularkan penyakitnya kepada orang lain (bersifat carrier). Penderita dengan jenis kelamin perempuan kemungkinan untuk menjadi carrier 3 kali lebih besar dibandingkan laki-laki. Menurut Rakhman, dkk (2009) adanya riwayat Tifus Abdominalis mempunyai risiko terkena Tifus Abdominalis meningkat 2,244 kali lebih besar dibandingkan dengan orang yang anggota keluarganya tidak mempunyai riwayat Tifus Abdominalis.
2.2. Konsep Medik Tifus Abdominalis 2.2.1. Pengertian Tifus Abdominalis Tifus abdominalis adalah penyakit infeksi bakteri hebat yang terjadi di selaput lendir usus dan jika tidak diobati secara progresif menyerang jaringan di seluruh tubuh. Aspek paling penting dari infeksi ini adalah kemungkinan terjadinya perforasi usus karena satu kali organisme ini memasuki perut pasti timbul Peritonitis yang mengganas, bila ini terjadi progonosisnya sangat jelek. Komplikasi lain ialah pendarahan per anus dan infeksi terlokalisasi (Meningitis, dan lain lain) (Tambayong, 2000). Menurut Ochiai, R Leon (2008) Tifus Abdominalis merupakan infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmenella Enterica serotipe Typhi (Salmonella Tyhpi). 2.2.2. Etiologi Tifus Abdominalis Etiologi Tifus Abdominalis adalah bakteri Salmonella. Bakteri Salmonella adalah bakteri gram negatif, tidak berkapsul, mempunyai flagella dan tidak membentuk spora. Bakteri Salmonella Tpypi mempunyai 3 antigen penting untuk pemeriksaan laboratorium, yaitu Antigen O (Somatik), antigen H (flagella) dan antigen K (selaput) (Kunoli, 2013). 2.2.3. Patofisiologi Tifus Abdominalis Penularan penyakit Tifus Abdominalis terjadi melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi urin/feces dari penderita tifus akut dan dari para pembawa kuman/carrier. Penularan penyakit Tifus Abdominalis terjadi melalui Finger, Flyes,
Fomites, dan Fluids (Empat F) ke makanan, minuman, buah dan sayuran yang sering dimakan tanpa dicuci/dimasak (Kunoli, 2013). 2.2.4. Gejala Klinik Tifus Abdominalis Kumpulan gejala-gejala klinis Tifus Abdominalis disebut dengan sindrom Tifus Abdominalis. Beberapa gejala klinis yang sering pada Tifus Abdominalis diantaranya adalah (Kepmenkes RI No. 364, 2006) : a.
Demam Gejala utama Tifus Abdominalis adalah Demam. Pada awal sakit, demam kebanyakan samar-samar saja, selajutnya suhu tubuh sering turun naik. Demam pada pagi hari lebih rendah dibandingkan sore dan malam (demam intermitten). Intensitas demam dari hari ke hari makin tinggi yang disertai gejala lain seperti sakit kepala (pusing) yang sering dirasakan di area frontal, nyeri otot, pegal, insomnia, anoreksia, mual dan muntah. Pada minggu ke 2 intensitas demam makin tinggi, kadang-kadang terus menerus (demam kontinyu). Bila kondisi pasien membaik maka pada minggu ke 3 suhu badan berangsur turun dan dapat normal kembali pada akhir minggu ke 3. Demam intermitten pada pasein Tifus Abdominalis tidak selalu ada. Hal ini bias terjadi karena intervensi pengobatan atau komplikasi yang dapat terjadi lebih awal. Pada anak khususnya balita, demam tinggi dapat menimbulkan kejang.
b.
Gangguan saluran pencernaan Pada penderita Tifus Abdominalis sering ditemukan bau mulut yang tidak sedap karena demam yang lama, bibir kering dan kadang-kadang pecah-pecah, lidah
kelihatan kotor dan ditutupi selaput putih, ujung dan tepi lidah kemerahan dan tremor (coated tongue atau selaput putih), Pada umumnya penderita Tifus Abdominalis sering mengeluh sakit perut, terutama pada regio epigastric (nyeri ulu hati), disertai mual dan muntah. Pada awal sakit, sering terjadi meteorismus dan konstipasi dan pada minggu selanjutnya kadang-kadang timbul diare. c.
Gangguan kesadaran Pada penderita Tifus Abdominalis umumnya terdapat gangguan kesadaran yang berupa penurunan kesadaran ringan. Penderita Tifus Abdominalis tampak apatis dengan kesadaran seperti berkabut. Bila gejala klinis berat, tidak jarang penderita Tifus Abdominalis sampai somnolen dan koma atau dengan gejala-gejala psikosis (Organic Brain Syndrome). Pada penderita Tifus Abdominalis toksik, gejala delirium lebih menonjol.
d.
Hepatosplenomegali Pada penderita Tifus Abdominalis sering ditemukan pembesaran hati dan atau limpa. Organ hati terasa kenyal dan terdapat nyeri tekan.
e.
Bradikardia relatif dan gejala lain Pada penderita Tifus Abdominalis bradikardi relatif tidak sering ditemukan, mungkin karena teknis pemeriksaan yang sulit dilakukan. Bradikardi relatif adalah peningkatan suhu tubuh yang tidak diikuti dengan peningkatan frekuensi nadi. Patokan yang paling sering digunakan adalah bahwa setiap peningkatan suhu tubuh 10C tidak diikuti peningkatan frekuensi nadi 8 denyut dalam 1 menit. Gejala-gejala lain yang dapat ditemukan pada Tifus Abdominalis adalah rose
spot yang biasanya ditemukan di regio abdomen atas, serta gejala-gejala klinis yang berhubungan dengan komplikasi. Rose spot pada anak sangat jarang ditemukan malahan lebih sering epistaksis. 2.2.5. Penularan Tifus Abdominalis Penularan penyakit Tifus Abdominalis terjadi melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi oleh tinja dan urine dari penderita atau carrier. Di beberapa negara penularan terjadi karena mengkonsumsi kerang-kerangan yang berasal dari air yang tercemar, buah-buahan, sayur-sayuran mentah yang dipupuk dengan kotoran manusia, susu dan produk susu yang terkontaminasi oleh carrier atau penderita yang tidak teridentifikasi. Lalat dapat juga berperan sebagai perantara penularan memindahkan mikroogranisme dari tinja ke makanan. Di dalam makanan, mikroorganisme berkembang biak memperbanyak diri mencapai dosis infektif, dimana dosisnya lebih rendah pada Tifus Abdominalis dibandingkan dengan Paratifoid (Kunoli, 2013). 2.2.6. Masa Inkubasi Masa inkubasi tergantung pada besarnya jumlah bakteri yang menginfeksi ; masa inkubasi berlangsung dari 3 hari sampai dengan 1 bulan dengan rata-rata 8-14 hari. Untuk Gastroenteris yang disebabkan oleh Paratifoid masa inkubasi berkisar antara 1-10 hari (Kunoli, 2013).
2.2.7. Komplikasi Tifus Abdominalis Komplikasi Tifus Abdominalis sering timbul pada minggu ke 2 atau lebih, mulai dari komplikasi ringan sampai berat bahkan kematian. Beberapa komplikasi Tifus Abdominalis yang sering terjadi diantaranya (Kepmenkes RI No. 364, 2006) : a.
Tifoid Toksik (Tifoid Enselofapati)
b.
Syok Septik 1) Perdarahan dan Perforasi Intestinal 2) Peritonitis 3) Hepatitis Tifosa 4) Pankreatitis Tifosa 5) Pneumonia 6) Komplikasi lain
2.2.8. Gambaran Laboratorium Tifus Abdominalis Pemeriksaan laboratorium yang digunakan untuk pasien Tifus Abdominalis adalah (Kepmenkes RI No. 364, 2006) : a.
Gambaran darah tepi
b.
Pemeriksaan bakteriologis 1) Jenis pemeriksaan menurut biakan spesimen yaitu biakan darah, biakan bekuan darah, biakan tinja, biakan cairan empedu, dan biakan air kemih. 2) Biakan Salmonella Typhi 3) Serologis Widal
Tes serologi Widal adalah reaksi antara antigen (suspensi Salmonella yang telah dimatikan) dengan aglutinin yang merupakan antibodi spesifik terhadap komponen basil Salmonella di dalam darah manusia (saat sakit, karier atau pasca vaksinasi). Prinsip tes serologi Widal adalah terjadinya reaksi aglutinasi antara antigen dan aglutinin yang dideteksi yaitu aglutinin O dan H. Aglutinin O mulai dibentuk pada akhir minggu pertama demam sampai puncaknya pada minggu ke 3 sampai ke 5. Aglutinin O dapat bertahan sampai lama 6-12 bulan. Aglutinin H mencapai puncak lebih lambat minggu ke 4-6 dan menetap dalam waktu lebih lama, sampai 2 tahun kemudian. Interpretasi hasil Widal : a) Belum ada kesepakatan tentang nilai titer patokan. Masing-masing daerah tidak memiliki patokan nilai titer berbeda, tergantung endemisitas daerah masing-masing dan tergantung hasil penelitiannya. b) Batas titer yang dijadikan diagnosis hanya berdasarkan kesepakatan atau perjanjian pada satu daerah tersebut. Kebanyakan pendapat bahwa titer O 1/320 sudah menyokong kuat diagnosis Tifus Abdominalis. c) Reaksi Widal negatif tidak menyingkirkan diagnosis Tifus Abdominalis d) Diagnosis Tifus Abdominalis dianggap diagnosis pasti adalah bila didapatkan kenaikan titer 4 kali lipat pada pemeriksaan ulang dengan interval 5-7 hari. Perlu diingat bahwa banyak faktor yang mempengaruhi reaksi Widal sehingga mendatangkan hasil yang keliru baik negatif palsu atau positif palsu. Hasil negatif palsu seperti pada keadaan pembentukan
antibodi yang rendah yang dapat ditemukan pada keadaan-keadaan gizi buruk,
mengkonsumsi
obat-obat
imunosupresif,
penyakit
Agammaglobulinemia, Leukemia, Karsinoma lanjut, dan lain-lain. Hasil test positif palsu dapat dijumpai pada keadaan pasca vaksinasi, mengalami infeksi subklinis beberapa waktu yang lalu, aglutinasi silang, dan lain-lain. 4) Mencari kuman pembawa Tifus Abdominalis 5) Pemeriksaan lain : PCR (Polymerase Chain Reaction), Typhi Dot IEA 2.2.9. Pengobatan Tifus Abdominalis Pengobatan
Tifus
Abdominalis
dilakukan
dengan
prinsip
triologi
penatalaksanaan (Widoyono, 2011) yaitu : 1. Pemberian antibiotik Pemberian antibiotik dimaksudkan untuk membunuh kuman penyebab Tifus Abdominalis. Obat-obatan yang sering digunakan adalah : a. Kloramfenikol 100 mg/kg berat badan/hari, dibagi 4 dosis selama 14 hari b. Pemberian Amoksilin 100 mg/kg berat badan/hari/4 kali c. Pemberian Kotrimoksazol 480 mg, 2x2 tablet selama 14 hari d. Sefalosporin generasi II dan III (Ciprofloxacin 2x500 mg) selama 6 hari; Ofloxacin 600 mg/hari selama 7 hari; Ceftriaxone 4 gram/hari selama 3 hari). 2. Istirahat dan perawatan Istirahat dan perawatan berguna untuk mencegah terjadinya komplikasi. Penderita sebaiknya beristirahat total di tempat tidur selama 1 minggu setelah bebas dari
Tifus Abdominalis. Mobilisasi dilakukan secara bertahap, sesuai dengan keadaan penderita. Mengingat mekanisme penularan penyakit ini, kebersihan perorangan perlu dijaga karena ketidak berdayaan pasien untuk buang air besar dan kecil. 3. Terapi penunjang Terapi penunjang dilakukan agar tidak memperberat kerja usus. Pada tahap awal penderita Tifus Abdominalis diberi makanan berupa bubur saring, selanjutnya dapat diberi makanan yang lebih padat dan akhirnya nasi biasa, sesuai dengan kemampuan
dan
kondisinya.
Pemberian
zat
gizi
dan
mineral
perlu
dipertimbangkan agar dapat menunjang kesembuhan pasien. 2.2.10. Pencegahan dan Pemberantasan Tifus Abdominalis 1. Pencegahan primer Pencegahan primer merupakan upaya untuk mempertahankan orang yang sehat agar tidak sakit dengan cara mengendalikan penyebab-penyebab penyakit dan faktor risikonya. Pencegahan primer dapat dilakukan dengan cara : a.
Imunisasi dengan vaksin yang dibuat dari strain Salmonella typhi yang dilemahkan Walaupun imunisasi tidak dianjurkan di Amerika Serikat (kecuali pada kelompok yang beresiko tinggi), imunisasi pencegahan Tifus Abdominalis termasuk dalam program pengembangan imunisasi yang dianjurkan di Indonesia. Akan tetapi, program ini masih belum diberikan secara gratis karena keterbatasan sumber daya pemerintah. Oleh sebab itu, orangtua harus membayar biaya imunisasi untuk anaknya.
Jenis vaksinasi yang tersedia adalah : 1) Vaksin parenteral utuh Berasal dari sel Salmonella Typhi yang sudah mati. Setiap cc vaksin mengandung sekitar 1 miliar kuman. Dosis untuk anak usia 1-5 tahun adalah 0,1 cc, anak usia 6-12 tahun 0,25 cc, dan dewasa 0,5 cc. Dosis diberikan 2 kali dengan interval 4 minggu. Karena efek samping dan tingkat perlindungannya yang pendek, vaksin jenis ini sudah tidak beredar lagi. 2) Vaksin oral Ty21a Ini adalah vaksin oral yang mengandung Salmonella Typhi strain Ty21a hidup. Vaksin diberikan pada usia minimal 6 tahun dengan dosis 1 kapsul setiap 2 hari selama 1 minggu. Menurut laporan, vaksin oral Ty21a bisa memberikan perlindungan selama 5 tahun. 3) Vaksin parenteral polisakarida Vaksin ini berasal dari polisakarida Vi dari kuman Salmonella. Vaksin diberikan secara parenteral dengan dosis tunggal 0,5 cc intra muscular pada usia mulai 2 tahun dengan dosis ulangan (booster) setiap 3 tahun. Lama perlindungan sekitar 60-70%. Jenis vaksin ini menjadi pilihan utama karena relatif paling aman. Imunisasi rutin dengan vaksin tifoid pada orang yang kontak dengan penderita seperti anggota keluarga dan petugas yang menangani penderita tifoid dianggap kurang bermanfaat, tetapi mungkin berguna bagi mereka yang terpapar oleh carrier. Vaksin oral tifoid bisa juga memberi perlindungan
parsial terhadap demam Paratifoid, karena sampai saat ini belum ditemukan vaksin yang efektif untuk demam Paratifoid. b.
Memberikan pendidikan kesehatan kepada masyarakat agar menerapkan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). Pendidikan kesehatan kepada masyarakat tentang pentingnya mencuci tangan setelah buang air besar dan sebelum memegang makanan dan minuman, sediakan fasilitas untuk mencuci tangan secukupnya. Hal ini penting terutama bagi mereka yang pekerjaannya sebagai penjamah makanan dan bagi mereka yang pekerjaannya merawat penderita dan mengasuh anak-anak.
c.
Penyediaan sumber air minum yang baik Sumber air perlu dilindungi dari zat yang bias mengkontaminasi. Lakukan pemurnian dan pemberian klorin terhadap air yang akan didistribusikan kepada masyarakat. Sediakan air yang aman bagi perorangan dan rumah tangga. Hindari kemungkinan terjadinya pencemaran (back flow) antara sistem pembuangan kotoron (sewer system) dengan sistem distribusi air.
d.
Pemberantasan lalat dengan menghilangkan tempat berkembangbiaknya dengan sistem pengumpulan dan pembuangan sampah yang baik (Kunoli, 2013).
e.
Kebersihan makanan dan minuman sangat penting dalam pencegahan Tifus Abdominalis. Merebus air minum dan makanan sampai mendidih juga sangat membantu. Sanitasi lingkungan, termasuk pembuangan sampah dan imunisasi, berguna untuk mencegah penyakit. Secara lebih detail, strategi pencegahan Tifus Abdominalis mencakup hal-hal berikut (Widoyono, 2011) :
f.
Penyediaan jamban yang sehat
g.
Mengonsumsi makanan sehat untuk meningkatkan daya tahan tubuh
h.
Pembuangan kotoran pada jamban yang baik dan yang tidak terjangkau oleh lalat.
i. 2.
Pengawasan kepada para penjual makanan dan minuman Pencegahan Sekunder Pencegahan sekunder adalah upaya yang dilakukan untuk menemukan kasus
secara dini, pengobatan bagi penderita dengan tepat serta mengurangi akibat-akibat yang lebih serius. Pencegahan sekunder dapat berupa: a.
Pencarian
penderita
maupun
carrier
secara
dini
melalui
peningkatan
usahaSurveilans Tifus abdominalis. b.
Perawatan Penderita Tifus abdominalis perlu dirawat yang bertujuan untuk isolasi dan pengobatan. Penderita harus tetap berbaring sampa i minimal 17 hari demam atau kurang lebih 14 hari. Keadaan ini sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya komplikasi. Penderita dengan kesadaran menurun, posisi tubuhnya harus diubah-ubah pada waktu-waktu tertentu untuk menghindari komplikasi pneumonia hipostatik dan dekubitus. Defekasi dan buang air kecil pada penderita Tifus abdominalis perlu diperhatikan karena dapat terjadi konstipasi dan retensi air kemih.
c.
Diet Penderita Tifus abdominalis sebaiknya mengonsumsi makanan yang cukup cairan, berkalori, tinggi protein, lembut dan mudah dicerna seperti bubur nasi. Pemberian makanan tersebut dimaksudkan untuk menghindari komplikasi perdarahan usus dan perforasi usus karena usus perlu diistirahatkan. Tidak dianjurkan mengonsumsi bahan makanan yang mengandung banyak serat dan mengahasilkan banyak gas. Pemberian susu dilakukan 2 kali sehari. Jenismakanan untuk penderita dengan kesadaran menurun adalah makanan cair yang dapat diberikan melalui pipa lambung. Untuk penderita dengan komplikasi perforasi usus, tidak dianjurkan makanan yang dapat mengiritasi lambung seperti makanan pedas dan asam (Kepmenkes RI No. 364, 2006).
3.
Pencegahan Tersier Pencegahan tersier adalah upaya untuk mengurangi keparahan atau
komplikasi penyakit yang sudah terjadi. Apabila penderita Tifus abdominalis telah dinyatakaan sembuh, sebaiknya tetap menjaga kesehatan dan kebersihan sehingga daya tahan tubuh dapat pulih kembali dan terhindar dari infeksi ulang Tifus abdominalis. Disamping itu, penderita tersebut harus melakukan pemeriksaan serologis sebulan sekali untuk mengetahui keberadaan Salmonella Typhi di dalam tubuh (Kepmenkes RI No. 364, 2006).
2.3. Landasan Teori Segitiga epidemiologi (trias epidemiologi) merupakan konsep dasar epidemiologi yang memberikan gambaran tentang hubungan antara tiga faktor utama yang berperan dalam terjadinya penyakit dan masalah kesehatan lainnya. Segitiga ini merupakan gambaran interaksi antara tiga faktor yakni host (tuan rumah = pejamu), agent (agen = faktor penyebab), dan environment (lingkungan). Timbulnya penyakit berkaitan dengan terjadinya ketidakseimbangan interaksi antara ketiga faktor ini. Keterkatian antara pejamu, agen, dan lingkungan merupakan suatu kesatuan yang dinamis yang berada dalam keseimbangan (equilibrium) pada seorang individu yang sehat. Jika terjadi gangguan terhadap keseimbangan hubungan segitiga inilah yang menimbulkan status sakit (Bustan, 2012). Gangguan keseimbangan yang memungkinkan terjadinya penyakit berkaitan dengan : a.
Tersedianya pejamu yang rentan (susceptible host)
b.
Keterpaparan oleh faktor agen yang potensial beresiko (faktor resiko)
c.
Keadaan perubahan lingkungan yang mendukung keterpaparan oleh agen dan pejamu yang makin rentan.
1.
Faktor pejamu (host = tuan rumah) Pejamu adalah manusia atau mahluk hidup lainnya, termasuk burung dan
arthropoda, yang menjadi tempat terjadi proses alamiah perkembangan penyakit. Faktor pejamu yang berkaitan dengan kejadian penyakit dapat berupa : umur, jenis kelamin, ras, etnik, anatomi tubuh, dan status gizi. Faktor pejamu adalah :
a. Genetik : misalnya sickle cell disease b. Umur : ada kecenderungan penyakit menyerang umur tertentu c. Jenis kelamin (gender) : ditemukan penyakit yang terjadi lebih banyak atau hanya mungkin pada wanita d. Suku/ras/warna kulit : dapat ditemukan perbedaan antara ras kulit putih (white) dengan orang kulit hitam (black) di Amerika. e. Keadaan fisiologi tubuh : kelelahan, kehamilan, pubertas, stres, keadaan gizi f. Keadaan imunologis : kekebalan yang diperoleh karena adanya infeksi sebelumnya, memperoleh antibodi dari ibu, atau pemberian kekebalan buatan (vaksinasi) g. Tingkah laku (behavior) : gaya hidup (life style), personal hygiene, hubungan antar pribadi, dan rekreasi. 2.
Faktor agen Agen (faktor penyebab) adalah suatu unsur, organisme hidup atau kuman
infektif yang dapat menyebabkan terjadinya suatu penyakit. Pada beberapa penyakit agen ini adalah sendiri (single), misalnya pada penyakit-penyakit infeksi, sedangkan pada penyakit yang lain bisa terdiri dari beberapa agen yang bekerjasama misalnya pada penyakit kanker. Agen dapat berupa unsur biologis, unsur nutrisi, unsur kimiawi dan unsur fisika. Faktor agen adalah : a. Faktor nutrisi (gizi) : bisa dalam bentuk kelebihan gizi misalnyua tinggi kadar kolesterol, atau kekurangan gizi baik lemak, protein dan vitamin
b. Penyebab kimiawi : misalnya zat-zat beracun (karbon monoksida), asbes, cobalt, atau zat alergen. c. Penyebab fisik : misalnya radiasi dan trauma mekanik (pukulan, tabrakan) d. Penyebab biologis : 1) Metazoa : Cacing Tambang, Cacing Gelang, Schistosomiasis 2) Protozoa : Amoeba, Malaria 3) Bakteri : Sifilis, Typhoid, Pneumonia, Tuberculosis 4) Fungi (jamur) : Histoplasmosis, Taenia Pedis 5) Rickettsia : Rocky Mountain Spotted Fever 6) Virus : Campak, Cacar (Smallfox), Poliomyelitis Konsep faktor agen ini secara klasik memang hanya mendefinisikan sebagai organisme hidup atau kuman infektif yang dapat menyebabkan penyakit. Pengertian agen ini tentunya hanya sebatas penyebab untuk penyakit infeksi. Dalam pengertian klinik faktor agen ini sama penggunaannya dengan isitlah etiologi. Dari segi epidemiologi terjadi perkembangan konsep faktor agen ini dengan mempergunakan terminologi faktor resiko (risk factor). Istilah faktor resiko mencakup seluruh faktor yang dapat memberikan kemungkinan yang dapat menyebabkan terjadinya penyakit. Di dalamnya termasuk faktor gaya hidup dan bukan mikroorganisme saja seperti gangguan gizi, ekonomi (kemiskinan) dan lain-lain. Selain itu penggunaan faktor resiko ini juga tidak hanya dipakai dalam hal penyakit sebagai outcome atau akibatnya, tetapi mencakup kematian dan seluruh masalah kesehatan yang sedang diamati. Contoh faktor resiko yang bersifat tingkah laku tidak sehat (unhealthy behavior) adalah : minum alkohol, menggunakan marijuana/cocain (drug abuse),
merokok, bertengkar fisik (physical fight), tidak menggunakan tali pengaman (seat belt) dalam mengendarai mobil, kurang olahraga (kurang dari 3 kali seminggu), kurang mengkonsumsi buah/sayuran, dan sexual intercourse prakawin. 3.
Faktor lingkungan Lingkungan adalah semua faktor luar dari suatu individu yang dapat berupa
lingkungan fisik, biologis dan sosial. Faktor lingkungan meliputi : a. Lingkungan fisik : geologi, iklim dan geografi b. Lingkungan biologis : misalnya kepadatan penduduk, flora (sebagai sumber bahan makanan) dan fauna (sebagai sumber protein). c. Lingkungan sosial : berupa migrasi/urbanisasi, lingkungan kerja, keadaan perumahan, keadaan sosial masyarakat (kekacauan, bencana alam, perang, banjir). Agen
Tifus abdominalis
Pejamu
Lingkungan
Gambar 2.1. Trias Epidemiologi pada Kejadian Tifus Abdominalis
2.4. Kerangka Konsep Kerangka konsep penelitian ini menggambarkan faktor-faktor yang diduga berpengaruh terhadap kejadian Tifus Abdominalis di Kota Sibolga (Gambar 2.2) Variabel Independen Faktor-faktor yang mempengaruhi : 1. Mencuci tangan 2. Higiene makanan dan minuman 3. Penyediaan air bersih 4. Penyediaan jamban keluarga 5. Sarana pembuangan air limbah 6. Sarana pembuangan sampah/tempat sampah 7. Kebiasaan makan di luar rumah
Variabel Dependen
Kejadian Tifus Abdominalis
Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian