BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Botani dan Syarat Tumbuh Rami Tanaman rami adalah tanaman serat nabati yang menghasilkan serat dari kulit kayunya. Tanaman yang diduga berasal dari Cina itu secara botanis dikenal dengan nama Boehmeria nivea (L.) Gaud.) (Sumantri, 1984; Ji Junsan dan Han Yanru,1989; Li Tsongdao, 1992). Tanaman rami (Boehmeria nivea L. (Gaud.) di Jawa Barat dikenal dengan nama haramay, sedangkan di Minangkabau dikenal dengan romin. Menurut Ochse et al. (1961), rami merupakan salah satu tanaman serat-seratan yang paling dulu dikenal manusia. Rami merupakan tanaman yang penting di Asia. Matthews (1960, dikutip Bermanakusumah, 2001) menyebutkan bahwa tanaman rami termasuk famili Urticaceae yang diklasifikasi oleh Linnaeus tahun 1737 dalam Species Plantarum dengan nama Urtica nivea, tetapi beberapa tahun kemudian Gaudichaud Beaupré memberi nama Boehmeria. Selanjutnya disebutkan bahwa spesies rami yang terdapat di Indonesia ada dua, yaitu Boehmeria nivea yang permukaan daunnya berwarna perak, dikenal dengan nama china grass, dan Boehmeria tenacissima dengan permukaan bawah daunnya berwarna hijau dan lebih sempit, dikenal dengan nama rhea (Fletcher, 1999). Fletcher (1999) melaporkan bahwa kain dari bahan rami telah ditemukan pada mumi pradinasti Mesir yang diperkirakan ada pada periode 5000 sampai 3300 tahun sebelum Masehi. Akan tetapi, Petruszka (1977) menyebutkan bahwa baru pada awal abad pertengahan serat rami secara luas dipergunakan di Eropa dengan nama china grass karena merupakan tanaman khas yang berasal dari Cina.
20
Pakaian yang dibuat dari benang serat tersebut disebut grass linen. Serat itu lebih dahulu dikenal daripada sutera sebagai bahan tekstil. Menurut Peterson (2002) dan Anderson (2003), klon rami dalam sistematika botaninya sebagai berikut : Divisio
:
Magnoliophyta
Classis
:
Magnoliosida
Subclassis
:
Hammamelidae
Ordo
:
Urticales
Familia
:
Urticaceae
Genus
:
Boehmeria
Species
:
Boehmeria nivea
Batang tanaman rami tinggi ramping hingga mencapai ketinggian antara 200 sampai 250 cm, tetapi adakalanya hingga mencapai ketinggian 300 cm. Diameter batang berkisar antara 12 sampai 20 mm, bergantung pada kondisi pertumbuhan (Sumantri, 1984).
Menurut Dempsey (1963), diameter batang rami berkisar
antara 8 sampai 16 mm. Daun rami sangat karakteristik, berbentuk menyerupai jantung dan bagian sisinya bergerigi halus, panjang 10 sampai 20 cm, dan lebar 5 sampai 15 cm. Daunnya berwarna hijau muda hingga tua berkilap pada bagian atasnya dan berwarna putih keperak-perakan dan berbulu halus pada bagian punggungnya. Bunganya tergolong majemuk dengan biji sangat kecil. Bunga pada beberapa varietas berwarna putih kehijau-hijauan di samping ada yang berwarna hijau kekuningan-kuningan dan berubah menjadi coklat jika sudah tua. Bunga rami
21
terikat mengelompok di sela-sela daun pada bagian bawah buku-buku batang (Petruszka, 1977). Rami mempunyai dua sistem perakaran (dimorfis), yaitu akar umbi sebagai pangkal akar yang menembus tanah secara vertikal sampai kedalaman 25 cm yang lebih berfungsi sebagai penyimpan cadangan makanan, dan akar reproduksi (rizom) yang menjalar di bawah permukaan tanah sedalam kira-kira 10 cm. Pada rizom banyak terdapat mata tunas yang dapat digunakan sebagai perbanyakan tanaman rami. Sastrosupadi dan Isdijoso (1992) menyatakan bahwa rami tergolong tanaman yang pertumbuhan vegetatifnya cepat karena setiap 2 bulan sekali harus dipanen atau dipotong agar pertumbuhan batang yang berasal dari rizom dapat terpacu.
Berdasarkan sifat itu, rami membutuhkan air yang cukup tersedia
sepanjang tahun serta tanah yang subur dan gembur. Agar pertumbuhannya baik atau berproduksi tinggi, rami memerlukan ketersediaan air sepanjang tahun sehingga daerah yang cocok untuk pertanaman rami adalah daerah dengan tipe iklim A dan B menurut klasifikasi Oldeman (Sastrosupadi et al., 1992c). Menurut Suratman dan Suharjan (1984), sebaiknya rami dikembangkan di daerah dengan klasifikasi curah hujan tipe B dan C menurut Schmidt dan Ferguson (1951), yakni daerah dengan bulan basah 6 sampai 9 bulan dengan bulan kering kurang dari 3-4 bulan. Persyaratan itu menuntut daerah pengembangan yang beriklim basah dan tanah yang tinggi kandungan bahan organiknya (Djafaruddin et al., 1992; Dempsey, 1963; Petruszka, 1977; Sumantri, 1984; Sastrosupadi dan Isdijoso, 1992). Namun demikian, tanaman rami peka terhadap genangan (Suratman et al.,
22
1992; Singh, 1989). Fletcher (1999) menyatakan bahwa rami toleran terhadap berbagai jenis tanah, tetapi sangat peka terhadap genangan. Menurut Leandro et al. (1990), rami masih dapat bertahan terhadap genangan selama satu hari setelah tanam/panen dan 2 hari pada pertengahan stadia vegetatif umur 20 harian. Genangan sangat berpengaruh terhadap tinggi tanaman dan bobot batang. Tanaman rami dapat tumbuh di daerah subtropis dan daerah tropis. Menurut Setyo-Budi et al. (1992), tanaman rami klon Pujon 10 mampu tumbuh dan menghasilkan hasil serat yang tinggi di dataran tinggi, dataran sedang, dataran medium, dan dataran rendah. Sastrosupadi dan Isdijoso (1992) menyebutkan bahwa di dataran rendah pun produksi rami dapat tinggi asalkan pengairan cukup. Meskipun di dataran rendah rami agak lebih cepat berbunga, yang sangat menentukan pertumbuhan adalah tersedianya air dan pemberian pupuk setelah panen. Purwati et al. (1991) melaporkan bahwa kelompok bunga klon Pujon 10 kecil-kecil dan sedikit jumlahnya Hasil fotosintesis yang digunakan untuk pertumbuhan generatif pun sedikit sehingga dapat digunakan sebesar-besarnya untuk pertumbuhan bagian vegetatif.
Bentuk klon Pujon 10 ramping,
pembungaan terbentuk mulai dari sepertiga batang dari atas dan bunga tersebar tidak rapat, sedangkan batang masih mampu tumbuh ke atas pada saat terbentuk bunga.
Tipe daunnya tidak lebar dengan posisi daun agak tegak yang
memungkinkan penetrasi cahaya matahari menjangkau kanopi bagian tengah dan bawah (Santoso et al., 1992). Menurut Balai Penelitian Tembakau dan Tanaman Serat (1995), ditinjau dari pertumbuhan dan jumlah anakan, klon Pujon 10 lebih baik dibandingkan dengan klon lain.
23
Menurut Sastrosupadi dan Isdijoso (1992), tanaman rami akan tumbuh baik jika ditanam pada ketinggian 350 sampai 1200 m dari permukaan laut karena pada ketinggian tersebut masa vegetatif lebih lama dan masa pembungaan tidak cepat. Selanjutnya Tu Shikun (1992) melaporkan bahwa rami dapat beradaptasi pada ketinggian 3 sampai 800 m di atas permukaan laut. Menurut Suratman et al. (1992), kisaran daerah pengembangan antara 10 sampai 1500 m di atas permukaan laut. Sastrosupadi et al. (1992a) menyatakan bahwa tanaman rami juga dapat ditanam di daratan rendah seperti tanah gambut dengan memperhatikan drainase dan pemupukan. Curah hujan yang dikehendaki oleh tanaman rami 2000 sampai 2500 mm dengan pembagian yang merata sepanjang tahun. Cai Tiangchang dan Lou Ling (1989) menyatakan bahwa curah hujan yang dibutuhkan rami di atas 800 sampai 1900 mm/tahun dengan kelembaban relatif 70%, sedangkan menurut Pathak dan Pal (1987), curah hujan yang sesuai untuk tanaman rami antara 1600 sampai 2000 mm/tahun dengan kelembaban relatif 80%. Untuk memperoleh hasil yang diproduksi tinggi, tanaman memerlukan tanah yang subur, iklim yang berkelembaban cukup dengan temperatur yang memadai, dan curah hujan memenuhi kebutuhan minimal 90 mm/bulan (Sumantri,1984). Menurut Cabangbang (1988), rami membutuhkan curah hujan 150 sampai 200 mm per 50-60 hari, bergantung pada keadaan tanah dan cuaca. Dempsey (1963) menyatakan bahwa rami membutuhkan curah hujan minimal 140 mm per bulan. Cai Tianchang dan Lou Ling (1989) menyebutkan bahwa temperatur optimum untuk tanaman rami antara 23 sampai 29.7 oC dengan temperatur minimum 9oC. Tu Shikun (1992) menyatakan bahwa temperatur optimum tanaman rami antara 15 oC sampai 32 oC. Menurut Sumantri (1984) dan Dempsey (1963), tanaman
24
rami akan tumbuh baik pada tanah bertekstur ringan seperti tanah gambut atau tanah liat berpasir dengan pH berkisar dari 4.8 sampai 5.6, sedangkan pada tanah mineral yang kaya zat hara pH yang cocok berkisar dari 5.6 sampai 6.4. Suratman dan Suharjan (1984) dan Suratman et al. (1992) menyatakan bahwa rami menghendaki tanah lempung berpasir dan gembur dengan pH 4.6 sampai 6.4. Menurut Wan Qiang dan Xiao Zehong (1989), nitrogen sangat penting untuk meningkatkan hasil rami, kalium tidak hanya meningkatkan hasil, tetapi juga memperbaiki kualitas serat, sedangkan fosfor dibutuhkan pada awal pertumbuhan dan kurang berpengaruh terhadap hasil dan kualitas serat. Menurut FAO (1994), serat rami berasal dari pita serat pada kulit (ribbon) yang mengandung zat perekat (Sumantri, 1984). Selanjutnya Singh (1989) menyatakan bahwa serat rami terdapat pada bagian kulit antara kulit luar dengan kayu, disebut China grass, bernilai ekonomis, dan diperoleh dari 2.5% sampai 3% bobot total hijauan tanaman (Lampiran 2) . Hong et al. (1989) melaporkan bahwa tinggi tanaman rami 168 cm menghasilkan bobot ribbon tertinggi sebesar 457.5 kg ha-1. Serat rami merupakan serat yang kuat dan tahan lama. Oleh karena itu, serat rami menempati urutan nilai teratas di antara serat-serat alam nabati yang ada. Menurut Scruggs dan Smith (2003), serat rami mempunyai sifat yang baik, yaitu berwarna sangat putih berkilau, tidak berubah warna dan tidak berkerut oleh sinar matahari, higroskopis, dan mudah kering. Serat rami merupakan salah satu bahan baku tekstil yang pemakaiannya dapat dicampur dengan serat kapas atau polyester. Selain itu, serat rami juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan gorden, handuk, campuran wol, dan kain tenda. Buxton dan Greenhalgh (1989) dan
25
Tu Shikun (1992) menyatakan bahwa serat rami juga dapat digunakan untuk terpal, kaus lampu tekan, uang kertas, dan kertas sigaret. Oleh sebab itu, tanaman itu dapat dikembangkan semakin luas dan prospeknya sangat cerah (Riyadi, 1991). Menurut Dempsey (1963), kriteria siap panen untuk tanaman rami adalah (1) tanaman sudah berhenti tumbuh atau laju pertumbuhan tingginya berkurang, (2) separuh dari batang sudah berwarna coklat muda, dan (3) muncul tunas-tunas di permukaan tanah. Pemanenan atau pemangkasan pertama dilakukan 2 bulan setelah tanam. Pemangkasan itu bertujuan untuk merangsang tumbuh tunas baru yang lebih banyak. Hasil pemangkasan pertama biasa digunakan sebagai pupuk hijau atau pakan ternak. Pemangkasan berikutnya dapat dilakukan setelah tanaman berumur 2 bulan setelah pemangkasan pertama (Sumantri, 1984). 2.2 Karakteristika Tanah Gambut Ditinjau dari persyaratan tumbuhnya, rami dapat ditanam pada semua jenis tanah. Tanaman rami membutuhkan curah hujan yang cukup tinggi dan tanah yang kaya bahan organik. Lahan gambut berpeluang besar untuk ditanami rami dilihat dari sisi kebutuhan tanaman rami akan bahan organik dan air untuk pertumbuhan karena tanaman rami membutuhkan tanah yang kaya bahan organik dan gembur. Lahan gambut memenuhi persyaratan itu. Air juga cukup tersedia, baik dari curah hujan maupun akibat pasang surut. Wilayah lahan-lahan gambut di Sumatera umumnya beriklim basah dan hal itu merupakan persyaratan yang dikehendaki oleh tanaman rami (Sastrosupadi dan Isdijoso, 1992). Menurut Purnamaningsih dan Jusniarti (1993) dan Singh (1989), lahan gambut umumnya
26
terletak di wilayah yang beriklim basah dan mengandung bahan organik yang tinggi sehingga sangat cocok untuk pengembangan tanaman rami. Tanah gambut dapat terbentuk di daerah rawa pasang surut dan di daerah rawa-rawa
pedalaman
yang
tidak
dipengaruhi
oleh
air
pasang
surut
(Hardjowigeno, 1996). Tanah gambut terbentuk karena laju akumulasi bahan organik melebihi proses mineralisasi yang biasanya terjadi pada kondisi jenuh air yang hampir terus menerus sehingga sirkulasi oksigen dalam tanah terhambat. Hal tersebut akan memperlambat proses dekomposisi bahan organik dan akhirnya bahan organik itu akan menumpuk (Buol et al., 1978; Chotimah, 2002). Gambut tropis umumnya berwarna coklat tua (gelap), bergantung pada tahapan dekomposisinya. Kandungan air yang tinggi dan kapasitas memegang air 15 sampai 30 kali dari bobot kering, bobot isi rendah (0.05-0.4 g cm-3), dan porositas total antara 75% sampai 95% menyebabkan terbatasnya penggunaan mesin-mesin pertanian dan pemilihan komoditas yang akan diusahakan (Ambak dan Melling, 2000). Sifat lain yang merugikan adalah jika gambut mengalami pengeringan yang berlebihan sehingga koloid gambut menjadi rusak.
Gejala
kering tak balik (irreversible drying) terjadi dan gambut berubah sifat seperti arang sehingga tidak mampu lagi menyerap hara dan menahan air (Subagyo et al.,1996).
Gambut akan kehilangan air tersedia setelah 4 sampai 5 minggu
pengeringan dan hal itu mengakibatkan gambut mudah terbakar. Komposisi bahan penyusun gambut berkaitan erat dengan asam-asam organik yang dihasilkan selama proses dekomposisi.
Stevenson (1994)
menjelaskan bahwa lignin akan mengalami proses degradasi menjadi senyawa
27
humat dan selama proses degradasi tersebut akan dihasilkan asam-asam fenolat. Flaig et al. (1975) mengatakan bahwa dari selulosa dan hemiselulosa dihasilkan asam-asam karboksilat. Kesuburan tanah gambut sangat beragam, mulai dari sangat subur hingga sangat miskin. Adanya keragaman kesuburan gambut bergantung pada berbagai faktor yang mempengaruhi kualitas gambut, yaitu : (1) ketebalan lapisan tanah gambut, (2) komposisi tanaman penyusun gambut, (3) tanah mineral yang terdapat di bawah lapisan gambut, (4) kualitas air yang mempengaruhi pembentukannya, dan (5) tingkat dekomposisi tanah gambut (Widjaja-Adhi, 1988; Soekardi dan Hidayat, 1994). Menurut Subagyo et al. (1996), tanah bawah gambut dapat terdiri atas liat endapan marin, pasir kuarsa, atau endapan liat nonmarin. Tanah gambut yang berkembang di atas pasir kuarsa miskin hara esensial dibandingkan dengan tanah gambut yang berkembang di atas tanah lempung dan liat (Widjaja-Adhi, 1988). Menurut Suhardjo dan Soepraptohardjo(1981), tanah gambut mempunyai lapisan organik setebal 50 cm atau lebih dari permukaan tanah.
Kriteria
penggolongan tanah gambut dengan tanah mineral secara kuantitatif ditentukan oleh kandungan fraksi bahan tanah mineral dan C-organik. Menurut Everret (1983), suatu tanah digolongkan pada tanah gambut jika (1) mempunyai 18 % atau lebih C-organik jika fraksi mineral terdiri atas 60% atau lebih kadar liat, (2) mempunyai 12% atau lebih kecil C-organik jika fraksi mineral tidak mengandung liat, dan (3) mempunyai 12% sampai 18% C-organik jika fraksi mineral mengandung liat antara 0% sampai 60 %. Soil Survey Staff (1990) menyatakan
28
bahwa yang dimaksud dengan tanah organik (Histosol) adalah tanah yang mempunyai ketebalan sebagai berikut : (1) 60 cm atau lebih dengan kandungan serat (bahan organik kasar) meliputi 3/4 volume atau lebih dan kerapatan jenis dalam keadaan lembab kurang dari 0.1 g ml-1; (2) 40 cm atau lebih : (a) dengan lapisan bahan organik jenuh air lebih dari 6 bulan atau telah ada perbaikan drainase; (b) dengan bahan organik terdiri atas bahan organik halus (saprik) atau bahan organik sedang (hemik) atau bahan fibrik (kasar) kurang dari 2/3 volume dan kerapatan jenis dalam keadaan lembab 0.1 g ml-1 atau lebih. Tingkat dekomposisi bahan organik ditunjukkan oleh kandungan serat. Pengertian taraf dekomposisi bahan organik tanah yang lebih jelas dikemukakan Widjaja-Adhi (1988). Yang dimaksud dengan fibrik adalah bahan organik tanah yang sangat sedikit terdekomposisi yang mengandung serat sebanyak 2/3 volume. Bobot volume fibrik lebih kecil dari 0.075 g cm-3 dan kandungan air tinggi jika tanah dalam keadaan jenuh air. Saprik adalah bahan organik yang terdekomposisi paling lanjut yang mengandung serat kurang dari 1/3 volume dan bobot isi saprik adalah 0.195 g cm-3, sedangkan hemik adalah bahan organik yang mempunyai tingkat dekomposisi antara fibrik dengan saprik dengan bobot isi 0.075 sampai 0.195 g cm-3. Berdasarkan
status
hara,
Fleisher
(1965,
dikutip
Driessen
Soepraptohardjo, 1974) memilah gambut menjadi tiga golongan, yaitu :
dan
29
(1) gambut eutropik yang subur, (2) gambut mesotropik dengan kesuburan sedang, dan (3) gambut oligotropik sebagai gambut miskin.
Penggolongan
tersebut didasarkan pada kandungan nitrogen (N), kalium (K), fosfor (P), kalsium (Ca), dan kadar abunya seperti yang disajikan pada Tabel 1. Tabel 1.
Kriteria kimia gambut eutropik, mesotropik, dan oligotropik menurut Fleischer
Tingkat Kesuburan
Kriteria Penilaian (%) N
K2O
P2O5
CaO
Abu
Eutropik 2.50 0.10 0.25 Mesotropik 2.00 0.10 0.20 Oligotropik 0.80 0.03 0.05 Sumber : Driessen dan Soepraptohardjo (1974).
4.00 1.00 0.25
10.00 5.00 2.00
Sebagai akibat akumulasi bahan organik dan tanah dalam lingkungan tergenang air, banyak terbentuk senyawa-senyawa asam organik sehingga derajat kemasaman tanah gambut tinggi. Menurut Halim dan Soepardi (1987), kategori kemasaman tanah gambut dibedakan atas : (1) tinggi, pH kurang dari 4; (2) sedang, pH berkisar antara 4 sampai 5; (3) rendah, pH lebih dari 5. Kemasaman tanah gambut Anai, Sumatera Barat, sebagai salah satu wilayah lahan gambut yang diamati dari beberapa lokasi pengamatan bervariasi antara 3,1 sampai 4.7 (Tim Survei Fakultas Pertanian Unand, 1979). Derajat kemasaman tanah gambut beberapa sampel profil tanah berdasarkan ketebalan gambut tertera pada Lampiran 3. Tingkat kemasaman tanah gambut sedang dan tinggi merupakan masalah bagi pertumbuhan tanaman, khususnya yang menyangkut penyediaan hara yang dibutuhkan tanaman dan dapat meracuni tanaman. Oleh sebab itu, pH tanah
30
gambut yang akan diusahakan untuk pertanian perlu
ditingkatkan atau
kemasaman tanah diturunkan. Everret (1983) mengemukakan bahwa Kapasitas Tukar Kation (KTK) tanah gambut pada umumnya sangat tinggi, biasanya lebih dari 100 cmol kg-1 tanah. KTK tanah gambut di dataran Anai termasuk tinggi dan sangat tinggi, yaitu antara 35,1 sampai 65,6 cmol kg-1 tanah. Data KTK tanah gambut di dataran Anai yang diambil dari beberapa sampel profil tercantum pada Lampiran 3. Nilai Kejenuhan Basa (KB) adalah persentase dari total kapasitas tukar kation yang ditempati oleh kation-kation basa seperti kalsium, magnesium, kalium, dan natrium. kesuburan tanah.
Nilai KB berhubungan erat dengan pH dan tingkat
Kemasaman akan menurun dan kesuburan tanah akan
meningkat dengan meningkatnya KB.
Laju pelepasan kation terjerap bagi
tanaman bergantung pada tingkat KB suatu tanah. Suatu tanah dikatakan sangat subur jika KB-nya lebih besar dari 80%, kesuburan sedang jika KB-nya berkisar antara 50% sampai 80%, dan dikatakan tidak subur jika KB-nya kurang dari 50% (Tan, 1993). Berdasarkan analisis tanah dari beberapa lokasi sampel tanah di dataran Anai, ternyata KB tanah gambut di dataran Anai termasuk rendah dan sedang, yaitu antara 14% sampai 36% karena, menurut Halim dan Soepardi (1987), tingkat kritik KB sebesar 30%. Data nilai KB gambut dataran Anai berdasarkan ketebalan bahan organik disajikan pada Lampiran 3. Soekardi dan Hidayat (1994) menyatakan bahwa tanah-tanah gambut umumnya miskin unsur hara makro P, K, Ca, dan Mg dan kekurangan unsur hara
31
mikro Cu dan Zn. Selanjutnya Prasetyo (1996) menyatakan bahwa tanah gambut mempunyai kandungan asam-asam organik tinggi, tata air yang buruk, dan daya dukung tanah rendah. Pada pengelolaan tanah gambut untuk usaha pertanian, yang pertama-tama harus diperhatikan adalah dinamika sifat-sifat fisika dan kimia tanah gambut, terutama sifat kimia yang berhubungan dengan manajemen air tanah, antara lain (1) dinamika sifat kemasaman tanah yang dikaitkan dengan pengendalian asamasam organik meracun, dan (2) dinamika kesuburan tanah sehubungan dengan ketersediaan unsur hara makro dan mikro yang dibutuhkan tanaman yang diusahakan (Sabiham, 1996). Tindak lanjut masalah tanah gambut yang sudah dipecahkan adalah usaha memperbaiki kesuburan tanah dengan pencucian bahan-bahan beracun (Prasetyo, 1996), pengapuran
untuk menaikkan pH tanah (Mawardi et al.,1997),
peningkatan ketersediaan hara tanaman (Nelvia, 1997), dan aplikasi mikrobia pelapuk bahan organik (Poeloengan et al., 1995).
Hasil penelitian Mawardi et
al. (1997) memperlihatkan bahwa bahan-bahan amelioran dapat menetralkan asam-asam organik yang bersifat meracuni, meningkatkan pH, dan memperbaiki pertumbuhan dan produksi tanaman. Menurut Sastrosupadi et al. (1992a), pengapuran dapat meningkatkan pH tanah, menetralkan Al, dan meningkatkan ketersediaan P untuk tanaman. Rendahnya pH dan besarnya kapasitas sangga tanah gambut menyebabkan banyak diperlukan kapur untuk meningkatkan setiap satuan pH.
32
2.3 Peran Raw mix Semen pada Tanah Gambut Menurut Tan (1993), untuk meningkatkan kejenuhan basa tanah, pemberian kapur umum dilakukan. Raw mix semen yang terutama mengandung CaCO3 (75.55 %) dan MgCO3 (1.16 %) dapat merupakan sumber basa untuk tanah gambut. PT Semen Padang (1998) melaporkan bahwa raw mix semen mengandung 75.55 % CaCO3, 14.44% SiO2, 4.59% Al2O3, 2.44% Fe2O3, dan 1.16 % MgCO3 dengan nilai pH 7,39. Jika dilihat bahan yang dikandung oleh raw mix semen seperti CaO dan MgO, penggunaan raw mix semen analog dengan penggunaan kapur pertanian. Pemakaian raw mix semen yang berpedoman pada perhitungan kandungan CaO yang tidak berbeda jauh antara raw mix semen dengan kalsit diharapkan dapat memperbaiki sifat fisika, kimia, dan biologi tanah sehingga pH meningkat. Secara umum pengapuran bertujuan untuk memperbaiki sifat fisika, kimia, dan biologi tanah (Nyakpa et al., 1988), sedangkan menurut Hakim et al. (1986), pengaruh pemberian kapur terhadap pertumbuhan ditinjau dari dua segi, yakni pengaruh langsung, kapur sebagai sumber Ca dan Mg, dan pengaruh tidak langsung, yaitu perbaikan terhadap ciri kimia tanah. Kalsium merupakan unsur esensial untuk pembelahan dan perpanjangan sel. Status Ca dalam tanaman berhubungan erat dengan pH.
Ca mempengaruhi
ketersediaan unsur hara lain dan pertumbuhan mikroflora tanah, terutama bakteri (Gardner et al., 1991).
33
Kalsium diserap akar dalam bentuk kation bivalen (Ca2+) yang masuk ke dalam akar sebagian besar melalui proses pasif. Pergerakan Ca dari korteks ke stele terbatas dengan cara apoplas atau melintas ruang bebas yang hanya terjadi pada akar-akar muda.
Selanjutnya, Ca yang ada dalam pembuluh xilem
ditranslokasikan langsung ke atas dengan aliran transpirasi (Mengel dan Kirby, 1987). Berbeda dengan hara makro lainnya, sebagian besar Ca2+ dalam jaringan tanaman berlokasi pada dinding sel. Menurut Marschner (1986), ada dua tempat pada dinding sel dengan konsentrasi Ca2+ tinggi, yaitu pada lamela tengah dan permukaan luar membran plasma. Pada dua tempat itu Ca2+ mempunyai fungsi struktural penting, khususnya dalam pengendalian permeabilitas membran dan proses-proses yang berhubungan dengan itu, dan penguatan dinding sel. Umumnya pada jaringan tanaman, kekurangan Ca menyebabkan terhambatnya pembentukan struktur membran karena Ca berfungsi sebagai pengikat antara molekul fosfolipid dengan protein penyusun. Jika suplai Ca dari luar cukup, akan terjadi peningkatan laju sintesis protein. Fungsi Ca2+ lainnya yang menarik adalah dalam mengendalikan aktivitas beberapa enzim yang berlokasi dalam sitoplasma dan kloroplas. Dari beberapa hasil penelitian disimpulkan bahwa konsentrasi Ca2+ di dalam sitoplasma harus ada dalam level rendah karena jika konsentrasi Ca2+ tinggi, akan terbentuk garamgaram kalsium tak larut yang dapat menghambat aliran sitoplasma. Oleh karena itu, jika kelebihan, Ca2+-sitoplasma akan ditransfer ke dalam vakuola dan mitokondria. Masuknya Ca2+ dan auksin ke dalam sitoplasma melalui membran
34
plasma diperantarai transpor auksin aktif. Tampaknya, mekanisme itu berkaitan erat dengan kalmodulin dan auksin yang secara sederhana diilustrasikan seperti terlihat dalam Gambar 1.
Enzim
Sitoplasma • • °• ° °
°
•
•
Mitokondria
Vakuola
• • • • CaM • • • •
IAA
Membran Plasma •
Dinding Sel
Gambar 1. Model pengendalian intraselular kalsium (•), via kalmodulin (CaM) dan auksin (IAA) [Dikutip dari Marschner, 1986] Salisbury dan Ross (1995) mengemukakan bahwa ketika konsentrasi Ca2+ mulai meningkat dalam sitoplasma, beberapa Ca2+ bergabung membentuk kelat atau kompleks dengan kalmodulin tidak aktif menghasilkan komplek kalmodulin yang aktif. Kemudian kompleks itu sendiri mengaktifkan beberapa enzim seperti NAD-kinase (enzim yang menggunakan ATP untuk memfosforilasi NAD+ menjadi NADP+) dan ATPase pada membran plasma yang memindahkan kelebihan
Ca2+ ke luar sel.
Dengan cara itu, konsentrasi Ca2+ tetap dapat
dipertahankan dalam level yang rendah di dalam sitoplasma, yaitu <1 uM (Hansenstein dan Evans, 1986). Keberadaan Ca2+ yang tinggi di dalam kloroplas juga dapat menghambat aktivitas enzim RuBP-karboksilase yang sangat penting bagi fiksasi CO2. Meskipun mekanisme pengendalian Ca2+ belum diketahui,
35
keberadaan Ca2+ dalam konsentrasi yang sangat rendah dalam kloroplas merupakan persyaratan untuk laju fotosintesis yang tinggi (Marschner, 1986). Di samping mengandung unsur Ca, raw mix semen juga mengandung Mg. Menurut Salisbury dan Ross (1995), Mg sangat berperan dalam proses pembentukan klorofil, bergabung dengan ATP sehingga ATP dapat berfungsi dalam berbagai reaksi dan pembentukan DNA dan RNA, serta mengaktifkan enzim yang berperan dalam fotosintesis dan respirasi yang penting dan sangat menentukan pertumbuhan tanaman. Menurut Lawlor (1993), dalam fotosintesis Mg berperan mengaktifkan enzim RuBP-karboksilase, sedoheptulosa bifosfatase, dan fruktosa bifosfatase. Menurut Salisbury dan Ross (1995), dalam respirasi tahapan glikolisis, Mg berperan mengaktifkan enzim fosfoglukomutase, fruktokinase, ATP-fosfofruktokinase, fosfoglisero mutase, fosfoglisero kinase, enolase, dan piruvat kinase, sedangkan dalam siklus Krebs, Mg berperan mengaktifkan enzim asam piruvat dehidrogenase. Menurut Stevenson (1994) dan Rachim (1995), senyawa yang mengandung Al dan Fe tidak berbahaya bagi tanaman jika diberikan ke tanah gambut. Kalsium dengan kadar tinggi, yaitu >75%, Al2O3 sebanyak >4%, dan Fe2O3 sebanyak >2.4% yang terdapat pada raw mix semen dapat menetralkan asamasam organik beracun. Penetralan asam-asam organik tersebut terjadi melalui terbentuknya kompleks organo- kation (Prasetyo, 1996; Stevenson, 1994). Dengan cukupnya suplai Ca dan unsur-unsur hara yang lain dan ada dalam proporsi yang sesuai dalam organel-organel spesifik atau jaringan-jaringan tanaman, fungsi dan/atau perannya tidak hanya terlihat pada taraf hirarki seperti
36
dikemukakan di atas, tetapi juga tercermin pada taraf hirarki berikutnya, yaitu organ-organ tumbuh dan hasil selama faktor lainnya mendukung. Hasil penelitian Winarti et al. (1997) menunjukkan bahwa pemberian abu sekam sebanyak 10 ton ha-1 dapat meningkatkan kandungan Ca lahan gambut. Penambahan Ca dapat memperkaya nitrogen dan mengurangi kemasaman tanah sehingga perkembangan mikroorganisme meningkat. Hasil penelitian pada gambut pedalaman Berengbekel, Kalimantan Tengah (Tim Fakultas Pertanian IPB, 1986; Halim 1983; dan Halim dan Soepardi, 1987), juga menunjukkan pentingnya pemakaian kapur. Pemberian 4 ton ha-1 menaikkan pH tanah dari 3.3 menjadi 4.5 hingga 4.8 dan KB dari 2.6 menjadi 23 hingga 35.6 %.
Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat (1995) melaporkan
bahwa penambahan kapur dan unsur mikro Cu dan Zn dapat memperbaiki pertumbuhan vegetatif rami seperti tinggi tanaman, diameter batang, dan bobot batang basah berturut-turut 157 cm, 11.4 mm, dan 10.2 ton ha-1. 2.4 Teknologi M-Bio Pertanian organik, khususnya yang memanfaatkan teknologi mikrobia inokulan, akhir-akhir ini kembali mendapat perhatian besar ketika keracunan lingkungan karena penggunaan bahan-bahan kimia anorganik sudah semakin mengkhawatirkan. Oleh karena itu, berbagai pemikiran dan upaya ke arah sistem pertanian yang berdampak negatif terhadap lingkungan harus dihindarkan dan harus berubah ke sistem pertanian berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Hal itu telah menjadi topik pembicaraan di antara para ahli dalam berbagai forum pertemuan ilmiah di seluruh dunia (Martamidjaja, 1996).
37
Di samping menggunakan raw mix semen, pemecahan masalah tanah marjinal juga dapat dilakukan dengan budidaya pertanian secara alami yang akrab lingkungan dengan menggunakan mikroorganisme efektif (EM) yang bertujuan untuk mengurangi pemakaian bahan-bahan kimia seperti pupuk dan pestisida serta untuk meningkatkan dan menjaga dengan memanfaatkan seluruh sumberdaya alam sehingga tidak memutuskan rantai sistem ekologi pertanian itu sendiri. Teknologi EM dalam bidang pertanian merupakan teknologi budidaya pertanian untuk meningkatkan kesehatan dan kesuburan tanah dan kestabilan produksi pertanian
dengan menggunakan mikroorganisme yang bermanfaat bagi
lingkungan dan tanaman (Higa, 1994). PT Hayati Lestari Indonesia (1998) melaporkan bahwa salah satu EM yang digunakan dalam bidang pertanian adalah M-Bio yang merupakan larutan senyawa
organik
yang
berisi
kultur
campuran
mikroorganisme
yang
menguntungkan seperti ragi 7 x 102 populasi ml-1, Lactobacillus sp. 55 x 103 populasi ml-1, bakteri pelarut fosfat 8 x 104 populasi ml-1, dan Azospirillum sp. 15 x 102 populasi ml-1, di samping unsur hara makro dan mikro seperti N, P, K, S, Mo, Fe, Mn, dan B yang dapat memperbaiki sifat kimia tanah sehingga dapat meningkatkan kegiatan mikroorganisme tanah yang berarti meningkatkan kesuburan biologi tanah. Ketersediaan unsur hara juga merupakan hal yang sangat penting bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman karena kandungan unsur hara akan membantu memperlancar proses metabolisme tanaman, di antaranya proses fotosintesis sehingga fotosintat yang dihasilkan lebih tinggi yang
38
selanjutnya akan ditranslokasikan ke seluruh bagian tanaman yang akibatnya akan berpengaruh terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman. Menurut Higa (1994), peran dan fungsi mikroorganisme yang terdapat dalam EM adalah sebagai berikut : (1) ragi menghasilkan berbagai enzim dan hormon sebagai senyawa bioaktif untuk pertumbuhan tanaman, (2) Lactobacillus sp. berperan meningkatkan dekomposisi atau pemecahan bahan organik seperti lignin dan selulosa dan menghasilkan asam laktat, (3) bakteri pelarut fosfat dapat melarutkan zat-zat anorganik (P, Ca, Mg, dan lainnya) dan zat-zat/senyawasenyawa organik (gula, asam amino, alkohol, asam organik), dan (4) Azospirillum sp. dapat mengikat nitrogen udara. Mikroorganisme yang menguntungkan itu secara aktif mempengaruhi mikroorganisme tanah untuk meningkatkan kesuburan tanah. Berdasarkan beberapa hasil penelitian tentang bakteri pelarut hara, Singh dan Subba Rao (1979), Planzinski dan Rolfe (1985), dan Young et al. (1990) menunjukkan bahwa pemberian bakteri jenis tertentu yang mampu melarutkan unsur hara tertentu meningkatkan kemampuan tanaman dalam menyerap unsur hara yang bersangkutan. Di pihak lain, menurut Linch (1983), stabilitas agregat tanah secara umum meningkat dengan makin banyaknya jumlah mikroba pemantap agregat yang ditambahkan.
Penelitian yang dilakukan Goenadi et
al.(1995) menunjukkan bahwa Azospirillum sp., Azotobacter sp., Streptomyces sp., dan Aspergillus sp. mempunyai kemampuan dalam menghasilkan enzim urea reduktase dan fosfatase yang berperan penting dalam penambatan N bebas dari udara dan pelarut P dari senyawa P sukar larut. Selain itu, mikroba tersebut juga
39
menghasilkan asam-asam organik pelarut P dan/atau polisakarida ekstrasel yang berguna sebagai perekat dalam pembentukan agregat mikro. Perekat partikel tanah akan mendorong terbentuknya butiran tanah yang mantap sehingga aerasi lebih baik dan secara keseluruhan tanah menjadi lebih tahan terhadap erosi. Setiap bahan organik yang terfermentasi oleh jasad renik fermentasi, antara lain oleh M-Bio, akan ada dalam kondisi semi aerob atau anaerob pada suhu 40oC sampai 50 oC. Hasil fermentasi bahan organik, setelah mengalami mineralisasi, dapat dengan mudah diserap oleh perakaran tanaman.
Dengan demikian,
pemberian M-Bio dapat memfermentasi bahan organik yang tersedia dalam tanah gambut dan berintegrasi dengan tanah yang sudah diberi raw mix semen . Menurut Priyadi (1998), kultur campuran mikroorganisme yang terdapat dalam M-Bio tersebut antara lain ragi (yeast), Lactobaccillus sp., bakteri pelarut fosfat (solubelizing phosphate bacteria), dan Azospirillum sp. yang bekerja secara berkesinambungan dan saling mengisi satu sama lain dalam memfermentasi bahan organik, baik yang terdapat di alam/tanah maupun bahan organik yang telah disediakan sebelumnya, diaplikasikan melalui ‘Pupuk Organik Cara Fermentasi’ (Porasi) atau dapat juga diaplikasikan langsung ke tanah. Priyadi (1997) menjelaskan bahwa jika diberi M-Bio, bahan organik akan mengalami proses fermentasi dan jika ada dalam tanah, akan dihasilkan senyawa organik atau senyawa antara seperti asam amino, alkohol, dan asam organik yang dapat diserap langsung oleh tanaman. Selanjutnya dalam tubuh tanaman senyawa tersebut akan diubah menjadi kabohidrat, protein, dan lemak untuk proses pertumbuhan dan perkembangannya.
40
Higa (1988) menyatakan bahwa EM yang sudah diaplikasikan ke tanah akan menjadikan tanah bersifat zimogenik, yaitu banyak mengandung mikroorganisme fermentatif yang dalam aktivitasnya memfermentasi bahan organik. Dalam tanah zimogenik, mikroorganisme tanah yang merugikan tanaman akan mengalami tiga hal, yaitu (1) mikroorganisme patogen tidak dapat menetap di lingkungan itu, (2) mikroorganisme patogen ada, tetapi tidak dapat menyebabkan penyakit, dan (3) mikroorganisme patogen ada dan dapat menyebabkan penyakit, tetapi patogenitasnya akan menurun walaupun dalam sistem monokultur. Menurunnya aktivitas patogen dalam tanah zimogenik terjadi karena dalam tanah zimogenik berlangsung proses fermentasi bahan organik yang menghasilkan asam amino dan sakarida dan senyawa organik terlarut sehingga siklus hidup organisme pengganggu akan terhambat. Sebaliknya, organisme pengganggu tanaman lebih menyukai meneruskan siklus hidupnya pada kondisi kondusif bagi penyakit, yaitu terjadinya pembusukan bahan organik dalam tanah yang menghasilkan bahan organik dan menghasilkan energi dalam bentuk gas dan panas. Subadiyasa (1997) menyatakan bahwa perombakan bahan organik dapat terjadi melalui (1) proses oksidatif (pembusukan) oleh bakteri aerob sintetik, ditandai dengan bau busuk hasil pelepasan gas amoniak, hidrogen sulfida, dan metan, dan (2) proses fermentasi yang dilakukan oleh mikroorganisme anaerob. Pada proses fermentasi akan dihasilkan senyawa organik (asam laktat, alkohol, vitamin, gula, asam amino) yang dapat langsung diserap oleh tanaman, sedangkan pada proses pembusukan dihasilkan ion-ion an-organik , gas, dan panas dan masih terikat oleh molekul-molekul lainnya.
41
Higa dan Wididana (1996) menyatakan bahwa mekanisme EM berinteraksi dengan lingkungan tanah-tanaman didasarkan atas beberapa teori: (1) tanah penekan penyakit, EM terdiri atas mikroorganisme yang sangat fermentif, yaitu bakteri asam laktat fotosintetik, ragi, dan jamur dapat menekan serangan patogen dan serangga hama; (2) energi organik, Lactobaccillus sp. memfermentasi bahan organik tanah dan membebaskan asam amino dan sakarida, suatu senyawa organik terlarut yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi dalam metabolisme tanaman; (3) hara organik terlarut, mikroorganisme tanah merombak bahan organik tanah menjadi ion-ion anorganik yang kemudian dapat diserap tanaman sebagai unsur hara; (4) keseimbangan populasi mikroorganisme tanah, keseimbangan
populasi
dan
keragaman
antara
mikroorganisme
yang
menguntungkan dan yang merugikan akan menentukan apakah ekosistem tanah cocok atau tidak bagi pertumbuhan dan kesehatan tanaman; (5) mikroorganisme fotosintetik dan penambat nitrogen, jika EM diaplikasikan ke dalam tanah atau permukaan tanaman, populasi bakteri fotosintetik dan bakteri penambat N meningkat tajam. Bakteri fotosintetik dan bakteri penambat N yang lebih banyak akan meningkatkan laju fotosintesis dan kemampuan menambat N.
EMRO
Research (2002) melaporkan bahwa jika disemprotkan ke daun tanaman, EM yang mengandung bakteri fotosintetik dan bakteri fiksasi N dapat meningkatkan fotosintesis dan kapasitas fiksasi N. Mikroorganisme yang berasal dari EM juga mampu menekan perkembangan patogen penyebab penyakit pada permukaan daun.
42
Menurut Higa (1992, dikutip Wididana, 1994), EM dapat memacu pertumbuhan tanaman dengan cara: (1) memperbaiki sifat fisika, kimia, dan biologi tanah, (2) memacu pertumbuhan tanaman dengan cara mengeluarkan zat pengatur tumbuh, (3) melarutkan unsur hara dari batuan induk yang relatif susah kelarutannya menjadi unsur tersedia, (4) menjaga tanaman dari serangan hama dan penyakit, (5) menyediakan molekul organik sederhana agar dapat diserap langsung oleh tanaman, dan (6) memperbaiki dekomposisi bahan organik dan residu tanaman serta mempercepat daur ulang unsur hara. Ho In-Ho dan Kim JiHwan
(2002) melaporkan bahwa EM lebih besar pengaruhnya terhadap
pertumbuhan akar karena dengan EM yang mengandung IAA, aktivitas pertumbuhan akar meningkat 8 %. Selanjutnya Higa dan Wididana (1996) menyatakan bahwa cara kerja EM dalam meningkatkan kesuburan dan produksi tanaman adalah dengan (1) menekan pertumbuhan patogen tanah, (2) mempercepat dekomposisi limbah dan sampah organik, (3) meningkatkan ketersediaan nutrisi dan senyawa organik pada tanaman,
(4)
meningkatkan
aktivitas
mikroorganisme
indigen
yang
menguntungkan, misalnya Mycorrhiza, Rhizobium, dan bakteri pelarut fosfat, (5) memfiksasi nitrogen, dan (6) mengurangi kebutuhan pupuk dan pestisida kimia. Higa (1988) menyatakan bahwa jika diaplikasikan ke dalam tanah, (1) EM dapat meningkatkan ketersediaan P untuk tanaman, (2) memperbaiki sifat fisika tanah, di antaranya dapat meningkatkan daya sangga air, kandungan air, agregasi, dan aerasi tanah, serta mengurangi pengaruh aliran permukaan, (3) memperbaiki sifat kimia tanah, di antaranya memperbesar kapasitas tukar kation dan
43
meningkatkan kelarutan unsur fosfat dalam tanah, dan (4) memperbaiki sifat biologi tanah, di antaranya dapat meningkatkan aktivitas mikroorganisme di dalam tanah. Dalam upaya peningkatan produksi, ketersediaan unsur hara yang siap diserap tanaman merupakan faktor yang sangat penting. M-Bio mengandung bakteri Lactobaccillus dan mikroorganisme penghasil asam laktat yang dapat memfermentasi bahan organik dan mengubah bahan organik yang tak larut menjadi senyawa organik yang larut dalam air tanah.
Selain itu, M-Bio
merangsang pertumbuhan mikroorganisme seperti bakteri pelarut fosfat dan mikroorganisme yang bersifat antagonis terhadap penyakit tanaman (PT Hayati Lestari Indonesia, 1998). Penggunaan EM menyebabkan bahan organik menjadi pupuk organik yang mampu menyediakan unsur hara makro dan mikro yang meliputi N, P, K, B, S, Fe, Mn, Cu, dan Co, memperbaiki sifat fisik permukaan tanah sedalam 0-0.5 m, serta mengurangi kerapatan tanah (bulk density) sehingga tanah menjadi lebih gembur dan kepadatannya berkurang serta lebih tahan terhadap erosi tanah oleh air (Karim et al., 1992). Sarief (1989) menyatakan bahwa bahan organik dapat memperbaiki kualitas tanah. Ketersediaan bahan organik di dalam tanah ikut menentukan kesuburan tanah sebab bahan organik di dalam tanah berfungsi sebagai unsur hara, merangsang aktivitas organisme tanah, dan memperbaiki sifat fisika, kimia, dan biologi tanah.
44
Hasil penerapan teknologi EM di Indonesia telah banyak dilaporkan. Teknologi EM terbukti dapat meningkatkan produksi tanaman, di antaranya dapat meningkatkan jeruk di Sukabumi dari 150 kg menjadi 400 kg per 700 pohon dan meningkatkan produksi tomat dan kedelai masing-masing 133% dan 114% (Zaenudin, 1993). Pada uji coba, penggunaan M-Bio yang diaplikasikan melalui porasi kotoran sapi sebanyak 6 sampai 10 ton ha-1 dengan tidak menambahkan pupuk buatan atau pupuk organik menghasilkan gabah kering panen sebanyak 7.07 sampai 7.68 ton ha-1, sedangkan dengan pemberian pupuk buatan sesuai dengan dosis anjuran hanya memberikan hasil gabah kering panen sebanyak 6.98 ton ha-1 (Priyadi, 1998). Hasil penelitian Priyadi (2001) menunjukkan bahwa dengan menggunakan M-Bio yang diaplikasikan melalui kotoran domba sebanyak 9.63 ton ha-1 dengan tidak menambahkan pupuk buatan atau pupuk organik, menghasilkan biji kering kedelai kultivar ‘Slamet’ maksimum sebesar 2.5 ton ha-1. Teknologi EM pada budidaya tanaman telah dibuktikan dapat meningkatkan hasil. Mashar (1999) melaporkan bahwa tanaman kedelai kultivar ‘Slamet’ yang ditanam pada tanah gambut dengan aplikasi EM mampu menghasilkan 1.1 sampai 3.8 ton ha-1, sedangkan tanpa EM sebesar 0.4 sampai 0.6 ton ha-1.