II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Tanaman Jeruk Tanaman jeruk adalah tanaman buah tahunan yang berasal dari Asia. Jeruk
pertama kali tumbuh di negeri Cina. Sejak ratusan tahun yang lalu, jeruk sudah tumbuh di Indonesia baik secara alami atau dibudidayakan (Seolarso, 1996). Tanaman jeruk yang ada di Indonesia adalah peninggalan orang Belanda yang mendatangkan jeruk manis dan keprok dari Amerika dan Italia (Ditlin, 2008). Family ini memiliki lebih dari 1500 jenis yang tersebar di seluruh dunia,dan sebagian besar tersebar di daerah tropis, banyak dianyaranya kemudian dibudidayakan karena memiliki nilai ekonomis yang tinggi (Tjitroeseopomo, 2002). Jeruk merupakan tanaman berupa semak atau pohon yang memiliki daun tunggal, dan bentuk buah yang beraneka ragam. Tinggi tanaman jeruk berkisar antara 2-8 meter, dengan tajuk yang tidak beraturan, banyak bercabang, rindang, berdahan pendek. Permukaan atas daun berwarna hijau mengkilat dan bagian bawahnya hijau muda. Tangkai daun bersayap sangat sempit sampai boleh dikatakan tidak bersayap, panjang 0,5-1,5 cm. Helaian daun tanaman jeruk berbentuk bulat telur memanjang, elliptis, atau berbentuk lanset, dengan ujung tumpul, melekuk ke dalam sedikit. Tepi bergerigi beringgit sangat lemah, panjang 3,5-8 cm. Bunga tanaman jeruk berdiameter 1,5-2,5 cm. daun mahkota berwarna putih. Buah berbentuk bola. Kebanyakan daging buah tanaman jeruk berwarna orange, yang diluputi jaringan seperti reticulatum. Klasifikasi tanaman jeruk dalam sistematika tumbuhan menurut Steenis (1975) adalah sebagai berikut: 5
6
Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Kelas
: Dicotyledonae
Ordo
: Rutales
Familia
: Rutaceae
Genus
: Citrus
Spesies
: Citrus sinensis (jeruk Manis), Citrus medica (jeruk Sukade), Citrus maxima (jeruk Besar), Citrus aurantifolia (jeruk Nipis), Citrus nobilis var. microcarpa (jeruk Siam), Citrus nobilis var. chrysocarpa (jeruk Keprok), Citrus hystrix (jeruk Purut), Citrus limon (jeruk Lemon).
2.1.1 Jeruk Siam Jeruk siam tumbuh berupa pohon berbatang rendah dengan tinggi 2-8 meter. Umumnya tanaman ini tidak berduri. Batangnya bulat atau setengah bulat dan memiliki percabangan yang banyak dengan tajuk yang sangat rindang. Ciri khas lainnya tanaman ini adalah dahannya kecil dan letaknya berpencar tidak beraturan. Daunnya berbentuk bulat telur memanjang, elips, atau lanset dengan pangkal tumpul dan ujung meruncing seperti tombak. Permukaan atas daun berwarna hijau tua mengkilat sedangkan permukaan bawah hijau muda. Panjang daun 4-8 cm dan lebar 1.5-4 cm. Tangkai daunnya bersayap sangat sempit sehingga bisa dikatakan tidak bersayap (Sarwono, 1995)
2.2
Klorofil Tanaman Istilah klorofil berasal dari bahasa Yunani yaitu chloros artinya hijau
dan phyllos artinya daun. Istilah ini diperkenalkan pada tahun 1818, dan pigmen
7
tersebut diekstrak dari tanaman dengan menggunakan pelarut organik. Klorofil adalah pigmen pemberi warna hijau pada tumbuhan, alga dan bakteri fotosintetik. Pigmen ini berperan dalam proses fotosintesis tumbuhan dengan menyerap dan mengubah energi cahaya menjadi energi kimia. Klorofil mempunyai rantai fitil (C20H39O) yang akan berubah menjadi fitol (C20H39OH) jika terkena air dengan katalisator klorofilase. (Muthalib, 2009). Klorofil atau yang biasa dikenal dengan zat hijau daun, sama seperti namanya merupakan kandungan yang menyebabkan warna hijau pada tanaman. Klorofil ini akan menyerap energi dari matahari untuk memfasilitasi berlangsungnya proses fotosintesis pada tumbuhan. Klorofil ini dalam tanaman sama seperti darah pada manusia. Zat ini sangat berperan dalam fungsi metabolisme seperti pertumbuhan dan respirasi (pernapasan) tumbuhan. Pembentukan klorofil dipengaruhi oleh faktor-faktor berikut: 1. Faktor
pembawaan:
pembentukan
klorofil
sama
hal-nya
dengan
pembentukan pigmen lain pada hewan dan manusia. Dibawakan oleh gen tertentu di dalam kromosom. Jika gen ini tidak ada, maka tanaman akan tampak putih (albino). 2. Sinar matahari: pada beberapa tanaman Angiospermae, klorofil dapat terbentuk tanpa adanya sinar matahari. Tanaman lain yang ditumbuhkan di tempat gelap tidak berhasil membentuk klorofil. Terjadi klorosis dan berwarna kekuningan. 3. Oksigen: kecambah yang ditumbuhkan di dalam gelap, kemudian di tempatkan di tempat bercahaya tidak akan mampu membentuk klorofil, jika tak diberikan oksigen kepadanya.
8
4. Karbohidrat: terutama dalam bentuk gula ternyata membantu dalam pembentukan klorofil dalam daun yang mengalami etiolasi (tumbuh dalam tempat gelap). 5. Nitrogen, Magnesium, Besi: kekurangan salah satu zat ini mengakibatkan klorosis. Zat tersebut menjadi bahan pembentuk klorofil. 6. Mn, Cu, Zn: meskipun hanya dibutuhkan dalam jumlah sedikit namun tanpa unsure tersebut juga dapat terjadi klorosis. 7. Air: kekurangan air menyebabkan desintegrasi dari klorofil seperti terjadi pada pohon dan rumput dimusim kering. 8. Temperatur: antara 30-480C, merupakan kondisi yang baik untuk pembentukan klorofil pada kebanyakan tanaman, akan tetapi yang paling baik ialah antara 260-300C. (Dwidjoseputro, 1994) Untuk mengukur kadar klorofil daun suatu tanaman dapat menggunakan klorofil meter SPAD. Klorofil meter SPAD adalah alat untuk mengukur klorofil daun secara relatif yang dinyatakan dalam satuan unit. Kandungan klorofil daun yang ditetapkan dengan SPAD berkorelasi positif dan sangat nyata dengan kandungan klorofil yang ditetapkan secara destruktif.
2.3
Penyakit CVPD (Citrus Vein Phloem Degeneration) Penyakit CVPD dikenal dengan nama “Citrus Greening” atau “Yellow
Shoot” dan Huanglongbing karena penyakit ini berasal dari China (Dwiastuti, 2001; Su, 2001). CVPD menyerang hampir semua kultivar tanaman jeruk, menyebabkan produksi berkurang atau gagal, memperpendek masa hidup tanaman jeruk (Hung et al., 2000; Su dan Hung, 2001), dan dapat mematikan tanaman jeruk dalam waktu 1 – 2 tahun (da Graca, 1991).
9
2.3.1 Gejala Penyakit CVPD Gejala khas penyakit CVPD adalah bercak-bercak kekuningan (blotching, mottle) tidak teratur atau klorosis pada daun (Gambar 2.1). Menurut Semangun (1991), tanaman jeruk yang terinfeksi penyakit CVPD menunjukkan daun yang mengalami klorosis, daun menjadi tebal dan kaku. Daun-daun tersebut memperlihatkan gejala vein banding yaitu tulang daun berwarna hijau tua dan lamina daun menguning. Pemeriksaan histologis dan anatomis menunjukkan bahwa pada tulang daun tanaman jeruk yang sakit terjadi kerusakan floem. Jaringan floem tanaman sakit lebih tebal daripada daun tanaman sehat. Penebalan ini disebabkan oleh pertambahan jumlah sel (hyperplasia) dan pembesaran sel (hypertrophy) (Tirtawidjaja 1983, Ditlin 1994). Selain itu, ditemukan gula protein pada kisaran band di atas 100 kDa., sedangkan pada tanaman jeruk sehat tidak ditemukan akumulasi protein (Wirawan, 2002).
Gambar 2.1 Gejala khas penyakit CVPD (klorosis) (Tsai, 2010) Gejala penyakit pada tanaman muda ditandai dengan perkembangan kuncup yang lambat, daun me njadi lebih kecil dan tumbuh mencuat ke atas (Nurhadi &Whittle, 1989). Pada tanaman dewasa, gejalanya sering bervariasi. Pada gejala
10
sektoral, diawali dengan blotching pada cabang-cabang tertentu, diiringi pertumbuhan tunas air lebih banyak dari tanaman normal di luar musim pertunasan (Dwiastuti, 2001). Pada gejala berat, daun menjadi lebih kaku, kecil, menebal, tulang daun primer sekunder mengeras (vein corking), dan dapat menguning pada keseluruhan kanopi, letaknya tersebar dan mengalami dieback yang parah (Planck, 1999). Pada tanaman yang sudah berproduksi, akibat infeksi patogen CVPD ini, buah menjadi lebih kecil, tidak simetri (lop sided), buah banyak yang mengalami gugur, dan buah terkadang mengalami red nose (warna oranye pada bagian dekat tangkai) (Gambar 2.2) (Garnier & J.M. Bove, 1993).
Gambar 2.2 Buah jeruk yang terinfeksi CVPD mengalami red nose (Gottwald, 2010) 2.3.2 Penyebab Penyakit CVPD Penyakit CVPD yang juga disebut citrus greening atau huanglongbin pada awalnya diduga disebabkan oleh virus (Chen dan Mei, 1965). Selanjutnya dilaporkan penemuan adanya Micoplasma-like Organism (MLO) di dalam sel-sel jaringan floem pada daun jeruk yang bergejala CVPD (Sandrine, et al., 1994). Penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa struktur dinding sel MLO tersebut lebih tebal daripada membran sel mikoplasma pada umumnya, sehingga diragukan sebagai Mikoplasma, dan selanjutnya disebut Bacterial-like Organism
11
(BLO) (Garnier
et al., 1976). Hal tersebut diperkuat dengan ditemukannya
antibiotik Penicilin yang dapat menghambat timbulnya gejala CVPD pada jeruk (Bove et al., 1980; Aubert & Bove, 1980) sehingga diduga patogen penyebab CVPD adalah bakteri. Sandrine et al., (1996) yang berhasil mengembangkan satu primer spesifik dar 16S rDNA untuk mendeteksi patogen penyebab penyakit CVPD dan sejak itu disimpulkan bahwa penyebab penyakit CVPD adalah bakteri yang mereka beri nama Liberobacter (Sandrine, et al,. 1996). Bakteri Liberobacter ini memiliki dua spesies yaitu L. asiaticum yang tersebar di kawasan Asia termasuk Indonesia dan L. africanicum yang tersebar di kawasan Afrika. Bakteri CVPD belum bisa di kultur secara invitro seingga informasi morfologi, fisiologi, biokimia dan genetiknya sangat terbatas (Nakashima et al., 1996). Pengamatan dengan mikroskop elektron menunjukkan bahwa bakteri ini bersifat pleomorfik, pada saat tumbuh memanjang yang fleksibel berukuran 100250 × 500-2500 nm, pada saat dewasa berbentuk batang yang kaku berukuran 350-550 × 600-1500 nm. Adapula yang berbentuk badan-badan seperti bola dengan sitoplasma tipis, berdiameter 700-800 nm (Su dan Huang, 1990) da nada yang 300-1000 nm (Garnier dan Bove, 1973) (Gambar 2.3).
Gambar 2.3 Bakteri Liberobacter (Garnier, 2010)
12
2.4
Penyebaran Bakteri Penyakit CVPD Bakteri peyebab penyakit CVPD terdapat pada floem tanaman dan
endoselular (Jagoueix et al., 1996). Pergerakan bakteri di dalam tanaman jeruk cukup lambat yaitu 30-50 cm ke arah bawah dalam waktu 12 bulan (da Graca, 1991), dan pada tahap awal infeksi cenderung tetap berada pada cabang yang diinfeksi vektor (Su, 2001). Penyebaran penyakit CVPD dari suatu wilayah ke wilayah yang lain atau dari suatu daerah ke daerah yang lain dapat melalui bibit tanaman jeruk terinfeksi. Bibit tanaman jeruk yang tampak sehat dapat mengandung patogen CVPD, karena masa inkubasi patogen CVPD dalam tanaman inang berkisar tiga sampai lima bulan (Tirtawidjaja dan Suharsodjo, 1990). Penularan juga dapat melalui penempelan mata tunas (grafting) (Su, 2001) tetapi kecepatannya bervariasi karena distribusi bakteri tidak beraturan pada tanaman (Hung et al., 2000), yang menyebabkan dapat diperoleh tanaman bebas penyakit dari tanaman terinfeksi (Planck, 1999). Wirawan, dkk (2000) melaporkan bahwa 83% penularan penyakit CVPD di Bali disebabkan oleh penyebaran bibit yang telah terinfeksi penyakit CVPD, yang dihasilkan melalui teknik penempelan mata tunas. Walau secara terbatas alat-alat pertanian seperti alat inokulasi dan pemangkas diduga dapat menularkan penyakit (Semangun, 1994).
2.5
Serangga Vektor Penyakit CVPD Penularan penyakit CVPD diketahui dapat melalui serangga vektor sejenis
kutu loncat yang bernama Diaphorina citri Kuwayama (Bove, 1995). Serangga D. citri ditemukan di beberapa negara seperti China, Taiwan, Jepang, India, Saudi
13
Arabia, Asia Tenggara, Brasilia, Kepulauan Rounion, Mauiritius, Pakistan dan Filipina (Chen 1998; Ditlin 1994). Di Indonesia serangga vektor D. citri telah tersebar di Sumatera, Kalimantan, Jawa, Madura, Bali dan Sulawesi (Nurhadi & Djatmiadi, 2002). Menurut Kalsoven (1981) klasifikasi serangga D. citri adalah sebagai berikut: Kingdom
: Animalia
Filum
: Arthropoda
Kelas
: Hexapoda
Ordo
: Homoptera
Familia
: Psylidae
Genus
: Diaphorina
Spesies
: Diaphorina citri Kuwayama (Gambar 2.4)
Perkembangan
serangga
D.
citri
mengalami
tiga
stadium
yaitu
permkembangan yang dimulai dari telur, nimfa dan imago. Serangga D. citri memiliki telur berbentuk lonjong dan berwarna kuning muda (Nurhadi et al., 1986; Trisnawati, 1998). Nimfa dan serangga dewasa D. citri menghisap cairan daun sehingga menyebabkan daun jeruk menjadi layu kemudian mengering, pada kerusakan yang berat dapat menyebabkan kematian tanaman. Selain menghisap cairan daun, nimfa mengeluarkan sekresi berwarna putih berlilin berbentuk benang spiral yang sering jatuh pada permukaan daun. Sekresi tersebut merupakan media tumbuhnya cendawan embung jelaga.
14
a
b
Gambar 2.4 Nimfa (a) dan imago (b) Diaphorina citri Kuwayama (Tsai, 2010) Penyebaran Penyakit CVPD dari satu tanaman ke tanaman lain dilakukan oleh serangga D. citri Kuw (Homoptera: Psyllidae) (Tirtawidjaja & Suharjo, 1990; Wirawan, 2000). Nurhadi (1993) melaporakan bahwa patogen dapat ditularkan oleh serangga vektor dari suatu tanaman ke tanaman lain setelah melalui: 1. Periode makan akuisisi, yaitu waktu yang diperlukan vektor untuk makan pada tanaman sakit sampai mendapatkan patogen. 2. Periode makan inokulasi, yaitu waktu yang diperlukan vektor untuk makan pada tanaman sehat sampai dapat menularkan patogen. 3. Periode retensi, yaitu selang waktu vektor masih dapat menularkan patogen. Selanjutnya ditambahkan ketepatan vektor menusukkan stiletnya pada bagian tanaman sakit an proporsi vektor yang infektif mempengaruhi laju penularan penyakit CVPD. Wijaya, dkk (2010) melaporkan bahwa pertambahan luas serangan CVPD berkisar antara 20 – 29% selama 6 bulan. Pada awal pengamatan di Desa Taro
15
tanaman terserang CVPD sebanyak 51% meningkat menjadi 80% selama enam bulan pengamatan, sedangkan di Desa Katung berawal dari 39% menjadi 59%. Fenomena ini diperkuat dari hasil deteksi molekuler yang menunjukkan D. citri mengandung patogen CVPD, sehingga berpotensi sebagai vektor penyakit CVPD.
2.6
Teknik Polymerase Chain Reaction (PCR) Teknik replikasi reaksi berantai atau Polymerase Chain Reaction ditemuka
oleh Kary Mullis pada pertengahan tahun 1980. PCR dapat menunjukkan secara pasti tentang replikasi DNA. Polimerase DNA menggunakan DNA utas tunggal sebagai template untuk pembentukan komplemen utas baru. Satu utas DNA dapat diproduksi dari utas ganda DNA dengan pemanasan singkat pada suhu mendekati titik didih. Polimerase DNA juga memerlukan bagian terkecil dari utas ganda DNA (primer) untuk memulai sintesis DNA. Oleh karena itu, titik awal sintesis DNA dapat dispesifikasikan dengan mengaitkan primer oligonukleotida pada titik awal tersebut. Hal ini merupakan rangkain pertama yang penting pada teknik PCR dimana polymerase DNA dapat langsung disintesakan pada daerah DNA yang spesifik. Materi awal PCR adalah DNA yang mengandung rangkaian yang telah diamplifikasi. Jumlah DNA yang diperlukan untuk PCR sangat sedikit. DNA untuk PCR sudah merupakan total DNA dari sel. PCR tidak memerlukan pemurnian DNA dan . Rangkaian DNA harus diisolasi terlebih dahulu sebelum diamplifikasi oleh PCR karena spesifikasi dari reaksi ditentukan oleh primer (Watson et al., 1992). Primer yang digunakan dalam PCR harus memenuhi syarat yaitu harus bersifat komplementer, pada satu spesifik site pada DNA template,
16
mempunyai kandungan G/C -70%, mengandung 14-40 nukleotida, tidak ada urutan yang komplementer antara ujung 3’ masing-masing primer, sehingga tidak terbentuk primer dimer yang secara signifikan mengurangi sensitifitas dan spesipitas produk PCR (Boehringer, 1995). Pada prinsipnya teknologi PCR terdiri dari 3 tahap reaksi berbeda dalam satu siklus. Ketiga tahap tersebut adalah denaturasi, annealing dan elongation. Tahap denaturasi (pemisahan utas DNA) bertujuan untuk memutuskan ikatan H asam deoksiribonukleat (DNA) yang diamplifikasi. Hasil yang diperoleh merupakan DNA cetakan utas tunggal untuk penempelan oligonukleotida primer dalam annealing, pada annealing (penempelan primer pada DNA) terbentuk ikatan baru antara utas tunggal DNA cetakan dengan oligonukleotida primer. Tahap elongation (sintesis DNA) merupakan tahapnpemanjangan rantai tunggal oligonukleotida primer dari ujung 3’ ke ujung 5’, dengan kualitas enzim DNA polymerase. Masing-masing temperatur ketiga tahap ini adalah: denaturasi ±920C, annealing ±600C dan elongation ±720C. Fungsi temperatur ini sangat bervariasi untuk setiap organisme, setiap jenis sel, setiap jenis gen dan sebagainya sehingga tidak ada standar yang sama untuk temperatur pada tahap tersebut (Wirawan, dkk, 2004) Dalam aplifikasi dengan PCR diperlukan kualitas DNA template yang baik dan program yang sesuai. Oleh karena bakteri CVPD belum bisa dikultur sehingga perlu dilakukan pendekatan dengan isolasi DNA total tanaman yang diinginkan untuk dideteksi. Fragmen 16S rDNA merupakan converse sequence pada sel prokariot, mitokondria dan kloroplas. Akan tetapi dengan wzim retriksi DNA Bcll dapat dibedakan antara fragmen 16S rDNA bakteri penyebab CVPD
17
dengan yang berasal dari mitokondia dan kloroplas tanaman. Berdasarkan sekuens spesifik pada fragmen 16S rDNA hasil PCR dari sampel tanaman sakit telah dikonstruksi primer spesifik untuk bakteri CVPD, yaitu forward primer O11 dan reserve primer O12 untuk strain Asia yang mengamplifikasi DNA sekitar 1160 bp (Jagoueix et al., 1994; Nakashima et al., 1996). Beberapa penelitian dengan PCR untuk mendeteksi Liberobacter patogen CVPD sudah dilakukan oleh J. Sadrine, J.M. Bove dan M. Garnier tahun dimana pada penelitian tersebut telah berhasil dideteksi dua spesies Liberobacter yaitu L. asiaticum dan L. africanicum. Wirawan dan Siti Subandiyah (2000) telah pula melakukan penelitian tentang interjunction sekuen antara 16S rDNA dan 23S rDNA pada L. asiaticum, yang menunjukkan selalu berasoasi dengan penyakit CVPD dan karakterisasi terhadap patogen CVPD ini secara bertahap yang dapat dilakukan sehingga memberi pemahaman yang semakin baik terhadap penyakit CVPD pada tanaman CVPD.