BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Epidemiologi Malaria Malaria adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh protozoa obligat intra
selular dari genus plasmodium. Malaria pada manusia dapat disebabkan P.malariae, P.vivax, P.falciparum dan P. Ovale. Penularan malaria dilakukan oleh nyamuk betina dari genus Anopheles sp. Sekitar 400 spesies nyamuk Anopheles telah ditemukan 67 spesies yang dapat menularkan malaria dan 30 diantaranya ditemukan di indonesia. Selain oleh gigitan nyamuk, malaria dapat ditularkan secara langsung melalui transfusi darah atau jarum suntik yang tercemar darah serta ibu hamil kepada bayinya (Harijanto, 2000). 2.1.1
Pengertian Malaria Penyakit malaria adalah infeksi yang disebabkan oleh parasit malaria, yang
merupakan suatu protozoa darah termasuk : Filum
: Apicomplexa
Sub ordo
: Haemosporidiidae
Klas
: Sporozoa
Familia
: Plasmodiidae
Sub klas
: Cocidiidae
Genus
: Plasmodium
Ordo
: Eucoccidiidae Genus plasmodium secara umum dibagi menjadi 3 (tiga) sub genus yaitu sub
genus plasmodium dengan spesies yang menginfeksi manusia adalah plasmodium vivax, plasmodium ovale dan plasmodium malariae, sub genus laverania dengan spesies yang menginfeksi manusia adalah plasmodium falciparum dan sub genus
Universitas Sumatera Utara
vinckeia yang hanya menginfeksi kelelawar dan binatang pengerat lainnya (Depkes RI, 1999). Definisi penyakit malaria menurut World Health Organization (WHO) adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit malaria (plasmodium) bentuk aseksual yang masuk ke dalam tubuh manusia yang ditularkan oleh nyamuk malaria (Anopheles sp.) betina. Definisi penyakit malaria lainnya adalah suatu jenis penyakit menular yang disebabkan oleh agent tertentu yang infektif dengan perantara suatu vektor dan dapat disebarkan dari suatu sumber infeksi kepada host. Penyakit malaria termasuk salah satu penyakit menular yang dapat menyerang semua orang, bahkan mengakibatkan kematian terutama yang disebabkan oleh parasit Plasmodium falciparum (Depkes RI, 2003). 2.1.2
Etiologi Malaria disebabkan oleh protozoa darah yang termasuk ke dalam genus
plasmodium. Plasmodium ini merupakan protozoa obligat intraseluler. Pada manusia terdapat 4 spesies yaitu Plasmodium falciparum, Plasmodium vivax, Plasmodium malariae dan Plasmodium ovale. Penularan pada manusia dilakukan oleh nyamuk betina Anopheles sp. ataupun ditularkan langsung melalui transfusi darah atau jarum suntik yang tercemar serta dari ibu hamil kepada janinnya (Widoyono, 2011). Malaria vivax disebabkan oleh p. vivax yang disebut juga sebagai malaria tertiana. P. malariae merupakan penyebab malaria malariae atau malaria kuartana. p. ovale merupakan penyebab malaria ovale, sedangkan p. falciparum menyebabkan malaria falsiparum atau malaria tropika. Spesies terakhir ini paling berbahaya, karena malaria yang ditimbulkannya dapat menjadi berat sebab dalam waktu singkat dapat
Universitas Sumatera Utara
menyerang eritrosit dalam jumlah besar, sehingga menimbulkan berbagai komplikasi di dalam organ-organ tubuh (Widoyono, 2011). 2.1.3
Siklus Hidup Plasmodium Dalam siklus hidup nyamuk terdapat tingkatan-tingkatan dimana antara
tingkatan yang satu berbeda dengan tingkatan yang lainnya, yaitu berdasarkan tempat hidupnya/lingkunganya dikenal dua tingkatan kehidupan nyamuk antara lain: tingkatan dalam air berupa telur lalu menjadi jentik dan dari jentik menjadi kepompong, tingkatan di luar tempat berair yaitu di udara sebagai nyamuk dewasa (jantan dan betina). Daur hidup keempat spesies plasmodium pada manusia sama. Proses tersebut terdiri atas fase seksual eksogen (sporogoni) dalam badan nyamuk Anopheles dan fase aseksual (skizogoni) dalam badan hospes vertebrata. Reproduksi seksual hasilnya disebut sporozoite sedangkan reproduksinya aseksual disebut merozoite. Pada penyakit malaria manusia sebagai host intermediate sedangkan nyamuk sebagai host defenitifnya. a.
Parasit Dalam Hospes Vertebrata (Hospes Perantara) Bila nyamuk Anopheles betina mengandung parasit malaria dalam kelenjar
liurnya menusuk hospes, sporozoit yang berada dalam air liurnya masuk melalui prosbosis ditusukkan kedalam kulit. Sporozoit segera masuk kedalam peredaran darah dan setelah ½-1 jam masuk dalam sel hati. Banyak yang dihancurkan oleh fagosit, tetapi sebagian masuk dalam sel hati (hepatosit) menjadi tropozoit hati dan berkembangbiak. Proses ini disebut skizogoni praeritrosit/eksoeritrositer primer. Pada akhir fase praeritrosit, skizon pecah, merozoit keluar dan masuk peredaran darah. Sebagian besar menyerang eritrosit yang berada di sinusoid hati
Universitas Sumatera Utara
tetapi beberapa difagositosis. Pada P. vivax dan P. ovale sebagian sporozoit yang menjadi hipnozoit setelah beberapa waku (beberapa bulan sampai lima tahun) menjadi aktif kembali dan mulai dengan skizogoni eksoeritrosit sekunder. Merozoit yang dilepaskan oleh skizon jaringan mulai menyerang eritrosit. Pada saat merozoit masuk, selaput permukaan dijepit sehingga lepas. Seluruh proses ini berlangsung selama kurang lebih 30 detik. Setelah dua atau tiga generasi (3-15 hari) merozoit dibentuk, sebagian merozoit tumbuh menjadi stadium seksual. Proses ini disebut gametogoni (gametositogenesis). Stadium tumbuh tetapi inti tidak membelah. Gametosit mempunyai bentuk yang berbeda pada berbagai spesies: pada P. falciparum bentuknya seperti sabit/pisang bila sudah matang, pada spesies lain bentuknya bulat. b.
Parasit Dalam Hospes Invertebrata (Hospes Definitif) Bila Anopheles sp. mengisap darah hospes manusia yang mengandung parasit
malaria. Parasit aseksual dicernakan bersama eritrosit, tetapi gametosit dapat tumbuh terus. Inti pada mikrogametosit membelah menjadi 4-8 yang masing-masing menjadi bentuk panjang seperti benang (flagel) dengan ukuran 20-25 mikron, menonjol keluar dari sel induk, bergerak-gerak sebentar kemudian melepaskan diri. Flagel atau gamet jantan disebut mikrogamet dan makrogametosit mengalami proses pematangan (maturasi) dan menjadi gamet betina atau makrogamet. Dalam lambung nyamuk mikrogamet tertarik oleh makrogamet yang membentuk tonjolan kecil tempat masuk mikrogamet sehingga pembuahan dapat berlangsung. Hasil pembuahan disebut zigot. Zigot merupakan bentuk bulat yang tidak bergerak tetapi dalam 18-24 jam menjadi bentuk panjang dan dapat bergerak, stadium seperti cacing ini berukuran panjang 8-
Universitas Sumatera Utara
24 mikron dan disebut ookinet. Ookinet kemudian menembus dinding lambung melalui sel epitel ke permukaan luar lambung dan menjadi bentuk bulat, disebut ookista. Kemudian ookista pecah, ribuan sporozoit dilepaskan dan bergerak dalam rongga badan nyamuk untuk mencapai kelenjar liur. Nyamuk sekarang menjadi infektif. Bila nyamuk mengisap darah setelah menusuk kulit manusia, sporozoit masuk ke dalam luka tusuk dan mencapai aliran darah. Sporogoni yang dimulai dari pematangan gametosit sampai menjadi sporozoit yang infektif berlangsung 8-35 hari tergantung suhu lingkungan dan spesies parasit. 2.1.4
Patogenesis Malaria Patogenesis malaria akibat dari interaksi kompleks antara parasit, inang dan
lingkungan. Patogenesis lebih ditekankan pada terjadinya peningkatan permeabilitas pembuluh darah daripada koagulasi
intravaskuler. Oleh karena
skizogoni
menyebabkan kerusakan eritrosit maka akan terjadi anemia. Beratnya anemia tidak sebanding dengan parasitemia menunjukkan adanya kelainan eritrosit selain yang mengandung parasit. Hal ini diduga akibat adanya toksin malaria yang menyebabkan gangguan fungsi eritrosit dan sebagian eritrosit pecah melalui limpa sehingga parasit keluar. Faktor lain yang menyebabkan terjadinya anemia mungkin karena terbentuknya antibodi terhadap eritrosit (Harijanto, 2000). Limpa mengalami pembesaran dan pembendungan serta pigmentasi sehingga mudah pecah. Dalam limpa dijumpai banyak parasit dalam makrofag dan sering terjadi fagositosis dari eritrosit yang terinfeksi maupun yang tidak terinfeksi. Pada malaria kronis terjadi hyperplasia dari retikulosit disertai peningkatan makrofag (Harijanto, 2000).
Universitas Sumatera Utara
Pada malaria berat mekanisme patogenesisnya berkaitan dengan invasi merozoit ke dalam eritrosit sehingga menyebabkan eritrosit yang mengandung parasit mengalami perubahan struktur dan biomolekular sel untuk mempertahankan kehidupan parasit. Perubahan tersebut meliputi mekanisme, diantaranya transport membran sel, Sitoadherensi, Sekuestrasi dan Resetting (Harijanto, 2000). Sitoadherensi merupakan peristiwa perlekatan eritrosit yang telah terinfeksi P. falciparum pada reseptor di bagian endotelium venule dan kapiler. Selain itu eritrosit juga dapat melekat pada eritrosit yang tidak terinfeksi sehingga terbentuk roset (Harijanto, 2006). Resetting adalah suatu fenomena perlekatan antara sebuah eritrosit yang mengandung merozoit matang yang diselubungi oleh sekitar 10 atau lebih eritrosit non parasit, sehingga berbentuk seperti bunga. Salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya Resetting adalah golongan darah dimana terdapatnya antigen golongan darah A dan B yang bertindak sebagai reseptor pada permukaan eritrosit yang tidak terinfeksi (Harijanto, 2006). Menurut pendapat ahli lain, patogenesis malaria adalah multifaktorial dan berhubungan dengan hal-hal sebagai berikut: 1. Penghancuran eritrosit Fagositosis tidak hanya pada eritrosit yang mengandung parasit tetapi juga terhadap eritrosit yang tidak mengandung parasit sehingga menimbulkan anemia dan hipoksemia jaringan. Pada hemolisis Intravascular yang berat dapat terjadi hemoglobinuria (Black White Fever) dan dapat menyebabkan gagal ginjal (Pribadi, 2000).
Universitas Sumatera Utara
2. Mediator endotoksin-makrofag Pada saat skizogoni, eritrosit yang mengandung parasit memicu makrofag yang sensitive endotoksin untuk melepaskan berbagai mediator. Endotoksin mungkin berasal dari saluran cerna dan parasit malaria sendiri dapat melepaskan faktor nekrosis tumor (TNF) yang merupakan suatu monokin, ditemukan dalam peredaran darah manusia dan hewan yang terinfeksi parasit malaria. TNF dansitokin dapat menimbulkan demam, hipoglikemia, dan sindrom penyakit pernapasan pada orang dewasa (Pribadi, 2000). 3. Sekuestrasi eritrosit yang terluka Eritrosit yang terinfeksi oleh Plasmodium dapat membentuk tonjolan-tonjolan (knobs) pada permukaannya. Tonjolan tersebut mengandung antigen dan bereaksi dengan antibodi malaria dan berhubungan dengan afinitas eritrosit yang mengandung parasit terhadap endothelium kapiler alat dalam, sehingga skizogoni berlangsung di sirkulasi alat dalam. Eritrosit yang terinfeksi menempel pada endothelium dan membentuk gumpalan yang mengandung kapiler yang bocor dan menimbulkan Anoksia dan edema jaringan (Pribadi, 2000). Patogenesis penyakit atau proses terjadinya penyakit yang telah dijelaskan sebelumnya digambarkan dalam teori simpul. Patogenesis atau proses kejadian penyakit diuraikan ke dalam 4 simpul, yakni simpul 1 disebut dengan sumber penyakit, simpul 2 merupakan komponen lingkungan, simpul 3 penduduk dengan berbagai variabel kependudukan seperti pendidikan, perilaku, kepadatan, dan gender dan simpul 4 penduduk yang dalam keadaan sehat atau sakit setelah mengalami interaksi atau exposure dengan komponen lingkungan yang mengandung bibit
Universitas Sumatera Utara
penyakit atau agent penyakit. Berikut adalah teori simpul dari terjadinya penyakit malaria. Teori Simpul Malaria
Penderita Malaria
Simpul 1
Anopheles sp.
Simpul 2
Masyarakat Terkena Resiko
Sehat/Sakit
Simpul 3
Simpul 4
Variabel lain yang mempengaruhi
Sumber. Achmadi, 2003 2.1.5
Patologi Malaria Terdapat tiga stadium parasit yang berpotensi invasif, sporozoit, merozoit, dan
ookinete. Sporozoit malaria dilepaskan kedalam darah manusia melalui gigitan nyamuk terinfeksi, biasanya kurang dari 1.000 sporozoit. Sporozoit beredar dalam sirkulasi dalam waktu yang sangat singkat. Sebagian mencapai hati, sebagian lain disaring keluar. Dalam beberapa menit kemudian sporozoit yang mencapai hati akan melekat dan menyerang sel hati melalui pengikatan reseptor hepatosit untuk protein trombospodin dan serum properdin. Sebagian sporozoit dihancurkan oleh fagosit, tetapi sebagian besar masuk sel parenkim hati dan memperbanyak diri secara aseksual (proses skizogoni eksoeritrositer), dapat menjadi sebanyak 30.000 merozoit. Dalam 40-48
jam
merozoit
dapat
ditemukan
dalam
sel
hati
(fase
Universitas Sumatera Utara
praeritrositik/eksoeritrositer). Tiga hari kemudian bentuk intrahepatik ini dapat atau tidak berdifrensiasi kedalam bentuk skizon atau hipnozoit tergantung pada spesies plasmodium, hal ini akan menyebabkan relaps atau tidaknya infeksi malaria. Setelah 6-16 hari terinfeksi, sel hati yang mengandung skizon jaringan pecah dan merozoit yang masuk sirkulasi darah mengalami proses skizogoni eritrositer (fase intraeritrositer). Pada infeksi P.falciparum dan P.malariae, skizon jaringan pecah semua dalam waktu hampir bersamaan dan tidak menetap dalam hati. Sedangkan P.vivax dan P.ovale mempunyai 2 bentuk eksoeritrositer. Tipe primer berkembang dan pecah dalam 6-9 hari, dan tipe sekunder, hipnozoit akan dorman dalam hati selama berminggu-minggu, berbulan-bulan, atau mencapai 5 tahun sebelum mengembangkan diri dan menghasilkan relaps infeksi eritrositik/parasetemia rekuren. Didalam sel darah merah (fase eritrositik/intraeritrositer) parasit akan berkembang biak sehingga menimbulkan kerusakan sel darah merah dan mengalami lisis sehinga dapat menyebabkan anemia. Anemia yang terjadi menimbulkan anoksia (tidak terdapat oksigen) pada jaringan dan menimbulkan berbagai kelainan organ. Selain itu, demam yang tinggi juga akan semakin mengganggu sirkulasi darah yang menyebabkan statis pada otak serta penurunan sirkulasi pada ginjal, kongesti sentrilobular dan degenarasi hati. Gambaran patologis yang terpenting pada malaria falciparum berat adalah eritrosit yang mengandung parasit tua dipembuluh darah jaringan terutama di otak.
Universitas Sumatera Utara
2.1.6
Penularan Malaria Penyakit malaria disebabkan oleh parasit yang disebut plasmodium sp yang
hidup dalam tubuh manusia dan dalam tubuh nyamuk. Parasit/plasmodium hidup dalam tubuh manusia. Menurut epidemiologi penularan malaria secara alamiah terjadi akibat adanya interaksi antara tiga faktor yaitu host, agent, dan environment. Manusia adalah host vertebrata dari Human plasmodium, nyamuk sebagai Host invertebrate, sementara Plasmodium sebagai parasit malaria sebagai agent penyebab penyakit yang sesungguhnya, sedangkan faktor lingkungan dapat dikaitkan dalam beberapa aspek, seperti aspek fisik, biologi dan sosial ekonomi (Harijanto, 2006). 2.2
Hubungan Host, Agent, dan Environment Proses terjadinya penyakit disebabkan adanya intereaksi antara “agen” atau
faktor penyebab penyakit, manusia sebagai “pejamu” atau host, dan faktor lingkungan yang mendukung. Ketiga faktor tersebut dikenal sebagai Trias Penyebab Penyakit. I. Host a. Manusia (Host Intermediate) Pada dasarnya setiap orang dapat terkena malaria, tetapi kekebalan yang ada pada manusia merupakan perlindungan terhadap infeksi Plasmodium malaria. Kekebalan adalah kemampuan tubuh manusia untuk menghancurkan Plasmodium yang masuk atau membatasi perkembangannya.
Universitas Sumatera Utara
Ada dua macam kekebalan yaitu : a. Kekebalan Alami (Natural Imunity) Kekebalan yang timbul tanpa memerlukan infeksi terlebih dahulu. b. Kekebalan didapat (Acqired Immunity) yang terdiri dari : 1) Kekebalan aktif (Active Immunity) Kekebalan akibat dari infeksi sebelumnya atau akibat dari vaksinasi. 2) Kekebalan pasif (Pasif Immunity) Kekebalan yang didapat melalui pemindahan antibodi atau zat-zat yang berfungsi aktif dari ibu kepada janin atau melalui pemberian serum dari seseorang yang kekal penyakit. Terbukti ada kekebalan bawaan pada bayi baru lahir dari seorang ibu yang kebal terhadap malaria di daerah yang tinggi endemisitas malarianya. Keadaan manusia dapat menjadi pengandung gametosit yang dapat meneruskan daur hidup nyamuk. Manusia ada yang rentan yaitu yang dapat ditular malaria, tapi ada juga yang kebal dan tidak mudah ditular malaria. Faktor manusia yang dapat mempengaruhi terjadinya penyakit malaria yaitu : a. Umur Anak-anak lebih rentan terhadap penyakit malaria dibandingkan orang dewasa. Anak-anak usia kurang dari 5 tahun adalah kelompok terbanyak yang berisiko terhadap malaria. Pertahanan tubuh terhadap malaria yang diturunkan penting untuk melindungi anak kecil atau bayi karena sifat khusus eritrosit yang relatif resisten terhadap masuk dan berkembang biaknya parasit malaria.
Universitas Sumatera Utara
b. Jenis Kelamin Infeksi parasit plasmodium dapat menyerang semua masyarakat dari segala golongan termasuk golongan yang paling rentan seperti wanita hamil. Hasil penelitian Gomes (2001) menyatakan bahwa ibu hamil yang anemia kemungkinan 8,56 kali menderita malaria falsiparum dibandingkan dengan ibu hamil yang tidak anemia. c. Pekerjaan Pekerjaan yang tidak menetap atau mobilitas yang tinggi berisiko lebih besar terhadap penyakit malaria, seperti tugas-tugas dinas di daerah endemis untuk jangka waktu yang lama sampai bertahun-tahun misalnya petugas medis, petugas militer, misionaris, pekerja tambang, dan lain-lain. Pekerjaan sebagai buruh perkebunan yang datang dari daerah yang non endemis ke daerah yang endemiss belum mempunyai kekebalan terhadap penyakit di daerah yang baru tersebut sehingga berisiko besar untuk menderita malaria. Begitu pula pekerja-pekerja yang didatangkan dari daerah lain akan berisiko menderita malaria. Menurut penelitian Dasri (2005) dengan desain penelitian case control penderita malaria kemungkinan 4 kali bekerja di luar rumah malam hari dibandingkan dengan tidak penderita malaria. d. Ras Berbagai bangsa atau ras mempunyai kerentanan yang berbeda-beda (faktor rasial) terhadap penyakit malaria. Individu yang tidak mempunyai determinan
Universitas Sumatera Utara
golongan darah Duffy (termasuk kebanyakan negro Afrika) mempunyai resistensi alamiah terhadap Plasmodium vivax. e. Riwayat malaria Kekebalan residual adalah kekebalan terhadap reinfeksi yang timbul akibat infeksi terdahulu dengan strain homolog spesies parasit malaria. Kekebalan ini menetap hanya untuk beberapa waktu. f. Cara Hidup Cara hidup sangat berpengaruh terhadap penularan malaria, seperti tidur tidak memakai kelambu, tidak menggunakan repelen nyamuk pada saat melakukan aktivitas di luar rumah dan pada saat sore hari, dan penggunaan insektisida yang tidak teratur di dalam rumah. Menurut penelitian Dasri (2005) dengan desain penelitian case control menyatakan bahwa penderita malaria kemungkinan 3,2 kali tidak memakai repelen dibandingkan dengan tidak penderita malaria. g. Imunitas Masyarakat yang tinggal di daerah endemis malaria memiliki kekebalan alami terhadap penyakit malaria. Di daerah endemi dengan transmisi malaria yang tinggi hampir sepanjang tahun, penduduknya sangat kebal dan sebagian besar dalam darahnya terdapat parasit malaria dalam jumlah kecil. Selain itu, di daerah endemis malaria terdapat kekebalan kongenital (atau neonatal) pada bayi yang dilahirkan oleh ibu dengan kekebalan tinggi.
Universitas Sumatera Utara
h. Status gizi Seorang penderita malaria yang mengalami gizi buruk akan mempengaruhi kerja farmakokinetik obat anti malaria seperti diare dan muntah menurunkan absorpsi obat. Selain itu, disfungsi hati menyebabkan metabolism obat menurun. Anak yang bergizi baik dapat mengatasi malaria berat dengan lebih cepat dibandingkan anak bergizi buruk. i. Sosial Budaya Kebiasaan untuk berada diluar rumah sampai larut malam, dimana vektornya lebih bersifat eksofilik dan eksofagik akan memperbesar jumlah gigitan nyamuk. Penggunaan kelambu, kawat kasa pada rumah dan pengguna zat penolak nyamuk yang intensitasnya berbeda sesuai dengan perbedaan status sosial masyarakat akan mempengaruhi angka kesakitan malaria. b. Nyamuk Anopheles sp. (Host Defenitive) Nyamuk Anopheles sp. sebagai penular penyakit malaria yang menghisap darah hanya nyamuk betina yang diperlukan untuk pertumbuhan dan mematangkan telurnya. Jenis nyamuk Anopheles sp. di Indonesia lebih dari 90 macam. Dari jenis yang ada hanya beberapa jenis yang mempunyai potensi untuk menularkan malaria (Vektor). Menurut data di Subdit SPP, penular penyakit malaria di Indonesia berjumlah 18 species. Di Indonesia dijumpai beberapa jenis Anopheles sp. sebagai vektor Malaria, antara lain : An, sundaicus sp, An. Maculates sp, An. Balabacensis sp,
An, Barbnirostrip sp (Depkes RI, 2005). Di setiap daerah
dimana terjdi transmisi malaria biasanya hanya ada 1 atau paling banyak 3 spesies Anopheles sp. yang menjadi vektor penting. Vektor-vektor tersebut memiliki
Universitas Sumatera Utara
habitat mulai dari rawa-rawa, pegunungan, sawah, pantai dan lain-lain (Achmadi, 2008). Nyamuk Anopheles sp. hidup di iklim tropis dan subtropics, namun bisa juga hidup di daerah yang beriklim sedang. Anopheles sp. juga ditemukan pada daerah dengan ketinggian lebih dari 2000-2500m. Nyamuk Anopheles betina membutuhkan minimal 1 kali memangsa darah agar telurnya dapat berkembang biak. Anopheles sp. mulai menggigit sejak matahari terbenam (jam 18.00) hingga subuh dan puncaknya pukul 19.00-21.00. Menurut Prabowo (2004), jarak terbang Anopheles sp. tidak lebih dari 0,5–3 km dari tempat perindukannya. Waktu yang dibutuhkan untuk pertumbuhan (sejak telur menjadi dewasa) bervariasi antara 2-5 minggu tergantung pada spesies, makanan yang tersedia dan suhu udara. Menurut Achmadi (2008), secara umum nyamuk yang telah diidentifikasi sebagai penular malaria mempunyai kebiasaan makan dan istirahat yang bervariasi yaitu: a. Zoofilik
: nyamuk yang menyukai darah binatang.
b. Anthropilik
: nymuk yang menyukai darah manusia.
c. Zooanthropolik
: nyamuk yang menyukai darah binatang dan manusia.
d. Endofilik
: nyamuk yang suka tinggal didalam rumah/bangunan.
e. Eksofilik
: nyamuk yang suka tinggal di luar rumah.
f. Endofagik
: nyamuk yang suka menggigit didalam rumah/bangunan.
f. Eksofagik
: nyamuk yang suka menggigit diluar rumah.
Tempat tinggal manusia dan ternak, khususnya yang terbuat dari kayu merupakan tempat yang paling disenangi oleh Anopheles sp.. Vektor utama di Pulau
Universitas Sumatera Utara
Jawa dan Sumatra adalah An. sundaicus, An. maculates, An. aconitus, An. balabacencis. II. Agent Penyebab penyakit malaria adalah genus plasmodia, family plasmodiidae dan ordo Coccidiidae. Jenis parasit (plasmodium) sampai saat ini dikenal empat macam (species) parasit malaria yaitu: a. Plasmodium vivax Plasmodium vivax akan memberikan intensitas serangan dalam bentuk demam setiap 3 hari sekali sehingga sering dikenal dengan istilah malaria tertian (malaria benigna). Jenis malaria ini tersebar di seluruh kepulauan di Indonesia dan pada umumnya di daerah endemis mempunyai frekuensi tertinggi diantara spesies yang lain. Eritrosit yang dihinggapi parasit P. vivax mengalami perubahan yaitu menjadi besar, berwarna pucat dan tampak titik-titik halus berwarna merah yang bentuk dan besarnya sama (titik Schuffner). Masa tunas intrinsik berlangsung 12-17 hari. b. Plasmodium malariae Plasmodium malariae adalah penyebab malaria malariae atau malaria kuartana karena serangan demam berulang pada tiap hari keempat. Penyakit malaria kurtana meluas meliputi daerah tropik maupun daerah subtropik. Frekuensi penyakit ini di beberapa daerah cenderung menurun. Eritrosit yang dihinggapi Plasmodium malariae tidak membesar atau ukuran dan bentuk eritrosit normal. Masa tunas intrinsik berlangsung 18 hari dan kadang-kadang sampai 30-40 hari.
Universitas Sumatera Utara
c. Plasmodium ovale Plasmodium ovale mempunyai waktu demam yang lebih pendek dan biasanya bisa sembuh spontan. Masa tunas intrinsik sama seperti Plasmodium vivax, yaitu 12-17 hari. Plasmodium ovale dapat ditemukan di daerah tropik Afrika bagian barat, di daerah Pasifik Barat dan beberapa lain di dunia. Di Indonesia parasit ini terdapat di Pulau Owi sebelah selatan Biak Irian Jaya dan di Pulau Timor. Perubahan eritrosit yang terjadi yaitu eritrosit tampak oval dengan tepi bergerigi. Titik Schuffner menjadi lebih banyak. d. Plasmodium falciparum Parasit ini ditemukan di daerah tropik terutama di Afrika dan Asia Tenggara sehingga disebut dengan penyebab malaria tropika (malaria maligna). Di Indonesia parasit ini tersebar di seluruh kepulauan. Spesies ini merupakan paling berbahaya karena penyakit yang ditimbulkannya dapat menjadi berat. Pada malaria falciparum, eritrosit yang terinfeksi tidak membesar selama stadium perkembangan parasit. Namun, terjadi perubahan yang menyerupai bentuk pisang. III.
Lingkungan (Environment) Menurut Mukono (2000) yang dikutip oleh Ririh (2011) menyebutkan bahwa
bahwa lingkungan adalah sebagai faktor ekstrinsik yang terdiri dari lingkungan fisik, biologis dan sosial yang dapat menyebakan penyakit termasuk penyakit malaria. 1. Lingkungan Fisik a. Suhu Udara sangat mempengaruhi panjang pendeknya siklus Sporogami atau masa inkubasi Ektrinsik. Masa inkubasi Ekstrinsik adalah mulai saat masuknya
Universitas Sumatera Utara
gametosit ke dalam tubuh nyamuk sampai terjadinya stadium sporogami dalam nyamuk yaitu terbentuknya sporozoit yang kemudian masuk kedalam kelenjar liur. Makin tinggi suhu maka makin pendek masa inkubasi Ekstrinsik. Pengaruh suhu berbeda dari setiap species pada suhu 26,7oC. Masa inkubasi Ekstrinsik untuk setiap species sebagai berikut: 1. Parasit falciparum 2. Parasit vivax
: 10 – 12 hari
: 8 – 11 hari
3. Parasit malariae : 14 hari 4. Parasit ovale
: 15 hari
Masa inkubasi Intrinsik adalah waktu mulai masuknya Sprozoit darah sampai timbulnya gejala klinis/demam atau sampai pecahnya sizon darah dalam tubuh penderita. Masa inkubasi Intrinsik berbeda tiap species : 1. Plasmodium falciparum
: 10 – 14 hari (12)
2. Plasmodium vivax
: 12 – 17 hari (13)
3. Plasmodium malariae : 18 – 40 hari (28) 4. Plasmodium ovale
: 16 – 18 hari (7)
b. Curah Hujan Selama musim kemarau, jumlah kasus malaria umumnya menurun, sedangkan setelah hujan beberapa minggu jumlah kasus malaria mulai menanjak sampai mencapai puncaknya. Air hujan yang menyebabkan genangan-genangan air merupakan tempat perindukan nyamuk sehingga dengan bertambahnya tempat perindukan populasi nyamuk juga akan bertambah penularannya.
Universitas Sumatera Utara
c. Kelembaban Perkembangan Plasmodium dan penularan infeksi terjadi ketika kelembaban paling rendah 60%. Kelembaban yang relatif tinggi akan memperpanjang hidup nyamuk dan juga akan memperpanjang penularan infeksi ke orang lain. d. Angin Kecepatan angin akan mempengaruhi jarak terbang nyamuk. Nyamuk Anopheles biasanya tidak ditemukan dalam jumlah besar lebih dari 2-3 km dari tempat perindukannya. Normalnya, nyamuk betina menyebar lebih jauh dari nyamuk jantan dan pengaruh angin bisa membawa nyamuk sejauh 30 km dari tempat perindukan e. Sinar Matahari Pengaruh sinar matahari terhadap pertumbuhan larva nyamuk berbeda-beda. An. sundaicus lebih suka tempat teduh, sebaliknya An. hyrcanus lebih menyukai tempat terbuka. An. barbirostris dapat hidup baik di tempat yang teduh maupun di tempat yang terang. f. Arus Air An. barbirostris menyukai tempat perindukan yang airnya statis atau mengalir sedikit. An. minimus menyukai tempat perindukan yang aliran airnya cukup deras dan An. sundaicus di tempat yang airnya tergenang. 2. Lingkungan Biologi Jenis tumbuhan air yang ada seperti bakau (Mangroves), ganggang dan berbagai jenis tumbuhan lain yang dapat mempengaruhi kehidupan larva nyamuk, karena ia dapat menghalangi sinar matahari yang masuk atau menghalangi dari
Universitas Sumatera Utara
serangan mahkluk hidup lain. Beberapa jenis tanaman air merupakan indikator bagi jenis-jenis nyamuk tertentu. Tanaman
air
bukan
saja
menggambarkan
sifat
fisik,
tetapi
juga
menggambarkan susunan kimia dan suhu air misalnya pada lagun banyak ditemui lumut perut ayam (Heteromorpha) dan lumut sutera (Enteromorpha) kemungkinan di lagun tersebut ada larva An. Sundaicus. Adanya berbagai jenis ikan pemakan larva seperti ikan kepala timah (Plocheilus panchax Panchax sp), Gambusi sp, Oreochromis niloticus (nila merah), Oreochromis mossambica (mujair), akan mempengaruhi populasi nyamuk disuatu daerah. Selain itu adanya ternak besar seperti sapi dan kerbau dapat mengurangi jumlah gigitan nyamuk pada manusia, apabila kandang hewan tersebut diletakkan diluar rumah, tetapi tidak jauh dari rumah atau cattle barrier. 3. Lingkungan Sosial Budaya Faktor ini terkadang besar sekali pengaruhnya dibandingkan dengan faktor lingkungan yang lain. Kebiasaan untuk berada di luar rumah sampai larut malam, dimana vektornya lebih bersifat eksofilik dan eksofagik akan memperbesar jumlah gigitan nyamuk. Penggunaan kelambu, kawat kasa pada rumah dan penggunaan zat penolak nyamuk/repellen yang intensitasnya berbeda sesuai dengan perbedaan status sosial masyarakat akan mempengaruhi angka kesakitan malaria. Penelitian oleh Zaluchu (2007) di Kecamatan Gunungsitoli, Kabupaten Nias, menemukan ternyata malaria yang telah sekian lama menjadi suatu penyakit masyarakat dianggap tidak lagi menjadi penyakit yang berbahaya atau penyakit biasa dan bahkan menyatakan malaria bukan penyakit menular yang harus dikhawatirkan.
Universitas Sumatera Utara
2.3
Manifestasi Klinis Malaria sebagai penyebab infeksi yang disebabkan oleh Plasmodium sp
mempunyai gejala utama yaitu demam. Demam yang terjadi diduga berhubungan dengan proses skizogoni (pecahnya merozoit atau skizon), pengaruh GPI (Glycosyl Phosphatidylinositol) atau terbentuknya sitokin atau toksin lainnya. Pada beberapa penderita, demam tidak terjadi (misalnya pada daerah hiperendemik) banyak orang dengan parasitemia tanpa gejala. Gambaran karakteristik dari malaria ialah demam periodic, anemia dan splenomegali (Mansyor, 2001). Manifestasi umum malaria adalah sebagai berikut: 1. Masa inkubasi Masa inkubasi biasanya berlangsung 8-37 hari tergantung dari spesies parasit (terpendek untuk P. falciparum dan terpanjang untuk P. malariae), beratnya infeksi dan pada pengobatan sebelumnya atau pada derajat resistensi hospes. Selain itu juga cara infeksi yang mungkin disebabkan gigitan nyamuk atau secara induksi (misalnya transfusi darah yang mengandung stadium aseksual) (Harijanto, 2000). 2. Keluhan-keluhan prodromal Keluhan-keluhan prodromal dapat terjadi sebelum terjadinya demam, berupa: malaise, lesu, sakit kepala, sakit tulang belakang, nyeri pada tulang dan otot, anoreksia, perut tidak enak, diare ringan dan kadang-kadang merasa dingin di punggung. Keluhan prodromal sering terjadi pada P. vivax dan P. ovale, sedangkan P. falciparum dan P. malariae keluhan prodromal tidak jelas (Harijanto, 2000).
Universitas Sumatera Utara
3. Gejala-gejala umum Gejala-gejala klasik umum yaitu terjadinya trias malaria (Malaria proxym) secara berurutan: a. Periode dingin Dimulai dengan menggigil, kulit dingin, dan kering, penderita sering membungkus dirinya dengan selimut atau sarung pada saat menggigil, sering seluruh badan gemetar, pucat sampai sianosis seperti orang kedinginan. Periode ini berlangsung antara 15 menit sampai 1 jam diikuti dengan meningkatnya temperature (Mansyor, 2001). b. Periode panas Wajah penderita terlihat merah, kulit panas dan kering, nadi cepat dan panas tubuh tetap tinggi, dapat sampai 40o C atau lebih, penderita membuka selimutnya, respirasi meningkat, nyeri kepala, nyeri retroorbital, muntah- muntah dan dapat terjadi syok. Periode ini berlangsung lebih lama dari fase dingin dapat sampai 2 jam atau lebih, diikuti dengan keadaan berkeringat (Harijanto, 2006). c. Periode berkeringat Penderita berkeringan mulai dari temporal, diikuti seluruh tubuh, penderita merasa capek dan sering tertidur. Bila penderita bangun akan merasa sehat dan dapat melakukan pekerjaan biasa (Harijanto, 2006). Anemia merupakan gejala yang sering ditemui pada infeksi malaria, dan lebih sering ditemukan pada daerah endemik. Kelainan pada limpa akan terjadi setelah 3
Universitas Sumatera Utara
hari dari serangan akut dimana limpa akan membengkak, nyeri dan hiperemis (Harijanto, 2006). Hampir semua kematian akibat malaria disebabkan oleh P. falciparum. Pada infeksi P. falciparum dapat menimbulkan malaria berat dengan komplikasi umumnya digolongkan sebagai malaria berat yang menurut WHO didefinisikan sebagai infeksi P. falciparum stadium aseksual dengan satu atau lebih komplikasi sebagai berikut (Harijanto, 2000): 1. Malaria serebral, derajat kesadaran berdasarkan GCS kurang dari 11. 2. Anemia berat (Hb<5 gr% atau hematokrit <15%) pada keadaan hitung parasit >10.000/µl. 3. Gagal ginjal akut (urin kurang dari 400ml/24jam pada orang dewasa atau <12 ml/kgBB pada anak-anak setelah dilakukan rehidrasi, diserta kelainan kreatinin >3mg%. 4. Edema paru. 5. Hipoglikemia: gula darah <40 mg%. 6. Gagal sirkulasi/syok: tekanan sistolik <70 mmHg disertai keringat dingin atau perbedaan temperature kulit-mukosa >1oC. 7. Perdarahan spontan dari hidung, gusi, saluran cerna dan atau disertai kelainan laboratorik adanya gangguan koagulasi intravaskuler. 8. Kejang berulang lebih dari 2 kali/24jam setelah pendinginan pada hipertermis. 9. Asidosis (plasma bikarbonat <15mmol/L). 10. Makroskopik hemaglobinuri oleh karena infeksi malaria akut bukan karena obat antimalaria pada kekurangan Glukosa 6 Phospat Dehidrogenase.
Universitas Sumatera Utara
11. Diagnosa post-mortem dengan ditemukannya parasit yang padat pada pembuluh kapiler jaringan otak. 2.4
Diagnosis Diagnosis pasti infeksi malaria dilakukan dengan menemukan parasit dalam
darah yang diperiksa dengan mikroskop dan metode lain tanpa mikroskop seperti RDT (Rapid antigen Detection Test) serta metode berdasarkan deteksi asam nukleat dapat dibagi dalam dua golongan, yaitu: hibridisasi DNA atau RNA berlabel yang sensitivitas dapat ditingkatkan dengan PCR (Polymerase Chain Reaction). Pemeriksaan darah juga menujukan gambaran: a. Hemoglobin, menurun ( Hb, normal: Pria 13,5-18,0 g/dl; Wanita 11,5-16,5 g/dl) b. Leukosit, normal atau menurun (leukusit normal 4.000-11.000/cm) c. Trombosit, menurun. (Trombosit normal: 150.000-450.000/cm) d. Aspartat amino transferase, meningkat (normal: 8-40 IU/l) e. Alanin amino transferase, meningkat (normal: 3-60 IU/l) f. Bilirubin, meningkat (normal total: < 17 μmol, direct <5 μmo/l) 2.5
Prognosis 1. Prognosis malaria berat tergantung pada kecepatan dan ketepatan diagnosis serta pengobatan (Depkes RI, 2006). 2. Pada malaria berat yang tidak ditanggulangi, maka mortalitas yang dilaporkan pada anak-anak 15%, dewasa 20% dan pada kehamilan meningkat sampai 50% (Depkes RI,2006).
Universitas Sumatera Utara
3. Prognosis malaria berat dengan gangguan satu fungsi organ lebih baik daripada gangguan 2 atau lebih fungsi organ (Depkes RI, 2006). a. Mortalitas dengan gangguan 3 fungsi organ adalah 50%. b. Mortalitas dengan gangguan 4 atau lebih fungsi organ adalah 75%. c. Adanya korelasi antara kepadatan parasit dengan mortalitas yaitu: - Kepadatan parasit <100.000/µL, maka mortalitas <1%. - Kepadatan parasit >100.000/µL, maka mortalitas >1%. - Kepadatan parasit >500.000/µL, maka mortalitas >5%. 2.6
Parameter Pengukuran Epidemiologi Malaria Untuk mengetahui kejadian dan pola suatu penyakit atau masalah kesehatan
yang terjadi dalam masyarakat, kita harus mempunyai alat atau metode pengukuran yang dapat digunakan untuk mengetahui jumlah dan distribusi penyakit tersebut. Dalam studi epidemiologi yang paling utama diperlukan adalah alat pengukuran frekuensi penyakit. Pengukuran frekuensi penyakit tersebut dititikberatkan pada angka kesakitan dan angka kematian yang terjadi dalam masyarakat. Frekuensi penyakit dalam epidemiologi biasanya dalam perbandingan antara populasi. Alat yang biasa digunakan adalah rate dan ratio. Adapun ukuran-ukuran yang dipakai khususnya dalam penyakit malaria adalah sebagai berikut : a. Annual Parasit Incidence (API) Adalah angka kesakitan per 1.000 penduduk dalam satu tahun, jumlah sediaan darah positif dibandingkan dengan jumlah penduduk, dinyatakan dalam permil (1.000).
Universitas Sumatera Utara
API =
b.
Jumlah penderita SD positif dalam satu tahun x 1.0000 Jumlah penduduk tahun tersebut
Annual Malaria Incidence (AMI) Adalah angka kesakitan (malaria klinis) per 1.000 penduduk dalam satu tahun yang dinyatakan dalam permil (1.000). AMI = Jumlah penderita malaria klinis dalam satu tahun x 1.000 Jumlah penduduk tahun tersebut
c.
Case Fatality Rate (CFR) Adalah ukuran angka kematian (kematian yang disebabkan oleh malaria falciparum) dibandingkan dengan jumlah penderita penderita malaria jenis parasit P. falciparum pada periode waktu yang sama. CFR = Jumlah penderita meninggal karena malaria falciparum pada periode waktu tertentu x 1000 Jumlah penderita malaria falciparum pada periode waktu yang sama
d. Annual Blood Examination Rate (ABER) Adalah jumlah sediaan darah yang diperiksa terhadap semua penduduk dalam satu tahun yang dinyatakan dalam persen (%). ABER = Jumlah SD yang diperiksa dalam satu tahun x 100% Jumlah penduduk tahun tersebut e.
Slide Positif Rate (SPR) Adalah persentase dari sediaan darah yang positif dari seluruh sediaan darah yang diperiksa yang dinyatakan dalam persen (%). SPR = Jumlah sediaan darah positif x 100% Jumlah seluruh sediaan darah yang diperiksa
Universitas Sumatera Utara
f. Parasite Rate (PR) Adalah sama dengan SPR tetapi Parasite Rate (PR) ini digunakan pada kegiatan survei malariometrik anak berumur 0-9 tahun. PR = Jumlah sediaan darah positif x 100% Jumlah seluruh sediaan darah yang diperiksa g. Spleen Rate (SR) Adalah adanya pembesaran limpa pada golongan umur tertentu terhadap jumlah penduduk yang diperiksa limpanya pada golongan umur yang sama dan tahun yang sama yang dinyatakan dalam persen (%). SR= Jumlah anak 2-9 tahun yang mengalami pembesaran limpa x 100% Jumlah anak 2-9 tahun yang diperiksa limpanya 2.7
Stratifikasi Daerah Malaria Dalam kegiatan pemberantasan malaria, maka dibuat stratifikasi daerah
malaria berdasarkan (Ririh, 2011): 1. Stratifikasi Berdasarkan Insidens Malaria a. AMI (Annual Malaria Incidence) AMI yaitu jumlah penderita malaria klinis di suatu wilayah pada setiap 1.000 penduduk di wilayah tersebut dalam satu tahun. AMI digunakan untuk daerah yang berada di luar Jawa-Bali. Pembagiannya yaitu : a. Low Malaria Incidence, yaitu AMI < 10 kasus per 1.000 penduduk b. Medium Malaria Incidence, yaitu AMI 10-50 kasus per 1.000 penduduk c. High Malaria Incidence, yaitu AMI > 50 kasus per 1.000 penduduk
Universitas Sumatera Utara
b. API (Annual Parasite Incidence) API yaitu jumlah penderita malaria berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium di suatu wilayah pada setiap 1.000 penduduk di wilayah tersebut dalam satu tahun. API digunakan untuk daerah yang berada di Jawa-Bali. Pembagiannya yaitu: a. Low Parasite Incidence, yaitu API < 1 kasus per 1.000 penduduk b. Medium Parasite Incidence, yaitu API 1-5 kasus per 1.000 penduduk c. High Parasite Incidence, yaitu API > 5 kasus per 1.000 penduduk 2. Stratifikasi Berdasarkan Prevalens Malaria Didapatkan dari hasil pemeriksaan sediaan darah (SD) positif dari kegiatan survei malariometrik, maka daerah malaria dapat dibagi menjadi : a. Low Prevalence Area (LPA), yaitu PR < 2% b. Medium Prevalence Area (MPA), yaitu PR 2-4% c. High Prevalence Area (HPA), yaitu PR > 4%. 2.8
Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Malaria
2.8.1
Pengendalian Malaria Penanggulangan malaria seharusnya ditujukan untuk memutuskan rantai
penularan antara host, agent dan environment. Pemutusan rantai penularan ini harus ditujukan kepada sasaran yang tepat, yaitu: 1. Pemberantasan Vektor Penangulangan vektor dilakukan dengan cara membunuh nyamuk dewasa (penyemprotan rumah dengan Insektisida). Dengan di bunuhnya nyamuk maka
Universitas Sumatera Utara
parasit yang ada dalam tubuh, pertumbuhannya di dalam tubuh tidak selesai, sehingga penyebaran/transmisi penyakit dapat terputus (Depkes RI, 2003). Demikian juga kegiatan anti jentik dan mengurangi atau menghilangkan tempattempat perindukan, sehingga perkembangan jumlah (Density) nyamuk dapat dikurangi dan akan berpengaruh terhadap terjadinya transmisi penyakit malaria (Depkes RI, 2003) 2. Pengendalian Vektor Pengendalian vector malaria dilaksanakan berdasarkan pertimbangan, Rasioanal, Efektif, Efisiensi, Sustainable, dan Acceptable yang sering disingkat
RESA
yaitu: 1. Rational: Lokasi kegiatan pengendalian vektor yang diusulkan memang terjadi penularan (ada vektor) dan tingkat penularannya memenuhi criteria yang ditetapkan, antara lain: Wilayah pembebasan: desa dan ditemukan penderita indegenius dan wilayah pemberantasan PR > 3%. 2. Effective: Dipilih salah satu metode / jenis kegiatan pengendalian vektor atau kombinasi dua metode yang saling menunjang dan metode tersebut dianggap paling berhasil mencegah atau menurunkan penularan, hal ini perlu didukung oleh data epidemiologi dan Laporan masyarakat. 3. Sustainable: Kegiatan pengendalian vektor yang di pilih harus dilaksanakan secara berkesinambungan sampai mencapai tingkat penularan tertentu dan hasil yang sudah di capai harus dapat dipertahankan dengan kegiatan lain yang biayanya lebih murah, antara lain dengan penemuan dan pengobatan penderita.
Universitas Sumatera Utara
4. Acceptable: Kegiatan yang dilaksanakan dapat diterima dan didukung oleh masyarakat setempat (Depkes RI, 2005). Adapun kegiatan yang dilakukan dalam pengendalian vektor adalah sebagai berikut (Anies, 2006): 1. Penyemprotan rumah, penyemprotan dilakukan pada semua bangunan yang ada, pada malam hari digunakan sebagai tempat menginap atau kegiatan lain, masjid, gardu ronda, dan lain-lain. 2. Larviciding adalah kegiatan anti larva yang dilakukan dengan cara kimiawi, kegiatan ini di lakukan dilingkungan yang memiliki banyak tempat perindukan yang potensial (Breeding Pleaces). Yang dimaksud dengan tempat perindukan adalah genangan air disekitar pantai yang permanen, genangan air dimuara sungai yang tertutup pasir dan saluran dengan aliran air yang lambat. 3. Biological control adalah kegiatan anti larva dengan cara hayati (pengendalian dengan ikan pemakan jentik), dilakukan pada desa-desa di mana terdapat banyak tempat perindukan vektor potensial dengan ketersedian air sepanjang tahun, seperti mata air, anak sungai, saluran air persawahan, rawa-rawa daerah pantai dan air payau, dll. 4. Pengolahan lingkungan (Source reduction) adalah kegiatan-kegiatan yang mencakup perencanaan, pelaksanaan dan pengamatan kegiatan modifikasi dan manipulasi faktor lingkungan dan interaksinya dengan manusia untuk mencegah dan membatasi perkembangan vector dan mengurangi kontak antara manusia dan Vektor (Depkes RI, 2005).
Universitas Sumatera Utara
5. Kelambunisasi adalah pengendalian nyamuk Anopheles sp. secara kimiawi yang digunakan di Indonesia. Kelambunisasi adalah pengunaan kelambu yang terlebih dahulu dicelup dengan insektisida permanent 100EC yang berisi bahan aktif permethrin. 3. Penemuan dan Pengobatan Penderita Malaria A. Mencari Penderita Malaria Salah satu cara memutuskan penyebaran penyakit malaria adalah dengan menemukan penderita sedini mungkin baik dilakukan secara aktif oleh petugas yang mengunjungi rumah secara teratur (Active Case detection) maupun dilakukan secara pasif (Passive Case Detection), yaitu memeriksa semua pasien yang berkunjung ke Unit Pelayanan Kesehatan (UPK), yaitu Polindes, Pustu, Puskesmas dan Rumah Sakit baik swasta maupun pemerintah yang menunnjukkan gejala malaria dan dilakukan pengambilan darah untuk diperiksa di labaratorium. B. Pengobatan Penderita Malaria Bebarapa cara dan jenis pengobatan terhadap tersangka atau penderita yaitu : a. Pengobatan Malaria Klinis Pengobatan diberikan berdasarkan gejala klinis dan bertujuan untuk menekan gejala klinis dan membunuh gamet untuk mencegah terjadinya penularan. b. Pengobatan Radikal Pengobatan diberikan dengan pemeriksaan laboratorium positf Malaria.
Universitas Sumatera Utara
c. Pengobatan Masal (Mass drug Administration = MDA) Pemberian pengobatan malaria klinis kepada semua penduduk (>80%) didaerah KLB sebagai bagian dari upaya penanggulangan KLB malaria. d. Pengobatan kepada Penderita Demam (Mass Fever Treatment = MFT) Dilakukan untuk mencegah KLB dan penaggulangan KLB, yaitu diulang setiap 2 minggu setelah pengobatan MBA sampai penyemprotan selesai. 2.8.2
Pencegahan Malaria Pencegahan sederhana dapat dilakukan oleh masyarakat, antara lain : 1. Menghindari atau mengurangi gigitan nyamuk malaria, dengan cara tidur memakai kelambu, tidak berada diluar rumah pada malam hari, mengolesi badan dengan lotion anti nyamuk, memasang kawat kasa pada jendela. 2. Membersihkan tempat sarang nyamuk, dengan cara membersihkan semaksemak disekitar rumah dan melipat kain-kain yang bergantungan, mengusahakan didalam rumah tidak gelap, mengalirkan genangan air serta menimbunnya. 3. Membunuh nyamuk dewasa (penyemprotan dengan insektisida) 4. Membunuh larva dengan menebarkan ikan pemakan larva 5. Membunuh larva dengan menyemprot larvasida.
2.9
Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Malaria Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian penyakit malaria antara lain: 1. Faktor Lingkungan fisik a) Kondisi fisik rumah
Universitas Sumatera Utara
Rumah adalah struktur fisik, orang menggunakan untuk tempat berlindung yang dilengkapi beberapa fasilitas yang berguna untuk kesehatan jasmani dan rohani baik untuk keluarga maupun individu. Rumah merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia disamping pangan dan sandang agar rumah dapat berfungsi sebagai tempat tinggal yang baik diperlukan beberapa persyaratan. Rumah sehat harus memenuhi beberapa persyaratan, antara lain: 1) Rumah harus dibangun sedemikian rupa sehingga dapat terpenuhi kebutuhan fisik dasar dari penghuninya. Hal-hal yang perlu diperhatikan di sini ialah : a) Rumah tersebut harus terjamin penerangannya yang dibedakan atas cahaya matahari dan lampu. b) Rumah tersebut harus mempunyai ventilasi yang sempurna, sehingga aliran udara segar dapat terpelihara. c) Rumah tersebut dibangun sedemikian rupa sehingga dapat dipertahankan suhu lingkungan. 2) Rumah harus dibangun sedemikian rupa sehingga dapat terpenuhi kebutuhan kejiwaan
dasar dari penghuninya. Hal-hal yang perlu
diperhatikan adalah : a) Terjamin berlangsungnya hubungan yang serasi antara anggota keluarga yang tinggal bersama.
Universitas Sumatera Utara
b) Menyediakan sarana yang memungkinkan dalam pelaksanaan pekerjaan rumah tangga tanpa menimbulkan kelelahan yang berlebihan. 3) Rumah tersebut harus dibangun sedemikian rupa sehingga dapat melindungi penghuni dari penularan penyakit atau berhubungan dengan zat-zat yang membahayakan kesehatan. Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah : a) Rumah yang di dalamnya tersedia air bersih yang cukup. b) Ada tempat pembuangan sampah dan tinja yang baik. c) Terlindung dari pengotoran terhadap makanan. d) Tidak menjadi tempat bersarang binatang melata ataupun penyebab penyakit lainnya. 4) Rumah harus dibangun sedemikian rupa sehingga melindungi penghuni dari kemungkinan terjadinya bahaya kecelakaan. Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah : a) Rumah yang kokoh. b) Terhindar dari bahaya kebakaran. c) Alat-alat listrik yang terlindungi. d) Terlindung dari kecelakaan lalu lintas. Kondisi fisik rumah berkaitan sekali dengan kejadian malaria, terutama yang berkaitan dengan mudah atau tidaknya nyamuk masuk ke dalam rumah adalah ventilasi yang tidak di pasang kawat kasa dapat mempermudah nyamuk masuk kedalam rumah. Langit-langit atau pembatas ruangan dinding bagian atas dengan atap
Universitas Sumatera Utara
yang terbuat dari kayu, internit maupun anyaman bambu halus sebagai penghalang masuknya nyamuk ke dalam rumah dilihat dari ada tidaknya langit-langit pada semua atau sebagian ruangan rumah. Kualitas dinding yang tidak rapat jika dinding rumah terbuat dari anyaman bambu kasar ataupun kayu/papan yang terdapat lubang lebih dari 1,5 mm² akan mempermudah nyamuk masuk ke dalam rumah (Darmadi, 2002). b) Lingkungan rumah Lingkungan fisik yang diperhatikan dalam kejadian malaria adalah jarak rumah dari tempat istirahat dan tempat perindukan yang disenangi nyamuk Anopheles sp. seperti adanya semak yang rimbun akan menghalangi sinar matahari menembus permukaan tanah, sehingga adanya semak-semak yang rimbun berakibat lingkungan menjadi teduh serta lembab dan keadaan ini merupakan tempat istirahat yang disenangi nyamuk Anopheles sp.. Parit atau selokan yang digunakan untuk pembuangan air merupakan tempat berkembang biak yang disenangi nyamuk, dan kandang ternak sebagai tempat istirahat nyamuk sehingga jumlah populasi nyamuk di sekitar rumah bertambah (Handayani, 2008). 1. Kondisi lingkungan yang sesuai dengan bionomik vektor malaria. a. Anopheles aconitus Di Indonesia nyamuk ini terdapat hampir diseluruh kepulauan, kecuali Maluku dan Irian. Biasanya dapat dijumpai di dataran rendah tetapi lebih banyak di dapat di daerah kaki gunung pada ketinggian 400-1000 m. Jentiknya terdapat di sawah dan saluran irigasi. Sawah yang akan ditanami dan mulai diberi air, yang masih ada batang padi dan jerami yang berserakan, merupakan sarang yang sangat baik. Nyamuk dewasa hinggap
Universitas Sumatera Utara
dalam rumah dan kandang, tetapi tempat hinggap yang paling disukai ialah di luar rumah, pada tebing yang curam, gelap dan lembab. Juga terdapat diantara semak belukar didekat sarangnya. Jarak terbangnya dapat mencapai 1,5 km, tetapi mereka jarang terdapat jauh dari sarangnya. Terbangnya pada malam hari untuk menghisap darah. b. Anopheles balabacensis Anopheles balabacensis ditemukan sepanjang tahun baik pada musim hujan
maupun
musim
kemarau.
Pada
musim
hujan
tempat
perkembangbiakan spesies tersebut adalah di aliran mata air yang tergenang, di genangan-genangan air hujan di tanah, dan di lubang- lubang batu. Sering didapatkan juga pada parit yang alirannya terhenti. Pada musim kemarau sumber air tanah berkurang sehingga terbentuk genangangenangan air sepanjang sungai. Genangan-genangan air tersebut dimanfaatkan
sebagai
tempat
perkembangbiakkan
Anopheles
balabacensis. Nyamuk dewasa lebih suka menghisap darah manusia dari pada darah binatang (Achmadi, 2008). c. Anopheles maculatus Spesies nyamuk ini umumnya berkembangbiak pada genangan-genangan air tawar jernih baik di tanah seperti di mata air, galian-galian pasir atau belik, genangan air hujan maupun genangan air di sungai yang berbatubatu kecil yang terbentuk karena sumber air kurang sehingga air tidak mengalir dan menggenang di sepanjang sungai serta mendapat sinar matahari langsung. Perilaku menghisap darah baik di dalam maupun di
Universitas Sumatera Utara
luar rumah paling banyak sekitar pukul 22.00. Spesies ini pada siang hari ditemukan istirahat di luar rumah pada tempat-tempat yang teduh antara lain di kandang sapi dan kerbau, di semak-semak, di lubang-lubang di tanah pada tebing dan lubang-lubang tempat pembuangan sampah. Selama penangkapan pada siang hari tidak pernah menemukan Anopheles maculatus istirahat di dalam rumah (Achmadi, 2008). Jarak terbangnya kurang lebih 1 km tetapi mereka jarang terdapat jauh dari sarangnya dan lebih suka mengigit binatang dari pada manusia. d. Anopheles sundaicus Tempat perindukan nyamuk Anopheles sundaicus umumnya di air payau yang banyak tumbuhan air atau lumut dan mendapat sinar matahari langsung seperti muara sungai yang tergenang, di lagun, dan di genangangenangan air payau diantara hutan bakau dengan salinitas 1,2-2%. Nyamuk dewasa senang hinggap di dalam rumah (Achmadi, 2008). 2. Faktor Perilaku Upaya pencegahan penyakit malaria salah satunya adalah melalui pendidikan kesehatan masyarakat, dan tujuan akhir dari pendidikan kesehatan masyarakat adalah perubahan perilaku yang belum sehat menjadi perilaku sehat, artinya perilaku yang mendasarkan pada prinsip-prinsip sehat atau kesehatan. Pendidikan yang diberikan kepada masyarakat harus direncanakan dengan menggunakan strategi yang tepat disesuaikan dengan kelompok sasaran dan permasalahan kesehatan masyarakat yang ada. Strategi tersebut mencakup metode/cara, pendekatan dan tekhnik yang mungkin digunakan untuk mempengaruhi faktor
Universitas Sumatera Utara
prediposisi, pemungkin dan penguat yang secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi perilaku. Strategi yang tepat agar masyarakat mudah dan cepat menerima pesan diperlukan alat bantu yang disebut peraga. Semakin banyak indra yang digunakan untuk menerima pesan semakin banyak dan jelas pula pengetahuan yang diperoleh ( Depkes RI, 1999). Praktik atau perilaku keluarga terhadap upaya mengurangi gigitan nyamuk malaria adalah: a. Kebiasaan menggunakan kelambu Beberapa penelitian menunjukkan bahwa menggunakan kelambu secara teratur pada waktu malam hari dapat mengurangi kejadian malaria. Penduduk yang tidak menggunakan kelambu mempunyai resiko 6,44 kali terkena malaria. b.
Kebiasaan menghindari gigitan nyamuk Untuk menghindari gigitan nyamuk digunakan obat semprot, obat poles atau obat nyamuk bakar sehingga memperkecil kontak dengan nyamuk (Depkes RI, 1992).
c.
Kebiasaan berada di luar rumah pada malam hari Nyamuk penular malaria mempunyai keaktifan menggigit pada malam hari. Menurut Lestari (2007) nyamuk Anopheles paling aktif mencari darah pukul 21.00-03.00. Menurut Darmadi (2002) kebiasaan penduduk barada di luar rumah pada malam hari antara pukul 21.00 s/d 22.00 berhubungan erat dengan kejadian malaria, karena frekuensi menghisap darah jam tersebut tinggi.
Universitas Sumatera Utara
2.10
Perumahan Rumah adalah salah satu persyaratan pokok bagi kehidupan manusia. Rumah
atau tempat tinggal manusia, dari zaman ke zaman mengalami perkembangan. Pada zaman purba manusia bertempat tinggal di gua-gua, kemudian berkembang dengan mendirikan rumah tempat tinggal di hutan-hutan dan dibawah pohon. Sampai pada abad modern ini manusia sudah membangun rumah bertingkat dan dilengkapi dengan peralatan yang serba modern. Sejak zaman dahulu pula manusia telah mencoba mendesain rumahnya dengan ide masing-masing yang dengan sendirinya berdasarkan kebudayaan masyarakat setempat (Notoatmodjo, 2003). 2.10.1 Rumah Sehat Menurut Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO) yang dikutip oleh Masyuda (2003) mendefenisikan rumah sebagai tempat untuk tumbuh dan berkembang, baik secara jasmani, rohani dan sosial. Artinya dalam rumah diperlukan segala fasilitas untuk bertumbuh dan berkembang. Fasilitas tersebut harus ada di dekat rumah seperti sekolah, toko, pasar, tempat kerja, fasilitas air bersih, sanitasi dan lain- lain. Rumah yang sehat menurut Winslow dan American Public Health Asosiation (APHA) yang dikutip oleh Masyuda (2003) harus memenuhi persyaratan antara lain: 1. Memenuhi Kebutuhan Fisiologis Kebutuhan ini meliputi pencahayaan, ventilasi, jauh dari kegaduhan dan cukupnya tempat bermain anak. 2. Memenuhi Kebutuhan Psikologis Kebutuhan psikologis meliputi cukup aman dan nyaman bagi masing-masing penghuni (kamar tidur), ada ruang makan sekaligus untuk ruang duduk (kamar
Universitas Sumatera Utara
tamu), lokasinya disekitar tetangga yang mempunyai tingkat ekonomi yang relatif sama, cara pengaturannya harus memenuhi rasa keindahan (estetika) tersedia WC dan kamar mandi dan adanya jaminan kebebasan yang cukup bagi setiap anggota keluarga. 3. Mencegah Penularan Penyakit Persyaratan ini meliputi persediaan air bersih yang memenuhi persyaratan kesehatan, bebas dari serangga dan tikus, pembuangan sampah yang saniter, pembuangan air limbah yang memenuhi syarat kesehatan dan harus cukup luasnya. 4. Mencegah Terjadinya Kecelakaan Persyaratan agar dapat mencegah terjadinya kecelakaan meliputi konstruksi lemah dan material yang digunakan harus cukup kuat (berkualitas baik), diusahakan agar tidak mudah terbakar, pada bangunan bertingkat perlu dibuat tangga darurat yang terletak diluar bangunan, perlu adanya alat pemadam kebakaran dan dapat dihindari timbulnya kecelakaan lalu lintas. 2.10.2 Persyaratan Rumah Sehat 1. Luas Bangunan Rumah (Kepadatan Hunian Ruang Tidur) Rumah yang sehat harus memenuhi persyaratan psikologis meliputi privacy (kebebasan), security (keamanan), safety (perlindungan), comfirt (kesenangan) dan rileks (ketenangan). Disamping itu juga harus memenuhi persyaratan fisik yang meliputi konstruksi yang baik dan memenuhi syarat kesehatan dan sanitasi yang baik. Menurut Regional Houseing Center, suatu bangunan harus memenuhi ukuran luas yang layak (dengan perhitungan untuk setiap keluarga yang terdiri dari 5 anggota
Universitas Sumatera Utara
keluarga rata-rata). Setidak-tidaknya harus ada batas-batas minimal dapat dianggap rumah tersebut tidak lagi memenuhi persyaratan-persyaratan. Di berbagai negara persyaratan luas ruangan, perumahan biasanya ditentukan berdasarkan
banyaknya
penghuni.
Over
crowding
(kepenuhsesakan)
dapat
menimbulkan efek negatif terhadap kesehatan fisik, mental maupun moral. Luas bangunan yang optimum menurut Notoatmodjo (2003) adalah apabila menyediakan 2,5–3 m2 untuk tiap orang atau tiap anggota keluarga. Over crowding suatu perumahan apabila kondisi rumah terhadap jumlah penghuni sebagai berikut : a. Dua individu dari jenis kelamin yang berbeda dan usia diatas 10 tahun yang bukan suami istri, tidur dalam satu kamar. b. Jumlah penghuni dibandingkan dengan luas lantai melebihi ketentuan yang ditetapkan. Di Indonesia ketentuan mengenai kepadatan hunian ruang tidur di tetapkan oleh Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 829/Menkes/SK/VII/1999, yaitu luas ruang tidur minimal 8 m2 dan tidak dianjurkan/ digunakan lebih dari 2 orang tidur dalam satu ruang tidur, kecuali anak dibawah umur 5 tahun. Dan ukuran kamar tidur yang ideal minimal 9 m2 untuk orang dewasa dan anak–anak diatas 5 tahun, sedangkan untuk anak balita ukuran minimal 4,5 m2 dan tidak dianjurkan digunakan untuk lebih dari 2 orang dalam satu ruang tidur. 2. Ventilasi Suatu ruangan yang terlalu padat penghuninya dapat memberikan dampak yang buruk terhadap kesehatan penghuni rumah tersebut, untuk itu pengaturan
Universitas Sumatera Utara
sirkulasi udara sangat diperlukan. Luas penghawaan atau ventilasi alamiah yang permanen minimal 10% dari luas lantai. Ventilasi rumah mempunyai banyak fungsi. Fungsi pertama adalah untuk menjaga agar aliran udara di dalam rumah tetap segar. Sehingga keseimbangan O 2 yang diperlukan oleh penghuni rumah tetap terjaga. Kurangnya ventilasi akan menyebabkan kurangnya O2 di dalam rumah yang berarti kadar CO2 yang bersifat racun bagi penghuninya menjadi meningkat. Di samping itu tidak cukupnya ventilasi akan menyebabkan kelembaban udara di dalam ruangan naik karena terjadinya proses penguapan cairan dari kulit. Kelembaban ini merupakan media yang baik untuk bakteri-bakteri patogen (bakteri-bakteri penyebab penyakit). Fungsi kedua dari ventilasi adalah untuk membebaskan udara ruangan dari bakteri-bakteri, terutama bakteri patogen, karena selalu terjadi aliran udara yang terus menerus. Bakteri yang terbawa oleh udara akan selalu mengalir (Notoatmodjo, 2003). Ada 2 macam ventilasi, yakni : a. Ventilasi alamiah, di mana aliran udara di dalam ruangan terjadi secara alamiah melalui jendela, pintu, lubang angin, lubang-lubang pada dinding dan sebagainya. b. Ventilasi buatan, yaitu dengan mempergunakan alat-alat khusus untuk mengalirkan udara tersebut, misalnya kipas angin, dan mesin penghisap udara (Notoatmodjo, 2003)
Universitas Sumatera Utara
3.
Lantai Perkembangbiakan mikroorganisme pada ruangan rumah juga dipengaruhi
oleh kondisi lantai yang tidak memenuhi syarat kesehatan. Lantai rumah biasanya hanya berupa tanah atau batu–batu yang langsung diletakkan di atas tanah, sehingga kelembabannya sangat tinggi. Umumnya masyarakat Indonesia terutama yang tinggal di daerah pedesaan belum memperhatikan kondisi perumahan khususnya kondisi lantai yang biasanya hanya berupa tanah saja. Lantai dari tanah atau batu bata biasanya langsung diletakkan di atas tanah sehingga menjadi lembab. Oleh karena itu perlu suatu lapisan kedap yang air, seperti semen, susunan tegel, dan lain-lain. Lantai yang tidak memenuhi syarat dapat mengundang berbagai serangga dan tikus untuk bersarang, demikian juga kotoran yang melekat padanya (Notoatmojo, 2003). 4.
Cahaya Rumah yang sehat memerlukan cahaya yang cukup, tidak kurang dan tidak
terlalu banyak. Kurangnya cahaya yang masuk ke dalam ruangan rumah, terutama cahaya matahari di samping kurang nyaman, juga merupakan media (tempat) yang baik untuk hidup dan berkembangnya bibit-bibit penyakit. Sebaliknya terlalu banyak cahaya di dalam rumah akan menyebabkan silau, dan akhirnya dapat merusak mata. Karena itu pencahayaan ruangan minimal intensitasnya 60 lux. Cahaya dapat dibedakan menjadi 2, yakni (Notoatmodjo, 2003) : 1.Cahaya alamiah, yakni matahari. Cahaya ini sangat penting, karena dapat membunuh bakteri-bakteri patogen di dalam rumah. Oleh karena itu, rumah
Universitas Sumatera Utara
yang sehat harus mempunyai jalan masuk cahaya (jendela) luasnya sekurang-kurangnya 10 % sampai 20% dari luas lantai yang terdapat di dalam ruangan
rumah. Perlu diperhatikan di dalam membuat jendela
diusahakan agar sinar matahari dapat langsung masuk ke dalam ruangan, tidak terhalang oleh bangunan lain. Di samping sebagai ventilasi, jendela juga berfungsi sebagai jalan masuk cahaya. 2.Cahaya buatan, yaitu menggunakan sumber cahaya yang bukan alamiah, seperti lampu minyak tanah, listrik, api dan sebagainya 2.11
Kerangka Konsep
Karakteristik Responden a. Jenis Kelamin b. Umur c. Pendidikan d. Pekerjaan e. Sosial Budaya ` Faktor Kondisi Lingkungan Fisik Rumah a. Kawat Kasa PadaVentilasi b. Pencahayaan c. Kelembaban d. Langit-langit/Plafon Rumah e. Kerapatan Dinding
Angka Kejadian Malaria
Universitas Sumatera Utara
2.12
Hipotesis Penelitian Berdasarkan uraian tersebut maka dapat dirumuskan hipotesis penelitian
sebagai berikut: 2.12.1 Hipotesis Mayor 1. Ho: Ada hubungan karakteristik responden (Jenis Kelamin, Umur, Pendidikan, Pekerjaan, dan Sosial budaya) dan faktor lingkungan Fisik Rumah (Kawat kasa pada ventilasi. Pencahayaan, Kelembaban, Langit-langit/Plafon rumah, dan Kerapatan dinding) terhadap kejadian malaria di Desa Kampung Padang Kecamatan Panyabungan Kabupaten Mandailing Natal Tahun 2013. 2. Ha: Tidak ada hubungan karakteristik responden (Jenis Kelamin, Umur, Pendidikan, Pekerjaan, dan Sosial budaya) dan faktor lingkungan Fisik Rumah (Kawat kasa pada ventilasi. Pencahayaan, Kelembaban, Langitlangit/Plafon rumah, dan Kerapatan dinding) terhadap kejadian malaria di Desa Kampung Padang Kecamatan Panyabungan Kabupaten Mandailing Natal Tahun 2013. 2.12.2 Hipotesis Minor 1. Ada hubungan antara karakteristik responden (Jenis Kelamin, Umur, Pendidikan, Pekerjaan, dan Sosial budaya) terhadap kejadian malaria di Desa Kampung Padang Kecamatan Panyabungan Kabupaten Mandailing Natal Tahun 2013.
Universitas Sumatera Utara
2.
Ada hubungan antara Kawat kasa pada ventilasi terhadap kejadian malaria di Desa Kampung Padang Kecamatan Panyabungan Kabupaten Mandailing Natal Tahun 2013.
3.
Ada hubungan antara Pencahayaan terhadap kejadian malaria di Desa Kampung Padang Kecamatan Panyabungan Kabupaten Mandailing Natal Tahun 2013.
4.
Ada hubungan antara Kelembaban terhadap kejadian malaria di Desa Kampung Padang Kecamatan Panyabungan Kabupaten Mandailing Natal Tahun 2013.
5.
Ada hubungan antara Langit-langit/Plafon rumah terhadap kejadian malaria di Desa Kampung Padang Kecamatan Panyabungan Kabupaten Mandailing Natal Tahun 2013.
6.
Ada hubungan antara Kerapatan dinding terhadap kejadian malaria di Desa Kampung Padang Kecamatan Panyabungan Kabupaten Mandailing Natal Tahun 2013.
Universitas Sumatera Utara