BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori 2.1.1 Bank Pembangunan Daerah Menurut Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan dalam (www.ojk.go.id), Bank merupakan badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup masyarakat. Menurut OJK (www.ojk.go.id) jenis bank dibedakan menjadi dua yaitu bank umum dan BPR (Bank Pengkreditan Rakyat). Kedua jenis ini dibedakan kembali menjadi dua bagian yaitu konvensional dan syariah.
Bank
Pembangunan
daerah
termasuk
didalam
bank
Konvensional (bank umum). Pada Undang Undang No. 13 tahun 1962, dijelaskan bahwa Bank Pembangunan Daerah merupakan perusahaan daerah yang berbentuk perbankan yang didirikan di suatu daerah yang ruang lingkup usahanya terbatas pada satu daerah. Tujuan didirikannya Bank Pembangunan Daerah adalah untuk membatu pemerintah daerah dalam membangun dan mendorong perekonomian daerah. Pada
Bank
Pembangunan
kepemilikannya dipegang
Daerah,
sebagian
besar
oleh Pemerintah Daerah. Pemerintah
Daerah memegang sekitar 70%-80% saham kepemilikan pada BPD,
7
8
bahkan terdapat beberapa Pemerintah Daerah yang memiliki saham hingga 90% di Bank Pembangunan Daerah (www.asbanda.com). Hal ini menunjukan Pemerintah Daerah merupakan pemegang saham mayoritas pada Bank Pemerintah Daerah. Besarnya saham pada suatu perusahaan merupakan suatu gambaran kekuasaan bagi pemilik saham. Semakin besar saham yang dimiliki pada suatu perusahaan maka semakin besar juga kekuasaan dan
pengendaliaan untuk pemilik saham. Kekuasaan tersebut
biasanya digunakan pemilik saham sebagai wewenangnya untuk mengendalikan manajemen perusahaan. Pada kasus ini, Pemerintah daerah sebagai pemegang saham mayoritas Bank Pembangunan Daerah tentu mempunyai kekuasaan yang lebih untuk mengendalikan manajemen Bank Pembangunan Daerah. Oleh karena itu dengan kekuasaannya tersebut Pemerintah Daerah dapat mempengaruhi kinerja Bank Pembangunan Daerah. Baik Buruknya keadaan pemerintah bisa saja mempengaruhi kinerja dari Bank Pembangunan Daerah. Jika dilihat dari segi keuangannya, Pemerintah daerah yang tidak dapat mengelola keuangannya dengan baik maka akan mengalami masalah dalam keuangannya, kondisi ini bisa berakibat pada permasalahan pemenuhan modal pada Bank Pembangunan Daerah. Sebaliknya jika Pemerintah daerah dapat mengelola keuangannya dengan baik maka diindikasikan kinerja Bank Pembangunan Daerah juga akan baik.
9
2.1.2 Likuiditas Bank Likuiditas merupakan kemampuan bank dalam membiayai peningkatan aset dan mampu memenuhi kewajiban jangka pendek tanpa menimbulkan kerugian. Peran bank yang mendasar sebagai pengubah deposito jangka pendek kedalam pinjaman jangka panjang, membuat bank rentan terhadap resiko likuiditas (Bank For International Settlements;2008). Likuiditas sangat penting untuk keberlangsungan operasi bank. Oleh karena itu diperlukan pengelolaan yang efektif untuk menghindari terjadinya permasalahan yang serius dimasa yang datang. Bank yang mengalami
kekurangan
likuiditas
dapat
mempengaruhi
sistem
perbankan (Hadori et al;2002). Untuk menghindari kekurangan likuiditas bank harus mampu menyediakan alat likuid yang cukup, dapat melakukan peminjaman dana, dan dapat
menjual sebagian
aktivanya dengan segera untuk memuhi kewajibannya. Pengelolaan likuiditas merupakan kegiatan yang rutin dalam operasi bank dimana dana yang dikelola sebagian besar adalah dana pihak
ketiga
yang
sifatnya
sangat
fluktuasi.
Bank
harus
memperhitungkan dengan cermat kebutuhan likuiditas untuk suatu jangka waktu tertentu karena kebutuhan likuiditas sangat dipengaruhi oleh perilaku nasabah dan jenis sumber dana yang dikelola bank. Mengelola likuiditas saja untuk mengukur posisi likuiditas bank pada kondisi bank sedang berjalan, tetapi juga dipergunakan untuk memeriksa kebutuhan dana pada berbagai kondisi lain yang belum akan dihadapi.
10
Pengelolaan likuiditas dengan baik sangat diperlukan agar tidak terjadi resiko likuiditas. Resiko likuiditas terjadi ketika suatu bank tidak dapat memenuhi kewajiban dengan segera. Bank
for International
Settlements (2008) menjelaskan terdapat 2 jenis resiko likuiditas yaitu resiko likuiditas pendanaan dan resiko likuiditas pasar. Resiko likuiditas pendanaan terjadi akibat ketidakmampuan Bank dalam memenuhi kewajiban yang telah jatuh tempo dari sumber pendanaan arus kas atau dari
aset likuid lain yang dapat digunakan, dengan
tanpa mengganggu aktivitas dan kondisi keuangan Bank. Sedangkan resiko likuiditas pasar terjadi ketika bank tidak mampu melikuidasi aset tanpa diskon yang material karena tidak adanya pasar aktif atau adanya gangguan pasar. Sedangkan Menurut Bank Indonesia, bank yang tidak likuid dapat ditandai dengan berbagai macam hal seperti minimal GMW yang diterapkan oleh BI Tidak dapat dipenuhi. Hal ini berakibat BI akan mengenakan denda. Tanda lain, bank tidak dapat memenuhi komitmen yang telah disepakati dengan nasabah kredit, yaitu bank tidak dapat memberikan pinjaman. Selanjutnya bank terlalu banyak menyimpan uang tunai yang berarti akan mengurangi rentabilitas bank. Banyak cara yang harus dilakukan oleh perbankan dalam menjaga resiko likuiditasnya. Pada buku Studi Keuangan BLBI (2002) terdapat berbagai teori untuk mengelola likuiditas antara lain : 2.1.2.1
Commercial
Loan
Theory
yang
menitikberatkan
pada
kemampuan sisi aktiva bank dalam memenuhi kebutuhan likuiditasnya. Dengan demikian likuiditas bank akan terjamin
11
apabila aktiva produktif bank terdiri dari kredit jangka pendek yang dapat digunakan sebagai sumber pelunasan. 2.1.2.2 Doctrine of Asset Shiftability bertitik tolak dari asumsi bahwa bank akan dapat segera memenuhi kebutuhan likuiditasnya apabila bank memberikan kredit dalam bentuk pinjaman yang harus dibayar dengan pemberitahuan sebelumnya disertai jaminan surat-surat berharga. 2.1.2.3 Theory of Shiftability to the Market yang menyebutkan bahwa likuiditas akan terjamin apabila bank memiliki portofolio suratsurat berharga yang berkualitas tinggi dan dapat segera dicairkan. 2.1.2.4 The Anticipated Income Theory yang menyatakan bahwa sumber pemenuhan likuiditas bank dapat diperoleh dari kemampuan nasabah secara teratur menganggur atas pokok dan bunga kredit yang diperoleh dari Sistem Perbankan. Pada intinya pengelolaan likuiditas merupakan cara bank untuk memenuhi kebutuhannya dengan menyediakan aset yang likuid. Menurut Hadori et al (2002) untuk menjaga aset likuidnya, bank dapat memberikan kredit jangka pendek pada masyarakat. Namun kredit tersebut tidak sepenuhnya bisa dijadikan jaminan ketersediaan dana untuk mencukupi kebutuhan bank karena terdapat kemungkinan kredit tersebut macet, dan tidak kembali pada waktu yang seharusnya. Oleh karena itu bank harus mempunyai cadangan likuiditas benar-benar dapat menjaga aset likuidnya. Aset likuid tersebut adalah kas, giro di
12
Bank Indonesia dan bank lian, dan penempatan pada bank lain yang sewaktu-waktu dapat ditarik. Pemenuhan aset likuid harus diperhatikan oleh karena jika terlalu kecil akan beresiko tidak dapat memenuhi permintaan nasabah, dan jika terlalu besar akan mengurangi produktifitas asetnya yang akan berpengaruh pada profitabilitas bank itu sendiri. Penyediaan aset likuid oleh bank dimaksudkan untuk dapat memenuhi kebutuhan dalam beraktivitas seperti aktivitas operasi setiap harinya, pendanaan dan investasi. Aktivitas operasi bank antara lain pembiayaan kredit kepada nasabah, penarikan dari nasabah, pembiayaan liabilitas segera, utang pajak dan pembiayaan tagihan lainnya. Pembiayaan pada operasi bank merupakan pembiayaan yang rentan, karena pembiayaan ini banyak yang berhubungan pada kebutuhan nasabahnya yang waktu transaksinya tidak dapat diprediksi oleh pihak bank.
2.1.3 Kualitas Pemerintah Daerah (Local Government quality) Bicara kualitas berarti bicara tentang baik atau buruknya suatu hal. Pada penelitian ini membahas tentang kualitas Pemerintah daerah. Penggambaran Kualitas Pemerintah Daerah disini akan fokus pada bagaimana berjalannya demokrasi di suatu daerah. Huynh et al (2008) yang meneliti kualitas pemerintah menggunakan indikator voice and accountability, rule of law, government effectivesness, dan regulatory
quality.
Semua
komponen
pengukuran
ini
bisa
menggambarkan kinerja demokrasi di suatu negara atau daerah. Menurut Rauf et al (2013) demokrasi di Indonesia bisa dinilai melalui
13
tiga aspek yaitu Kebebasan Sipil, Hak-Hak Politik dan Lembaga Demokrasi. Menurut Isaiah Berlin dalam Rauf et al (2013) kebebasan dapat berbentuk positif dan negatif, Kebebasan positif biasanya berkaitan dengan kebebasan untuk mendapatkan pendidikan dan kesehatan. Sedangkan Kebebasan negatif merupakan kebebasan dari ancaman, gangguan, dan pembatasan. Indonesia sebagai negara yang masih dalam transisi demokrasi akan lebih rentan terhadap kebebasan negatif yaitu adanya intervensi yang berupa ancaman, pembatasan dan gangguan. Dalam konteks ini ancaman kebebasan sipil berasal dari pemegang otoritas daerah yaitu Pemerintah Daerah. Pada umumnya pemerintah sebagai pemegang kekuasaan kurang menyukai adanya kebebasan sipil tertutama pada kebebasan berpendapat dan berserikat karena akan mengganggu dominasi politik yang dimiliki (Rauf et al, 2013). Kebebasan merupakan elemen yang penting bagi demokrasi karena
tanpa
kebebasan
masyarakat
tidak
dapat
menuntut
akuntabilitas pemerintah (Rauf et al, 2013). Di negara demokrasi seperti Indonesia ini, seharusnya terdapat timbal balik antara pemerintah dengan masyarakatnya secara profesional. Masyarakat yang “diatur” harus diberi kebebasan untuk ikut mengawasi dan menilai kegiatan Pemerintah sebagai “Pengatur” dalam menjalankan tanggung jawabnya. Hal ini berkaitan dengan seberapa besar intervensi yang dilakukan oleh Pemerintah pada masyarakatnya. Semakin besar intervensi ancaman, gangguan dan pembatasan berarti
14
semakin kecil kebebasan untuk masyarakat. Dengan begitu Semakin besarnya
intervensi
terdapat indikasi menunjukan
oleh
pemerintah
terhadap
masyarakatnya,
adanya sesuatu yang salah dan ditutupi. Hal ini
bahwa
semakin
besar
ancaman,
gangguan
dan
pembatasan yang ditekankan pada masyarakat berarti kurang/tidak transparannya pemerintah. Membahas transparansi pemerintah tidak lepas dari masalah korupsi.
Adanya
korupsi
biasanya
ditandai
oleh
kurangnya
transparansi informasi pemerintah kepada masyarakat. Menurut ketua KIP Rahman pada jabarprov.go.id (2012) tingginya tingkat transparansi informasi suatu badan publik, termasuk pemerintah daerah, maka semakin rendah tindak korupsi pada daerah tersebut. Berarti juga sebaliknya, jika tingkat transparan pemerintah daerah rendah, maka semakin tinggi tingkat korupsi pada suatu daerah. Tanzi dan Davoodi (1997) menyatakan bahwa korupsi dapat mengurangi pandapatan yang dihasikan pemerintah melalui pajak, dan berkontribusi terhadap tidak berjalanya fungsi pemerintahan dengan baik dan secara umum menyebabkan
pertumbuhan
ekonomi
yang
rendah.
Korupsi
berdampak pada belanja masyarakat dan ketimpangan pendapatan. Semakin besar tingkat korupsi mengakibatkan semakin rendah belanja masyarakat. Hal ini mengakibatkan penurunan pendapatan pemerintah (Gupta et al.;1998). Selain itu, menurut Ketua KIP Rahman pada laman jabarprov.go.id (2012), tingkat transparansi pemerintah daerah berhubungan dengan tingkat kinerja birokrasi. Hal ini dapat menunjang tingkat investasi yang masuk pada suatu daerah. Sewajarnya, investor
15
lebih
senang
menginvestasikan
uangnya
pada
daerah
yang
birokrasinya baik dan transparan. Pada akhirnya tingkat kebebasan dalam berdemokrasi pada suatu daerah berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi daerah tersebut. Seperti
pada penelitian Huynh et al (2008) voice and
accountability memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi. Ekonomi yang tumbuh ditandai dengan Pendapatan yang meningkat pada suatu daerah. Hal ini akan berpengaruh pada bertambahnya kapasitas dana pemerintah daerah dalam berinvestasi dan pernyetaan modal
kepada perusahaan daerah yang dimiliki seperti Bank
Pembangunan Daerah. Penyertaan modal yang besar dari Pemerintah Daerah tentu akan mempengaruhi tingkat kesahatan bank yaitu likuiditas bank. Selanjutnya berkaitan dengan hak-hak politik masyarakat. Hubungan indokator demokrasi hak-hak politik dengan likuiditas Bank Pembangunan Daerah secara prinsipnya sama, karena “hak” dan “kebebasan” merupakan konteks yang sama. Seperti pada pengukuran yang digunakan Huynh et al (2008) untuk mengukur kualitas pemerintah yaitu voice and accountability yang menggambarkan seberapa besar tingkat partisipasi dalam pemilu, kebabasan pendapat, kebebasan berserikat,dan kebabasan dalam menentukan kebijakan publik. Pada Voice and accountability ini sudah menggambarkan mewakili kebabasan dan hak politik masyarakat, karena keduanya digunakan untuk menyuarakan aspirasi dan pendapatnya untuk mengawal pemerintah dalam melaksanakan janji politiknya kepada
16
masyarakat. Jika hal ini kedua hal ini berjalan dengan baik maka tingkat demokrasi pada suatu daerah tinggi, sehingga menunjukan kinerja pemerintah daerah yang baik.
2.2 Penelitian Terdahulu Konsep Penelitian ini adalah menggabungkan dua literatur yang berbeda yaitu literatur penelitian dari Chen et al (2014) yang meneliti pengaruh kualitas pemerintah terhadap keputusan perusahaan untuk menyediakan kas (studi kasus pada perusahaan di China) dan literatur peneltian dari Vodova (2011) yang menguji tentang faktor-faktor yang mempengaruhi likuiditas bank (Studi kasus pada bank di Ceko). Penelitian Chen et al (2014) yang berjudul “The effect of government quality on corporate cash holding” yaitu meneliti bagaimana suatu kondisi atau keadaan pemerintah di suatu negara dapat mempengaruhi kebijakan perusahaan dalam menyediakan kas untuk aktivitasnya. Hasil penelitian ini menyebutkan bahwa perusahaan akan cenderung menyediakan sedirkit kas jika kondisi pemerintahanya baik. Pemerintah yang mempunyai kualitas tinggi berpengaruh pada menurunkan sensitivitas kas pada aliran kas, secara siginifikan berpengaruh terhadap penyediaan kas yang rendah pada perusahaan privat dan pemerintah yang baik cenderung akan meningkatkan akses ke bank untuk perusahaan dalam mendapatkan kredit untuk pendanaan/ modal kerjanya. Vodova (2011) dalam penelitian berjudul “Determinants of Commercial Banks' Liquidity in the Czech Republic” menguji apa saja faktor penentu likuiditas Bank konvensional di Republik Ceko. Dalam menentukan faktor
17
yang dapat mempengaruhi likuiditas Vodova (2011) menggunakan 12 faktor penentu likuiditas bank, yang terdiri dari empat faktor dari spesifikasi bank dan 8 faktor dari ekonomi makro. Vodova (2011) menggunakan empat faktor spesifikasi bank yaitu capital adequacy, share of non performing, share of net profit on bank equity, and total assets. Sedangkan dalam faktor ekonomi makro Vodova (2011) menggunakan variabel financial crisis, GDP growth, inflation rate, interest rate on interbank transaction, interest rate on loans, difference between interest rate on loans and interest rate on deposits, monetary policy interest rate and unemployment rate. Sedangkan untuk menghitung rasio likuiditasnya Vodova menggunakan empat perhitungan. Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa likuiditas bank meningkat seiring dengan meningkatnya modal, meningkatnya tingkat bunga pada pinjaman,
meningkatnya
jumlah
pinjaman
yang
bermasalah,
dan
meningkatnya suku bunga dalam transaksi antar bank. Sebaliknya, faktor krisis keuangan, meningkatnya inflasi, dan pertumbuhan GDP menunjukan pengaruh yang negatif terhadap likuiditas masih ambigu yaitu hubungan
bank. Terdapat temuan yang
antara ukuran bank dan likuiditas bank.
Faktor unemployment, margin interest, bank profitability dan monetary policy interest rate menujukan hasil yang tidak signifikan pada pengaruhnya terhadap likuiditas bank. Begitu juga dengan Akhtar et al (2011) pada penelitiannya Liquidity Risk Management : A comparative study between Conventional and Islamic Bank of Pakistan yang mengakaji faktor-faktor yang mempengaruhi likuiditas bank. Akhtar et al (2011) menggunakan lima faktor penentu likuiditas bank yaitu Size of the bank, ROA, ROE, Networking Capital, dan CAR. Hasil
18
penelitian ini menyatakan bahwa size of bank dan networking capital berpengaruh positif namun tidak signifikan. CAR pada bank konvensional dan ROA pada bank syariah mempunyai pengaruh yang signifinakan dan positif. Namun sebaliknnya ROA bank konvensional dan CAR bank syariah berpengaruh positif tapi tidak signifikan. Bank konvesional di Pakistan lebih cenderung beroperasi pada proyek-proyek dengan pendanaan jangka panjang. Selain itu manajemen pada bank konvensional lebih efektif dalam mengelola aset-asetnya sehingga berpengaruh pada tingginya profitabilitas dibandingkan bank syariah.
2.3 Perbedaan dengan Penelitian Terdahulu Seperti yang telah dijelaskan diatas, peneliti akan menggabungkan dua konsep literatur dari chen et al (2014) dan Vodova (2011). Jadi peneliti ingin menguji apakah likuiditas bank dapat dipengaruhi oleh kualitas pemerintah. Objek penelitian Chen et al (2014) menggunakan perusahaan, namun penelitian ini menggunakan bank untuk objeknya. Hal ini sebagai bentuk penyesuaian dengan proksi kualitas pemerintah yaitu indeks demokrasi Indonesia, yang menitikberatkan pada kualitas Pemerintah daerah. Seperti yang kita tahu perseberan perusahaan di Indonesia tidak begitu merata. Banyak perusahaan yang berpusat pada satu kota atau daerah seperti di Surabaya dan jabodetabek. Oleh karena itu peneliti memilih bank yang persebarannya merata, hampir disetiap daerah terdapat bank. Untuk lebih spesifiknya peneliti memilih Bank Pembangunan Daerah sebagai objeknya.
19
Bank
Pembangunan Daerah merupakan perusahaan milik daerah.
Sebagian besar saham kepemilikan dipegang oleh pemerintah daerah. Dengan melihat fakta tersebut peneliti meyakini terdapat hubungan antara Bank Pembangunan Daerah dengan Pemerintah Daerah. Terlebih pada masalah permodalan. Penelitian ini akan menguji dua model, pertama, peneliti akan menguji apakah kualitas pemerintah berpengaruh pada likuiditas. Kedua, peneliti menambahkan variabel dummy pemilu sebagai variabel moderator. Dengan variabel moderator dummy pemilu, peneliti ingin mengetahui apakah ketika penyelenggaraan pemilu terdapat perubahan perilaku pemerintah daerah terhadap BPD yang dapat mempengaruhi likuiditasnya.
2.4 Kerangka Penelitian 2.4.1 Pengaruh Kualitas Pemerintah Daerah terhadap Likuiditas Bank Pembangunan Daerah Kualitas pemerintah dapat dilihat dari tingkat demokrasinya. Di Indonesia demokrasi dapat dilihat dari aspek kebebasan sipil, hak-hak politik dan peran lembaga demokrasi (Rauf et al, 2013). Pelaksanaan demokrasi yang baik seharusnya terdapat timbal balik antara pemerintah dengan masyarakat. Pemerintah sebagai pelaksana kebijakan dan yang mengetahui semua informasi tentang tata kelola di suatu daerah seharusnya transparan dalam memberikan informasi kepada
masyarakat.
Dan
pemerintah
daerah
penguasa
tidak
seharusnya melakukan intervensi berupa ancaman, gangguan dan pembatasan kepada masyarakat yang berkaitan dengan kebebasan
20
dan hak-hak politik. Jika kebebasan dan hak-hak masyarakat di intervensi oleh pemerintah, maka masyarakat tidak dapat menuntut akuntabilitas pemerintah (Rauf et al,2013). Tingkat
intervensi
yang
tinggi
oleh
pemerintah
kepada
masyarakat biasanya diikuti dengan tingkat transparansi yang rendah, berkaitan dengan transparansi informasi. Sedangkan transparansi dekat dengan rindakan korupsi. Menurut ketua KIP Rahman pada jabarprov.go.id (2012) tingginya tingkat transparansi informasi suatu badan publik, termasuk pemerintah daerah, maka semakin rendah tindak korupsi pada daerah tersebut. Vito dan Davoodi (1997) menyatakan bahwa korupsi dapat mengurangi pandapatan yang dihasikan pemerintah melalui pajak, dan berkontribusi terhadap tidak berjalanya fungsi pemerintahan dengan baik dan secara umum menyebabkan pertumbuhan ekonomi yang rendah. Jika pendapatan meningkat, pemerintah mempunyai kapasitas yang lebih untuk berinvestasi dan penyertaan modal kepada perusahaan daerah seperti Bank Pembangunan Daerah. Dengan penyertaan modal yang tinggi pada Bank Pembangunan Daerah akan berpengaruh terhadap likuiditas bank daerah. H1 : Kualitas Pemerintah Daerah berpengaruh positif terhadap likuiditas Bank Pembangunan Daerah.
2.4.2 Pengaruh pemilu pada hubungan Pemerintah Daerah dan Likuiditas Bank
21
Pada tahun 2014, Indonesia menyelenggarakan pemilu. Menurut laporan Indeks demokrasi Indonesia tahun 2014, karena adanya pemilu sebagian besar daerah nilai indeks demokrasinya meningkat. Hal ini berarti meningkatnya kualitas pemerintah daerah pada tahun tersebut. Dengan keadaan tersebut peneliti mengindikasikan bahwa terdapat hubungan antara pemilu dengan kualitas pemerintah daerah. Artikel pada www.rumahpemilu.org (2014) menyatakan bahwa pemerintah daerah sebagai penyelenggara pemilu di daerah, perlu menyiapkan dana dengan jumlah yang besar untuk membiayai semua kegiatan pemilu di daerahnya. Tidak ada alasan kepala daerah untuk mengelak dalam membiayai kegiatan pemilu ini. Pemerintah daerah harus memikirkan segela cara untuk terpenuhinya anggaran untuk penyelenggaraan pemilu tersebut. Pemerintah daerah harus menyisihkan dana daerahnya yang cukup besar untuk penyelenggaraan pemilu. Masalahnya banyak pemerintah kota/kabupaten yang kekurangan dana untuk pemilu (www.rumahpemilu.org;2014). Berdasarkan fenomena tersebut, peneliti melihat indikasi bahwa pemerintah akan memanfaatkan BPD di daerahnya sebagai sumber dananya untuk memenuhi kebutuhan dana pemilu. Dengan kebutuhan dana yang besar, bakal ada penarikan dana yang besar dari Pemda, atau bahkan sebelumnya Pemda sudah mengantisipasi kepada BPD untuk menyediakan dana yang lebih untuk penyelenggaraan pemilu. Berdasarkan uraian tersebut, maka hipotesis yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut:
22
H2 :
Adanya pemilu berpengaruh pada perilaku pemerintah daerah terhadap likuiditas Bank Pembangunan Daerah.
VARIABEL KONTROL CAP (Kecukupan Modal) NPL (Non Performing Loan) ROA ROE
VARIABEL INDEPENDEN
VARIABEL DEPENDEN
Kualitas Pemerintah Daerah (Indeks Demokrasi Indonesia)
LIKUIDITAS BANK
Dpml (Dummy Pemilu)
Gambar 2.1 Kerangka Penelitian