BAB II
TINJAUAN PUSTAKA Kuda Kuda adalah mamalia ungulata (hewan yang berdiri pada kuku) yang berukuran paling besar di kelasnya. Kuda dari spesies Equus caballus yang dahulu merupakan bangsa dari jenis kuda liar, kini kuda sudah menjadi hewan yang didomestikasi dan secara ekonomi memegang peranan penting bagi kehidupan manusia terutama dalam pengangkutan barang dan orang selama ribuan tahun. Kuda juga dapat ditunggangi manusia dengan menggunakan sadel dan dapat pula digunakan untuk menarik sesuatu, seperti kendaraan beroda atau bajak, dan di beberapa daerah kuda digunakan sebagai sumber pangan (Ronald et al.,1996). Klasifikasi Kuda (Equus caballus atau Equus ferus caballus) memiliki klasifikasi ilmiah yaitu kerajaan Animalia (hewan), filum Chordata (bertulang belakang), kelas Mammalia (menyusui), ordo Perissodactylater (tidak memamah biak), famili Equidae, genus Equus dan spesies Equus caballus (Mills dan Nankervis, 1999). Kuda dimanfaatkan sebagai kuda perang, kuda pacu, kuda rekreasi dan sebagai symbol status sosial kebudayaan tertentu. Kuda dibedakan menjadi kuda berdarah panas (hot blood) dan kuda berdarah dingin (cold blood). Kuda hoot blood diidentifikasikan sebagai kuda tipe ringan yang memiliki sifat agresif seperti kuda arab dan kuda cold blood diidentifikasikan sebagai kuda tipe berat yang sering digunakan untuk menarik beban (Edwards, 1994).
Universitas Sumatera Utara
Kuda Indonesia Kuda yang terdapat di wilayah Asia Tenggara termasuk ke dalam ras timur karena memiliki bentuk tengkorak yang kecil. Hal tersebut berbeda dengan kuda ras eropa yang memiliki tengkorak kepala yang besar. Melihat bentuk wajahnya, kuda ras timur diduga merupakan keturunan kuda mongol(Soehardjono, 1990). Keadaan fisik kuda yang terdapat di Indonesia beraneka ragam karena dipengaruhi oleh keadaan geografis wilayahnya. Kuda-kuda di Indonesia memiliki ukuran tubuh yang tidaklah terlalu besar yaitu bertinggi badan 1,13 m hingga 1,33 m, hal ini disebabkan karena Indonesia berada di daerah beriklim tropis (Soehardjono, 1990). Dari
ukuran
tersebut
maka
kuda
Indonesia
termasuk
kedalam
jenis
kuda
poni.Soehardjono (1990) menyatakan jenis kuda lokal di Indonesia terdiri atas kuda Makassar, kuda Gorontalo dan Minahasa, kuda Sumba, kuda Sumbawa, kuda Bima, kuda Flores, kuda Savoe, kuda Roti, kuda Timor, kuda Sumatera, kuda Bali, dan kuda Lombok serta kuda Kuningan. Kegunaan kuda lokal Indonesia sebagian besar adalah sebagai sarana transportasi dan pengangkut barang, sarana hiburan, dan juga sebagai bahan pangan masyarakat lokal. McGregor dan Morris (1980), menyatakan kuda poni di Indonesia merupakan salah satu sarana yang dapat digunakan untuk transportasi dan pengembangan peternakan. Tabel 1 menyajikan berbagai karakteristik kuda lokal Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 1. Karakteristik kuda lokal indonesia Kuda Sumba
Tinggi Badan (m) 1,27
Kuda Timor
1,22
Kuda Sandel
1,35
Kuda Batak
1,32
Kuda Jawa
1,27
Kuda Padang
1,27
Kuda Makasar
1,25
Kuda Flores Kuda Bima
1,24 -
Jenis Kuda
Karakteristik - Bentuk kepala terlihat lebih besar dibandingkan ukuran badannya dengan leher yang pendek - Sifatnya jinak dan cerdas - Konformasi badan kurang sempurna - Bagian punggung kuat - Bentuk badan kurus dan leher pendek - Bagian punggung lurus dengan bahu dan ekor tinggi - Bagian tengkuk dan ekor penuh dengan bulu - Ukuran tubuh kecil - Bentuk kepala kecil dan bagus, mata yang besar - Bulu yang lembut dan berkilauan - Mempunyai kecepatan yang baik dan sangat aktif - -Kuku kaki yang keras dan kuat - Bentuk kepala bagus dengan bagian muka yang lurus, leher, pendek, dan lemah - Memiliki bagian punggung yang panjang dan sempit dengan kaki bagian belakang ramping - Bagian rump tinggi - Ekor dan tengkuk mempunyai rambut yang bagus - Posisi ekor cukup tinggi sehingga sangat baik dalam pergerakan - Memiliki stamina yang baik dan tahan terhadap panas - Ukuran tubuh lebih besar dibandingkan kuda poni lainnya - Sifatnya jinak - Kaki dan persendiannya tidak berkembang dengan baik sehingga mempengaruhi kekuatannya - Kuku kaki keras dan bentuknya bagus - Bagian tumit lemah - Mempunyai konformasi yang baik tetapi pertulangannya kecil - Daya tahan tubuh kuat - Kaki tegap dan kuat - Bertemperamen stabil - Bentuk badan kecil dan sifatnya jinak - Bentuk badan kecil - Memiliki pinggang yang pendek - Daya tahan tubuh baik dan memiliki langkah yang cepat
Sumber : Edwards, 1994; Soehardjono, 1990
Kuda Batak Populasi Kuda Batak banyak di daerah Dolok Sanggul, Kabupaten Humbang Hasundutan, sekitar 14 km dari Lembah Bakara. Penduduk Dolok Sanggul (Par Dolok
Universitas Sumatera Utara
Sanggul) sejak ratusan tahun lalu hingga saat ini masih memelihara tradisi membudidayakan Kuda Batak. Daging kuda merupakan makanan konsumsi sehari-hari dan sebagai menu khas istimewa di kedai-kedai makan Dolok Sanggul (Sitanggang, 2013) Kuda Batak merupakan kuda terbaik dari jenis kuda Sumatera yang banyak diternakan di daerah Toba dan Karo. Kuda ini banyak digemari sebagai kuda penarik (Bongianni, 1995). Bentuknya menyerupai kuda Mongol. Tubuhnya kecil, perimbangan tubuhnya baik, memiliki hidung yang besar dan relatif panjang, kepala sukar ditundukkan secara sempurna karena tengkuknya yang pendek, ekor duduknya tinggi, warna bermacam-macam, dan tipe kuda beban
(Sostroamidjojo dan Soeradji, 1990).
Penentuan Umur Kuda Penentuan umur dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu berdasarkan catatan kelahiran dan berdasarkan pergantian gigi seri susu menjadi gigi permanen.Anak kuda dengan umur 6 sampai 10 bulan mempunyai gigi sebanyak 24 buah yang disebut dengan gigi susu, dimana gigi tersebut terdiri dari 12 gigi seri dan 12 gigi geraham. Gigi seri meliputi tiga pasang pada bagian rahang atas dan tiga pasang pada bagian rahang bawah (Bogart dan Taylor, 1983). Mengunyah dapat membuat gigi seri menjadi usang (aus dan menipis). Proses pengusangan gigi seri dimulai pada gigi seri bagian pusat (dari pertengahan) dan berlanjut secara menyamping. Anak kuda dengan umur satu tahun, bagian pusat gigi seri sudah mulai usang; umur 1,5 sampai 2 tahun gigi seri mulai pada bagian pertengahan hingga bagian luar dan mengarah kesamping sudah mulai usang. Proses penanggalan gigi seri dimulai pada umur 2,5 tahun. Gigi seri bagian pusat tanggal terlebih dahulu dan akan menjadi gigi parmanen. Kuda yang berumur empat tahun ditandai dengan tanggalnya gigi
Universitas Sumatera Utara
bagian pertengahan dan pada umur lima tahun, bagian luar, atau samping, gigi seri sudah mulai tanggal dan digantikan dengan gigi permanen. Kuda yang berumur lima tahun ini dikatakan telah bermulut “penuh” karena semua gigi telah permanen. Umur 6 sampai 8 tahun gigi parmanen sudah usang yang mulai dari bagian pusat hingga bagian pertengahan mengarah kesamping (Bogart dan Taylor, 1983). Daging Struktur dan Komposisi Daging Kuda Daging tersusun dari jaringan ikat, epitelial, jaringan-jaringan saraf, pembuluh darah dan lemak. Jumlah jaringan ikat berbeda diantara otot, jaringan ikat berhubungan dengan kealotan daging. Otot skeletal merupakan sumber utama jaringan otot daging dengan komposisi terbanyak dalam karkas, yaitu 35–65% dari berat karkasatau 35–40% dari berat hewan hidup (Lukman et al., 2007). Otot skeletal mengandung sekitar 75 % air dengan kisaran 68-80%, protein sekitar 19%, substansi-substansi non protein yang larut 3.5 % serta lemak sekitar 2.5 % (Forrest et al. 1975 dan Lawrie 1979 dalam Soeparno 2005). Sedangkan menurut Winarno (1993) dan Burhan (2003) komponen terbesar dari daging adalah air (65-80%) kemudian protein yang merupakan komponen terbesar dari berat kering (16-22%), lemak (1.3-13%), karbohidrat (0.5-1.3%) dan mineral (1%).Ashbrook (1955) menambahkan Untuk hewanhewan muda kadar airnya lebih besar dari hewan-hewan tua. Protein daging terdiri dari protein sederhana dan protein terkonjugasi dengan radikal non-lemak. Berdasarkan asalnya, protein daging dapat dibedakan dalam tiga kelompok, yaitu protein sarkoplasma, protein miofibril, dan protein jaringan ikat. Protein sarkoplasma dikenal sebagai protein yang larut air, karena dapat terekstrak oleh air atau larutan garam encer.
Universitas Sumatera Utara
Protein miofibril bersifat larut dalam garam, sedangkan protein jaringan ikat merupakan protein yang tidak dapat larut dalam air. Dalam 100 gram daging segar terdapat 6.0% sarkoplasma, 9.5% miofibril, dan 1.6% jaringan ikat (Buckle et al., 1985). Komposisi lemak pada daging umumnya berbentuk trigliserida, sedikit fosfolipid, asam lemak bebas, dan sterol. Lemak dalam daging tidak mempunyai rasa, tetapi kandungan lemak ini dapat mempengaruhi cita rasa daging (Adnan, 1977). Karbohidrat pada daging umumnya dalam bentuk glikogen otot, yaitu sebesar 0.8% dari berat daging. Selain itu, ada sebagian kecil glukosa sebanyak 0.1% dan karbohidrat dalam bentuk intermedier dari metabolisme sebanyak 0.1% dari berat daging. Karbohidrat dalam bentuk intermedier tersebut antara lain asam nitrat, asam laktat, formiat, dan gula-gula fosfat (Aberle et al., 2001). Menurut Cassens (1987) di dalam daging juga terdapat mineral-mineral seperti kalsium, magnesium, kalium, natrium, fosfor, klor, besi, belerang, tembaga, dan mangan. Vitamin yang terdapat pada daging terutama golongan vitamin B (B1, B12, B6, dan B2), vitamin C, A, D, E, dan K. Selain itu, daging juga mengandung pigmen pemberi warna merah (mioglobin). Daging merupakan sumber vitamin B yang baik disamping mengandung vitamin A dan vitamin C dalam jumlah kecil. Daging sapi mengandung 3.79 mg vitamin B tiap 100 mg daging, 2 UI vitamin A tiap 1 gram lemak daging, sedangkan sebagian besar kandungan vitamin C akan hilang dalam proses penanganan daging segar. Sebanyak 100 gram daging dapat memenuhi kebutuhan gizi orang dewasa setiap harinya, yang mengandung sekitar 10% kalori, 50% protein, 35% zat besi (Fe), dan 25-60% vitamin B kompleks (Lukman et al., 2007). Perubahan Fisiologi Pasca Mortem Setelah ternak mati sirkulasi daerah berhenti. Hal ini mengakibatkan suplai
Universitas Sumatera Utara
oksigen berhenti. Reaksi oksidasi dan reduksi berhenti pula, akibatnya terjadinya glikolisis anaerobik dan berhentinya proses respirasi. Berhentinya proses respirasi mengakibatkan perubahan ATP dalam otot menurun (fase pre-rigor) dan habis sama sekali pada fase kejang bangkai (rigor mortis). Setelah itu mulai terjadi akumulasi pekursor cita rasa dan metabolik yang menimbulkan aroma khas daging yang disebut fase pasca-rigor (Lawrie, 1995). Menurut Muchtadi dan Sugiono (1992) daging pada fase pre-rigor mempunyai keempukan yang baik namun cita rasa belum terbentuk. Pada tahap ini daging hewan masih lunak karena daya mengikat air dari jaringan otot masih tinggi. Lamanya fase prerigor berkisar antara 5-8 jam, tergantung pada jenis hewan (Buckle et al., 1987). Menurut Buckle et al. (1987), rigor mortis adalah keadaan karkas yang kaku setelah 24-48 jam penyembelihan. Kekejangan atau hilangnya kelenturan ini merupakan akibat dari serentetan kejadian biokimia kompleks yang menyangkut hilangnya creatin phospat (CP) dan adenosine triphospat (ATP) daro otot, tidak berfungsinya sistem enzim cytochrome dan reaksi-reaksi kompleks lainnya. Salah satu hasil akhir proses biokimiawi ini adalah terbentuknya aktomiosin. Proses ini bersifat dapat balik (reversible) pada otot yang masih hidup akan tetapi bersifat tidak balik (irreversible) pada otot yang sedang atau sudah mati (Lawrie, 1995).
NilaipH Daging Perubahan pH setelah ternak mati pada dasarnya ditentukan oleh kandungan asam laktat yang tertimbun didalam otot yang selanjutnya ditentukkan oleh kaandungan glikogen dan penanganan sebelum penyembelihan(Buckle et al., 1987). Lukman et al. (2007) menyatakan bahwa perubahan nilai pH sangat penting untuk diperhatikan dalam perubahan daging postmortem. Nilai pH dapat menunjukkan penyimpangan kualitas
Universitas Sumatera Utara
daging, karena berkaitan dengan warna, keempukan, cita rasa, daya mengikat air dan masa. Nilai pH daging pada saat masih hidup sekitar 6,8-7,2 (Forrest et al., 1975) sedangkan menurut Buckle et al.(1987) berkisar antara 7,2-7,4. Nilai pH pasca mati akan ditentukan oleh jumlah asam laktat yang dihasilkan dari glikogen selama proses glikolisis anaerob yaitu sekitar 5,1-6,2 dan hal ini disebabkan hewan lelah, kelaparan atau takut pada hewan sebelum dipotong, hampir semua bakteri tumbuh secara optimal pada pH sekitar 7 dan tidak akan tumbuh di bawah pH 4 atau di atas pH 9. Nilai pH tidak langsung turun begitu saja tetapi menurun secara bertahap yaitu pada satu jam pertama setelah ternak dipotong dan semakin menurun lagi setelah tercapainya rigormortis (Forrest et al.,1975). Jaringan otot hewan pada saat hidupmempunyai nilai pH sekitar 5,1 sampai 7,2 danmenurun setelah pemotongan karenamengalami glikolisis dan dihasilkan asamlaktat yang akan mempengaruhi pH. pHultimat daging tercapai setelah glikolisis ototmenjadi habis atau setelah enzim-enzimglikolitik menjadi tidak aktif pada pH rendahatau glikogen tidak lagi sensitif terhadapserangan-serangan enzim glikolitik. pH ultimatnormal daging postmortem adalah sekitar 5,5yang sesuai dengan titik isoelektrik sebagianbesar protein daging termasuk protein miofibril(Lawrie, 1995).Forest et al. (1975), menambahkan bahwa pH ultimat daging normal adalah 5,4-5,8. Penurunan pH normal perlahan-lahan dari pH 7 (hewan hidup) menjadi 5,6-5,7 dalam waktu 6-8 jam setelah mati, kemudian pH akhir sekitar 5,3-5,7 dicapai kira-kira 24 jam post mortem. Pengukuran pH produk selama penyimpanan dilakukan untuk mengetahui tingkat keasamannya dan untuk mengetahui adanya kemungkinan pertumbuhan mikroba. Nilai pH merupakan faktor yang berpengaruh terhadap sifat fisik lainnya seperti warna, daya
Universitas Sumatera Utara
mengikat air, keempukan dan susut masak. Nilai pH dari jaringan otot merupakan suatu faktor
penentu
yang
penting
menyangkut
keempukan
dari
produk
daging segar (Silva et al., 1999).
Daya Mengikat Air Daya mengikat air adalah istilah yang diberikan untuk mencirikan karakteristik daging untuk menahan air selama pengolahan. Daya mengikat air ini penting karena jumlahnya mempengaruhi hasil evaporasi, kehilangan akibat drip, kehilangan karena pemasakan atau penambahan air selama pengolahan. Kehilangan air karena pemasakan akan menyebabkan penurunan bobot, juga dapat menyebabkan perubahan keempukan daging (Burson, 1988). Daya Mengikat Air (DMA) adalahkemampuan daging untuk mengikat airnya atauair yang ditambahkan selama ada pengaruhkekuatan dari luar, misalnya pemotongandaging, pemanasan, penggilingan, dan tekanan(Soeparno, 2005). Lawrie (2003) menyatakan bahwa daya mengikat air daging sangatdipengaruhi oleh pH, semakin tinggi pH akhir semakin tinggi daya mengikat air ataunilai mgH2O rendah. Tingkat penurunan pH postmortem berpengaruh terhadap dayamengikat air. Penurunan pH yang semakin cepat, terjadi karena semakin banyaknyaprotein sarkoplasmik yang terdenaturasi dan selanjutnya akan meningkatkanaktomiosin untuk berkontraksi, sehingga akan memeras cairan keluar dari proteindaging. Daya mengikat air pada daging selain dipengaruhi oleh pH, juga dipengaruhioleh faktor yang mengakibatkan perbedaan daya mengikat air diantara otot, misalnyaspesies, umur dan fungsi otot serta pakan, transportasi, temperatur kelembaban,penyimpanan, jenis kelamin, kesehatan, perlakuan sebelum pemotongan dan lemakintramuskuler (Soeparno, 2005). Susut Masak Daging
Universitas Sumatera Utara
Menurut Soeparno (1998), faktor-faktor yang mempengaruhi susut masak ada bermacam-macam, seperti susut masak bisa meningkat dengan panjang serabut otot yang lebih pendek, pemasakan yang relatif lama akan menurunkan pengaruh panjang serabut otot terhadap susut masak. Susut masak menurun secara linier dengan bertambahnya umur ternak. Perbedaan bangsa ternak juga dapat menyebabkan perbedaan susut masak. Pada umur yang sama, jenis kelamin mempunyai pengaruh yang kecil terhadap susut masak. Berat potong mempengaruhi susut masak terutama bila terdapat perbedaan deposisi lemak intramuskular. Konsumsi pakan dapat juga mempengaruhi besarnya susut masak. Besarnya susut masak dipengaruhi oleh banyaknya kerusakanmembran seluler, banyaknya air yang keluar dari daging, umur simpan daging,degradasi protein dan kemampuan daging untuk mengikat air (Shanks et al., 2002). susut masak dapat dipengaruhi olehpH, panjang sarkomer serabut otot, panjang potongan serabut otot, status kontraksimiofibril, ukuran dan berat sampel daging serta penampang lintang daging (Soeparno, 2005). Lawrie (2003) menyatakan bahwa jumlah cairan yang diperoleh dalam pemanasanakan meningkat lebih lanjut pada suhu antara 107oC dan 155oC. Hal ini mungkinmenggambarkan beberapa kerusakan protein, dengan kerusakan asam-asam aminoyang akan terjadi dalam kisaran suhu tersebut. Keempukan Daging Keempukan merupakan faktor yangmempengaruhi mutu produk terutama hubungannya
dengan
selera
konsumen
danmempengaruhi
penerimaan
secara
umum.Keempukan daging dapat diketahui denganmengukur daya putusnya, semakin rendah nilaidaya putusnya, semakin empuk daging tersebut(Maruddin, 2004).
Universitas Sumatera Utara
Menurut Forrest et al. (1975), komponen utama yang mempengaruhi keempukan adalah kelompok jaringan ikat, kelompok serat daging dan kelompok lemak yang berhubungan dengan otot. Keempukan daging akan menurun seiring denganmeningkatnya umur hewan, jaringan ikat pada otot hewan muda banyak mengandungretikuli dan memiliki ikatan silang yang lebih rendah jika dibandingkan denganhewan tua (Epley, 2008).Considine danConsidinie (1993), menyatakan bahwa selama pemeraman,perubahan terbesar terjadi pada proteinmiofibril. Pada saat rigor mortis sempurna,keempukan daging terjadi paling minimum,kemudian meningkat selama proses pelayuan.Adanya degradasi protein miofibril dapatmeningkatkan keempukan daging.Pengempukan secara alami ini terjadi karenaefek pencernaan sendiri dengan enzim autolisisseperti kathepsin, lipase dan nuclease yangdihasilkan oleh jaringan. Enzim ini mampumelonggarkan struktur jaringan otot menyebabkan meningkatnya daya mengikat airdan keempukan. Pengujian keempukan secara obyektif dapat dilakukan secara mekanik termasuk pengujian kompresi (indikasi kealotan jaringan ikat), daya iris Warner Bratzler (indikasi kealotan miofibril), adhesi (indeks kekuatan jaringan ikat) dan susut masak (sensitif terhadap perubahan jus daging) (Soeparno, 1992). Kisaran ukuran keempukan daging menurut Pearson (1963) terbagi atas empuk dengan skala 0-3, cukup/sedang dengan skala > 3-6 dan alot dengan skala > 6-11. Jika hasil pengukuran daya iris menunjukan angka lebih dari 11 maka daging tersebut sulit dimakan manusia. Derajat ikatan silang intra dan intermuskelur antara rantai-rantai polipeptida dalam kolagen meningkat dengan meningkatnya umur hewan. Hasil pengamatan Bailey dan Light (1989) telah memberi penjelasan perubahan yang ada hubungannya dengan umur dalam kolagen tendon, urat daging dan jaringan lain. Pada hewan-hewan muda
Universitas Sumatera Utara
hampir semua ikatan silang (dapat direduksi, labil terhadap panas dan asam) meningkat sampai umur dua tahun, kemudian secara perlahan diganti oleh ikatan-ikatan yang stabil terhadap panas. Mereka juga menambahkan bahwa perbedaan urat daging bukan hanya dalamm total kadar tenunan pengikat, tetapi juga dalam tipe molekul kolagen yang ada. Menurut Bendell (1967) dikutip oleh Lawrie (1995), serat-serat elastis walau berasosiasi dengan dinding pembuluh darah dan umumnya hanya sedikit yang mengandung tenunan pengikat urat daging, tetapi berhubung serat tersebut mengkerut dan menjadi liat bila dipanaskan, maka kontribusinya terhadap tekstur daging patut mendapat perhatian. Hampir semua serat elastis terdiri dari elastin (kelihatannya seperti suatu protein yang amorf) ; yang lainnya adalah protein multifibler yang mengandung banyak asam amino tidak larut dengan meningkatnya umur hewan. Menurut Lawrie (1995) diameter miofibril menurun bila dipanaskan dalam media air pada suhu sampai 90°C dan berkas-berkas kecil miofibril memendek mencapai 30% dari panjangnya semula pada suhu 90°C. Menurut Hinner dan Hankins (1950) dikutip oleh Farida (1992), terdapat perbedaan keempukan menurut letak daging pada bagian tubuh seekor ternak, berturutturut yang paling liat adalah leher dan kaki depan, kaki belakang dan pinggul, kemudian rusuk dan pinggang bagian depan dan yang paling empuk adalah pinggang bagian belakang. Fiems et al. (2000) menambahkan bahwa nilai keempukan daging sangat dipengaruhi oleh faktor penanganan ternak sebelum pemotongan, pakan ternak, pH dan perlemakan.
Universitas Sumatera Utara
Penampakan atau lebih spesifik tekstur dilihat dengan mata adalah suatu fungsi ukuran atau dari berkas-berkas serat dimana perimisium dari tenunan pengikat membagibagi daging secara longitudinal (Anton, 2001).
Papain Lokasi Enzim Papain dalam Buah Pepaya Kata enzim berasal dari bahasa Yunani yang arti harfiahnya di dalam sel, selain itu kata enzimjuga dikenal dengan istilah fermen yang berarti ragi atau cairan ragi. Istilah ini dalam literatur Jermandan Prancis masih digunakan sebagai sinonim istilah enzim. Enzim merupakan katalisator dari sistembiologis yang dapat menyebabkan perubahan dan reaksi tertentu. Hampir semua enzim yang telahdiketahui adalah protein sehingga enzim merupakan biokatalisator yang dibentuk dari molekul proteinterutama yang berbentuk globulan. Enzim yang berperan penting dalam hidrolisis protein ada 2 yaitu protease yang dapatmemecah ikatan protein menjadi peptide, dan peptidase yang dapat memecah ikatanpeptida menjadiasam amino. Dengan kombinasi protease dan peptidase dapat memecah 90% ikatan peptide.MenurutFennema (1985), enzim papain adalah enzim proteolitik yang terdapat pada getah tanaman papaya (cacica papaya L). secara umum yang dimaksud papain adalah papain yang dimurnikan maupunpapain yang masih kasar. Semua bagian papaya seperti buah, daun, tangkai daun, dan batangmengandung enzim papain dalam getahnya, tetapi bagian yang paling banyak mengandung enzimpapain adalah buahnya.Papaya merupakan jenis tanaman dari famili
Universitas Sumatera Utara
caricacea yang mudah tumbuh dan banyakterdapat di daerah tropis. Famili caricacea terdiri dari 4 genus yaitu carica, jarilla, jacaratia, dancylicomorpha. Papain merupakan salah satu jenis enzim hidrolase yang bersifat proteolitik. Papain oleh Komisi Enzim Internasional diklasifikasikan ke dalam EC 3.4.22.2 dimana (3) menunjukkan kelas Hidrolase, (4) menunjukkan sub-kelas amidase, dan (22) menunjukkan sub-sub kelas endopeptidase (Suhartono, 1991). Beveridge (1996) menjelaskan bahwa papain memiliki sisi aktif yang terdiri atas asam amino sistein dan histidin. Diantara kedua asam amino tersebut, asam amino yang sangat bersifat reaktif adalah sistein, dimana di dalam sistein tersebut terdapat sebuah gugus tiol (-SH). Oleh karena itu, papain digolongkan ke dalam protease tiol (Suhartono, 1991). Menurut Poedjiadi (2006), papain juga tergolong ke dalam endopeptidase, dimana papain dapat memecah protein pada tempat-tempat tertentu dalam molekul protein dan biasanya tidak mempengaruhi gugus yang terletak di ujung molekul. Sisteina merupakan asam amino non esensial bagi manusia yang memiliki atom S, bersama-sam dengan metionin. Atom S terdapat pada gugus tiol (dikenal juga sebagai sulfihidril atau merkaptan). Karena memilki atom S, sistein menjadi sumber utama dalam sintesis senyawa-senyawa biologis lain yang mengandung belerang. Sistein dan metionin pada protein juga berperan dalam menentukan konformasi protein karena adanya ikatan hydrogen pada gugus tiol. Sisteina mudah teroksidasi oleh oksigen dan membentuk sistin, senyawa yang terbentuk dari dua melekul sisteina yang berikatan pada atom S masingmasing. Reaksi ini melepas satu molekul air (reaksi dehidrasi) (Wikipedia, 2009). Enzim papain menyerang protein pada serat-serat dan menghidrolisanya menjadi peptida yang lebihkecil. Enzim papain dapat menghasilkanperubahan keempukan daging (Bratzler, 1971).
Universitas Sumatera Utara
Lehninger dalam Budiyanto dan Usmiati (2009), bahwa penambahan papain dapat meningkatkan kesan keempukan daging dibanding dengan kontrol. Jumlah enzim semakin meningkat, maka semakin banyak substrat yang diubah menjadi produk. Proses pengempukan secara alamiah terjadi karena pemecahan protein-protein daging oleh enzim protease. Tampak bahwa penggunaan enzim papain membantu dalam proses pemecahan protein-protein daging yang semakin banyak. Peningkatan nilai keempukan daging kambing disebabkan adanya aktivitas enzim proteolitik/protease yang memiliki kemampuan dalam memecahkan endomisium yang menyelubungi serabutserabut daging dan menghancurkan tenunan pengikat menjadi serabut amorf (Sunarlim dan Usmiati, 2009). Menurut Kalie (2006) rasa pahit daun pepaya disebabkan oleh kandungan alkaloid carpain (C14H25NO2) yang banyak terdapat pada daun muda. Alkaloid ini dapat menurunkan tekanan darah dan membunuh amoeba. Batang, daun, dan buah pepaya muda mengandung getah berwarna putih. Getah ini mengandung suatu enzim pemecah atau enzim proteolitik yang disebut papain. Papain termasuk enzim hidrolase, yaitu enzim yang mampu mengkatalis reaksi-reaksi hidrolisis suatu substrat (protein). Sebagai enzim proteolitik, papain banyak digunakan dalam industri, diantaranya industri makanan, minuman, farmasi, kosmetik, tekstil, dan penyamak. Sementara itu, getah pepaya selain mengandung enzim papain juga mengandung kemokapain, lisosim, lipase, glutamin, dan siklotransferas. Sifat basa penyebab rasa pahit pada alkaloid menyebabkan senyawatersebut mudah mengalami dekomposisi terutama oleh panas
(Sastrohamidjojo, 1996).
Mekanisme Kerja Enzim
Universitas Sumatera Utara
Mekanisme kerja papain melibatkan triad katalitik yang terbentuk antara Cys25, His159, dan Asn 175. Gugus amida dari Asn 175 akan menarik proton dari inti imidazol His159 sehingga kebasaannya meningkat. Inti imidazol dari His159 akan menarik H+ dari–SH pada Cys25 sehingga kenuklofilikan gugus SH bertambah. Sementara itu nitrogen amida dari Cys25 membentuk ikatan hidrogen dengan atom O gugus karbonil pada substrat. Ikatan hidrogen kedua terbentuk antara gugus –NH2 dari Gln 19 dengan O gugus karbonil pada substrat. Keadaan ini akan mempermudah penyerangan ion sulfida (S2-) terhadap gugus C=O dari substrat yang diikuti oleh pecahnya katan peptida dari substrat membentuk suatu amina (Gambar 1) (Fersht, 1985). His 159 Substrat
19 Gln
H N H N
S-H
N N H
H
Cys 25 N Asn 175
NH2
Gambar 1.Skema mekanisme kerja enzim papain (Sumber: Tutik, 2003) Penyimpanan Dingin dan Pertumbuhan Bakteri Pertumbuhan bakteri dapat dinyatakan sebagai konstanta laju pertumbuhan (k) yaitu jumlah generasi per jam dengan rumusk = dinyatakan sebagai 1/k.
log 𝑋1 −𝑙𝑜𝑔𝑋0 0,301 𝑡
, sedangkan waktu generasi
Keterangan : X0
= Jumlah sel awal
X1
= Jumlah sel akhir
t
= Waktu dari X0 ke X1
Universitas Sumatera Utara
Waktu generasi menurut Fardiaz (1992) adalah waktu yang dibutuhkan oleh suatu populasi bakteri untuk bertambah jumlahnya menjadi dua kalinya. Pertumbuhan bakteri digambarkan sebagai suatu kurva seperti ditampilkan pada Gambar 2.
Gambar 2. Kurva Pertumbuhan Bakteri Menurut Soeparno (1992), banyak faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme dalam daging termasuk temperatur, kadar air, kelembaban, oksigen, tingkat keasaman dan kebasaan (pH) dan kandungan zat gizi. Daging sangat memenuhi persyarat untuk perkembangan mikroorganisme, termasuk mikroorganisme perusak dan pembusuk, karena (1) mempunyai kadar air tinggi (kira-kira 68-73 %), (2) kaya akan zat yang mengandung nitrogen dengan kompleksitas yang berbeda, (3) mengandung sejumlah karbohidrat yang dapat difermentasi, (4) kaya akan mineral ndann kelengkapan faktor untuk pertumbuhan mikroorganisme, (5) mempunyai pH yang menguntungkan bagi sejumlah mikroorganisme (5,3-6,5) (Soeparno, 1992). Menurut Winarno (1993) pendinginan adalah penyimpanan bahan pangan diatas suhu pembekuan bahan yaitu -2 sampai 10°C. Pendinginan yang biasa dilakukan seharihari dalam lemari es adalah pada suhu 5-8°C.
Universitas Sumatera Utara
Pendinginan berbeda degan pembekuan dalam hal suhu penyimpanan dan kemampuan mengawetkan bahan pangan. Pendinginan dan pembekuan juga akan berbeda pengaruhnya terhadap rasa, tekstur, nilai gizi dan sifat-sifat lain dari bahan pangan. Pendinginan merupakan cara yang sudah umum bagi pengawetan makanan yang sifatnya sementara. Beberapa faktor yang kritis dalam pendinginan adalah temperatur, kelembaban relatif, ventilasi dan penggunaan cahay ultra violet (Apandi, 1974). Menurut Annan dan Kolari (1965) dikutip oleh Palupi (1963), karkas yang masih segar biasanya disimpan pada suhu sekitar 0°C. Pendinginan ini tidak membunuh mikroba, tetapi hanya menghambat pertumbuhannya. Daging juga harus selalu disimpan pada suhu rendah sejak hewan dipotong sampai pada waktu daging akan diolah. Pada umumnya faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme dalam daging dibagi menjadi dua kelompok yaitu (1) faktor dalam (intrinsik) termasuk nilai nutrisi daging, kadar air, pH, potensial oksidai dan reduksi dan ada tidaknya substansi penghalang atau penghambat, (2) faktor luar (eksterinsik) misalnya temperatur, kelembaban relatif, ada tidaknya oksigen dan bentuk atau kondisi daging, misalnya karkas atau potongan karkas, daging cacahan atau daging giling (Forrest et al., 1975). Salah satu faktor eksterinsik yang sangat menentukan laju pertumbuhan atau jumlah mikroorganisme pada daging adalah temperatur. Berdasarkan temperatur maksimum dan optimum pertumbuhan, mikroorganisme dibagi menjadi 3 kelompok yaitu mesophiles, psychrophiles dan thermophiles. Menurut Lawrie (1995), invasi mikroba ke dalam daging (infeksi)menyebabkan produk tidak menarik karena terjadi beberapa perubahan yaitu terjadipembusukan. Buckle et al. (1987) menjelaskan bahwa daging menjadi berlendir,berbau busuk, dan rusak jika jumlah mikroba 107-108 CFU/cm2. Pendapat ini didukung oleh Frazier dan
Universitas Sumatera Utara
Weshoff (1988) yang menyatakan, bahwa bau dari dagingtimbul jika jumlah bakterinya berkisar antara 1,2x106-108 CFU/cm2 dan akan timbullendir jika jumlah mikrobanya 3,0x106-3,0x108
CFU/cm2.
Menurut
Standar
NasionalIndonesia
(SNI)
standar
perdagangan (SP)-SMP-93-1975, jumlah mikroba yangdiperkenankan per gram adalah 5x105 CFU/cm2 (Badan Standarisasi Nasional,1995). Uji Organoleptik Menurut Soekarto (1985), uji hedonik adalah salah satu jenis uji penerimaan di dalam penilaian organoleptik. Tujuan dari uji penerimaan adalah untuk mengetahui apakah suatu produk atau sifat sensory tertentu diterima oleh masyarakat. Oleh karena itu, tanggapan suka atau tidak harus pula diperoleh dari sekelompok orang yang dapat mewakili pendapat umum atau mewakili suatu populasi masyarakat tertentu. Sifat organoleptik menggunakan indera manusia sebagai instrumen penilaian. Beberapa sifat yang menentukan dari suatu produk dapat dinilai secara organoleptik, misalnya aroma, warna, rasa, dan tekstur (Utami, 2008). Untuk melaksanakan penilaian organoleptik diperlukan panel. Menurut Soekarto (1985), menyatakan bahwa terdapat enam macam panel yaitu panel pencicip perorangan, pencicip terbatas, terlatih, tidak terlatih, agak terlatih dan panel konsumen. Panelis tak terlatih jumlahnya berkisar antara 15–25 orang. Panelis terlatih merupakan panelis hasil seleksi dari sejumlah panel (5-10 orang atau 15-25 orang). Seleksi pada panelis terlatih umumnya mencakup hal kemampuan untuk membedakan citarasa dan aroma dasar, ambang pembedaan, kemampuan membedakan derajat konsentrasi, daya ingat terhadap citarasa dan aroma. Hal ini untuk menciptakan kemampuan atas kepekaan tertentu di dalam menilai sifat organoleptik
Universitas Sumatera Utara
bahan makanan tertentu. Anggota panel terlatih yang digunakan tidak selalu dari personalia laboratorium ataupun orang non laboratorium (Suardi, 2010). Berbeda dengan uji kesukaan (hedonik), uji mutu hedonik tidak menyatakan suka atau tidak suka, melainkan menyatakan kesan tentang baik atau buruk. Kesan baik-buruk ini disebut kesan mutu hedonik, karena itu beberapa ahli memasukan uji mutu hedonik ke dalam uji hedonik (Soekarto, 1985).
Universitas Sumatera Utara