BAB II REFERENSI PUSTAKA 1.1. Tinjauan Tentang Ikan 2.1.1 Pengertian Ikan Ikan adalah anggota vertebrata poikilotermik (berdarah dingin) yang hidup di air dan bernapas dengan insang. Ikan merupakan kelompok vertebrata yang paling beraneka ragam dengan jumlah spesies lebih dari 27,000 di seluruh dunia. Secara taksonomi, ikan tergolong kelompok paraphyletic yang hubungan kekerabatannya masih diperdebatkan, biasanya ikan dibagi menjadi ikan tanpa rahang (kelas Agnatha, 75 spesies termasuk lamprey dan ikan hag), ikan bertulang rawan (kelas Chondrichthyes, 800 spesies termasuk hiu dan pari), dan sisanya tergolong ikan bertulang keras (kelas Osteichthyes). Ikan dalam berbagai bahasa daerah disebut iwak, jukut.
2.1.2 Ketertarikannya Manusia Terhadap Ikan Rasa suka manusia memajang ikan beragam warna dan rupa
dalam
wadah tembus pandang atau kolam dipekarangan konon bermula dari kebiasaan orang mengurung ikan dalam bak dipekarangan rumah- atau dalam istana kerajaan sekaligus Bangsa Romawi dan Mesir tercatat melakukan kebiasaan ini meskipun tujuan mereka saat itu tak lain hanyalah sekedar memperoleh ikan segar. Maklum dizaman dulu belum ada kulkas atau batu es untuk menyimpan ikan agar tetap segar, disamping itu mereka menyimpan atau memajangnya hanya untuk memenuhi kepuasan batin karena ikan tidak hanya dikonsumsi melainkan ikan adalah hewan peliharaan yang bisa dipajang karena mempunyai ciri dan 6
ketertarikan tersendiri apalagi ikan tersebut memiliki bentuk fisik yang sempurna (estetis). Kebiasaan inilah yang akhirnya berlanjut menjadi hobi, sampai kemudian lahir bejana dari kaca pertama yang dibuat oleh Henry Gesse pada tahun 1853 Kedalam bejana ini Henry berhasil memindahkan sebahagian panorama alam bawah laut sehingga membuat orang yang menatapnya tercengang. Benda ini lalu dinamai Aquarium yakni terdiri dari gabungan dua kata Aqua adalah air dan Rium adalah ruang, artinya ruang atau tangki air yang diisi sekumpulan makhluk hidup dengan media hidupnya sehingga orang yang ikut menikmati tanpa harus menyelam dan menyaksikan indahnya aneka ragam jenis ikan yang menarik dan jarang kita temui besrta panorama alam bawah laut.(Lingga Pinus 2003: 1) 2.1.3. Sejarah Ikan Pajangan Dr. Herbert R. Axelrod menyebutkan bahwa hobi memindakan lingkungan laut beserta penghuninya kedarat sudah ada sejak masa berkuasanya Ratu victoria, ratu Inggrs yang terkenal.artinya hobi Aquarium air laut sudah ada sejak tahun 1880.(Heru Susanto. 2005: 2) Kini ketertarikan ikan pada abad perkembangan selanjutnya telah diekspresikan kedalam media yang berbeda, hal ini dapat kita jumpai pada kreasi lainya seperti Gambar photo dan lebih menarik lagi objek ikan dapat dikreasikan pada lukisan,ornament,patung.(http//fishfresh.visualartcom/2001/03/11/seni-ikan). Seiring dengan ketrtarikan manusia terhadap ikan,maka penulis berupaya menggarap karya dengan cara mengimitasi dan mengembangkan secara
7
Kontekstual baik dengan cara mengkresikan bentuk ikan dengan gaya ornamen dan simbolik. Sebagai Ikon Gorontalo Inofatif 1.2. Gorontalo Inovatif 2.2.1 Inovasi Gorontalo dalam peningkatan produksi Ikan
Sejumlah pengusaha anggota Kadin dan asosiasi pengusaha lainnya dari Provinsi Gorontalo dipimpin langsung oleh Gubernur Gorontalo Fadel Muhammad (Senin, 26/8) bertolak ke Mindanao, Filipina Selatan untuk melakukan misi dagang ke negara tetangga itu. Sebelum bertolak, Gubernur Fadel Muhammad kepada wartawan mengemukakan, misi dagang pengusaha ke Mindanao itu untuk mendapatkan peluang-peluang bagi peningkatan ekspor dan juga perkenalkan potensi Gorontalo yang belum diketahui dunia luar.
Kunjungan misi dagang ke Mindanao Filipina itu, kata Fadel, juga untuk memenuhi undangan Menteri Percepatan Pembangunan Filipina, sekaligus menghadiri Mindanao Business Conference tanggal 28-30 Agustus 2002 di kota Surigao, Provinsi Surigao del Norte.
Para pengusaha Gorontalo akan bertemu dengan pengusaha Mindanao dan meninjau sentra-sentra industri di wilayah itu, sekaligus akan diterima oleh Presiden Filipina. Melalui pertemuan dan pembicaraan dengan para pengusaha Filipina itu, diharapkan banyak hal akan diperoleh pengusaha Gorontalo, baik menyangkut penjualan produk maupun membuka peluang ekspor bagi komoditi Gorontalo.
8
Menurut Fadel, kesempatan ini harus dimanfaatkan dengan baik, karena selama ini banyak komoditi potensial dari Gorontalo dimanfaatkan oleh daerah lain, seperti ikan diekspor ke Filipina melalui Sulawesi Utara. Semua itu akan dibicarakan dengan para pengusaha Filipina di Mindanao, sehingga komoditi pertanian, perikanan dan lainnya dapat diekspor langsung dari Gorontalo agar biayanya lebih murah. "Peluang-peluang itu sangat besar manfaatnya bagi percepatan pembangunan serta peningkatan ekonomi Gorontalo yang memiliki potensi cukup besar di berbagai sektor, apalagi untuk menghadapi era pasar bebas AFTA 2003," ungkap Fadel. Ia mengharapkan, peluang-peluang itu akan terbuka dan ditangkap oleh para pengusaha di Gorontalo, agar potensi daerah itu tidak akan dimanfaatkan lagi oleh daerah lain dan pengusaha dari luar Gorontalo.( http://www.sltp4limboto.20megsfree.com /10/8/2012/ Ant/ima)
2.2.2 Strategi dan Inovasi pemerintah Gorontalo
Inovasi dalam pemerintahan tidak hanya mencakup perubahan menuju best practise atau menyediakan informasi yang mudah diakses, tetapi yang lebih penting inovasi itu sendiri harus melembaga dalam pola pikir aparatnya dan benar-benar dipahami. Persoalannya adalah di mana pemerintah harus belajar untuk melakukan inovasi yang lebih baik dan lebih cepat? Pemerintah Gorontalo dapat belajar dari siapa saja, dan belajar tentang proses inovasi yang sesungguhnya, baik dari sisi kewirausahaan maupun dari sisi korporat, ini akan membantu pemerintah menemukan jalan terbaik dalam berinovasi.
9
Inovasi itu diperlukan agar pemerintah Gorontalo mempunyai kemampuan untuk melakukan unjuk kerja pelayanan melampaui teknologi yang ada. Selain itu, inovasi harus terus menerus dilakukan agar pemerintah mampu menghasilkan general social good yang memenuhi harapan seluruh warganegara.
Dari
perspektif pemerintahan spektrum inovasi adalah mencari social good yang berdampak pada peningkatan kesejahteraan. Kita sering melupakan bahwa pemerintah itu sebenarnya merupakan inovator. Perkembangan demokrasi modern itu adalah inovasi konstitusi yang dilakukan pemerintah Gorontalo.
Pemerintah dalam mengapresiasi inovasi perlu memfokuskan pada subyek yang mampu meningkatkan kualitas demokrasi dan peningkatan kesejahteraan. Seiring dengan semakin meningkatnya kesadaran politik warganegara dan tuntutan demokratisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, akuntabilitas terhadap input, proses dan output menjadi kebutuhan. Pemerintah harus mampu melakukan inovasi dalam bidang akuntabilitas agar warganegara patuh terhadap kebijakan.(http://www.gorontalofamily.org/10/8/2012/lkpj.bapeda Gorontalo)
2.2.3. Ikan Salah satu produk unggulan Gorontalo Inovatif
Pengembangan pengembangan
perikanan
peningkatan
Pembangunan
produksi
ikan
sektor Untuk
perikanan
mengejar
dan
berbagai
ketertinggalan dengan keterbatasan yang dimiliki, berbagai terobosan dan inovasi terus dilakukan, dengan adanya strategi pembangunan yang dilakukan yaitu Pada
10
hakekatnya pembangunan merupakan suatu rangkaian upaya yang dilakukan secara terus menerus untuk mencapai tingkat kesejahteraan masyarakat. Upaya dimaksud dilakukan melalui pemanfaatan potensi sumberdaya yang dimiliki baik sumberdaya manusia, daya dukung alam, kemampuan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta memperhitungkan tantangan perkembangan global. Perspektif ini sekaligus menjadi alasan rasional kebijakan pembangunan di daerah adalah usaha untuk menanggulangi kemiskinan dan aspek-aspek yang melatarbelakanginya, sehingga rumusan tujuan pembangunan daerah tidak lain adalah untuk membangun manusia di daerah secara lahir-batin. Dengan mempertimbangkan aspek-aspek tersebut diatas, dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2007-2012 Pemerintah Provinsi Gorontalo menetapkan Visi :“ Gorontalo Provinsi Inovatif dengan dengan M I S I“ Mewujudkan Masyarakat Gorontalo yang Mandiri, Produktif dan Religius” Untuk tercapainya visi, dan misi (http://www.antaranews.com/10/8/2012/musnang) 2.3 Tinjauan tentang Ikon,dan Simbol
2.3.1 Pengertian Ikon Secara Umum
Ikon adalah tanda yang didasarkan pada kemiripan diantara tanda (representamen) dan obyeknya, walaupun tidak semata-mata bertumpuk pada termasuk yang dapat di katakan sebagai ikon. Ikonisitas sebagai salah satu gejala semiotis yang tidak kurang penting, belum banyak menarik perhatian kita. Padahal berbagai tanda ikonis berserakan di sekitar kita dalam kehidupan sehari-
11
hari : di rumah, di pinggir-pinggir jalan, di surat kabar, di televisi, bahkan menempel di tubuh dan kita bawa-bawa kemanapun kita melangkah. (Kris Budiman. 2005 : 23) Sebagaimana halnya dengan klasifikasi tanda yang lain Peirce memilih tipe-tipe ikon secar a tripartit. Pertama citra atau image adalah tanda yang secara langsung bersifat ikonis, yang menampilkan kualitas-kualitas seperti dapat di lihat pada gambar dan karya seni rupa pada umumnya. Di dalam bahasa kita menemukan kata-kata onomatope seperti mengeong, mengembi, mesin ketik, bom, dag-dig-dug, dangdut, bahkan naik turun, buka-tutup, dan sebagainya, yang tidak lain mencitrakan secara langsung objek-objek yang di acunya. Kedua diagram adalah ikon yang menampilkan relasi-relasi, terutama relasi di adik atau yang lebih kurang demikian di antara bagian-bagian dari sesuatu melalui relasirelasi yang analog di dalam bagian-bagiannya sendri. Pengertian mengenai diagram ini kira-kira sama seperti yang kita pahami di dalam bahasa sehari-hari. Jenis ikon yang kedua ini mungkin bisa berwujud sebuah skema, grafik, denah, bahkan sebuah rumus matematika atau fisika. Di dalam bahasa kita mengenal adanya pengurutan kata yang bersifat diagramatis, misalnya seperti pada semboyan “fini fidi fici” yang terkenal itu atau ungkapan metu, manten, mati (lahir, menikah, meninggal, dalam bahasa jawa). Ketiga metafora merupakan sesuatu meta-tanda ikonitasnya berdasarkan pada kemiripan atau similaritas di antara objek-objek dari dua tanda simbolis. Metafora Caihrl Anwar yang sangat terkenal dalam puisi “Aku” yakni aku ini binatang jalan, adalah hasil dari penulusuran si penyair atas similaritas di antara binatang dan seorang manusia
12
fiktif yang di pandang memiliki sifat sama-sama jalang. (Kris Budiman. 2005 : 66) Di dalam dunia desain langkah awal yang menjadi kunci setelah permasalahan desain di tentukan adalah apa yang di sebut sebagai brainstroming. Di situ beberapa orang duduk bersama dalam jangka waktu tertentu dan melontarkan berbagai ide mulai dari yang biasa-biasa saja sampai dengan yang gila yang menerobos sekat-sekat kategorisasi, stereotipe, dan kalaziman. Setiap orang sebebas-bebasnya mencurahkan ide yang menyembul, melintas, atau yang muncul begitu saja, baik yang berhubungan secara langsung maupun tidak dengan pokok permasalahan desainnya. Kriteria-kriteria penyaring ide di pinggirkan untuk sementara. Melalui Brainstorminglah orang menyaring ide-ide liar imaginatif yang acap kali terhadang oleh pertimbangan logis dan perhitungan praktis strategis yang biasanya menganalisis, memilah-milah, membandingbandingkan, dan menghitung-hitung. Yang tak kurang pentingnya adalah kenyataan bahwa pada umumnya di dalam sesi Brainstorming ini ada satu atau dua orang yang bertugas menandai : menuliskan atau menorehkan ide-ide yang di lontarkan secara spontan itu pada papan tulis atau kertas lebar baik dengan kata-kata, diagram, simbol, warna, atau goresan yang menggantikan ide-ide yang terus di biarkan mengalir itu. Setelah sesi ini selesai, tanda-tanda yang menggantikan ide itu kemudian di klasifikasikan, di kelompokkan, dan di saring untuk selanjtnya di pilih mana yang paling besar kebolehjadiannya untuk di aktualkan sebagai prototipe. (Kris Budiman. 2005 : 16)
13
Kegiatan brainstorming dan eksplorasi juga sering di lakukan oleh perupa ketika mencari dan menetapkan ide kreatif. Biasanya ia akan membuat sketsa-sketsa bebas dulu, yang tak lain adalah tanda-tanda juga untuk mewakili berbagai ide. Ide itu bisa sesuatu yang sudah jelas di ketahui, di rasakan, apa yang masih samarsamar di dalam pikiran/hati. Kualitas korehan garis, pola warna, komposisi, dan asosiasi-asosiasi yang tersirat sangat di pengaruhi oleh apa-apa yang sedang di pikirkan, di rasakan, atau di bayangkan oleh senimannya. Semua ini yang di dalam semiotika di sebut sebagai refresentamen, di nyatakan untuk menggantikan objek-objek baik yang jelas-jelas nyata dapat di hindari ataupun yang abstrak seperti suasana bahagia, atau bahkan yang masih maya (firtual) sekalipun. Kunci dalam membuat/mencipta sesuatu di bidang apa saja adalah aksi menandai atau membuat tanda. Seorang arsitek akan memulai proses panjang kreatif konstruktifnya dengan goresan-goresan awal sederhana yang mewakili gagasan. Di dalam dunia tulis-menulis orang mau menorehkan kata pertama lebih dulu untuk memulai aktualisasi suatu bangunan cerita yang masih berupa bangunan virtual di dalam pikiran walaupun boleh jadi nantinya kata pertama yang di torehkan itu di gantikan dengan kata lain. Dengan tanda-tandalah orang berfikir dengan cara menandai tahap yang satu dari tahap-tahap selanjutnya dalam suatu proses berfikir, mencatat sesuatu baik yang simpel maupun yang kompleks atau sebagai sarana untuk mengungkapkan identias dirinya. (Kris Budiman. 2005 : 18)
14
2.2.2. Ikonisitas Dalam Seni Rupa Berbeda dengan karya sastra yang pada dasarnya merupakan seni bahasa yang simbolis, karya seni rupa atau seni visual pada umumnya lebih memanfaatkan potensi ikonisitas. Torehan warna, goresan garis, serta segenap unsur visual lain di dalam sebuah lukisan bekerja sama membentuk gugusan ikon yang bisa di kenali sebagai sesuatu, tentang benda-benda, manusia, peristiwa, bentuk-bentuk geometris, dan sebagainya. Hal ini terutama memang berlaku secara wantah bagi karya-kraya seni rupa yang realistis, namun sebetulnya gejala ikonsitaspun sedikit banyak tampak pada karya-karya yang di kategorikan abstrak sekalipun. Abstrak apapun sebuah karya seni rupa mau tidak mau mesti berangkat dari realitas tertentu, entah kasat mata atau tidak, yang secara visual disalinnya. Yang membedakan hanyalah pada ikonitas (the gree of iconicity) pada kedua kategori karya tersebut. Oleh karena itu sesuai dengan hakikatnya, karya seni rupa pada dasarnya adalah ikonis. ( Kris Budiman. 2005 : 114). Pada umumnya ikon bisa di pahami sebagai potret sesuai dengan asal katanya dari bahasa yunani, ikon yang berarti citra atau potret. Secara lebih spesifik, di dalam kesenian gerejani ikon juga di mengerti sebagai sejenis refresentasi kristus, perawan maria, atau orang-orang suci di dalam lukisan, mosaik, atau bast-relief (patung dengan relif rendah), Menurut Ehresmann. Akan tetapi, Peirce membuat beberapa batasan tentang ikon atau tanda ikonis secara berbeda dan lebih bervariatif. Dalam beberapa variasi batasan itu Peirce mencirikan ikon sebagai suatu tanda yang menggantikan (stands for) sesuatu semata-mata karena ia mirip dengannya ; sebagai sesuatu tanda yang mengambil
15
bagian dalam karakter-karakter objek atau sebagai suatu tanda yang kualitasnya mencerminkan objeknya, dan membangkitkan sensasi-sensasi analog di dalam benak lantaran kemiripannya. Atau menurut defenisi klasik Charles Morris tandatanda ikonis memiliki wahana tanda (signfehicle) yang mirip dengan denotatumnya. Ikon tidak hanya berupa tanda-tanda yang terdapat di dalam komunikasi fisual, melainkan juga di dalam hampir semua bidang semiotis, termasuk di dalam bahasa. Jadi di samping potret, lukisan, atau foto ikon juga bisa berupa idograf, metafora, diagram, grafik, atau bahkan rumus-rumus persamaan aljabar. Berdasarkan pada pemahaman ini, maka salah satu kriteria yang terpenting bagi ikon adalah similaritas atau resemblance di antara representamen dengan objeknya. Hanya saja perlu di catat dua hal di sini. Pertama, ikon tidak selalu berdasarkan pada kemiripan seperti dalam pemahaman awam sehari-hari, melainkan juga similaritas dalam pengertian sebagai relasi abstark ataupun homologi struktural. Di samping itu yang kedua, pada umumnya ikon sekaligus pula dapat tergolongkan kedalam model semiosis yang lain, entah simbolis atau indeksikal karena nyaris tidak ada ikon yang betul-betul murni. Oleh karena itu apa yang kita sebut sebagai ikon ini sesungguhnya lebih tepat di namakan sebagai hipo-ikon. (Kris Budiman. 2005 : 61). 2.3.3. Pengertian symbol secara umum Symbol adalah tanda yang represetamennya merujuk kepada objek tertentu tanpa motivasi (unmotivated), symbol terbentuk melalui konvensi-konvesi atau kaidah-kaidah, tanpa adanya kaitan langsung diantara representamen dengan obyeknya, yang oleh Ferdinand de Saussure dikatakan sebagai sifat tanda yang
16
arbitrer (the arbitrary character of the sign). Kebanyakan unsure leksikal didalam kosa kata suaatu bahasa adalah dimbol. Misalkan kata pohon didalam bahasa Indonesia, yang disebut wit dalam bahasa jawa, dan tree dalam bahasa inggris adalah symbol karena relasi diantara kata tersebut sebagai representamen dan pohon betulan menjadi objeknya tidak bermotivasi alias arbitrer, semata-mata konvensional. Namun demikian tidak hanya bahasa yang sesungguhnya tersusun dari symbol-simbol. Gerak-gerik mata, tangan, atau jari-jemari (misalkan mata berkedip, tangan melambai, atau jempol diacungkan keatas) adalah symbol; dan juga tanda-tanda visual seperti yang biasanya kita jumpai disaat kita mau buang air, sebelumnya kita sudah diberi petunjuk dengan dua gambar pria dan wanita yang tertempel di depan pintu kamar kecil. ( Kris Budiman. 2005 : 59). Dalam terminologi bahasa dapat di katakan juga sebagai sistem simbol tanda-tanda yang arbiter dan konvensional ini oleh Peirce di sebut secara khusus sebagai simbol. Kearbitreran tanda-tanda kebahasaan ini dapat di buktikan dengan mudah melalui contoh-contoh yang nyaris tak terbatas. Kita bisa mengambil saja sembarang kata namun contoh yang biasanya paling mudah di pahami adalah yang berupa kata benda (nomina). Hewan yang menggonggong di katakan anjing oleh orang Indonesia, Chien (maskulin) atau chienne (feminim) oleh orang prancis, dan dog oleh orang inggris. Masing-masing bangsa itu sungguh semenamena dalam menamakn hewan yang menggong tadi. Tidak ada kaitan intrinsik atau alasan yang alamiah mengapa ia di sebut demikian. Dengan penjelasan Saussure kita akan mengatakan secara singkat bahwa relasi di antara penanda(berupa
runtunan
bunyi/anjing/di
17
dalam
bahasa
indonesia)
dan
petandanya (sejenis hewan mamalia yang begini atau begitu…) adalah arbitrer beradasrkan pada konvensi semata-mata. Hakikat bahasa, tanda-tanda kebahasaan yang arbitrer dan konvensional ini sulit untuk di mungkiri oleh siapapun. Akan tetapi, ketika memberikan contoh di atas, tentang hewan yang di sebut anjing ternyata kita juga menggunakan sepotong tanda kebahasaan yang tidak sepenuhnya arbitrer yakni kata menggonggong. Kata menggonggong ini, dengan bentuk dasarnya gonggong tidak bisa di katakan sepenuhnya arbitrer lantaran relasi dengan pertanda atau maknanya beralasan atau bermotivasi : kata tersebut kiranya meniru suara yang di buat oleh si hewan anjing. Penandanya (berupa runtunan bunyi gonggong) merupai pertandanya. Kemiripan atau keserupaan ini tentu sangat terkait dengan presepsi
penutur
bahasa
yang
bersangkutan
sehingga
orang
inggris
mengatakannya bow-bow dan orang prancis oua-oua, namun tidak bisa di pungkiri juga bahwa contoh ini telah menunjukan kepada kita bahwa tidak semua tanda kebahasaan bersifat arbitrer total. Saussure memberikan istilah khusus bagi tanda-tanda kebahasaan yang sedikit banyak bermotivasi atau tidak sepenuhnya arbitrer ini yaitu simbol, sehingga kemudian bermunculah penyebutan-penyebutan lebih khusus lagi seperti misalnya sound symbolism atau phonetich symbolism di dalam linguistik untuk menamai gejala ini, akan tetapi dalam hal peristilahan ini pula kemudian timbul kesengkarutan karena Saussure dan Peirce ternyata menggunakan satu istilah yang sama untuk menunjuk kepada konsep yang sama sekali bertolak belakang. Seperti telah kita katakan di muka, menurut terminologi Peirce Simbol adalah
18
tanda-tanda yang arbitrer, sementara menurut Saussure simbol adalah tanda-tanda yang tidak sepenuhnya arbitrer. Tanda-tanda yang arbitrer oleh Saussure di sebut sebagai sign atau tanda saja sementara tanda-tanda yang non arbitrer oleh Peirce disebut ikon (icon). (Kris Budiman. 2005 : 41). Masih berkaitan dengan tanda bahasa, D Saussure berpendapat bahwa ciri dasar
tanda
bahasa
adalah
aribitraritas
(kesemanaan)
absolut.
Ini
di
pertentangkannya dengan tanda bahasa yang mempunyai motivasi. Tanda bahasa jenis ini di sebut simbol. Aribtraritas tanda bahasa ini tercermin dalam pembentukan signifiant dan signifie secara sembarangan. Orang tak dapat menjelaskan mengapa kursi di sebut kursi dan bukannya pohon. Bertentangan dengan itu pada simbol ada kaitan antara signifiant dan signifie. Timbangan misalnya adalah simbol untuk keadilan. Orang tidak dapat mengganti timbangan ini dengan sembarang objek lain tanpa kehilangan motivasi kesatuan antara penanda dan petanda. Dalam kehidupan sehari-hari kita sering menjumpai tanda-tanda dan simbol. Di samping tanda bahasa yang semena dan tanda bahasa yang bermotivasi ada juga tanda bahasa yang tidak semena total. Misalnya, kata bilangan eleven tidak bermotovasi, tetapi kata bilangan thirteen, twentee five dan seterusnya tidak dapat di katakan semena absolut karena di dalamnya terkandung unsur satuan dan puluhan. Komposisi dari kedua unsur tersebut menghasilkan arti kata bilangan tersebut dalam perkembangan pengertiannya untuk Saussure tanda adalah simbol, sedangkan simbol di bidang semiotika dalam pengertiannya Saussure di sebut ikon. (Panuti Sudjiman dan Aart Van Zoest. 1996 : 60).
19
2.3.4. Simbol Dalam Seni Di dunia seni kata simbol menjadi sebuah aliran yang sangat kental dengan pengaruh arus
transformasi sains dan kecendrungan para senimannya untuk
berekspresi lebih dari eksperimen mereka yang pada akhirnya menjadikannya sebuah aliran baru. Aliran atau mahzab baru pada perkembangannya lebih ditekankan pada prinsip yang fanatik, sebut saja kata aliran simbol menjadi simbolisme. Simbolisme dengan rasa percaya diri yang tinggi oleh pelaku seni atau seniman merupakan kelanjutan dari aliran yang sangat berpengaruh besar di daratan
Amerika
yakni
aliran
impresionisme
dan
eksprsionisme,
bila
ekspresionisme masih bertitik pangkal pada apa yang telah dan sedang diamati seniman agar unsur-unsur tertentu yang ia alami diungkapkannya dengan penekanan khusus (seperti Van Gogh) namun obyek yang digambarkannya tentu saja masih dapat dikenali dalam hasil karya seniman. Tetapi seniman yang tergolong dalam simbolisme peran sisenimannya sendiri sedemikian besar sehingga obyek lukisan atau karya seninya hanya samar- samar saja memperhatikan obyek luar yang mau digambarkan. Obek luar itu hanya menjadi alasan saja untuk menggambarkan inti ilham si seniman; dan hasil karyanya menjadi lambang (simbol) dari apa yang ada dalam bayangannya. Hal ini sudah dimulai dari Paul Gauguin (1848-19903). Gauguin adalah teman akrab Van Gogh, mereka kerap terlibat dalam perdebatan dan pertentangan tentang wilayah kreatif msing-masing dan bahkan pada suatu saat mereka hampir saling membunuh.
20
Pertengkaran besar ini kemudian memisahkan mereka, karena Gauguin yang pada masa mudanya adalah seorang stock-broker yang hidup serba keecukupan akhirnya meninggalkan semua temannya, kekayaannya dan bahkan anak istrinya. Demi kecintaannya pada bentuk seni primitif kemudian peri kelautan teduh tepatnya kepulauan Tahiti menetap dan berkarya disana dalam waktu yang lama. Disanalah dia memanfaatkan kekaryaannya dan melahirkan apa yang disebut sebagai simbolisme (seni simbol) itu. Gauguin kemudian memberi pengaruh pada seniman setelahnya yang menamakan diri mereka sebagai kaum Nabi mereka adalah Maurice Denis (1870-1943), Pierre Bonnard (1867-1947), Edouard Vuillard (1868-1940), mereka menganggap Gauiguin sebagai Nabi dan mengagumi penggunaan warna yang ekspresif serta pola-pola ritmis ala Gauguin. ( bahan ajar matakuliah tinjauan estetika, 2007) Dalam
penjelasan
Ikon
dan
Simbol
penulis
akan
berusaha
memanifiestasikan konsep Ikan kedalam wujud karya sebagai inti dari hasil pengelolaan tema melalui mekanisme pilihan desain secara Brainstorming, sehingga ide dalam perwujudan karya bersifat Ikon dan Simbol. 2.4. Tinjauan Tentang Ornament 2.4.1 Pengertian dan jenis- jenis motif Ornamen Kata ornament berasal dari bahasa latin secara etimologi asal katanya „ornare” yaitu seni hias menghias atau dekorasi yang antara lain berarti menghiasi dan ornamentum yang berarti yaitu perhiasan, kelengkapan hiasan keindahan, namun oleh karena dalam percakapan sehari-hari mengenai hias menghiasi tidak semua hiasan disebut ornament, perlu kiranya untuk mencari atau mengetahui ciri-
21
ciri atau ketentuan-ketentuan apakah yang harus dimiliki oleh sebuah hiasan yang dapat digolongkan dalam ornament.(D. Dalidjo dan Mulyadi,.1983:2). Dalam arti yang khusus ornamen adalah bentuk karya seni ditambahkan atau sengaja dibuat pada penambahan ornamen terhadap suatu benda, disaping bertambah indah juga yang akan meningkatkan penghargaan dalam segi spritual maupun material. Didalam ornamen sering ditemukan nilai-nilai simbolik atau maksud-maksud tertentu yang ada hubungannya dengan pandangan hidup atau falsafah hidup dari manusia atau masyarakat penciptanya”. (Y Sudarjo, 1984 : 1) Dengan demikian sesuatu benda yg di tambahi dengan ornamen akan mempunyai arti yang lebih mendalam. Lebih lanjut D Dalidjo dan mulyadi, 1998 :1 menyebutkan bahwa “ornamen adalah hasil usaha pengisian bidang yang didorong oleh tuntutan-tuntutan estetis dan spiritual”. Sedangkan pendapat Eko Budiharjo, 1991 : 6 “ornamen atau seni hias dapat menentukan identitas arsitektur dari suatu bangunan tersebut dan penerapan pada bangunan mempunyai arti simbolik yang sangat mendalam”. Dan menurut Eko Nugroho (1990 : 314) “ ornamen dalam arsitektur merupakan corak yang di tambahkan pada bagian bangunan dan berfungsi sebagai pengindah”. Sesuatu yang di tambahkan maka untuk menghias benda atau membuat indah merupakan fungsi ornamen. Di tinjau dari artinya maka ornamen mempunyai fungsi pokok sebagai hiasan, dengan menambah ornamen pada suatu benda maka benda tersebut akan meningkatkan nilainya, sehingga fungsi ornamen sabagai sarana untuk
22
meningkatkan kualitas. Di samping itu ornamen juga berfungsi sebagai sarana terciptanya nilai-nilai simbolik. (Y.Sudaryo. 1984 : 2). Sebuah ornamen dama ungkapannya ada dorongan estetik yang bermaksud hanya untuk memperindah saja. Akan tetapi ada juga dengan dorongan kepercayaan yang pada pelaksanaannya tidak dapat lepas dari segi estetik. Dan untuk motif yang di gunakan sering di hubungkan dengan sesuatu simbolik. 2.4.2.Motif Ornamen Terjadinya ornamen merupakan hasil dari suatu sususnan atau pengolahan unsur-unsur ornamen. Karena unsur-unsur ornamen tersebut mempunyai persamaan-persamaan tertentu dengan unsur sei rupa lainnya. Di antara unsurunsur ornamen tersebut ialah motif geometri, tumbuh-tumbuhan, hewan, manusia, dan alam. Dari sebuah motif dapat disusun sedemikian rupa sehingga menghasilkan pola hiasan yang di terapkan pada benda. “dalam arti yang umum motif merupakan sumber pokok dari suatu ide atau desain dalam suatu karya seni. Hubungannya dalam kedudukan ornamen maka matof merupakan bentuk pokok yang di olah dengan cara menyusun beberapa variasi sehingga menghasilkan suatu pola”. (Y. Sudarjo, 193 :2). Motif hiasan suatu pola atau corak hiasan yang terungkap sebagai ekspresi jiwa manusia terhadap kenidahan atau pemenuhan kebutuhan lain yang bersifat budaya. Hal ini terwujud dalam kehidupan masyarakat sederhana maupun masyarakat modern. Motif hiasan di wujudkan pada berbagai sarana penunjang kehidupan masyarakat misalnya dinding gua tempat berlindung atau tempat upacara. Motif hiasan ini terpampang pula pada bagian rumah (dinding, tangga,
23
tiang pagar) tubuh manusia, senjata, dan berbagai wadah. (Eko Nugroho. 1990 : 378). Dengan demikian motif sebagai unsur ornamen tersebut ialah : 1) Motif Geometri Pada motif geometri mempunyai bentuk dari sebuah ilmu ukuran atau dengan alat-alat ukur yang di kembangkan menjadi sebuah garis-garis yang di inginkan. Menurut D. Dalidjo dan Mulyadi (1983 : 55) “ bentuk-bentuk geometrik atau bentuk ilmu ukuran seperti garis, lingkaran, segi tiga, segi empat, dan bentuk segi banyak lainnya”. Motif geometri di ambil dari bentuk dasar yang di buat dengan alat-alat ukur atau dengan tingkat di ambil dari bentuk-bentuk ilmu ukur. Misalnya, lingkaran, segi empat, garis lengkung, garis patah atau garis pengulangan maupun cara penyusunan yang lain. Sehingga terjadi motif baru di antaranya motif kait (haak), kunci, kunci ganda, spiral, pilin, menader, swastika, dan bentuk lainnya. (Yos Sudarjo. 1983 : 2). 2) Motif Manusia Dalam ornamen terdapat juga motif yang di ambil dari bentuk manusia, yang biasanya bentuk desain yang sudah di buat dengan mengamburkan dari perwujudan realistis makhluk tersebut. Motif manusia tersebut untuk persepsi pada zaman dahulu mempunyai kekuatan sakti. Bentuk ini dapat berupa manusia secara utuh dapat pula hanya sebagian dari manusia-manusia yang di anggap penting atau mempunyai makna yang dalam, ialah bentuk topeng. Di samping itu masih terdapat bentuk lain yang di
24
ambil dari bentuk wayang. Pengambilan bentuk manusia sebagai motif ornamen mempunyai makna tertentu ialah sebagai lambang atau simbol untuk penangkal kejahatan, penangkis bahaya, dan merupakan gambaran nenek moyang (Y. Sudarjo. 1984 : 14) Stilisasi dari bentuk manusia dan binatang dengan melepaskan bentuk berdasarkan pedoman ikonografi seni india menghasilkan prototipe wayang yang kemudian berkembang pada zaman islam. Perwujudan semacam ini mirip dengan bentuk wayang kulit yang sampai sekarang masih di pertahankan di bali. (WiyosoYodoseputro.1986:91). 3) Motif Binatang Penerapan motif binatang banyak di gunakan sebagai sebuah simbol atau lambang yang pada setiap motifnya mempunyai makna tersendiri. Perwujudan binatang tersebut di gambarkan sebagai sebuah hiasan saja atau mempunyai makana dari tiap karakternya. Dalam ornametik indonesia terdapat juga motif binatang, motif ini sebagian besar merupakan lambang atau simbol. Binatang yang di ambil sebagai motif terdapat di indonesia di samping itu juga terdapat bentuk binatang khayal seperti makara bentuknya campuran antara ikan dan gajah atau singa bersayap. Penggambaran bentuk binatang tersebut ada yang secara realistis, tetapi ada juga yang di gambarkan secara dekoratif, malah ada yang diubah sampai pada bentuk esensial (Y. Sudarjo. 1984 : 14)
25
1) Motif Tumbuhan Motif tumbuhan merupakan motif yang paling sering digunakan pada ornamen baik benda maupun pada ruangan bangunan karena motif tersebut banyak sekali penyesuaiannya pada corak atau gayanya. Pada motif tumbuhan dapat di lakukan variasi bentuk maupun pola dengan menggabungkan motif lainnya misalnya motif tumbuhan di gambungkan dengan motif binatang, manusia atau dengan lainnya. Paada karakter tumbuhan dapat di ambil bagian-bagian tumbuhan tersebut berupa bunga, daun, atau tangkainya sebagai hiasan ornamen. Tampilannya ragam hias tumbuh-tumbuhan juga sudah lama di kenal di indonesia. Hal ini dapat di mengerti melihat lingkungan alam indonesia yang serba kaya dengan tumbuh-tumbuhan selalu menjdi sumber daya cipta para seniman dalam berkarya. Sesuai dengan pikiran mistik magis bangsa indonesia maka jenis-jenis tanaman arti perlambangan. Arti perlambangan pada zaman hindu di sesuaikan dengan ikonografi dalam kesenian hindu dan budha. Pada zaman islam nilai-nilai perlambangan tersebut di pelihara dan dan di kembangkan terus dalam menetukan desain ornamental. (Wiyoso Yudoseputro, 1988 : 81-82) 2) Motif Alam Motif ini berbeda dengan motif lainnnya karena motif alam tersebut mengambil beberapa bentuk alam yang mempunyai makna dalam kehidupan masyarakat. Gunung merupakan bentuk alam yang masih banyak di puja-puja. Menurut agama hindu gunung merupakan tempat kediaman para dewata dan sering di sebut mehru. Dalam perlambangan dan kesenian motif gunung banyak di gunakan
26
dalam beberapa bidang. Mehru di bayangkan oleh empat buah puncak yang lebih rendah. Bentuk mehru dalam menggambarnya seperti yang di kenal sebagai motif semen. Bentuk alam batu karang, dan awan banyak di ambil sebagai motif batik. (Y. Sudarjo. 1985 : 17). 2.4.3.Stilirisasi Ornamen Stilisasi merupakan salah satu unsur ornamen yang sangat penting karena bentuk yang akan dibuat hiasan harus melalui pengubahan dari bentuk asalnya. Pengubahan bentuk atau yang disebut stilisasi tersebut harus dilakukan tanpa meninggalkan bentuk-bentuk dasar. Bentuk-bentuk yang dapat distilisasi diantaranya adalah stilisasi tumbuhan, stilisasi hewan, stilisasi manusia dan stilisasi alam. Dapat diketahui bahwa motif yang dipergunakan dalam ornamen dapat diambil dari berbagai sumber. Bentuk-bentuknya sangat beraneka ragam dengan cirinya masing-masing. Ciri-ciri ini yang membedakan membentuk satu dengan bentuk lainnya. Ciri-ciri ini juga menunjukan karakter masing-masing.(Supratno. 1984:11) Dalam menstilisasikan bentuk harus berpegang pada bentuk asalnya, yang berarti ciri-ciri khasnya atau karakter dari motif itu tidak dapat diabaikan. Untuk dapat mencapai hal tersebut dipelajari motif sebaik-baiknya sampai kepada anatominya. Dari pengetahuan tentang bentuk tersebut dapat dilakukan stilisasi motif sehingga memperoleh bentuk baru yang ornamental dan serasi untuk mengisi bidang hias tertentu tanpa meninggalkan ciri-ciri khasnya.
27
Menstilisasi suatu bentuk adalah sama halnya menciptakan bentuk yang tegas dan memberikan kesan datar. Disamping itu menstilisasi dapat menghasilkan bentuk baru yang lebih indah tanpa meninggaalkan bentuk dasarnya. Menstilisasi secara bebas tidak diperlukan untuk mempelajari motif secara khusus maka diperlukan susunan bentuk dengan ciri-cirinya, yakni dengan menggantungkan pada gagasan dari pada kenyataan. Misalnya menstilisasikan burung akan tetapi bukan jenis burung tertentu. Dari stilisasi tersebut yang menjadi
tujuan
utamanya
adalah
memperoleh
bentuk
yang
ornamental.(D.Dalidjondan Mulyadi 1983 :59) Untuk mewujudkan karya nanatinya, dari beberapa bagian karya yang akan saya buat menggunakan ornament sebagai identitas atau Ikon, juga ornament bagian karya lainnya dijadikan sebagai subjet metter. 2.5. Pengertian Kriya Batasan atau pengertian
kriya secara definitif yang mencakup semua
aspek dan hasil-hasil karya kriya yang ada sebenarnya belum ada, defenisi yang berkembang hanya merupakan pendapat pribadi-pribadi dari para pakar kriya sesuai dengan sudut pandang mereka masing-masing. Beberapa pengertian tersebut adalah sebagai berikut : Kata “kriya” berasal dalam bahasa indonesia berarti pekerjaan (keterampilan tangan). Da dalam bahasa inggris di sebut craft yang berarti energi atau kekuatan. Kemudian istilah ini di artikan sebagai keterampilan. Pada kenyataannya bahwa seni kriya sering di maksudkan sebagai karya yang di hasilkan karena skill atau keterampilan seseorang. Kita tahu bahwa semua kerja
28
dan ekspresi seni membutuhkan keterampilan. Apabila sebuah karya seni dalam proses penggarapannya tidak berdasarkan kepekaan atau keterampilan yang memadai, maka tidak ada kesempatan bagi kita untuk menikmati karya tersebut sebagai kriya seni. Seni di percaya sebagai ekspresi individu, dan kriya di percaya sebagai jantung dari sebuah karya yang berguna bagi kehidupan. Apabila seni di beri inspirasi oleh visi personal, dan kriya adalah teknik yang mewujudkan karya itu, maka sesungguhnya antara seni dan kriya menjadi tak terpisahkan atau saling melengkapi. (I Made Bandem. 2002 : 4) Istilah “seni kriya” berasal dari kata “Kr” (bahasa sansekerta) yang berarti mengerjakan, dari akar kata tersebut kemudian menjadi karya, kriya dan kerja. Dalam arti khusus adalah mengerjakan sesuatu untuk menghasilkan benda atau obyek. Dalam pengertian berikutnya semua hasil kerja termasuk berbagai ragam tekniknya di sebut teknik kriya. Atas dasar bahan dapat di klasifikasikan menjadi kriya batu, kriya logam, kriya kayu, kriya bambu, kriya serat, kriya tanah (keramik) kriya tekstil. Dari bahan tersebut kemudian berkembang atas dasar teknik pengerjaannya yakni seni lukis, seni pahat, seni ukur. Dan berdasarkan bentuknya di bedakan dalam bentuk dua dimensi (ukir, relief, lukisan) dan bentuk tiga dimensi menghasilkan karya-karya patung. (Timbul Haryono. 1999 :1) “kriya adalah kelompok produk atau benda yang di buat untuk kebutuhan praktis atau psikis, atau kedua-duanya, dengan pendekatan estetis yang melibatkan pembuatannya secara nyata. Produksi kriya berpijak pada keterampilan pembuatannya dalam mengelolah serta menggarap media. Aspek estetika dan kreativitas menjadi unsur-unsur andalan dalam menentukan nilai tambahnya.
29
Aspek estetika sedemikian penting dan besar peranannya dalam pembuatan produk-produk kriya sehingga sering di bubuhkan kata seni dan melahirkan istilah yang populer saat ini yaitu seni kriya”. (Anas Binarul, 1999:1). Pendapat di atas menyiratkan bahwa karya kriya berfungsi ganda yaitu sebagai karya seni murni, seni pakai atau sebagai karya fungsional sekaligus memiliki nilai seni, dan dalam pembuatannya melibatkan seniman kriya secara langsung. Pendapat senada diungkapkan widagdo : pertama-tama kita sudah sepakat menggunakan kata kriya sebgai padanan kata craft,tidak kita gunakan lagi kata: kerajinan, kerajinan tangan, seni kerajinan, keterampilan tangan dll. Karena pada hakekatnya kriya lebih dari sekedar produk tangan yang rajin saja. Sejarah kebudayaan telah menunjukan bahwa kriya selalu menyatu dengan upaya manusia yang menggunakan akal budinya untuk menghadapi tantangan-tantangan demi kelangsungan eksitensinya, sehingga produk-produk kriya yang merupakan artefak-artefak hasil karya manusia dari kurun budaya tertentu adalah saksi dan bukti dari tingkat peradaban yang dicapai manusianya pada kurun waktu itu. Dengan demikian kriya sebagai artefak adalah produk budaya dan aktifitas budaya, karena kriya adalah terjemahan dalam bentuk fidikal dari ide-ide budaya dan aktivitas budaya. Pada dasarnya kriya dan seni adalah dua hal yang berbeda. Kriya dibuat dengan tujuan pragmatis, membuat benda yang mempunyai manfaat praktis atau psikologis tertentu. Seni diciptakan karena ingin mengekspresikan ide dengan tujuan ideal, non praktis, trasendetal dan subyektif. Seni timbul dari pengalaman subyektif manusia.
30
Kriya dan seni murni tumbuh dari pohon ilmu seni, dari cabang seni rupa dengan ranting yang beerbeda. Meskipun rantingnya berbeda, kriya yang bermutu tinggi dengan kualitas “crafmanship” yang unggul dan mutu estetis yang prima, dan bila kehadiran kriya ini sudah melebihi aspek gunanya, karya kriya menjadi karya seni. Pada kriya, “crafmanship” adalah segala-galanya, ide baik, material pilihan tapi tidak ada “crafmanship” maka benda itu belum menjadi kriya. Sedang dalam seni murni kebaruan ide, atau kemampuan menampakkan ide adalah hal yang paling utama. Dalam kriya sosok benda itu sendiri menjadi wakil nilai kehadirannya. (Widagdo, 1999 : 1-2) “Kriya seni yang kreatif itu adalah kriya yang dapat di nikmati, di tanggapi, dimiliki oleh banyak orang. Bukan seni atau desain kriya yang tersendiri yang sangat terbatas. Desain atau kriya seni sudah menjadi bahasa dunia. Desain/kriya seni tidak perlu di jelaskan, karena desain yang baik akan menampilkan gagasan cipta, estetika, pamor perusahaan dan penampilan produk itu sendiri”.(yusuf Efendi. 1999 :2-6). Kriya sebagai produk yang di hasilkan dalam suatu proses kegiatan, dengan atau tanpa bantuan mesin, bernilai estetik, keunikan, keakraban, kegunaan dan dapat di produksi dalam jumlah tertentu untuk mendapat manfaat ekonomi, kriya bukan sekedar hasil keterampilan dan bakat yang di miliki, tetapi merupakan produk yang sarat pengetahuan, teknologi, dan seni. (Yan Sunarya. 1999:6) Dalam ensiklopedia Encarta 99, bahwa craft/kriya adalah pembuatan suatu objek yang berupa objek dekoratif maupun objek fungsional. Pembuatan objek ini
31
semuanya atau sebagian di kerjakan dengan tangan secara manual, dan pembuatannya memerlukan keahlian tersendiri serta adanya sentuhan estetika. Dari pernyataan di atas berarti bahwa, tidak semuanya hal yang di buat oleh tangan dapat di sebut kriya. Untuk menyatakan sesuatu sebagai hasil dari kriya tidak hanya dengan melihatnya sebagai hasil karya tangan belaka, sebab di dalam pemaknaan kriya terdapat batasan-batasan yang dapat di jadikan patokan untuk menyatakan sesuatu yang pantas di sebut sebagai kriya. Batasan-batsan tersebut berkaitan dengan wilayah seni dan desain. Bahwa seni dan desain merupakan unsur yang amat penting dalam penciptaan kriya itu sendiri. Perpaduan anatara unsur seni dan desain di tambah dengan keahlian khusus atau keterampilan (dexterity) inilah yang menyebabkan kriya memiliki nilai lebih. Karena kriya tidak berarti membuat sesuatu rancangan saja, melainkan pula mewujudkan sendiri layaknya seorang seniman, serta memasukkan keahliankeahlian khusus inilah maka tumbuh istilah ahli pahat, ahli keramik, ahli tekstil, dan seterusnya. Sehingga dari peristilahan tersebut munculah di dalam medianya yaitu : kriya logam, kriya kayu, kriya keramik, dan kriya tekstil. Bidang ilmu kriya, jika di uarai dari akar keilmuannya, masih terus menjadi perdebatan yang sengit di antara kalangan praktisi dan akademis di bidang seni rupa. Bidang kriya, telah menjadi ajang perebutan antara masuk ke dalam disiplin ilmu seni atau ilmu desain. Saya tidak ingin ikut menambah andil kekusutan dari perang defenisi yang ada. Yang ingin saya nyatakan di sini adalah kriya dapat berada dan mencakup kedua bidang tadi, seni dan desain. Sehingga memungkinkan muncul dua istilah seperti kriya seni dan desain kriya, atau seni
32
kriya dan desain kriya. Barang-barang kriya dalam memiliki fleksibelitas yang tinggi, berada pada posisi di antara wilayah seni dan desain. Kondisi ini menyadarkan kita bahwa seharusnya tidak ada defenisi yang kaku dalam pengelompokkan kriya, karena hal ini tergantung di wilayah mana secara esensial kriya itu sendiri beraktivitas (Adhi Nugraha. 1999: 2-3) Karya kriya dalam kaitannya dengan kebudayaan menjadi salah satu bentuk ekspresi (hasil perilaku manusia) yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan primer, sekunder dan budaya, dalam karya kriya tercermin kegunaan bagi pemenuhan kelangsungan hidup manusia sehari-hari, identitas dan integritas sosial, serta interaksi sosial yang melibatkan orang lain dalam pembuatan dan penikmatannya, serta nilai-nilai keindahan atau pertimbangan-pertimbangan estetik yang di landasi oleh nilai-nilai budaya pendukungnya. Karya kriya sangat kenal merefleksikan lingkungan budaya dan geografis tempat karya itu di ciptakan. Artinya dalam kriya, naik dalam proses dan teknik pembuatan, bentuk karya, dan penggunaannya, tercermin nilai-nilai estetika, etika, dan logika yang menjadi sistem acuan dalam pembuatannya. Dengan demikian sesungguhnya dalam karya kriya, tercermin wacana budaya berupa pikiran, rasa dan moral dalam suatu konfigurasi yang di pahami, di nikmati, dan di hargai dalam masyarakat. Kecenderungan kriya menjadi semata-mata karya yang berorientasi pada ekspresi individu adalah fenomena yang terjadi di masyarakat yang relatif terbuka, inilah yang kemudian melahirkan istilah “kriya seni” (Tjejep Rohendi Rohidi. 2002 : 1)
33
SENI MURNI
KRIYA
DESAIN
Berdasarkan diagaram ini ia menterjemahkan bahwa ; seni kriya yang semakin dekat dengan wilayah desain akan semakin jauh dengan seni murni. Sebaliknya, semakin jauh dengan wilayah desain akan semakin dekat dengan seni murni. Dengan demikian, semakin dekat dengan wilayah desain pemikiran rasional fungsional semakin kental. Sebaliknya semakin dekat dengan wilayah seni murni semakin besar intensitas ekspresi seni atau ekspresi estetikanya. (Imam Buchori 2002 : 5) Menurut Primadi Tabrani seni kriya sebenarnya adalah apa yang kita sebut sebagai seni rupa tradisional Indonesia terkadang nilai seni (estetika), fungsional, simbolis. Kaidah : etika, logika, dan estetika. Sementara dalam seni rupa Barat “seni untuk seni”. Dalam seni tradisi kita tak ada karya seni rupa yang di buat semata untuk keindahan saja, sebaliknya tak ada benda pakai yang asal bias di pakai, tapi ia juga indah. Indahnya bukan sekedar memuaskan mata, tapi melebur dengan kaidah adat, tabu, kepercayaan, agama, dan sebagainya. Jadi selain bermakna sekaligus indah. Sengaja kata indah tersebut di atas di letakkan di antara pada petik, karena konsep keindahan tradisi kita sebenarnya berbeda dengan estetika barat. Keindahan kita sebenrnya lebih dekat dengan apa yang sering kita sebut sebagai „pakem‟ suatu acuan untuk membuat suatu karya. Yang dalam seni barat adalah seabstark bara, lebih di sukai yang magis-simbolis.
34
Dalam kaitannya dengan penciptaan karya ini kriya di pandang sebagai suatu hasil aktivitas dan kretivitas yang bertujuan untuk menghasilkan bendabenda estetis (seni murni) dan benda-benda fungsional sekaligus memiliki nilai seni.
35