BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A.
Klasifiksi Kepiting Bakau (Scylla serrata) Di perairan Indonesia diperkirakan lebih dari 100 spesies jenis kepiting
yang tergolong dalam keluarga Portunidae. Portunidae merupakan salah satu keluarga kepiting yang mempunyai pasangan kaki jalan dan pasangan kaki kelimanya berbentuk pipih dan melebar pada ruas yang terakhir dan sebagian besar hidup di laut, perairan bakau dan perairan payau (Kasry, 1996 dalam Agus, 2008). Klasifikasi kepiting bakau menurut Keenan (1999) dalam Souisa (2011), sebagai berikut: Kingdom : Animalia Phylum : Arthropoda Subphylum : Mandibulata Class : Crustacea Subclass : Malacostraca Order : Decapoda Subordo : Pleocyemata Infraorder : Brachyura Superfamily : Portunoidea Family : Portunidae Genus : Scylla Species : Scylla serrata
B.
Morfologi dan Anatomi Kepiting Bakau (Scylla serrata) Kepiting bakau (Scylla serrata) merupakan salah satu jenis Crustacea dari
famili Portunidae yang mempunyai nilai protein tinggi, dapat dimakan dan merupakan salah satu spesies yang mempunyai ukuran paling besar dalam genus Scylla (Hill, 1992 dalam Agus, 2008). Secara umum morfologi kepiting bakau dapat dikenali dengan ciri sebagai berikut: 1. Seluruh tubuhnya tertutup oleh cangkang 2. Terdapat 6 buah duri diantara sepasang mata, dan 9 duri disamping kiri dan kanan mata. 3. Mempunyai sepasang capit, pada kepiting jantan dewasa Cheliped (kaki yang bercapit) dapat mencapai ukuran 2 kali panjang karapas. 4. Mempunyai 3 pasang kaki jalan 5. Mempunyai sepasang kaki renang dengan bentuk pipih. 6. Kepiting jantan mempunyai abdomen yang berbentuk agak lancip menyerupai segi tiga sama kaki, sedangkan pada kepiting betina dewasa agak membundar dan melebar. 7. Scylla serrata dapat dibedakan dengan jenis lainnya, karena mempunyai ukuran paling besar, disamping itu Scylla serrata mempunyai pertumbuhan yang paling cepat dibanding ketiga spesies lainnya.
Selain itu, Scylla serrata
memiliki warna relatif yang hampir sama dengan warna lumpur, yaitu coklat kehitam-hitaman pada karapaksnya dan putih kekuning-kuningan pada abdomennya. Pada propudus bagian atas terdapat sepasang duri yang runcing dan 1 buah duri pada propudus bagian bawah. Selain itu habitat kepiting bakau
spesies ini sebagian besar di hutan-hutan bakau di perairan Indonesia. Kepiting bakau (Scylla serrata), dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Kepiting Bakau (Scylla serrata) (Sumber: Foto Lapangan)
Menurut Prianto (2007), walaupun kepiting mempunyai bentuk dan ukuran yang beragam tetapi seluruhnya mempunyai kesamaan pada bentuk tubuh. Seluruh kepiting mempunyai Chelipeds dan empat pasang kaki jalan. Pada bagian kaki juga dilengkapi dengan kuku dan sepasang penjepit. Chelipeds terletak di depan kaki pertama dan setiap jenis kepiting memiliki struktur Chelipeds yang berbeda-beda. Chelipeds dapat digunakan untuk memegang dan membawa makanan, menggali, membuka kulit kerang dan juga sebagai senjata dalam menghadapi musuh. Di samping itu, tubuh kepiting juga ditutupi dengan Carapace. Carapace merupakan kulit yang keras atau dengan istilah lain Exoskeleton (kulit luar), berfungsi untuk melindungi organ dalam bagian kepala, badan dan insang. Anatomi kepiting bakau (Scylla serrata), dapat dilihat pada Gambar 2 berikut:
Capit
Lebar
Propodus
Mata
Carpus
Merus
Karapaks Kaki renang Basi ischium
Gambar 2. Anatomi Kepiting Bakau (Scylla serrata) (Sumber: Modifikasi dari Robertson, 1998 dalam Suryani, 2006)
Menurut Shimek (2008), bahwa anatomi tubuh bagian dalam, mulut kepiting terbuka dan terletak pada bagian bawah tubuh. Beberapa bagian yang terdapat di sekitar mulut berfungsi dalam memegang makanan dan juga memompakan air dari mulut ke insang. Kepiting memiliki rangka luar yang keras sehingga mulutnya tidak dapat dibuka lebar. Hal ini menyebabkan kepiting lebih banyak menggunakan capit dalam memperoleh makanan. Makanan yang diperoleh dihancurkan dengan menggunakan capit, kemudian baru dimakan. Anatomi tubuh kepiting bagian dalam dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Anatomi tubuh bagian dalam dari kepiting dewasa (Sumber: Shimek, 2008).
Perbedaan pada kepiting jantan dan betina dapat diketahui secara eksternal. Kepiting bakau jantan mempunyai ruas-ruas abdomen yang berbentuk menyerupai segitiga pada bagian perut, sedangkan pada kepiting betina ruas-ruas abdomen lebih melebar dan sedikit membulat (Moosa dkk.,1985 dalam Asmara, 2004). Perbedaan antara kepiting jantan dan betina dapat dilihat pada Gambar 4 berikut:
Jantan
Betina
Gambar 4. Perbedaan kepiting jantan dan betina (Sumber: Foto lapangan, 2012).
C.
Siklus Hidup Kepiting Bakau (Scylla serrata) Amir (1994) dalam Agus (2008), menyatakan bahwa kepiting bakau dalam
menjalani kehidupannya beruaya dari perairan pantai ke laut, kemudian induk berusaha kembali ke perairan pantai, muara sungai, atau berhutan bakau untuk berlindung, mencari makanan, atau membesarkan diri. Menurut Bonnie (2008), pada kondisi lingkungan yang memungkinkan, kepiting dapat bertahan hidup hingga mencapai umur 3-4 tahun dan mencapai ukuran lebar karapas maksimum lebih dari 200 mm. Kepiting betina matang pada ukuran lebar karapas antara 80-120 mm sedangkan kepiting jantan matang secara fisiologis ketika lebar karapas berukuran 90-110 mm, namun tidak cukup berhasil bersaing untuk pemijahan sebelum dewasa secara morfologis (yaitu dari ukuran capit) dengan lebar karapas 140-160 mm. Menurut penelitian Wijaya dkk., (2010),
induk betina matang gonad Tingkat Kematangan Gonat IV (TKG) yang tertangkap di habitat mangrove Taman Nasional Kutai (TNK) mempunyai sebaran ukuran lebar karapas antara 91 -171 mm, sedangkan ukuran berat tubuhnya berkisar antara 170-870 gram. Kepiting bakau yang telah siap melakukan perkawinan akan memasuki hutan bakau dan tambak. Proses perkawinan kepiting tidak seperti pada udang yang hanya terjadi pada malam hari (kondisi gelap). Proses perkawinan dimulai dengan induk jantan mendatangi induk betina, kemudian induk betina akan dipeluk oleh induk jantan dengan menggunakan kedua capitnya yang besar. Induk kepiting jantan kemudian menaiki karapaks induk kepiting betina, posisi kepiting betina dibalikkan oleh yang jantan sehingga posisinya berhadapan, maka proses kopulasi akan segera berlangsung. Setelah perkawinan berlangsung kepiting betina secara perlahan-perlahan akan beruaya di perairan bakau, tambak, ke tepi pantai, dan selanjutnya ke tengah laut untuk melakukan pemijahan (Amir, 1994 dalam Agus, 2008). Menurut Boer (1993) dalam Agus (2008), kepiting bakau yang telah beruaya ke perairan laut akan berusaha mencari perairan yang kondisinya cocok untuk tempat melakukan pemijahan. Setelah telur menetas, maka masuk pada stadia larva, dimulai pada zoea 1 (satu) yang terus menerus berganti kulit sebanyak 5 kali, sambil terbawa arus ke perairan pantai sampai pada zoea 5 (lima). Kemudian kepiting tersebut berganti kulit lagi menjadi megalopa yang bentuk tubuhnya sudah mirip dengan kepiting dewasa, tetapi masih memiliki bagian ekor yang panjang. Pada tingkat megalopa, kepiting mulai beruaya di dasar
perairan lumpur menuju perairan pantai dan kemudian pada saat dewasa kepiting beruaya ke perairan berhutan bakau untuk kembali melangsungkan perkawinan.
D.
Habitat Kepiting Bakau (Scylla serrata) Menurut Kasry (1996) dalam Agus (2008), kepiting banyak ditemukan di
daerah hutan bakau, sehingga di Indonesia lebih dikenal dengan sebutan kepiting bakau (Mangove Crab). Kepiting mangrove atau kepiting lumpur (Mud Crab) ini dapat hidup pada berbagai ekosistem. Sebagian besar siklus hidupnya berada diperairan pantai meliputi muara atau estuarin, perairan bakau dan sebagian kecil di laut untuk memijah. Jenis ini biasanya lebih menyukai tempat yang agak berlumpur dan berlubang-lubang di daerah hutan mangrove. Distribusi kepiting menurut kedalaman hanya terbatas pada daerah litoral dengan kisaran kedalaman 0 – 32 meter dan sebagian kecil hidup di laut dalam. Pada tingkat juvenile kepiting jarang kelihatan di daerah bakau pada siang hari, kerena lebih suka membenamkan diri di lumpur, sehingga kepiting ini juga disebut kepiting lumpur (Moosa dkk., 1985 dalam Suryani, 2006).
E.
Makanan dan Kebiasaan Makan Kepiting Bakau (Scylla serrata) Kasry (1996) dalam Wijaya (2011), menyatakan bahwa kepiting bakau
termasuk golongan hewan yang aktif pada malam hari (Nokturnal). Kepiting ini bergerak sepanjang malam untuk mencari pakan bahkan dalam semalam kepiting ini mampu bergerak mencapai 219 – 910 meter (Mossa dkk., 1995 dalam Wijaya, 2011).
Dalam mencari makan kepiting bakau lebih suka merangkak. Kepiting lebih menyukai makanan alami berupa algae, bangkai hewan dan udang-udangan. Kepiting dewasa dapat dikatakan pemakan segala (Omnivora) dan pemakan bangkai (Scavanger). Sedangkan larva kepiting pada masa awal hanya memakan plankton. Kepiting menggunakan capitnya yang besar untuk makan, yaitu menggunakan capit untuk memasukan makanan ke alam mulutnya. Kepiting mempunyai kebiasaan unik dalam mencari makan, bila di daerah kekuasaannya diganggu musuh, maka kepiting dapat saja menyerang musuhnya dengan ganas (Soim, 1999 dalam Suryani, 2006).
F.
Penyebaran Kepiting Bakau (Scylla serrata) Kepiting bakau (Scylla serrata) tersebar pada perairan berkondisi tropis.
Daerah sebarannya meliputi wilayah Indo-Pasifik, mulai dari pantai Selatan dan Timur Afrika Selatan, Mozambik terus ke Iran, Pakistan, India, Srilanka, Bangladesh, pulau-pulau di Lautan Hindia, Kamboja, Vietnam, Cina, Jepang, Taiwan, Philipina, dan ditemukan di Lautan Pasifik mulai dari kepulauan Hawai di Utara sampai ke Selandia Baru dan Australia di Selatan. Kepiting bakau merupakan kepiting yang bisa berenang dan hampir terdapat di seluruh perairan pantai Indonesia, terutama di daerah mangrove juga di daerah tambak air payau atau muara sungai (Kasry, 1996 dalam Rosminar, 2008). Kepiting merupakan fauna yang habitat dan penyebarannya terdapat di air tawar, payau dan laut. Jenis-jenisnya sangat beragam dan dapat hidup di berbagai kolom di setiap perairan. Sebagaian besar kepiting yang kita kenal banyak hidup di perairan payau terutama di dalam ekosistem mangrove. Beberapa jenis yang
hidup dalam ekosistem ini adalah Hermit Crab, Uca sp, Mud Lobster dan kepiting bakau (Prianto, 2007). G.
Parameter Populasi Kepiting Bakau (Scylla serrata) Parameter populasi kepiting bakau (Scylla serrata) meliputi:
1.
Hubungan Lebar Karapaks dengan Berat Kepiting Hubungan lebar karapaks dan berat tubuh kepiting mempunyai suatu nilai
yang memungkinkan untuk mengubah nilai lebar ke dalam nilai berat atau sebaliknya. Berat kepiting bakau dapat dianggap sebagai suatu fungsi dari lebar karapaks kepiting bakau dan hubungan lebar karapaks berat hampir mengikuti hukum kubik (Hill, 1936 dalam Asmara, 2004). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Asmara (2004), menunjukkan bahwa dari pengukuran diperoleh kisaran lebar karapaks kepiting jantan yaitu 31,5 – 122,5 mm dengan berat tubuh berkisar 53,75 – 286,08 gram, sedangkan pada kepiting betina diperoleh kisaran lebar karapaks 74,8 – 120,5 mm dengan kisaran berat tubuh 69,38 – 229,08 gram. Sedangkan hasil penelitian yang berbeda yang dilakukan oleh Tuhuteru (2003) dalam Asmara (2004), di perairan Ujung Pangkah, Gresik, menunjukkan bahwa lebar karapaks Scylla serrata berkisar antara 30,4 – 131, 6 mmm dengan berat tubuh berkisar 3,91 – 430 gram. Hubungan lebar karapaks dengan berat tubuh pada kepiting jantan mempunyai persamaan W = 0,083 L1.6416 dan koefisien korelasi (r) sebesar 0,7936, sedangkan pertumbuhannya bersifat allometrik negatif karena nilai b yang diperoleh adalah sebesar 1,6416, sedangkan pada kepiting betina, hubungan lebar karapaks dengan berat tubuh ditunjukkan oleh persamaan W = 0,0006 L2.7082 dengan (r) sebesar
0,9533. Pertumbuhan kepiting adalah allometrik negatif, sesuai dengan nilai b sebesar 2,7082. Dari hubungan antara lebar karapaks dengan berat tubuh baik jantan dan betina diperoleh nilai koefisien korelasi (r) sebesar 0,7936 dan 0,9533. Hal ini menunjukkan korelasi yang erat antara lebar karapaks dengan berat tubuh kepiting bakau dan hal ini berarti perubahan lebar karapaks mempunyai pengaruh terhadap berat tubuh. Dalam hal ini semakin besar lebar karapaks semakin tinggi berat tubuhnya. Menurut Warner (1977) dalam Asmara (2004), jika b > 1 maka pertumbuhan bersifat allometrik negatif yang berarti bahwa pertambahan lebar karapaks lebih cepat dari pada berat tubuhnya. Sedangkan b < 1 menunjukkan pertumbuhan yang allometrik positif yang berarti bahwa pertambahan berat tubuhnya lebih cepat dari pada lebar karapaksnya. Nilai b ini merupakan koefisien pertumbuhan yang menggambarkan kecendurungan pertambahan lebar karapaks terhadap berat tubuh organisme.
2.
Struktur Umur Kepiting menjadi dewasa akan mengalami pergantian kulit antara 17 - 20
kali tergantung kondisi lingkungan dan pakan yang dapat mempengaruhi pertumbuhan. Proses Moulting dari zoea berlangsung relatif cepat yaitu 3-5, sedangkan pada fase megalops, proses dan interval pergantian kulit berlangsung lama 17-26 hari. Setiap Moulting tubuh kepiting akan bertambah besar 1/3 kali dari sebelumnya dan lebar karapaks meningkat 5-10 mm (Kordy, 1997). Pada tingkat dewasa, kepiting dewasa masih mengalami perbesaran tubuh, karapaks juga bertambah lebar sekitar 5-10 mm. Kepiting dewasa berumur 15
bulan dapat memiliki lebar karapas sebesar 17 cm dan berat 2 kg. Pada kondisi lingkungan yang memungkinkan, kepiting dapat bertahan hidup hingga mencapai umur 3-4 tahun. Sementara itu, pada umur 12-14 bulan kepiting sudah dianggap dewasa dan dapat dipijahkan. Sekali memijah, kepiting mampu menghasilkan jutaan telur 2.000.000 – 8.000.000 telur, tergantung dari ukuran dan umur kepiting betina yang memijah (Kasry, 1996 dalam Wijaya, 2011).
3.
Pertumbuhan Pertumbuhan pada kepiting bakau merupakan pertambahan bobot badan dan
lebar karapaks yang terjadi secara berkala, setelah terjadi pergantian kulit (Moulting) (Sheen dan Wu 1999, Mayrand dkk., 2000 dalam Yasin, 2011). Selanjutnya Fujaya (2008) dalam Yasin (2011), menambahkan bahwa kepiting tidak dapat tumbuh secara linear sebagaimana hewan lain karena kepiting memiliki cangkang luar yang keras (karapaks) yang tidak dapat tumbuh, karenanya agar kepiting dapat tumbuh maka, karapaks lama harus diganti dengan yang baru dan lebih besar. Pertumbuhan pada kepiting bakau dicirikan oleh perubahan bentuk dan ukuran yang disebabkan perbedaan kecepatan pertumbuhan dari bagian-bagian tubuh yang berbeda. Menurut Sulaiman dan Hanafi (1992) dalam Suryani (2006), besarnya pertumbuhan yang dialami oleh kepiting tergantung pertambahan lebar dan berat setiap kepiting berganti kulit. Frekuensi ganti kulit bervariasi dipengaruhi oleh ukuran dan stadia kepiting. Secara umum frekuensi pergantian kulit lebih sering terjadi pada stadia muda dibandingkan dengan stadia dewasa. Menurut Karim (2005), ada dua faktor yang mempengaruhi kecepatan
pertumbuhan kepiting yaitu faktor dalam dan faktor luar. Faktor dalam meliputi ukuran jenis kelamin dan kelengkapan anggota tubuh, sedangkan faktor luar yaitu ketersediaan pakan, suhu dan salinitas. Lebih lanjut Karim (2005), mengatakan bahwa pada umumnya pertumbuhan kepiting bakau tergantung pada energi yang tersedia, bagaimana energi tersebut digunakan dalam tubuh dan pertumbuhan hanya akan terjadi apabila terdapat kelebihan energi setelah kebutuhan energi terpenuhi. Menurut hasil penelitian Wijaya (2011), bahwa informasi tentang parameter pertumbuhan merupakan hal yang mendasar dalam upaya pengelolaan sumberdaya perikanan. Alasannya adalah karena parameter tersebut dapat memberikan kontribusi dalam menduga produksi, dan laju kematian (mortalitas) dari suatu populasi. Hasil analisa Ellefan memperlihatkan lebar karapaks maksimum yang dapat dicapai berkisar antara 143 – 155 mm dengan kecepatan pertumbuhan berkisar antara 0.45 - 1.5. Di Subang, kecepatan pertumbuhan (K) kepiting bakau dari 4 spesies Scylla berkisar antara 1.10-1.50/tahun. Lebih lanjut dinyatakan bahwa kecepatan pertumbuhan Scylla serrata yang berlokasi di Muara Sangatta lebih tinggi dibanding lokasi lainnya, dengan L∞ yang juga lebih besar. Kondisi Muara Sangatta yang merupakan muara sungai besar, menjadikan kawasan tersebut menjadi estuari yang subur dan tinggi produktifitasnya. Umumnya kepiting yang ditangkap di Muara Sangatta berukuran dibawah ukuran dewasa yaitu dengan lebar karapaks kurang dari 110 mm (Siahainenia, 2008 dalam Wijaya, 2011).
4.
Mortalitas Menurut Sparre dan Siebren (1999), mortalitas adalah angka kematian
dalam populasi. Laju mortalitas adalah laju kematian, yang didefinisikan sebagai jumlah individu yang mati dalam satu satuan waktu. Laju mortalitas total dapat disebabkan karena adanya laju mortalitas alami dan atau laju mortalitas penangkapan. Laju mortalitas alami pada kepiting bakau disebabkan karena kepiting bakau tidak pernah tertangkap sehingga mati alami karena umur tua, atau karena daya dukung lingkungan yang rendah, misalnya akibat perubahan lingkungan yang ekstrim atau tidak tercukupinya makanan alami atau kelaparan. Analisis laju mortalitas kepiting bakau dilakukan dengan menggunakan estimasi mortalitas dari FISAT-II, yang didasarkan pada data lebar karapas kepiting bakau yang tertangkap. Laju mortalitas total (Z) digambarkan sebagai nilai numerik dari kemiringan (Slope) garis regresi antara logaritma N/dt terhadap umur relatif kepiting yang tertangkap, dan dihitung dari persamaan pertumbuhan VON BERTALANFFY yang dikenal dengan metode kurva hasil tangkapan. Nilai mortalitas meliputi mortalitas total, mortalitas alami dan mortalitas penangkapan (Sparre dan Siebren, 1999).
H.
Parameter Pendukung Kehidupan Kepiting Bakau (Scylla serrata) Parameter pendukung atau faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan
dari kepiting bakau dapat dijelaskan sebagai berikut: 1.
Suhu Suhu merupakan faktor abiotik yang berperan penting dalam pengaturan
aktifitas hewan akuatik. Suhu air mempengaruhi proses fisiologi ikan seperti
respirasi, metabolisme, konsumsi pakan, pertumbuhan, tingkah laku, dan reproduksi serta mempertahankan hidup. Menurut Cholik (2005) dalam Agus (2008), suhu yang diterima untuk kehidupan kepiting bakau adalah 18– 35°C, sedang suhu yang ideal adalah 25 – 30°C. Suhu yang kurang dari titik optimum berpengaruh terhadap pertumbuhan organisme. 2.
Salinitas Salinitas dapat didefinisikan sebagai total konsentrasi ion-ion terlarut dalam
air. Dalam budidaya perairan, salinitas dinyatakan dalam permil (o/oo) atau ppt (Part Perthousand) atau g/l. Salinitas menggambarkan padatan total di air setelah semua karbonat dikonversi menjadi oksida, semua bromida dan iodida digantikan dengan klorida dan semua bahan organik telah dioksidasi (Effendi, 2003 dalam Agus, 2008). Salinitas berpengaruh terhadap reproduksi, distribusi dan osmoregulasi.
Perubahan salinitas tidak langsung berpengaruh terhadap perilaku biota tetapi berpengaruh terhadap perubahan sifat kimia air (Brotowidjoyo, et al. 1995 dalam Agus, 2008). Biota air laut mengatasi kekurangan air dengan mengkonsumsi air laut sehingga kadar garam dalam cairan tubuh bertambah. Dalam mencegah terjadinya dehidrasi akibat proses ini kelebihan garam harus dibatasi dengan jalan mengekskresi klorida lebih banyak lewat urine yang isotonik (Hoer, et al. 1979 dalam Agus, 2008). Kepiting mengatur ion plasmanya agar tekanan osmotik didalam
cairan tubuh sebanding dengan kapasitas regulasi. Salinitas yang sesuai untuk pemeliharaan kepiting adalah 15 – 25 ppt (Ramelan, 1994 dalam Agus, 2008). Kepiting akan mengalami pertumbuhan yang lambat jika salinitas berkisar antara
35 – 40 ppt, dan tumbuh dengan baik pada salinitas 10 – 15 ppt, tetapi lebih sensitif terhadap serangan penyakit. Perubahan salinitas dapat mempengaruhi konsumsi oksigen, sehingga mempengaruhi laju metabolisme dan aktivitas suatu organisme. 3.
pH Air Menurut Boyd (1990) dalam Agus (2008), derajat keasaman atau pH
menggambarkan aktifitas potensial ion hidrogen dalam larutan yang dinyakatan sebagai konsentrasi ion hidrogen (mol/l) pada suhu tertentu, atau pH = - log (H+). Air murni mempunyai nilai pH = 7, dan dinyatakan netral, sedangkan pada air payau berada pada kisaran normal antara 7 – 9. Konsentrasi pH mempengaruhi tingkat kesuburan perairan karena mempengaruhi
kehidupan
jasad
renik.
Perairan
yang asam
cenderung
menyebabkan kematian pada ikan demikian juga pada pH yang mempunyai nilai kelewat basa, hal ini disebabkan konsentrasi oksigen akan rendah sehingga aktifitas pernafasan tinggi dan berpengaruh terhadap menurunnya nafsu makan (Ghufron dan H. Kordi, 2005 dalam Agus, 2008). Menurut Amir (1994) dalam Agus (2008), kepiting bakau mengalami pertumbuhan dengan baik pada kisaran pH 7,3 – 8,5