BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kateter Hemodialisis Insersi kateter vaskular sebagai akses vaskular merupakan hal yang sudah biasa dilakukan di rumah sakit selama lebih dari 60 tahun. Insersi kateter vaskular bertujuan untuk pemantauan, hemodialisis, nutrisi dan pemberian obat-obatan intravena. Teknik insersi kateter vaskular ini diperkenalkan pertama kali oleh Werner Forssmann pada tahun 1929 (Shah dkk, 2013). Pada tahun 1953, Sven-Ivar Seldinger memperkenalkan teknik pemasangan akses vaskular perkutan dengan bantuan guidewire dan teknik ini dikembangkan oleh Sheldon untuk pemasangan kateter hemodialisis untuk tindakan hemodialisis segera pada tahun 1960 (Schanzer dan Schanzer, 2012). Kateter hemodialisis dibagi dua yaitu kateter hemodialisis non-tunnelled dan tunnelled. Kateter hemodialisis merupakan cara tercepat untuk mendapatkan akses vaskular hemodialisis. Kateter hemodialisis ini merupakan akses vaskular yang bersifat sementara. Penggunaan kateter hemodialisis ditujukan kepada pasien gangguan ginjal akut yang membutuhkan hemodialisis segera atau pasien penyakit ginjal kronis dengan akses vaskular permanen atau akses peritoneal dialisis yang belum dapat digunakan (Weijmer, 2004). Kateter hemodilisis non-tunnelled telah mengalami perubahan yang besar. Awalnya kateter ini terdiri dari satu lumen kateter, kemudian berkembang menjadi dua lumen (double lumen) dan yang terakhir berkembang menjadi tiga lumen (triple
7
8
lumen). Kateter hemodialisis double lumen memiliki dua koaksial lumen arteri dan vena yang terpisah dan diposisikan dalam satu kateter. Lubang arteri pada ujung kateter umumnya 2-3 cm proksimal lubang vena. Kateter hemodialisis non-tunnelled memiliki panjang antara 12-24 cm dan diameter lumen antara 11-14 French (Fr). Secara umum kateter hemodialisis yang lebih panjang dipakai pada tempat insersi di vena jugularis kiri atau vena femoralis, untuk memastikan bahwa ujung kateter terletak pada posisi yang tepat. Diameter lumen kateter yang lebih besar dapat memberikan volume darah yang lebih besar pada saat dialisis. Volume darah yang dianjurkan oleh NKF KDOQI adalah lebih dari 350 ml per menit. Sebagian besar kateter hemodialisis non-tunnelled dibuat dari polyurethane yang kaku pada suhu kamar tapi lembut pada suhu tubuh, sehingga mengurangi resiko kerusakan vaskular. Selain bahan polyurethane, kateter hemodialisis nontunnelled juga terbuat dari bahan silikon. Kateter hemodialisis tunnelled umumnya terbuat dari bahan silikon. Desain kateter hemodialisis non-tunnelled memiliki beberapa perbedaan pada ekstensi eksternal. Perbedaan desain ini mempengaruhi kenyamanan pasien dan resiko infeksi. Ekstensi eksternal ini dapat berbentuk lengkung atau lurus. Kateter hemodialisis yang diinsersi pada vena jugularis interna sebaiknya menggunakan yang berbentuk lengkung bertujuan supaya ekstensi eksternal kateter ditempatkan menjauhi garis rambut sehingga mengurangi resiko infeksi pada hub kateter (Choi dan Frankel, 2007).
9
Kateter hemodialisis non-tunnelled sebagai akses vaskular hemodialisis sementara umumnya dipakai untuk jangka waktu yang singkat. Panduan NKF KDOQI tahun 1997 menganjurkan pemakaian kateter hemodialisis non-tunnelled yang diinsersi pada vena femoralis tidak lebih dari lima hari dan tidak lebih dari 21 hari pada vena subclavia atau jugularis interna.
2.2 Definisi Terdapat beberapa definisi yang berhubungan dengan infeksi akses vaskular kateter hemodialisis (NKF KDOQI, 2006; Bradley dan Kauffman, 2008) 1. Kateter hemodialisis: kateter yang dipasang pada vena utama yang berfungsi mengalirkan darah dari pasien ke mesin dialisis dan mengalirkan kembali ke pasien. 2. Kolonisasi kateter: hasil kultur dari ujung kateter atau hub kateter positif secara semikuantitatif atau kualitatif, tanpa memperhatikan ada tidaknya tanda dan gejala infeksi. 3. Catheter-Related Bacteremia: bakteremia pada pasien dengan kateter vaskular yang disertai atau tanpa manifestasi klinis infeksi. 4. Bloodstream Infection: mikroorganisme yang sama dari hasil kultur semikuantitatif ujung distal kateter (15 koloni unit per segmen kateter) dan kultur darah vena perifer atau aspirasi darah dari kateter pada pasien simptomatik tanpa disertai adanya sumber infeksi dari tempat lain.
10
5. Infeksi tempat insersi kateter: nyeri, eritema dan atau inflamasi dengan radius 2 cm dari tempat insersi kateter dengan eksudat dengan atau tanpa hasil kultur eksudat positif. 6. Tunnel infection: nyeri, eritema atau inflamasi lebih dari 2cm dari tempat insersi kateter hemodialisis sepanjang jalur subkutan dari tunnelled catheter dan cairan eksudat yang mungkin keluar dari tempat insersi kateter dengan hasil kultur eksudat yang positif.
2.3 Epidemiologi Penggunaan Kateter Hemodialisis dan Catheter-Related Bloodstream Infection Jumlah pasien penyakit ginjal kronis yang membutuhkan hemodialisis terus bertambah setiap tahunnya. Berdasarkan US Renal System Data 2011 terdapat lebih dari 370,000 pasien yang melakukan hemodialisis rutin. Delapan puluh persen dari pasien ini dilakukan pemasangan kateter hemodialisis untuk akses vaskular pada hemodialisis pertama kali. Di Malaysia, terdapat 26,000 pasien yang dilakukan hemodilisis dengan prevalensi 900 per juta populasi pada tahun 2011. Penggunaan kateter hemodialisis sebagai akses vaskular juga meningkat dari 3% pada 2002 menjadi 8,5% pada tahun 2012 (Abdul Gafor dkk, 2014). Data pasien penyakit ginjal kronis di Indonesia yang membutuhkan hemodialisis juga menunjukkan peningkatan. Berdasarkan data Indonesian Renal Registry 2012 terdapat 4977 pasien baru hemodialisis pada tahun 2007 dan terus meningkat menjadi 19,621 pasien baru pada 2012. Penggunaan kateter hemodialisis
11
sebagai akses vaskular juga bertambah sejalan meningkatnya pasien baru hemodialisis dari 3291 pada tahun 2007 menjadi 26,132 pada tahun 2012. Catheter-Related Bloodstream Infection salah satu komplikasi yang tersering pada penggunaan kateter hemodialisis. The Centers for Diseases Control and Prevention (CDC) di Amerika Serikat tahun 2008 melaporkan sekitar 37,000 kasus Catheter-Related Bloodstream Infection pada pasien hemodialisis. Gunatilake dkk. (2011) merangkum beberapa penilitian yang menyebutkan bahwa angka kejadian Catheter-Related Bloodstream Infection 10-40%. Insiden terjadinya Catheter-Related Bloodstream Infection pada kateter hemodialisis non-tunnelled antara 3,8-6,5 episode / 1000 kateter-hari dan 1,6-5,5 episode / 1000 kateter-hari untuk kateter hemodialisis tunnelled. Insiden CatheterRelated Bloodstream Infection pada kateter hemodialisis non-tunnelled yang diinsersi pada vena femoral akan lebih besar dibandingkan vena jugular interna dan vena subclavia. Insiden infeksi terkecil bila kateter hemodialisis diinsersi pada vena subclavia (lihat tabel 2.1) (Saxena dan Panhotra, 2005).
2.4 Patogenesis Bakteremia pada Pasien Hemodialisis Memahami patogenesis terjadinya bakteremia dapat membantu untuk menentukan strategi pencegahan dan terapinya. Jabber (2005) menjabarkan ada tiga faktor yang berpengaruh dalam terjadinya bakteremia pada pasien hemodialisis yaitu imunitas pasien (disfungsi leukosit, status uremia, kelebihan zat besi), virulensi bakteri (pembentukan biofilm), dan prosedur hemodialisis (akses vaskular dan kotaminasinya, penggunaan membran dialisis berulang) (gambar 2.1).
12
Tabel 2.1. Tipe akses vaskular hemodialisis dan angka kejadian infeksi (Saxena dan Panhotra, 2005)
Gambar 2.1 Patogenesis terjadinya bakteremia pada pasien hemodialisis (Jabber, 2005)
Beberapa penelitian menunjukkan berbagai faktor resiko yang mempengaruhi terjadinya bakteremia pada pasien hemodialisis. Hoen dkk. (1998) menunjukkan
13
penggunaan kateter hemodialisis merupakan faktor resiko utama terjadinya bakteremia pada pasien hemodialisis. Faktor lain yang berpengaruh pada penelitian ini adalah riwayat bakteremia dan anemia. Penelitian yang dilakukan Powe dkk. (1999) menunjukkan hasil yang berbeda yaitu adanya korelasi usia dan penyakit diabetes mellitus dengan resiko infeksi. Faktor resiko lainnya adalah penggunaan kateter hemodialisis dan kadar albumin yang rendah (kurang dari 3,5g/dl). Gupta dkk. (2011), menunjukkan hasil yang serupa yaitu diabetes mellitus, kadar albumin yang rendah dan pemakaian kateter hemodialisis merupakan faktor resiko terjadinya infeksi kateter hemodialisis. Penelitian Gupta juga menunjukkan adanya korelasi antara anemia dan infeki kateter hemodialisis. Chiou dkk. (2006) menunjukkan bahwa diabetes mellitus merupakan faktor resiko terjadinya infeksi kateter hemodialisis pada pasien penyakit ginjal kronis dengan kateter hemodialisis. Diabetes melitus merupakan faktor resiko terjadinya infeksi karena gangguan fungsi imunitas dan defisiensi fungsi fagositosis. Kadar albumin yang rendah menunjukkan kadar nutrisi yang rendah pada pasien hemodialisis dan merupakan prediktor mortalitas yang kuat. Thomson dkk. (2007) menunjukkan bahwa penggunaan kateter hemodialisis, kadar CRP yang tinggi dan kadar albumin yang rendah merupakan faktor resiko infeksi pada pasien dengan kateter hemodialisis dibandingkan dengan arteri-venous fistula. Penelitian ini juga menunjukkan usia tua dan kadar serum albumin yang rendah merupakan faktor resiko kematian pada pasien penyakit ginjal kronis.
14
Choncol (2006) menyatakan bahwa terdapat dua jalur yang mempengaruhi fungsi neutrofil pada pasien penyakit ginjal kronis yaitu defisiensi neutrofil dan disfungsi dari jalur metabolik. Berbagai faktor yang mempengaruhi meliputi zat besi yang berlebih, anemia yang berhubungan dengan penyakit ginjal, peningkatan Cytosolic calcium, kadar ureum yang tinggi, terapi dialisis dan waktu sejak dialisis pertama kali. Penelitian yang dilakukan Ma dkk. (1999) menunjukkan bahwa anemia merupakan salah satu faktor kematian akibat infeksi pada pasien penyakit ginjal kronis. Pada penelitian ini menunjukkan bahwa kadar hematokrit kurang dari 27% dan 27%-30% memiliki peningkatan resiko kematian akibat infeksi sebesar 82% dan 25%. Hematokrit yang rendah berhubungan dengan kondisi inflamasi kronis dan proses infeksi, dimana akan terjadi gangguan respon sumsum tulang terhadap eritropoetin. Kondisi ini berpotensi menyebabkan peningkatan kadar zat besi dan gangguan fagositosis leukosit sehingga resiko infeksi dan kematian akibat infeksi akan meningkat. Zat besi merupakan elemen essensial yang dibutuhkan oleh tubuh. Zat besi dibutuhkan untuk beberapa proses imun. Defisiensi zat besi dapat menyebabkan gangguan imunitas meliputi respon mitogenik limfosit dan fungsi fagositosis leukosit. Selain tubuh, zat besi juga dibutuhkan oleh bakteri. zat besi yang berlebih dapat menyebabkan proliferasi mikroorganisme, dimana zat besi merupakan growth factor pada bakteri secara in vitro (Sunder-Plassmann dkk, 1999) Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kadar zat besi yang berlebih (dinilai dari kadar serum ferritin) merupakan faktor resiko terjadinya infeksi pada pasien
15
penyakit ginjal kronis. Boeleart dkk. (1990) menunjukkan bahwa kadar serum ferritin yang lebih dari 1000 mcg/L memiliki resiko 2,92 kali terjadi bakteremia pada pasien hemodialisis. Sunder-Plassman dkk. (1999) menyatakan bahwa kadar ferritin yang lebih dari 650 mcg/L mengganggu fungsi fagositosis neutrofil. Selain faktor-faktor tersebut, terdapat empat jalur patogenik untuk terjadinya Catheter-Related Bloodstream Infection yaitu 1. Perpindahan flora kulit dari permukaan kulit ke kateter melalui jalur insersi kateter. 2. Kolonisasi bakteri intralumen kateter karena kontaminasi hub kateter. 3. Penyebabaran hematogen ke kateter hemodialisis yang berasal dari fokus infeksi di tempat lain. 4. Kontaminasi intralumen kateter hemodialisis karena cairan dari luar. Cara pertama dan kedua merupakan penyebab terbanyak terjadinya CatheterRelated Bloodstream Infection (gambar 2.2) (Blankestijn 2001; Safdar dan Maki 2004; Trautner dan Darouiche, 2004)
2.5 Diagnosis Fletcher (2005) menyatakan bahwa kecurigaan terjadinya Catheter-Related Bloodstream Infection pada pasien dengan kateter hemodialisis berdasarkan kriteria: 1. Tanda infeksi pada tempat insesri kateter 2. Tanda dan gejala klinis SIRS 3. Resolusi tanda dan gejala klinis SIRS setelah pelepasan kateter 4. Kultur darah positif
16
5. Kultur ujung distal kateter
Gambar 2.2 Patogenesis perpindahan kuman dari kulit ke intralumen dan ekstralumen pada kateter hemodialisis (Saxena dan Panhotra, 2005)
Secara praktis, untuk menegakkan diagnosis CRBSI berdasarkan dari satu atau dua kriteria diatas. Gold standard dalam menegakkan diagnosis Catheter-Related Bloodstream Infection adalah mikroorganisme yang sama antara kultur darah dan kultur ujung distal kateter. Shah dkk. (2013) menyatakan bahwa diperlukan minimal dua buah kultur darah bila curiga adanya infeksi pada kateter. Dua buah kultur darah diambil
17
melalui punksi vena perifer bila ujung distal kateter (5cm) juga dilakukan kultur. Alternatif lain bila ujung distal kateter tidak dikultur adalah satu buah kultur darah yang dipunksi dari vena perifer dan minimal satu buah kultur darah yang diambil dari lumen kateter. Untuk mengurangi kontaminasi kultur darah, kulit dan hub kateter dibersihkan dengan iodine atau alkohol chlorhexidine dan dibiarkan kering sebelum pengambilan spesimen. Hasil kultur darah yang diambil melalui kateter hemodialisis yang positif menunjukkan adanya kolonisasi mikroorganisme atau kontaminasi hub kateter dibandingkan bloodstream infection. Untuk menunjukkan adanya bloodstream infection dari darah yang diambil dari kateter hemodialisis diperlukan metode kultur kuntitatif. Metode ini menyatakan hasil kultur yang positif bila jumlah koloni yang diisolasi dari darah yang diambil melalui kateter hemodialisis minimal lima kali lebih banyak dibandingkan kultur darah perifer (Blankestijn, 2001). Mikroorganisme penyebab terjadinya infeksi akses vaskular umumnya berasal dari kulit. Mikroorganisme Gram positif merupakan penyebab terbanyak CRBSI dan yang paling sering ditemukan adalah Staphylococci (Staphylococcus aureus dan Staphylococci coagulase-negatif). Mikroorganisme Gram negatif yang paling banyak ditemukan adalah enterococci dan bacilli gram-negatif aerob (lihat tabel 2.2). (Gunatilake, 2011; Shah dkk, 2013)
2.6 Pencegahan Tindakan pencegahan terjadinya CRBSI telah banyak berkembang. Dasar strategi pencegahan adalah mencegah terjadinya kolonisasi mikroorganisme pada
18
permukaan luar kateter dan lumen kateter. Tindakan pencegahan dimulai sejak pemasangan kateter hemodialisis, perawatan kateter dan prosedur hemodialisis yang asepsis.
Tabel 2.2 Jenis kuman penyebab catheter-related bloodstream infection (Saxena dan Panhotra, 2005)
Tindakan aseptik dan antiseptik saat pemasangan kateter hemodialisis awalnya menggunakan alkohol 70% atau povidon iodine kemudian berkembang menggunakan chlorhexidine. NKF KDOQI 2006 merekomendasikan penggunaan antibacterial scrub dan air yang diikuti membersihkan kulit menggunakan chlorhexidine 2%-alkohol atau alkohol 70%. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemakaian chlorhexidine 2%-alkohol memberikan tingkat infeksi luka opersi yang lebih rendah dibandingkan povidone iodine. (Gunatilake dkk, 2011)
19
Tempat insersi kateter hemodialisis pada jugular atau subclavian termasuk prosedur pencegahan terjadinya CRBSI. Beberapa penelitian sudah menunjukkan tingginya insiden CRBSI pada kateter hemodialisis yang diinsersi di daerah femoral. Insiden infeksi kateter hemodialisis yang diinsersi di daerah femoral mencapai 7 episode / 1000 hari kateter dibandingkan 5,6 episode / 1000 hari kateter pada vena jugular interna dan 2,7 episode / 1000 hari kateter pada vena subclavia (lihat table 2.1). (Saxena dan Panhotra, 2005) Pemakaian antimikrobial topikal pada tempat insersi kateter hemodialisis memberikan hasil yang cukup memuaskan dalam mengurangi episode infeksi. Gunatilake dkk. (2011) menunjukkan efektifitas penggunaan antimikrobial topikal untuk bakteri Gram positf (mupirocin) dapat mengurangi angka kejadian CatheterRelated Bacteremia. O’Grady dkk. (2011) menyatakan bahwa pemakaian antimikrobial topikal dapat meningkatkan kolonisasi dan infeksi candida karena rendahnya tingkat antijamur pada antimikrobial topikal. Pemakaian antimikrobial lock merupakan salah satu tindakan pencegahan Catheter-Related Bloodstream Infection. Teknik ini menggunakan cairan antimikrobial untuk mengisi lumen kateter selama tidak dipergunakan untuk hemodialisis. Cairan antimikrobial dalam berbagai konsentrasi dipakai sebagai agen tunggal atau dikombinasi dengan cairan antiseptik lain (citrate, taurolidine atau alkohol). Cairan antimikrobial ini selalu dicampur dengan antikoagulant seperti heparin atau EDTA. Cairan antimikrobial yang dapat dipakai meliputi vancomycin, gentamicin, ciprofloxacin, minocycline, amikacin, cefazolin, cefotaxime, dan ceftazidime. (O’Grady dkk, 2011)
20
Dua penelitian meta analisis tentang antimikrobial lock menunjukkan hasil yang lebih baik dalam mencegah terjadinya CRBSI dibandingkan dengan heparin lock (lihat tabel 2.3). Penelitian ini menunjukkan penurunan angka CRBSI dan secara signifikan dapat menurunkan angka pelepasan kateter karena komplikasi. (Labriola dkk, 2008; Yahav dkk, 2008)
Tabel 2.3 Perbandingan pemakaian antimikrobial lock dan heparin lock dalam mencegah terjadinya catheter-related bacteremia (Labriola dkk, 2008)
Beberapa penelitian menunjukkan antimokrobial lock terbukti menurunkan jumlah kolonisasi mikroorganisme pada lumen kateter sehingga mengurangi episode bakteremia. Dosis Antimikrobial yang diperlukan untuk antimikrobial lock (10mg/ml cefazolin, ceftazidime dan vancomycin; dan 5mg/ml gentamycin) lebih rendah dibandingkan dosis sitemik untuk mencegah terjadinya kolonisasi mikroorganisme selama periode inter dialisis (48-72 jam). Secara teoritis,
21
antimikrobial lock memiliki keuntungan yang banyak dibandingkan pemberian antimikrobial sistemik yaitu konsentrasi antimikrobial yang lebih tinggi pada sumber infeksi, efek samping antimikrobial yang lebih rendah, resiko minimal terjadinya resistensi obat dan mudah dikerjakan untuk pasien rawat jalan. (Saxena dan Panhotra, 2005) Beberapa penelitian menggunakan gentamicin sebagai antimikrobial lock menunjukkan efektifitas yang tinggi dalam mencegah CRBSI dibandingkan heparin lock. Dosis gentamicin yang dipakai bervariasi mulai dari 4mg/ml sampai 40mg/ml dan semua menunjukkan efektifitas yang sama. (Yahav dkk, 2008; Labriola dkk, 2008).