BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Likuiditas
2.1.1
Pengertian Likuiditas Munawir (2002;31) mengemukakan definisi likuiditas sebagai berikut: “Likuiditas adalah menunjukan kemampuan suatu perusahaan untuk memenuhi kewajiban keuangannya yang harus segera dipenuhi, atau kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban keuangan pada saat ditagih.”
Sedangkan menurut Syamsuddin (2000;41), dalam bukunya berpendapat bahwa: “Likuiditas merupakan suatu indikator mengenai kemampuan perusahaan untuk membayar semua kewajiban finansial jangka pendek pada saat jatuh tempo dengan menggunakan aktiva lancar yang tersedia.”
Sementara menurut Riyanto (2001;25), mengemukakan bahwa: “Masalah likuiditas adalah berhubungan dengan masalah kemampuan suatu perusahaan untuk memenuhi kewajiban finansiilnya yang harus segera dipenuhi.”
Berdasarkan beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa pengertian likuiditas adalah kemampuan suatu perusahaan untuk memenuhi atau membayar kewajiban keuangan jangka pendeknya yang harus sesegera mungkin dipenuhi. Likuiditas juga menjadi salah satu faktor yang menentukan sukses atau kegagalan perusahaan. Penyediaan kebutuhan uang tunai dan sumber-sumber untuk memenuhi kebutuhan tersebut ikut menentukan sampai seberapakah perusahaan itu menanggung risiko.
2.1.2
Faktor-faktor yang Menentukan Likuiditas
Menurut Riyanto (2001;32), faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam menentukan likuiditas dapat dibagi dalam tiga bagian sebagai berikut: a. Besarnya investasi pada harta tetap dibandingkan dengan seluruh dana jangka penjang Pemakaian dana untuk pembelian harta tetap adalah salah satu sebab utama dari keadaan tidak likuid. Jikalau makin banyak dana perusahaan yang dipergunakan untuk harta tetap, maka
sisanya untuk membiayai kebutuhan jangka pendek tinggal sedikit. Oleh karena itu rasio likuiditas menurun. Kemerosotan tersebut hanya dapat dicegah dengan menambah dana jangka panjang untuk menutup kebutuhan harta tetap yang meningkat. b. Volume kegiatan perusahaan Peningkatan volume kegiatan perusahaan akan menambah kebutuhan dana untuk membiayai harta lancar. Sebagian dari kebutuhan tersebut sudah dipenuhi dengan meningkatkan hutanghutang, tetapi jika hal-hal lain tetap, investasi dana jangka panjang untuk membiayai tambahan kebutuhan modal kerja sangat diperlukan agar rasio dapat dipertahankan. c. Pengendalian harta lancar Apabila pengendalian yang kurang baik terhadap besarnya investasi dalam persediaan dan piutang menyebabkan adanya investasi yang melebihi daripada yang seharusnnya, maka sekali lagi rasio akan turun dengan tajam, kecuali disediakan lebih banyak dana jangka panjang. Kesimpulannya ialah bahwa perbaikan dalam pengendalian investasi semacam itu akan dapat memperbaiki rasio likuiditas.
Dari pendapat Riyanto diatas dapat diambil kesimpulan bahwa faktor-faktor seperti jumlah investasi pada harta tetap, volume kegiatan, dan pengendalian harta lancar bisa mempengaruhi tingkat likuiditas, pemakaian dana yang tidak terkontrol pada harta tetap dan harta lancar mempengaruhi likuiditas karena dana yang tersisa untuk pembiayaan jangka pendek tinggal sedikit. Peningkatan volume penjualan pun mempengaruhi tingkat likuiditas, karena dengan meningkatnya volume penjualan, ketersediaan dana untuk membiayai kewajiban jangka pendek pun meningkat.
2.1.3
Pengukuran Tingkat Likuiditas
Untuk dapat mengukur tingkat likuiditas suatu perusahaan dipergunakan analisis rasio likuiditas. Menurut Brigham & Houston (2007;103) mengemukakan bahwa: “Rasio likuiditas adalah rasio yang menunjukan hubungan antara kas dan aktiva lancar lainnya dari sebuah perusahaan dengan kewajiban lancarnya.” Selain itu Hanafi dan Halim (2005;79) mengemukakan definisi rasio likuiditas sebagai berikut: “Rasio likuiditas mengukur kemampuan likuiditas jangka pendek perusahaan dengan melihat aktiva lancar perusahaan relatif terhadap hutang lancarnya (hutang dalam hal ini merupakan
kewajiban perusahaan).” Dari beberapa uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa rasio likuiditas menggambarkan kemampuan
perusahaan
untuk
menyelesaikan
kewajiban
jangka
pendeknya
dengan
cara
membandingakan keadaan aktiva lancar perusahaan dengan keadaan hutang lancarnya (kewajiban jangka pendek).
Untuk menilai posisi keuangan jangka pendek bank (likuiditas perbankan) berikut ini diberikan beberapa rasio yang dapat digunakan sebagai alat untuk menganalisa dan menginterpretasikan data tersebut. 1. Cash Ratio Cash Ratio (CR) digunakan untuk mengukur kemampuan bank dalam membayar kembali simpanan nasabah pada saat ditarik dengan menggunakan alat-alat likuid yang dimilikinya.
CR =
Liquid Assets x 100% Short Term Borrowing
Alat likuid adalah uang kas di bank dan rekening giro yang disimpan di Bank Sentral (Bank Indonesia). 2. Reserve Requirement Reserve Requiremenet (RR) merupakan ketentuan bagi setiap bank umum untuk menyisihkan sebagian dari dana pihak ketiga yang berhasil dihimpunnya dalam bentuk giro wajib minimum yang berupa rekening giro bank yang bersangkutan pada Bank Sentral. Besarnya RR telah mengalami perubahan dari 2%, 3% dan terakhir sejak tahun 1997 sebesar 5%. Komponen dana pihak ketiga terdiri dari: •
Giro
•
Deposoto berjangka
•
Sertifikat deposito
•
Tabungan
•
Kewajiban jangka panjang lainnya
3. Loan To Asset Ratio (LAR) LAR merupakan kemampuan bank untuk memenuhi permintaan kredit dengan menggunakan total asset yang dimilikinya.
LAR =
Total Loans x 100% Total Assets
Semakin tinggi rasio ini maka tingkat likuiditasnya rendah karena jumlah aset yang diperlukan untuk membiayai kreditnya semakin besar. 4. Rasio Kewajiban Bersih Call Money (NCM) Persentase dari rasio ini menunjukan besarnya kewajiban bersih call money terhadap aktiva lancar atau aktiva yang paling likuid dari bank.
NCM =
Net Call Money x 100% Current Assets
Aktiva Lancar yaitu uang kas, giro di Bank Sentral (Bank Indonesia), Sertifikat BI, SBPU. Semakin kecil rasio ini, maka likuiditas bank ini semakin baik karena bank dapat menutup kewajiban antar bank dengan alat likuid yang dimilikinya. 5. Quick Ratio Rasio untuk mengukur kemampuan bank dalam memenuhi kewajibannya terhadap para deposan (pemilik simpanan giro, tabungan dan deposito) dengan harta yang paling likuid yang dimiliki oleh suatu bank.
Quick Ratio =
Cash Assets x 100% Total Deposit
6. Investing Policy Ratio Rasio yang mengukur kemampuan bank dalam melunasi kewajibannya kepada para deposannya dengan cara melikuidasi surat-surat berharga yang dimilikinya.
Investment Risk Ratio =
Market Value of Securities x 100% Statement Value of Securities
7. Banking Ratio Rasio yang mengukur tingkat likuiditas bank dengan membandingkan jumlah kredit yang disalurkan dengan jumlah deposit yang dimiliki. Semakin tinggi rasio ini, maka tingkat likuisitasnya semakin rendah, karena jumlah dana yang digunakan untuk membiayai kredit semakin kecil demikian pula sebaliknya.
Banking Ratio =
Total Loans x 100% Total Deposit
8. Investment Risk Ratio Rasio untuk mengukur risiko yang terjadi dalam investasi surat-surat berharga yaitu dengan membandingkan harga pasar surat berharga dengan harga nominalnya.
Investment Risk Ratio =
Market Value of Securities x 100% Statement Value of Securities
9. Liquidity Risk Rasio untuk mengukur risiko yang akan dihadapi bank apabila gagal untuk memenuhi kewajiban terhadap para deposannya dengan harta likuid yang dimilikinya.
LiquidityRisk =
Liquid Assets − Short Term Borrowing x 100% Total Deposit
10. Credit Risk Ratio Rasio untuk mengukur risiko terhadap kredit yang disalurkan dengan membandingkan kredit macet dengan jumlah kredit yang disalurkan.
Credit Risk Ratio =
Bad Debts x 100% Total Loans
11. Deposit Risk Ratio Rasio untuk mengukur risiko kegagalan bank dalam membayar kembali deposannya.
Deposit Risk Ratio =
Equity Capital x 100% Total Deposit
12. Loan to Deposit Ratio Loan to Deposit Ratio (LDR) merupakan perbandingan antara kredit yang akan diberikan dengan dana pihak ketiga, termasuk pinjaman yang diterima, tidak termasuk pinjaman subordinasi. Rasio ini menggambarkan kemampuan bank membayar kembali penarikan yang dilakukan nasabah deposan dengan mengandalkan kredit yang diberikan sebagai sumber likuiditas bank.
LDR =
Total Loans x 100% Total Deposit + Equity
“Loan to Deposit Ratio (LDR) adalah ratio antara kredit yang diberikan bank dengan dana bank”. (Z.Dunil, 2004;80). Batas aman LDR suatu bank secara umum adalah sekitar 90100, sedangkan menurut ketentuan Bank Sentral batas aman LDR suatu bank adalah 85%110%. LDR dapat pula digunakan untuk menilai strategi manajemen suatu bank. Manajemen bank yang konservatif biasanya cenderung memliki LDR yang relatif rendah. Sebaliknya bank yang agresif memiliki LDR yang tinggi atau melebihi batas tolenransi. (Simorangkir,2000;145). LDR digunakan untuk menilai likuiditas suatu bank dengan cara membagi jumlah kredit yang diberikan oleh bank terhadap dana pihak ketiga. Semakin rendah rasio ini, semakin rendahnya kemampuan likuiditas bank yang bersangkutan sehingga kemungkinan suatu bank dalam kondisi bermasalah akan semakin besar. Kredit yang diberikan tidak termasuk kredit kepada bank lain sedangkan untuk dana pihak ketiga adalah giro, tabungan, simpanan berjangka, sertifikat deposito.
2.2
Kinerja Terdapat beberapa pengertian kinerja yang dapat dikemukakan diantaranya adalah: Kinerja menurut Kamus Besar Indonesia (2005;598) adalah: “Sesuatu yang dicapai/prestasi yang diperlihatkan/kemampuan kerja.”
Kinerja menurut Kamus Istilah Akuntansi (2002;215): “Suatu istilah umum yang digunakan untuk sebagian atau seluruh tindakan atau aktivitas dari suatu organisasi pada suatu periode, sering dengan referensi pada sejumlah standar seperti biaya-biaya masa lalu atau yang diproyeksikan, suatu dasar efisiensi, pertanggungjawaban atau akuntabilitas manajemen, dan semacamnya.”
Kinerja menurut Indra Bastian (2001;392) “Gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan/program/kebijaksanaan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi dan visi organisasi yang tertuang dalam perumusan skema strategis (strategic planning) suatu organisasi.” Dengan demikian menurut beberapa pendapat diatas kinerja merupakan hasil atau prestasi yang dicapai dalam melaksanakan suatu tindakan tertentu. Keberhasilan suatu perusahaan dalam mencapai tujuan dan memenuhi kebutuhan masyarakat sangat tergantung dari kinerja perusahaan dan manajemen dalam melakukan tanggungjawabnya.
2.2.1
Tujuan dan Manfaat Penilaian Kinerja Menurut Mulyadi (2001;415) penilaian kinerja adalah: “Penilaian kinerja adalah penentuan secara periodik efektivitas operasional suatu operasional suatu organisasi dan karyawannya berdaarkan sasaran, standar dan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya.” Menurut Veithzal Rivai (2005;392) tujuan penilaian kinerja adalah: 1.
Meningkatkan kinerja
2.
Menetapkan tujuan organisasi
3.
Mengidentifikasi pelatihan dan kebutuhan pengembangan
4.
Kriteria studi validasi
5.
Perencanaan sumber daya manusia
Menurut Mulyadi dan Setiawan Johni (2001;353) menyebutkan manfaat pengukuran kinerja adalah: 1.
Mengelola operasi organisasi secara efektif dan efisien melalui pemotifasian karyawan secara maksimum.
2.
Membantu pengambilan keputusan yang bersangkutan dengan karyawan seperti promosi, transfer, dan pemberhentian.
3.
Mengidentifikasi kebutuhan pelatihan dan pengembangan karyawan dan untuk menyediakan kriteria seleksi dan evaluasi program pelatihan karyawan.
4.
Menyediakan umpan balik bagi karyawan mengenai bagaimana atasan mereka menilai kinerja mereka.
5.
Menyediakan suatu dasar bagi distribusi penghargaan.
Menurut Siswanto Sutojo (2000;54) mengatakan bahwa keberhasilan perusahaan dapat diukur dari 3 macam kinerja bisnis, yaitu: a.
Tingkat keberhasilan memperoleh keuntungan (profitabilitas).
b.
Kemampuan menyusun struktur pendanaan, yaitu perbandingan antara jumlah hutang dan modal sendiri secara efisien (solvabilitas).
c.
Kemampuan perusahaan melunasi hutang yang telah jatuh tempo (likuiditas).
Dengan adanya kinerja perusahaan yang baik, ini dapat mencerminkan bahwa perusahaan itu beroperasi secara baik dan benar, dan dengan adanya pengukuran kinerja maka itu dapat membantu para investor dalam menentukan perusahaan mana yang benar-benar baik. 2.2.2
Alat Ukur Penilaian Kinerja Dalam penelitian ini penulis menggunakan profitabilitas dalam mengukur kinerja perusahaan.
2.2.2.1 Profitabilitas 2.2.2.2 Pengertian Profitabilitas Profit merupakan hasil dari kebijakan manajeman. Oleh karena itu, kinerja perusahaan dapat diukur dengan profit. Kemampuan perusahaan untuk menghasilkan profit disebut profitabilitas. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Gibson (2000;285), bahwa: “Profitability is the ability of the firm to generate earning.” Menurut Brigham dan Houston (2001;89) mengatakan bahwa: “Profitabilitas adalah serangkaian hasil bersih dari serangkaian kebijakan dan keputusan.” Untuk menilai profitabilitas suatu perusahaan dengan menggunakan berbagai alat analisis, tergantung dari tujuan analisisnya. Analisis profitabilitas memberikan bukti pendukung mengenai kemampuan perusahaan untuk memperoleh laba dan sejauh mana efektivitas pengelolaan perusahaan. Alat-alat analisis yang sering digunakan untuk analisis profitabilitas adalah rasio profitabilitas.
2.2.2.3 Rasio-rasio Profitabilitas Laba bersih (net income) merupakan ukuran pokok keseluruhan keberhasilan perusahaan. Laba mempengaruhi kemampuan perusahaan untuk mendapat pinjaman dan pendanaan ekuitas, posisi likuiditas perusahaan dan kemampuan perusahaan berubah. Jumlah laba bersih kerap dibandingkan dengan ukuran kegiatan atau kondisi finansial lainnya. Untuk menilai kinerja sebagai suatu persentase
dari beberapa tingkat aktivitas investasi. Perbandingan ini disebut rasio profitabilitas. Profitabilitas sering dipakai sebagai tes akhir efektivitas operasi manajemen. Tujuan profitabilitas berkaitan dengan kemampuan perusahaan untuk meraup laba yang memuaskan, sehingga pemodal dan pemegang saham akan meneruskan untuk menyediakan modal bagi perusahaan. Likuiditas perusahaan sangat terkait dengan profitabilitasnya, karena pendapatan pada akhirnya akan menghasilkan arus kas. Karena itulah, maka pengevaluasian profitabilitas adalah penting bagi pemodal maupun kreditor. Rasio profitabilitas dapat memberikan informasi mengenai kinerja keuangan perusahaan. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Sutrisno (2001;259) adalah: “Rasio keuntungan atau profitability ratio merupakan rasio yang digunakan untuk membayar efektivitas perusahaan dalam mendapatkan keuntungan.” Adapun jenis-jenis rasio profitabilitas menurut Ridwan dan Barlian (2002;121) adalah sebagai berikut: 1. Marjin Laba Kotor (Gross Profit Margin) Marjin laba kotor adalah persentase dari setiap hasil sisa penjualan sesudah perusahaan membayar harga pokok penjualan. Semakin tinggi marjin laba kotor, maka semakin baik dan secara relatif semakin rendah harga pokok barang yang dijual.
Gross Profit Margin =
Sales - COGS Gross Profit = Sales Sales
2. Marjin Laba Operasi (Operating Profit Marjin) Marjin Laba operasi adalah ukuran persentase dari setiap hasil sisa penjualan sesudah semua biaya dan pengeluaran lain dikurangi, kecuali bunga dan pajak, atau laba bersih yang dihasilkan dari setiap rupiah penjualan. Marjin laba operasi mengukur laba yang dihasilkan murni dari operasi perusahaan tanpa melihat beban keuangan (bunga) dari beban pemerintah (pajak).
Operating Profit =
Operating Profit Sales
3. Marjin Laba Bersih (Net Profit Margin) Marjin laba bersih adalah ukuran persentase dari setiap hasil sisa penjualan sesudah dikurangi semua biaya dan pengeluaran termasuk bunga dan pajak.
Net Profit Margin =
Earning After Tax Sales
4. Hasil Atas Total Aset (Return on Total Assets) Hasil atas total aset adalah ukuran keseluruhan keefektifan manajemen dalam menghasilkan laba dengan aktiva yang tersedia, disebut juga hasil atas investasi.
Earning After Tax Total Assets
Return on Total Assets =
5. Rasio Atas Ekuitas (Return on Equity) Hasil atas ekuitas adalah ukuran pengembalian yang diperoleh pemilik (baik pemegang saham biasa dan saham istimewa) atas investasi di perusahaan. Semakin tinggi semakin baik.
Return on Equity =
Earning After Tax Stockholde rs Equity
2.2.2.4 Analisis Rasio Profitabilitas Ukuran dari rasio profitabilitas dapat dilihat dari laporan kinerja, adapun rasio yang digunakan untuk mengukur profitabilitas dalam penelitian ini seperti yang dikemukakan oleh Brigham & Houston (2007;114) sebagai berikut:
Return on Total Assets =
Net Income x 100% Total Assets
Rasio tersebut mengukur kemampuan manajemen dalam menggunakan asset untuk menghasilkan laba bersih. Rasio ini juga dapat digunakan untuk menunjukan return yang diterima oleh pemilik modal dimana untuk mengukur return ini adalah laba bersih sebelum pajak dibagi total aktiva.
2.3
BANK Bank bisa dikatakan sebagai urat nadi perekonomian suatu negara, terlebih-lebih di era modern
ini peranan perbankan dalam memajukan perekonomian negara sangatlah penting. Boleh dikatakan hampir semua sektor berhubungan dengan berbagai kegiatan keuangan selalu membutuhkan jasa bank. Oleh karena itu, kemajuan suatu bank disuatu negara dapat pula dijadikan tolak ukur kemajuan negara yang bersangkutan. Makin maju suatu negara, makin besar pula peranan perbankan dalam membangun negara tersebut. Dengan demikian keberadaan dunia perbankan makin dibutuhkan oleh pemerintah dan
masyarakat. Pada umumnya masyarakat memahami bank hanya sebatas tempat untuk meminjam dan menyimpan uang. Bahkan tidak sedikit masyarakat yang betul-betul belum mengetahui seluk beluk bank secara utuh, sehingga pandangan tentang bank sering diartikan keliru. Berbagai definisi mengenai bank telah dikemukakan oleh para ahli. Berikut ini dikemukakan beberapa pengertian bank: Definisi Bank menurut UU Perbankan No.10 tahun 1998: “Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup orang banyak”. Sedangkan dalam PSAK No.31 mengenai Akuntansi Perbankan disebutkan bahwa sebagai berikut: “Bank adalah lembaga yang berperan sebagai perantara keuangan (financial intermediary) antara pihak-pihak yang mempunyai kelebihan dana (surflus unit) dengan pihak-pihak yang memerlukan dana (deficit unit) serta lembaga yang berfungsi memperlancar lalu lintas pembayaran”. Dari beberapa pengertian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa pada dasarnya bank merupakan suatu lembaga keuangan yang mempunyai fungsi sebagai mediator atau perantara bagi peredaran lalu lintas uang, yaitu dalam bentuk simpanan dan kemudian mengelola dana tersebut dengan jalan meminjamkannya kepada masyarakat yang memerlukan dana.
2.3.1
Fungsi Bank Secara umum, fungsi utama bank adalah menghimpun dana dari masyarakat dan
menyalurkannya kembali kepada masyarakat yang membutuhkan untuk berbagai tujuan atau sebagai fiinancial intermediary. Menurut Totok Budi Santoso dan Sigit Triandaru (2006;9), secara lebih spesifik bank dapat berfungsi sebagai: a.
Agent of trust Dasar Utama kegiatan perbankan adalah kepercayaan (trust), baik dalam hal penghimpunan dana maupun dalam penyaluran dana. Masyarakat akan mau menitipkan dananya di bank apabila dilandasi oleh adanya unsur kepercayaan. Masyarakat percaya sepenuhnya bahwa uangnya tidak disalahgunakan oleh pihak bank, uangnya yakin akan dikelola dengan baik, bank tidak akan bangkrut, dan pada saat yang telah dijanjikan simpanan tersebut dapat ditarik
kembali dari bank. Begitu pula pihak bank sendiri akan mau menempatkan atau menyalurkan dananya pada debitor atau masyarakat apabila dilandasi oleh adanya unsur kepercayaan. Pihak bank berharap atau percaya bahwa debitor tidak akan menyalahgunakan pinjamannya, debitor akan mengelola dana pinjaman dengan baik, debitor akan mempunyai kemampuan untuk membayar pada saat jatuh tempo, dan debitor mempunyai niat baik untuk mengembalikan pinjaman beserta kewajiban lainnya pada saat jatuh tempo. b.
Agent of development Kegiatan perekonomian masyarakat di sektor moneter dan sektor riil tidak dapat dipisahkan. Kedua sektor tersebut selalu berinteraksi dan saling mempengaruhi satu sama lain. Sektor riil tidak dapat bekerja dengan baik apabila sektor moneter tidak dapat bekerja dengan baik. Kegiatan bank berupa penghimpunan dan penyaluran dana sangat diperlukan bagi lancarnya kegiatan perekonomian di sektor riil. Kegiatan bank tersebut memungkinkan masyarakat melakukan kegiatan investasi, kegiatan distribusi, serta kegiatan konsumsi barang dan jasa, dimana kegiatan investasi-distribusi-konsumsi ini tidak lain merupakan kegiatan pembangunan perekonomian masyarakat.
c.
Agent of service Selain melakukan kegiatan penghimpunan dan penyaluran dana, bank juga memberikan penawaran jasa perbankan yang lain kepada masyarakat. Jasa yang ditawarkan bank ini sudah tentu erat kaitannya dengan kegiatan perekonomian masyarakat secara umum. Jasa ini antara lain dapat berupa jasa pengiriman uang, penitipan barang berharga, pemberian jaminan bank, dan penyelesaian tagihan. Ketiga fungsi bank tersebut diharapkan dapat memberikan gambaran yang lengkap dan
menyeluruh mengenai fungsi bank dalam perekonomian, sehingga bank tidak hanya dapat diartikan sebagai suatu lembaga perantara keuangan saja (financial intermediary institution). 2.3.2 Jenis Bank Jenis bank yang dikemukakan oleh Kasmir (2002;19) ditinjau dari berbagai segi, antara lain: 1.
Dilihat dari Segi Fungsinya Berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia No.10 Tahun 1998, jenis perbankan
berdasarkan fungsinya terdiri dari: a.
Bank Umum Bank umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu
lintas pembayaran. Sifat jasa yang diberikan adalah umum, dalam arti dapat memberikan seluruh jasa perbankan yang ada. Begitu pula dengan wilayah operasinya dapat dilakukan di seluruh wilayah Indonesia, bahkan keluar negeri (cabang). Bank umum sering disebut Bank Komersil (Commercial Bank). b.
Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Bank Perkreditan Rakyat (BPR) adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah. Dalam kegiatannya, BPR tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Artinya jasa-jasa perbankan yang ditawarkan BPR jauh lebih sempit jika dibandingkan dengan kegiatan atau jasa bank umum.
2.
Dilihat dari Segi Kepemilikannya Jenis bank dilihat dari segi kepemilikannya adalah: a.
Bank Milik Pemerintah Merupakan Bank yang akte pendirian maupun modal bank ini sepenuhnya dimiliki oleh Pemerintah Indonesia, sehingga seluruh keuntungan bank ini dimiliki oleh pemerintah pula.
b.
Bank Milik Swasta Nasional Merupakan bank yang seluruh atau sebagian besar sahamnya dimiliki oleh swasta nasional. Akte pendiriannya pun didirikan oleh swasta, begitu pula dengan pembagian keuntungannya merupakan keuntungan swasta pula.
c.
Bank Milik Koperasi Merupakan bank yang kepemilikan saham-sahamnya dimiliki oleh perusahaan yang berbadan hukum koperasi.
d.
Bank Milik Asing Bank jenis ini merupakan cabang dari bank yang ada di luar negeri, bank milik swasta asing atau pemerintah asing. Kepemilikannya pun jelas dimiliki oleh pihak asing. (luar negeri).
e.
Bank Milik Campuran Kepemilikan saham bank campuran ini adalah pihak asing dan pihak swasta nasional. Akan tetapi kepemilikan sahamnya secara mayoritas dipegang oleh Warga Negara Indonesia.
3.
Dilihat dari Segi Status Jenis bank dilihat dari segi status adalah:
a.
Bank Devisa Merupakan bank yang dapat melaksanakan transaksi keluar negeri atau yang berhubungan dengan mata uang asing secara keseluruhan, misalnya transfer keluar negeri, travelers cheque, pembukuan dan pembayaran Letter of Credit dan transaksi lainnya. Persyaratan untuk menjadi bank devisa ini ditentukan oleh Bank Indonesia.
b.
Bank non Devisa Merupakan bank yang belum mempunyai izin untuk melaksanakan transaksi sebagai bank devisa, sehingga tidak dapat melaksanakan transaksi sepenuhnya seperti halnya bank devisa. Jadi bank non devisa ini merupakan kebalikan dari bank devisa, dimana transaksi yang dilakukan masih dalam batas-batas negara.
4.
Dilihat dari Segi Cara Menentukan Harga Jenis bank dilihat dari segi atau cara menentukan harga, baik harga jual maupun harga beli
terbagi dalam 2 kelompok, yaitu: a.
Bank yang berdasarkan Prinsip Konvensional (Barat) Mayoritas bank yang berkembang di Indonesia dewasa ini adalah bank yang berorientasi pada prinsip konvensional. Hal ini tidak terlepas dari sejarah bangsa Indonesia dimana asal mula Bank Indonesia adalah produk kolonial Belanda. Dalam mencari keuntungan dan menentukan harga kepada nasabahnya, bank yang berdasarkan prinsip konvensional menggunakan dua metode, yaitu: 1)
Menetapkan bunga sebagai harga, untuk produk simpanan seperti giro, tabungan maupun deposito. Demkian pula harga untuk produk pinjaman (kredit) juga ditentukan berdasarkan tingkat suku bunga tertentu. Penentuan harga ini dikenal dengan istilah spread based.
2)
Untuk jasa-jasa bank lainnya, pihak perbankan konvensional (barat) menggunakan atau menerapkan berbagai biaya-biaya dalam nominal atau persentase tertentu. Sistem pengenaan biaya ini dikenal dengan istilah fee based.
b.
Bank yang berdasarkan Prinsip Syariah (Islam) Bagi bank yang berdasarkan prinsip syariah, dalam penentuan harga produknya sangat berbeda dengan bank yang berdasarkan prinsip konvensional. Prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dengan pihak lain untuk menyimpan dana atau pembiayaan usaha atau kegiatan perbankan lainnya. Sumber penentuan harga atau pelaksanaan kegiatan bank prinsip syariah dasar hukumnya adalah Al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Bank prinsip syariah mengharamkan penggunaan harga
produknya dengan bunga tertentu. Bagi bank yang berdasarkan prinsip syariah bunga diartikan sebagai riba. 2.3.3
Usaha Bank Umum Menurut pasal 6 UU No.7 tahun 1992 tentang perbankan yang diperbaharui dengan UU No.10
tahun 1998, usaha bank meliputi: 1.
Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa giro, deposito berjangka, tabungan, dan bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu.
2.
Memberikan kredit.
3.
Menerbitkan surat pengakuan hutang.
4.
Membeli, dan menjual, atau menjamin atas risiko sendiri maupun untuk kepentingan dan atas, perintah nasabahnya: a.
Surat-surat wesel termasuk wesel yang diakseptasi oleh bank yang masa berlakunya tidak lebih lama daripada kebiasaan dalam perdagangan surat-surat yang dimaksud,
b.
Surat pengakuan hutang dan kertas dagang lainnya yang masa berlakunya tidak lebih dari kebiasaan dalam perdagangan surat-surat dimaksud,
c.
Kertas perbendaharaan negara dan surat jaminan pemerintah,
d.
Sertifikat Bank Indonesia
e.
Obligasi
f.
Surat dagang berjangka waktu sampai dengan satu tahun,
g.
Instrumen surat berharga lain yang berjangka waktu sampai dengan satu tahun.
5.
Memindahkan uang baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan nasabah.
6.
Menempatkan dana pada, meminjam dana dari, atau meminjamkan dana kepada bank lain, bank dengan menggunakan surat, sarana telekomunikasi, maupun dengan wesel tunjuk, cek, atau sarana lainnya.
7.
Menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan perhitungan dengan atau antar pihak ketiga.
8.
Menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga.
9.
Melakukan kegiatan penitipan untuk kepentingan bank lainnya berdasarkan usaha kontrak.
10.
Melakukan penempatan dana dari nasabah kepada nasabah lainnya dalam bentuk surat berharga.
11.
Melakukan kegiatan anjak piutang usaha kredit.
12.
Melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan oleh bank sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-undang yang berlaku.
Kemudian dalam pasal 7 UU perbankan no.10 tahun 1998 dijelaskan bahwa selain usaha yang dilakukan di atas, bank dapat melakukan kegiatan lain, kegiatan tersebut adalah sebagai berikut: 1.
Melakukan kegiatan dalam valuta asing dengan memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
2.
Melakukan kegiatan penyertaan modal pada bank/perusahaan lain di bidang keuangan seperti sewa guna usaha, modal ventura, perusahaan efek/saham, lembaga kliring yang memenuhi ketentuan dari Bank Indonesia.
3.
Melakukan kegiatan penyertaan sementara untuk mengatasi kegagalan kredit dengan syarat harus menarik kembali penyertaannya, dengan memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
4.
Bertindak sebagai pendiri dana pensiun dan pengurus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dana pensiun yang berlaku.
2.3.4
Karakteristik Usaha Perbankan Perbankan merupakan suatu industri yang berbeda dengan industri lainnya, yang dalam hal ini
memiliki karakteristik tersendiri. Dalam PSAK No.31 mengenai Akuntansi Perbankan sebagai berikut: 1.
Bank adalah suatu lembaga yang berperan sebagai perantara keuangan (financial intermediary) antara pihak-pihak yang memiliki kelebihan dana (surflus unit) dengan pihak-pihak yang memerlukan dana (deficit unit), serta sebagai lembaga yang berfungsi memperlancar lalu lintas pembayaran. Falsafah yang mendasari kegiatan usaha perbankan adalah kepercayaan masyarakat. Hal ini tampak dari kegiatan pokok bank y yang menerima simpanan dari masyarakat yang kelebihan dana dalam bentuk giro, tabungan, serta deposito berjangka dan memberikan kredit kepada pihak yang memerlukan dana. Dalam penerimaan simpanan masyarakat, bank hanya memberikan t ertulis yang menjelaskan bahwa bank telah menerima simpanan dalam jumlah dan untuk jangka waktu tertentu. Bank ini juga tidak selalu meminta agunan berupa barang sebagai jaminan atas kredit yang diberikan kepada debiturnya yang telah memiliki reputasi yang baik. Disamping itu, sebagai lembaga kepercayaan, bank dalam operasinya lebih banyak menggunakan dana masyarakat dibandingkan dengan modal dari pemilik atau pemegang
saham. 2.
Bank merupakan industri yang dalam kegiatan usahanya mengandalkan kepercayaan masyarakat sehingga tingkat kesehatan bank harus dipelihara. Pemeliharaan kesehatan bank antara lain dilakukan dengan cara tetap menjaga likuiditasnya sehingga bank dapat memenuhi kewajiban kepada semua pihak yang menarik atau mencairkan simpanannya sewaktu-waktu. Kesiapan memenuhi kewajiban setiap itu, menjadi semakin penting artinya mengingat peranan bank sebagai lembaga yang berfungsi memperlancar lalu lintas pembayaran. Disamping faktor likuiditas, keberhasilan usaha bank juga ditentukan oleh kesanggupan para pengelola dalam menjaga rahasia keuangan nasabah yang dipercayakan kepadanya serta keamanan atas uang atau asset lainnya yang dititipkan kepada bank.
3.
Pengelola bank dalam melaksanakan usahanya dituntut untuk senantiasa menjaga keseimbangan antara pemeliharaan likuiditas yang cukup dengan pencapaian profitabilitas yang wajar serta pemenuhan kebutuhan modal yang memadai sesuai dengan jenis penanamannya. Hak tersebut diperlukan karena operasinya bank selain melakukan penanaman dalam aktiva produktif seperti kredit dan surat-surat berharga, juga memberikan komitmen dan jasa-jasa lain yang digolongkan sebagai “fee based operation” atau “off balanced sheet activities”. Di samping itu, pengelola bank dalam pelaksanaan tugasnya senantiasa dihadapkan pada berbagai kemungkinan yang harus diperhitungkan, perlu diperhitungkan pula masalah perpencaran (spreading) dari simpanan masyarakat, komitmen kredit yang masih berjalan serta kondisi eksternal yang mempengaruhinya.
4.
Bank sebagai lembaga kepercayaan masyarakat dan bagian dari sistem moneter mempunyai kedudukan yang strategis sebagai penunjang pembangunan ekonomi. Oleh karena itu, pemerintah telah menetapkan persyaratan ketentuan operasional yang berdasarkan prinsip kehati-hatian dalam melakukan kegiatan usaha bank. Kesemuanya itu dimaksudkan agar bank dapat memelihara kepercayaan masyarakat serta menunjang pemeliharaan stabilitas moneter.
2.3.5
Tingkat Kesehatan Bank Tingkat kesehatan suatu bank merupakan kepentingan semua pihak yang terkait, baik pemilik
maupun pengelola bank, masyarakat pengguna jasa bank maupun Bank Indonesia selaku pembina dan pengawas bank sesuai Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.26/23/KEP/DIR yang dikeluarkan
tanggal 29 Mei 1993 telah ditetapkan tata cara penilaian tingkat kesehatan bank. Tata cara penilaian yang dimaksud adalah CAMEL (Capital, Asset, Management, Equity, Liquidity). Ketentuan tingkat kesehatan bank dimaksudkan untuk dapat digunakan sebagai: 1.
Tolok ukur bagi manajemen bank untuk menilai apakah pengelolaan bank telah dilakukan sejalan dengan asas-asas perbankan yang sehat dan sesuai dengan ketentuanketentuan yang berlaku.
2.
Tolok ukur menetapkan arah pembinaan dan pengembangan bank baik secara individual maupun secara keseluruhan.
Tingkat kesehatan bank pada dasarnya dinilai dengan pendekatan kualitas atas berbagai aspek yang berpengaruh terhadap kondisi dan perkembangan suatu bank. Pendekatan kualitatif tersebut dilakukan dengan menilai faktor-faktor penilaian tingkat kesehatan bank yang meliputi permodalan, kualitas aktiva produktif, manajemen, rentabilitas, dan likuiditas. Faktor-faktor yang dinilai ini berkaitan dan saling mempengaruhi antara satu dengan yang lainnya. 2.3.6
Penilaian Permodalan Penilaian terhadap permodalan didasarkan pada kewajiban penyediaan modal minimum bank
sebagaimana ditetapkan dalam Surat Edaran Bank Indonesia No.26/1/BPP tanggal 29 Mei 1993 perihal Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) bank umum, cara penilaiannya adalah: 1.
Untuk rasio modal 0% atau negative diberi nilai kredit 1, dan
2.
Untuk setiap kenaikan 0,1% mulai dari 0% nilai kredit ditambah 1 dengan maksimum 100.
2.3.7
Penilaian Kualitas Aktiva Produktif Penilaian terhadap kualitas aktiva produktif yang dikualifikasikan didasarkan pada dua rasio,
yaitu: 1.
Rasio aktiva produktif yang diklasifikasikan terhadap aktiva produktif. Perhitungan rasio tersebut dilakukan dengan cara: a.
Untuk rasio 15,5% atau lebih diberi nilai kredit 0.
b.
Untuk setiap penurunan 0,15% mulai dari 15,5% nilai kredit ditambah 1 dengan maksimal 100.
Dalam hubungannya dengan rasio ini dapat dijelaskan bahwa yang diperhitungkan sebagai aktiva produktif yang diklasifikasikan adalah: a.
50% dari aktiva produktif yang digolongkan kurang lancar,
b.
75% dari aktiva produktif digolongkan diragukan,
c.
100% dari aktiva produktif yang digolongkan macet.
Pengertian dan cara penggolongan aktiva produktif yang digunakan dalam perhitungan rasio tersebut di atas berdasarkan pada SE BI No.26/4/BPPP tanggal 29 Mei 1993 perihal kualitas a ktiva produktif dan pembentukan penyisihan penghapusan aktiva produktif. 2.
Rasio penyisihan penghapusan aktiva produktif terhadap aktiva yang diklasifikasikan. Perhitungan rasio tersebut dilakukan dengan cara: a.
Untuk rasio 0 (tidak memiliki penyisihan penghapusan aktiva produktif) diberi nilai kredit 0, dan
b.
Untuk setiap kenaikan 1% mulai dari 0% kredit ditambah 1,5 dengan maksimum 100.
2.3.8 Penilaian Manajemen 1.
Penilaian kuantitatif terhadap manajemen mencakup beberapa komponen yaitu manajemen permodalan, manajemen kualitas aktiva, manajemen rentabilitas, dan manajemen likuiditas. Setiap komponen manajemen tersebut diberikan bobot seperti yang tercantum pada ketentuan Bank Indonesia.
2.
perhitungan nilai kredit didasarkan pada hasil penilaian jawaban pertanyaan mengenai manajemen bank yang secara keseluruhan berjumlah 250 selanjutnya dilakukan kuantifikasi dengan cara pemberian nilai kredit sebesar 0,4 untuk setiap aspek yang dinilai positif. Untuk pertanyaan-pertanyaan mengenai kegiatan yang tidak dilakukan oleh bank, misalnya pertanyaan nomor 39 dan 40 mengenai kegiatan valuta asing, bankbank bukan devisa dianggap dengan “ya”.
2.3.9
Penilaian Rentabilitas Penilaian kuantitatif terhadap rentabilitas didasarkan kepada dua rasio, yaitu: 1.
Rasio laba sebelum pajak dalam dua belas bulan terakhir terhadap rata-rata volume usaha dalam periode yang sama. Cara perhitungan nilai kredit-nya dilakukan sebagai berikut: a.
Untuk rasio 0% atau negative diberikan nilai kredit 0, dan
b.
Untuk setiap kenaikan 0,15% mulai dari 0% nilai kredit ditambah 1 dengan maksimum 100.
2.
Rasio beban operasional terhadap pendapatan operasional dalam periode yang sama
dengan huruf a. Cara perhitungan kreditnya dilakukan sebagai berikut: a.
Untuk rasio 100% atau lebih diberi nilai kredit 0, dan
b.
Untuk setiap penurunan sebesar 0,08% mulai dari 100% nilai kredit ditambah 1 dengan maksimum 100. Perlu ditambahkan bahwa pendapatan dan beban operasional serta laba dihitung selama 12 bulan terakhir, dan rata-rata volume usaha dihitung berdasarkan penjumlahan volume usaha selama 12 bulan terakhir dibagi 12.
2.3.10 Penilaian Likuiditas Penilaian kuantitatif terhadap likuiditas didasarkan pada dua rasio, yaitu: 1.
Rasio jumlah kewajiban bersih call money terhadap aktiva lancar. Termasuk kedalam pengertian aktiva lancar adalah kas, giro, pada Bank Indonesia, Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan Surat berharga Pasar Uang (SBPU) yang diendos oleh bank lain. Cara perhitungan nilai kredit adalah: a.
Untuk rasio 100% atau lebih diberi nilai kredit 0, dan
b.
Untuk setiap 1% penurunan mulai dari 100% nilai kredit ditambah 1
dengan
maksimum 100. 2.
Rasio antar kredit terhadap dana yang diterima oleh bank. Termasuk kedalam pengertian dana yang diterima adalah: a.
Kredit likuiditas Bank Indonesia
b.
Giro, deposit, dan tabungan masyarakat.
c.
Pinjaman bukan dari bank yang berjangka waktu lebih dari tiga bulan tidak termasuk penjaman subordinasi.
d.
Deposit dan pinjaman dari bank yang berjangka waktu lebih dari tiga bulan.
e.
Surat berharga yang diterbitkan oleh bank yang berjangka waktu lebih dari tiga bulan.
f.
Modal inti
g.
Modal pinjaman (sebelum disebut modal kuasi),
Cara perhitungan nilai kreditnya dilakukan sebagai berikut: a)
Untuk rasio 110% atau lebih diberi nilai kredit 0, dan
b)
Untuk rasio dibawah 110% diberi nilai kredit 100.
2.4
Pengaruh Tingkat Likuiditas Terhadap Kinerja Keuangan Pada Kelompok Perbankan Tingkat likuiditas merupakan pencerminan mengenai kemampuan perusahaan untuk memenuhi
segala kewajiban keuangannya yang harus segera dipenuhi. Tiap-tiap aktiva mempunyai tingkat likuiditas yang berbeda-beda. Misalnya, surat berharga yang dijual dan piutang jangka pendek. Bank adalah juga perusahaan, karenanya persoalan likuiditas bagi bank adalah persoalan yang amat penting dan berkaitan erat dengan kepercayaan masyarakat, nasabah dan pemerintah. Bahkan, begitu pentingnya persoalan likuiditas ini, bank harus mengamati, mengikuti dan terjun dalam usahausaha langsung agar posisi likuiditas ini terjaga setiap hari. Keteledoran bank dalam menjaga posisi likuiditas atau kesengajaan membiarkan posisi likuiditas berada di bawah ketentuan minimum, akan menyulitkan bank itu sendiri, karena secara berangsur-angsur posisi dana-dana tunai yang dikuasai bank akan semakin menipis. Namun, sejak dahulu selalu timbul pertentangan kepentingan (conflict of interest) antara liquidity dan profitability. Artinya, bila ingin mempertahankan posisi likuiditas dengan memperbesar cadangan kas, maka bank tidak akan memakai seluruh loanable funds yang ada karena sebagian dikembalikan lagi dalam bentuk cadangan tunai (cash reserve). Ini berarti usaha pencapaian profitabilitas akan berkurang. Sehingga, dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa untuk meningkatkan profitabilitas, maka sebagian cash reserve untuk likuiditas terpakai oleh bisnis bank, sehingga posisis likuiditas akan turun di bawah minimum. Pengendalian likuiditas bank dilakukan setiap hari berupa penjagaan agar semua alat-alat likuid yang dapat dikuasai oleh bank (uang tunai kas, saldo giro pada Bank Sentral) dapat dipergunakan untuk memenuhi munculnya tagihan dari nasabah atau masyarakat yang datang setiap saat atau sewaktuwaktu. Kewajiban bank yang muncul sewaktu-waktu itu adalah dana simpanan pemegang giro, pinjaman dari bank lain yang jatuh tempo atau kredit likuiditas dari Bank Sentral yang jatuh tempo. Likuiditas khususnya likuiditas perbankan (LDR) berpengaruh terhadap profitabilitas bank, likuiditas perbankan (LDR) juga menentukan tingkat kesehatan suatu bank. Hal ini dikarenakan pembiayaan merupakan salah satu kunci utama bagi bank untuk memperoleh pendapatan yang maksimal. Dalam hal penilaian kesehatan, bank yang sehat adalah bank yang memiliki tingkat Loan to Deposit Ratio (LDR) yang tinggi. Simorangkir (2004;147), mengatakan bahwa bagi perusahaan yang dapat menjaga likuiditasnya, membuat perusahaan terhindar dari kondisi bermasalah sehingga memungkinkan suatu perusahaan untuk memperoleh profit yang optimal. Likuiditas yang tinggi dapat dicapai dengan meningkatkan volume penjualan, dalam hal perbankan tingkat likuiditas yang tinggi
dapat dicapai dengan menambah jumlah nasabah yang menabung di suatu bank, hal lain yang berpengaruh dalam meningkatkan tingkat likuiditas adalah dengan mengendalikan pendanaan pada pengadaan harta lancar dan harta tetap. Hubungan antara Loan to Deposit Ratio terhadap profitabilitas bank adalah bahwa LDR menunjukan tingkat kesehatan bank apabila bank sehat maka kemampuan bank dalam menciptakan laba akan bertambah. Faktor ekspansi kredit yang ditunjukan dengan rasio LDR sangat penting oleh bank dalam menjalankan fungsi intermediasinya dengan tujuan untuk memperoleh laba yang didapat dari selisih penerimaan bunga kredit dengan beban bunga simpanan (spread). Dengan peningkatan dan pengelolaan penyaluran kredit yang baik akan mendorong suatu bank untuk meningkatkan kemampuannya dalam memperoleh laba (profitabilitas). Berdasarkan pernyataan diatas, maka penulis merumuskan hipotesis yang akan membuktikan kebenarannya dalam penelitian ini, yaitu bahwa likuiditas mempunyai hubungan yang signifikan terhadap kinerja keuangaan.
Loan to Deposit Ratio (LDR) LDR =
Total Loans x 100% Total Deposit + Equity
Return on Assets (ROA)
ROA =
Net Income x 100% Total Assets
Gambar 2.1 Paradigma Pemikiran (Pengaruh Tingkat likuiditas terhadap kinerja keuangan)