BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep keluarga 2.1.1 Pengertian keluarga Keluarga merupakan unit terkecil dalam masyarakat dimana terjadi interaksi antara anak dan orang tuanya. Keluarga berasal dari bahasa sansekerta kulu dan warga atau kuluwarga yang berarti anggota kelompok kerabat (Padila, 2012). Beberapa ahli menguraikan beberapa arti keluarga sesuai dengan perkembangan masyarakat, Wall (1986) mengemukakan keluarga sebagai dua orang atau lebih, yang disatukan oleh ikatan emosional dan kebersamaan, serta mengidentifikasikan diri mereka sebagai bagian dari keluarga. Spradley and Allender (1996) mengemukakan satu atau lebih individu yang mempunyai ikatan emosional dan tinggal berasama serta mengembangkan dalam ikatan social, pern, dan tugas. Friedman (1998) mengartikan keluarga sebagai suatu sumber sistem social. Keluarga merupakan kelompok kecil yang terdiri dari individu yang mempunyai hubungan erat dan saling ketergantungan satu dengan lainnya dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Undang-Undang No. 10 tahun 1992 mendefinisikan keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat, yang terdiri dari suami, istri, dan anak atau suami istri, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya. Depkes RI (1998) mendefinisikan keluarga sebagai unit terkecil masyarakat yang terdiri dari kepala keluarga dan beberapa orang yang tinggal dalam satu rumah dalam keadaan saling ketergantungan.
11
12
Dari uraian diatas dapat disimpulkan, keluarga merupakan unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami, istri, dan anak, yang saling berinteraksi dan memiliki hubungan yang erat untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Interaksi yang baik antara anak dan orang tua merupakan hal penting dalam masa perkembangan anak. Interaksi yang baik ditentukan oleh kualitas pemahaman dari anak dan orang tua untuk mencapai kebutuhan keluarga (Soetjiningsih, 2012). Orang tua memiliki peran yang penting dalam memberikan pendidikan informal selama dilingkungan rumah. Orang tua menginginkan yang terbaik untuk anaknya baik dalam pendidikan maupun kebutuhan pribadi dari anaknya (Ahmad, 2010). Berbagai permasalahan dapat dialami keluarga, salah satunya keluarga yang memiliki anak retardasi mental. Keluarga yang memiliki anak dengan retardasi mental mempunyai berbagai permasalahan dalam pemenuhan kebutuhan anggota keluarganya termasuk juga berpengaruh pada peran dan fungsi setiap anggota keluarga. 2.1.2 Peran dan Fungsi keluarga Setiap anggota keluarga menjalankan perannya masing-asing dalam keluarga untuk mempertahankan kondisi dalam keluarga. Peran keluarga dibagi menjadi dua yaitu peran formal dan peran informal keluarga. Peran formal keluarga yaitu peran parental dan perkawinan yang terdiri dari peran penyedia, peran pengatur rumah tangga, perawatan anak, peran persaudaraan, dan peran seksual. Peran informal keluarga bersifat implicit dan tidak tampak kepermukaan dan hanya diperankan untuk menjaga keseimbangan keluarga, sepeti pendorong,
13
inisiatif,
pendamai,
penghalang,
pengikut,
pencari
pengakuan,
sahabat,
koordinator keluarga dan penghubung (Padila, 2012). Setiap anggota keluarga menjalankan perannya dengan baik apabila keluarga berfungsi sebagaimana mestinya. Fungsi keluarga berkaitan dengan peran dari keluarga yang bersifat ganda. Friedman (1998 dalam Padila, 2012) menguraikan terdapat 5 fungsi keluarga, yaitu : (1) Fungsi afektif merupakan fungsi internal berhubungan secara langsung dan menjadi dasar dari keluarga tersebut. Fungsi ini berguna untuk pemenuhan fungsi psikososial. (2) Fungsi sosialisasi, dimana keluarga merupakan tempat pertama individu memulai sosialisasi. Individu belajar untuk disiplin dan mematuhi norma yang ada sehingga mampu untuk melakukan interaksi sosial dimasyarakat. (3) Fungsi reproduksi, dimana keluarga memiliki fungsi untuk meneruskan keturunan dan meningkatkan sumber daya manusia, hal ini dikatakan sebagai fungsi reproduksi. (4) Fungsi ekonomi, dimana untuk memenuhi kebutuhan setiap anggota keluarganya seperti makanan, pakaian dan tempat tinggal. (5) Fungsi perawatan kesehatan, dalam fungsi perawatan kesehatan, keluarga memiliki peran untuk melakukan proteksi dikeluarganya terhadap penyakit. Berbagai permasalahan dihadapi oleh setiap keluarga dalam memenuhi kebutuhan anak dengan retardasi mental. Anak dengan retardasi mental akan memerlukan bantuan dari anggota keluarga lainnya dalam waktu yang cukup lama (Napolion, 2010). Apabila kelima fungsi keluarga tersebut berjalan dengan baik, maka keluarga akan menjadi harmonis. Namun, bila fungsi tersebut mengalami gangguan dalam keluarga yang memiliki anak dengan retardasi mental, maka hal
14
ini akan menjadi beban tersendiri pada anak tersebut yang akan berpengaruh juga pada fungsi dan peran setiap anggota keluarga lainnya, sehingga diperlukan usaha dari anggota keluarga untuk tetap menjaga fungsi dan peran masing masing agar tetap berjalan dengan baik. 2.1.3 Tugas perkembangan dan Tugas kesehatan keluarga Selain menjalankan peran dan fungsi masing-masing dalam keluarga, menjalankan tugas perkembangan keluarga sesuai dengan usia anak menjadi dasar bagi keluarga dalam membantu pemenuhan kebutuhan anak retardasi mental dalam menjalani setiap masa perkembangannya. Duval (1977 dalam Friedman, 1998) menguraikan siklus kehidupan keluarga dan tahap perkembangan keluarga dengan anak usia sekolah (6-12 tahun), yaitu : (1) melakukan sosialisasi anak, termasuk meningkatkan prestasi di sekolah dan hubungan dengan teman sebaya, (2) mempertahankan hubungan perkawinan yang memuaskan, (3) memenuhi kebutuhan setiap anggota keluarga (seperti kebutuhan pakaian, makan dan minum, serta tempat tinggal), (4) mendorong anak untuk mencapai pengembangan daya intelektual, (5) menyediakan aktivitas untuk anak. Setelah pemenuhan tugas perkembangan keluarga, keluarga memiliki tugas kesehatan keluarga yang harus dipenuhi oleh anggota keluarga lainnya, apabila salah satu anggotanya mengalami sakit. Menurut Friedman (1998 dalam Padila, 2012), terdapat lima tugas kesehatan keluarga, yaitu : (1) mengenal masalah kesehatan pada setiap anggota keluarganya, (2) mengambil keputusan untuk melakukan tindakan yang tepat setelah mengetahui masalah kesehatannya, (3)
15
melakukan perawatan pada anggota keluarganya yang mengalami sakit, (4) memodifikasi lingkungan untuk menunjang keberhasilan perawatan, (5) menggunakan fasilitas kesehatan yang ada seperti rumah sakit. Keluarga yang memiliki anak dengan retardasi mental harus mengenal terlebih dahulu mengenai retardasi mental untuk melakukan perawatan pada anak tersebut. Apabila keluarga tidak mengenal tentang retardasi mental, perawatan yang diberikan akan tidak sesuai dengan kebutuhan anak retardasi mental. Hal ini akan menimbulkan beban tersendiri bagi keluarga, seperti beban fisik, beban sosial, beban ekonomi, dan beban waktu (Napolion, 2010). 2.1.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keluarga sebagai Caregiver Kemampuan keluarga memberikan perawatan kepada anggota keluarganya dipengaruhi oleh berbagai faktor. Menurut Green (1980) dalam Notoatmodjo, (2007), faktor-faktor yang mempengaruhi kesehatan meliputi : a) Predisposing factor (faktor predisposisi) meliputi pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap kesehatan, kepercayaan dan tradisi masyarakat terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan, sistem nilai yang dianut masyarakat, tingkat sosial ekonomi, dan tingkat pendidikan (Green, 1980 dalam Notoatmodjo, 2007); b) Enabling faktor (faktor pemungkin) yaitu meliputi tersedianya sarana dan prasarana kesehatan bagi masyarakat termasuk rumah sakit, puskesmas, poliklinik, posyandu, posbindu, pos obat desa, dokter atau bidan praktek swasta. Faktor ini pada dasarnya mendukung atau memungkingkan terwujudnya perilaku kesehatan; c) Reinforcing factor (faktor penguat) meliputi sikap dan perilaku tokoh masyarakat, tokoh agama, para petugas kesehatan yang ada di masyarakat, dan
16
juga termasuk undang-undang serta peraturan baik di pemerintahan pusat maupun daerah yang terkait dengan kesehatan. Menurut Williams (2007) dalam penelitian Rika Fatmadona (2013) proses interaksi keluarga sebagai caregiver dan anggota keluarga yang sakit dipengaruhi oleh faktor: a) Komitmen Komitmen merupakan penanda suatu hubungan yang erat dengan seseorang, terutama hubungan antara anggota keluarga yang sakit dengan keluarga sebagai caregiver. Terdapat 4 dimensi komitmen, yaitu: tanggung jawab, memprioritaskan pasien, memberikan dukungan, kasih sayang, dan keyakinan. b) Harapan Harapan terhadap kenyataan perlu dibangun oleh keluarga dalam membina hubungan anggota keluarganya. c) Penentuan Peran Dalam merawat anak dengan retardasi mental, keluarga akan menghadapi perawatan kompleks pasien yang memerlukan pembagian tanggung jawab. Dalam hal tersebut keluarga memerlukan penentuan peran dalam melakukan merawat anaknya. d) Hubungan Caregiving Keberhasilan proses perawatan juga ditentukan dengan hubungan yang terjalin antara keluarga sebagai caregiver dengan anak retardasi mental.
17
2.1.5 Dukungan bagi Keluarga dengan Anak Retardasi Mental Menurut Johns Hopkins Center (2014), dukungan sosial yang positif mempunyai peran penting pada kemampuan seseorang untuk membuat pilihan yang tepat. Dukungan sosial berarti seseorang mampu untuk menjadi orang yang dapat diandalkan oleh orang lain. Dukungan dari keluarga dan teman selama masa krisis akan memberikan efek emosial yang positif pada orang tersebut, dan dukungan ini juga berpengaruh terhadap kondisi fisik pada seseorang karena seseorang dalam keadaan stress akan memberikan efek peningkatan tekanan darah dan denyut nadi. Menurut Kendler (2005), dukungan sosial merupakan suatu kenyamanan secara fisik maupun emosional yang diberikan kepada seseorang, dan berasal dari keluarga, teman, atau orang yang berada di lingkungan sekitar. Keberadaan anak dengan retardasi mental memerlukan dukungan baik dari keluarga maupun ssstem sosial dimasyarakat. Keluarga yang menerima keadaan anaknya dengan retardasi mental akan tetap memberikan dukungan seperti perhatian dan kasih sayang (Napolion, 2010). Menurut Wall (1993), anak dengan retardasi mental memerlukan dukungan sosial dari keluarga serta orang disekitarnya untuk menunjang hubungannya dngan orang lain tetap berjalan dapat berupa bimbingan dan arahan dari keluarganya. 2.1.6 Beban Keluarga dalam merawat anak retardasi mental Beban keluarga diartikan sebagai keadaan akibat ketidakseimbangan antara kebutuhan dan kemampuan keluarga untuk memenuhi kebutuhan tersebut, kebutuhan yang dimaksud adalah sebuah stressor (Napolion, 2010). Beban
18
keluarga merupakan tinkat pengalaman distress keluarga karena adanya efek dari keberadaan anggota keluarga terhadap keluarganya (Pitryasari, 2009). terdapat dua jenis pengelompokkan beban keluarga menurut WHO (2008, dalam Pitryasari, 2009), yaitu: a. Beban objektif, merupakan beban yang berhubungan dengan pengalaman dan masalah anggota keluarga meliputi gangguan hubungan, kesulitan finansial, dan dampak negative terhadap kesehatan fisik salah anggota keluarga. b. Beban subyektif merupakan beban yang berhubungan dengan reaksi psikologis setiap anggota keluarga yang terdiri dari rasa kehilangan, sedih, cemas, malu, stress, dan frustasi. Anak dengan retardasi mental akan menimbulkan masalah baik pada individunya sendiri maupun pada keluarganya (Napolion, 2010). Terdapat beberapa jenis beban yang dirasakan keluarga terhadap keberadaan anak retardasi mental, yaitu: a. Beban fisik yang dirasakan seperti kelelahan, dan keluhan lainnya b. Beban sosial dirasakan oleh keluarga saat masyarakat disekitarnya tidak menerima keberadaan mereka c. Beban waktu akan bertambah karena akan dihabiskan untuk memfokuskan dirinya pada anak yang mengalami retardasi mental d. Beban keuangan ini terkait dengan kebutuhan akan perawatan dalam jangka waktu yang panjang
19
2.1.7 Stigma Masyarakat tentang Anak Retardasi Mental Menurut Soemaryanto (1982, dalam Hamid,1993) menjelaskan stigma terhadap anak dengan retardasi mental sebagai hukuman akibat kesalahan orang tua, sehingga orang tua akan merasa malu dengan keadaan anaknya. Stigma menurut Corrigan dan Watson (2002), dibedakan menjadi dua golongan yaitu stigma dari masyarakat (public stigma) dan stigma pada diri sendiri (self stigma). Public stigma merupakan penilaian masyarakat terhadap kelompok tertentu, munculnya stigma ditunjukkan melalui perilaku dari masyarakat terhadap anak dengan retardasi mental dan termasuk ejekan serta hinaan dari masyarakat. Self stigma merupakan reaksi dan penilaian diri sendiri akibat suatu masalah yang berdasarkan pada penilaian negative dari lingkungannya. 2.2 Konsep Retardasi Mental 2.2.1 Pengertian Retardasi Mental Retardasi mental merupakan penyakit mental dengan karakteristik dari Intellegencia Quetient (IQ) dan gangguan perilaku adaptif, dengan munculnya manifestasi dalam masa perkembangan. Terdapat klasifikasi retardasi mental yaitu ringan dengan IQ 50-70, moderat atau sedang dengan IQ 35-50, berat dengan IQ 20-35, dan sangat berat dengan IQ dibawah 20 (Dorland’s Medical Dictionary for Health Consumers, 2007). Menurut
American
Association
on
Mental
Deficiency
(AAMD),
mendefinisikan retardasi mental sebagai kelainan dengan fungsi intelektual umum dibawah rata-rata (sub-average) yaitu 84 kebawah berdasarkan tes IQ, muncul
20
sebelum usia 18 tahun dan menunjukkan hambatan dalam adaptasi (Ramawati, 2011). Retardasi Mental memiliki beberapa sebutan yaitu tunagrahita atau disabilitas mental atau keterbelakangan mental. Semua itu memiliki arti yang sama. Retardasi mental merupakan kelainan yang meliputi fungsi intelektual umum dibawah rata-rata (IQ dibawah 84 sesuai hasil tes IQ) yang muncul sebelum usia 16 tahun dan menunjukkan hambatan dalam perilaku adaptif (Wijaya, 2013). Retardasi mental adalah salah satu bentuk gangguan mental, dengan karakteristik penderita memilik kecerdasan di bawah rata-rata dan mengalami kesulitan dalam beradaptasi maupun melakukan aktivitas sosial (Wiwin, dkk, 2006). 2.2.2 Diagnosis Retardasi Mental Gejala yang ditimbulkan pada individu yang mengalami retardasi mental biasanya
dengan
gejala
umum
berupa
gangguan
fungsi
adaptif
atau
ketergantungan. Orang dengan retardasi mental akan dibawa ke tenaga professional karena perilaku mereka dan hasil tes IQ yang rendah. Fungsi intelektual umum diukur dengan tes IQ dengan menggunakan standar tes dari Wechsler Intelligence Scale for Children-III (WISC-III). Apabila IQ 70 atau dibawah 70 (dengan 2 standar deviasi dibawah rata-rata) menunjukkan signifikan sub rata-rata. Skala tersebut juga telah dikembangkan untuk mengukur fungsi adaptif seperti Vineland Adaptive Behaviour Scale atau American Association on Mental Retardation Adaptive Behaviour Scale. Dalam Vineland Adaptive
21
Behaviour Scale, terdapat gabungan skor pada ketrampilan daily living, komunikasi, sosialisasi, dan ketrampilan motorik yang dihubungkan dengan skills yang diharapkan untuk seseorang pada usia tersebut. Skrining dengan menggunakan tes perkembangan menurut Denver seperti Denver Developmental Screening Test (DDST) merupakan salah satu metode skrining terhadap kelainan perkembangan anak. Aspek yang dinilai terdiri dari 105 tugas perkembangan pada DDST dan kemudian dilakukan revisi pada Denver II dengan melihat sektor bahasa, artikulasi bahasa, skala umur, dan skala penilaian tingkah laku (Howard, 2000). 2.2.3 Etiologi Retardasi Mental Menurut David (2004), penyebab terjadinya retardasi mental dibagi menjadi dua, yaitu penyebab biologis dan penyebab sosial. Penyebab biologis meliputi: 1. kelainan kromosom, seperti Down syndrome, Fragile X syndrome, Klinefelter syndrome, Cri-du-chat syndrome, dan Turner syndrome. 2. Pewarisan faktor genetic yang dominan, seperti Neurofibromatosis, Khorea Huntington, sindrom Sturge-Weber, tuberculosis. 3. Gangguan metabolic, seperti fenilketonuria, penyakit Hartnup, intoleransi fruktosa, galaktosemia, gangguan lipid, hipotiroidisme, dan hipoglikemia. 4. Gangguan prenatal, seperti infeksi Rubella, sifilis, penggunaan obat (misalnya talidomid), toksemia pada kehamilan, malnutrisi pada ibu.
22
5. Trauma kelahiran terjadi karena proses selama kelahiran yang sulit, dan prematuritas. 6. Trauma pada otak, terjadi akibat infeksi, tumor, trauma fisik, hidrosefalus. Penyebab sosial yang terjadi pada anak sebagian besar menyebabkan retardasi mental ringan, meliputi tingkat pendidikan dibawah rata-rata, deprivasi lingkungan, dan kekerasan pada anak. Menurut Howard (2000), kasus terbanyak yang menyebabkan retardasi mental adalah Down syndrome, Fragile X syndrome, dan Fetal alcohol syndrome. a. Down syndrome Dideskripsikan sebagai mongolism pada tahun 1866, dengan insiden 1 dari 650 kelahiran yang menderita down syndrome (Howard, 2000). Terdapat tiga tipe kromosom dari down syndrome yang teridentifikasi, yaitu : 1. Trisomy 21 (hamper sekitar 95% dari kasus) dihasilkan saat tidak ada pertemuan dari kromosom 21 selama miosis. Insiden ini dihubungkan dengan umur kelahiran. 2. The second mayor form yaitu tipe translokasi dikarenakan adanya penyatuan dari 2 kromosom biasanya pada kromosom 21 dan 15. Total kromosom yang dihasilkan menjadi 46 dikarenakan adanya ekstra kromosom yang menyatu dengan yang lainnya.
23
3. Mosaicism, paling sedikit dari tipe down syndrome lainnya, disebabkan karena tidak adanya pertemuan dari kromosom 21 setelah fertilisasi selama mitosis awal. b. Fragile X syndrome Ini keadaan yang biasa muncul yang diturunkan secara herediter sebagai penyebab retardasi mental. Gen FMR-1 termasuk trinikeotide membentuk ulang cytosine guanine-guanine residu (CGG). Normalnya terdapat 50-500 pengulangan dari CGG. Saat ada 50-500 pengulangan tanpa ekspresi gen, tetapi raangkaian pengulangan semakin membesar pada transmisi (dynamic mutation), pengulangan mungkin membesar sampai 3000 yang dihubungkan dengan retardasi mental. Karakteristik klinik yang muncul termasuk wajah panjang dengan mid facial hypoplasia, telinga melebar, testis membesar, dan hyperextensible sendi. Masalah prilaku yang muncul yaitu learning disability, kerusakan dalam berbahasa, Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD), dan perilaku austic. c. Fetal alcohol syndrome Fetal alcohol syndrome (FAS) disebabkan karena penggunaan alkohol selama masa kehamilan. Meskipun terdapat dosis alkohol yang dapat ditoleransi oleh fetus, tetapi tetap mempunyai resiko tinggi yang dihubungkan dengan adanya abnormalitas. Ciri klinis yang muncul yaitu kegagalan dalam tumbuh, abnormalitas jantung, micro sepali, midface abnormalities, hiperaktivitas, kerusakan dalam berbahasa, eating disorder, ansietas dan depresi.
24
2.2.4 Tanda dan Gejala Retardasi Mental Terdapat banyak tanda dan gejala dari anak dengan keterbatasan intelektual. Tanda awal mungkin muncul selama masa pertumbuhan, atau anak tidak memperlihatkan perbedaan sampai mereka memasuki usia sekolah, tetapi hal ini berbeda pada anak yang mengalami retardasi mental sangat berat yang akan langsung diketahui saat anak dilahirkan, karena anak akan membutuhkan perawatan khusus dari tenaga kesehatan untuk perawatan mereka. Anak dengan retardasi mental sangat berat memiliki gangguan selain dari rendahnya IQ, dan mengalami gangguan dari fisiknya seperti tidak dapat berbicara dan berjalan (Derrer, 2013). Tanda yang sering muncul pada anak dengan retardasi mental, yaitu memiliki keterlambatan untuk berguling, duduk, merangkak, kesulitan dalam berbicara, pemenuhan activity daily living (makan, berpakaian, berdandan, BAB dan BAK), sulit untuk mengingat sesuatu, tidak mampu menghubungkan tindakan yang dilakukan dengan akibat yang ditimbulkan, mudah emosi, dan kesulitan dalam menyelesaikan suatu masalah (Derrer, 2013) 2.2.5 Klasifikasi Retardasi Mental DSM-IV menguraikan terdapat 4 level dari retardasi mental. Retardasi mental yang tidak dispesifikkan tingkat keparahannya memiliki kondisi yang dianggap sebagai retardasi mental tetapi individu tersebut tidak dapat dilakukan standar tes karena terlalu lemah atau tidak koorperatif. Berikut klasifikasi dari retardasi mental.
25
1) Retardasi mental ringan rata-rata dalam pendidikan masih dikatagorikan yang dapat dididik. Rata-rata dari semua jenis retardasi mental, sekitar 85% mengalami retardasi mental ringan. Dalam grup, orang dengan retardasi mental ringan merupakan tipikal yang dapat mengembangkan sosialisasi dan ketrampilan komunikasi dalam masa prasekolah (umur 0-5 tahun), mempunyai sedikit kerusakan pada sensori motorik, dan tidak dapat langsung dikenali dari anak tanpa retardasi mental dan akan tampak setelah umur 10 tahun keatas, mereka dapat memperoleh pelajaran sampai kelas 6. Selama masa dewasa dapat menerapkan ketrampilan sosial dan ketrampilan pendidikan dengan dukungan yang sedikit, tetapi perlu pegawasan, petunjuk serta bantuan khususnya untuk level ekonomi yang rendah. Dengan dukungan yang memadai, orang dengan retardasi mental ringan dapat hidup dalam masyarakat dengan tidak ketergantungan atau dengan pengawasan. 2) Retardasi mental sedang rata-rata dalam pendidikan dikategorikan yang dapat dilatih. Terdapat sekitar 10% dari semua jenis retardasi mental, termasuk dalam retardasi mental ringan sedang. Kebanyakan orang dengan retardasi mental sedang memperoleh ketrampilan komunikasi selama masa kanakkanak. Mereka mendapatkan manfaat dari latihan pendidikan dengan pengawasan yang lebih dan dapat melakukan kebersihan diri mereka. Selama masa dewasa mereka sulit mengenali ketentuan dalam sosialisasi yang dapat mengganggu hubungan dengan temannya. 3) Retardasi mental berat terdapat sekitar 3-4% dari semu jenis retardasi mental. Selama masa kanak-kanak, mereka memperoleh sedikit atau tidak sama sekali
26
komunikasi. Selama masa sekolah mereka mungkin belajar untuk berbicara. Selama masa dewasa mereka, mereka mungkin memperlihatkan tugas yang mudah dengan pengawasan yang dekat. 4) Retardasi mental sangat berat ditemukan kira-kira 1-2% dari orang dengan retardasi mental. Kebanyakan orang dengan retardasi mental sangat berat yang dikenali dari kondisi neurological. Selama masa kanak-kanak mereka memperlihatkan kerusakan dalam fungsi sensorimotorik. Perkembangan yang optimal mungkin terjadi dalam lingkungan yang baik dan mempunyai hubungan yang dekat dengan caregiver. 5) Retardasi mental yang tidak dispesifikkan dianggap retardasi mental apabila seseorang tidak bisa lulus dalam tes intelligence standar. Hal ini mungkin dikarenakan saat anak-anak sampai masa dewasa mengalami kerusakan yang berat atau tidak koorperatif saat di tes atau saat bayi secara signifikan ditemukan fungsi intelektual dibawah rata-rata tetapi dalam tes (dengan Bayle Scales untuk perkembangan bayi, Cattell infant intelligence scales) tidak disimpulkan hasil nilai IQ. Secara umum lebih sulit diperkirakan pada umur muda yang memperlihatkan cirri-ciri retardasi mental kecuali kerusakan yang sangat berat.
27
Table 1. Kriteria Diagnosis Retardasi Mental DSM-IV kriteria diagnosis untuk retardasi mental a.
Secara signifikan ditemukan intelektual dibawah rata-rata : dengan IQ diperkirakan 70 atau dibawah itu yang secara individu dilakukan tes IQ (untuk bayi, secara klinis diputuskan berada pada level ini) b. Kelainan ditujukkan dari fungsi adaptif diperlihatkan paling sedikit 2 ketrampilan : komunikasi, self-care, home living, sosial/interpersonal skills, penggunaan sumber komunitas, self-direction, ketrampilan fungsi akademik, pekerjaan, waktu luang, kesehatan dan keamanan c. Onset retardasi mental kurang dari 18 tahun Kode didasarkan pada derajat keparahan yang mencerminkan level kelemahan intelektual : Retardasi mental ringan : dengan tingkat IQ 50-55 sampai dengan 70 Retardasi mental sedang : dengan tingkat IQ 35-40 sampai dengan 50-55 Retardasi mental berat : dengan tingkat IQ 20-25 sampai dengan 35-40 Retardasi mental sangat berat : dengan tingkat IQ dibawah 20 atau 25 Retardasi mental yang tidak dispesifikkan keparahannya, dimana dianggap sebagai retardasi mental tetapi dari intelektual individu tidak dapat dites dengan standar tes.
Sumber : (Howard, 2000) Table 2. Karakteristik Level Retardasi Mental Anak Usia Sekolah Derajat keparahan
Persentase dari keseluruhan dengan retardasi mental
Usia sekolah dan remaja (Elementary school and adolencence)
Sangat berat : IQ dibawah 20-25
1-2%
Mungkin berbicara dan pengembangan motorik
Berat : IQ 20-25 sampai dengan 35-40
3-4%
Mungkin belajar ketrampilan self-care
Sedang : IQ 35-40 sampai dengan 50-55 (trainable)
10%
Dapat mempelajari ketrampilan kelas dua, ketergantungan dalam perjalanan ke tempt yang familiar, dapat diberikan vocational training
Ringan : IQ 50-55 sampai dengan 70 (educable)
85%
Umur belasan memperoleh ketrampilan kelas 6
Sumber : (Howard, 2000)
berbicara
dan
28
2.2.6 Upaya yang dapat dilakukan pada Anak Retardasi Mental Penatalaksanaan untuk individu dengan retardasi mental adalah bersifat multidisiplin termasuk dalam pendidikan, pengucapan dan bahasa, bimbingan ketrampilan, dan intervensi perilaku. Merancang strategi pendekatan bagi anak secara individual dapat mengembangkan potensi anak tersebut. Anak dengan retardasi mental ringan dapat dikembangkan pada ketrampilan kelas 6 dan mengembangkan sosialisasinya serta pelatihan ketrampilan baik sebagian atau ketergantungn penuh. Anak dengan retardasi mental ringan sampai sedang dapat dikembangkan pada ketrampilan kelas 2 dan belajar pelatihan ketrampilan dengan dukungan. Anak retardasi mental berat dan sangat berat dapat dilakukan self-care yang rutin. Terapi perilaku dengan penguatan perilaku adaptif dan mengurangi perilaku maladaptif. Terapi relaksasi dapat diberikan untuk menurunkan atau mengontrol ansietas anak. Terapi farmakologi mungkin dapat diberikan secara individu pada anak dengan retardasi mental, termasuk apabila anak mempunyai masalah lainnya seperti Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) dapat diberikan obat stimulansia (seperti methilpenidate), stereotype movement (dapat diberikan obat antipsikotik), dan perilaku mencederai diri sendiri (dapat diberikan obat naltrexone, lithium, antikonvulsan) (Howard, 2000). Anak-anak dengan retardasi mental memerlukan perawatan seperti pemeriksaan kesehatan yang rutin, imunisasi, dan monitoring terhadap tumbuh kembangnya. Apabila anak-anak retardasi mengalami gangguan fisik, orang tua dapat mengajak anaknya untuk pengobatan maupun rehabilitasi (Soetjiningsih, 2012).
29
Keluarga juga memiliki pengaruh yang besar dalam penatalaksanaan anak dengan retardasi mental. Apabila orang tua belum menerima kondis anaknya, hal ini tentunya berpengaruh juga pada perawatan dari orang tua pada anaknya. Keluarga memiliki peran penting dalam hal perawatan dirumah dan dalam pemberian dukungan secara moral untuk anaknya. Keluarga yang memiliki pengalaman lebih dalam merawat anak retardasi mental akan dapat membantu anak dalam perkembangannya dan hal ini akan mengurangi stress bagi setiap anggota keluarga. Menurut Issacs (2005), dukungan terapeutik pada anak yang mengalami retardasi mental dapat diberikan melalui psikoterapi individu, terapi bermain, dan juga pendidikan khusus seperti Sekolah Luar Biasa. Pencegahan primer yang dapat dilakukan seperti imunisasi saat masa kehamilan dan imunisasi pada anak, pendidikan kesehatan mengenai pola hidup sehat, konseling kehamilan dan persalinan, perbaikan gizi ibu, dan pemeriksaan kehamilan secara rutin. Pencegahan sekunder yang dapat dilakukan adalah deteksi dini pada anak yang mengalami kesulitan di sekolah sehingga dapat diberikan tindakan yang tepat, seperti program bimbingan dari sekolah. 2.3 Pengalaman Keluarga dalam Merawat Anak dengan Retardasi Mental Keberadaan anak retardasi mental di tengah keluarga memerlukan perhatian yang khusus dari keluarga maupun masyarakat sekitar. Anak dengan retardasi mental memerlukan bantuan dalam perilaku adaptif sosial seperti menyesuaikan diri ditengah masyarakat. Keterbatasan anak tersebut terkadang memberikan masalah bagi keluarganya maupun masyarakat (Napolion, 2010). Namun keluarga yang menyadari tentang keterbatasan yang dimiliki oleh anak retardasi mental
30
merupakan faktor untuk membantu dalam perkembangan anak dengan support system dari keluarga. Gray (2003, dalam Fitryasari; 2009) menyatakan bahwa ibu akan merasa bersalah dan menjadi depresi dengan kecacatan yang dialami oleh anaknya. Ibu akan merasa lebih stress dan emosional dibandingkan dengan ayah dikarenakan ayah lebih rasional dalam berpikir dan bertindak, serta ayah memiliki waktu yang lebih minimal dalam merawat anak dibandingkan dengan ibu. Leo Kanner (2002), menjelaskan terdapat salah satu anak (usia 8 tahun) yang dibawa oleh orang tuanya ke kliniknya, orang tuanya menjelaskan bahwa anaknya mengalami penurunan dalam nilai akademiknya. Kemudian setelah dilakukan beberapa tes, anaknya didiagnosa mengalami retardasi mental dengan IQ dibawah 75. Orang tua Anak J mengalami fase denial dimana terjadi penolakan akan keadaan dari anaknya. Orang tua Anak L, juga mengalami hal yang sama, anaknya mengalami penurunan dalam akademiknya dan tidak naik kelas. Orang tuanya menjadi marah dan terus memberi tekanan pada anaknya. Hal ini membuat anak menjadi stress dan memberontak. Orang tuanya semula menganggap anaknya normal dan masih menyalahkan sistem di sekolah yang kurang baik sehingga anaknya tidak mendapat pelajaran akademik dan ketrampilan dalam kehidupan sehari-hari sebagaimana mestinya. Hal ini ternyata mempengaruhi aktivitas anak sehari-hari. Anak L ternyata tidak mendapatkan pengajaran dari orang tuanya dalam memenuhi kebutuhannya sehari-hari (Blacher & Bruce, 2002). Dalam wawancara dan observasi yang dilakukan oleh Mattew, seorang ayah dari anak J yang berumur dua belas tahun, menderita intellectual disability
31
dan epilepsi. An. J mengalami perkembangan yang normal dan pada umur tiga tahun An. J mengalami kejang yang tidak dapat dikontrol yang menyebabkan masalah pada otaknya dan berdampak pada fungsi intelektual dan perilakunya. An. J memerlukan bantuan dalam berpakaian, makan serta toileting, dan ayahnya harus memperhatikannya apabila dia melepas pakaiannya. Ayahnya selalu tahu apa yang sedang dia lakukan, tetapi ayahnya merasa bahwa ini sulit karena An. J juga mempunyai saudara perempuan. Ayahnya harus memperhatikan apa yang dia lakukan untuk memastikan dia tidak melakukan tindakan yang agresif pada saudaranya. Ayahnya memutuskan untuk memanggil kerabat dekatnya, untuk membantu merawat An. J. Ayahnya harus memastikan semua pekerjaan rumah sudah selesai sebelum An. J pulang kerumah, seperti membuat makan malam. Ayahnya An. J mengatakan, “yang saya tahu, kebanyakan orang tua yang memiliki anak dengan keterbatasan intelektual memiliki saat-saat yang sulit dan kamu akan merasa menjadi orang tua yang gagal”. Ayah An. J tetap tersenyum walaupun keadaan anaknya seperti sekarang, karena An. J juga memiliki selera humor yang baik (Mattew, 2011). Merawat anak yang normal merupakan suatu keadaan yang menguntungkan bagi kebanyakan orang tua, tetapi merawat anak dengan keterbatasan mental sering dirasa sedikit menyulitkan dan memerlukan perawatan yang tepat. Dalam wawancara dan observasi yang dilakukan oleh Garisto pada Kathryn McKellar dan suaminya, mereka memiliki anak bernama Jackie. Jackie didiagnosa mengalami retardasi mental saat usianya lima tahun. Mereka merasa berat karena anaknya tidak berkembang secara normal seperti anak lainnya. McKellar
32
mengatakan pada suaminya, “kita harus mengajari Jackie bagaimana caranya duduk dan merangkak”. Karena Jackie memiliki kesulitan dalam proses sensorinya untuk menerima informasi, apapun hal yang baru seperti terlihat sulit dan menakutkan bagi dirinya. McKellar juga mengatakan, “saat pertama kali saya mengajarinya untuk mengambil sendok dan belajar untuk makan sendiri, dia hanya berdiam diri saja, hal ini membuat saya semakin sulit dalam memberikannya pengarahan”. McKellar dan suaminya memutuskan untuk cuti semantara dari pekerjaannya untuk memudahkan mereka dalam meluangkan waktu bagi anaknya (Garisto, 2002). Dalam penelitian yang dilakukan oleh Napolion (2010) mengenai pengalaman keluarga dalam merawat anak tunagrahita terdapat berbagai macam respon dari keluarga yang memilki anak tunagrahita. Keluarga pertama merasa kaget (shock) karena hal ini pertama kalinya dirasakan oleh mereka saat mengetahui anaknya menderita tunagrahita. Keluarga kedua mengatakan merasa sedih dan menyalahkan Tuhan. Keluarga ketiga mengatakan melakukan upayaupaya pada anak mereka seperti mengunjungi tenaga professional dan tempat pelayanan kesehatan (praktek dokter, puskesmas dan rumah sakit) untuk mendapatkan penjelasan dan upaya yang harus dilakukan pada anaknya. Keluarga lainnya mengatakan juga membawa anak mereka ke pengobatan tradisional. Merawat anak berkebutuhan khusus merupakan hal yang memerlukan ketelitian dan kesabaran. Hal pertama yang memberikan kesulitan pada orang tua saat menyuruh anaknya untuk makan ataupun pergi ke toilet, begitu pula pada anak dengan retardasi mental. Anak retardasi mental memang memiliki masalah
33
pada perilaku adaptifnya. Orang tua dapat memberikan perintah yang dapat dimengerti oleh anaknya dan mengajarkan bagaimana cara melakukan aktivitas self-care nya agar nantinya anak tidak menjadi ketergantungan dengan orang lain. Hal ini memang memerlukan waktu bagi anak untuk belajar sehingga dapat melakukan sesuatu tanpa pengawasan yang ketat (Azizah, 2013). Menurut National Dissemination Center for Children with Disabillities (2011), terdapat beberapa saran untuk orang tua yang memiliki anak dengan retardasi mental, yaitu : 1. Orang tua dapat belajar mengenai retardasi mental, semakin banyak diketahui semakin dapat membantu diri sendiri dan anak. 2. Dorong perilaku ketidaktergantungan dari anak, contohnya membantu anak mempelajari ketrampilan daily-care seperti memakai pakaian, makan sendiri, menggunakan toilet dan berdandan. 3. Berikan anak tugas sesuai dengan umurnya dan kemampuannya. Memberikan tugas dapat dimulai dari tahap yang sangat mudah, seperti mengatur meja makan, pertama tanyakan anak berapa serbet yang diperlukan, lalu menyuruhnya untuk meletakkan disetiap tempat sesuai dengan jumlah anggota keluarga. Beritahu anak tahap demi tahap sampai tugas yang diberikan selesai. Tunjukkan terlebih dahulu caranya, dan bantu anak apabila diperlukan. 4. Cari tahu ketrampilan yang anak dapatkan disekolah dan lakukan pengulangan ketrampilan dirumah. 5. Temukan peluang dalam masyarakat untuk melakukan aktivitas sosial, kemudian bantu anak untuk bersosialisasi.
34
6. Bertemu dengan guru disekolah untuk membuat rencana tentang apa yang anak perlukan dan cari tahu bagaimana cara untuk dapat mendukung anak tentang pembelajaran disekolah saat dirumah.