BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Demam Berdarah Dengue 2.1.1. Definisi Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan
penyakit infeksi yang
disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinis berupa demam, nyeri otot, dan atau
nyeri sendi yang disertai lekopenia, ruam, limfadenopati,
trombositopenia dan diatesis hemoragik. Gejala lainnya adalah perembesan plasma yang ditandai oleh hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga tubuh. Manifestasi terberat DBD adalah DSS (Dengue Syock Syndrome) yang ditandai oleh renjatan/syok(10). 2.1.2. Epidemiologi Demam Berdarah Dengue banyak ditemukan di daerah tropis dan subtropis.Data menunjukkan bahwa benua Asia menempati urutan pertama dalam jumlah penderita DBD setiap tahunnya.World Health Organization (WHO) mencatat, sejak tahun 1968 hingga tahun 2009, Indonesia merupakan negara dengan kasus DBD tertinggi di Asia Tenggara(1). Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) masih menjadi salah satu masalah kesehatan masyarakat yang utama di Indonesia. Jumlah penderita dan luas daerah penyebarannya semakin bertambah seiring dengan meningkatnya mobilitas dan kepadatan penduduk. Demam Berdarah pertama kali ditemukan di Indonesia pada tahun 1968, tepatnya di kota Surabaya, dimana sebanyak 58 orang terinfeksi dan 24 orang diantaranya meninggal dunia, dengan Angka Kematian (AK) : 41,3 %). Sejak saat itu, penyakit ini terus menyebar luas ke seluruh Indonesia(1). Kasus DBD di Indonesia telah menjadi masalah kesehatan masyarakat selama 41 tahun terakhir. Sejak tahun 1968 telah terjadi peningkatan persebaran jumlah
5
6
provinsi dan kabupaten/kota yang endemis DBD, dari 2 provinsi dan 2 kota, menjadi 32 (97%) dan 382 (77%) kabupaten/kota pada tahun 2009. Selain itu terjadi juga peningkatan jumlah kasus DBD, pada tahun 1968 hanya 58 kasus menjadi 158.912 kasus pada tahun 2009(1). Ada beberapa faktor yang mempengaruhi peningkatan dan penyebaran kasus Demam Berdarah Dengue , diantaranya: 1. Pertumbuhan penduduk yang tinggi 2. Urbanisasi yang tidak terencana dan tidak terkendali 3. Tidak ada kontrol vektor nyamuk yang efektif di daerah endemis dan 4. Peningkatan sarana transportasi.
Gambar 2.1. Angka Insiden DBD per 100.000 penduduk di Indonesia Tahun 2009 Distribusi kasus pada tahun 2008 berdasarkan jenis kelamin, persentase penderita laki-laki dan perempuan hampir sama. Jumlah penderita berjenis kelamin laki-laki adalah 10.463 orang (53,78%) dan perempuan berjumlah 8.991 orang (46,23%). Hal ini menggambarkan bahwa risiko terkena DBD untuk lakilaki dan perempuan hampir sama, tidak tergantung jenis kelamin. Sedangkan distribusi umur pada kasus DBD di Indonesia dari tahun 1993 - 2009 terjadi pergeseran, dimana pada tahun 1993 hingga tahun 1998, kelompok umur terbesar
7
kasus DBD adalah kelompok umur <15 tahun. Akan tetapi, mulai dari tahun 1999 – 2009, kelompok umur ≥ 15 tahun merupakan kelompok umur dengan kasus DBD terbanyak di Indonesia(1). 2.1.3. Etiologi DBD disebabkan oleh virus dengue yang termasuk dalam kelompok B Arthropod
Borne
Virus
(Arboviroses),
genus
Flavivirus
dan
famili
Flaviviridae.Terdapat 4 serotipe yang diketahui yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4. Semua serotipe virus dengue ini ditemukan bersirkulasi di Indonesia, dimana serotipe terbanyak adalah DEN-3(11). 2.1.4. Vektor Vektor penularan DBD adalah Arthropoda yang secara aktif menularkan mikroorganisme penyebab penyakit dari penderita kepada orang yang sehat baik secara mekanik maupun biologi. Penularan penyakit DBD dari satu orang ke orang lain melalui perantara nyamuk Aedes. Penyakit ini tidak akan menular tanpa ada gigitan nyamuk. Nyamuk pembawa virus Dengue yang paling utama adalah jenis Aedes aegypti, sedangkan Aedes albopictus relatif jarang. Nyamuk Aedes aegypti mulanya berasal dari Mesir yang kemudian menyebar ke seluruh dunia, melalui kapal laut maupun udara. Nyamuk Aedes hidup dengan baik di belahan dunia yang beriklim tropis dan subtropis seperti Asia, Afrika, Australia, dan Amerika(12). 2.1.4.1. Morfologi dan Daur Hidup Nyamuk berukuran kecil (4-13 mm) dan rapuh. Kepalanya mempunyai probosis halus dan panjang yang melebihi panjang kepala. Pada nyamuk betina, probosis dipakai sebagai alat untuk menghisap darah, sedangkan pada nyamuk jantan untuk menghisap bahan-bahan cair seperti cairan tumbuh-tumbuhan, buahbuahan dan juga keringat. Di kiri kanan probosis terdapat palpus yang terdiri dari 5 ruas dan sepasang antena yang terdiri dari 15 ruas. Antena pada nyamuk jantan berambut lebat (plumose) dan pada nyamuk betina jarang (pilose). Sebagian besar toraks yang tampak (mesonotum) diliputi bulu halus. Bagian posterior dari mesonotum terdapat skutelum yang membentuk 3 lengkungan (trilobus)(13).
8
Nyamuk ini memiliki kebiasaan menggigit orang secara bergantian dalam waktu singkat. Nyamuk Ae. Aegypti betina sangat sensitif terhadap rangsangan gerakan. Nyamuk dewasa betina mulai menghisap darah manusia setelah berumur tiga hari dan sanggup bertelur hingga 100 telur. Dua puluh empat jam kemudian nyamuk ini kembali menghisap darah dan selanjutnya akan bertelur kembali(14). 2.1.4.2.Siklus Hidup Nyamuk Aedes aegypti 2.1.4.2.1. Telur Nyamuk Aedes aegypti meletakkan telur di atas permukaan air satu per satu. Telur dapat bertahan hidup dalam waktu yang cukup lama dalam bentuk dorman. Namun, bila air cukup tersedia, telur-telur biasanya menetas 2-3 hari sesudah diletakkan(12). 2.1.4.2.2. Larva Telur menetas menjadi larva atau sering disebut dengan jentik. Larva nyamuk memiliki kepala yang cukup besar serta toraks dan abdomen yang cukup jelas. Untuk mendapatkan oksigen dari udara, larva nyamuk Aedes aegypti biasanya menggantungkan tubuhnya agak tegak lurus dengan permukaan air. Kebanyakan larva nyamuk menyaring mikroorganisme dan partikel-partikel lainnya dalam air. Larva biasanya melakukan pergantian kulit sebanyak empat kali dan berpupasi sesudah 7 hari(12). 2.1.4.2.3. Pupa Setelah mengalami pergantian kulit keempat, maka terjadi pupasi. Pupa berbentuk agak pendek, tidak makan, tetapi tetap aktif bergerak dalam air terutama bila diganggu. Bila perkembangan pupa sudah sempurna, yaitu sesudah 2 atau 3 hari, maka kulit pupa pecah dan nyamuk dewasa keluar dan terbang(12). 2.1.4.2.4. Dewasa Nyamuk dewasa yang keluar dari pupa berhenti sejenak di atas permukaan air untuk mengeringkan tubuhnya terutama sayap-sayapnya. Setelah itu nyamuk akan terbang untuk mencari makan. Dalam keadaan istirahat, nyamuk Aedes aegypti hinggap dalam keadaan sejajar dengan permukaan(12).
9
Gambar 2.2. Siklus hidup nyamuk Aedes aegypti
2.1.4.2.5. Tempat Pembiakan Nyamuk Aedes aegypti Nyamuk Aedes aegypti yang aktif pada siang hari biasanya meletakkan telur dan berbiak pada tempat-tempat penampungan air bersih atau air hujan seperti bak mandi, tangki penampungan air, vas bunga (di rumah, sekolah, kantor, atau perkuburan), kaleng-kaleng atau kantung-kantung plastik bekas, di atas lantai gedung terbuka, talang rumah, bambu pagar, kulit-kulit buah seperti kulit buah rambutan, tempurung kelapa, ban-ban bekas, dan semua bentuk kontainer yang dapat menampung air bersih. Jentik-jentik nyamuk dapat terlihat berenang naik turun di tempat-tempat penampungan air tersebut(14). 2.1.4.2.6. Sifat –sifat Nyamuk Aedes Aegypti Nyamuk betina memerlukan darah untuk bertelur. Nyamuk betina menghisap darah manusia setiap 2 ± 3 hari sekali. Nyamuk betina biasanya menghisap darah manusia pada pagi hari sampai sore hari, dan lebih sering pada jam 08.00 sampai 12.00 siang serta pada sore hari, sekitar jam 15.00 sampai 17.00. Nyamuk betina mampu terbang hingga jarak 100 meter, dan hidup hingga satu bulan(15).
10
Nyamuk beristirahat selama menunggu bertelur di tempat gelap, lembab, sedikit angin dan biasanya tidak jauh dari tempat menggigit dan bersarang. Tempat yang biasa dipakai adalah tempat tidur, toilet dan dapur(16).
2.1.5.Patogenesis dan Patofisiologi Mekanisme imunopatologis berperan dalam terjadinya DBD dan DSS. Respon imun yang diketahui berperan dalam patogenesis DBD adalah respon humoral berupa pembentukan antibodi yang berperan dalam proses netralisasi virus, sitolisis yang dimediasi komplemen dan sitotoksisitas yang dimediasi antibodi, limfosit T baik T-helper (CD4) dan T sitotoksik (CD8) berperan dalam respon imun seluler terhadap virus dengue dimana diferensiasi T helper yaitu TH1 akan memproduksi interferon gamma, IL-2 dan limfokin, sedangkan TH2 memproduksi IL-4, IL-5, IL-6 dan IL-10, peranan monosit dan makrofag dalam fagositosis virus dengan opsonisasi antibodi serta aktivitasi komplemen oleh kompleks imun yang menyebabkan terbentuknya C3a dan C5a(17).
2.1.6. Mekanisme penularan DBD Penyakit DBD hanya dapat ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti betina. Nyamuk ini mendapat virus Dengue sewaktu menggigit/menghisap darah orang yang sakit DBD atau tidak sakit DBD tetapi dalam darahnya terdapat virus Dengue. Orang yang terinfeksi virus Dengue tetapi tidak sakit, tetap dapat menularkan virus Dengue kepada orang lain di tempat yang terdapat nyamuk Aedes aegypti(16). Virus Dengue yang terhisap akan berkembang biak dan menyebar ke seluruh tubuh nyamuk termasuk kelenjar liurnya. Nyamuk tersebut kemudian menggigit/menghisap darah orang lain yang menyebabkan virus Dengue akan berpindah bersama air liur nyamuk. Apabila orang yang tertular tidak memiliki kekebalan tubuh yang baik (umumnya anak-anak) maka ia akan menderita DBD. Nyamuk yang sudah mengandung virus Dengue, seumur hidupnya dapat menularkan virus kepada orang lain. Dalam darah manusia, virus Dengue akan mati dengan sendirinya dalam waktu lebih kurang 1 minggu(16).
11
2.1.7. Manifestasi Klinis dan Komplikasi Berdasarkan panduan WHO terbaru tahun 2009, kriteria DBD dibedakan menjadi kriteria dengue tanpa tanda bahaya, kriteria dengue dengan tanda bahaya dan kriteria berat. Untuk kriteria dengue tanpa tanda bahaya merupakan probable dengue yang terjadi apabila seseorang bertempat tinggal atau sedang bepergian di daerah endemik dengue. Selain itu, terjadi demam disertai 2 dari gejala dan tanda yaitu mual, muntah, ruam, sakit dan nyeri, uji torniket positif serta lekopenia. Sedangkan dengue dengan tanda bahaya meliputi nyeri perut, muntah berkepanjangan, terdapat akumulasi cairan, perdarahan mukosa, letargi, lemah, pembesaran hati > 2 cm serta kenaikan hematokrit seiring dengan penurunan jumlah trombosit yang cepat. Manifestasi klinis untuk kriteria dengue berat yaitu kebocoran plasma berat yang dapat menyebabkan DSS dan akumulasi cairan dengan distress pernafasan, perdarahan hebat serta gangguan organ berat, misalnya hepar (AST atau ALT ≥ 1000), gangguan kesadaran, gangguan jantung dan organ lain(1). Gambaran klinis DBD dibagi menjadi 3 fase yaitu fase febris, fase kritis dan fase pemulihan. Fase febris terjadi ketika pasien mengalami demam tinggi selama 2 hingga 7 hari, disertai muka kemerahan, eritema kulit, nyeri seluruh tubuh, mialgia, artralgia dan sakit kepala. Beberapa kasus pada fase ini ditemukan nyeri tenggorok, injeksi faring dan konjungtiva, anoreksia, mual dan muntah, serta dapat pula ditemukan manifestasi perdarahan yang ringan seperti perdarahan mukosa, dan perdarahan gastrointestinal walaupun jarang sekali ditemukan. Pembesaran hepar dapat ditemukan beberapa hari setelah demam terjadi. Pada fase kritis yang terjadi pada hari 3 – 7 ditandai dengan penurunan suhu tubuh menjadi 37,5 – 380C disertai kenaikan permeabilitas kapiler, peningkatan hematokrit & timbulnya kebocoran plasma (plasma leakage). Kebocoran plasma sering didahului oleh terjadinya leukopeni progresif & penurunan jumlah trombosit. Tanda kebocoran plasma seperti efusi pleura dan asites dapat dideteksi pada fase ini. Pada fase kritis ini, pasien dapat mengalami DSS. Sedangkan pada fase pemulihan akan terjadi pengembalian cairan dari ekstravaskuler ke intravaskuler secara perlahan pada 48 – 72 jam setelahnya. Proses tersebut
12
membuat keadaan umum penderita semakin membaik, ditandai dengan nafsu makan yang pulih kembali, hemodinamik stabil dan diuresis membaik. Pada fase ini peningkatan jumlah leukosit terjadi lebih dahulu dibandingkan dengan peningkatan jumlah trombosit(1).
2.1.8.Tatalaksana Kasus Demam Berdarah Dengue Dasar pengobatan DBD adalah pemberian cairan ganti secara adekuat. Penderita DBD tanpa renjatan dapat diberi minuman banyak 1,5-2 liter perhari, berupa air putih, teh manis, sirup, susu, oralit, dan lain-lain. Penderita DBD yang tidak disertai renjatan tersebut dapat diberikan obat penurun panas. Karena besarnya risiko bahaya yang mengancam, setiap orang yang diduga menderita DBD harus segera dibawa ke rumah sakit(18,19).Perawatan di rumah sakit diperlukan untuk pemantauan kemungkinan terjadinya komplikasi, yaitu: perdarahan dan renjatan (shock). Pada orang dewasa kemungkinan ini sangat kecil dan banyak terjadi pada anak-anak. Penderita biasanya mengalami demam 2-7 hari diikuti fase kritis 2-3 hari. Pada fase kritis ini, suhu menurun tetapi risiko terjadinya penyakit justru meningkat bahkan bila tidak diatasi dengan baik dapat menimbulkan kematian(18,19).
2.1.8.1. Pencegahan Penyebaran DBD yang meluas bahkan diperkirakan angka kematiannya dapat mencapai 15% menjadikan DBD pusat perhatian berbagai pihak.karena itu, perlu adanya tindakan pencegahan penularan DBD. prinsip tersebut adalah sebagai berikut : 1) Memutus rantai penularan dengan mengendalikan kepadatan vektor pada tingkat yang sangat rendah. 2) Mengusahakan pemberantasan vektor di pusat daerah penyebaran yaitu sekitar rumah, sekolah dan sebagainya. 3) Mengusahakan pemberantasan vektor di daerah dengan potensi penularan tinggi.
13
Kejadian DBD pertama di Asia Tenggara terjadi di Filipina Pada tahun 1953. Pada tahun 1968. Kemudian, terus menular ke berbagai Negara di benua Asia, termasuk Indonesia(20).Pemberantasan DBD di Indonesia, pertama kali dilakukan di Jakarta dan Surabaya. Kegiatan pokok pemberantasan meliputi penemuan dan pengobatan penderita serta penyemprotan di lokasi kasus DBD yang ditemukan. Tahun 1975 - 1979 dibentuk Subdit Arbovirosis pada Ditjen PPM-PLP. Untuk desa endemis dilakukan abatisasi selektif (abatisasi terhadap tempat-tempat penampungan air yang ditemukan jentik nyamuk Aedes aegypti), foging massal dan PSN. Pada tahun 1989, pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Kesehatan 560 tahun 1989 mengenai pencegahan dan penanggulangan DBD melalui kewajiban pelaporan kasus DBD dalam tempo 24 jam. Kemudian stratifikasi desa disempurnakan menjadi 3 strata yaitu endemis, sporadis dan bebas/potensial(21). Pada tahun 2009, WHO menganjurkan beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mencegah DBD dalam Dengue Guidelines For Diagnosis, Treatment, Prevention and Control. Cara pencegahannya meliputi manajemen berbasis lingkungan, kimiawi dan biologi(21). 1. Manajemen berbasis lingkungan Manajemen lingkungan mencakup semua perubahan yang dapat mencegah atau meminimalkan perkembangbiakan vektor sehingga kontak manusia-vektor berkurang. Menurut WHO, manajemen lingkungan dibagi menjadi 3 jenis yaitu : a.
Modifikasi lingkungan, pengubahan fisik habitat larva yang tahan lama
b.
Manipulasi lingkungan, pengubahan sementara habitat vektor yang memerlukan pengaturan wadah serta manajemen pemusnahan tempat perkembangbiakan nyamuk
c.
Perubahan kebiasaan atau praktik manusia, untuk mengurangi kontak vektor dengan manusia(16). Beberapa kegiatan berbasis lingkungan yang dapat dilakukan untuk
mencegah DBD seperti program PSN yang meliputi kegiatan menguras dan menggosok bak mandi serta tempat-tempat panampungan air sekurang-kurangnya seminggu sekali, menutup rapat tempat penampungan air dengan tujuan agar
14
nyamuk tidak dapat bertelur pada tempat-tempat tersebut. Selain itu, mengubur barang-barang bekas terutama yang berpotensi menjadi tempat berkembangnya jentik-jentik nyamuk, seperti sampah keleng, botol pecah, dan ember plastik serta mengganti air pada vas bunga dan wadah terbuka lain yang berpotensi setidaknya seminggu sekali. Kegiatan lain seperti membersihkan pekarangan dan halaman sekitar tempat tinggal, menutup lubang-lubang pada pohon terutama pohon bambu yang dapat menampung air, membersihkan air yang tergenang di atap rumah serta membersihkan salurannya kembali jika salurannya tersumbat oleh sampahsampah dari daun juga dinilai mampu mengurangi populasi nyamuk sebagai vektor penyebab(22). Untuk mencegah atau mengurangi kontak antara vektor dengan manusia dapat dilakukan dengan cara menggunakan kelambu yang diberi insektisida saat tidur, berpakaian menutupi tubuh, memakai semprotan piretrum dan aerosol untuk perlindungan diri, memakai repellant atau obat anti nyamuk oles, memasang kawat kasa di jendela dan ventilasi, mengatur pencahayaan dalam rumah agar ruangan tidak lembab dan cukup terkena cahaya dan tidak membiasakan menggantung pakaian di dalam kamar(23,24). 2. Kontrol biologis Kontrol biologis dapat dilakukan dengan menggunakan ikan pemakan larva nyamuk, bakteri Bacillus thuringiensis dan Copepoda predator seperti Cyclopoidea.(24). 3. Manajemen secara kimiawi Pengendalian secara kimiawi merupakan cara pengandalian serta pembasmian nyamuk serta jentiknya dengan menggunakan bahan-bahan kimia. Fogging merupakan salah satu cara kimiawi yang dapat dilakukan untuk pembasmian larva nyamuk. Fogging dilakukan dengan menggunakan mesin fog atau mesin ULV jika ditemukan sekurangnya 3 penderita panas tanpa sebab dan kepadatan jentik tinggi. Campuran bahan kimia untuk pengasapan adalah malathion atau fenitrothion dalam dosis 438 gram per hektar dilarutkan dalam 4% solar atau minyak tanah, dilakukan di dalam rumah ataupun di luar rumah. Pada
15
saat terjadi wabah penyemprotan dilakukan minimal 2 kali dengan jarak 10 hari di rumah penderita dan pada jarak 100 meter disekelilingnya (25). Pencegahan DBD dengan carayang paling efektif , merupakan rangkuman dari kegiatan di atas yaitu dengan mengkombinasikan cara-cara di atas yang dikenal dengan istilah 3M Plus yaitu dengan menutup tempat penampungan air, menguras bak mandi dan tempat penampungan air sekurang-kurangnya seminggu sekali serta menimbun sampah-sampah dan lubang-lubang pohon yang berpotensi sebagai tempat perkembangan jentik-jentik nyamuk. Selain itu, dapat pula ditambah dengan melakukan tindakan plus seperti memelihara ikan pemakan larva nyamuk, menggunakan kelambu saat tidur, memasang kasa, menyemprot dengan insektisida, menggunakan repellant, memasang obat nyamuk, memeriksa jentik nyamuk secara berkala serta tindakan lain yang sesuai dengan kondisi setempat(26,27). 2.2. Indikator Keberhasilan Pencegahan DBD 2.2.1. Pengamatan Vektor Pengamatan vektor dilakukan terhadap nyamuk Ae. Aegypti terutama penyebaran, kepadatan, habitat, dugaan terjadinya resikoo penularan, tingkat kepekaan terhadap insektisida serta memprioritaskan lokasi waktu pelaksanaan pemberantasan, mencangkup survei jentik , nyamuk dewasa, Landing Biting collections, resting collections, oviposting traps, dan larvitrap. Dalam kegiatan tersebut dapat diketahui nilai tingkat keberadaaan Ae. aegypti yang kita kenal dengan menggunakan rumus : Angka Bebas Jentik (ABJ) = 𝐻𝑜𝑢𝑠𝑒𝐼𝑛𝑑𝑒𝑥 (𝐻𝐼) = 𝐶𝑜𝑢𝑛𝑡𝑎𝑖𝑛𝑒𝑟𝐼𝑛𝑑𝑒𝑥 (𝐶𝐼) = 𝐵𝑟𝑒𝑡𝑒𝑎𝑢𝐼𝑛𝑑𝑒𝑥 (𝐵𝐼 =
× 100 × 100 × 100 × 100 (28)
Suatu daerah dinyatakan memiliki risiko penularan DBD yang tinggi apabila container index > 5%, house index > 10%, dan breteauindex > 50. BI
16
merupakan prediktor KLB (Kejadian Luar Biasa), apabila BI ≥ 50 maka daerah tersebut berpotensi untuk mengalami KLB(29). 2.2.3. Angka Bebas Jentik Angka bebas jentik adalah persentas pemeriksaan jenti yang dilakukan di semua desa/kelurahan setiap 3 ( tiga) bulan oleh petugas puskesmas pada rumahrumah penduduk yang diperiksa secara acak. Prevalensi DBD yang masih tinggi tidak terlepas dari faktor resiko penularan di masyarakat, seperti angka bebas jentik <95%(3). 2.3. Faktor yang Berpengaruh Terhadap Pencegahan DBD 2.3.1.Perilaku Perilaku adalah suatu kegiatan atau aktifitas organisme (makhluk hidup) yang bersangkutan.Tindakan atau aktifitas dari manusia itu sendiri yang mempunyai bentangan sangat luas antara lain, berjalan, berbicara, menangis, tertawa, bekerja, kuliah, menulis, membaca dan sebagainya(30). Perilaku adalah aktivitas yang timbul karena ada stimulus dan respon serta dapat diamati secara langsung maupun tidak langsung. 2.3.2.Pengetahuan Pengetahuan adalah keseluruhan pemikiran, gagasan, ide, konsep dan pemahaman yang dimiliki manusia terhadap suatu hal.Pengetahuan merupakan hasil dari tahu yang terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan dengan panca indera terhadap objek tertentu , dan pengetahuan hanya akan terwujud apabila manusia tersebut adalah bagian dari objek itu sendiri(5) 2.3.3.Sikap Sikap merupakan kesiapan / kesediaan seseorang untuk merespon sesuatu, baik terhadap rangsangan yang positif maupun rangsangan negatif dari suatu objek. Sikap belum merupakan suatu tindakan , akan tetapi merupakan faktor predisposisi bagi seseorang dalam berperilaku(31).
17
2.3.4. Praktik atau tindakan (practice) Merupakan salah satu komponen perilaku yang merupakan reaksi/respon terbuka dari seseorang terhadap suatu stimulus/obyek dalam bentuk tingkah laku.Praktik atau tindakan masyarakat dalam bidang kesehatan tercermin dalam bentuk partisipasi , yaitu keikutsertaan
seluruh anggota masyarakat dalam
memecahkan permasalahan-permasalahan dalam masyarakat tersebut yang berhubungan dengan kesehatan(26).
2.4. Peran Farmasis Dalam Pencegahan DBD Farmasis merupakan salah satu tenaga kesehatan yang ada di Indonesia, banyaknya masalah kesehatan yang terjadi di Indonesia pada saat ini merupakan pekerjaan rumah bagi pemerintah serta seluruh masyarakat, comtohmya adalah Demam Berdarah Dengue. Peran farmasis dalam Pencegahan DBD salah satunya dengan melakukan promosi kesehatan dengan tujuan untuk mengurangi kasus DBD yang terjadi di Indonesia.
2.5. Hipotesis Penelitian 1) Ada hubungan antara umur dengan tindakan dalam pencegahan Demam Berdarah Dengue di Kecamatan Mlati. 2) Ada hubungan antara pendidikan dengan tindakan dalam pencegahan Demam Berdarah Dengue di Kecamatan Mlati. 3) Ada hubungan antara pekerjaan dengan tindakan dalam pencegahan Demam Berdarah Dengue di Kecamatan Mlati 4) Ada hubungan antara pendapatan dengan tindakan dalam pencegahan Demam Berdarah Dengue di Kecamatan Mlati. 5) Ada hubungan antara pengetahuan dengan tindakan dalam pencegahan Demam Berdarah Dengue di Kecamatan Mlati. 6) Ada hubungan antara sikap dengan tindakan dalam pencegahan Demam Berdarah Dengue di Kecamatan Mlati.
18
2.5. Kerangka Konsep
Pengetahuan Sikap
Tindakan Jenis kelamin Pendidikan Umur Pendapatan
Keterangan:
Variabel bebas Variabel Tergantung Variabel Perancu