BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Tinjauan Umum Mengenai Nyamuk Aedes spp. Nyamuk Aedes spp. merupakan vektor utama dari demam berdarah dengue
(DBD) yang terdiri dari Ae. aegypti dan Ae. albopictus. Kedua jenis nyamuk ini terdapat hampir semua di pelosok Indonesia, kecuali di tempat-tempat dengan ketinggian 1000 meter di atas permukaan laut, karena pada ketinggian tersebut suhu udara rendah sehingga tidak memungkinkan bagi nyamuk untuk hidup dan berkembangbiak (Siregar, 2004). Nyamuk-nyamuk Aedes yang aktif pada waktu siang hari seperti Ae. aegypti dan Ae. albopictus biasanya meletakkan telur dan berbiak pada tempat-tempat penampungan air bersih atau air hujan seperti bak mandi, tangki penampungan air, vas bunga (di rumah, sekolah, kantor, atau di pekuburan), kaleng-kaleng atau kantung-kantung plastik bekas, di atas lantai gedung terbuka, talang rumah, bambu pagar, kulit-kulit buah seperti kulit buah rambutan, tempurung kelapa, ban-ban bekas, dan semua bentuk kontainer yang dapat menampung air bersih (Sembel, 2009). Ae. aegypti pada malam hari beristirahat dalam rumah pada benda-benda yang digantung, seperti pakaian, kelambu, pada dinding dan di bawah rumah dekat tempat berbiaknya, biasanya di tempat yang gelap (Soedarmo, 1988). Sedangkan nyamuk Ae. albopictus lebih suka berisitirahat di luar rumah (Gandahusada, 2000). Nyamuk dewasa betina mengisap darah manusia pada siang hari yang dilakukan baik di dalam rumah ataupun di luar rumah. Pengisapan darah dilakukan dari pagi sampai petang dengan dua puncak waktu yaitu setelah matahari terbit
Universitas Sumatera Utara
(08.00 - 10.00) dan sebelum matahari terbenam (15.00 – 17.00). Nyamuk betina mengisap darah dengan tujuan untuk mendapatkan protein untuk memproduksi telur sedangkan nyamuk jantan tidak membutuhkan darah, dan memperoleh energi dari nektar bunga ataupun tumbuhan (Djunaedi, 2006). 2.1.1. Klasifikasi Nyamuk Aedes spp. Menurut Gandahusada (2000) dalam Santi (2010), kedudukan nyamuk Aedes spp. dalam klasifikasi hewan, yaitu: Filum
: Arthropoda
Kelas
: Insecta
Bangsa
: Diptera
Suku
: Culicidae
Marga
: Aedes
Spesies
: Aedes spp.
2.1.2. Morfologi nyamuk Aedes spp. Masa pertumbuhan dan perkembangan nyamuk Aedes spp. dapat dibagi menjadi empat tahap yaitu telur, larva, pupa, dan dewasa, sehingga termasuk metamorfosis sempurna. a. Telur Karakteristik telur Aedes spp. adalah berbentuk bulat pancung yang mulamula berwarna hitam kemudian berubah menjadi hitam. Telur tersebut diletakkan secara terpisah di permukaan air yang memudahkannya menyebar dan berkembang menjadi larva di dalam media air. Media air yang di pilih untuk tempat peneluran itu
Universitas Sumatera Utara
adalah air bersih yang stagnan (tidak mengalir) dan tidak berisi spesies lain sebelumnya (Supartha, 2008). Telur Aedes spp. dapat bertahan pada kondisi kering pada waktu dan intensitas yang bervariasi hingga beberapa bulan, tetapi tetap hidup. Jika tergenang air, beberapa telur mungkin menetas dalam beberapa menit, sedangkan yang lain membutuhkan waktu lama terbenam dalam air, kemudian penetasan berlangsung dalam beberapa hari atau minggu. Bila kondisi lingkungan tidak menguntungkan, telur-telur mungkin berada dalam status diapause dan tidak akan menetas hingga waktu istirahat berakhir. Telur-telur Aedes spp. dapat berkembang pada habitat kontainer kecil (lubang pohon, ketiak daun, dan sebagainya) yang rentan terhadap kekeringan (Sayono, 2008). b. Larva Telur menetas menjadi larva atau sering juga disebut jentik. Larva nyamuk memiliki kepala yang cukup besar serta toraks dan abdomen yang cukup jelas. Larva dari kebanyakan nyamuk menggantungkan diri pada permukaan air. Jentik-jentik nyamuk Aedes spp. biasanya menggantungkan tubuhnya agak tegak lurus pada permukaan air, guna untuk mendapatkan oksigen di udara (Sembel, 2009). Larva ini dalam pertumbuhan dan perkembangannya mengalami empat tahapan yang disebut Instar. Keempat instar itu dapat di selesaikan dalam waktu 4 hari – 2 minggu tergantung keadaan lingkungan seperti suhu air dan persediaan makanan. Pada air yang agak dingin perkembangannya agak sedikit lambat, demikian
Universitas Sumatera Utara
juga keterbatasan persediaan makanan menghambat perkembangan larva (Supartha, 2008). c. Pupa Stadium pupa ini merupakan tahapan akhir dari siklus hidup nyamuk dalam air. Pupa adalah fase inaktif yang tidak membutuhkan makan, namun tetap membutuhkan oksigen untuk bernafas. Untuk keperluan pernafasannya pupa berada di dekat permukaan air. Umumnya nyamuk jantan yang terlebih dahulu keluar sedangkan nyamuk betina muncul belakangan (Supartha, 2008). d. Nyamuk dewasa Nyamuk memiliki ukuran tubuh yang relatif kecil, memiliki kaki panjang dan merupakan serangga yang memiliki sepasang sayap sehingga tergolong pada ordo Diptera dan famili Culicidae. Tubuh nyamuk terdiri atas tiga bagian yaitu kepala, dada, dan perut. Nyamuk jantan lebih kecil dari pada nyamuk betina (Lestari, 2010). Nyamuk Ae. aegypti memiliki ciri khas yaitu mempunyai warna dasar yang hitam dengan bintik-bintik putih pada bagian-bagian badannya terutama pada kakinya. Morfologi yang khas adalah gambaran lira (lyre-form) yang putih pada punggungnya (Gandahusada, 2000). Nyamuk ini hidup didalam dan di sekitar rumah. Boleh dikatakan bahwa nyamuk betina sangat menyukai darah manusia (anthropophilic) dari pada darah binatang. Nyamuk betina mempunyai kebiasaan menghisap darah berpindah-pindah berkali-kali dari satu individu ke individu lain (Soegijanto, 2006). Nyamuk Ae. albopictus secara morfologis sangat mirip dengan nyamuk Ae. Aegypti yang membedakan hanyalah pada strip putih yang terdapat pada
Universitas Sumatera Utara
skutumnya. Pada Ae. albopictus skutumnya juga berwarna hitam hanya berisi satu garis putih tebal dibagian dorsalnya (Supartha, 2008).
Gambar 1. Nyamuk Aedes aegypti
Gambar 2. Nyamuk Aedes albopictus Sumber. www.google.com
Universitas Sumatera Utara
2.1.3. Siklus Hidup Nyamuk Aedes spp. Nyamuk mengalami metamorfosis sempurna, yaitu: telur, larva, pupa, dewasa. Stadium telur, larva, dan pupa hidup di dalam air sedangkan stadium dewasa hidup di udara. Telur yang dihasilkan nyamuk betina berwarna putih, tetapi sesudah 1-2 jam berubah menjadi hitam. Setelah 2-4 hari telur menetas menjadi larva yang selalu hidup dalam air, kemudian mengalami pengelupasan kulit sebanyak 4 kali, tumbuh menjadi pupa dan akhirnya menjadi dewasa. Pertumbuhan larva nyamuk Aedes spp. instar 1 sampai 4 berlangsung 6-8 hari (Gandahusada, 2000).
Gambar 3. Siklus Hidup Nyamuk Sumber. www.google.com
2.1.4. Tata Hidup nyamuk Aedes spp. Nyamuk-nyamuk Aedes spp. berbiak dalam air-air bersih yang tertampung dalam kontainer-kontainer bekas seperti botol-botol plastik, kaleng-kaleng bekas, ban
Universitas Sumatera Utara
mobil bekas, tempurung, bak-bak air penampungan terbuka, bambu-bambu pagar, tempurung kelapa, pelepah kelapa, kulit-kulit buah seperti kulit buah rambutan, vas-vas bunga segar yang berisi air, dan lain-lain. Nyamuk Ae. aegypti dan Ae. albopictus biasanya aktif pada waktu siang hari dan lebih suka menghisap darah manusia daripada hewan (Sembel, 2009). Nyamuk betina mempunyai kebiasaan menghisap darah berpindah-pindah berkali-kali dari satu individu ke individu lain, dikarenakan manusia yang menjadi sumber makanan darah utamanya beraktifitas/bergerak sehingga nyamuk merasa tidak tenang ketika menghisap darah (Soegijanto, 2006). Secara umum, nyamuk adalah organisme yang mudah dipengaruhi oleh perubahan lingkungan. Fenomena pemanasan global diduga memicu terjadinya metamorfosis yang semakin cepat, termasuk pada nyamuk Ae. aegypti dan Ae. albopictus (Soegijanto, 2006). 2.1.5. Suhu Menurut Yotopranoto, et al. dalam Yudhastuti (2005) dijelaskan bahwa ratarata suhu optimum untuk pertumbuhan nyamuk adalah 25-27°C dan pertumbuhan nyamuk akan berhenti sama sekali bila suhu kurang dari 10°C atau lebih dari 40°C. 2.1.6. Kelembaban Tingkat
kelembaban
60%
merupakan
batas
paling
rendah
untuk
memungkinkan hidupnya nyamuk (Suhardiono, 2005). Menurut Mardihusodo dalam Yudhastuti (2005) kelembaban yang optimum untuk pertumbuhan embroisasi dan ketahanan hidup embrio nyamuk adalah berkisar 81,5% - 89,5%.
Universitas Sumatera Utara
2.2.
Tinjauan Umum Demam Berdarah Dengue Demam dengue dan dengue hemorrhagic fever (DHF) atau dikenal sebagai
demam berdarah dengue disebabkan oleh salah satu dari empat antigen yang berbeda, tetapi sangat dekat satu dengan yang lain, yaitu Den-1, Den-2, Den-3, Den-4 dari genus Flavivirus. Demam berdarah dengue (DBD) adalah bentuk dengue yang parah, berpotensi mengakibatkan kematian (Sembel, 2009). DBD terjadi bilamana pasien mengidap virus dengue sesudah terjadi infeksi sebelumnya oleh tipe virus dengue yang lain. Jadi, imunitas sebelumnya terhadap tipe virus dengue yang lain adalah penting dalam menghasilkan penyakit DBD yang parah. Infeksi oleh salah satu serotype ini tidak menimbulkan imunitas dengan protektif silang (cross-protective) sehingga seseorang yang tinggal didaerah endemic dapat terinfeksi oleh demam dengue selama hidupnya. Penyakit ini terutama terdapat didaerah tropis (Sembel, 2009). Gejala klinis DHF berupa demam tinggi yang berlangsung terus-menerus selama 2-7 hari dan manifestasi perdarahan yang biasanya didahului dengan terlihatnya tanda-tanda khas berupa bintik-bintik merah (petechia) pada bagianbagian badan penderita. Penderita dapat mengalami sindrom syok dan meninggal (Gandahusada, 2000). Gambaran klinis penderita dengue terdiri dari 3 fase, yaitu fase febris, fase kritis dan fase pemulihan (Depkes, 2010):
Universitas Sumatera Utara
1. Fase febris Biasanya demam mendadak tinggi 2-7 hari, disertai muka kemerahan, eritema kulit, nyeri seluruh tubuh, mialgia, artralgia, dan sakit kepala. Pada beberapa kasus ditemukan nyeri tenggorok, injeksi farinf dan konjungtiva, anoreksia mual dan muntah. Pada fase ini dapat pula ditemukan tanda perdarahan seperti ptekie, perdarahan mukosa, walaupun jarang dapat pula terjadi perdarahan pervaginam dan perdarahan gastrointestinal. 2. Fase kritis Terjadi pada 3-7 sakit dan ditandai dengan penurunan suhu tubuh disertai dengan kenaikan permeabilitas kapiler dan timbulnya kebocoran plasma yang biasanya berlangsung selama 24-48 jam. Kebocoran plasma sering didahului oleh lekopeni progresif disertai penurunan hitung trombosit. Pada fase ini dapat terjadi syok. 3. Fase pemulihan Bila fase kritis terlewati maka terjadi pengembalian cairan dari ekstravaskuler ke intravaskuler secara perlahan-lahan pada 48-72 jam setelahnya. Keadaan umum penderita membaik, nafsu makan pulih kembali, hemodinamik kembali dan dieresis membaik. 2.2.1. Nyamuk Sebagai Vektor Penyakit Nyamuk termasuk kelas Insecta, ordo Diptera dan family Culicidae. Serangga ini kecuali dapat menggangu manusia dan binatang melalui gigitannya, juga dapat berperan sebagai vektor penyakit pada manusia dan binatang yang penyebabnya terdiri atas berbagai macam parasit (Gandahusada, 2000).
Universitas Sumatera Utara
Di seluruh dunia terdpat lebih dari 2500 spesies nyamuk meskipun sebagian besar dari spesies-spesies nyamuk ini tidak berasosiasi dengan penyakit virus (arbovirus) dan penyakit-penyakit lainnya. Jenis-jenis nyamuk yang menjadi vector utama, biasanya adalah Aedes spp., Culex spp., Anopheles spp., dan Mansonia spp (Sembel, 2009). Vektor DD dan DBD di Indonesia adalah nyamuk Ae. aegypti sebagai vektor utama dan nyamuk Ae. albopictus sebagai vector sekunder (Depkes RI, 2010). 2.2.2. Penyebaran Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) Sampai saat ini penyebaran dengue masih terpusat di daerah tropis, yaitu Australia Utara bagian timur, Asia Tenggara, India dan sekitarnya, Afrika, Amerika Latin, dan sebagian Amerika Serikat. Menurut pendapat Gubler (1996) dalam Sembel (2009) mengemukakan bahwa urbanisasi yang cepat, penggunaan bungkusbungkus plastik yang nonbiodegra-dable (tidak terurai secara biologis), peningkatan perjalanan dan perdagangan, serta kurangnya upaya pengendalian vektor telah memberi kontribusi terhadap penularan penyakit ini. Para ahli mengemukakan bahwa pemanasan global akan dapat mempercepat penyebaran demam dengue ke daerah-daerah beriklim dingin. Pemanasan global diprediksikan tidak hanya akan meningkatkan penyebaran nyamuk, tetapi juga akan membuat ukuran nyamuk menjadi lebih kecil (Sembel, 2009). Menurut Siregar (2004), penyebaran penyakit demam berdarah dengue (DBD) di daerah perkotaan lebih intensif daripada di daerah pedesaan. Hal ini disebabkan kepadatan jumlah penduduk di daerah perkotaan. Jarak antara rumah yang satu dan
Universitas Sumatera Utara
yang lain sangat berdekatan sehingga memudahkan nyamuk penular Demam Berdarah Dengue (Aedes aegpyti) menyebarkan virus dengue dari satu orang ke orang lain yang ada disekitarnya (jarak terbang nyamuk Aedes aegypti tidak lebih dari 100 meter). 2.3.
Pengendalian Vektor Nyamuk Menurut Peraturan Pemerintah No. 374 tahun 2010 vektor merupakan
arthropoda yang dapat menularkan, memindahkan atau menjadi sumber penularan penyakit pada manusia. Demam berdarah dengue (DBD) merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia yang belum dapat terpecahkan karena morbiditasnya (angka kesakitan)
tinggi dan penyebaran yang semakin luas.
Pengobatan spesifik terhadap penyakit DBD sampai saat ini belum ada, sehingga dengan memberantasnya dilakukan dengan memberantas vektor nyamuk (Nurhayati, 2005). Pengendalian vektor bertujuan untuk mengurangi atau menekan populasi vektor serendah-rendahnya sehingga tidak berarti lagi sebagai penular penyakit, serta untuk menghindarkan kontak antara vektor dan manusia (Gandahusada, 2000). Pengendalian vektor penyakit sangat diperlukan bagi beberapa macam penyakit karena berbagai alasan (Slamet, 2009): 1. Penyakit tadi belum ada obat maupun vaksinnya, seperti hampir semua penyakit yang disebabkan oleh virus. 2. Bila ada obat atau vaksinnya sudah ada, tetapi kerja obat tadi belum efektif, terutama pada penyakit parasite.
Universitas Sumatera Utara
3. Berbagai penyakit di dapat pada banyak hewan selain manusia, sehingga sulit dikendalikan. 4. Sering menimbulkan cacat, seperti filariasis, malaria. 5. Penyakit cepat menjalar, karena vektornya dapat bergerak cepat, seperti insekta yang merayap. 2.3.1. Pengendalian Secara Kimiawi Untuk pengendalian ini digunakan bahan kimia yang berkhasiat membunuh serangga (insektisida) atau hanya untuk menghalau serangga saja (repellent). Kebaikan cara pengendalian ini ialah dapat dilakukan dengan segera dan meliputi daerah yang luas sehingga dapat menekan populasi serangga dalam waktu yang singkat. Keburukannya karena cara pengendalian ini hanya bersifat sementara, dapat menimbulkan pencemaran lingkungan, kemungkinan timbulnya resistensi serangga terhadap
insektisida
dan
mengakibatkan
matinya
beberapa
pemangsa
(Gandahusada, 2000). 2.3.1.1. Insektisida Insektisida adalah bahan yang mengandung persenyawaan kimia yang digunakan untuk membunuh serangga. Insektisida yang baik (ideal) mempunyai sifat sebagai berikut: 1. Mempunyai daya bunuh yang besar dan cepat serta tidak berbahaya bagi binatang vertebrata termasuk manusia dan ternak 2. Murah harganya dan mudah didapatdalam jumlah yang besar 3. Mempunyai susunan kimia yang stabil dan tidak mudah terbakar
Universitas Sumatera Utara
4. Mudah dipergunakan dan dapat dicampur dengan berbagai macam pelarut 5. Tidak berwarna dan tidak berbau yang tidak menyenangkan. Beberapa istilah yang berhubungan dengan insektisida adalah: 1. Ovisida
: insektisida untuk membunuh stadium telur
2. Larvasida
: insektisida untuk membunuh untuk membunuh stadium larva/nimfa
3. Adultisida
: insektisida untuk membunuh stadium dewasa
4. Akarisida (mitisida)
: insektisia untuk membunuh tungau
5. Pedikulisida (lousisida)
: insektisida untuk membunuh tuma
Khasiat insektisida untuk membunuh serangga sangat bergantung pada bentuk, cara masuk ke dalam badan serangga, macam makan kimia, konsentrsai dan jumlah (dosis) insektisida (Gandahusada, 2000). Untuk mencegah penyakit demam berdarah, penyemprotan dengan ULV malathion masih merupakan cara yang umum dipakai untuk membunuh nyamuknyamuk dewasa, tetapi cara ini tidak dapat membunuh larva yang hidup dalam air. Pengendalian yang umum dipergunakan unutuk larva-larva nyamuk adalah dengan menggunakan larvasida seperti abate (Sembel, 2009). Menurut cara masuk insektisida ke dalam tubuh serangga sasaran dibedakan menjadi tiga kelompok insektisida sebagai berikut (Djojosumarto, 2004):
Universitas Sumatera Utara
1. Racun Lambung (Stomach Poison) Racun lambung adalah insektisida-insektisida yang membunuh serangga sasaran bila insektisida tersebut masuk ke dalam organ pencernaan serangga dan diserap oleh dinding saluran pencernaan. 2. Racun Kontak Racun kontak adalah insektisida yang masuk ke dalam tubuh serangga lewat kulit (bersinggungan langsung). Serangga hama akan mati bila bersinggungan langsung atau kontak dengan insektisida tersebut. Kebanyakan racun kontak juga berperan sebagai racun perut. 3. Racun Pernapasan Racun pernapasan adalah insektisida yang bekerja lewat saluran pernapasan. Serangga akan mati bila menghirup insektisida dalam jumlah yang cukup. Kebanyakan racun napas berupa gas, atau bila wujud asalnya padat atau cair, yang segera berubah atau mengahsilkan gas. 2.3.1.2. Repellent Repellent adalah penolak hama atau pengusir hama dari obyek yang memperoleh perlakuan, misalnya kamper dan avitrol (Wudianto, 2004). Repellent lebih dikenal sebagai salah satu jenis pestisida rumah tangga yang digunakan untuk melindungi tubuh (kulit) dari gigitan nyamuk. Sekarang lebih dikenal dalam bentuk lotion, tetapi ada juga yang berbentuk spray (semprot), jadi penggunaannya dioles atau disemprotkan pada kulit (POM, 2011).
Universitas Sumatera Utara
DEET (diethylmetatoluamide) merupakan bahan aktif paling banyak dan sering digunakan untuk repellent di Indonesia. Selain DEET, umumnya repellent mengandung bahan kimia sintetik yang dapat menolak nyamuk untuk mendekati kulit. Bahan kimia lain yang juga digunakan diantaranya adalah permetrin, picaridin. DEET ini dirancang untuk aplikasi langsung ke kulit manusia untuk mengusir serangga, bukan membunuh mereka. Selama konsumen mengikuti petunjuk label dan mengambil langkah yang aman, penolak serangga yang mengandung DEET tidak menimbulkan masalah kesehatan (EPA, 2007). Cara menggunakan produk DEET yang aman menurut Environtmental Protection Agency (EPA): 1. Jangan gunakan pada kulit yang terluka atau kulit yang teriritasi.
2. Jangan gunakan dekat mata dan mulut anak-anak. 3. Jangan biarkan anak-anak menggunakan produk ini. 4. Gunakan repellent secukupnya pada kulit yang terbuka dan/atau pakaian. 5. Hindari penggunaan dibawah pakaian. 6. Hindari penggunaan berlebihan dari produk ini. 7. Setelah memasuki ruangan, bersihkan kulit yang diolesi repellent dengan menggunakan sabun dan air. 8. Cuci pakaian yang terkena repellent sebelum digunakan kembali. 9. Penggunaan produk ini dapat menyebabkan reaksi pada kulit.
Universitas Sumatera Utara
2.3.2. Pengendalian Secara Biologis Dengan memperbanyak pemangsa dan parasit sebagai musuh alami bagi serangga, dapat dilakukan pengendalian serangga yang menjadi vector atau hospes perantara. Beberapa parasit dari golongan nematode, bakteri, protozoa, jamur dan virus dapat dipakai sebagai pengendali larva nyamuk. Artropoda juga dapat dipakai sebagai pengendali nyamuk dewasa. Predator atau pemangsa yang baik
untuk
pengendalian larva nyamuk terdiri dari beberapa jenis ikan, larva nyamuk yang berukuran lebih besar, juga larva capung dan Crustaceae. Contoh beberapa jenis ikan sebagai pemangsa yang cocok untuk pengendalian larva ialah: Panchax panchax (ikan kepala timah), Lebistus reticularis (Guppy = water ceto), Gambusia affinis (ikan gabus), dll (Gandahusada, 2000). 2.3.3. Pengendalian Secara Radiasi Radiasi dapat dimanfaatkan untuk pengendalian vektor yaitu untuk membunuh secara langsung dengan teknik desinfestasi radiasi dan membunuh secara tidak langsung yang lebih dikenal dengan Teknik Serangga Mandul (TSM), yaitu suatu teknik pengendalian vector yang potensial, ramah lingkungan, efektif, spesies spesifik dan kompatibel dengan tehnik lain. Prinsip dasar TSM sangat sederhana, yaitu dengan membunuh serangga dengan serangga itu sendiri (autocidal technique) (Nurhayati, 2005). TJM atau Teknik Jantan Mandul merupakan teknik pemberantasan serangga dengan cara memandulkan serangga jantan. Kemandulan adalah ketidakmampuan suatu organisme menghasilkan keturunan. Gejala kemandulan akibat radiasi pada
Universitas Sumatera Utara
nyamuk jantan disebabkan karena terjadinya aspermia, inaktivasi sperma, mutasi letal domain dan ketidakmampuan kawin (Nurhayati, 2005). 2.3.4. Pengendalian Secara Mekanis Cara pengendalian ini dilakukan dengan menggunakan alat yang langsung dapat membunuh, menangkap atau menghalau, menyisir, mengeluarkan serangga dari jaringan tubuh. Menggunakan baju pelindung, memasang kawat kasa di jendela merupakan cara untuk menghindarkan hubungan (kontak) antara manusia dan vector (Gandahusada dkk, 2000). Program yang di canangkan oleh Pemerintah Indonesia melalui Departemen Kesehatan RI yaitu 3M (Sembel, 2009): 1. Menguras, berarti membersihkan tetmpat-tempat penampungan air (bak mandi) untuk mengeluarkan jentik-jentik nyamuk 2. Menimbun, berarti mengumpulkan kontainer-kontainer yang dapat menampung air menjadi tempat pembiakan nyamuk 3. Mengubur yaitu mengumpulkan kontainer-kontainer dan menguburkannya dalam tanah. 2.3.5. Pengendalian Rekayasa Pengendalian secara rekayasa pada hakekatnya ditujukan untuk mengurangi sarang insekta (breeding places) dengan melakukan pengelolaan lingkungan, yakni melakukan manipulasi dan modifikasi lingkungan. Manipulasi adalah tindakan sementara sehingga keadaan tidak menunjang kehidupan vektor. Sebagai contoh adalah perubahan niveau air atau membuat pintu air sehingga salinitas air dapat
Universitas Sumatera Utara
diatur. Modifikasi adalah tindakan untuk memperbaiki kualitas lingkungan secara permanen,
seperti
pengeringan,
penimbunan
genangan,
perbaikan
tempat
pembuangan sampah sementara maupun akhir (TPS/TPA), dan konstruksi serta pemeliharaan drainase (Slamet, 2009). 2.4.
Insektisida Nabati Insektisida nabati atau insektisida botani adalah bahan alami berasal dari
tumbuhan yang mempunyai kelompok metabolit sekunder yang mengandung beriburibu senyawa bioaktif seperti alkaloid, fenolik, dan zat kimia lainnya. Senyawa biokatif tersebut selain dapat digunakan untuk mengendalikan Organisme Penggangu Tanaman (OPT) dapat juga digunakan untuk mengendalikan serangga di lingkungan rumah (Naria, 2005). Bagian tumbuhan seperti daun, bunga, buah, biji, kulit, batang, dan sebagainya dapat digunakan dalam bentuk utuh, bubuk, ataupun ekstraksi (dengan air atau senyawa pelarut organik). Menurut Kardinan dalam Naria (2005) senyawa bioaktif yang diduga bisa berfungsi sebagai insektisida yang terkandung pada tumbuhan diantaranya adalah golongan sianida, saponin, tannin, flavonoid, alkaloid, steroid dan minyak atsiri. Beberapa tanaman yang dijadikan sebagai bahan dasar dari pembuatan produk obat penolak nyamuk yang beredar di pasaran, yaitu: 1. Bunga Lavender (Lavandula angustifolia) Tanaman ini aslinya dari Swiss, dan telah dimanfaatkan sebagai bahan pembuat lotion anti nyamuk. Bunga Lavender yang berwarna ungu memiliki
Universitas Sumatera Utara
zat Linalool dan Lynalyl acetate yang tidak disukai nyamuk (Anonimous, 2010). 2. Bunga Geranium (Pelargonium citrosa) Nama lainnya Tapak Dara. Tanaman ini mengandung geraniol dan sitronelol yang dapat mengusir nyamuk. Kedua zat yang dimiliki Geranium dapat dengan mudah terbang memenuhi udara (Anonimous, 2010). 3. Kulit Jeruk Salah satu kandungan jeruk yang bisa di olah yaitu minyak atsiri pada kulitnya (Wicaksono, 2011). 4. Daun Sereh (Cymbopogon nardus) Menurut Sutejo dalam Naria (2005), tanaman sereh wangi mengandung 0,61,8 % minyak atsiri yang berupa: geraniol dan sitronelal (kira-kira 93%), metiheptanon, terpenalkohol, terpen lainnya serta asam organik. Meskipun menggunakan tumbuhan sebagai bahan dasar dari pembuatan produk repelan tersebut, tetapi hampir semua obat penolak tersebut juga menggunakan zat aktif DEET 13% yaitu bahan kimia yang gunanya juga untuk menjauhkan atau mengusir serangga. 2.5.
Gambaran Umum Kenikir (Tagetes erecta) Tagetes sering disebut sebagai kenikir atau bunga tahi ayam, randa kencana
dan ades (Indonesia), tahi kotok (Sunda), amarello (Filipina), African marigold, Astec marigold, American marigold, Big marigold (Inggris), mempunyai nama latin Tagetes erecta L. Tagetes masuk keluarga Compositae (Asteraceae) dan mempunyai
Universitas Sumatera Utara
59 species. Tanaman ini merupakan salah satu herba hias yang biasa digunakan sebagai tanaman pagar dan pembatas. Secara komersial sebagai bunga potong, karena mempunyai bentuk bunga yang unik dan warnanya yang mencolok (Deptan, 2011). Klasifikasi Kenikir (Tagetes erecta) dalam klasifikasi tumbuhan adalah sebagai berikut (Syamsuhidayat, 1991): Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyla
Sub divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicolyledonae
Bangsa
: Asterales
Suku
: Composite
Marga
: Tagetes
Jenis
: Tagetes erecta
Gambar 4. Bunga kenikir (Tagetes erecta L) Sumber. www.google.co.id
Universitas Sumatera Utara
2.5.1. Morfologi Kenikir (Tagetes erecta) Tagetes merupakan tumbuhan tahunan, dapat tumbuh pada tanah dengan pH netral di daerah yang panas, cukup sinar matahari, dan drainase yang baik. Tanaman tumbuh tegak setinggi 0,6 - 1,3 meter, daun menyirip berwarna hijau gelap dengan tekstur yang bagus, berakar tunjang, dan dapat berkembang biak dengan biji. Tagetes mempunyai bunga berukuran 7,5 - 10 cm dengan susunan mahkota bunga rangkap, warna cerah, yaitu putih, kuning, oranye hingga kuning keemasan atau berwarna ganda. Bunga berbentuk bonggol, tunggal atau terkumpul dalam malai rata yang jarang, dan dikelilingi oleh daun pelindung (Deptan, 2011). Bunga kenikir tersusun atas organ-organ yang lengkap, yaitu : kelopak, mahkota, dan organ reproduksinya, berupa putik dan benang sari. Anatomi kelopak (sepala), dari bagian atas ke bagian bawah, tersusun atas epidermis atas, mesofil, berkas pengangkut, serta epidermis bawah. Pada bagian mesofil, mengandung atau tersusun atas kolenkim. Anatomi mahkota (petala), sama seperti kelopaknya, tersusun atas: epidermis atas, mesofil, berkas pengangkut, dan epidermis bawah. Pada mesofil, terdapat kandungan minyak eteris yang memberikan bau khas pada kenikir. Berkasberkas pengangkut ini tersusun pada bagian dasar bunga dan menyerupai susunan berkas pengangkut pada batang (Anonimous, 2011). Kenikir (Tagetes erecta) tumbuh baik di dataran rendah dengan kondisi tanah yang subur, liat, dan berdrainase baik, sampai pegunungan ± 700 m dpl., terutama ditempat terbuka yang mendapatkan sinar matahari penuh.Sudah lama dibudidayakan sebagai tanaman hias di halaman rumah atau kantor bagian depan dengan
Universitas Sumatera Utara
menggunakan biji. Bunganya dapat diekstrak menjadi zat pewarna serta memberikan warna kuning agak kecoklatan. Jenis tanaman ini dapat digunakan untuk mengusir serangga. Kenikir kuning umumnya digunakan sebagai tanaman hias di pekarangan rumah (Luqman, 2011). 2.5.2. Kandungan Kimia dan Kegunaan Tagetes lebih dikenal sebagai tanaman pengusir hama sehingga sering digunakan sebagai border atau pembatas tanaman oleh para petani. Biasanya, Tagetes ditanam bersamaan dengan tanaman semusim. Kebanyakan serangga tidak menyukai aroma Tagetes yang berbau busuk (Ken, 2010) . Daun kenikir (Tagetes erecta) mengandung saponin, flavonoid, tagetiin, terthienyl, helenial, dan flavoxanthin.. Daun Tagetes erecta berkhasiat sebagai penangkal serangga, selain itu juga dapat digunakan sebagai obat seperti, diabetes, demam, hipertensi, kurang darah, dsb (BPTO, 2008). Dibidang pertanian, bunga Tagetes efektif dalam pencegahan nematode penganggu tanaman (Meloidogyne sp., Pratylenchus sp., dan lain-lain) sehingga digunakan sebagai tanaman tumpang sari, penangkal serangga, herbisida dan anti jamur. Minyak atsiri dari bunga Tagetes efektif menghambat pertumbuhan bakteri, antijamur
pada
Saprolegnia,
ferax
serta
sebagai
larvasida
pada
Culex
quinquefasciatus, Anopheles stephensi dan Aedes aegypti (Deptan, 2011).
Universitas Sumatera Utara
2.6.
Kerangka Konsep
Daya proteksi ekstraksi daun kenikir pada: 1. Kulit kelinci yang diolesi kontrol
Daun kenikir (Tagetes erecta)
2. Kulit kelinci yang diolesi konsentrasi 1% 3. Kulit kelinci yang diolesi konsentrasi 2% 4. Kulit kelinci yang diolesi konsentrasi 3%
Suhu
Jumlah Nyamuk Aedes spp. yang hinggap setelah dioles repellent
Kelembaban
5. Kulit kelinci yang diolesi konsentrasi 4% 6. Kulit kelinci yang diolesi konsentrasi 5%
2.7.
Hipotesis Penelitian
2.7.1. Hipotesis Mayor Ha:
Ada pengaruh ekstrak daun kenikir (Tagetes erecta) sebagai repellent pada kulit kelinci yang diolesi konsentrasi 1%, 2%, 3%, 4%, 5% terhadap nyamuk Aedes spp.
Ho:
Tidak ada pengaruh ekstrak daun kenikir (Tagetes erecta) sebagai repellent pada kulit kelinci yang diolesi konsentrasi 1%, 2%, 3%, 4%, 5% terhadap nyamuk Aedes spp.
Universitas Sumatera Utara
2.7.2. Hipotesis Minor 1. Ada pengaruh ekstrak daun kenikir (Tagetes erecta) sebagai repellent pada kulit kelinci yang diolesi konsentrasi 1% terhadap nyamuk Aedes spp. 2. Ada pengaruh ekstrak daun kenikir (Tagetes erecta) sebagai repellent pada kulit kelinci yang diolesi konsentrasi 2% terhadap nyamuk Aedes spp. 3. Ada pengaruh ekstrak daun kenikir (Tagetes erecta) sebagai repellent pada kulit kelinci yang diolesi konsentrasi 3% terhadap nyamuk Aedes spp. 4. Ada pengaruh ekstrak daun kenikir (Tagetes erecta) sebagai repellent pada kulit kelinci yang diolesi konsentrasi 4% terhadap nyamuk Aedes spp. 5. Ada pengaruh ekstrak daun kenikir (Tagetes erecta) sebagai repellent pada kulit kelinci yang diolesi konsentrasi 5% terhadap nyamuk Aedes spp.
Universitas Sumatera Utara