KAPANG ENTOMOPATOGEN Lagenidium giganteum SEBAGAI AGEN PENGENDALI HAYATI LARVA NYAMUK Aedes aegypti VEKTOR PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE.
OLEH AGUSTIN INDRAWATI
PROGRAM PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
ABSTRAK AGUSTIN INDRAWATI. Kapang entomopatogen Lagenidium giganteum sebagai agen pengendali hayati larva nyamuk Aedes aegypti vektor penyakit Demam Berdarah Dengue. Dibimbing oleh MIRNAWATI SUDARWANTO, I WAYAN TEGUH WIBAWAN, RETNO D SOEJO EDONO dan MP. TAMPUBOLON Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit yang ditakuti masyarakat. Angka kejadian penyakit tersebut semakin meningkat. Penyakit DBD disebabkan oleh virus dan ditularkan melalui vektor nyamuk Aedes aegypti. Berbagai usaha pengendalian vektor secara kimiawi telah banyak dilakukan namun diduga bahan aktif yang digunakan banyak menimbulkan efek negatif antara lain timbulnya resistensi, kematian makhluk hidup non target dan pencemaran lingkungan Penelitian ini bertujuan mencari alternatif cara pengendalian vektor dengan memanfaatkan kapang yang bersifat entomopatogen sebagai agen pengendali hayati. Penelitian dilakukan dengan cara melakukan isolasi dan identifikasi kapang asal larva nyamuk yang diambil di sekitar persawahan di desa Cikarawang, Bogor. Isolat yang diperoleh diperbanyak dengan menggunakan media biakan dan dipisahkan siklus reproduksinya. Dengan menggunakan media khusus diperoleh oospora yang akan digunakan sebagai bahan baku pengendali hayati. Hasil pengamatan secara makroskopik dan mikroskopik diketahui salah satu dari 9 isolat yang diperoleh teridentifikasi sebagai Lagenidium giganteum. Dengan menggunakan media pertumbuhan yang mengandung unsur sterol dan asam lemak dapat di isolasi bentuk aseksual dan seksual dari siklus hidup kapang L. giganteum. Stadium aseksual berupa zoospora yang bersifat infektif, motil dan berflagela, sedangkan oospora yang merupakan stadium seksual mempunyai ukuran besar, bentuk bulat , berdinding tebal dan jelas serta bersifat sebaga i spora istirahat. Uji patogenisitas di laboratorium diketahui nilai LD50 zoospora terhadap larva instar 2 nyamuk Ae. Aegypti adalah 2,35 x 106 zoospora/ml sedangkan nilai LD95 sebesar 1,35 x 107 zoospora/ml. Pada uji patogenisitas oospora diperoleh nilai LD50 sebesar 6,7 x 102 oospora/ml dan LD95 1,94 x 103 oospora/ml. Menggunakan pewarna LPCB dan Tolouidin blue 2,5% dapat diketahui mekanisme infeksi kapang L. giganteum terhadap larva nyamuk Ae. aegypti. Terjadinya infeksi diawali dari proses berkumpulnya zoospora di sekitar tubuh larva nyamuk, proses penempelan dan penetrasi pada kutikula, percabangan hifa di dalam tubuh larva dan penyebaran sampai diluar tubuh hingga terjadi kematian. Dalam penelitian ini juga dihasilkan media biakan alternatif untuk memproduksi oospora yang praktis dan ekonomis. Media tersebut mengandung kuning telur dan suplemen minyak jagung 1% yang sangat efektif dalam menginduksi pembentukaan oospora. Dari penelitian ini disimpulkan kapang entomopatogen L. giganteum sangat prospektif digunakan sebagai agen pengendali hayati vektor penyakit DBD. Bahan baku agen pengendali hayati berupa oospora dapat diperoleh dengan mudah dan murah karena kandungan media biakan yang digunakan untuk memproduksi berupa kuning telur dan minyak jagung 1% (kuning telur plus). Kata kunci : DBD, Aedes aegypti, Lagenidium giganteum, zoospora, oospora, LD50 , LD95 , kuning telur plus.
ABSTRACT AGUSTIN INDRAWATI. Entomopathogen Fungi Lagenidium giganteum as a Biological Control Agent of Aedes aegypti Larvae Vector of Dengue Haemorrhagic Fever. Under Supervision of MIRNAWATI SUDARWANTO as Chairman, I WAYAN T. WIBAWAN, RETNO D. SOEJOEDONO, and MP. TAMPUBOLON as members. Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) is one fearsome disease in society. The occurrance number of the disease increase from time to time. Dengue fever was caused by virus and transmitted through Aedes aegypti mosquito vectors. Various chemical efforts have been conducted to control the disease, but active content of the controlling substance are suspected causing many negative effect in environment such as resistance, death of non target living creatures, and contamination of environment. The objective of research is to find out alternative solution to control the vector by using fungi with entomopathogen character as a biological controller agents This research is to isolate and to identify fungi from mosquito larvae which have been collected from abandon rice field at Cikarawang of Bogor. The results of the isolation were cultured and by using growth media the reproductive cycle were separated. By using of particular media the oospore were harvest, and these will be used as a row material for biological control agents. Macroscopic observation reveals that one of the nine isolation products was identified as Lagenidium giganteum. Using growth media which contain sterol and fatty acid, L. giganteum can be isolated in the form of asexual and sexual. The asexual forms were infective, motile character with flagella. While the sexual form has bigger size with round form, thick wall and obviously has character as resting spore. The effectivity test in the laboratory have shown that the zoospore LD50 value to Ae.aegypti larva of instar 2nd stage was 2,35 x 106 zoospore/ml, while the LD95 value was 1,35 x 107 zoospore/ml. The oospore effectivity test obtain LD50 value of 6,7 x 102 oospore/ml and LD95 value of 1,94 x 103 oospore/ml. Using LPCB dye and blue tolouidin 2,5%, the infection mechanism of L. giganteum fungi to Ae. Aegypti mosquito larvae were detected. Infection begins from zoospore’s clusters around mosquoto larvae body, adherence and cuticle penetration, hypha branching inside larva body which spread to outside of body until death. This research also obtained alternative growth media to product practical and economical oospore. The media contained egg yolk and 1% corn oil supplement which were very effective in inducing oospore creation. The research was concluded that the entomopathogen fungi L. giganteum was very prospective to be used as a biological agent to control vector of Dengue Haemorrhagic Fever disease. The raw material of the biological control agent is oospore which was easily acquired and cheap, because the growth media used are egg yolk and 1% corn oil ( yolk plus)
Keywords : Dengue haemorrhagic fever (DHF), Aedes aegypti, Lagenidium giganteum, zoospore, oospore, LD50 , LD95 , yolk plus
ii
SURAT PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul
“Kapang
Entomopatogen Lagenidium giganteum sebagai agen pengendali hayati larva nyamuk Aedes aegypti vektor penyakit Demam Berdarah Dengue” adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum pernah dipublikasikan. Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Februari 2006
Agustin Indrawati Nrp P18600005/SVT
KAPANG ENTOMOPATOGEN Lagenidium giganteum SEBAGAI AGEN PENGENDALI HAYATI LARVA NYAMUK Aedes aegypti VEKTOR PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE
OLEH : AGUSTIN INDRAWATI Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program studi Sain Veteriner subprogram Kesehatan Masyarakat Veteriner
PROGRAM PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
Lembar Pengesahan Judul
: Kapang Entomopatogen Lagenidium giganteum Sebagai Agen Pengendali Hayati Larva Nyamuk Aedes Aegypti Vektor Penyebab Penyakit Demam Berdarah Dengue .
Nama Mahasiswa
: Agustin Indrawati
NRP
: P 18600005
Program Studi
: SVT sub KMV Mengetahui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. drh. Hj. Mirnawati Sudarwanto Ketua
Dr. drh. I Wayan T. Wibawan, MS Anggota
Dr.drh. Retno D. Soejoedono, MS Anggota
Prof.Dr. drh. MP. Tampubolon, MSc Anggota
Diketahui Ketua Program Studi Sains Veteriner
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr.drh. Bambang Pontjo P., MS
Prof. Dr.Ir.Sjafrida Manuwoto, MSc.
Tanggal ujian : 27 Februari 2006
Tanggal Lulus :
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di sebuah desa yang sejuk di bawah gunung Merapi yang bernama Cepit, Kelurahan Harjobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta , pada tengah bulan tanggal 15 Agustus 1965 dan merupakan anak kedelapan dari sembilan bersaudara dari bapak Wiroatmodjo dan
ibu Suharminah.
Pendidikan SD dilalui di dua tempat yaitu SD IKIP pakem dan SD Bopkri Terban Taman dan lulus pada tahun 1977. lulus dari SMPN I Yogyakarta pada tahun 1980 dan SMA ditamatkan pada tahun 1983 di SMA Stella Duce Yogyakarta. Pendidikan S1 di Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Ga djah Mada Yogyakarta dan tamat tahun 1988, profesi Dokter Hewan lulus pada tahun 1990. Pada tahun 1995 penulis mendapatkan kesempatan menerima beasiswa TMPD untuk program S2 di Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia, Program Studi Ilmu Biomedis kekhususan Mikrobiologi dan tamat pada tahun 1998. Selanjutnya pada tahun 2001 penulis mendapatkan beasiswa BPPS untuk melanjutkan program Doktor pada Program Studi Sain Veteriner subprogram KMV. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Pada tahun 1991 penulis menikah dengan teman sejawat yang berasal dari kaki gunung Tidar, Drh. H. Dwi Restu Seta MM dan dikaruniai
2 orang anak bernama Aninditya Sukma Indraseta dan
Firmansyah Nur Indraseta. Sejak tahun 1991 penulis bekerja sebagai staf pengajar di bagian Mikrobiologi, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner (IPHK), Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan ke Sang Pencipta Alam Semesta, karena izinNya penulis dapat menyelesaikan
disertasi yang berjudul Kapang
Entomopatogen Lagenidium giganteum Sebagai pengendali hayati larva nyamuk Aedes aegypti Vektor Penyebab Penyakit Demam Berdarah Dengue. Disertasi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat dalam menempuh program Doktor di Program Studi Sain Veteriner, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada : 1. Prof. Dr.drh.Hj Mirnawati Sudarwanto selaku ketua komisi Pembimbing yang telah menyediakan waktu untuk membimbing dan memberi nasehat selama penelitian dan penulisan disertasi. 2. Dr. drh. I Wayan Teguh Wibawan, MS, Dr. drh Retno D Soejoedono, MS selaku anggota komisi pembimbing yang selalu memberi nasehat selama penelitian dan penulisan disertasi 3. Prof.Dr.drh. MP. Tampubolon, MSc selaku anggota komisi Pembimbing yang telah memberi kesempatan penulis untuk ikut sebagai anggota peneliti proyek Hibah Bersaing selama 4 tahun dan banyak sekali memberikan bimbingan, nasehat dan masukan selama penelitian dan penulisan disertasi sampai selesai. 4. Prof. Rubiyanto Misman yang banyak memberikan masukan dan mendorong dengan penuh semangat
selama penelitian dan mau
mendengarkan keluhan-keluhan penulis setiap menemui kesulitan dan memberikan jalan keluar 5. Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi yang telah memberikan beasiswa BPPS dan Hibah Bersaing selama 4 tahun berturut turut sehingga proses pendidikan, penelitian dan penulisan disertasi dapat terselesaikan. 6. Teman sejawat drh. Titiek Sunartatie MS, Ir. Etih S.MSi dan Dr.drh. Adi Winarto MS yang telah banyak membantu selama penelitian
7. Keluarga besar R. Wiroatmojo dan Keluarga besar Amien HS yang selalu memberikan dorongan semangat 8. Suamiku tercinta dan tersayang Dwi Restu Seta yang dengan rela hati, sabar dan penuh kasih mendorong, memberi semangat selama proses pendidikan sampai terselesaikannya penulisan disertasi ini 9. Anakku yang cantik dan ganteng Aninditya Sukma Indraseta dan Firmansyah Nur Indraseta yang selalu memberi semangat dan dorongan sehingga mampu memberi kekuatan selama pelaksanaan pendidikan, penelitian dan penulisan 10. Bapak dan Ibu Wiroatmojo yang telah mendidik dari kecil hingga akhir hayatnya dengan penuh cita - cita dan cinta serta semangat yang tinggi. 11. Semua teman – teman dari laboratorium Mikologi pak Ismet dan ibu Esih, pak Agus Haryanto dan pihak- pihak yang tidak bisa disebutkan penulis ucapkan banyak ter ima kasih, semoga Allah SWT memberikan Rahmat, Hidayah dan balasan atas kebaikan semua pihak.
Bogor, Februari 2006
Penulis
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR GAMBAR .................................................................................... xii DAFTAR TABEL .........................................................................................xiii LAMPIRAN ..................................................................................................xiii
PENDAHULUAN Latar Belakang ............................................................................................... 1 Tujuan Penelitian............................................................................................. 5 Manfaat Penelitian........................................................................................... 6
TINJAUAN PUSTAKA Penyakit Demam Berdarah Dengue ............................................................... 6 Vektor Penyebab Penyakit ............................................................................. 8 Pengendalian Vektor ..................................................................................... 10 Kapang Entomopatogen ................................................................................ 12
BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Percobaan ....................................................................... 18 Bahan dan Alat .............................................................................................. 18
Percobaan I. Isolasi dan Identifikasi Kapang Entomopatogen Lagenidium giganteum dari Larva Nya muk Asal Daerah sekitar Desa Cikarawang, Bogor sebagai Kandidat Agen Pengendali Hayati Metode Penelitian .......................................................................................... 19 1. Pengambilan Sampel ............................................................ 19 2. Isolasi Kapang ...................................................................... 19 3. Pemurnian Kapang ............................................................... 20 4. Identifikasi Kapang .............................................................. 20 5. Pemeliharaan Isolat .............................................................. 21 Hasil dan Pembahasan .............................................................. 21 Kesimpulan ............................................................................... 26
Percobaan 2. Efek Media Biakan Terhadap Prose Zoosporogenesis dan Oosporogenesis dari Lagenidium giganteum Metode Penelitian .......................................................................................... 27 1. Pemeliharaan Isolat .......................................................... 27 2. Isolasi dan Produksi Zoospora ......................................... 27 3. Isolasi dan Produksi Oospora ........................................... 28 4. Penghitungan dan Pengamatan Zoospora dan Oospora ....29 Hasil dan Pembahasan .......................................................... 29 Kesimpulan ........................................................................... 35 Percobaan 3 . Uji Patogenisitas Kapang Lagenidium giganteum terhadap Larva Instar 2 Nyamuk Aedes aegypti Skala Laboratorium Metode Penelitian 1. Pemeliharaan Nyamuk Aedes aegypti............................... 36 2. Uji Efektivitas Zoospora .................................................. 36 3. Uji Efektivitas Oospora .................................................... 37 4. Mekanisme Infeksi............................................................ 38 Hasil dan Pembahasan .......................................................... 39 Kesimpulan ........................................................................... 47 Percobaan 4.
Kuning Telur dan Minyak Jagung sebagai Alternatif Pengganti Media Pertumbuhan L. giganteum serta media Alternatif untuk Produksi Oospora Metode Penelitian ................................................................. 48 A. Membandingkan 3 Me dia dalam Memproduksi Koloni Dan Mengukur Berat Kering Koloni 1. Media PYG.................................................................. 48 2. Media Kuning Telur ................................................... 48 3. Media Kuning Telur Plus ........................................... 48 B. Membandingkan 3 Media Biakan Cair Dalam Memproduksi Oospora .......................................................................... 49
Hasil dan Pembahasan ......................................................... 50 Kesimpulan .......................................................................... 58 PEMBAHASAN UMUM ............................................................................. 59 KESIMPULAN .............................................................................................. 70 SARAN ......................................................................................................... 72 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 73
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Kapang Lagenidium giganteum................................................................. 25 2. Mikroskopik Lagenidium giganteum pada media SDA............................ 25 3. Mikroskopik L. giganteum ( Slide Culture Riddel) ................................... 25 4. Zoospora 40 x............................................................................................. 30 5. Oospora ..................................................................................................... 34 Tahapan Mekanisme Infeksi 6. Zoospora Menyebar di Sekeliling Tubuh................................................... 45 7. Zoospora Menempel, mengkista dan Membentuk Germ Tube .................. 45 8. Hifa Mulai Mengalami Percabangan.......................................................... 45 9. Percabangan Meluas Kedalam Tubuh Larva ............................................ 45 10. Hifa menyebar di Dalam Tubuh .............................................................. 46 11. Hifa Memenuhi Tubuh Bagian Luar ....................................................... 46 12. Oospora di dalam tubuh larva yang Hancur ............................................ 46 13. Oospora pada Media Kuning Telur Plus .................................................. 54
xii
DAFTAR TABEL Halaman 1. Jumlah Larva Aedes aegypti yang Mati dan Hidup pada Setiap Konsentrasi Zoospora ........................................................................ 39 2. Hasil Percobaan Penghitungan LD50 dan LD95 Zoospora .................. 40 3. Hasil Percobaan Penghitungan LD50 dan LD95 Oospora Terhadap Larva Nyamuk Aedes aegypti ............................................................ 41 4. Rataan Berat Kering Koloni Kapang L. giganteum pada 3 Media Dalam Ukuran Gram .......................................................................... 50 5. Rataan Jumlah Oospora dari 3 Macam Media Biakan Cair ................ 53 6. Harga Perkiraan 3 Macam Media Biakan per Liter ............................. 70
Lampiran 1. Penghitungan
statistik
untuk
membandingkan
3
media
dalam
media
dalam
menghasilkan berat kering koloni Lagenidium giganteum 2. Penghitungan
statistik
untuk
membandingkan
3
menghasilkan oospora Lagenidium giganteum 3. Jumlah kematian larva Ae. Aegypti pada berbagai konsentrasi oospora 4. Jumlah rata – rata kematian larva Ae. Aegypti pada berbagai konsentrasi oospora 5. Jumlah kematian larva mulai hari kelima sampai hari kedua belas terhadap paparan oospora
xiii
PENDAHULUAN Latar Belakang Di Indonesia penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit yang ditakutkan oleh masyarakat. Penyakit ini sudah ada sejak tahun 1968. Penyakit ini disebabkan oleh virus dan ditularkan oleh nyamuk. Penyakit ini menyebar ke seluruh negeri dan tidak mengenal status pola hidup baik di pedesaan maupun di perkotaan. Hingga sekarang DBD merupakan salah satu masalah kesehatan di Indonesia yang makin lama makin bertambah penderitanya dan terus meningkat serta meluas daerah penyebarannya serta menimbulkan kejadian Luar Biasa (KLB). Angka kesakitan pada tahun 1990 adalah 12.7 per 100.000 penduduk, pada tahun 1994 angka kejadian menurun menjadi 9.72 per 100.000 dan pada tahun 1995, 1996 kejadiannya meningkat kembali menjadi 18.5 dan 23.22 per 100.000 penduduk. Peningkatan kejadian ini kemungkinan besar karena semakin luasnya wilayah terjangkit. Dari hasil pengamatan menunjukkan bahwa
terjadi
peningkatan
yang
luar
biasa
kasus
demam
berdarah
(Muchlastriningsih dkk, 2001). Penyebaran penyakit ini sangat terkait dengan habitat dari nyamuk ve ktor yang kebanyakan berada di daerah tropis sampai subtropis. Beberapa penelitian di Taiwan, Filipina, Indonesia dan Pasifik memperlihatkan bahwa selain nyamuk Ae. aegypti (Ae aegypti) dan Ae. albopictus, virus juga ditularkan oleh Ae. polynesiensis dan Ae. scutellaris. Pandemi DBD mulai timbul di Asia pada masa perang dunia kedua. Perang menghancurkan ekologi dan me ngubah demografi, sehingga mengakibatkan meningkatnya transmisi dengue dari nyamuk Aedes ke manusia. Akibat proses urbanisasi besar-besaran di Asia Tenggara, jutaan orang
1
pindah ke kota untuk mencari makan, perumahan dan pekerjaan. Tidak hanya urbanisasi, orang-orang juga mulai sering melakukan migrasi sehingga transmisi dengue semakin meluas . Epidemi pertama DBD di Asia Tenggara terjadi di Manila, Filipina pada tahun 1954, diikuti oleh epidemi kedua pada tahun 1956. Epidemi ketiga terjadi di Bangkok pada tahun 1958 dan aktifitas epidemi terja di setiap 3 sampai 5 tahun. Tahun 1995 DBD telah menjadi penyebab utama kematian pada anak-anak di berbagai Negara Asia (Gubler 1997). Di Indonesia pertama kali DBD masuk di Surabaya pada tahun 1968, jumlah penderita 58 orang dengan angka kematian 40% . Setelah itu jumlah kasus meningkat dan pada tahun 1999 untuk wilayah DKI menunjukkan dari 3751 kasus DBD meninggal 42 orang (1.12%), Jawa Barat dari 1835 orang penderita 47 orang (2.56%) meninggal. Secara nasional dari 18.939 orang penderita ditemukan 356 orang (1.88%) meninggal. Pada tahun 1998 angka penderita mencapai 15.425 dengan 134 orang mengalami kematian dan pada tahun 2004 kejadian terulang kembali dengan jumlah penderita 59.321 dengan jumlah kematian 669 (1,13%) antara bulan januari sampai Mei. Menurut Tampubolon (1992), jumlah penderita DBD meningkat pada bulan-bulan musim hujan dan akan menurun pada musim kemarau. Penyebaran nyamuk vektor di daerah perkotaan adalah berhubungan dengan lingkungan hidup dan kondisi perumahan, dengan distribusi paling tinggi di perumahan kumuh dan Ae. albopictus banyak ditemukan di daerah terbuka yang ada tumbuh-tumbuhan (Chan et al. 1972). Semua nyamuk mengalami metamorfosis sempurna dari mulai telur, larva, pupa hingga menjadi nyamuk dewasa. Dalam hidupnya larva dan pupa memerlukan air untuk kehidupannya sedangkan pada bentuk telur untuk beberapa
2
spesies seperti Ae. aegypti dapat bertahan dalam waktu lama tanpa air tetapi harus dalam keadaan yang lembab. Dalam tindakan pengendalian vektor penyakit ini sudah banyak dilakukan dan cara yang dianggap terbaik adalah dengan cara memutus rantai penularan yaitu dengan penggunaan insektisida yang berbahan kimia. Cara ini merupakan salah satu cara yang target sebenarnya adalah membunuh nyamuk dewasa dan siklus kehidupan masih terjadi karena baik telur ataupun larva masih mampu bertahan. Sampai sekarang cara pengobatan untuk DBD belum ditemukan dan pengobatan yang sudah dilakukan hanya bersifat simptomatis , sedangkan cara vaksinasi untuk tindakan pencegahan, pada saat sekarang ini baru mulai dikembangkan dan hasilnya belum jelas. Cara pencegahan yang tepat guna adalah dengan cara menekan perkembangan dari vektor. Cara yang dianjurkan oleh DepKes dikenal dengan istilah 3 M yaitu menguras atau menabur larvasida , menutup penampungan air dan mengubur barang-barang bekas. Cara yang sudah umum dilakukan adalah dengan insektisida yang aplikasinya menggunakan sistem aerosol dengan teknik Ultra Low Volume, Fogging maupun Mist Blower dengan berbahan dasar kimia salah satunya adalah malathion. Cara lain yang biasa digunakan di rumah tangga adalah dengan cara penggunaan obat nyamuk bakar, tissue , oles dan elektronik. Cara pengendalian ini hanya akan berpengaruh pada nyamuk dewasa dan banyak mengandung kelemahan dan resiko yang menyangkut implementasi dan aplikasinya, sedangkan larva nyamuk sebagai calon nyamuk dewasa tidak terbasmi. Mengingat makin maraknya orang menggunakan insektisida yang sangat berbahaya, terkait dengan pencemaran lingkungan,
3
pengaruh terhadap residu dan faktor resikonya terhadap makhluk hidup maka dic oba dikembangkan bahan pengendali yang bersifat biologis. Pengendalian hayati merupakan suatu teknik pengendalian populasi hama pengganggu tumbuhan, hewan ataupun vektor penyakit dengan memanfaatkan musuh alami yang ada di alam baik berupa parasit, predator ataupun organisme patogen. Teknik pengendalian ini hanya berfungsi untuk menekan perkembangan hama, mempunyai toksisitas yang sangat rendah terhadap manusia dan bersifat spesifik. Penggunaan teknik pengendalian hayati sudah lama dikenal sebelum manusia menggunakan teknik pengendalian dengan menggunakan pestisida berbahan kimia dan pada tiga dasawarsa terakhir ini sudah banyak ditinggalkan akibat semakin maraknya macam pestisida yang beredar. Dengan menggunakan musuh alami ini diharapkan tidak hanya menghilangkan salah satu mata rantai tetapi akan mampu menekan perkembangan dari siklus kehidupannya. Insektisida merupakan zat yang digunakan untuk memberantas serangga yang dianggap merugikan kehidupan manusia. Dari tahun ke tahun formulasi insektisida mengalami perkembangan. Umumnya insektisida menggunakan bahan kimia sintetik. Penggunaan bahan kimia sebagai insektisida memberikan banyak keuntungan tetapi juga sangat membahayakan kehidupan manusia dan lingkungan. Penggunaan insektisida kimia secara sembarangan dapat mencemari lingkungan. Bahan kimia tersebut sangat sukar untuk diuraikan sehingga disinyalir dapat merusak lingkungan, selain itu banyak penelitian yang menyebutkan bahwa insektisida kimia dapat mengakibatkan gangguan kesehatan manusia misal ter jadinya kanker ataupun keracunan.
4
Studi pemanfaatan kapang entomopatogen sebagai salah satu agen pengendali hayati pada beberapa jenis vektor penyakit sudah banyak dilakukan. Kapang Lagenidium giganteum (L. giganteum) merupakan salah satu parasit fakultatif dari larva nyamuk dan pada tahun-tahun terakhir ini banyak peneliti mencoba untuk menjadikannya sebagai agen pengendali hayati. Ada tiga syarat utama yang dapat digunakan untuk mengembangkan agen hayati ini yaitu pertama mampu menurunkan populasi, kedua tidak berbahaya atau mengganggu manusia dan biota lainnya serta ketiga adalah mampu di produksi dengan mudah dan murah. Dalam penelitian ini akan dicoba dilakukan isolasi dan identifikasi kapang L. giganteum yang berasal dari larva nyamuk yang ada di persawahan di lingkar Kampus IPB Darmaga Bogor, mencari media alternatif yang murah dan mudah, mempelajari mekanisme infeksinya serta melakukan uji efikasi.
TUJUAN PENELITIAN 1. Menemukan kapang entomopatogen L. giganteum asal persawahan di sekitar Bogor 2. Memisahkan siklus reproduksi dan mempelajari
mekanisme infeksi dari
kapang L. giganteum 3. Menemukan konsentrasi zoospora dan oospora yang mampu menekan populasi vektor penyebab DBD 4. Mendapatkan media yang murah dan mudah untuk produksi zoospora dan oospora.
5
MANFAAT PENELITIAN Dari hasil penelitian ini diharapkan ditemukan agen pengendali hayati kapang entomopatogen L. giganteum yang nantinya mampu diproduksi secara besar-besaran sebagai alternatif pilihan pengendalian vektor penyakit DBD .
TINJAUAN PUSTAKA 1. Penyakit DBD DBD merupakan masalah kesehatan yang sangat penting di Indonesia sejak ditemukan kasus di Surabaya dan Jakarta pada tahun 1968 dengan 58 kasus penderita yang dirawat dan 24 orang meninggal. Menurut Pusdatin tahun 2004, terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) dengue di Indonesia antara Januari-Februari 2004 dengan penderita 17.707 dan menewaskan 322 orang (Anonim 2004). Pada tahun 1987 merupakan catatan kasus tertinggi yaitu dilaporkan 22.765 penderita dengan angka kematian 4,6% yaitu 1039 meninggal (Sutaryo dkk, 1996). DBD merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus Dengue yang termasuk salah satu dari 66 anggota arthropode-borne virus dari familia Flaviviridae. Familia ini mempunyai 29 anggota yang menyebabkan penyakit pada manusia dan 2 virus penyebab terpenting adalah virus Dengue , dan Yellow Fever yang ditemukan pada tahun 1927. Baru kemudian virus penyebab lain pada dekade berikut yaitu Japanese encephalitis, St Louis encephalitis, tick borne encephalitis dan pada hewan ditemukan louping i11 khususnya pada domba (Rice 1990; Westaway dan Blok 1997). Menurut klasifikasi serologi dengan menggunakan pola reaksi silang dan hospes alaminya maka virus Dengue diketahui mempunyai 4 tipe yakni tipe 1, 2, 3, dan 4 termasuk sub grup ke 6 dan
6
di Indonesia ke empat tipe tersebut muncul sebagai penyebab DBD dan khusus tipe 3 menyebabkan penderita mengalami shock berat (Sutaryo dkk, 1996). Virus Dengue mampu berkembang biak dalam tubuh manusia, monyet, simpanse, kelinci, mencit, marmot, tikus dan juga hamster serta serangga khususnya nyamuk. Primata merupakan hospes alami virus, viremia yang timbul biasanya lebih rendah dan lebih pendek masanya. Pada manusia viremia berkisar 2-12 hari, sementara pada primata 1-2 hari dan titer virus dala m darah manusia dapat mencapai lebih dari seratus kali dibandingkan pada darah binatang primata. Manifestasi infeksi virus Dengue sangat beragam mulai dari tanpa gejala, demam ringan, demam Dengue dan DBD. Dalam kenyataan manifestasi ringan dalam bentuk tanpa gejala dan demam ringan merupakan mayoritas (Sjahrurachman 1993). Gejala klinis DBD berupa demam tinggi, fenomena perdarahan dan hepatomegali, pada anak-anak sering terjadi kelemahan, lesu secara tiba - tiba, dan rasa nyeri pada perut. Kadang diikuti kegagalan sirkulasi, tachycardia, diaphoresis seluruh alat gerak, dingin dan diikuti muka yang pucat. Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan adanya
gejala yang khas yaitu
trombositopenia dan hemokonsentrasi. Kegagalan sirkulasi terjadi pada saat suhu tubuh mulai mengalami penurunan, demam berlangsung selama 2-7 hari dan kemudian
menjadi normal.
Menurut WHO diagnosa DBD ditegakkan jika
ditemukan 2 kriteria klinik dan adanya trombositopenia (kurang dari 100.000 per ml) dan hemokonsentrasi atau peningkatan nilai hematokrit minimal 20%. Kriteria kliniknya meliputi : demam mendadak tinggi dan terjadi 2-7 hari, fenomena
7
perdarahan, hepatomegali dan adanya renjatan (Sjahrurachman 1993 ; Halstead 1997).
2. Vektor Penyebab Penyakit Vektor penyakit dengue perta ma kali dilaporkan di Beirut oleh Graham tahun 1903 pada seekor nyamuk dari genus Aedes. Di Australia oleh Bancroft pada tahun 1906 vektor tersebut diidentifikasi sebagai nyamuk Ae. aegypti. Nyamuk Ae. aegypti merupakan salah satu nyamuk dari genus Aedes yang ada di seluruh dunia yang berjumlah 600 spesies dan merupakan s pesies yang dianggap paling berbahaya .
Sepuluh tahun kemudian, pada tahun 1916 di Filipina
ditemukan oleh tim tentara Amerika, vektor lain untuk virus Dengue yaitu nyamuk Ae. albopictu s. Selain kedua spesies nyamuk tersebut virus Dengue juga ditularkan oleh Ae. polynesiensis dan Ae. scutellaris. Dalam siklus transmisinya Ae. aegypti disebut sebagai
urban dengue sedangkan Ae. albopictus dan Ae.
niveus merupakan jungle Dengue/forest Dengue (Rodhain dan Rosen 1997). Dalam
perkembangan hidupnya
nyamuk Ae. aegypti
merupakan
arthropoda yang mengalami metamorfosis sempurna (holometabola ). Siklus hidup dimulai dari telur yang menetas menjadi jentik atau larva, kepompong (pupa), pupa kemudian akan mengalami eklosi dan menjadi nyamuk dewasa. Telur dari nyamuk betina pada umumnya diletakkan secara individual pada dinding yang basah atau di permukaan air jernih yang tidak mengalir seperti kaleng, drum bekas, batok kelapa, ban bekas, vas bunga dan sebagainya. Telur ini mampu bertahan berminggu-minggu bahkan sampai berbulan-bulan (Rhodain dan Rosen 1997). Untuk menetaskan telurnya nyamuk Aedes rata-rata memerlukan waktu satu sampai tiga hari pada suhu kamar (Cheng 1974). Apabila kelembaban terlalu
8
rendah maka telur akan menetas dalam waktu empat hari. Penetasan membutuhkan waktu 7 hari dalam suhu 160C dan pada suhu -20C sampai 42 0C telur Ae. aegypti dapat bertahan sampai berbulan-bulan. Larva nyamuk aegypti mempunyai empat
Ae.
instar yaitu instar 1, 2, 3 dan instar ke-4 yang
berlangsung 9-12 hari. Larva memperoleh makanan dengan cara menyapu makanan menggunakan sikat mulut dan makanan larva berupa mikroorganisme dan bahan-bahan organik (Borror et al. 1992). Larva menggantung pada permukaan air dan membentuk sudut lebih dari 450 dan sensitif terhadap pergerakan air (Kettle 1984) . Larva mempunyai sifon yang tidak langsing dan hanya memiliki satu pasang rambut (hairtuft) serta pekten yang tumbuh tidak sempurna (Soedarto 1989). Larva terdiri dari kepala, toraks dan abdomen yang bersegmen, serta tidak mempunyai rambut palmate. Waktu yang dibutuhkan larva untuk menjadi pupa adalah 9 sampai 12 hari (Levine 1990). Dalam stadium ini pupa tidak makan dan pupa akan berkembang menjadi nyamuk dewasa ya ng mempunyai masa hidup dua minggu sampai satu bulan. Stadium dewasa mempunyai ciri khas yaitu belang putih hitam keperakan terutama didaerah toraks, kaki dan warna keperakan pada sisi skutelum (Yap dan Chong 1995). Nyamuk dewasa baru menghisap darah setelah satu kali kawin dan biasanya nyamuk Ae. aegypti menggigit mangsanya pada siang dan sore hari khususnya di tempat yang agak gelap . Delapan sampai sebelas hari setelah menghisap darah penderita DBD, virus akan masuk
di dalam lambung vektor. Di dalam tubuh vektor, virus
berkembang biak dan setelah periode tertentu virus akan ditemukan di dalam kelenjar ludah dan siap untuk disebarkan. Nyamuk menjadi infektif selama
9
hidupnya dan secara eksperimental telah dibuktikan bahwa nyamuk Ae. albopictus dapat menularkan secara transovarial pada nyamuk keturunannya (Manson-Bahr dan Bell (1987) dalam Sutaryo dkk, 1996). Menurut Umiyati dkk (1994) dalam Sutaryo tahun 1996 bahwa Ae. aegypti mendominasi pada daerah suburban, sedangkan untuk daerah pedesaan didominasi ole h nyamuk Ae. albopictus baik di dalam maupun di luar rumah. Selama musim kemarau maupun selama musim hujan. Ae. albopictus hidup dan berkembang biak didaerah semak-semak, di kebun dan di hutan. Telur nyamuk ini sangat tahan terhadap kekeringan selama beberapa bulan. Lubang pohon, semak tanaman, potongan bambu serta tempurung kelapa merupakan habitatnya. Pada musim hujan telur akan cepat menetas dan berkembang biak (Rodhain dan Rosen 1997).
3. Pengendalian Vektor Sampai sekarang ini belum ditemukan adanya obat atau vaksin untuk menanggulangi demam dengue ataupun DBD. Para ahli berlomba untuk mengembangkan vaksin atau mengembangkan anti virus melalui penemuanpenemuan
yang bisa digunakan sebagai bahan penanggulangan. Strategi
penanggulangan penyakit dilakukan dengan cara pemutusan rantai penularan penyakit
baik
dengan
cara
menekan
jumlah
penderita
dan
menekan
perkembangbiakan vektor. Penyebaran virus Dengue dipengaruhi oleh keberadaan nyamuk vektor, maka salah satu pencegahannya adalah dengan melakukan pengontrolan terhadap ve ktor. Menurut Utama dalam Kompas 2004, pengontr olan vektor dapat dilakukan dengan pembunuhan nyamuk menggunakan insektisida, membuat suatu perangkap telur/ ovitrap, penggunaan nyamuk transgenik dan pemberantasan sarang nyamuk. Depkes telah sejak lama menganjurkan sistem
10
pemberantasan vektor dengan menggunakan cara 3 M yaitu menguras atau menabur larvasida , menutup penampungan air dan mengubur barang – barang bekas. Cara-cara pengendalian di atas hanya akan berpengaruh pada kebanyakan nyamuk dewasa dan banyak mengandung kelemahan serta resiko yang menyangkut implementasi dan aplikasinya, sedangkan larva nyamuk sebagai calon nyamuk dewasa tidak terbasmi. Mengingat besarnya bahaya yang dapat ditimbulkan oleh insektisida kimia, maka para ahli melakukan berbagai penelitian untuk mencari bahan insektisida yang ramah lingkungan dan aman bagi manusia. Sebagai salah satu alternatif insektisida yang dapat digunakan adalah menggunakan agen biologis dengan memanfaatkan mikroba sebagai biokontrol. Insektisida mikrobial digunakan karena toksisitasnya rendah terhadap manusia dan hewan yang bukan merupakan target dan agen mikrobial yang digunakan sekarang ini antara lain berasal dari organisme hidup berupa bakteri, virus, kapang, nematoda dan protozoa. Selain mikroorganismenya sendiri juga toksin yang dihasilkan (Wienzierl et al. 2000). Di Eropa dan Inggris untuk membasmi keberadaan Musca domestica yang merupakan suatu hama yang menyerang ternak telah dikembangkan adanya metode alternatif dalam pence gahannya yaitu dengan menggunakan kapang entomopatogenik sebagai agen kontrol biologis. Kapang yang digunakan sebagai kontrol biologis terhadap hama serangga tersebut adalah
Beuveria bassiana,
Metarhizium anisopliae dan vertillicium lecanii. Ketiga jenis kapang ini mampu menginfeksi populasi serangga (Barson et al. 1994). Menurut Munif (1990) telah ditemukan di daerah persawahan di Indonesia kapang Beauveria, Lagenidium,
11
Entomophthora dan Coelomomyces yang berasal dari larva nyamuk Anopheles yang dikenal sebagai agen pengendali hayati.
4. Kapang Entomopatogen Kapang entomopatogen adalah kapang yang hidup pada serangga dan dapat hidup pada organisme yang sudah mati. Kapang ini menurut Alexopoulus dan Mims (1996) sering disebut sebagai kapang patogen serangga yang bersifat saprofit obligat. Sekarang ini telah banyak dikembangkan kapang sebagai agen pengendali hayati baik yang digunakan untuk pengendalian hama penyakit tanaman ataupun untuk pengendalian vektor penyakit diantaranya Gliocladium, Trichoderma, Beauveria, Metarhizium dll (Butt et al.
2001). Kapang
L.
giganteum mulai dikembangkan sebagai kandidat agen pengendali hayati pada tahun delapanpuluhan. Kapang L. giganteum
merupakan kapang yang habitatnya di air
(watermold ) dan bersifat saprofit dalam keadaan perkembangan vegetatif pada tanaman busuk maupun serangga yang sudah mati, serta bersifat parasit pada larva nyamuk (Lord dan Robert 1986). Termasuk klas Oomycetes dan Kingdom Chromista yang termasuk didalamnya Diatom dan Alga coklat (Sleigh 1989 dalam Schotle 2004). L. giganteum pertama kali ditemukan oleh Couch pada tahun 1935 dari sampel asal Copepoda dan larva nyamuk Culex dan Anopheles di North Carolina, USA dan penyebarannya secara geografi sangat luas meliputi Amerika Utara, Eropa, Afrika, Asia dan Antartika (Federici 1981). Kapang ini menyebabkan terjadinya angka kematian yang tinggi pada populasi larva nyamuk khususnya jenis Culex di California dan Carolina Utara (Merriem dan Axtell 1982; Jaronski dan Axtell 1983), Mansonia di Florida (Cuda et al. 1997) dan
12
spesies Anopheles (Kerwin dan Washino 1987). Mempunyai miselium coenocitic, septa membagi hifa menjadi beberapa segmen yang kadang menyempit pada bagian septanya. Segmen kadang terpisah antara satu dengan lainnya dan disebut sub thalus (Dwidjoseputro 1978; Willoughby (1969) dalam Misman 1990). Hifa utamanya bersegmen, menyempit pada septanya, kadang segmen yang satu terpisah dari yang lain dan bercabang. Pada larva nyamuk, Copepoda atau Daphnia, hifa bersegmen terdapat pada tubuh inang dan hifa halus akan muncul dipermukaan sehingga tampak seperti serabut-serabut pendek, tebal hifa 6-40µ dengan panjang segmen 50-300µ.
Dinding hifa mengandung selulosa yang
memberikan reaksi ungu klorida dari zeng. Protoplasma berwarna putih pucat dan mengkilat dan sub thalus berbentuk persegi panjang atau silindris (Willoughby (1969) dalam Misman 1990). Klasifikasi kapang L. giganteum menurut Alexopoulus dan Mims (1996) adalah sebagai berikut Kingdom : Chromista Phylum
: Oomycota
Klas
: Oomycetes
Ordo
: Lagenidiales
Familia
: Lagenidiaceae
Genus
: Lagenidium
Spesies
: L. giganteum
Tahap infektif dari kapang ini adalah tahap spora. Spora L. giganteum bersifat motil dan memiliki kemampuan untuk secara sekaligus merusak inangnya. Spora dapat ditemukan menempel pada batang padi, kumbang air atau
13
larva capung. Apabila spora belum menemukan inang yang cocok, spora akan berenang kembali dan mencari inang yang baru (Kerwin et al. 1994). L. giganteum tersebar di daerah tropis dan subtropis. Kapang ini tidak menimbulkan iritasi atau gangguan pada manusia, hewan, ikan dan organisme yang bukan sasaran (Kerwin et al. 1988 ; Lor d dan Anderson 1994). Meskipun L. giganteum bukan parasit obligat dan dapat tumbuh secara vegetatif di luar tubuh inang (seperti tumbuhan yang membusuk atau bangkai serangga), di tempat yang bukan merupakan habitatnya kapang ini dapat tumbuh dengan cepat dan mudah di isolasi dari larva nyamuk. Isolasi kapang ini pernah dilakukan di Amerika Serikat bagian selatan. Umumnya kapang ini ditemukan di air, atau tempat-tempat yang mendukung perkembangan populasi nyamuk. Kapang ini akan menjadi dorman pada suhu dibawah 160C atau pada suhu diatas 320C. Tingkat salinitas akan berpengaruh pada sporulasi. Perkembangan L. giganteum dapat berlangsung secara seksual dan aseksual. Perkembangan secara seksual dimulai dengan berubahnya thalus lengkap menjadi organ seksual tunggal atau thalus tersebut menjadi beberapa sel, setiap sel dapat menjadi organ reproduktif. Sebuah sel berkembang menjadi oogonium yang membulat dan sel yang lain berkembang menjadi antheridia dan bentuk selnya sama dengan oogonia. Antheridium ini menghasilkan sebuah tabung fertilisasi yang dapat masuk kedalam dinding oogonia, kemudian protoplasma antheridium berpindah kedalam oogonia melalui tabung fertilisasi dan bergabung membentuk zigot. Zigot yang terbentuk dilapisi dinding yang tampak jelas dan zigot ini disebut oospora yang tahan terhadap kekeringan, cuaca dingin. Oospora akan berkumpul didasar substrat dan mampu bertahan hidup lama
14
(Couch dan Rommey 1973) . Pada kondisi yang menguntungkan oospora akan mengalami germinasi dan tumbuh menjadi kapang saprofit atau memproduksi spora infektif (zoospora) (McCoy et al. 1988). Perkembangbiakan secara aseksual menggunakan zoospora yang akan menghasilkan sporangia. Infeksi terhadap larva nyamuk dimulai dari zoospora biflagela yang bersifat motil. Zoospora akan mengenali larva nyamuk dan akan masuk kedalam tubuh dan menyebar ke seluruh tubuh inang dan mati dalam waktu satu sampai empat hari tergantung dari suhu dan jumlah zoospora. L. giganteum dalam proses kehidupannya membutuhkan unsur trehalosa dalam komponen nutrisinya. Trehalosa merupakan salah satu sumber karbon yang terbaik selain glu kosa, manosa, fruktosa, maltosa dan gliserol. Sebaga i sumber nitrogen L.giganteum membutuhkan unsur aspartat, glutamat dan glutamin serta thiamin juga dapat meningkatkan pertumbuhan walaupun kapang ini mampu mensintesa vitamin sendiri (WHO 1985). Trehalosa dapat mengkatalisa reaksi hidrolisa alfa-disakarida , alfa trehalosa menjadi glukosa dalam tubuh serangga. Gula alfa dan alfa trehalosa merupakan unsur utama karbohidrat pada serangga. Dengan enzim yang dimiliki oleh L. giganteum yaitu enzim trehalase yang berfungsi dalam pemecahan cadangan trehalosa pada miselium dan zoospora serta pencernaan trehalosa dalam hemolimph pada waktu kapang masuk kedalam larva nyamuk. Proses gangguan L .giganteum pada inang secara umum adala h pengurangan makanan inang secara fisiologis. Trehalosa digunakan oleh kapang sehingga jumlahnya berkurang pada larva. Taurín dan cadangan energi berkurang berakibat terjadinya kekurangan nutrisi dan menimbulkan kematian (Giebel dan Domnas 1976; WHO 1985).
15
Menurut Dean dan Domnas (1983) , L. giganteum menghasilkan enzim ekstrasellular protease pada saat ditumbuhkan dalam media yang mengandung pepton, yeast exstrak dan glukosa. Selain itu kapang ini juga menghasilkan enzim lipase yang aktivitas dari kedua enzim tersebut berkaitan erat dalam penembusan kutikula larva disamping faktor tekanan secara mekanik. Selain itu kapang ini juga menghasilkan enzim kolagenolitik yang berfungsi juga pada penembusan ataupun perkembangannya. Selain faktor fisiologi dan biokimia, dalam perkembangannya, kapang L. giganteum dipengaruhi juga oleh faktor lingkungan yang meliputi faktor nutrisi, derajat keasaman (pH), suhu, cahaya, salinitas, polusi organik dan mikroba lain (Domnas et al. 1982; Jaronski dan Axtell 1982; Merriem dan Axtell 1982; Lord dan Robert 1985). Cara kapang L. giganteum menginfeksi
larva nyamuk melalui fase
infektif dari kapang yaitu zoospora yang berflagela dan motil masuk melalui mulut atau integumen (McCray et al. 1973: Lord dan Robert 1987). Zoospora akan membentuk kista dan membentuk germ tube yang akan digunakan untuk menembus kutikula larva dengan bantuan aktivitas enzim proteolitik dan lipolitik. Dengan adanya proses enzimatis dan dibantu
tekanan mekanik akan
melemahkan kutikula dan timbul proses melanisasi pada daerah yang terinfeksi. Dalam homocoel hifa akan tumbuh bercabang dan ber kembang menjadi miselium yang tidak bersepta yang akan memasuki daerah kepala dan memenuhi rongga badan. Dalam kondisi ini larva ma sih hidup tetapi kondisinya sangat lemah dan tidak bereaksi terhadap rangsangan mekanik. Larva akan segera mati apabila segmen-segmen kepala, toraks dan bagian abdominal sudah dipenuhi oleh
16
pertumbuhan miselium kapang. Pertumbuhan miselium vegetatif terhenti dan dilanjutkan proses reproduksi (Domnas et al. 1974). Efektivitas dari kapang L. giganteum pada mula pertama diketahui sangat lemah, tetapi penemuan-penemuan selanjutnya yang diisolasi di Amerika Serikat menunjukan bahwa patogenesitas utama efektif terjadi pada larva nyamuk. Setiap strain nyamuk mempunyai kekhususan inang tersendiri. Satu strain dapat kurang efe ktif terhadap larva Anopheles tetapi efektif terhadap larva Culicidae. Menurut WHO (1985) bahwa L. giganteum dapat menginfeksi larva nyamuk dari genus Culex, Aedes. dan Psorophora, sedangkan menurut Cuda et al. (1997) kapang ini juga menginfeksi Mansonia. Pada pengujian skala laboratorium, pada umumnya laju infeksi sangat tinggi dan mampu mematikan semua larva yang diujikan. Pada larva yang sudah berumur tua, pupa maupun nyamuk dewasa, zoospora akan mengalami kesulitan didalam menginfeksi. Zoospora akan ditemukan dalam jumlah 178.640-250.000 pada seekor larva nyamuk yang terinfeksi. Tingkat kematian larva 100% diperoleh dengan pemberian antara 715.000 zoospora tiap 100 ml air dan 1.600.000 per satu liter (Misman 1990). Kapang L. giganteum akan kehilangan ke mampuan untuk bereproduksi apabila sudah terlalu sering dibiakkan dalam media kultur (Lord dan Robert 1986).
17
BAHAN dan METODE PE NELITIAN
Tempat dan waktu percobaan Isolat kapang L. giganteum dicari pada larva nyamuk Anopheles, Culex dan Aedes. yang ada di desa lingkar Kampus IPB di sekitar Cikarawang, Kabupaten Bogor. Isolasi dan identifikasi serta penentuan dosis efektif dilakukan di Laboratorium Mikologi Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner , Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Proses pembuatan pewarnaan untuk pengamatan mekanisme infeksi dilakukan di Laboratorium Histologi Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Rearing nyamuk dilakukan di Laboratorium Pengendalian Hayati, Pusat Antar Universitas (PAU), Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilaksanakan mulai tahun 2001 sampai tahun 2005.
Bahan dan Alat Bahan dan alat utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah larva nyamuk dari berbagai genus yang diperoleh di sekitar Bogor, larva nyamuk hasil peliharaan. Media agar yang terdiri dari Sabouraud Dextrose Agar (SDA), Medium PYG, Medium Z, Medium Telur Air (EWM), Cotton seed oil, Cotton seed flour, Tepung gandum, Minyak jagung, Larutan Hipochlorid, MgCl2, CaCl2, Air bebas ion, Aquades, Pewarna Lugol, Lactophenol Cotton Blue (LPCB), Toluidin Blue. Alat utama yang digunakan Mikroskop, Shaker waterbath, Haemocytometer, cawan petri, Inkubator dan lain-lain. Bahan dan alat secara detail akan dijelaskan pada metode masing-masing tahap perc obaan.
18
Percobaan 1. Isolasi dan Identifikasi Kapang Entomopatogen Lagenedium giganteum dari larva Nyamuk asal Daerah Sekitar Desa Cikarawang Bogor Sebagai Kandidat Agen Pengendali Hayati METODE PENELITIAN
1. Pengambilan Sampel Larva Nyamuk Larva nyamuk diambil dari persawahan yang sudah ditinggalkan didaerah sekitar Cikarawang, Kabupaten Bogor. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan ciduk dan diambil secara acak. Waktu pengambilan dilaksanakan sampai 7 kali. Larva yang sudah diambil dimasukkan dalam tempat yang terbuat dari plastik polietilen yang diisi air. Selanjutnya sampel larva dibawa ke Laboratorium untuk dilakukan isolasi dan identifikasi terhadap kapang.
2. Isolasi Kapang dari Larva Nyamuk Larva asal lapangan dicuci bersih dengan menggunakan larutan NaCl fisiologis dan kemudian dicuci ulang menggunakan larutan Hipoklorit 0,5% . Pencucian ini bertujuan untuk menghilangkan kontaminan-kontaminan yang tidak diinginkan. Larva kemudian dihancurkan menggunakan penggerus kaca steril dan kemudian dibiakkan ke dalam lempengan agar Sabaurauds Dextrose Agar (SDA) yang sudah ditambah Antibiotika 0,2%. Biakan kemudian diinkubasi pada suhu 250 C dalam ruangan gelap selama 7-14 hari. Setelah koloni kapang tumbuh dilakukan pengamatan makroskopis koloni
dengan cara
melihat gambaran
bentuk dari koloni, sifat pertumbuhan, warna koloni, ukuran , topografi dan tekstur koloni. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan mikroskopis untuk melihat gambaran morfologi dengan menggunakan bantuan mikroskop. Metode yang
19
digunakan untuk pemeriksaan morfologi ini adalah dengan metode secara natif, dan untuk melihat morfologi secara jelas, koloni kapang yang terbentuk dibiakkan kembali dengan metode Slide culture Riddel pada suhu 25 oC selama 10 hari. Dalam pengamatan secara mikroskopis menggunakan Lactophenol Cotton Blue sebagai bahan pewarnaan.
3. Pemurnian Isolat Kapang Isolat kapang yang tumbuh di media SDA, masing-masing dikelompokkan berdasarkan morfologi baik secara makroskopik dan mikroskopik. Selanjutnya masing-masing isolat dimurnikan dengan menginokulasikan kembali pada media agar lempeng SDA yang ditambah antibiotik dan diinkubasi pada suhu kamar selama 3-10 hari.
4. Identifikasi Kapang Identifikasi kapang dila kukan secara makroskopik dan mikroskopik. Secara makroskopik diamati bentuk, warna, sifat pertumbuhan, ukuran, topografi dan tekstur koloni. Pengamatan secara mikroskopik dilakukan setelah kapang dibiakkan pada media agar dengan menggunakan metode slide culture. Dalam pembuatan slide culture , sebelumnya disiapkan terlebih dahulu cawan petri yang didalamnya terdapat gelas obyek, gelas penutup, pipa U, dan kertas saring yang semuanya dalam keadaan steril. Pada kaca obyek yang ditopang dengan pipa U diletakkan potongan agar berukuran 1x1 cm2 dan dari keempat sisi agar tersebut dengan menggunakan os ë, kapang yang akan diidentifikasi diambil dan ditempelkan dalam jumlah secukupnya. Tahap selanjutnya adalah potongan agar ditutup dengan gelas penutup. Kertas saring dibasahi dengan aquades steril yang
20
berfungsi untuk menjaga kelembaban. Semua isolat diinkubasikan pada suhu kamar selama satu minggu. Kapang diidentifikasi dengan cara memindahkan gelas penutup dari potongan agar menggunakan pinset dan menempatkannya diatas gelas obyek yang telah ditetesi pewarna lactophenol cotton blue, kemudian diamati dibawah mikroskop dan diidentifikasi (Fisher dan Cook 1998; Humber 1998; Butt et al. 2001).
5. Pemeliharaan isolat L. giganteum Pemeliharaan isolat hasil identifikasi dilakukan pada media yang mengandung SDA, sedangkan kapang L. giganteum dilakukan pemeliharaan ke dalam media khusus. Salah satu media yang digunakan untuk pemeliharaan L. giganteum adalah seperti apa yang dilakukan oleh Kerwin dan Wasino (1983) yaitu media agar 2% (w/v) yang mengandung kuning telur segar, Whole milk , glukosa dan peptone dengan per bandingan 70:20:20:10 g/liter. Miselium yang berasal dari biakan murni diambil dengan menggunakan os ë steril dan dipindahkan kedalam media yang berisi kuning telur dan di inkubasi pada suhu 260 C selama 1 minggu dalam ruang gelap.
HASIL dan PEMBAHASAN
Isolasi dan identifikasi Larva nyamuk yang diambil dari persawahan yang telah ditinggalkan di daerah sekitar Cikarawang Kabupaten Bogor diidentifikasi terlebih dahulu dan diidentifikasi sebagai larva nyamuk Culex, Anopheles dan Aedes. Larva diambil (dengan menggunakan ciduk) kemudian dibersihkan dengan cara mencuci
21
menggunakan aquades steril dan dibilas menggunakan Larutan Hipokhlorit 0,5% yang berfungsi sebagai disinfektan. Setelah dicuci, dilakukan penggerusan, kemudian dilakukan isolasi pada media SDA yang ditambah dengan antibiotik. Setelah diinkubasi selama satu minggu dari beberapa kali percobaan dihasilkan 10 macam koloni kapang yaitu kapang, Aspergillus niger, Aspergillus fumigatus, Penicillium sp., Verticillium sp., Mucor sp., Syncephalastrum sp., Gliocladium sp., Beauveria sp. dan kapang L. giganteum. Menurut Beneke dan Rogers (1970) kapang Aspergillus, Mucor, Penicillium, Syncephalastrum dan Gliocladium merupakan kapang-kapang saprofit yang umum ditemukan pada material klinis, sebagai kontaminan laboratorium dan pada kondisi te rtentu kapang ini akan menjadi bersifat patogen. Kapang Aspergillus dan Penicillium merupakan kapang kontaminan yang umum ditemukan pada bangkai serangga (Humber 1998). Menurut Butt (2001) bahwa L. giganteum, Verticillium sp., dan kapang Beauveria sp., telah dikenal berpotensi sebagai kapang pengendali hayati. Kapang Aspergillus kelompok A yang berasal dari Daerah Curug, Bogor mempunyai patogenisitas paling tinggi terhadap larva nyamuk Ae. aegypti, yaitu mampu membunuh 90% populasi larva instar II, 85% larva instar III serta 82.50% pada larva instar IV dalam waktu 12 jam pada konsentrasi 201.0/mm3 sedang untuk Penicillium sp mampu membunuh 67.50% larva instar II, 55% pada instar III dan 55% instar IV (Natalia 2000). Aspergillus fumigatus secara makroskopis gambaran koloni mempunyai warna hijau kebiruan yang dikelilingi warna putih pada bagian pinggirnya, topografi flat dan menyebar dengan tekstur seperti serbuk
halus dan sifat
pertumbuhannya cepat yaitu 2-5 hari. Secara mikroskopik mempunyai hifa yang
22
bersepta, konidiofor tidak bercabang, pada bagian ujung konidiofor membesar membentuk vesikel yang bulat seperti buah pear. Permukaan dari vesikel dipenuhi oleh fialid yang berbentuk seperti botol. Konidia sedikit ramping dan kasar memenuhi ujung dari fialid (Campbell et al. 1996). Aspergillus niger secara makroskopik berwarna hitam, topografi flat dan kadang ditemukan bentukkan topografi yang melipat dengan tekstur bergranula. Pada permukaan bagian belakang berwarna krem. Secara mikroskopis mempunyai hifa bersepta dengan konidiofor berdinding tebal, halus dan tidak berwarna. Vesikel berbentuk bulat dan di bagian permukaan dipenuhi oleh fialid dan metulae. Konidia berbentuk bulat, kasar dan me nempel diatas metulae (Larone 1976; Campbell et al. 1996; Fischer dan Cook 1998). Penicillium sp. secara makroskopik berwarna hijau kebiruan dengan bagian tepi berwarna putih, koloni seperti beludru dan topografi flat sampai keriput dengan tekstur granuler dan sifat pertumbuhannya cepat. Secara mikroskopis hifa bersepta, konidiofor bercabang dan mempunyai metulae. Pada metulae terdapat fialid yang berbentuk botol dengan ditempeli konidia yang bulat dan tersusun berantai dan susunanya sangat karakteristik (Campbell et al. 1996; Fischer dan Cook 1998). Menurut Larone (1976), kapang M ucor secara makroskopik koloni pada permulaan pertumbuhan berwarna putih dan makin lama berwarna abu-abu. Pada permukaan koloni berwarna hitam. Topografi seperti kapas dengan pertumbuhan miselium ke arah permukaan dan mempunyai tekstur flocose dengan tipe pertumbuhan sangat cepat yaitu 2-4 hari. Secara mikroskopis hifa tidak bersepta dan berdinding tebal, mempunyai rizoid. Sporangia berbentuk sperik dengan
23
kolumela yang besar dan spora berwarna hijau keabuan. Menurut Fisher dan Cook (1998) bahwa kapang ini merupakan kapang kontaminan dan bersifat oportunis patogen. Menurut Vuillemin (1912) kapang Beauveria bassiana memiliki laju pertumbuhan sedang dengan diameter koloni mencapai 1 sampai 3 cm. Topografi dari kapang ini seperti flat dan tekstur seperti kapas dan bergranula. Secara mikroskopik sel konidiogen memanjang, hifa bersepta dengan konidiofor halus dan tidak berwarna. Konidia berbentuk globosa, ovoid subglobosa. Didalam pengendalian hayati kapang ini sudah menjadi produk komersil dan banyak diterapkan sebagai musuh hayati belalang (Butt et al. 2001). Kapang L. giganteum merupakan kapang yang bersifat patogen fakultatif pada larva nyamuk (Lord dan Robert 1986). Kapang L. giganteum diketahui dapat menyebabkan terjadinya mortalitas yang tinggi pada populasi nyamuk dibeberapa laboratorium khususnya dari genus Culex (Merriem dan Axtell 1982; Jaronski dan Axtell 1983), Mansonia (Cuda et al. 1997) dan Anopheles (Kerwin dan Washino 1987). Kerwin (2004) mengatakan bahwa kapang L. giganteum tidak dapat menginfeksi larva kumbang air, capung dan tanaman air. Dari hasil isolasi dan identifikasi (William 1961; Fisher dan Cook 1998) yaitu dengan cara melihat secara makroskopik dan mikroskopik dalam penelitian ini, salah satu isolat yang ditemukan adalah L. giganteum. Secara makroskopik dengan melihat koloni yang terbentuk maka diperoleh hasil bahwa bentuk koloni bulat, tekstur globrous dengan topografi flat dan warna putih keabuan. Waktu yang digunakan untuk pertumbuhannya adalah 7 hari (Gambar 1).
24
Menurut Kerwin (2000) gambaran makroskopik kapang Lagenidium pada tahap infektif pada larva yang terinfeksi menunjukkan
koloni yang sangat
karakteristik dan berwarna putih keabuan. Dari hasil pengamatan secara mikroskopik kapang hasil identifikasi mempunyai miselium soenositik dan hifa bersepta,
mempunyai
vesikel,
dan
sporangium
(Gambar 2).
Menurut
Dwidjoseputro (1978) pada Lagenidium hifanya terbagi atas beberapa sel dan diantara sel-selnya akan berubah menjadi gametangium dan sporangium dan bentuk spora bulat sampai oval. Gambaran morfologi secara mikroskopik kapang L. giganteum yang berhasil diidentifikasi menunjukkan morfologi yang terlihat secara jelas setelah dilakukan subkultur dengan metode slide culture Riddel (Campbell dan Stewart 1990) (Gambar 3).
Gambar 1. : Koloni kapang L .giganteum dalam media PYG
Gambar 2:Mikroskopik L . giganteum Gambar 3 : Mikroskopik dengan dengan metode natif 10x Slide culture Riddel (a.sporangium) perbesaran 10x (a. Hifa; b.sporangium)
25
Lagenidium merupakan kapang yang tumbuh di air tawar dan bersifat parasit fakultatif. Kapang ini hidup secara vegetatif sebagai saprofit pada tanaman busuk atau serangga yang sudah mati dan bersifat parasit pada fitoplankton dan hewan lain di air (Stoskopf 1993). Morfologi dari L. giganteum adalah mempunyai hifa bersepta yang membagi hifa menjadi beberapa segmen yang kadang menyempit pada bagian septanya (Couch,1935 dalam Misman 1990), tiaptiap segmen kemudian berubah menjadi suatu sporangium atau gametangium. Protoplast dari sporangium membagi diri menjadi zoospora (Dwidjoseputro 1978). Dalam siklus hidupnya Lagenidium mempunyai
2 cara yaitu secara
aseksual (zoospora) dan seksual (oospora). Menurut Brady (1981), zoospora merupakan tahapan infektif terhadap larva nyamuk dan dapat mengakibatkan kematian. Untuk mendapatkan stadium infektif ini maka diperlukan pembiakan kembali pada media biakan yang mampu memicu terjadinya zoosporogenesis.
KESIMPULAN Dari penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut: 1.
Berdasarkan hasil isolasi dan identifikasi diperoleh 9 isolat kapang meliputi kapang
Aspergillus
niger,
Aspergillus
fumigatus,
Penicillium sp.,
Verticillium sp., Mucor sp., Syncephalastrum sp., Gliocladium sp., Beauveria sp. dan kapang L. giganteum, yang berasal dari larva nyamuk Culex, Anopheles dan Aedes . 2.
Karena kemampuannya di dalam membunuh larva nyamuk maka isolat L. giganteum dijadikan kandidat kapang pengendali hayati.
26
Percobaan
2
Pengaruh Media Biakan terhadap Proses Zoosporogenesis dan Oosporogenesis dari Lagenidium .giganteum
METODE PENELITIAN
1. Pemeliharaan Isolat K apang L. giganteum Di laboratorium setiap bulan dilakukan subkultur isolat kapang L. giganteum seperti yang dilakukan oleh Kerwin and Wasino (1986), yaitu menumbuhkan kembali pada media agar 2% (w/v) yang mengandung kuning telur segar, whole milk , glukosa dan pepton dengan perbandingan 70:20:20:10 g/lt. Setelah dilakukan subkultur kemudian diinkubasi pada suhu ruangan selama 7-14 hari dalam ruangan gelap. Dalam pembuatan media selalu ditambah dengan antibiotik 0.2%.
2. Isolasi dan Produksi Zoospora Untuk isolasi zoospora digunakan kombinasi 2 media biakan yaitu media PYG dan media Z. Media PYG berisi 1,25 gr pepton, 1,25 gr yeast ekstrak dan 3,0 gr glukosa ditambah suplemen 1,5 g/lt minyak jagung. Media Z (Domnas et al, 1983) berisi 1,25 gr yeast ekstrak, 1,2 gr glukosa, 3,2 gr tepung gandum dan 1.2 gr hemp seed extract . Untuk menginduksi proses zoosporogenesis digunakan juga air bebas ion. Miselium hasil subkultur dipindahkan kedalam tabung erle nmeyer yang berisi 250 ml medium PYG. Pemindahan dilakukan secara aseptis dan kemudian diinkubasi pada suhu 250 C didalam shaker watebath (120 rpm) selama 4 hari. Pada hari keempat semua miselium dipindahkan ke tabung erlenmeyer yang berisi
27
250 ml medium Z, dan diinkubasi kembali seperti perlakuan pada saat menggunakan medium PYG. Empat hari kemudian miselium dipanen dengan cara menyaring menggunakan kertas saring. Miselium hasil panenan ditimbang dan diambil 0,2 gr berat basah. Hasil timbangan kemudian dilarutkan kedalam 1000 ml air bebas ion. Untuk menghitung jumlah zoospora yang dihasilkan dari hasil miselium yang telah dilarutkan diambil 5 ml dan dimasukkan ke dalam cawan petri dan diinkubasikan pada suhu kamar selama 2 hari dalam ruang yang gelap. Dua hari kemudian akan tampak adanya suatu lapisan tipis/germline pada permukaan bawah cawan petri. Germline ini merupakan kelompok-kelompok zoospora yang terbentuk.
3. Isolasi dan Produksi Oospora Menurut Kerwin et al. (1985) metode yang digunakan
untuk menginduksi
terbentuknya oospora adalah sebagai berikut : Media biakan yang digunakan tiap 1000 ml air bebas ion
mengandung 1,25 gr pepton, 1,25 gr Ardamin, 3 gr
glukosa, 0,05 gr lesitin, 0,025 mg kolesterol, 0,075 CaCl2.2H2O dan 0,15 gr Mg.Cl2.6H2O. Selain itu juga menggunakan media biakan yang mengandung 2.8 g/lt yeast ekstrak, 2,4 gr glukosa, 3,2 gr/lt tepung gandum 300mg/lt cottonseed oil, 100 ml ekstrak cotton seed flour 0,15 gr CaCl2.2H2O dan 0,15 gr Mg.Cl 2.6H2O (Brey, 1985). Zoospora dimasukkan ke dalam aquadestilata selama 12-18 jam sebelum diinokulasikan kemedia yang mengandung ardamin di atas. Sete lah diinkubasi zoospora diambil 8 ml dan dimasukkan ke dala m tabung erlenmeyer yang berisi 250 ml media biakan dan diinkubasi pada suhu 25 0C selama 4 hari dalam shaker
28
waterbath 120 rpm. Miselium yang dihasilkan dipanen dan dimasukkan kembali ke media yang berisi cotton seed oil dan kemudian diinkubasi selama 7-10 hari pada suhu kamar. Oospora akan bergerombol di dasar tabung dan siap dipanen.
4. Penghitungan dan pengamatan zoospora dan oospora Penghitungan zoospora dan oospora yang dihasilkan dengan menggunakan malazzes hemocytometer dan pengamatan dilakukan dengan menggunakan bantuan mikroskop dengan perbesaran 10x dan 40x. Zat warna yang digunakan Lacto phenol cotton blue (LPCB).
HASIL dan PEMBAHASAN Pemeliharaan isolat Lagenidum giganteum, salah satu tujuannya supaya isolat tersebut tidak mati dan dalam pemeliharaan ini membutuhkan waktu yang lama karena selama pemeliharaan seringkali ditemukan banyak terjadi kendala. Dalam pemeliharaan ini dari isolat murni dibiakkan ke dalam media biakan agar seperti yang dilakukan oleh Kerwin dan Wasino (1986). Kuning te lur yang ada dalam media biakan ini digunakan sebagai sumber utama untuk pertumbuhan kapang L. giganteum yang meliputi lemak, karbohidrat, protein dan elemen organik yang meliputi sulfur, potassium, sodium, fosfor , kalsium, magnesium dan besi (Stadelman dan Cotterill(1977) dalam Misman, 1990). Sedangkan sumber karbon untuk pertumbuhan kapang ini selain berasal dari glukosa yang ada pada kuning telur juga berasal dari glukosa yang ditambahkan pada media diatas. Menurut Bilgrami dan Verma (1981) dalam Misman (1990) bahwa unsur karbon diperlukan oleh kapang tersebut untuk menyusun komponen miselium kapang.
29
Dari penelitian ini setelah kapang L. giganteum ditumbuhkan pada media khusus (Domnas et al. 1983) yaitu kombinasi antara media PYG (pepton, yeast ekstrak dan glukosa) dengan pH 6,5 dan Medium Z pH 6,0 dan didiamkan pada air bebas ion selama 2 hari maka dihasilkan zoospora yang merupakan stadium infektif , bersifat motil dan merupakan alat reproduksi aseksualnya (Gambar 4). Jumlah
zoospora
yang
dihasilkan
sete lah
dihitung
dengan
Malassez
hemocytometer sebesar 15 x 107 zoospora/ml. Dalam siklus hidupnya Lagenidium mempunyai siklus hidup yang relatif sederhana, terdiri dua siklus yang terpisah yaitu aseksual sebagai zoospora dan siklus seksual dengan oospora (Dwidjoseputro 1978). Dalam lingkungan perairan kapang L. giganteum mempunyai dua fase yaitu bersifat saprofit ik dan parasitik. Fase parasitik bersifat motil, berbentuk bulat dan mempunyai 2 flagella pada bagian lateralnya.
Gambar 4. Zoospora 40x
Tahap infektif dari kapang ini adalah tahap spora (zoospora). bersifat motil dan memiliki kemampuan untuk mencari sekaligus merusak inangnya dengan cara menangkap sinyal yang dihasilkan pada bagian epikutikula (eksoskeleton bagian
30
luar) nyamuk. Zoospora dapat ditemukan menempel pada batang padi, kumbang air ataupun larva capung. Apabila zoospora belum menemukan inang yang cocok, zoospora akan berenang kembali dan mencari inang yang sesuai (Melvin et al. 1987; Kerwin 1990 ; Kerwin 2000). Secara in vitro produksi zoospora akan dapat tercapai apabila ditumbuhkan pada media biakan yang mengandung cukup nutrisi dan pH yang sesuai. Gugus trehalosa merupakan sumber karbon terbaik selain glukosa, mannosa, fruktosa, maltosa dan gliserol selain itu kapang ini juga membutuhkan aspartat, glutamat dan glutamin sebagai sumber nitrogen (McInnis (1971) dalam Misman (1990). Kapang akan
mempunyai enzim ekstrasel protease apabila
ditumbuhkan pada media PYG dan dalam memproduksi enzim ini juga dibutuhkan suatu perangsang protein. Pada penelitian ini
miselium kapang
ditumbuhkan dalam media biakan cair yang mengandung PYG dan ditambah suplemen minyak jagung. Minyak jagung digunakan sebagai sumber sterol yang digunakan sebagai bahan tambahan yang akan digunakan untuk menginduksi terjadinya proses zoosporogenesis. Menurut Domnas et al. (1977)
media biakan
yang mengandung PYG perlu ditambahkan unsur protein baik berupa kolesterol ataupun protein nabati untuk
memicu terjadinya zoosporogenesis. Selain itu
dengan penambahan protein tersebut akan memicu juga produksi enzim protease menjadi dua sampai tiga kali lipat dan waktu pertumbuhan akan menjadi dua kali lebih cepat apabila dibandingkan dengan tanpa penambahan suplemen. Enzim protease membantu proses zoospora dalam melakukan penetrasi ke dalam lapisan kutikula dari nyamuk disamping enzim lipase (Domnas et al. 1974). Menurut Jaronski et al. (1983) bahwa apabila kapang L. giganteum ditumbuhkan pada
31
media yang bebas sterol proses zoosporogenesis akan terhambat dan kemampuan pembentukkan zoospora akan tertahan apabila kapang ditumbuhkan pada media PYG setelah beberapa bulan (Lord dan Robert 1986). Kisaran pH yang dibutuhkan dalam produksi zoospora secara in vitro adalah 4,5-8,4 (Lord dan Robert 1985) sedang menurut Domnas et al. (1982) bahwa produksi zoospora kisaran pH yang digunakan adalah 5,4-7,5 dan pH optimal apabila menggunakan media PYG adalah 6,5-7,5). L. giganteum akan mampu memproduksi zoospora secara optimal apabila setelah ditumbuhkan ke media PYG, harus ditumbuhkan pada media Z dengan pH 5,5-6,0 (Balaraman dan Hoti (1986) dalam Misman, 1990) . Dalam penelitian ini untuk memperoleh proses zoosporogenesis secara sempurna, suspensi zoospora dimasukkan kedalam cawan-cawan petri yang berisi air bebas ion steril yang diinkubasikan pada suhu 25 0C selama 3 hari dan diperoleh hasil adanya germline pada dasar petri. Menurut Kerwin et al. (1986) bahwa untuk memacu terjadinya zoosporogenesis nutrisi yang terkandung di media biakan, digunakan juga aquades steril, sedangkan Domnas et al. (1977) menggunakan air bebas ion sebagai pemacu zoosporogenesis. Dalam penelitian ini untuk menghasilkan oospora, zoospora yang telah dihasilkan kemudian dibiakkan kembali kemedia yang mengandung yeast ekstrak 2,8g/lt, glukosa 2,4 g/lt, wheat germ 3,2g/lt, cotton seed oil dan cotton seed flour serta ditambah beberapa milimolar unsur kalsium dan magnesium. Inkubasi dilakukan selama 7-10 hari. Setelah 7 hari miselium dipanen dan dilarutkan dalam aquades steril dan diinkubasi kembali selama 7 hari. Pada hari kesepuluh oospora dipanen dan diperoleh hasil 2,1x10 3 oospora/ml setelah dihitung dengan
32
menggunakan Malassez hemocytometer. Oospora berbentuk bulat mempunyai dinding yang jelas dan lapisan halus (Gambar 5). Secara normal dalam pertumbuhannya L. giganteum membutuhkan unsur karbon, nitrogen dan mineral serta vitamin. Untuk dapat aktif memproduksi oospora dalam media cair yang digunakan untuk pertumbuhan dibutuhkan sterol, kalsium dan asam lemak tak jenuh. Sterol akan merubah pertumbuhan vegetatif menjadi pertumbuhan reproduktif. Sumber sterol dapat berasal dari minyak sayur, minyak jagung ataupun minyak gandum dan ketiga sumber sterol ini yang sangat optimum dalam memproduksi oospora (Kerwin et al. 1986). Oospora dapat dihasilkan dan dapat bertahan lama dengan memberikan asam lemak dalam media pertumbuhannya khususnya unsur trigliserida. Jumlah oospora yang diproduksi dipengaruhi suhu, pH, nutrisi, salinitas, cahaya ataupun komponen organik. Dalam penelitian ini oospora yang dihasilkan sedikit, hal ini kemungkinan disebabkan oleh faktor sterol yang digunakan ataupun asam lemaknya kurang optimal sehingga berpengaruh dalam proses oosporogenesis. Menurut Kerwin et al. (1986) bahwa dalam produksi oospora hasil akan optimum apabila
jumlah sterol yang
ditambahkan cukup besar yaitu 60 mg/lt dan diproduksi menggunakan fermentor. Tipe dan konsentrasi asam lemak yang digunakan juga berpengaruh dalam proses oosporogenesis. Asam lemak kemungkinan mempengaruhi proses fisiologi yang berkaitan dengan terjadinya oosporogenesis. Asam lemak tergabung dalam golongan
fospolipid yang mungkin berpengaruh dalam aktivitas pengikatan
antara membran sel dengan enzim adenil siklase yang diketahui terlibat dalam merangsang terjadinya proses oosporogenesis. Kandungan
fospolipid juga
berpengaruh dalam fusi antara anteridia dan oogonia , menghambat terjadinya
33
gametangia sehingga menyebabkan terjadinya kegagalan dalam pembentukkan oospora. Vegetables oil kaya akan asam oleic , linoleic dan linolenic, ketika ditambahkan kholesterol, yang mana keduanya cocok sebagai sumber asam lemak untuk produksi oospora yang aktif dalam media cair. Menurut Kerwin
e t al.
(1986) bahwa asam linolenic yang terkandung dalam ekstrak hemp seed mendekati 60%, sehingga apabila minyak ini ditambahkan pada media dasar yang telah ditambah kolesterol akan sangat berpengaruh dalam memproduksi oospora. Selain itu dalam proses oosporogenesis juga dibutuhkan adanya unsur kalsium dan magnesium. Menurut Brey (1985) dengan menggunakan media biakan yang sama oospora yang dihasilkan 5,0 x 103 dan Kerwin et al. (1983) menggunakan medium padat yang berisi PYG dan ditambah suplemen kolesterol dan lesitin mampu menghasilkan oospora sejumlah 4,1x105/10 cm diameter petri.
Gambar 5. Oospora perbesaran 10x Oospora mampu bertahan hidup dan bersifat dorman (spora istirahat) serta stabil, dapat bertahan terhadap kondisi lingkungan yang kurang baik, tahan terhadap kekeringan dan mampu bertahan sampai 7 tahun (Kerwin 2000). Pada
34
kondisi lingkungan yang tepat, oospora akan ber kecambah dan menghasilkan zoospora. KESIMPULAN Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa : 1. Media biakan yang terdiri dari Media PYG yaitu media yang berisi pepton, yeast ekstrak dan glukosa yang kemudian dipindahkan kemedia yang mengandung sumplemen vegetable oil serta dipindahkan ke media air bebas ion mampu menghasilakn zoospora sebanyak 15 x 107 zoospora/ml. 2. Media cair yang berisi 1,25 gr pepton, 1,25 gr ardamin, 3 gr glukosa, 0,05 gr lesitin, 0,025 mg kholesterol, 0,075 CaCl2.2H2O dan 0,15 gr Mg. Cl 2.6H2O dan media yang mengandung 2,8g/lt yeast ekstrak, 2,4 gr glukosa , 3,2 gr/lt tepung gandum, 300 mg/lt cottonseed oil, 100 ml ekstrak cotton seed flour , 0,15 gr. CaCl2.2H2 O dan 0,15 gr Mg.Cl2.6H2O menghasilkan oospora sebanyak 2,1x103 oospora/ml selama 7 hari masa inkubasi.
35
Percobaan 3 Uji Patogenisitas Zoospora dan Oospora Kapang Lagenidium giganteum terhadap Larva Instar 2 Nyamuk Ae. aegypti Skala Laboratorium METODE PENELITIAN
1. Pemeliharaan Nyamuk Ae. aegypti Ae. aegypti dipupuk (rearing) dalam insektari yang berukuran 76x76x76 cm. Selama pemeliharaan didalam insektari dimasukkan sukrosa 10% sebagai sumber makanan. Sumber makanan darah diberikan dengan cara memasukkan tikus yang telah difiksasi dalam kawat berjaring, sedangkan untuk tempat bertelur disiapkan kertas saring berbentuk kerucut diatas cawan petri yang berisi air untuk menjaga kelembaban.. Selama pemeliharaan diharapkan nyamuk akan bertelur di atas kertas saring. Apabila diperkirakan sudah tidak ada nyamuk yang bertelur kemudian kertas saring diangkat dan dikeringkan dalam suhu kamar. Selanjutnya kertas saring yang berisi telur tersebut sebagian dimasukkan dalam kantong polietilen untuk disimpan dan sebagian ditetaskan. Proses penetasan dilakukan di laboratorium. Kertas saring yang berisi telur direndam dalam air sumur yang telah diendapkan semalam. Kurang lebih selama 3-5 hari telur akan menetas. Pemeliharaan pada stadium larva, kebutuhan makanan diperoleh dengan memberikan tepung hati yang dikeringkan.
2. Uji Efektifitas zoospora Uji patogenesitas dilakukan di laboratorium Mikologi, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran
36
Hewan Institut Pertanian Bogor. Dalam uji efektifitas ini dibutuhkan zoospora, larva instar 2 nyamuk Ae. aegypti. Tepung hati, air sumur yang diendapkan, gelas plastik, penutup kasa dan lain-lain. Zoospora
hasil
panenan
dihitung
dibawah
mikroskop
dengan
menggunakan malazzes hemocytometer. Setelah didapatkan hasil perhitungan zoospora selanjutnya dibuat sua tu pengenceran. Suspensi zoospora dari masingmasing pengenceran kemudian dimasukkan kedalam gelas-gelas plastik yang didalamnya sudah berisi media tumbuhnya larva nyamuk serta makanannya. Larva instar 2 dimasukkan dalam gelas-gelas yang sudah berisi zoospora sesuai pengenceran sebanyak 25 ekor. Dalam percobaan ini media cair yang digunakan adalah 50 ml air sumur yang sudah diendapkan Sebagai kontrol dalam percobaan ini hanya berisi air sumur dan larva nyamuk. Masing-masing perlakuan diulang 4 kali. Pengama tan dilakukan setiap hari sampai hari kelima. Penghitungan LD50 dengan menggunakan metode Reed dan Muench (1938). Larva yang mati diambil dan disimpan untuk dilihat secara mikroskopis dengan menggunakan pewarnaan.
3. Uji Efektivitas Oospora Uji efektivitas dilakukan di laboratorium Mikologi, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesmavet, Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Dalam uji efektivitas ini dibutuhkan oospora, larva instar 2 nyamuk Ae. aegypti, tepung hati, air sumur yang diendapkan, gelas plastik polietilen, penutup kasa dll. Oospora hasil panenan dihitung dibawah mikroskop dengan menggunakan malazzes hemocytometer.
Setelah
didapatkan
hasil
perhitungan
oospora
selanjutnya dibuat suatu pengenceran. Suspensi oospora dari masing – masing
37
pengenceran kemudian dimasukkan ke dalam gelas-gelas plastik yang didalamnya sudah berisi media tumbuhnya larva nyamuk serta makanannya. Larva instar 2 dimasukkan dalam gelas – gelas yang sudah berisi oospora sesuai pengenceran sebanyak 25 ekor. Dalam percobaan ini media cair yang digunakan adalah 50 ml air sumur yang sudah diendapkan Sebagai kontrol dalam percobaan ini hanya berisi air sumur dan larva nyamuk.. Masing – masing perlakuan diulang 4 kali dan pengamatan dilakukan mulai hari kelima sampai hari keempat belas. Penghitungan LD 50 dengan menggunakan metode Reed dan Muench (1938). Larva yang mati diambil, dihitung dan dilihat secara mikroskopis dengan menggunakan pewarnaan .
4. Mekanisme infeksi zoospora terhadap Larva Mulai dari awal pemerik saan patogenisitas, setiap larva yang mati mulai hari pertama dikumpulkan dari tiap-tiap perlakuan. Larva yang mati kemudian diamati secara mikroskopis yang sebelumnya diwarnai terlebih dahulu dengan Lacto Phenol Cotton Blue (LPCB) dan Toluidin Blue 2,5%.
38
HASIL dan PEMBAHASAN Hasil pengujian efektifitas zoospora dari kapang L. giganteum setelah diujikan terhadap larva instar 2 nyamuk Ae. aegypti dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Jumlah larva Ae. aegypti yang mati dan hidup pada setiap konsentrasi zoospora Konsentrasi Zoospora/ml
Jumlah Larva Mati
Jumlah Larva Hidup
Kontrol
5
20
1.
3,0 x 105
8
17
2.
6,0 x 10 5
7
18
3.
9,0 x 10 5
18
7
4.
1,2 x 10 6
12
13
5.
1,5 x 10 6
15
10
7.
1,8 x 10 6
18
7
8.
2,1 x 10 6
13
12
9
2,4 x 10 6
11
14
10.
2,7 x 10 6
17
8
11.
3,0 x 10 6
15
10
12.
4,5 x 10 6
16
9
13.
6,0 x 10 6
15
10
14.
7,5 x 10 6
17
8
15.
9,0 x 10 6
17
8
16.
1,05 x 107
15
10
17.
1,2 x 10 7
17
8
18.
1,35 x 107
18
7
19.
1,5 x 10 7
19
6
No
39
Berdasarkan dari hasil penghitungan jumlah larva yang mati dan hidup pada tabel satu kemudian dihitung nilai
Lethal dose limapuluh (LD50) dan LD95
menurut Ree d dan Muench (1938). Hasil penghitungan disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Hasil percobaan penghitungan LD50 dan LD 95
Jumlah No Zoospora/ml
Jumlah Larva
Akumulasi Larva
Perbanding an Larva
Persentase
Mati Hidup
Mati Hidup
Mati/total
Kematian larva
1.
3,0 x 105
8
17
8
182
8/190
4,2
2.
6,0 x 105
7
18
15
165
15/170
8,33
3.
5
9,0 x 10
18
7
33
147
33/180
18,33
4.
1,2 x 106
12
13
45
140
45/185
24,32
5.
1,5 x 106
15
10
60
127
60/187
32,09
7.
1,8 x 106
18
7
78
117
78/195
40,0
8.
2,1 x 106
13
12
91
110
91/201
45,27
9.
2,4 x 106
11
14
102
98
102/200
51,00
10.
2,7 x 106
17
8
119
84
119/203
58,62
11.
3,0 x 106
15
10
134
76
134/210
63,81
12.
4,5 x 106
16
9
150
66
150/216
69,44
13.
6,0 x 106
15
10
165
57
165/222
74,34
14.
7,5 x 106
17
8
182
47
182/229
79,48
15.
9,0 x 106
17
8
199
39
199/238
83,61
16.
1,05 x 107
15
10
214
31
214/245
87,73
17.
1,2 x 107
17
8
231
21
231/252
91,67
18.
1,35 x 107
18
7
249
13
249/262
95,04
19.
1,5 x 107
19
6
268
6
268/274
97,81
Hasil penghitungan Lethal dose limapuluh (LD50) dan LD95 untuk oospora menurut Reed dan Muench (1938) disajikan pada Tabel 3
40
Tabel 3. Hasil percobaan penghitungan LD50 dan LD95 oospora terhadap larva instar 2 nyamuk Ae. aegypti No
Jumlah Jumlah larva oospora/ml Mati Hidup
Akumulasi larva Mati Hidup
Perbandingan larva Mati/total
Persentase
1
4,2 x 102
12
13
12
30
12/42
Kematian larva 28,6
2
8,4 x 102
19
6
31
17
31/48
64,6
3
1,26 x 103
22
3
53
11
53/64
82,8
4
1,68 x 103
19
6
72
8
72/80
90
5
2,1 x 103
25
0
97
2
97/99
98
7
2,52 x 103
25
0
122
2
122/124
98,3
8
2,94 x 103
24
1
146
2
146/148
98,6
9
3,36 x 103
24
1
170
1
170/171
99,4
10
3,78 x 103
25
0
195
0
195/195
100
11
4,2 x 103
25
0
220
0
195/195
100
Berdasarkan hasil pengamatan jumlah larva yang mati, pada kontrol ditemukan adanya kematian larva, hal ini kemungkinan disebabkan oleh beberapa faktor antara lain faktor individual dari larva seperti daya tahan tubuh, kemampuan menca ri makanan dan
stadium larva juga sangat berpengaruh.
Menurut Mian dan Mulla (1983) bahwa faktor ekologis, fisik dan biologis sangat berpengaruh terhadap kehidupan dari larva nyamuk. Apabila dibandingkan dengan perlakuan angka kematian pada larva kontrol diperoleh nilai yang kecil. Pada larva perlakuan ditemukan adanya kematian yang bervariasi pada masingmasing konsentrasi. Pada pemaparan dengan menggunakan konsentrasi zoospora terkecil yaitu 3,0 x 105 zoospora/ml diperoleh jumlah larva yang mati sebanyak 8
41
ekor (32%) sedangkan pada konsentrasi 6,0 x 105 zoos pora/ml jumlah larva yang mati sebanyak 7 ekor (28%) dari masing-masing 25 larva perlakuan. Mulai konsentrasi 9,0 x 105 zoospora/ml sampai 1,5 x 107 zoospora/ml diperoleh angka kematian yang lebih dar i 40%. Angka yang bervariasi ini sangat dipengaruhi oleh konsentrasi zoospora, selain itu kemungkinan juga disebabkan oleh kemampuan daya tahan tubuh dari masing-masing larva, makanan, ataupun viabilitas dari zoospora sendiri dalam menyerang larva. Dalam proses penyerangan terhadap larva nyamuk, zoospora sangat dipengaruhi oleh faktor mekanis ataupun faktor enzimatis. Umur larva sangat berpengaruh sehingga pada penelitian ini digunakan larva nyamuk instar 2 karena pada instar 2 ini lapisan kulit pelindung masih sangat tipis sehingga diharapkan pada saat zoospora menyerang, penetrasi oleh zoospora L. giganteum lebih mudah dan kemampuan menginfeksi lebih cepat. Penelitian serupa telah dilakukan oleh Zattau dan McInnis (1987) bahwa kemampuan menyerang kapang Leptolegnia chapmanii terhadap larva nyamuk instar 1 dan 2 lebih mudah dibanding yang lebih tua, zoospora mudah dalam mengkista dan melakukan germinasi pada kutikula. Secara mekanis kemampuan menginfeksi secara umum sangat dipengaruhi oleh umur larva, semakin muda umur larva maka kepekaan terhadap infeksi kapang akan semakin tinggi apabila dibanding dengan stadium yang lebih tua ataupun pupa (Federici 1981; Lord dan Roberts 1987).
Faktor enzimatis sangat berpengaruh terhadap kemampuan
zoospora dalam melakukan penetrasi pada tubuh larva, yaitu atas keberadaan pengaruh aktifitas enzim proteolitik dan enzim lipolitik (Domnas et al. 1974). Dari Tabel 2 di atas diperoleh konsentrasi efektif zoospora yang dapat digunakan untuk mengendalikan larva nyamuk Ae. aegypti di laboratorium yakni sebesar
42
2,35 x 106 zoospora/ml dan semakin tinggi konsentrasi semakin tinggi prosentase kematian dari larvanya, dan pada konsentrasi 1,35 x 107 zoospora/ml mampu membunuh larva nyamuk sampai 95%. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi zoospora maka angka mortalitas larva juga semakin besar. Menurut WHO (1985) bahwa pada seekor larva yang terinfeksi dapat ditemukan sekitar 178.640 - 250.000 zoospora dan tingkat kematian larva 100% diperoleh dengan pemberian antara 715.000 zoospora/100ml air L. giganteum isolat California. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa zoospora dari kapang L. giganteum mempunyai potensi yang baik dalam menekan perkembangan larva nyamuk Ae. aegypti walaupun dalam mematikan 100% harus menggunakan konsentrasi yang tinggi. Penentuan
efektifitas oospora terhadap larva
nyamuk Ae. aegypti
digunakan metode penghitungan menurut Reed dan Muench (1938). Oospora yang dihasilkan dihitung terhadap kemampuannya dalam membunuh 50% larva Ae. aegypti instar 2 (LD50) . Dari hasil uji laboratorium ini dari 2,1 x 105 oospora/ml dibuat pengenceran mulai dari 0,1 ml sampai 1 ml oospora dan percobaan diulang 4 kali ulangan. Dari hasil pengamatan setiap hari sampai hari keempat belas diperoleh hasil bahwa kematian larva nyamuk berlangsung lebih lama apabila dibandingkan dengan kematian akibat pemaparan zoospora. Pengamatan dimulai setelah hari ketiga karena oospora diharapkan baru mulai menginfeksi setelah hari ketiga.
Hal ini disebabkan karena
oospora harus
mengalami germinasi terlebih dahulu sebelum menginfeksi. Hasil germinasi dari oospora merupakan zoospora yang bersifat motil dan infektif. Germinasi oospora ini sangat dipengaruhi oleh lingkungan ataupun nutrisi yang ada pada media
43
biakan. Dari hasil pengamatan pada masing – masing konsentrasi dari 0,1 ml ( 420 oospora/ml) sampai 1 ml (4200 oospora/ml ), kematian mulai terjadi pada hari kelima setelah terpapar.
Dari Tabel 3 diatas diperoleh informasi bahwa konsentrasi efektif oospora yang dapat digunakan untuk mengendalikan larva nyamuk Ae. aegypti (skala laboratorium) adalah sebesar 6,7 x 102 ,dan semakin tinggi konsentrasi semakin tinggi persentase kematian dari larvanya, pada konsentrasi 1,94 x 103 oospora/ml mampu membunuh larva nyamuk sampai 95%. Berdasarkan hasil pengamatan mikroskopis dari larva yang mati dan diwarnai dengan Lactophenol cotton blue ataupun pewarna Toluidin blue 2,5% mulai dari hari pertama sampai hari keenam menunjukan bahwa pada hari pertama zoospora masih mengumpul disekitar tubuh larva. Zoospora mulai bergerombol dan mengkista pada hari pertama (Gambar 6 dan 7). Pada hari pertama ini zoospora juga sudah mulai membentuk germ tube suatu proses perkecambahan untuk mulai melakukan penetrasi. Pada hari pertama ini kematian larva kemungkinan besar bukan disebabkan oleh zoospora melainkan akibat yang lain seperti daya tahan tubuh ataupun pengaruh nutrisi. Pada hari kedua, zoospora sudah mulai menempel pada kutikula larva dan akan melakukan penetrasi. Di dalam tubuh larva , kapang mengalami percabangan hifa dan secara cepat akan meluas keseluruh tubuh dan di dalam tubuh ini kapang melakukan segmentasi dan membentuk presporangial yang potensial yang nantinya akan menembus kembali dinding larva melepaskan zoospora dan disisi lain akan menghasilkan hifa vegetatif (Gambar 8,9 dan 10). Hifa vegetatif menyebar keseluruh permukaan tubuh dan
menutupi tubuh larva. Pada tahap ini biasanya larva sudah mulai
44
mengalami kematian ( gambar 11 ). Lima hari setelah kematian larva, kehancuran tubuh larva sudah mulai dan dilakukan pengamatan secara mikroskopis. Dengan menggunakan pewarna lactophenol cotton blue diperoleh gambaran bahwa larva sudah terpisah-pisah sedangkan hifa vegetatif masih berkembang dan reproduksi secara seksual terjadi. Terjadinya siklus reproduksi seksual ditandai dengan adanya sejumlah oospora yang terlihat pada permukaan tubuh larva yang hancur dan berbentuk bulat dan berdinding jelas (Gambar 12). Oospora yang terbentuk siap untuk mulai melakukan perkembangan dan menjadi stadium yang infektif dan siap untuk menyerang inang kembali.
mulai Gambar 6. Zoospora menyebar Gambar 7. Zoospora menempel, mengkista disekeliling tubuh larva dan membentuk germ pada hari pertama setelah tube (10x) diberi perlakuan (10x)
Gambar 8. Kista zoospora mulai berpenetrasi dan hifa mulai mengalami percabangan
Gambar 9. Percabangan hifa berkembang dan menyebar
45
Gambar 10. hifa menyebar di dalam tubuh larva (10x)
Gambar 11. hifa memenuhi tubuh bagian luar larva (10x)
Gambar 12. Oospora yang terbentuk enam hari setelah kematian larva (10x dan 40x)
Tahap penyerangan zoospora terhadap larva nyamuk sangat erat kaitannya dengan siklus hidupnya. Menurut Kerwin dan Washino (1983) bahwa kematian larva terjadi pa da saat pertumbuhan miselium vegetatif terhenti dan reproduksi mulai terjadi yaitu 48-72 jam setelah infeksi. Kadang-kadang larva mati selama infeksi dan bila larva mati lebih awal maka kapang juga ikut mati tanpa sempat bereproduksi. Tahapan infeksi L. giganteum pada larva Culex pipiens quinguefasciatus menurut Domnas et al. (1974) meliputi 4 tahap yaitu, (1) terlihatnya suatu lubang akibat penetrasi dari ujung hifa; (2) terjadinya percabangan hifa didalam tubuh larva; (3) terbentuknya presporulasi keseluruh
46
tubuh yang bersifat potensial dan setiap sel secara individual akan siap membentuk saluran keluar dan melepaskan 10-50 spora aseksual. (4) terjadinya perubahan dua sel bergabung menjadi satu. Menurut Kerwin (2000) ada 5 tahap dan tahap ke-5
membentuk oospora di luar tubuh larva serta membentuk
miselium vegetatif . Oospora yang terbentuk bersifat tahan terhadap kekeringan dan pada kondisi yang cocok oospora akan berkembang menjadi fase infektif dan siap mencari inang baru.
KESIMPULAN Berdasarkan penelitian diatas dapat disimpulkan bahwa dalam melakukan pengendalian larva nyamuk Ae. aegypti skala laboratorium dibutuhkan konsentrasi zoospora sebesar 2,35 x 106 zoospora/ml untuk menekan sampai 50% populasi larva nyamuk, sedangkan kematian terjadi sebanyak 95% apabila menggunakan konsentrasi 1,35 x 107 zoospora/ml, sedangkan nilai LD50 oospora sebesar 6,7 x 102 oospora/ml dan (LD 95) sebesar 1,94 x 103 oospora/ml. Dengan pewarnaan lacto phenol cotton blue (lpcb) dan toluidin blue 2,5% dapat diamati adanya mekanisme infeksi kapang L. giganteum terhadap larva Ae. aegypti mulai dari proses penempelan, pembentukan germ tube, penetrasi, percabangan didalam tubuh larva sampai perkembangan miselium vegetatif diluar tubuh inang.
47
PERCOBAAN 4
Kuning telur dan minyak jagung sebagai alternatif pengganti media pertumbuhan Lagenidium giganteum serta media alternatif untuk produksi oospora. METODE PENELITIAN A. Membandingkan 3 media dalam memproduksi koloni L. giganteum dengan mengukur jumlah berat kering 1. Media PYG Dalam pembuatan media PYG bahan yang digunakan berupa 1,2 gr pepton, 1,2 gr yeast ekstrak dan 3 gram glukosa . Ketiga bahan ini kemudian dicampur menjadi satu dalam tabung erlenmeyer dan ditambah aquades steril 1000 ml dan dimasak sampai mendidih. Setelah mendidih kemudian disterilkan dengan menggunakan autoklaf 2. Pembuatan media kuning telur Media kuning telur ini dibuat menurut Misman dkk (1990). Kuning telur diambil dari telur ayam segar. Kuning telur diambil secara aseptis dan dimasukkan ke dalam tabung Erlenmeyer ukuran 1000 ml. Setelah kuning telur dimasukkan kemudian ditambah 500 ml aquades steril dan diaduk menggunakan stirer. Setelah tercampur rata, media ini kemudian disimpan disuhu kamar selama 24 jam dan setelah diinkubasikan kemudian dipisahkan dan diambil bagian supernatannya 3. Media Kuning telur plus (ditambah minyak jagung) Dalam pembuatan media kuning telur, dibuat seperti yang dilakukan oleh Misman dkk (1990). Dalam penelitian ini media kuning telur ditambah dengan minyak jagung 1% steril.
48
Masing – masing media diambil 250 cc dan dimasukkan kedalam erlenmeyer berukuran 500 cc. Dalam penelitian ini dibuat 5 kali ulangan. Koloni kapang L. giganteum dimasukkan dalam masing – masing media yaitu media PYG, media kuning telur dan media kuning telur plus. Untuk memperoleh jumlah koloni yang sama dalam penelitian ini dipergunakan pangkal pipet yang berdiameter empat milimeter (Misman dkk, 1990). Jumlah koloni kapang yang dimasukkan dari masing – masing media adalah satu mata pipet, kemudian di inkubasi pada suhu 25o C dalam shaker waterbath (110 rpm) selama 7 hari. Setelah hari ketujuh diamati pertumbuhannya dan kemudian masing – masing di saring dengan menggunakan kertas saring. Hasil panenan koloni dicuci dengan menggunakan aquades steril dan dikeringkan dalam suhu 40oC. Setiap hari masing – masing koloni dari ketiga media biakan di timbang sampai menemukan jumlah timbangan berat kering yang stabil .
B. Membandingkan 3 media biakan cair dalam memproduksi oospora Dalam memproduksi oospora media yang digunakan adalah media biakan yang mengandung yeast ekstrak 2,8g/lt, glukosa 2,4 g/lt, wheat germ 3,2g/lt, 100 ml cotton seed oil dan cotton seed flour 300mg/lt. Selain itu juga ditambahkan 0,15 gr CaCl2.2H 2O dan 0,15 gr Mg.Cl2.6H2O (Brey, 1985). Media lain yang digunakan adalah media kuning telur (Misman dkk, 1990) dan media kuning telur plus sebagai alternatif media pengganti. Zoospora hasil produksi dimasukkan ke dalam aquades steril selama 12 – 18 jam sebelum diinokulasikan ke dalam 3 media diatas. Selanjutnya sebanyak 5 ml zoospora ditambahkan kemasing–masing media . Dari masing–masing perlakuan
49
kemudian diinkubasikan dalam suhu kamar selama 10 hari. Setiap hari diamati kapan oospora terbentuk dan seberapa banyak jumlah oospora yang dihasilkan.
HASIL DAN PEMBAHASAN Pengamatan terhadap pertumbuhan koloni dengan perhitungan jumlah berat kering koloni, diperoleh hasil rataanya sebagai berikut (Tabel 4) Tabel 4. Rataan berat kering koloni kapang L. giganteum pada 3 macam media dalam ukuran gram Media Biakan Rata-rata ± SEM Media A
0,00582 ± 0,00139a
Media B
0,01474 ± 0,00241a
Media C
0,01898 ± 0,0173 a
Ket :
Media A : Media PYG (Domnas, 1982) Media B : Media telur air (EWM) (Misman dkk, 1990) Media C : Media Kuning telur Plus
Berdasarkan hasil penghitungan rataan dari lima kali ulangan dengan menggunakan 3 macam media biakan tertera pada Tabel 4. Pada media PYG rataan berat kering koloni 0,00582 gram, pada media kuning telur 0,01474 gram dan pada media kuning telur plus 0,01890 gram. Dari hasil penghitungan rataan diperoleh bahwa pada media kuning telur plus cenderung menunjukkan hasil angka yang lebih besar dibanding kedua media yang lain. Setelah dilakukan penghitungan statistik dari ketiga media biakan tersebut menunjukkan hasil yang perbedaannya tidak signifikan (P<0,05). Karena dari ketiga media biakan tersebut tidak berbeda nyata antara satu dengan lainnya, maka dari ketiga media biakan tersebut dapat digunakan untuk menumbuhkan koloni kapang entomopatogen L. giganteum.
50
Sterol merupakan zat utama yang dibutuhkan pada siklus pertumbuhan kapang entomopatogen L. giganteum (Elliot et al. 1964). Untuk pertumbuhannya L .giganteum tidak dapat mensintesa sterol sendiri, untuk itu dibutuhkan sumber dari luar. Dalam pertumbuhannya sel vegetatif sterol tidak dibutuhkan akan tetapi sterol dapat mengubah siklus pertumbuhan yakni bentuk pertumbuhan reproduktif
vegetatif menjadi
meliputi siklus aseksual dan seksual yaitu proses
zoosporogenesis dan oosporogenesis (Elliot et al. 1964; Domnas et al. 1976; Kerwin dan Washino 1983; Kerwin et al. 1996). Menurut Kerwin dan Washino (1983) sterol yang paling baik untuk pertumbuhan zoospora adalah sitosterol, kompestergosterol dan kolesterol. Dalam
penelitian
ini
ketiga
media
tidak
berpengaruh
didalam
pembentukan sel vegetatif baik media biakan yang mengandung PYG, kuning telur ataupun kuning telur plus. Hal ini kemungkinan disebabkan sterol tidak terlalu dibutuhkan dalam pertumbuhan sel vegetatif. Seperti kapang – kapang lain, kapang ent omopatogen juga menggunakan trehalosa, gliserol, glukosa ataupun protein dan lemak sebagai sumber karbonnya. Dalam penelitian ini unsur- unsur tersebut terkandung di dalam ketiga macam media tersebut dan pertumbuhan vegetatifnya berlangsung. Unsur sterol baru akan dibutuhkan dalam merangsang proses zoosporogenesis dan oosporogenesis. Menurut Misman dkk (1990)
media kuning telur (EWM) merupakan
media yang kandungan nutrisinya lebih banyak dan dapat
mencukupi untuk
menumbuhkan koloni kapang L. giganteum dibandingkan apabila dibiakkan pada media yang berisi ekstrak biji bunga matahari atau ekstrak kacang kedelai.
51
Domnas et al. (1982) menggunakan ekstrak biji ganja untuk memacu proses zoosporogenesis. Media EWM merupakan media cair yang hanya mengandung kuning telur. Dalam media ini kuning telur yang digunakan berasal dari kuning telur ayam ras yang menurut Stadelman dan Cotteril (1977) mengandung 230,0 mg kolesterol. Kandungan sterol dalam kuning telur ini cukup untuk terjadinya proses zoosporogenesis. Menurut WHO (1985) kapang L. giganteum dalam proses zoosporogenesis membutuhkan komponen sterol dari luar (exogenous sterol). Media EWM pertama kali ditemukan oleh Misman (1989) untuk menumbuhkan kapang L. giganteum Couch. Menurut
Misman dkk (1990), media EWM
merupakan media terbaik dalam menumbuhkan kapang L. giganteum Couch dibanding media yang mengandung biji kedelai dan media yang mengandung minyak biji matahari. Dalam penelitian ini selain digunakan media EWM ( Misman, 1989) dan media PYG ( Kerwin, 1989) digunakan juga media kuning telur plus yaitu kuning telur yang ditambah minyak jagung 1%. Seperti kapang – kapang lain,
L.
giganteum untuk hidupnya membutuhkan sumber energi seperti unsur protein, karbohidrat ataupun unsur lemak. Khusus untuk kapang Lagenidium dibutuhkan unsur sterol
untuk pembentukkan siklus reproduksinya dengan merubah
pertumbuhan vegetatif menjadi pertumbuhan reproduktif baik bentuk aseksual ataupun seksual. Untuk mendapatkan hasil yang optimal dibutuhkan
sterol
exogenous. Ketiga media biakan yang digunakan, semua sumber nutrisi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan kapang dijumpai didalamnya.Antara lain sumber sterol ataupun nutrisi yang lain (unsur karbon, nitrogen , vitamin -vitamin ataupun
52
mineral). Pada media kuning telur plus pertumbuhan vegetatif tidak berbeda nyata dengan media EWM ataupun media PYG dalam proses
pembentukkan sel
vegetatif . Walaupun dari hasil penelitian ini diperoleh gambaran penggunaan ketiga media biakan cair tidak berpengaruh nyata dalam menghasilkan sel vegetatif
L. giganteum, akan tetapi perlu dipertimbangkan kemudahan
mendapatkan bahan penyusun media serta nilai ekonomisnya. Menurut Kerwin et al. (1986) bahwa asam lemak yang digabung dengan media yang biasa digunakan untuk pertumbuhan dan morfogenesis L. giganteum akan memacu hasil dan viabilitas terjadinya oosporogenesis, salah satunya dengan menambahkan vegetables oil. Dalam penelitian ini vegetables oil yang digunakan adalah minyak jagung 1%. Menurut Misman dkk (1990) kuning telur merupakan salah satu media yang lengkap kandungan nutrisinya untuk pertumbuhan
L.
giganteum. Kandungan nutrisi pada kuning telur selain lemak, karbohidrat, dan protein, kuning telur juga banyak mengandung komponen organik yang dibutuhkan untuk pertumbuhan kapang . Hasil yang diperoleh pada percobaan kedua yang membandingkan tiga media biakan cair dalam menghasilkan oospora diperoleh hasil rataan dari empat percobaan terlihat pada Tabel 5. Tabel 5. Rataan jumlah oospora dari 3 macam media biakan cair No
Media Biakan
Jumla h rata -rata oospora
1
Media A
4,20 x 103 ± 182,5 a
2
Media B
2,03x 103 ± 250a
3
Media C
16,6 x 104 ± 229,67b
Ket :
Media A : Media PYG,cotton seed powder, cotton seed oil ( Brey, 1985) Media B : Media telur air ( EWM) (Misman dkk, 1990) Media C : Me dia kuning telur plus
53
Dalam penelitian ini digunakan 3 macam media biakan cair yaitu media biakan yang mengandung media PYG plus cotton seed powder dan cotton seed oil (media A), Media kuning telur (EWM) (Media B) dan media kuning telur plus (media C). Hasil penghitungan rataan jumlah oospora dari 5 ml zoospora pada media A setelah 10 hari dihasilkan 4,20 x 103 oospora per ml, sedangkan dari media B dihasilkan 2,03 x 103 dan pada media C dihasilkan 16,6 x 104 oospora per ml. Hasil analisis statistik diperoleh bahwa media berpengaruh nyata dalam memproduksi oospora. Dari hasil penelitian ini, ketiga macam media yang digunakan dalam memproduksi oospora, dibuktikan bahwa media kuning telur plus (media C) memberikan hasil yang terbaik di dalam menghasilkan oospora dibandingkan dengan media biakan A dan media B (Gambar 13 ). Antara Media biakan A dan media biakan B menurut hasil penghitungan statistik menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata diantara kedua media biakan dalam memproduksi oospora.
Gambar 13. Oospora pada media kuning telur plus (10x) Dalam menginduksi proses oosporogenesis selain dibutuhkan unsur -unsur yang mempunyai kemampuan dalam menghasilkan sumber karbon dan nitrogen dibutuhkan juga unsur sterol, asam lemak tak jenuh dan garam – garam mineral non toksik seperti unsur kalsium dan magnesium . Unsur sterol selain digunakan
54
untuk memicu terjadinya proses zoosporogenesis, unsur sterol digunakan juga dalam maturasi dari oospora. Sterol yang digunakan dapat berasal dari kolesterol, 7 dihidrokolesterol, sitosterol, desmosterol, fukosterol, stigmasterol, kolesterol asetat dan kolesterol palmitat. Menurut Brey (1985) bahwa kolesterol merupakan sumber sterol yang paling efektif untuk oospora disamping kolesterol lainnya. Dalam memacu oosporogenesis selain unsur sterol, media pertumbuhan harus mengandung asam lemak tak jenuh dan zoospora harus berkontak langsung dengan medium tersebut. . Media biakan
yang digunakan dapat berupa media
padat atau media cair. Menurut Nakane et al. (2001) media kuning telur merupakan media yang sangat kaya akan nutrisi baik sterol (kolesterol dan allyl sterol) ataupun kandungan lemak yang lebih baik dalam indikator proses oosporogenesis. Lemak yang terkandungan dalam kuning telur terdiri dari unsur trigliserid ataupun fosfolipid
berupa unsur lesitin dan kolesterol. Dalam
penelitian ini media kuning telur (EWM) dimodifikasi dengan me nambahkan minyak jagung 1% untuk memacu oosporogenesis. Brey (1985) menggunakan media PYG yang ditambah dengan cotton seed powder dan cotton seed oil untuk menginduksi oosporogenesis kapang Lagendium giganteum dan oospora yang dihasilkan 5,0 x 103 oospora/ml setelah 10 hari. Minyak jagung yang ditambahkan dalam media biakan kuning telur mempunyai kandungan sterol yang lebih mencukupi dibanding media yang ditambah dengan coton seed, sehingga dalam memicu terjadinya proses oosporogenesis lebih mudah dan cepat. Minyak jagung mengandung bermacam – macam komponen nutrisi yang sangat dibutuhkan dalam perkembangan siklus reproduksi seksual. Di dalam minyak jagung terkandung campuran sterol
55
termasuk stigmasterol, beta sitosterol, gamma sitosterol (kompesterol) asam lemak jenuh dan asam lemak tak jenuh C16 dan C18. Kandungan sterol dari minyak jagung (200 - 400 mg/100gr) lebih tinggi dibandingkan dengan cotton seed (100 mg/100g). Kandungan ester sterol dari minyak jagung berkisar 50-70% sedangkan cotton seed mengandung 30 – 50% dan biji bunga matahari mengandung 50 % ( Phillip et al. 2002). Menurut Hyong et al. (2002) bahwa dalam memproduksi oospora Phythopthora membutuhkan medium basal yang mengandung minyak jagung ataupun lesitin dari biji kedelai. Unsur Phytol dari kedua bahan tersebut digunakan sebagai pemicu terjadinya oosporogenesis. Menurut Brey (1985) media PYG yang ditambah dengan cotton seed, cotton oil, ekstrak gandum serta unsur Mg dan Ca mampu menginduksi terjadinya oosporogenesis. Selain itu sterol dan triacylgliserol yang ditambahkan pada media biakan juga akan berpengaruh terhadap viabilitas oospora. Kerwin dan Washino(1983)
mendapatkan oospora dalam jumlah maksimum dengan
membiakkan zoospora pada media agar PYG yang ditambah dengan kolesterol, lesitin dan triolein. Sterol , asam lemak tak jenuh, calsium yang berikatan dengan protein calmodium sangat berperan dalam proses regulasi siklus metabolisme nukleotida selama terjadinya oosporogenesis dalam media cair ataupun padat (Kerwin dan Washino 1984). Dalam proses induksi dan maturasi stadium seksual dari kapang L. giganteum dipengaruhi juga oleh proses regulasi komplek dari kalsium. Pengaruhnya meliputi gangguan:
metabolisme, induksi anteridia, fusi
gametangia, meiosis, pembentukan dinding oospora dan maturasi oospora. Untuk
56
itu unsur kalsium ekstrasel dibutuhkan selama proses oosporogenesis yang secara sinergis bekerja sama dengan unsur magnesium dalam memproduksi oospora. Pada kondisi yang menguntungkan oospora secara invitro akan terus terbentuk jika sterol tergabung dengan media dasar pertumbuhan. Oospora yang dihasilkan mempengaruhi rantai sisi sterol, khususnya pada C24. Oospora tetap dihasilkan dan bertahan hidup bila dalam media pertumbuhan diperkaya adanya unsur asam lemak berupa trigliserida ( asam lemak netral) dan fosfolipid. Media kuning telur plus merupakan modifikasi media kuning telur yang ditambah dengan minyak jagung. Dalam penelitian ini minyak jagung yang digunakan adalah 1%. Selain kandungan nutrisi yang ada pada kuning telur diharapkan sumber sterol diperoleh juga dari vegetables oil lain seperti minyak jagung, sehingga proses oosporogenesis terinduksi dengan baik. Pada kondisi lingkungan yang tepat, oospora akan berkecambah dan menghasilkan zoospora biflagella yang infektif yang nantinya akan menginfeksi nyamuk. Sedang dalam kondisi kurang air/ kekeringan tahap seksual ini tetap dapat berlangsung dan dapat bertahan lama dalam bentuk oospora.
57
KESIMPULAN 1. Berdasarkan hasil penghitungan secara statistik menunjukkan bahwa dari ketiga media biakan yang digunakan yaitu media PYG, media kuning telur (EWM) dan media kuning telur plus tidak berbeda nyata dalam menghasilkan koloni kapang Lagenidium giganteum 2. Media Kuning telur plus dapat digunakan sebagai media alternatif dalam memproduksi oospora 3. Nilai LD50 oospora terhadap larva instar 2 nyamuk Ae. Aegypti sebesar 6,7 x 102 oospora/ml sedangkan untuk membunuh 95% (LD95) sebesar 1,94 x 103 oospora/ml.
58
PEMBAHASAN UMUM Pengendalian hayati merupakan suatu teknik pengendalian populasi hama pengganggu tumbuhan, hewan ataupun vektor penyakit dengan memanfaatkan musuh alami yang ada di alam baik berupa parasit, predator ataupun organisme patogen. Teknik pengendalian ini hanya berfungsi untuk menekan perkembangan hama , mempunyai toksisitas yang sangat rendah terhadap manusia dan bersifat spesifik. Penggunaan teknik pengendalian hayati sudah lama dikenal sebelum manusia menggunakan teknik pengendalian dengan menggunakan pestisida berbahan kimia dan pada tiga dasawarsa terakhir ini sudah banyak ditinggalkan akibat semakin maraknya macam pestisida yang beredar. Dengan menggunakan musuh alami ini diharapkan tidak hanya menghilangkan salah satu mata rantai tetapi akan mampu menekan perkembangan dari siklus kehidupannya. Berdasarkan
penelitian
yang
telah
dilakukan
yaitu
mencari
mikroorganisme khususnya kapang yang dapat digunakan sebagai agen pengendali hayati maka melalui proses isolasi dan identifikasi terhadap kapang yang akan digunakan telah teridentifikasi beberapa kapang yang ditemukan dari berbagai larva nyamuk yang berasal dari daerah persawahan disekitar lingkar Kampus IPB desa Cikarawang, Bogor, Jawa Barat. Kapang yang teridentifikasi dari larva nyamuk Culex, Anopheles dan Aedes teridentifikasi sebagai kapang, Aspergillus niger, Aspergillus fumigatus, Penicillium sp., Verticillium sp., Mucor sp., Syncephalastrum sp., Gliocladium sp., Beauveria sp. dan L. giganteum. Dari isolat – isolat tersebut sudah dilakukan pengujian lebih lanjut dan digunakan sebagai produk komersial. Beberapa yang
sudah beredar seperti kapang
Verticillium sp. dan Beauveria sp., sedangkan kapang Aspergillus, Mucor,
59
Penicillium, Syncephalastrum dan Gliocladium merupakan kapang-kapang saprofit yang umum ditemukan pada material klinis, sebagai kontaminan laboratorium dan pada kondisi tertentu kapang ini akan menjadi patogen. Kapang Aspergillus dan Penicillium merupakan kapang kontaminan yang umum ditemukan pada bangkai serangga (Humber, 1998). L. giganteum merupakan kapang yang hidup di air tawar dalam hidupnya dapat bersifat saprofitik ataupun parasit ik. Keadaan
perkembangan vegetatif
ditemukan pada tanaman air, tanaman busuk ataupun serangga yang sudah mati. L. giganteum akan bersifat sebagai parasit pada larva nyamuk. Dalam penelitian ini kapang L. giganteum diisolasi dari larva nyamuk yang berasal dari daerah persawahan yang merupakan salah satu dari habitatnya. Dari hasil identifikasi baik secara makroskopis koloni yang tumbuh dan mikroskopis dengan melihat morfologinya. Secara makroskopis ditemukan adanya pertumbuhan dalam media lempengan agar yang mengandung pepton dan glukosa. Pertumbuhan koloni berwarna putih keabuan, berbentuk bulat dengan tekstur globrous dan topografi flat sedang tipe pertumbuhan sedang karena pertumbuhan terjadi setelah 7 hari masa inkubasi. Pada penelitian – penelitian yang dilakukan sebelumnya tidak pernah diungkap gambaran makroskopik dari koloni asal biakan agar, penelitian hanya menggambarkan morfologi secara mikroskopik dari zoospora ataupun oosporanya. Dalam penelitian ini gambaran makroskopik berdasar identifikasi kapang menurut Fisher dan Cook (1998) dengan melihat bentuk, warna, tekstur, topografi dan tipe pertumbuhan. Menurut Kerwin (2000) bahwa koloni kapang L. giganteum pada larva yang mati terinfeksi menunjukkan adanya sekumpulan
60
miselium yang berwarna putih keabuan diseluruh tubuhnya dan sifatnya sangat karakter istik. Secara mikroskopis gambaran morfologi dari kapang Lagenidium dalam penelitian ini adalah adanya hifa yang bersepta dengan terbentuknya sporangium yang berdinding jelas dan miselium yang berinti serta hifa yang bersepta. Tipe spora seksual dan aseksual baru terbentuk setelah dibiakkan didalam media yang khusus dengan morfologi zoospora yang bersifat motil, bentuk bulat dan oval. Oospora
berbentuk bulat dan berdinding jelas. Gambaran mikroskopis ini
menurut
Dwidjoseputro (1978), bahwa L. giganteum mempunyai miselium
soenositik dan hifa bersepta. Miselium menghasilkan sporangium yang berbentuk oval kadang berbentuk sperikal dan mempunyai vesikel. Lagenidium hifanya terbagi atas beberapa sel dan diantara sel selnya akan berubah menjadi gametangium dan sporangium dan bentuk spora bulat sampai oval. Protoplast dari sporangium ini yang akan membagi diri dan menjadi zoospora yang bersifat infektif. Menurut Laddie et al. (1987) dalam Melvin dan Jaronski (1987) bahwa morfologi secara mikroskopis dari Lagenid ium callinectes adalah holokarpik, senositik, berfilamen dan kadang menghasilkan sporangia serta zoospora. Dengan menggunakan pembesaran sampai 2000x ,terlihat adanya 2 flagela dikedua ujung polar zoospora yang berfungsi sebagai alat geraknya. L. giganteum seperti kapang entomopatogen lain dalam pertumbuhannya membutuhkan unsur trehalosa sebagai sumber karbon. Selain unsur trehalosa sumber karbon juga berasal dari gugus glukosa, mannosa, fruktosa, maltosa dan gliserol, selain sumber karbon juga dibutuhkan unsur aspartat, glutamat dan glutamin sebagai sumber nitrogen. Dalam penelitian ini untuk mempertahankan
61
kehidupan kapang digunakan media biakan yang didalamnya mengandung unsur – unsur tersebut baik yang berasal dari pepton, glukosa ataupun nutrisi yang berasal dari kuning telur dan whole milk . Kapang ini mempunyai enzim ekstrasel protease jika ditumbuhkan dalam media yang mengandung PYG yang berfungsi dalam proses pertumbuhan yang lebih cepat. Proses pemeliharaan kapang ini selain menggunakan media biakan sintetis juga dibutuhkan pemeliharaan secara biologis dengan membiakkan kedalam larva nyamuk, hal ini dilakukan untuk menjaga patogenesitas dari kapang tersebut. Dalam siklus hidupnya Lagenidium mempunyai 2 fase pertumbuhan yaitu secara aseksual (zoospora) dan seksual (oospora). Dalam penelitian ini zoospora dapat dihasilkan dengan membiakkan koloni kapang kedalam media cair yang mengandung unsur pepton, yeast ekstrak dan glukosa serta ditambah dengan suplemen minyak jagung. Untuk pembentukkan zoospora dibutuhkan adanya sterol yang berasal dari luar karena kapang tidak mampu mensintesa sterol sendiri, sehingga media biakan yang mengandung minyak seperti minyak kedelai, biji bunga matahari sangat efektif didalam menginduksi pembentukan zoospora melalui proses zoosporogenesis ( Sur et al. 2002). Selain itu Proses zoosporogenesis juga akan terpacu dengan cara mencuci koloni dan membiarkan koloni kapang hasil panenan direndam dalam aquades steril. Dalam penelitian ini komponen lain yang digunakan untuk menginduksi terjadinya zoosporogenesis digunakan air bebas ion. Menurut Kerwin et al. (1986) bahwa untuk memacu terjadinya zoosporogenesis digunakan aquades steril, sedangkan Domnas e t al. (1977) menggunakan air bebas ion sebagai pemacu zoosporogenesis. Peran pepton dan glukosa dalam perkembangan kapang L. giganteum besar, pada saat
62
perkembangan vegetatif unsur tersebut sangat dibutuhkan. Karena pada proses zoosporogenesis kedua unsur tersebut mempunyai sifat menekan maka peran dari sterol yang sangat diperlukan. Karena pentingnya sterol dalam zoosporogenesis ,sehingga minyak jagung yang digunakan sebagai salah satu komponen dalam penelitian ini berperan dalam menghasilkan zoospora. Jumlah zoospora yang dihasilkan dalam penelitian ini adalah 15 x 107 zoospora/ml. Kandungan sterol minyak jagung meliputi sitosterol beta dan gamma, stigmasterol dan kompesergosterol dan menurut Kerwin dan Washino (1983) bahwa sitosterol dan kompesergosterol sangat baik dalam memicu zoosporogenesis. Selain minyak jagung protein asal minyak nabati
lain seperti minyak biji bunga matahari,
minyak kedelai, minyak biji ganja, ataupun minyak menghasilkan zoospora. Penambahan
protein
zaitun juga mampu
tersebut juga akan memicu
produksi enzim protease sehingga proses penetrasi kedalam kutikula lebih mudah disamping aktifitas dari enzim lipase. Jumlah oospora asal isolat L. giganteum yang dihasilkan dalam penelitian ini dengan menggunakan metode Brey (1985) adalah 2,1 x 103 oospora permililiter, dengan menggunakan media tersebut dalam penelitian yang dilakukan oleh Brey (1985) oospora yang dihasilkan sebanyak 5,0 x 103 dan Kerwin dkk (1983) menggunakan medium padat yang berisi PYG dan ditambah suplemen kolesterol dan lesitin mampu menghasilkan oospora sejumlah 4,1x105 /10 cm diameter petri. Hasil pengujian efektifitas zoospora kapang L. giganteum setelah diujikan terhadap larva instar 2 nyamuk Ae. aegypti.
Pengujian efektifitas
masih
dilakukan dalam skala laboratorium. Dengan menggunakan analisa menurut
63
metode Reed dan Muench (1938) diperoleh nilai LD50 zoospora sebesar 2,35x106 zoospora/ml
dan pada konsentrasi 1,35x107 zoospora/ml mampu membunuh
larva nyamuk sampai 95%. Semakin tinggi konsentrasi zoospora maka prosentasi larva yang mati akan semakin tinggi Berdasarkan hasil pengamatan jumlah larva yang mati, ada beberapa kematian pada kelompok kontrol kemungkinan hal ini disebabkan oleh beberapa faktor individual dari larva
seperti daya tahan tubuh, kemampuan mencari
makanan serta stadium larva yang digunakan. Menurut Mian dan Mulla (1983) bahwa faktor ekologis, fisik dan biologis sangat berpengaruh terhadap kehidupan dari larva nyamuk. Apabila dibandingkan dengan perlakuan angka kematian pada larva kontrol diperoleh nilainya sangat kecil. Kematian pada perlakuan selain dipengaruhi oleh konsentrasi zoospora, dipengaruhi juga oleh individual zoospora serta larvanya sendiri. Semakin tua stadium larva maka semakin keras lapisan kutikula larva sehingga zoospora tidak mampu menembus lapisan tersebut, sehingga penetrasi sukar dilakukan. Dalam proses penyerangan terhadap larva nyamuk, zoospora sangat dipengaruhi oleh faktor mekanis ataupun faktor enzimatis. Menurut Zattau dan McInnis (1987) bahwa kemampuan menyerang kapang Leptolegnia chapmanii terhadap larva nyamuk instar 1 dan 2 lebih mudah dibanding dengan yang lebih tua, zoospora lebih mudah dalam mengkista dan melakukan germinasi pada kutikula. Secara mekanis kemampuan menginfeksi secara umum sangat dipengaruhi oleh umur larva, semakin muda umur larva maka kepekaan terhadap infeksi kapang akan semakin tinggi apabila dibanding dengan stadium yang lebih tua ataupun pupa (Federici, 1981; Lord dan Roberts, 1987). Faktor enzimatis sangat berpengaruh terhadap kemampuan zoospora dalam
64
melakukan penetrasi pada tubuh larva, yaitu atas keberadaan pengaruh aktifitas enzim proteolitik dan enzim lipolitik (Domnas et al. 1974). Menurut WHO (1985) bahwa pada seekor larva yang terinfeksi dapat ditemukan sekitar 178.640-250.000 zoospora dan tingkat kematian larva 100% diperoleh dengan pemberian antara 715.000 zoospora/100ml air L. giganteum isolat California. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa zoospora dari kapang L. giganteum mempunyai potensi yang baik dalam menekan perkembangan larva nyamuk Ae. aegypti walaupun dalam mematikan 100% harus menggunakan konsentrasi yang tinggi. Dalam penelitian ini untuk menentukan dosis efektifitas oospora dalam kemampuannya membunuh larva digunakan analisa seperti pada penentuan efektifitas zoospora yaitu menggunakan metode Reed dan Muench (1938). Konsentrasi yang digunakan pada percobaan ini menggunakan pengenceran oospora yang telah dihasilkan dan dilakukan pengenceran dari 0,1 sampai 1 ml setara dengan jumlah oospora per mililiter yaitu mulai dari 4,2 x 10 2 sampai 4,2x103 oospora per milliliter media. Pengamatan dimulai setelah hari ketiga karena oospora diharapkan baru mulai menginfeksi setelah hari ketiga. Hal ini disebabkan karena dalam siklus hidupnya oospora akan menyesuaikan diri terhadap lingkungannya terlebih dahulu, pada kondisi yang sudah cocok barulah oospora bergerminasi dan menghasilkan zoospora yang motil, berflagella dan bersifat infektif. Germinasi oospora ini sangat dipengaruhi oleh lingkungan ataupun nutrisi yang ada pada media biakan. Dari hasil pengamatan pada masing – masing konsentrasi dari 0,1ml ( 420 oospora/ml) sampai 1 ml (4200 oospora/ml ), kematian mulai terjadi pada hari kelima setelah pemaparan. Dalam penelitian ini bentuk pupa sering ditemukan karena akibat terlalu lamanya waktu yang
65
digunakan yaitu sampai 14 hari. Dari data yang dipe roleh pupa sering ditemukan setelah 12 hari. Konsentrasi efektif oospora dalam kemampuannya membunuh 50% (LD50) yang
dapat digunakan untuk mengendalikan larva nyamuk Ae.
aegypti dilaboratorium adalah sebesar 6,7 x 102 , dan semakin tinggi konsentrasi sema kin tinggi prosentase kematian dari larvanya, pada konsentrasi 1,94 x 103 oospora/ml mampu membunuh larva nyamuk sampai 95%. Tahapan mekanisme infeksi kapang L. giganteum sangat berkaitan dengan siklus hidupnya, khususnya siklus reproduksi aseksual yang merupakan stadium infektif dari kapang ini. Kematian akan terjadi pada saat pertumbuhan miselium vegetatif terhenti dan digantikan siklus reproduktifnya. Indikasi paling awal adalah adanya bagian kutikula seperti lubang bor yang merupakan tempat penetrasinya zoospora atas faktor enzimatik dan mekanik. Kadang bagian lubang ini ditemukan zona melanisasi. Didalam tubuh larva akan terjadi percabangan hifa dari mulai bagian kepala dan thorak sampai saluran hemocoel dan pertumbuhan terhenti dilanjutkan siklus repr oduksi baik seksual ataupun aseksual dan kematian larva akan terjadi. Proses oosporogenesis akan terjadi apabila dalam media biakannya selain mengandung sterol, dalam media biakan juga dibutuhkan fosfolipid, selain itu juga dibutuhkan unsur Ca maupun Mg. Untuk menghasilkan oospora optimum maka dalam penelitian ini dihasil jumlah oospora optimum ketika zoospora ditumbuhkan pada media yang mengandung kuning telur plus yaitu media kuning telur yang ditambah dengan minyak jagung 1%, setelah diinkubasi selama 10 hari. Menurut Brey (1985) sterol yang digunakan untuk memicu proses oosporogenesis dapat berasal dari kolesterol, 7 dihidrokolesterol, sitosterol,
66
desmosterol, fukosterol, stigmasterol, kolesterol asetat dan kolesterol palmitat. Dari sekian macam sterol ini, kolesterol merupakan sumber sterol yang paling efektif
untuk
oospora
disamping
kolesterol
lainnya.
Dalam
memicu
oosporogenesis selain sterol media pertumbuhan harus mengandung asam lemak tak jenuh. Selain itu zoospora harus berkontak langsung denga n medium tersebut sehingga dalam penelitian ini media biakan yang berisi zoospora harus dalam posisi digoyang dengan menggunakan shaker waterbath. Kandungan nutrisi yang ada pada kuning telur merupakan sumber nutrisi utama untuk pertumbuhan kapang L. giganteum yang meliputi lemak, karbohidrat, protein dan elemen organik yang meliputi sulfur, potassium, sodium, fosfor, kalsium, magnesium, cobalt, iodine, selenium dan besi (Sauci, 2004). kandungan kolesterol kuning telur kurang lebih 300 mg. Nutrisi yang terkandung dalam kuning telur ini selain berpengaruh pada pertumbuhan miselium juga akan berpengaruh pada saat proses zoosporogenesis. Unsur lain yang perlu ditambahkan dalam memicu proses oosporogenesis adalah unsur – unsur yang mempunyai kemampuan dalam menghasilkan sumber karbon dan sumber nitrogen, juga asam lemak tak jenuh, dan garam – garam mineral non toksik seperti unsur kalsium dan magnesium . Asam lemak tak jenuh dan asam lemah jenuh yang terkandung dalam kuning telur berfungsi sebagai sumber energi melalui sistem oksidasi. Media biakan yang digunakan bisa berupa media padat ataupun media cair. Dari ketiga macam media biakan yang digunakan untuk menghasilkan oospora dari hasil penghitungan statistika bahwa media kuning telur plus menunjukkan hasil yang paling baik apabila dibanding dengan dua media yang lain, hal ini kemungkinan disebabkan oleh kandungan
67
nutrisi yang lengkap dan memenuhi syarat yang berasal dari kuning telur dan minyak jagung. Unsur sterol, fosfolipid dan kalsium serta magnesium terkandung didalam kedua bahan tersebut. Menurut Nakane et al. (2001) media kuning telur merupakan media yang sangat kaya akan nutrisi baik sterol (kolesterol dan allyl sterol) ataupun kandungan lemak yang lebih baik dalam indikator proses zoosporogenesis. Lemak yang terkandung dalam kuning telur terdiri dari unsur trigliserid ataupun fosfolipid yang berupa unsur lesitin dan kolesterol. Menurut Brey (1985) bahwa kolesterol merupakan sumber sterol yang paling efektif untuk oospora disamping kolesterol lainnya. Kandungan nutrisi pada minyak jagung mencukupi dalam memicu produksi oospora dibanding dengan minyak lain dalam hal ini adalah cotton seed oil. Sesuai dengan hasil penelitian bahwa oospora yang dihasilkan pada media yang mengandung cotton seed dan cotton seed oil jumlah oospora yang dihasilkan berbeda nyata dengan media biakan yang ditambah dengan minyak jagung. Kandungan sterol pada minyak jagung berupa stigmasterol, beta sitosterol, gamma sitosterol (kompesterol), asam lemak jenuh dan asam lemak tak jenuh C16 dan C18. Dalam proses induksi dan maturasi stadium seksual dari kapang L. giganteum dipengaruhi juga oleh proses regulasi komplek dari kalsium. Pengaruhnya meliputi gangguan:
metabolisme, induksi anteridia, fusi
gametangia, meiosis, pembentukan dinding oospora dan maturasi oospora. Sehingga unsur kalsium ekstrasel dibutuhkan selama proses oosporogenesis yang secara sinergis bekerja bersama secara normal dengan unsur magnesium dalam memproduksi oospora.
68
Oospora dapat dihasilkan dan dapat bertahan lama dengan memberikan asam lemak dalam media pertumbuhannya khususnya unsur trigliserida. Jumlah oospora yang diproduksi dipengaruhi suhu, pH, nutrisi, salinitas, cahaya ataupun komponen organik. Dalam penelitian ini oospora yang dihasilkan belum mencapai jumlah yang maksimal, hal ini kemungkinan disebabkan oleh faktor sterol yang digunakan ataupun asam lemaknya. Menurut Elliot dalam Kerwin et al. (1986) bahwa dalam produksi oospora hasil akan optimum apabila jumlah sterol yang ditambahkan cukup besar yaitu 60 mg/lt dan diproduksi menggunakan fermentor. Tipe dan konsentrasi asam lemak yang digunakan juga berpengaruh dalam proses oosporogenesis. Asam lemak kemungkinan mempengaruhi proses fisiologi yang berkaitan dengan terjadinya oosporogenesis. Asam lemak tergabung dalam golongan fos folipid yang mungkin berpengaruh dalam aktivitas pengikatan antara membran sel dengan enzim adenil siklase yang diketahui terlibat dalam merangsang terjadinya proses oosporogenesis. Kandungan
fosfolipid juga
berpengaruh dalam fusi antara anteridia dan oogonia, menghambat terjadinya gametangia sehingga menyebabkan terjadinya kegagalan dalam pembentukkan oospora. Dari hasil penelitian ini kendala utama yang dihadapi nantinya adalah didalam memproduksi media dala m skala besar. Dalam penelitian ini media biakan yang digunakan masih dalam skala laboratorium dan jumlah yang digunakan juga masih dalam skala kecil. Apabila dibanding dengan media lain, media kuning telur plus ataupun media kuning telur (EWM) mempunyai peluang yang sama dalam hal menghasilkan sel vegetatif , sedangkan dalam memproduksi
69
oospora kuning telur plus merupakan metode alternatif yang dari segi ekonomis lebih murah serta efektif dalam memproduksi oospora (Tabel 6). Tabel 6. Harga perkiraan 3 macam media biakan per liter No
Media
Komposisi
Harga
Jumlah Rp/Lt
1
Media A
PYG*
Rp. 4.911,-
Cottonseed powder*
Rp.
Cotton seed oil*
Rp. 1.152,-
Mineral organik*
Rp. 1.000,-
Aquades steril
Rp. 2.000,-
371,-
Rp.9.434,2
Media B
Kuning telur
Rp 2.000,-
Aquades steril
Rp 2.000,Rp. 4.000,-
3
Media C
Kuning telur
Rp 2.000,-
Minyak jagung dll
Rp
Aquades steril
Rp 2.000,-
300,-
*produk impor
Rp. 4.300,-
Berdasarkan perhitungan perkiraan harga dari ketiga media biakan tersebut yang tertera pada tabel 6, antara media B dan media C tidak banyak menunjukkan perbedaan. Untuk membuat 1 liter media. Media biakan B membutuhkan biaya Rp. 4.000,- sedangkan media C Rp. 4.300,-, sedangkan media A mebutuhkan biaya sebesar Rp. 9.434,-. Dari biaya yang dikeluarkan media A merupakan media termahal dan oospora yang dihasilkan paling sedikit dibanding media B dan C. Sehingga berdasar Tabel 6 dapat dikatakan bahwa media C merupakan media termurah dan efektif dalam memproduksi oospora.
70
Diharapkan dari hasil penelitian ini k, apang L. giganteum yang diperoleh dari larva yang berasal dari daerah lingkar Kampus IPB ini nantinya bisa digunakan sebagai salah satu agen pengendali hayati terhadap vektor penyebab penyakit DBD. Dengan dihasilkannya nilai LD50 dan LD95 dari zoospora dan oospora ini maka dapat digunakan sebagai batasan dalam penggunaan aplikasi dosis pemberian, sehingga diharapkan hasil penelitian bisa diterapkan dilapangan dan layak digunakan membantu pemerintah didalam penanggulangan penularan penyakit DBD. Kapang ini baik oospora ataupun zoospora bisa digunakan didalam memutus rantai siklus perkembangan nyamuk Ae. aegypti. Penelitian ini masih dalam skala laboratorium sehingga masih perlu banyak pengembangan baik untuk produksi ataupun stabilitas dalam mempertahankan patogenisitas dan viabilitasnya.
KESIMPULAN Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Berdasarkan hasil isolasi dan identifikasi
telah ditemukan kapang
entomopatogen L. giganteum yang berasal dari larva nyamuk daerah persawahan yang terletak didesa lingkar kampus IPB Darmaga. 2. Proses zoosporogenesis dan oosporogenesis terjadi dengan menggunakan media khusus , diperoleh jumlah zoospora sebanyak 15 x 107 zoospora per ml dan oospora sebanyak 2,1 x 103 oospora/ml. 3.
Dari hasil penelitian ini diperoleh nilai LD50 zoospora adalah 2,35 x 106 zoospora/ml dan LD95 sebesar 1,35 x 107 sedangkan LD50 oospora sebesar 6,7 x 102 dan LD95 sebesar 1,94 x 103 oospora/ ml
71
4. Dengan pewarna an lacto phenol cotton blue (lpcb) dan toluidin blue 2,5% dapat diamati adanya mekanisme infeksi kapang L. giganteum terhadap larva Ae. aegypti mulai dari proses penempelan, pembentukan germ tube,
penetrasi,
percabangan
didalam
tubuh
larva
sampai
perkembangan miselium vegetatif diluar tubuh inang. 5. Media kuning telur plus merupakan salah satu alternatif media pengganti yang bersifat murah, mudah didapat dan mudah didalam memproduksi oospora SARAN 1. Perlu dilakukan penelitian lanjutan tentang mekanisme infeksinya dengan menggunakan Scanning Electron Microscopy (SEM) 2. Perlu dilakukan penelitian terhadap keamanan lingkungan khususnya terhadap biota air
72
DAFTAR PUSTAKA Alexopoulus CJ , CW Mims and M Blackwell. 1996. Introductory Mycology. 4rded . John Wiley & Son. Chichester New York Anonim, 2004. Demam berdarah, demam pemilu dan negeri demam. Kompas. Sabtu, 18 Februari 2004 Apperson CS, BA Federici, FR Tarver, and W Steward.1992. Biotic and abiotic parameters associated with an epizootic of Coelomomyces punctatus in a larval population of the mosquito Anopheles quadrimaculatus. J. Invertebr. Pathol. 60 : 219-228 Barson G, N Renn and Bywater. 1994. Laboratory evaluation of six species of entomophatogenic fungi for control of the house fly (Musca domestica L), a pest of intensive animal units. J.Invertebr. Pathol 61: 107-113 Beneke ES, AL Rogers. 1970. Medical Mycology Manual.3t h ed. Laboratory procedure for study of contaminant fungi. Min neapolis. Burges s Publishing Company. 10-20 Borror DJ, CA Triplehom and NF Johnson. 1992. Pengenalan pelajaran serangga. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. hal. 670 – 674 Brady BL. 1981. Fungi as parasites of insects and mites. Commenwealth Institute of Biological plant and health protection. Gustav Fishers. Verlag. Stutgart. New York Brey
PT. 1985. Observations of in vitro gametangial copulation and oosporogenesis in Lagenidium giganteum. J. Invertebr. Pathol.45 : 276281.
Butt TM., C Jackson and N Magan. 2001. Fungi as biocontrol agents. Progress, Problem and Potential . CAB International. Campbell MC and JL Stewart. 1990. The Medical Mycology – Handbook. A. Wiley Medical Publication. John Wiley&Sons. New York. Campbell CK, EM Johnson and DW Warnock. 1996. Identification of pathogenic fungi. Public Health Laboratory Service. 61 Colindale Avenua. London. Chan YC, KL Chan, and BC Ho. 1972. Integrate control of Ae. species in Singapore : Public Health Education, Law Enforcement and surveillance. In : Vektor control in Southeast Asia Proceeding of the first SEAMEO workshop. Singapore, August 17-18, 1972, 78-143 pp Chen K. 2004. Http//www.swara.net/id/view.headline.php/ID=2047 (7 Juli 2002)
73
Cheng TC. 1974. General Parasitology. Academic Press. New York. London. 821-881 pp Couch JH and SV Romney . 1973. Sexual reproduction in Lagenidium giganteum. Mycologia 65. 250-252 pp. Cuda JP, JA Homby , B Cotterill and M Cattell . 1997. Evaluation of Lagenidium giganteum for biocontrol of Mansonia mosquito in Florida (Diptera: Culicidae). Biological Control 8 no 2 : 124-130 pp Dean DD and AJ Domnas . 1983. The extracellular proteolytic enzymes of the mosquito parasitizing fungus Lagenidium giganteum. Exp. Mycol. 7: 31-39 pp Domnas AJ, PE Giebel and TM Innis. 1974. Biochemistry of mosquito infection : Preliminary studies of biochemical change in Culex quinguiefasciatus following infection with Lagenidium giganteum. J. Invertebr.Pathol.24 : 293-304 pp Domnas AJ, AR Shipley and B Hinks. 1976. Sterve requirements for zoospora production by the mosquito parasite Lagenidium giganteum. In: Proc. ns. Int. Colleg. Inv. Pathol. and Annu. Meet. Soc. Inv. Pathol. (Kingston, Canada). 427 pp Domnas AJ, JP Sebro and BF Hick. 1977. Sterol requirement for zoospora formation in the mosquito parasitizing fungus Lagenidium giganteum. Mycologia, 69 : 875-886 pp. Domnas AJ, SM Fagan and S Jaronski. 1982. Factor influencing zoospora production in liquid culture of Lagenidium giganteum ( Oomycetes : Lagenidiales). Mycologia, 74 : 820-825. Dwidjoseputro D. 1978. Pengantar Mikologi. 2ed Penerbit Alumni. Bandung Elliot P, M Hendrie, B Kinghts and W Parker. 1964. A sterol growth factor requirement in a fungus nature (London), 203: 427-428 Federici BA. 1981. Mosquito control by the fungi Culicinomyces, Lagenidium and Coelomomyces. In Microbial Control of pests dan Plant Diseases. 555-572. Academic Press. New York. Fisher FMT and NB. Cook. 1998. Fundamental of Diagnostic Mycology. W.B. Saunders. Gubler DJ. 1997. Dengue and Dengue Hemorrhagic Fever history and resurgence as a global public health problem. In Gubler DJ and G. Kuno. Colorado, 175-191 pp
74
Halstead SB. 1997. Epidemiology of Dengue and Dengue Hemorrhagic Fever. Cab International 198 Madison Avenue, New York. USA. 23-44 pp Humber RA. 1998. Entomopathogenic fungal identification. ASP/ESA Join Annual Meeting (Serial on line). http://www.ppru.cornell.edu/mycology/insect-mycology.html. (7 Juli 2002) Hyeong JJ, ST Chung and HK Wen. 2002. Characterization of phytochemicals stimulatory to sexual reproduction in Phytophtora coctorum and P. parasitica. Bot. Bull. Acad. Sin 43: 203-210 Jaronski S, RC Axtell , SM Fagan and AJ Domnas . 1983. Invitro production of zoosporas by the mosquito pathogen Lagenidium giganteum ( Oomycetes Lagenidiales) on solid media. J. Invertebr. Pathol. 44 : 305-309 Jaronski S and RC Axtell. 1982. Effect of organic water pollution on the infectivity of fungus Lagenidium giganteum (Oomycetes: Lagenediales) for larvae Culex quinguefasciatus (Diptera : Culicidae): field dan laboratory evaluation. J. Med. Entomol 3: 255-262 Kerwin JL and RK Washino . 1983. Sterol induction of sexual reproduction in Lagenidium giganteum. Exp. Mycol.7: 109-115 Kerwin, JL, CA Simmons, and RK. Washino. 1986. Oosporogenesis by Lagenidium giganteum in liquid culture. J. Invertebr. Pathol 47 : 258-270 Kerwin JL and RK Washino. 1987. Ground and aerial application of the asexual stage of Lagenidium giganteum for control of mosquitoes associated with rice culture in the central valley of California: Field trials with L. giganteum. J. Am. Mosq. Contr. Assoc.3(1) : 59-64 Kerwin JL, DA Dritz and RK Washino.1988. Nonmammalian safety for Lagenidium giganteum (Oomycetes : Lagenidiales). J. Econ. Entomol. 81:158-171 Kerwin JL, DA Dritz, and RK Washino. 1990. Confirmation of the safety of Lagenidium giganteum (Oomycetes : Lagenidiales) to mammals. J. Econ. Entomol. 83 : 374-376 Kerwin JL, DA Dritz, D Deborah and RK Washino. 1994. Pilot scale production and aplication in wildlife ponds of Lagenidium giganteum (Oomycetes : Lagenidiales). J. Amer. Mosq. Contr. Assoc.10:451-455 Kerwin Jl, AR Tuininga, AM Wiens, JC Wong, IJ Torvic and ML Conrath. 1995. Isoprenoid mediated changes in the glycerophospholipid molecular species of the sterol auxotrophic fungus Lagenidium giganteum. Microbiology 141(3) : 399-410
75
Kerwin JL. 2000. Lagenidium giganteum http://www.Nysaes. Cornell.edu/ent/biocontrol/ pathogens/ L. giganteum. html (30 September 2000) Kerwin JL. 2004. Lagenidium giganteum. In Manual of techniques in insect pathology. LA Lacey. Editor Academic Press Limited. London. 252 pp Kettle DS. 1984. Medical and Veterinary Entomology. A Willey-Interscience Publication. New York Larone DH. 1976. Medical Important Fungi A Guide to Identification. Harper and Row Publisher . New York Levine ND. 1990. Buku Pelajaran Parasitologi Veteriner. Penerjemah : Gatut Ashadi, editor Wardiarto. Yogyakarta. UGM Press. Terjemahan dari Textbook of Veterinary Parasitology. Lord JC and DW Roberts. 1985. Solute effects on Lagenidium giganteum zoospore motility and bioassay reproducity. J. Invertebr. Pathol. 46 : 160165 Lord JC and DW Roberts. 1986. The effects of culture medium quality and host passage on zoosporogenesis, oosporogenesis and infectivity of Lagenidium giganteum (Oomycetes : Lagenediales). J. Invertebr. Pathol. 48 : 355-361 Lord JC and DW Roberts. 1987. Host age as a determinant of infection rates with the mosquito pathogen Lagenidium giganteum (Oomycetes : Lagenidiales). J. Invertebr. Pathol. 50 : 70-71 Lori BN and RL Anderson. 1994. Aquatic safety of Lagenidium giganteum : Effects on freshwater fish and invertebrates. J. Invertebr. Pathol. 64 : 228233. McCoy CW, RA Samson and DG Boucias . 1988. Entomogenous Fungi In CRC Handbook of Natural Pesticides. Microbial Insecticides. Part A. Entomogenous Protozoa and Fungi.(CM Ignoffo. Ed.) Vol 5. 151-236 pp McCray EM, CJ Umphlett and RW Fay . 1973. Laboratory studies on a new fungal pathogen of mosquitoes. Mosq. News 33, 54-60 Melvin S, Fuller and A Jaworski. 1987. Zoosporic fungi in teaching and research. Southeastern Publishing Corporation. Athens, GA 30607. Merriem TL and RC Axtell. 1982. Salinity tolerance of two isolat of Lagenidium giganteum (Oomycetes:Lagenidiales), a fungal pathogen of mosquito larvae. J. Med. Entomol. 19 : 338-393
76
Mian LC and MS Mulla.1983. Factor influencing activity of the Microbial Agent B. sphaericus against mosquitoes Larvae. Bull Soc Vektor Ecol 8(2):128-134 Misman R. 1989. Pengaruh pH terhadap pertumbuhan koloni cendawan Lagenidium giganteum Couch. patogen nyamuk Demam Berdarah. Laporan hasil penelitian Pusat Antar Universitas Bidang Ilmu Hayati. Institut Teknologi Bandung. Misman R, Purnomowati dan AR Maharning. 1990. Pengaruh media tanam ekstrak biji bunga matahari, biji kedelai dan media telur air (EWM) terhadap pertumbuhan dan sporulasi Lagenidium giganteum Couch serta infektifitasnya terhadap larva nyamuk Ae. aegypti. Laporan hasil penelitian Fakultas Biologi. Universitas Jendral Soedirman. Purwokerto. Muchlastriningsih E, S Susilawati, DS Hutauruk, dan Wasiyo. 2001. Analisis hasil pemeriksaan spesimen penderita tersangka DBD pada Kejadian Luar Biasa di Surabaya, 1998. Cermin Dunia Kedokteran No:126,14-16 Munif A. 1990. Infestasi cendawan pada larva dan pupa nyamuk Anopheles dan Culex di tiga kondisi perairan berbeda dan kemungkinan penggunaannya untuk pengendali hayati. Thesis. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Nakane S, A Tukumura, K Waku and T Sugiura. 2001. Hen egg yolk and white contain high amounts of lysophosphatidic acids growth factor like lipids distin ct molecular species compositions. Lipid 36(4) : 413-419 Natalia T. 2000. Isolasi cendawan patogen dari larva nyamuk demam berdarah (Ae. aegypti) dan pemanfaatannya sebagai agen pengendali hayati. Skripsi. Jurusan Biologi, FMIPA - Institut Pertanian Bogor. Bogor. Partana L, JS Partana, MD Thahir . 1970. Haemorrhagic Fever Shock Syndrome in Surabaya, Indonesia. Kobe. J Med Sci. 16-189 Phillips KM, DM Ruggio, JI Toivo, MA Swank and AH Simpkins. 2002. Free and esterified sterol composition of edible oils determined by solid -phase extraction and gas liquid chromatography. J.Food Comp. Anal., 15 : 123124 Reed LJ and H Muench. 1938. A simple method for estimating fifty percent endpoints. Am. J. Hyg. 27 : 437-497. Rhodain F and L Rosen. 1997. Mosquito vectors and Dengue virus-vektor relationships. Dengue and Dengue Haemorrhagic Fever. Cab International 198 Madison Avenue, New York. USA. 45-113 pp
77
Rice CM. 1990. Overview of Flavivirus molecular biology and future vaccine development via recombinant DNA. SE Asian J. Trop. Med. Publ. Hlth. 21(4) : 670-677 Sauci SW. 2004. Food composition and nutrition tabels. Medpharm Publishers Stuttgart Scholte EJ, BGJ Knols, RA Samson and W Takken. 2004. Entomopathogenic fungi for mosquito control : A Review. J. Insect Science 4(19) : 24 Soedarta. 1989. Entomologi Kedokteran. Penerbit buku kedokteran ECG. Surabaya. Stoskopf MK. 1993. Fish Medicine. WB Saunders Company Harcourt Brace Jovonovich, Inc. Philadelphia. Sur B, V Bihari, A Sharma and AK Joshi. 2002. Studies on physiology, zoospore morphology and entomopathogenic potential of the aquatic Oomycete : Lagenidium giganteum. Mycophatologia 154(1) : 51-54 Sutaryo, RU Siti dan W Djoko. 1996. Produksi antibodi monoklonal virus Dengue Serotipe -3 untuk deteksi spesifik virus Dengue Serotipe-3 pada penderita DBD dan vektornya. Kerjasama Fakultas Kedokteran dengan proyek Puspitek Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi. Syahrurachman A. 1993. Flaviviridae. Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran. Binarupa Aksara. 354-378. Tanada Y and HK Kaya. Fungal Infections dalam Insect Pathology. Academic Press.Inc : 319-387 Tampubolon MP. 1992. Studi fluktuasi populasi dan distribusi Ae. aegypti dan Ae. albopictus di Kabupaten Bogor. Proceeding Seminar Nasional Hasil penelitian Perguruan Tinggi, tanggal 5-6 Februari 1992 di Cisarua, Bogor. Buku IV Bidang Biologi, Kesehatan dan MIPA 1993. Hal. 91-100. Vuillemin. 1912. Beauveria spp {serial on line}. fungus.org/thefungi/Beauveria.html. (7 Juli 2002)
http://www.doctor
Westaway EG. and J Blok. 1997. Taxonomy and evolutionary relationships of flaviviruses. Dengue and Dengue Haemorrhagic Fever. Cab International 198 Madison Avenue, New York. USA. 147-173 pp WHO. 1985. Data sheet on the biological control agent. WHO/VBC/753. Rev. 1. VBC/BCDS/79.02. Rev.1 : 1-21 William WS. 1961. A Monograph of the Genus Aphanomyces. Virginia Agricultural Experiment Station. Blackburg, Virginia.
78
Winzierl RT , Henn and PG Koehler. 2000. Microbial Insectisides. http:// www.google.com .(7 Juli 2002) Yap HH and NL Chong. 1995. Handbook : Biology and control of how schold pest (Vector control research unit school of biological science). Universit i Sains Malaysia 12-18 pp Zattau CW and T McInnis. 1985. Life Cycle and Mode of Leptolegnia Chapmanii (Oomycetes) Parasitizing Ae. aegypti. J. Invertebr. Pathol. 50 : 134-145
79
LAMPIRAN Lampiran 1 : Penghitungan statistik untuk membandingkan 3 media dalam menghasilkan berat kering koloni L. giganteum Perlakuan
Ulangan I 0,0049 0,0172 0,0150
Media A Media B Media C
II 0,0060 0,0095 0,115
III 0,0035 0,0190 0,0072
IV 0,0105 0,0185 0,085
V 0,0042 0,0095 0,0010
Sig
Respon Df
Mean Square
F
Between Groups
Sum of Squares 8.218E-04
2
4.109E-04
1.008
Within Groups
4.891E-03
12
4.076E-04
Total
5.713E-03
14
Treat
N
Media A Media B Media C Sig
5 5 5
.394
Subset for alpha =.05 1 5.82E-03 1.47E-02 2.40E-02 .201
Lampiran 2: Penghitungan statistik untuk membandingkan 3 media dalam menghasilkan oospora L.giganteum Perlakuan Media A Media B Media C
Ulangan I 2,0 x 10 3 4,4 x 10 3 5,1 x 10 5
II 1,7 x 10 3 4,0 x 10 3 4,9 x 10 4
III 2,1 x 10 3 4,1 x 10 3 5,0 x 10 4
IV 2,3 x 10 3 4,3 x 10 3 5,3 x 10 4
Respon
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 6.152
Df
Mean Square
F
2
3.076
35.934
.770
9
8.560E-02
6.922
11
Sig
Duncan Treat Media A Media B Media C Sig
Subset for alpha + .05 1 2 3.3025 3.6200 4.9550 1.000
N 4 4 4
80
.000
Lampiran 3 : jumlah kematian larva pada berbagai konsentrasi oospora Percobaan I No Hari ke1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Larva mati/konsentrasi (ml) 0 1 1 *
0,1 2 2 3 3 2 6 4 *
0,2 3 3 4 4 5 6 *
0,3 1 3 5 4 2 3 4 3 *
0,4 4 7 1 5 2 5 1 -
0,5 4 6 5 1 4 5 -
0,6 2 4 7 5 1 6 -
0,7 1 5 7 6 5 1 -
0,8 5 5 3 4 4 3 1 -
0,9 4 6 6 7 2 -
1.0 6 6 4 2 6 1 -
0,8 1 7 5 1 3 5 2
0,9 7 6 7 2 2 1 -
1.0 6 9 4 2 4 -
*pupa Percobaan II No Hari ke0 1 5 2 6 1 3 7 4 8 1 5 9 6 10 7 11 8 12 9 13 10 14 11 15 *
Larva mati/konsentrasi (ml) 0,1 2 4 3 2 2 4 4 *
0,2 2 6 4 1 9 *
0,3 3 3 6 3 3 5 1 *
0,4 1 5 5 4 5 4 1 -
*pupa
81
0,5 6 5 4 2 7 1 -
0,6 6 4 10 3 2 -
0,7 1 10 7 5 -
-
Percobaan III No Hari ke0 1 5 2 6 3 7 1 4 8 1 5 9 6 10 7 11 8 12 9 13 10 14 11 15 -
Larva mati/konsentrasi (ml) 0,1 2 1 1 3 3 1
0,2 4 2 2 4 4 *
0,3 1 3 6 1 2 4 6 * *
0,4 8 3 4 2 1 5 2
0,5 2 3 7 7 1 4 1 -
0,6 1 6 5 7 2 4 -
0,7 10 6 7 2 -
0,8 5 9 3 7 1 -
0,9 10 5 9 *
1.0 -
0,8 10 3 7 1 3 1 -
0,9 10 5 7 1 1 *
1.0 1 5 12 1 3 1 1 1 -
8 7 4 3 1 2 -
*Pupa Percobaan I V No Hari ke0 1 5 2 6 3 7 4 8 5 9 6 10 7 11 3 8 12 9 13 10 14 11 15 *
Larva mati/konsentrasi (ml) 0,1 2 2 2 3 *
0,2 1 5 2 2 6 4 *
0,3 1 6 5 10 * *
0,4 8 2 2 4 6 -
*Pupa
82
0,5 3 5 7 6 1 3 -
0,6 3 4 10 3 4 *
0,7 3 6 6 7 3 -
Lampiran IV : Jumlah rata -rata kematian larva Ae. aegypti pada berbagai konsentrasi
No Hari ke1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 *Pupa
Larva mati/konsentrasi (ml) 0 1 1 1 2 2 2 2 2 2 *
0,1 2 4 7 10 12 12 18 22 *
0,2 3 6 10 14 19 19 25 *
0,3 1 4 9 13 15 18 22 25 *
0,4 4 11 12 17 19 24 25 -
0,5 4 10 15 16 20 25 -
0,6 2 6 13 18 19 25 -
0,7 1 5 12 18 23 24 24 25 -
0,8 5 10 13 17 21 24 25 -
0,9 4 10 16 23 25 -
1.0 6 12 16 18 24 25 -
Lampiran V : Jumlah kematian larva mulai hari kelima sampai 12 No
Konsentrasi oospora/ml
Jumlah larva mati
Jumlah larva hidup
Kontrol
2
23
1
4,2 x 102
12
13
2
8,4 x 102
19
6
3
1,26 x 103
22
3
4
1,68 x 103
19
6
5
2,1 x 103
25
0
7
2,52 x 103
25
0
8
2,94 x 103
24
1
9
3,36 x 103
24
1
10
3,78 x 103
25
0
11
4,2 x 103
25
0
83