BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kepustakaan yang Relevan Penulisan suatu karya ilmiah merupakan suatu rangkaian yang semuanya selalu berkaitan dengan menggunakan referensi yang berhubungan, sehingga penulis tidak terlepas dari buku-buku pendukung yang relevan dengan objek yang diteliti. Untuk dapat mempertahankan hasil suatu karya ilmiah secara objektif digunakan sumbersumber yang berkaitan dengan masalah yang dibahas, baik berupa buku-buku acuan yang relevan maupun dengan pemahaman-pemahaman teoritis dan pemaparan yang berdasarkan fakta-fakta yang diperoleh di lapangan. Berkaitan dengan judul proposal ini penulis bicarakan “Pantun dalam Upacara Perkawinan masyarakat Melayu Serdang Bedagai : Kajian Estetika”. Secara sosial pantun memiliki fungsi pergaulan yang kuat hingga sekarang. Di kalangan pemuda sekarang, kemampuan berpantun biasanya dihargai. Pantun menunjukkan kecepatan seseorang berfikir dan bermain-main dengan kata. Pantun selain merupakan adat istiadat juga merupakan salah satu dari karya sastra lisan yang masih dipergunakan oleh masyarakat Melayu dalam melaksanakan rangkaian upacara. Karya satra lisan berupa karya sastra yang di tuturkan, di dengarkan, dan di hayati dengan maksud dan tujuan.
Universitas Sumatera Utara
2.2 Pengertian Pantun Pantun adalah sejenis puisi lama yang dilisankan dan biasanya menggunakan nada atau lagu. Pantun terdiri dari unsur-unsur kalimat berjumlah empat baris dalam satu bait, yang bersajak (a-b-a-b). Biasanya barisan pertama dan barisan kedua adalah sampiran, baris ketiga dan keempat merupakan isi. Umumnya pantun memiliki tekanan, rima, dan irama.Tekanan (suara atau bunyi) adalah ucapan yang ditekankan pada suku kata atau kata sehingga bagian itu lebih keras atau lebih tinggi ucapannya. Dalam tekanan ini terdapat pula aksen. aksen yaitu tekanan dalam bahasa, biasanya terdapat pada suku akhir (Agni, 2008: 6). Mantra adalah ukuran banyaknya tekanan irama dalam puisi atau musik ataupun bagian yang di pakai dalam penyusunan baris sajak yang berhubungan dengan jumlah suku kata (KBBI, 1993: 638). Rima yaitu perulangan bunyi yang berselang seling terdapat pada akhir lirik sajak yang berdekatan. Rima disebut juga persajakan, rima atau sajak adalah persamaan bunyi. Perhatikan contoh pantun di bawah ini, terdapat rima pada baris satu, tiga dan pada baris dua, empat. Contoh :
Sungguh ada bunga di taman Sudah ditilik dengan teliti Mana agaknya jadi idaman Mawar merah atau melati Irama adalah gerakan berturut-turut secara teratur turun naik lagu atau bunyi
yang beraturan. Irama merupakan alunan yang terjadi karena perulangan dan pergantian kesatuan bunyi dalam arus yang panjang pendek pada bunyi, keras lembut tekanan dan tinggi rendahnya nada dalam puisi-puisi pantun (KBBI, 1993: 386).
Universitas Sumatera Utara
2.3 Teori yang Digunakan Teori merupakan suatu prinsip dasar yang terwujud di dalam bentuk yang berlaku secara umum dan akan mempermudah seseorang penulis dalam memecahkan suatu masalah yang dihadapinya. Teori yang digunakan untuk membimbing dan memberi arah sehingga dapat menjadi penuntun kerja bagi penulis. Dalam suatu penelitian yang bersifat ilmiah diperlukan suatu landasan teori yang kokoh, agar penelitian itu dapat mengarah pada tujuan seperti yang telah ditetapkan. Di samping itu, dengan adanya landasan teori yang kokoh, maka penelitian terhadap suatu objek yang bersifat ilmiah tersebut hasilnya akan dapat dipertanggung jawabkan. Dalam menganalisis pantun pada upacara perkawinan penulis menggunakan beberapa teori yaitu teori struktural dan teori estetika
2.3.1
Teori Struktural Strukturalisme sebenarnya merupakan paham filsafat yang memandang dunia
sebagai realitas berstruktur. Menurut Junus (Endraswara, 2001: 49) strukturalisme memang sering dipahami sebagai bentuk. Karya sastra adalah bentuk. Karya sastra dibangun atas dasar bahasa, memiliki ciri bentuk (from) dan menekankan pada otonomi penelitian sastra. Menurut Pradopo (1999: 188) menyatakan, analisis struktural adalah analisis yang melihat bahwa unsur-unsur struktural sejak itu saling berhubungan sangat erat, saling menentukan artinya. Dalam penelitian struktural, penekanan pada relasi antara unsur pembangun teks sastra. Unsur teks secara sendiri-sendiri tidak penting. Penekanan strukturalis adalah memandang karya sastra sebagai teks mandiri. Penelitian dilakukan secara obyektif yaitu
Universitas Sumatera Utara
menekankan aspek intrinsik karya sastra. Keindahan teks sastra bergantung penggunaan bahasa yang khas dan relasi antar unsur yang mapan. (Endraswara, 2001: 5). Pada prinsipnya analisis struktural bertujuan untuk membongkar dan memaparkan secermat, seteliti, semendetail dan semendalam mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua anasir dan aspek karya sastra yang ersama-sama menghasilkan makna yang menyeluruh. (Hazwani, 2009: 6). Pendekatan struktural hadir karena bertolak dariasumsi dasar yakni bahwa karya sastra sebagai karya kreatif memiliki otonomi penuh yang harus dilihat sebagai suatu sosok yang berdiri sediri, terlepas dari hal-hal lain yang berada diluar dirinya. Sebagai sebuah model penelitian, strukturalisme bukan tanpa kelemahan. Ada beberapa kelemahan yang perlu digunakan bagi peneliti struktur, yaitu melalui struktural karya sastra seakan-akan diasingkan dari konteks fungsinya sehingga dapat kehilangan relevansi sosial, tercerabut dari sejarah, dan terpisah dari aspek kemanusiaan. Menurut Hawkes (Pradopo, 1999: 119) strukturalisme mengandung tiga hal pokok yaitu: a. Struktur itu keseluruhan yang bulat, yaitu bagian-bagian yang membentuknya tidak dapat berdiri sendiri di luar struktur itu. b. Struktur itu berisi gagasan transformasi dalam arti bahwa struktur itu tidak statis. Struktur itu mampu melakukan prosedur-prosedur transformasional, dalam arti bahan-bahan baru diproses dengan prosedur dan melalui prosedur itu c. Struktur itu mengatur diri sendiri, dalam arti struktur itu tidak memerlukan pertolongan bantuan dari luar dirinya untuk mensahkan prosedur transformasinya. Strukturalisme itu pada dasarnya merupakan cara berfikir tentang dunia yang terutama berhubungan dengan tanggapan dan deskripsi struktur-struktur seperti tersebut di atas. Menurut pikiran strukturalisme, dunia (karya sastra merupakan dunia yang diciptakan pengarang) lebih merupakan susunan hubungan daripada susunan benda-benda. Leh karena tu, kodrat tiap unsur dalam struktur it tidak mempunyai makna dengan sendirinya, maknanya ditentukan oleh hubungannya dengan semua unsur lainnya yang terkandung dalam struktur itu.
Analisis struktur karya sastra dalam hal ini, dapat dilakukan dengan mengidentifikasi, mengkaji dan mendeskripsikan fungsi unsur intrinsic pantun yang meliputi struktur fisik dan struktur batin.
Universitas Sumatera Utara
Struktur fisik meliputin: 1. Diksi (pemilihan kata) Penyair sangat cermat dalam memilih kata-kata yang ditulis harus dipertimbangkan maknanya, komposisi bunyi dalam rima, dan irama, kedudukan kata-kata itu ditengah knteks kata lainnya, dan kedudukan kata dalam puisi itu. Karena begitu pentingnya kata-kata dalam puisi, maka bunyi kata juga dipertimbangkan secara cermat dalam pemilihannya. Karena pemilihan kata-kata mempertimbangkan berbagai aspek estetis, maka kata-ata yang sudah dipilih oleh penyair untuk puisinya tidak bisa diganti dengan padan katanya, sekalipun maknanya idak berbeda, bahkan, sekalipun unsur bunyinya hampir mirip dan maknanya sama, kata yang sudah dipilih itu tidak dapat diganti. Jika kata itu diganti akan mengganggu komposisi dengan kata lainnya dalam kontruksi keseluruhan puisi itu. Pilihan kata akan mempengaruhi ketepatan dan keseluruhan bunyi. 2. Imaji Pengimajian ditandai dengan penggunaan kata yang konkret dan khas. Imaji yang ditimbulkan ada tiga macam, yakni imaji visual (benda yang nampak), imaji auditif (baris atau bait puisi itu seolah mengandung gema suara), dan imaji taktil (sesuatu yang dapat kita rasakan, raba atah sentuh). Ketiganya digambarkan atas bayangan konkret apa yang dapat kita hayati secara nyata. 3. Kata kongkret Untuk membangkitkan imaji (daya bayang) pembaca, maka kata-kata harus perkonkret. Maksudnya ialah bahwa kata-kata itu dapat menyaran kepada arti yang menyeluruh. Jika imaji pembaca merupakan akibat dari pengimajian yang diciptakan penyair, maka kata konkret ini merupakan syarat atau sebab erjadinya pengimajian itu. Dengan kata diperkonkretkan, pembaca dapat membayangkan secara jelas peristiwa atau keadaan yang dilukiskan oleh penyair. 4. Gaya bahasa Gaya bahasa ialah cara menggunakan bahasa agar daya ungkap atau daya tarik atau sekaligus kedua-duanya bertambah. Gaya bahasa itu menghidupkan kalimat dan memberikan gerak pada kalimat. Gaya bahasa itu untuk menimbulkan reaksi tertentu, untuk menimbulkan tanggapan kepada pembaca. Struktur batin meliputin: 1. Tema Tema merupakan gagasan pokok yang dikemukakan oleh penyair, pokok pikiran atau pokok persoalan itu begitu kuat dalam jiwa penyair, sehingga menjadi landasan utama pengungkapan. Dengan latar belakang pengetahuan yang sama, penafsir-penafsir puisi akan memberi tafsiran tema yang sama bagi sebuah puisi, karena tema akan memberikan bersifat lugas (tidak dibuat-buat), obyektif (bagi semua penafsir) dan khusus (penyair). Tema puisi harus dihubungkan dengan penyairnya, dengan konsepkonsepnya yang terimajinasikan. 2. Nada Dalam menulis puisi, penyair mempunyai sikap tertentu terhadap pembaca, apakah dia ingin bersikap menggurui, menasehati, mengejek, menyindir, atauu bersikap lugas hanya menceritakan sesuatu kepada pembaca. Sikap penyair kepada pembaca ini disebut juga nada puisi. Seringkali puisi bernada santai karena penyair bersikap santai kepada pembaca. 3. Rasa
Universitas Sumatera Utara
Dalam meciptakan puisi, suasana perasaan penyair ikut diekspresikan dan harus dapat dihayati oleh pembaca. Untuk mengungkapkan tema yang sama, penyair satu dengan perasaan yang berbeda dengan penyair lainnya, sehingga hasil puisi yang diciptakan berbeda pula. 4. Amanat Amanat yang hendak disampaikan oleh penyair dapat ditelaah setelah kita memahami tema, rasa, dan nada puisi itu. Tujuan atau amanat merupakan hal yang mendorong penyair untuk menciptakan puisinya. Amanat tersirat di balik kata-kata yang disusun, dan juga berada di balik tema yang diungkapkan.
2.3.2 Teori Estetika Ide terpenting dalam sejarah estetika filsafati atau filsafat keindahan sejak zaman Yunani Kuno sampai abad ke-18 ialah masalah yang berkaitan dengan keindahan (beauty). Persoalan yang digumuli oleh para filsuf ialah ”apakah keindahan itu?”. menurut asal katanya,”keindahan” dalam perkataan bahasa Inggris : beautiful (dalam bahasa Perancis: beau, sedang Italia dan Spanyol: bello ; yang berasal dari kata bellum). Akar katanya adalah bonum yang berarti kebaikan, kemudian mempunyai bentuk pengecilan menjadi bonellum dan terakhir dipendekkan sehingga ditulis bellum. (Hazwani, 2009:8).
Berdasarkan pendapat umum, estetika diartikan sebagai suatu cabang filsafat yang memperhatikan atau berhubungan dengan gejala yang indah pada alam dan seni. Pandangan ini mengandung pengertian yang sempit. Estetika yang berasal dari bahasa Yunani ”aistehika” berarti hal-hal yang dapat diserap oleh panca indera. Oleh karena itu estetika sering diartikan sebagai persepsi indera (sense of perception). Alexander Baumgarten. seorang filsuf Jerman adalah yang pertama yang memperkenalkan kata ”aisthetika”, sebagai penerus pendapat Cottfried Leibniz. Baumgarten memilih estetika karena ia mengharapkan untuk memberikan tekanan kepada pengalaman seni sebagai suatu sarana untuk mengetahui (the perfection of sentient knowldedge).
Universitas Sumatera Utara
Ada tiga hal yang membedakan karya satra dengan karya sastra dengan karya-karya (tulis) yang lain bukan sastra yaitu pertama, sifat khayali (fictionality) merupakan akibat dari kenyataan bahwa karya saatra dicipta dengan daya khayal: walaupu karya sastra hendak berbicara tentang kenyataan dan masalah-masalah kehidupan yang nyata, karya sastra itu terlebih dahulu menciptakan dunia khayali sebagai latar belakang tempat kenyataan-kenyataan dan masalah-masalah itu dapat direnunkan dan dihayati oleh pembaca. Kedua, adanya nilai-nilai seni (esthetic values) merupakan persyaratan yang membedakan karya sastra dari yang bukan sastra, namun justru dengan bantuan-bantuan nilai-nilai itulah sastrawan dapat mengungkapkan isi hatinya sejelas-jelasnya, sedalamdalamnya, dan sekaya-kayanya. Dan sekaligus keindahan bahasa itu. Barisan-barisan dalam sebuah puisi bukan saja diusahakan dapat mengungkapkan pikiran dan perasaan penyairnya, akan tetapi mejadi daya tarik pula melalui keindahan irama dan bunyinya (Sumardjo dan Saini K.M, 1997: 13-14).
Bahasa merupakan wujud dari karya sastra. Bahasa dalam sastra umumnya berwujud lisan ataupun tulisan. Penggunaan bahasa secara khusus sangat jelas tampak pada karya-karya berbentuk puisi. Walaupun begitu, sebenarnya di dalam novel dan drama pun penggunaan bahasa seperti itu dilakukan para sastrawan dengan sadar dan seksama. Suatu bentuk sastra disebut indah kalau organisasi unsur-unsur yang dikandung didalamnya tadi memenuhi syarat-syarat keindahan (Sumardjo dan Saini K.M, 1997: 14). Adapun syarat-syarat keindahan itu antara lain: 1. Kesatuan (Unity) Kesatuan ialah karya sastra (puisi, novel, dan drama) harus utuh: artinya setiap bagian atau unsur yang ada padanya menunjang kepada usaha pengungkapan isi hati sastrawan. Ini berarti pula bahwa setiap unsur atau bagian karya sastra benar-benar diperlakukan dan disengaja adanya dalam unsur atau bagian yang kebetulan. Semuanya direncanakan dan ada dalam karya sastra itu sebagai hasil pemilihan dan pertimbangan yang seksama. Nilai dalam kesatuan dalam pantun terlihat pada unsur-unsur pembentuknya seperti jumlah kata dalam sebaris. Jumlah kata dalam sebaris pada tiap baris yang terdapat dalam pantun 2. Keharmonisan (Harmony) Keharmonisan berkenaan dengan hubungan satu unsur atau bagian karya sastra dengan unsur atau bagian lain: artinya, unsure atau bagian itu harus menunjang daya ungkap unsure atau bagian lain, dan bukan mengganggu atau mengaburkannya. Dalam pantun, keharmonisan terletak pada struktur pembentuk pantun yaitu sampiran dan isi serta dari rima yang membentuk irama dari pantun itu. Sampiran merupakan pembuka maksud
Universitas Sumatera Utara
dari tujuan yang hendak disampaikan oleh penyair. Sedangkan isi merupakan tujuan dan maksud yang hendak disampaikan oleh penyair. 3. Keseimbangan (Balance) Keseimbangan ialah unsur-unsur atau bagian-bagian karya sastra, baik dalam ukuran maupun bobotnya, harus sesuai atau seimbang dengan guna atau fungsinya. Sebagai contoh adegan yang kurang penting dalam suatu naskah drama akan lebih pendek dari pada adegan yang penting: demikian halnya di dalam novel: gagasan atau perasaan yang penting dalam sebuah puisi akan mendapat pengulangan di dalam baris lain dengan citra atau lambang lain. Pada pantun, keseimbangan terlihat dari fungsi sampiran dan isi. Sampiran merupakan kata pembuka dalam puisi Melayu, sedangkan isi merupakan maksud dan tujuan dari puisi tersebut. 4. Fokus atau tekanan yang tepat (Right Emphasisi) Tekanan yang tepat ialah unsur atau bagian yang penting harus mendapat penenkanan yang lebih dari pada unsur atau bagian yang kurang penting. Unsur yang penting itu akan dikerjakan sastrawan dengan lebih seksama, sedang yang kurang penting mungkin hanya berupa garis besar dan bersifat skematik saja. Dalam pantun, fokus atau tekanan yang tepat adalah hal-hal yang berkaitan langsung dengan pantun.
Universitas Sumatera Utara