BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Bahan Pengawet Bahan pengawet adalah senyawa yang menghambat dan menghentikan proses pembusukan akibat aktivitas mikroorganisme. Bahan pengawet merupakan salah satu bahan tambahan yang digunakan untuk mempertahankan kualitas dan daya simpan bahan pangan (Sulami, 2009). Bahan pengawet umumnya digunakan untuk mengawetkan pangan yang mempunyai
sifat
mudah
rusak.
Akan
tetapi,
tidak
jarang
produsen
menggunakannya pada pangan yang relatif awet dengan tujuan untuk memperpanjang masa simpan atau memperbaiki tekstur (Cahyadi, 2008). Bahan pengawet yang ideal untuk kepentingan manusia mempunyai karateristik sebagai berikut: 1. Tidak spesifik, artinya sifat antimikrobanya berspektrum luas 2. Golongan bahan pengawet GRAS 3. Ekonomis (murah dan mudah diperoleh) 4. Tidak berpengaruh terhadap citarasa 5. Tidak berkurang aktivitasnya selama penyimpanan 6. Tidak menimbulkan strain (galur) yang resisten 7. Lebih efektif yang bersifat mematikan (lethal/mikosidal) dari pada hanya menghambat pertumbuhan (non-lethal/mikostatik) (Nurwantoro & Djarijah, 1997).
Penggunaan pengawet dalam pangan harus tepat, baik jenis maupun dosisnya. Suatu bahan pengawet mungkin efektif untuk mengawetkan pangan tertentu, tetapi tidak efektif untuk mengawetkan pangan lainnya karena pangan mempunyai sifat yang berbeda-beda sehingga mikroba perusak yang akan dihambat pertumbuhannya juga berbeda (Cahyadi, 2008). Secara garis besar zat pengawet dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu 1.
GRAS (Generally Recognized as Safe) yang umumnya bersifat alami, sehingga aman dan tidak berefek racun sama sekali.
2.
ADI (Acceptable Daily Intake), yang selalu ditetapkan batas penggunaan hariannya (daily intake) guna melindungi kesehatan konsumen.
3.
Zat pengawet yang memang tidak layak dikonsumsi karena bukan untuk makanan alias berbahaya seperti boraks dan formalin (Widyaningsih & Murtini, 2006). Jumlah zat pengawet ditambahkan kedalam suatu bahan pangan tidak
berpengaruh pada pernyataan bahwa suatu zat pengawet kimia telah ditambahkan, asal standar identitasnya ditetapkan untuk produk bahan pangan tersebut. Bila penambahan suatu zat pengawet kimia tidak terdaftar sebagai suatu bahan campuran yang ada, zat kimia tersebut tidak boleh ditambahkan pada bahan pangan yang dipasarkan (Norman, 2008). Pemakaian bahan pengawet dari satu sisi menguntungkan karena dengan bahan pengawet, bahan pangan dapat dibebaskan dari kehidupan mikroba, baik yang bersifat patogen yang dapat menyebabkan keracunan atau gangguan
kesehatan lainnya maupun mikrobial yang nonpatogen yang dapat menyebabkan kerusakan bahan pangan, misalnya pembusukan (Cahyadi, 2006) Tanpa bahan tambahan pangan khususnya bahan pengawet maka bahan yang tersedia di pasar atau di swalayan akan menjadi kurang menarik, tidak dapat dinikmati secara layak, dan tidak awet. Bahan pengawet yang ditambahkan umumnya sama dengan bahan pengawet pangan yang sebenarnya sudah terdapat dalam bahan pangan, tetapi jumlahnya sangat kecil sehingga kemampuan mengawetkan sangat rendah (Cahyadi, 2006).
2.1.1 Sifat Antimikroba Bahan Pengawet Bahan pengawet kimia mempunyai pengaruh terhadap aktivitas mikroba. Faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas mikroba oleh bahan pengawet kimia meliputi beberapa hal antara lain jenis bahan kimia dan konsentrasinya, banyaknya mikroorganisme, komposisi bahan pangan, keasaman bahan pangan dan suhu penyimpanan (Cahyadi, 2006). Spora bakteri paling tahan terhadap pengawet, sedangkan spora kapang lebih tahan dari pada sel vegetatifnya. Dalam beberapa kasus penghambatan, kapang lebih mudah diserang dari pada khamir. Pertumbuhan kultur mikroba secara aktif mudah diserang oleh bahan pengawet. Semakin tua umur bakteri dan menjadi semakin aktif, maka sel-sel cenderung menjadi lebih tahan terhadap kondisi pengawet. Beberapa bahan pengawet, aktivitasnya akan naik dalam bahan pangan yang bersifat asam (Cahyadi, 2006).
2.1.2 Jenis-Jenis Bahan Pengawet Penggunaan bahan pengawet dalam kehidupan sehari-hari ada yang tergolong pengawet berbahaya dan pengawet pengganti zat berbahaya, berikut adalah beberapa bagian pengawet menurut jenisnya : Tabel 2.1.2 jenis-jenis bahan pengawet JENIS-JENIS BAHAN PENGAWET Pengganti zat berbahaya Berbahaya Sintetis Alami Organik Anorganik Belerang Asam Salisilat Chitosan Asam Benzoat Dioksida Kalsium Kalium Formalin Hidroksida Asam Propionat Bisulfit (Kapur Sirih) Kalium Boraks (Asam Borat) Karagenan Asam Sorbat Metabisulfit Air ki / Air abu Pottasium Klorat Kalium Nitrat merang Kalium Benzoat Kloramfenikol Asam Sitrat Kalium Propionat Kalium Nitrit Buah picung (biji Diethylpylocarbonat Kalium kepayang/ Kalium Sorbat (DEPC) Bisulfit kluwak) NaPottasium Borat Bawang Putih Kalium Benzoat Metabisulfit Metil-P-Hidroksi Kunyit Natrium Nitrat Benzoat Natrium Benzoat Natrium Nitrit Natrium Natrium Sulfit Propionat Nissin Propil PHidroksi Benzoat -
2.2 Formalin Formalin merupakan nama dagang dari larutan formaldehida dalam air dengan kadar 30-40 persen. Formalin juga mengandung alkohol 10-15 persen yang berfungsi sebagai stabilator agar formaldehidnya tidak mengalami polimerisasi (Effendi, 2012). Senyawa ini termasuk golongan aldehid yang paling sederhana karena hanya mempunyai satu atom karbon (CH2O). Formaldehid adalah larutan yang menghasilkan gas dengan titik didih 21ºC sehingga tidak dapat disimpan dalam keadaan cair ataupun gas. Formaldehid murni tidaklah tersedia secara komersial, tetapi dijual dalam 30-50% (b/b) larutan mengandung air. Formalin (37% CH2O) adalah larutan yang paling umum (Cahyadi, 2006).
Gambar 2.2 Struktur Kimia Formalin Rumus Molekul
: CH2O
Pemerian
: Cairan jernih, tidak berwarna atau hampir tidak berwarna. Bau menusuk, uap merangsang selaput lendir hidung dan tenggorokan (Depkes RI, 1979).
Penyimpanan
: Disimpan dalam wadah tertutup baik, terlindung
dari
cahaya, sebaiknya pada suhu diatas 20ºc. Dan apabila disimpan ditempat dingin menjadi keruh ( Depkes RI, 1979). Kelarutan
: Dapat dicampur dengan air dan etanol 95%.
Mekanisme formalin sebagai pengawet adalah jika formaldehid bereaksi dengan protein sehingga membentuk rangkaian-rangkaian antara protein yang berdekatan. Akibat dari reaksi tersebut, protein mengeras dan tidak dapat larut. Formaldehid berkombinasi dengan asam amino bebas dari protein pada sel protoplasma, merusak nukleus,dan mengkoagulasi protein (Cahyadi, 2006). Formalin mempunyai banyak nama kimia yang biasa kita dengar di masyarakat, diantaranya formol, methylene aldehyde, paraforin, morbicid, oxomethane, polyoxymethylene glycols, methanal, formoform, superlysoform, formic aldehyde, formalith, tetraoxymethylene, methyl oxide, karsan, trioxane, oxymethylene dan methylene glycol (Yuliarti, 2007). Formalin banyak digunakan untuk mengawetkan bahan makanan seperti bakso, tahu, mie basah dan ikan. Dengan direndam dalam beberapa tetes formalin yang dicampur dengan air, maka bahan-bahan tersebut akan lebih tahan lama dan lebih kenyal (Effendi, 2012). 2.2.1 Formalin dengan Asam Kromatropat Asam Kromatropat dengan rumus kimia C10H6Na2O8S2.2H2O adalah nama lain dari 1,8-Dihydroxynapthalene-3,6-disulfonic acid disodium salt, memiliki berat molekul 400,29 gr/mol. Formalin dengan adanya asam kromatropat dalam asam sulfat disertai pemanasan beberapa menit akan terjadi pewarnaan ungu (Widyaningsih & Murtini, 2006). Reaksi ini terjadi berdasarkan kondensasi formaldehida dengan sistem aromatik dari asam kromatropat, membentuk senyawa berwarna (3,4,5,6-
dibenzoxanthylium). Pewarnaan disebabkan terbentuknya ion karbenium oksonium yang stabil karena mesomeri.
Gambar 2.2.1 Reaksi Formalin dengan Asam Kromatropat 2.2.2 Ciri-Ciri Makanan yang Mengandung Formalin Makanan yang mengandung formalin umumnya awet dan dapat bertahan lebih lama. Bahan makanan yang mengandung formalin ketika sedang dimasak kadang-kadang masih mengeluarkan bau khas formalin. Tanda- tanda makanan yang mengandung formalin adalah sebagai berikut: 1.
Tahu Bentuknya sangat bagus, kenyal, tidak mudah hancur, awet beberapa hari dan tidak mudah busuk. Bau agak menyengat dan aroma kedelai sudah tak nyata lagi.
2.
Mie basah Lebih kenyal, awet beberapa hari dan tidak mudah basi dibandingkan dengan yang tidak mengandung formalin. Mie tampak mengkilat (seperti berminyak), liat (tidak mudah putus), dan tidak lengket.
3.
Bakso Lebih kenyal, aroma khas dari bakso tercium, awet beberapa hari dan tidak mudah busuk.
4.
Ikan asin Daging kenyal, utuh, lebih putih dan bersih dan dibandingkan ikan asin tanpa formalin agak berwarna coklat dan lebih tahan lama.
5.
Ikan segar atau basah Warnanya putih bersih, kenyal, insangnya berwarna merah tua bukan merah segar, awet sampai beberapa hari dan tidak mudah busuk.
6.
Ayam potong Berwarna putih bersih, lebih awet dan tidak mudah rusak (Widyaningsih & Murtini, 2006).
2.2.3 Manfaat Penggunaan Formalin Formalin sudah sangat umum digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Apabila digunakan secara benar, formalin akan banyak kita rasakan manfaatnya yaitu: 1.
Sebagai antibakteri atau pembunuh kuman dalam berbagai jenis
keperluan
industri, yakni pembersih lantai, kapal, gudang, pakaian, pembasmi lalat maupun berbagai serangga lainnya. 2.
Dalam dunia fotografi, biasanya digunakan sebagai pengeras lapisan gelatin dan kertas.
3.
Dibidang industri kayu, formalin digunakan sebagai bahan perekat untuk produk kayu lapis (plywood).
4.
Dalam konsentrasi yang sangat kecil (<1 persen) digunakan sebagai pengawet untuk berbagai barang konsumen seperti pembersih rumah tangga,
cairan pencuci piring, pelembut, perawat sepatu, shampoo mobil, lilin dan karpet. 5.
Didalam industri perikanan, formalin digunakan untuk menghilangkan bakteri yang biasa hidup di sisik ikan dan sering digunakan dalam pengobatan penyakit ikan akibat ektoparasit seperti fluke dan kulit berlendir.
6.
Sebagai bahan pembuatan pupuk urea, bahan pembuatan produk parfum, pengawet produk kosmetika, pengeras kuku dan bahan untuk insulasi busa.
7.
Pencegah korosi untuk minyak (Yuliarti, 2007).
2.2.4 Dampak Formalin Terhadap Kesehatan Formalin merupakan bahan beracun dan berbahaya bagi kesehatan manusia. Jika kandungannya dalam tubuh tinggi, akan bereaksi secara kimia dengan hampir semua zat di dalam sel sehingga menekan fungsi sel dan menyebabkan kematian sel yang menyebabkan keracunan pada suhu tubuh. Kandungan formalin yang tinggi dalam tubuh juga menyebabkan iritasi lambung, alergi, bersifat karsinogenik (menyebabkan kanker) dan bersifat mutagen (menyebabkan perubahan fungsi sel/jaringan), serta orang yang mengonsumsinya akan muntah, diare bercampur darah, kencing bercampur darah, dan kematian yang disebabkan adanya kegagalan peredaran darah (Cahyadi, 2008). Formaldehid terhadap kulit menyebabkan kulit mengeras, menimbulkan kontak dermatitis dan reaksi sensitivitas. Sedangkan pada sistem reproduksi wanita akan menimbulkan gangguan menstruasi, toksemia, dan anemia pada kehamilan (Cahyadi, 2008).
Uap formaldehid sangat iritan terhadap membran mukosa, dan dapat mengiritasi mata, hidung, dan bila uap dihirup dapat terjadi iritasi saluran napas yang parah, antara lain dapat menyebabkan batuk, sposmus laring, bronkitis, dan pneumonia, dapat pula timbul asma pada inhalasi berulang (Cahyadi, 2008).
2.3 Mie Mie adalah adonan tipis dan panjang yang telah digulung, dikeringkan, dan dimasak dalam air medidih. Mie adalah nama generik. Orang Eropa menyebut pasta (bahasa Italia) secara generik, dan noodle (bahasa Inggris) untuk pasta yang berbentuk memanjang (Aprilianti, 2009). Di Eropa bahan baku mie biasanya dari jenis-jenis gandum sementara di Asia bahan baku mie lebih bervariasi. Berbagai bentuk mie dapat ditemukan di berbagai tempat. Perbedaan mi terjadi karena campuran bahan, asal-usul tepung sebagai bahan baku, serta teknik pengolahan (Aprilianti, 2009). Mie merupakan salah satu jenis makanan yang paling populer di Asia khususnya di Asia Timur dan Asia Tenggara. Menurut catatan sejarah, mie pertama kali dibuat di daratan Cina sekitar 2000 tahun yang lalu pada masa dinasti Han. Dari Cina, mie berkembang dan menyebar ke Jepang, Korea, Taiwan dan negara-negara di Asia Tenggara bahkan meluas sampai ke benua Eropa (Aprilianti, 2009). Dipasaran saat ini dikenal ada beberap jenis mie, yaitu mie mentah (mie pangsit), mie basah, mie kering, dan mie instan. Mie kering dan instan merupakan
mie yang kering dengan kadar air yang rendah sehingga lebih awet dibandingkan dengan mie mentah atau mie basah (Widyaningsih & Murtini, 2006). Mie basah atau disebut juga mie kuning adalah jenis mie yang mengalami perebusan setelah tahap pemotongan dan sebelum dipasarkan. Kadar air mie basah dapat mencapai hingga 52% sehingga daya tahan atau keawetannya cukup singkat. Pada suhu kamar mie basah ini hanya bertahan 10-12 jam saja karena setelah itu mie akan berbau asam dan berlendir atau basi (Widyaningsih dan Murtini) 2.3.1 Kandungan Gizi dalam Mie Mie merupakan bahan pangan yang cukup potensial, selain harganya relatif murah dan praktis mengolahnya, mie juga mempunyai kandungan gizi yang cukup baik (Aprilianti, 2009). Tabel 2.3.1 Komposisi Kimia Mie Basah (Mie Kuning) per 100g bahan Komposisi Kalori (Kkal) Protein (g) Lemak (g) Karbohidrat (g) Kalsium (mg) Fosfor (mg) Besi (mg) Vit. A (IU) Vit. B1 (mg) Vit. C (mg) Air (g)
Jumlah 86 0,6 3,3 14,0 14 13 0,8 0 0 0 80,0
Tabel 2.3.1 Komposisi Kimia Mie Kering per 100g bahan Komposisi
Jumlah
Kalori (Kkal)
338
Protein (g)
7,6
Lemak (g)
11,8
Karbohidrat (g)
50,0
Kalsium (mg)
49
Fosfor (mg)
47
Besi (mg)
2,8
Vit. A (IU)
0
Vit. B1 (mg)
0
Vit. C (mg)
0
Air (g)
12,9
2.4 Destilasi Destilasi adalah memisahkan komponen-komponen yang mudah menguap dari suatu campuran cair dengan cara menguapkannya, yang diikuti dengan kondensasi uap yang terbentuk dan menampung kondensat yang dihasilkan (Handojo, 1995). Uap yang dikeluarkan dari campuran disebut sebagai uap bebas, kondensat yang jatuh sebagai destilat dan bagian cairan yang tidak menguap sebagai residu (Handojo, 1995).
2.4.1 Destilasi Sederhana Destilasi sederhana yang dapat dipisahkan hanya campuran yang komponen-komponennya memiliki tekanan uap atau titik didih yang sangat berbeda, dan yang komposisi uapnya berlainan (Handojo, 1995). Penguapan dan destilasi umumnya merupakan proses pemisahan satu tahap. Proses ini dapat dilakukan secara kontinu atau tak kontinu, pada tekanan normal atau vakum (Handojo, 1995). Pada destilasi sederhana, yang paling sering dilakukan adalah operasi tak kontinu. Dalam hal ini campuran yang akan dipisahkan dimasukkan ke dalam alat penguap (umumnya alat penguap labu) dan di didihkan. Pendidihan terus dilangsungkan hingga sejumlah tertentu komponen yang mudah menguap terpisahkan. Selama pendidihan, fraksi komponen yang sukar menguap dalam cairan bertambah besar, sehingga komposisi destilat yang dihasilkan juga selalu berubah. Seringkali destilat harus dibagi dalam beberapa fraksi (karena berasal dari daerah titik didih yang berbeda) dan ditampung dalam bejana terbuka. 2.4.2 Jenis-Jenis Destilasi Destilasi dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu: 1.
Destilasi sederhana atau destilasi biasa Adalah teknik pemisahan kimia untuk memisahkan dua atau lebih komponen yang memiliki perbedaan titik didih yang jauh. Suatu campuran dapat dipisahkan dengan destilasi biasa ini untuk memperoleh senyawa murni. Senyawa yang terdapat dalam campuran akan menguap saat mencapai titik didih masing-masing.
2.
Destilasi Fraksionasi (Bertingkat) Adalah sama prinsipnya dengan destilasi sederhana, hanya destilasi bertingkat ini memiliki rangkaian alat kondensor yang lebih baik, sehingga mampu memisahkan dua komponen yang memiliki perbedaan titik didih yang berdekatan. Untuk memisahkan dua jenis cairan yang sama mudah menguap dapat dilakukan dengan destilasi bertingkat. Destilasi bertingkat adalah suatu proses destilasi berulang. Proses berulang ini terjadi pada kolom fraksional. Kolom fraksional terdiri atas beberapa plat dimana pada setiap plat terjadi pengembunan. Uap yang naik plat yang lebih tinggi lebih banyak mengandung cairan yang lebih atsiri (mudah menguap) sedangkan cairan yang yang kurang atsiri lebih banyak kondensat.
3.
Destilasi Azeotrop Adalah memisahkan campuran azeotrop (campuran dua atau lebih komponen yang sulit di pisahkan), biasanya dalam prosesnya digunakan senyawa lain yang dapat memecah ikatan azeotrop tersebut atau dengan menggunakan tekanan tinggi.
4.
Destilasi Uap Adalah untuk memurnikan zat / senyawa cair yang tidak larut dalam air, dan titik didihnya cukup tinggi, sedangkan sebelum zat cair tersebut mencapai titik didihnya, zat cair sudah terurai, teroksidasi atau mengalami reaksi pengubahan (rearranagement), maka zat cair tersebut tidak dapat dimurnikan secara destilasi sederhana atau destilasi bertingkat, melainkan harus didestilasi dengan destilasi uap. Destilasi uap adalah istilah yang secara
umum digunakan untuk destilasi campuran air dengan senyawa yang tidak larut dalam air, dengan cara mengalirkan uap air kedalam campuran sehingga bagian yang dapat menguap berubah menjadi uap pada temperature yang lebih rendah dari pada dengan pemanasan langsung. Untuk destilasi uap, labu yang berisi senyawa yang akan dimurnikan dihubungkan dengan labu pembangkit uap (lihat gambar alat destilasi uap). Uap air yang dialirkan dalam labu yang berisi senyawa yang akan dimurnikan, dimaksudkan untuk menurunkan titik didih senyawa tersebut, karena titik didih suatu campuran lebih rendah dari pada titik didih komponen-komponennya. 5.
Destilasi Vakum Adalah memisahkan dua kompenen yang titik didihnya sangat tinggi, metode yang digunakan adalah dengan menurunkan tekanan permukaan lebih rendah dari 1 atm, sehingga titik didihnya juga menjadi rendah, dalam prosesnya suhu yang digunakan untuk mendistilasinya tidak perlu terlalu tinggi (Walangare, 2013).