BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Bahan Tambahan Pangan Bahan tambahan pangan adalah bahan yang biasanya tidak digunakan
sebagai makanan, bukan merupakan bahan khas makanan, mempunyai atau tidak mempunyai nilai gizi, yang dengan sengaja atau tidak sengaja ditambahkan ke dalam makanan, dimaksudkan untuk memperbaiki proses pengolahan, penyiapan, perlakuan, pengemasan, penyimpanan atau pendistribusian makanan untuk menghasilkan (langsung atau tidak langsung) suatu komponen makanan dan mempengaruhi sifat khas makanan tersebut (Amalia, 2013). Penggunaan bahan tambahan pangan bertujuan untuk memperpanjang umur simpan atau mengawetkan makanan dengan mencegah pertumbuhan mikroba pada makanan, mencegah terjadinya reaksi kimia yang dapat menurunkan mutu pangan, meningkatkan kualitas pangan baik dari segi nilai gizi maupun sifat organoleptik, membantu pengolahan, membentuk makanan menjadi lebih baik, renyah dan lebih enak dimulut, penggunaan bahan tambahan pangan sebaiknya digunakan dengan dosis di bawah ambang batas yang telah ditentukan (Amalia, 2013 ; Cahyadi, 2006). Dengan mengetahui penggunaan bahan tambahan pangan, dapat memberikan arahan kepada seseorang untuk menggunakan dan menempatkan bahan tambahan pangan dengan cara tepat sehingga bahan tambahan pangan mampu memberikan manfaat pada makanan tersebut (Dewi, 2010).
Pada dasarnya bahan tambahan pangan dibedakan atas dua golongan besar, yaitu: 1. bahan tambahan pangan yang sengaja ditambahkan ke dalam makanan dengan mengetahui komposisi dari bahan tambahan pangan tersebut, seperti pengawet, pewarna, penyedap rasa dan pemanis 2. bahan tambahan pangan yang
tidak sengaja ditambahkan dan tidak
mempunyai fungsi pada makanan tersebut, terdapat secara tidak sengaja dalam jumlah sedikit ataupun banyak, diperoleh dari proses produksi, pengolahan ataupun pengemasan yang masih terus terbawa kedalam makanan, seperti residu pestisida dan antibiotik (Cahyadi, 2006). Penggunaan bahan tambahan pangan yang digunakan hanya dapat dibenarkan apabila: 1. dimaksudkan untuk mencapai tujuan penggunaan dalam pengolahan 2. tidak digunakan untuk menyembunyikan penggunaan bahan yang salah atau yang tidak memenuhi persyaratan 3. tidak digunakan untuk menyembunyikan cara kerja yang bertentangan dengan cara produksi yang baik untuk pangan 4. tidak digunakan untuk menyembunyikan kerusakan bahan pangan (Cahyadi, 2006).
2.2
Pemanis Pemanis merupakan senyawa kimia yang sering ditambahkan dan
digunakan untuk keperluan produk olahan pangan, industri pada makanan dan minuman. Pemanis adalah bahan tambahan pangan yang ditambahkan dalam makanan atau minuman untuk menciptakan rasa manis (Amalia, 2013 ; Cahyadi, 2006). Pemanis berdasarkan proses pembuatannya terbagi menjadi dua bagian, yaitu: 1. Pemanis alami Pemanis alami dapat diperoleh dari alam, salah satunya dapat ditemukan pada tumbuhan, salah satu jenis pemanis alami dari tumbuhan adalah tebu (Saccharum officanarum L) dan bit (Beta vulgaris L), jenis tanaman ini juga sering disebut gula alam atau sukrosa. Selain itu, pemanis alami juga dapat diperoleh dari hewan, jenis hewan yang dapat menghasilkan pemanis alami adalah lebah. Lebah menghasilkan pemanis alami dalam bentuk madu (Amalia, 2013 ; Yuliarti, 2007). Gula tidak mengandung vitamin, tidak ada serat kasar, hanya sejumlah kecil mineral akan tetapi mengandung nilai kalori yang tinggi. Gula adalah sumber kalori yang miskin nilai gizinya. Jika mengkonsumsi pemanis alami (gula) secara berlebihan, kemungkinan besar akan mengalami resiko kegemukan. (Amalia, 2013 ; Sulami, 2009).
2. Pemanis buatan Pemanis buatan merupakan bahan tambahan pangan yang dapat memberikan rasa manis pada makanan, tetapi tidak memiliki nilai gizi. Pemanis buatan diperoleh melalui proses kimia dan mempunyai kemanisan yang lebih dibanding dengan pemanis alami. Salah satu contoh pemanis buatan adalah sakarin, siklamat, dan aspartam. Jenis pemanis buatan tersebut adalah jenis pemanis yang diizinkan penggunaannya dalam makanan sesuai Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 208/Menkes/Per/IV/1985 dalam jumlah yang dibatasi atau dengan dosis tertentu (Amalia, 2013 ; Yuliarti, 2007). Penggunaan pemanis buatan dan bahan kimia yang lain sesuai peraturan penggunaannya harus dibatasi karena meskipun pemanis buatan tersebut aman dikonsumsi dalam jumlah yang kecil, namun dalam jumlah tertentu dapat menimbulkan bahaya bagi kesehatan manusia, pembatasan tersebut dikenal dengan Acceptable Daily Intake (ADI) atau asupan harian yang dapat diterima tubuh. Acceptable Daily Intake (ADI) merupakan jumlah maksimal pemanis buatan dalam mg/kg berat badan yang dapat dikonsumsi tiap hari selama hidup tanpa menimbulkan efek yang merugikan kesehatan (Yuliarti, 2007). 2.2.1
Manfaat pemanis buatan Pemanis buatan sudah banyak dimanfaatkan pada pangan, baik dalam
makanan atau minuman. Penambahan pemanis buatan dalam pangan memiliki beberapa manfaat, di antaranya yaitu sebagai: 1. memenuhi kebutuhan kalori rendah untuk penderita kegemukan, seseorang yang gemuk akan berusaha untuk mengindari makanan-makanan yang
berasa manis. Gula dalam tubuh akan dimetabolisme menjadi suatu energi atau kalori. Jika penderita kegemukan mengkonsumsi makanan atau minuman manis maka akan menghasilkan energi atau kalori yang sangat banyak. Jika energi atau kalori ini tidak digunakan maka akan disimpan di dalam tubuh dalam bentuk cadangan makanan yang biasanya berupa lemak. Kemudian jika konsumsi gula sudah dicukupi oleh zat lain maka energi sisa atau kalori sisa juga akan tetap disimpan dalam bentuk lemak. Maka dari itu, untuk tetap bisa menikmati rasa manis penderita kegemukan sebaiknya mengkonsumsi makanan atau minuman dengan gula pengganti yaitu berupa pemanis buatan 2. penyalut obat, beberapa obat mempunyai rasa yang tidak enak, karena itu untuk menutupi rasa yang tidak enak dari obat tersebut biasanya dibuat obat yang bersalut dengan tambahan pemanis buatan. Pemanis buatan lebih sering digunakan untuk penyalut obat karena umumnya bersifat higroskopis dan tidak menggumpal 3. pencegah kerusakan gigi, karena pemanis sintetis memiliki rasa manis yang lebih tinggi dari pemanis alami sehingga pemakaian pemanis sintetis lebih sedikit dari pemanis alami. Dengan jumlah pemanis sintetis yang digunakan lebih sedikit maka tidak merusak gigi 4. bahan tambahan pemanis utama dalam industri makanan atau minuman karena harganya yang relatif lebih murah dan mudah didapat (Cahyadi, 2006 ; Lestari, 2011).
2.3
Siklamat Siklamat pertama kali ditemukan oleh Michael Sveda pada tahun 1937,
siklamat biasanya terdapat dalam bentuk garam natrium. Penggunaan siklamat pada awalnya hanya ditujukan untuk industri obat, yaitu untuk menutupi rasa pahit dari zat aktif obat. Siklamat ditambahkan dalam makanan dan minuman sejak tahun 1950 dan mulai dikenal secara luas sebagai bahan tambahan makanan. Nama lain dari siklamat adalah natrium sikloheksilsulfamat atau natrium siklamat. Siklamat lebih dikenal dengan nama assugrin atau sucaryl (Cahyadi, 2006). Siklamat bersifat mudah larut dalam air dengan intensitas 30 kali kemanisan sukrosa. Garam siklamat (Natrium siklamat) akan mengering pada suhu 105ºC. Memiliki rumus molekul C6H11NHSO3Na. Berbentuk hablur putih tidak berbau, bersifat tahan terhadap panas sehingga sering digunakan dalam pangan yang proses pengolahannya menggunakan suhu tinggi seperti makanan kalengan. Berbeda dengan sakarin yang memiliki rasa manis dengan rasa pahit, siklamat hanya berasa manis tanpa adanya rasa pahit (Cahyadi, 2006). Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No.722/Menkes/Per/IX/88, kadar maksimum siklamat adalah 3 g/kg berat badan, sedangkan menurut World Health Organization (WHO) batas konsumsi harian siklamat yang aman adalah 11 mg/kg berat badan. Pemanis ini hanya diperbolehkan pada pangan rendah kalori dan pangan tanpa penambahan gula, penggunaan siklamat pada makanan dan minuman kemasan harus mencantumkan komposisi (Sulami, 2009). Pemanfaatan siklamat sebagai pemanis ditujukan kepada seseorang yang memiliki kadar kolesterol tinggi, sehingga siklamat dapat menjadi suatu zat
pemanis yang rendah kalori. Di dalam makanan atau minuman yang dikonsumsi oleh masyarakat luas, penggunaan siklamat harus dalam kadar yang sesuai, sehingga penggunaan siklamat harus dibatasi karena jika berlebih dapat menganggu kesehatan. Diantaranya dapat menimbulkan sakit kepala, kehilangan daya ingat, iritasi, alergi, kebotakan dan kanker. Campuran siklamat akan menimbulkan gangguan kesehatan karena hasil metabolisme siklamat yang disebut sikloheksilamin bersifat memicu terbentuknya kanker sehingga ekskresi (pembuangan) melalui urin dapat merangsang pertumbuhan tumor dan mampu menyebabkan atropi yaitu pengecilan testikular dan kerusakan kromosom. Pengkonsumsian siklamat dalam dosis yang lebih akan mengakibatkan kanker kandung kemih. Bahaya kesehatan ini tidak berlangsung seketika tetapi bisa muncul bertahun-tahun setelah mengkonsumsi makanan tersebut yang disebut dengan efek jangka panjang penggunaan siklamat (Lestari, 2011 ; Yuliarti, 2007). Senyawa sikloheksilamin yang merupakan senyawa hasil metabolisme siklamat tidak bisa dicerna oleh tubuh. Senyawa ini akan mengendap di dalam tubuh dan memicu berbagai kerusakan (Lestari, 2011).
2.4
Madu Madu merupakan cairan kental seperti sirup bewarna bening atau kuning
pucat sampai cokelat kekuningan yang berasal dari lebah. Warna madu bervariasi tergantung kepada komposisi zat warna yang terkandung di dalamnya. Zat warna yang membentuk warna madu antara lain xanthophil, carotin dan chlorophyl. Lebah madu menghasilkan madu yang dibuat dari nektar sewaktu musim tumbuhan berbunga, pada saat nektar dikumpulkan dari bunga oleh lebah pekerja, bahan tersebut masih mengandung kadar air yang tinggi, setelah lebah mengubah nektar menjadi madu dengan kandungan air yang rendah dan sukrosa diubah menjadi fruktosa dan glukosa. Rasa khas madu, yaitu manis dengan aroma yang enak dan segar. Jika dipanaskan, aromanya menjadi lebih kuat tetapi bentuknya tidak berubah. Bobotnya per ml bekisar antara 1,352 gram sampai 1,358 gram (Sihombing, 1997 ; Sarwono, 2001). Komponen utama madu adalah glukosa dan fruktosa. Senyawa dan bahanbahan lain yang terkandung dalam madu ialah protein, asam amino, enzim, asamasam organik , mineral, tepung sari bunga, sukrosa, dan maltosa. Di dalam madu juga terkandung sedikit kapang dan ragi (Winarno, 1982). Madu berdasarkan asal nektarnya dikelompokkan menjadi 3 golongan, yaitu: 1. madu flora adalah madu yang dihasilkan dari nektar bunga yang berasal dari satu jenis bunga disebut madu monoflora, sedangkan madu yang berasal dari aneka ragam bunga disebut madu poliflora. Madu poliflora
mengandung enzim dan asam amino bebas yang jumlahnya lebih banyak dibandingkan dengan madu monoflora 2. madu ektraflora adalah madu yang dihasilkan dari nektar di luar bunga, seperti daun, cabang, atau batang tanaman 3. madu embun adalah madu yang dihasilkan dari cairan hasil suksesi serangga, yang kemudian eksudatnya diletakkan dibagian tanaman, selanjutnya cairan itu dihisap dan dikumpulkan oleh lebah madu (Sarwono, 2001). Madu diperoleh dari sarang lebah yang telah diproses dengan pemanasan sampai 70ºC, berdasarkan proses pengambilannya madu digolongkan menjadi dua jenis, yaitu: 1. madu ekstraksi (Extracted Honey) yaitu madu yang diperoleh dari sarang yang tidak rusak, diambil dengan menggunakan alat yang disebut ekstraktor 2. madu paksa (Stained Honey) yaitu madu yang diperoleh dengan cara merusak sarang lebah, dilakukan dengan cara pengepresan, penekanan atau dengan cara lainnya (Sarwono, 2011). 2.4.1
Mutu dan kualitas madu Madu yang berasal dari lebah yang diternak lebih baik mutunya
dibandingkan madu yang berasal dari lebah liar. Madu yang berasal dari lebah ternakan relatif seragam mutunya dari masa ke masa, karena sumber nektarnya adalah bunga yang pohonnya sudah dibudidayakan (Sarwono, 2001).
Kualitas madu dapat dilihat dari warna, rasa, kekentalan, kadar air dan aroma pada madu, namun hal tersebut tergantung dari asal tanaman dan perkembangan teknologi pengolahannya. Warna madu tergantung dari tanaman asal madu tersebut, namun tingkatan pemanasan pada saat pengolahan juga mempengaruhi warna. Aroma madu ada hubungannya dengan warna, semakin gelap warna madu maka aromanya akan semakin keras atau tajam, namun aroma madu mudah menguap sehingga jika tidak dijaga dengan baik aromanya akan menghilang (Suprapto, 1993). Untuk menjaga kualitas, madu tidak boleh disimpan dalam wadah logam guna mencegah terjadinya reaksi kimia dan penyerapan logam berbahaya. Penyimpanan madu terbaik adalah didalam wadah gelas atau botol plastik (Sarwono, 2001). Banyaknya kadar air pada madu menentukan keawetan madu. Madu dengan kadar air tinggi mudah berfermentasi. Fermentasi terjadi karena terdapat jamur di dalam madu, jamur dapat tumbuh dengan aktif apabila kadar air dalam madu tinggi, semakin tinggi kadar air dalam madu maka semakin cepat madu berfermentasi. Kadar air pada madu yang baik adalah bekisar 17-18%. Kandungan air dalam madu dapat diukur dengan alat yang dinamakan hydrometer dan refractometer (Suprapto, 1993). 2.4.2
Manfaat madu Madu mempunyai banyak manfaat, beberapa manfaat madu adalah sebagai
berikut: 1. merupakan suplemen makanan yang baik bagi tubuh
2. mencegah terjadinya peragian dalam saluran pencernaan, dan kandungan gizinya cepat diserap tubuh 3. membantu pembentukan darah 4. mencegah pertumbuhan mikroba seperti Salmonella, Shigella, E.colli, dan V.cholerae yang menyebabkan diare. 5. mengobati penyakit luar seperti luka bakar, bibir pecah-pecah, sariawan dan penyakit kulit. 6. mengatur bekerjanya usus besar, baik untuk kerja hati, bermanfaat bagi kesehatan paru-paru dan dapat menyembuhkan penyakit grastitis (Sarwono, 2001).