BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Pengertian Pajak Pajak adalah suatu pungutan yang merupakan hak prerogatif pemerintah
dimana pungutan tersebut didasarkan pada undang-undang dan pemungutannya dapat dipaksakan kepada subyek pajak dimana tidak ada balas jasa yang langsung dapat ditunjukkan penggunaannya (Mangkoesoebroto, 2001). Pengertian Pajak tersebut adalah salah satu dari berbagai asumsi yang dikemukakan oleh para ahli, walaupun definisi yang diutarakan berbeda-beda, namun masing-masing memiliki tujuan yang sama. Seperti yang dijabarkan oleh Andriani (2000) berikut : “Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh wajib pajak, yang pembayarannya menurut peraturan-peraturan tidak dapat prestasi kembali yang langsung dapat di tunjuk, dan
gunanya
adalah
untuk
membiayai
pengeluaran-pengeluaran
umum
berhubungan dengan tugas negara untuk meyelenggarakan pemerintahan”. Sedangkan definisi pajak menurut Rochmat Soemitro adalah : “ iuran rakyat kepada kas negara (peralihan kekayaan dari sektor partikelir ke sektor pemerintah) berdasarkan undang-undang (dapat di paksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal balik yang langsung dapat ditunjuk yang digunakan untuk membiayai pengeluaran umum”.
Universitas Sumatera Utara
Dari pengertian-pengertian tersebut dapat disimpulkan, bahwa ciri-ciri yang melekat pada pengertian pajak adalah (Mardiasmo, 2003) 1.
Pajak ialah iuran rakyat kepada kas negara Yang berhak memungut pajak hanyalah negara. Iuran tersebut berupa uang (bukan barang) yang digunakan untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat.
2.
Berdasarkan undang-undang Pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan undang-undang serta aturan pelaksanaannya. Pajak adalah iuran wajib yang harus dibayarkan oleh rakyat kepada negara, dalam hal ini pajak merupakan bagian dari hukum publik yang mengatur hubungan hukum antara negara/pemerintah dengan warganya/rakyatnya dimana negara mengambil kekayaan dari masyarakat dan dikembalikan ke masyarakat. Undang-Undang Pajak dibuat dengan tujuan sebagai aturan dasar pemungutan pajak, sehingga pemungutan pajak berdasarkan atas kekuatan undang-undang beserta aturan pelaksanaannya. Hal ini untuk menghindari adanya tindakan sewenang-wenang dalam memungut pajak dan supaya masyarakat juga tidak semaunya untuk membayar pajak.
3.
Dapat dipaksakan Yang dimaksud dengan dapat dipaksakan adalah bila hutang pajak tidak dibayar, hutang itu dapat ditagih dengan menggunakan kekuasaan, salah satunya dengan menggunakan media surat paksa, bila perlu ditindak atau dikenai sanksi apabila melakukan perlawanan.
Universitas Sumatera Utara
4.
Tiada mendapat kontra prestasi atau timbal balik yang langsung ditunjuk Tujuannya untuk membedakan antara pajak dan retribusi. Pembayar pajak tidak dapat menikmati secara langsung atas pajak yang di bayar.
5.
Untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum pemerintah Dalam negara terdapat Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, dan pajak merupakan salah satu penyokong utama dalam penerimaan yang kemudian digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran dari pemerintah, jadi atas pendapatan dari pajak tidak hanya dinikmati oleh pembayar pajak saja akan tetapi juga oleh rakyat pada umumnya.
2.2.
Penerimaan Pajak Penerimaan negara terdiri dari penerimaan dalam negeri Pemerintah, dan
hibah. Penerimaan dalam negeri Pemerintah terdiri atas penerimaan perpajakan dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (Dumairy,1997). Dewasa ini pajak merupakan tumpuan pemerintah dalam menjalankan roda pemerintahan, penerimaan pajak merupakan sumber penerimaan negara terbesar saat ini yaitu mencapai 80% dari penerimaan negara. Direktorat Jenderal Pajak sebagai bagian dari Kementerian Keuangan Republik Indonesia mempunyai tanggung jawab untuk menarik pajak dari masyarakat. Belakangan ini masyarakat lebih kritis dan berani dalam menyuarakan keinginannya akan pelayanan yang baik, khususnya pelayanan publik yang diberikan oleh pemerintah. Seiring dengan bertambahnya beban yang harus ditanggung masyarakat, bertambah pula tuntutan masyarakat akan tersedia pelayanan publik yang berkualitas tinggi. Direktorat
Universitas Sumatera Utara
Jenderal Pajak (DJP) sebagai salah satu institusi pemerintah di bawah Kementerian Keuangan yang mengemban tugas untuk mengamankan penerimaan pajak negara dituntut untuk selalu dapat memenuhi pencapaian target penerimaan pajak yang senantiasa meningkat dari tahun ke tahun di tengah tantangan perubahan yang terjadi dalam kehidupan sosial maupun ekonomi di masyarakat. Berdasarkan kewenangan dalam pemungutannya, pajak dapat digolongkan menjadi Pajak Pusat dan Pajak Daerah. Dari kedua jenis pajak tersebut, yang akan diuraikan berikut ini hanyalah jenis-jenis pajak pusat karena hanya pajak pusat yang merupakan penerimaan pemerintah pusat yang menjadi bagian dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Jenis pajak yang dikelola oleh Pemerintah Pusat dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sesudah reformasi perpajakan 1983 adalah sebagai berikut : 1. Pajak Penghasilan (PPh) Menurut Mansury (2002), PPh sesuai undang-undang tentang pajak penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun. Supramono
dan
Damayanti
(2005)
menambahkan
bahwa
pajak
penghasilan adalah pungutan resmi oleh pemerintah yang ditujukan kepada masyarakat yang berpenghasilan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran pemerintah.
Universitas Sumatera Utara
2. Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN dan PPnBM) Menurut Supramono dan Damayanti (2005) Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak yang dikenakan terhadap setiap pertambahan nilai dari suatu produk atau jasa yang dihasilkan oleh pengusaha kena pajak. Sedangkan Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah pajak yang dikenakan terhadap barang-barang yang tergolong mewah. 3. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Pajak Bumi dan Bangunan menurut Supramono dan Damayanti (2005) adalah pajak yang dikenakan terhadap bumi dan tubuh bumi serta bangunan yang terletak di atas bumi tersebut. Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 12 tahun 1985 tentang pajak bumi dan bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 tahun 1994 pajak yang dikenakan atas bumi dan/atau bangunan. Yang dimaksud bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada di bawahnya, sedangkan bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau bangunan. 4. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Menurut Undang-Undang Nomor 21 tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2000 Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Supramono dan Damayanti (2005) berpendapat bahwa BPHTB adalah penyerahan sebagian dari nilai ekonomis dari perolehan hak atas tanah dan atau bangunan.
Universitas Sumatera Utara
5. Bea Materai Dalam The Indonesian Tax in Brief disebutkan bahwa Bea Materai adalah pajak atas dokumen yang dipakai masyarakat dalam lalu lintas hukum. Yang dimaksud dengan dokumen disini adalah kertas yang berisikan tulisan yang mengandung arti dan maksud tentang perbuatan, keadaan atau kenyataan bagi seorang dan atau pihak-pihak yang berkepentingan. Surat perjanjian, surat kuasa, surat pernyataan dan akte adalah sebagian contoh dari dokumen yang dikenakan bea materai. 6. Bea Masuk Menurut Undang-Undang Nomor 10 tahun 1995 tentang kepabeanan, yang dimaksud bea masuk adalah pungutan oleh negara berdasarkan undang-undang yang dikenakan terhadap barang-barang yang diimpor. Dengan adanya pungutan tersebut, maka bea masuk selain berfungsi sebagai sumber penerimaan negara juga sebagai pengatur arus impor, baik untuk barang konsumsi maupun barang yang diperlukan industi dalam negeri. Dengan demikian, penerimaan bea masuk tidak semata-mata ditujukan sebagai penerimaan untuk mengisi kas negara, tetapi juga berfungsi sebagai alat pengaturan (regulator). 7. Cukai Menurut Undang-Undang Nomor 11 tahun 1995 tentang Cukai, yang dimaksud cukai adalah pungutan oleh negara berdasarkan undang-undang yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik perlu untuk dibatasi, diawasi produksinya dan peredarannya, karena akan berpengaruh langsung terhadap kesehatan dan ketertiban sosial. Dengan
Universitas Sumatera Utara
demikian, peranan cukai tidak saja berorientasi pada penerimaan negara, melainkan mempertimbangkan pula aspek pembatasan produksi dan konsumsi. Oleh karena itu, dasar pertimbangan besarnya penerimaan cukai tergantung dari jumlah barang yang kena cukai, tarif cukai dan harga dasar barang kena cukai. 8. Pajak Ekspor Yang dimaksud dengan pungutan ekspor adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang akan diekspor. Pengaturan tarif pajak ekspor ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan, dengan memperhatikan harga patokan ekspor dan jumlah wajib pajak valuta asing. Kebijakan yang ditempuh dalam pungutan pajak ekspor ini bertujuan untuk mengendalikan harga pasar di dalam negeri. Khusus penerimaan perpajakan di sektor Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), terhitung 1 Januari 2011 seluruh penerimaan dialihkan ke pemerintah daerah setempat, sedangkan di sektor Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sejak 1 Januari 2012 sebagian daerah, termasuk Medan telah mengalihkan penerimaan di sektor tersebut kepada Pemerintah Daerah (Pemko Medan). Peranan penerimaan perpajakan sebagai salah satu sumber penting dalam pembiayaan negara akan terus ditingkatkan dengan melakukan berbagai evaluasi dan kebijakan penyempurnaan. Hal tersebut dimaksudkan agar pelaksanaan sistem perpajakan dapat lebih efektif dan efesien sejalan dengan perkembangan globalisasi yang menuntut daya saing tinggi dengan negara lain. Dengan demikian, diharapkan prinsip-prinsip perpajakan yang sehat seperti persamaan, kesederhanaan dan keadilan dapat tercapai sehingga tidak hanya berdampak
Universitas Sumatera Utara
terhadap peningkatan kapasitas fiskal, melainkan juga terhadap perkembangan kondisi ekonomi makro. Langkah-langkah reformasi perpajakan selama ini dilakukan telah berhasil mendorong peningkatan penerimaan perpajakan secara cukup signifikan, meskipun masih banyak menghadapi kendala terutama berkaitan dengan kapasitas administrasi pemungutan pajak. Langkah-langkah reformasi perpajakan tersebut antara lain meliputi langkah-langkah pembaharuan kebijakan (tax policy reform) dan langkah-langkah pembaharuan adminstrasi kebijakan (tax administrative reform). Langkah-langkah pembaharuan kebijakan perpajakan ini dilaksanakan antara lain melalui perubahan UU KUP, UU PPh, perubahan UU PPN dan PPnBM, perubahan UU PBB, perubahan UU Bea Materai, serta UU Kepabeanan dan UU Cukai. Pada intinya Paket Amandemen Undang-Undang Perpajakan ini lebih dititikberatkan pada pemberian rasa keadilan dan kepastian hukum di bidang perpajakan, yang bertujuan untuk mendorong investasi serta mengoptimalkan penerimaan perpajakan. 2.3.
Fungsi Pajak Menurut Mardiasmo (2003), pajak mempunyai fungsi sebagai berikut:
a.
Fungsi Penerimaan (Budgetair) Pajak berfungsi sebagai sumber dana bagi pemerintah yang diperuntukkan membiayai pengeluaran-pengeluaran pemerintah.
b. Fungsi mengatur (Regulator) Pajak
berfungsi
sebagai
alat
untuk
mengatur
atau
melaksanakan
kebijaksanaan pemerintah di bidang sosial dan ekonomi.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan fungsi di atas dapat disimpulkan bahwa pajak sebagai fungsi penerimaan merupakan sumber dana utama bagi penerimaan dalam negeri jadi kontribusi terhadap pembangunan juga cukup besar, maka tidaklah heran pemungutan atas pajak bisa dipaksakan kepada orang-orang yang memang wajib dikenakan pajak, tentunya semua sudah diatur dalam undang-undang. Dalam fungsi mengatur pajak yaitu pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang sosial ekonomi, misalnya dengan rendahnya tarif pemungutan pajak maka bisa mendorong investasi.
2.4.
Azas-Azas Dalam Perpajakan Teori Klasik tentang sistem perpajakan yang baik dimulai sejak Adam
Smith dalam bukunya ”The Wealth of Nations” (Waluyo 2006) yang menyatakan bahwa pemungutan pajak hendaknya didasarkan pada : a.
Equality Pemungutan pajak harus bersifat adil dan merata, yaitu dikenakan kepada orang pribadi yang harus sebanding dengan kemampuan membayar pajak atau ability to pay dan sesuai dengan manfaat yang diterima. Adil dimaksudkan bahwa setiap wajib pajak menyumbangkan uang untuk pengeluaran pemerintah sebanding dengan kepentingan dan manfaat yang diminta.
b.
Certainty Penetapan pajak itu tidak ditentukan sewenang-wenang. Oleh karena itu, wajib pajak harus mengetahui secara jelas dan pasti besarnya pajak yang terutang, kapan harus dibayar, serta batas waktu pembayaran.
Universitas Sumatera Utara
c.
Convenience Kapan wajib pajak itu harus membayar sebaiknya sesuai dengan saat yang tidak menyulitkan wajib pajak sebagai contoh pada saat wajib pajak memperoleh penghasilan. Sistem pemungutan ini disebut pay as you earn.
d.
Economy Secara ekonomi biaya pemungutan dan biaya pemenuhan kewajiban bagi wajib pajak diharapkan seminimum mungkin, demikian pula beban yang dipikul wajib pajak. Azas keadilan dalam sistem perpajakan telah banyak didiskusikan secara
luas, dan hal ini merupakan bagian terpenting dalam mengevaluasi setiap pengajuan dalam pembuatan kebijakan perpajakan. Musgrave (Laksana, 2001) memberikan pandangan yang adil tentang distribusi beban pajak, beban administrasi dan pengaruh insentif pajak terhadap penerimaan pajak. Diantara keempat azas diatas, Musgrave juga menekankan pada tiga azas lainnya, yaitu : azas netralitas (neutrality), azas perbaikan (reformation), dan azas kestabilan dan pertumbuhan (growth and stability).
2.5. Cara Pemungutan Pajak Dalam memungut pajak dikenal ada tiga sistem pemungutan (Mardiasmo, 2001), yaitu : 1.
Official Assessment System adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada fiskus untuk menentukan besarnya pajak yang terutang.
Universitas Sumatera Utara
2.
Self Assessment System adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang, kepercayaan, tanggung jawab kepada wajib pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus diabayar.
3.
With Holding System adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga untuk memotong atau memungut besarnya pajak yang terutang terhadap wajib pajak. Sedangkan
Tjahjono
dan
Husein
(2000),
mangutarakan
bahwa
pemungutan pajak dilakukan berdasarkan tiga stelsel, yaitu : 1.
Stelsel Nyata (riil stelsel) adalah pengenaan pajak didasarkan pada objek (penghasilan) yang nyata, sehingga pemungutannya baru dapat dilakukan pada akhir tahun pajak, yakni setelah penghasilan yang sesungguhnya telah dapat diketahui sehingga cenderung lebih realistis tapi pengenaan pajak tidak bisa pada saat langsung, jadi pengenaannya baru bisa dilakukan pada akhir periode.
2.
Stelsel Anggapan (fictive stelsel) adalah pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan yang diatur oleh undang-undang. Pada sistem ini pajak dapat di bayar selama tahun berjalan tanpa menunggu akhir tahun jadi terkesan agak ringan sehingga sehingga lebih meringankan wajib pajak. Di lain sisi bila pajak dapat dibayarkan pada akhir tahun adanya kecendrungan bahwa pajak tidak dibayar berdasarkan keadaan yang sesungguhnya.
3.
Stelsel Campuran (accrual stelsel) adalah kombinasi antara stelsel nyata dan stelsel anggapan. Pada awal tahun, besarnya pajak dihitung berdasarkan suatu anggapan, kemudian pada akhir tahun besarnya pajak disesuaikan dengan
Universitas Sumatera Utara
keadaan yang sebenarnya. Apabila dalam suatu tahun didapat bahwa pajak lebih besar dari anggapan maka wajib pajak harus menambah, bila pada kenyataannya yang dibayar terlampau besar maka wajib pajak bisa meminta pengembalian kelebihan. Dari penjelasan diatas, di Indonesia pada umumnya menggunakan metode stelsel
campuran
dengan
sistem
self
assessment,
yaitu
wajib
pajak
memeperhitungkan sendiri besarnya kewajiban perpajakan, dimana pada akhir tahun apabila terdapat kekurangan, wajib pajak harus membayar kekurangan tersebut dengan media yang dapat digunakan, sedangkan apabila pajak yang telah disetor wajib pajak melebihi dari yang seharusnya, maka wajib pajak dapat mengajukan pengembalian dengan sarana restitusi.
2.6. Faktor-Faktor Ekonomi Eksternal Yang Mempengaruhi Penerimaan Pajak
Di negara-negara yang sedang berkembang sebagian besar penerimaan pajaknya berasal dan sumber pajak tak langsung. Menurut Nafziger (1990) dan dalam Yuzrat and Makhfatih (Nasution, 2003) menyebutkan bahwa proporsi PDB terhadap pajak langsung pada negara sedang berkembang lebih rendah daripada pajak langsung dari negara-negara maju. Hal ini dikarenakan pada negara-negara yang sedang berkembang lebih rendah golongan berpenghasilan tingginya. Dalam perkembangannya akan terjadi proses pergeseran dari dominasi pajak tidak langsung menjadi pajak langsung sesuai dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi diiringi dengan peningkatan pendapatan perkapita penduduknya.
Universitas Sumatera Utara
Dalam jangka panjang peranan pajak langsung akan semakin penting seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang semakin pesat dan ditunjang pula dengan teknologi canggih menuju era globalisasi. Selain berfungsi sebagai pemerataan karena struktur tarifnya bersifat progresif, perkembangan hubungan internasional yang semakin maju kearah liberal dan global mengharuskan pemerintah untuk menurunkan tarif impornya dalam rangka peningkatan daya saing ekonomi domestik di ekonomi dunia. Konsekuensinya penerimaan pajak tidak langsung akan menjadi turun. Alternatifnya adalah memobilisasi penerimaan pajak yang bertumpu pada pajak langsung seperti pajak penghasilan. 2.6.1. Pertumbuhan Ekonomi a.
Hubungan Pajak dan Pertumbuhan Ekonomi Pajak mempengaruhi permintaan agregat {AD = C + I + G (bila
perekonomian tertutup)} secara tidak langsung melalui disposable income dan selanjutnya terhadap pengeluaran konsumsi.
Apabila pajak naik sebesar ∆T
maka disposable income turun dengan jumlah yang sama dan pengeluaran konsumsi juga turun sebesar : ∆C = -c ∆T dimana c adalah Marginal Propensity to Consume
(MPC), dan selanjutnya ∆C ini menurunkan AD
melalui proses multiplier sebesar 1/1-c x ∆C atau -c/1-c x ∆T.
Dengan
demikian kenaikan pajak cenderung untuk menurunkan output dan bersifat deflasioner. Akan
tetapi,
apabila
penerimaan
pajak
digunakan
untuk
pembelian barang/jasa (∆G) maka pengaruh pajak ini belum tentu deflasioner. Apabila kenaikan penerimaan pajak sebesar ∆T seluruhnya digunakan untuk pembelian barang/jasa (∆G) maka kenaikan AD sebesar 1/1-c x ∆G.
Universitas Sumatera Utara
Pengaruh netto dari kebijakan tersebut sebesar (-c/1-c x ∆T) + (1/1-c x ∆G).
Tetapi karena seluruh kenaikan pajak digunakan untuk pembelian
barang/jasa maka ∆T = ∆G sehingga pengaruh nettonya terhadap AD sebesar ∆AD = ∆T = ∆G.
Dengan demikian berarti, apabila penerimaan pajak
meningkat sebesar ∆T dan seluruhnya digunakan untuk pembelian barang/jasa sebesar ∆G maka akan meningkatkan permintaan agregat sebesar ∆AD.
Hal ini
terkenal dengan nama dalil Anggaran Berimbang atau Balanced Budget Multiplier (Boediono, 2001). b. Teori Pertumbuhan Ekonomi Teori Pertumbuhan Ekonomi Harold - Domar Teori Harold - Domar adalah perkembangan langsung dari teori makro Keyness
jangka
pendek
menjadi
suatu
teori
makro
jangka
panjang.
Aspek utama yang dikembangkan dari teori Keyness adalah aspek yang menyangkut peranan investasi (I) dalam jangka panjang. Dalam teori Keyness, pengeluaran investasi (I) mempengaruhi permintaan agregat (AD) tetapi
tidak
mempengaruhi
penawaran
agregat
(S).
Harold
-
Domar
melihat pengaruh investasi dalam perspektif waktu yang lebih panjang. Menurut kedua ekonom ini, pengeluaran investasi (I) tidak hanya mempunyai pengaruh (lewat proses multiplier) terhadap permintaan agregat (AD) tetapi juga terhadap penawaran agregat (S) melalui pengaruhnya terhadap kapasitas produksi. Dalam perspektif waktu yang lebih panjang ini, I menambah stok kapital (misalnya, pabrik-pabrik, jalan dan jembatan dan lain sebagainya). Jadi I = ∆K, dimana K adalah stok kapital dalam masyarakat. (Boediono, 1999).
Universitas Sumatera Utara
Suatu daerah dapat dikatakan mengalami pertumbuhan ekonomi yang positif apabila kuantitas barang dan jasa yang dihasilkan daerah tersebut mengalami kenaikan. Namun demikian dalam kenyataannya sangat sulit untuk mengetahui berapa jumlah barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu daerah dalam kurun waktu tertentu. Oleh karena itu untuk mengukur pertumbuhan ekonomi atau pertumbuhan output dilakukan dengan menggunakan perubahan nilai moneternya (uang) yang tercermin dalam PDRB. Perubahan PDRB menunjukkan adanya perubahan barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu perekonomian dalam jangka waktu tertentu (Rahardja dan Manurung, 2004). Model Harrod-Domar dibangun berdasarkan asumsi-asumsi : 1)
Perekonomian dalam kondisi full employment dan closed economy.
2)
Tidak ada campur tangan pemerintah
3)
APS sama dengan MPS, dan MPS dianggap konstan
4)
Rasio stok kapital terhadap pendapatan dianggap tetap
5)
Tidak ada penyusutan barang capital
6)
Tingkat harga umum konstan (upah riil sama dengan pendapatan riil)
7)
Tidak ada perubahan tingkat bunga.
Pertumbuhan Ekonomi Solow – Swan Teori
pertumbuhan neoklasik dikembangkan oleh Robert M. Solow
(1970) dari Amerika Serikat dan T.W. Swan dari Australia (1956). Teori mereka disebut juga dengan istilah teori neoklasik. Model Solow-Swan menggunakan unsur pertumbuhan penduduk, akumulasi kapital, kemajuan teknologi, dan besarnya output yang saling berinteraksi. Perbedaan utama dengan model HarrodDomar adalah masuknya unsur kemajuan teknologi dalam model Solow-Swan ini.
Universitas Sumatera Utara
Selain
itu,
Solow-Swan
menggunakan
model
fungsi
produksi
yang
memungkinkan adanya substitusi antara kapital (K) dan tenaga kerja (L). Tingkat pertumbuhan menurut mereka berasal dari tiga sumber yaitu : akumulasi modal, bertambahnya penawaran tenaga kerja, dan kemajuan teknologi. Teknologi ini terlihat dari peningkatan skill atau kemajuan teknik sehingga produktivitas meningkat. Dalam model Solow-Swan, masalah teknologi dianggap fungsi dari waktu. Teori Solow-Swan menilai bahwa dalam banyak hal mekanisme pasar dapat menciptakan keseimbangan sehingga pemerintah tidak perlu terlalu banyak mempengaruhi atau mencampuri pasar. Campur tangan pemerintah hanya sebatas kebijakan fiskal daan kebijakan moneter. Teori Neoklasik sebagai penerus teori Klasik menganjurkan agar kondisi selalu diarahkan untuk menuju pasar persaingan sempurna. Dalam pasar persaingan sempurna perekonomian bisa tumbuh optimal. Sama halnya dengan model ekonomi klasik, kebijakan yang perlu ditempuh adalah meniadakan berbagai hambatan dalam perdagangan, perpindahan orang, barang dan modal. Harus dijamin kelancaran arus barang, modal, tenaga kerja dan perlunya perluasan informasi pasar. Sarana dan prasarana perhubungan dibangun dengan baik, dan terjaminnya keamanan, ketertiban dan kestabilan politik. Model Neoklasik sangat memperhatikan kemajuan teknologi yang dapat ditempuh melalui peningkatan sumberdaya manusia.
Universitas Sumatera Utara
2.6.2. Inflasi Salah satu indikator penting dalam ekonomi makro yang berdampak luas terhadap berbagai sektor ekonomi adalah inflasi. Inflasi adalah kecenderungan dari harga-harga untuk naik secara umum dan terus menerus, Sukirno (2002). Akan tetapi bila kenaikan harga hanya dari satu atau dua barang saja tidak disebut inflasi, kecuali bila kenaikan tersebut meluas atau menyebabkan kenaikan sebagian besar dari harga barang-barang lain. (Boediono : 2000). Kenaikan hargaharga barang itu tidaklah harus dengan persentase yang sama. Inflasi merupakan kenaikan harga secara terus menerus dan kenaikan harga yang terajadi pada seluruh kelompok barang dan jasa, Pohan (2008:158). Inflasi dalam arti sempit adalah peningkatan harga barang dan jasa kebutuhan masyarakat secara rata-rata. Kenaikan dalam harga barang dan jasa yang biasa terjadi jika permintaan bertambah dibandingkan dengan jumlah penawaran atau persediaan barang di pasar, dalam hal ini lebih banyak uang beredar yang digunakan untuk membeli barang dibanding dengan jumlah barang dan jasa, namun tidak semua yang namanya kenaikan harga selalu diidentikkan dengan inflasi, misalnya kenaikan harga pada hari Lebaran, ini hanya gejolak pasar yang terjadi sesaat saja dan tidak berlangsung terus- menerus. Inflasi akan mengurangi daya beli uang yang telah diperoleh masyarakat dengan susah payah. Apabila haga naik, tiap lembar uang yang dihasilkannya hanya akan mampu membeli barang dan jasa dalam jumlah yang sedikit. Jadi, kelihatannya inflasi secara langsung telah menurunkan standar hidup. Namun dipihak lain, ketika harga naik, pembeli barang dan jasa akan mengeluarkan lebih banyak uang untuk apa yang mereka beli, pada saat yang sama penjual barang dan
Universitas Sumatera Utara
jasa mendapatkan lebih banyak uang dari penjualan mereka. Karena kebanyakan orang mendapatkan penghasilan dengan menjual jasa mereka, seperti para tenaga kerja, penghasilan juga semakin meningkat sejalan kenaikan harga. Jadi, inflasi sendiri tidak mengurangi daya beli riil masyarakat. Ketika laju inflasi sebesar 6 % mengurangi nilai riil dari kenaikan sebesar 4 %, pekerja mungkin merasa dirinya telah diperdaya. Sebenarnya pendapatan riil ditentukan oleh variabel- variabel riil seperti modal fisik, SDM, SDA dan ketersediaan teknologi produksi. Pendapatan nominal ditentukan oleh faktor-faktor tersebut dan tingkat harga keseluruhan. Bila pendapatan nominal cenderung sama dengan kenaikan harga, berarti inflasi bukan merupakan suatu masalah. Namun para ekonom telah mengidentifikasi beberapa kerugian
akibat
inflasi.
Masing-masing
kerugian
menunjukkan
bahwa
pertumbuhan terus menerus pada jumlah uang yang beredar sesungguhnya memiliki dampak pada variabel-variabel riil tersebut. Ada berbagai kebijakan yang biasa dipergunakan oleh pemerintah dalam menangani permasalahan ekonomi, misalnya kebijakan moneter dan kebijakan fiskal. Target inflasi merupakan salah satu bentuk kebijakan moneter yang ditetapkan oleh pemerintah Indonesia dalam upaya pemulihan kondisi ekonomi nasional. Dalam hal ini Bank Indonesia selaku bank sentral menetapkan target laju inflasi untuk periode jangka waktu tertentu. Dengan demikian, kebijakan target inflasi lebih berorientasi ke depan (forward looking) dibanding kebijakankebijakan moneter sebelumnya (yang oleh BI disebut juga kebijakan konvensional).
Universitas Sumatera Utara
Di sektor fiskal, hampir semua pajak mengganggu insentif, menyebabkan masyarakat mengubah sikap mereka dan alokasi sumber – sumber daya dalam perekonomian menjadi kurang efisien. Akan tetapi banyaknya pajak menimbulkan lebih banyak masalah karena adanya inflasi, karena pembuat hukum sering kali gagal memperhitungkan inflasi ketika merumuskan undang-undang perpajakan. Para ekonom yang telah mempelajari undang-undang pajak menyimpulkan bahwa inflasi cenderung menaikkan beban pajak pendapatan yang berasal dari tabungan, tidak melihat keuntungan riil dari penjualan sejumlah aktiva. Salah satu solusi bagi masalah ini dari pada menghilangkan inflasi adalah menyusun daftar sistem pajak, artinya hukum pajak dapat ditulis ulang untuk memperhitungkan dampak inflasi. Pada dunia yang ideal, hukum pajak akan ditulis dalam rangka mencegah inflasi mengubah tanggungan pajak riil seseorang. Walaupun secara eksplisit inflasi tidak dimasukkan kedalam penentuan target pajak. Namun secara implisit variabel inflasi dimasukkan kedalam variabel Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) nominal karena didalam perhitungan PDRB nominal memasukkan perubahan harga. Collin Clark (Mangkoesubroto, 1993) mengemukakan hipoteisis tentang batas kritis perpajakan. Dikatakan bahwa jika kegiatan sektor pemerintah, yang diukur dengan pajak dan penerimaan-penerimaan lain, melebihi 25% dari total kegiatan ekonomi, maka yang terjadi adalah inflasi. Dasar yang dikemukakan adalah bahwa pajak yang tinggi akan mengurangi gairah kerja. Akibatnya produktivitas akan turun dengan sendirinya dan ini akan mengurangi penawaran agregat. Di lain pihak, pengeluaran pemerintah yang tinggi akan berakibat pada naiknya permintaan agregat. Inflasi terjadi karena adanya keseimbangan baru
Universitas Sumatera Utara
yang timbul sebagai akibat adanya kesenjangan antara permintaan agregat dan penawaran agregat. Hubungan Pajak Penghasilan dengan inflasi dapat dilihat dari tulisan Dr. Friedrich Heneman, seorang head of the department ”Corporate Taxation and Public Finance” pada Centre for European Economic Research (ZEW) di Mannheim, Jerman, yang berjudul ”After the death of Inflation: Will Fiscal drag survive?” dia menyatakan : ”Declining inflation rates might have negative consequence for tax revenues. Phenomena such as the inflationary bracket creep in a progressive income tax system do not work any longer. With this background, the paper analyses the extent of fiscal for OECD countries since 1965. Some consideration of the role of money illusion and indexation in this context lays the theoretical base. Aframework is presented that allows for the classification of fiscal structures with regard to the type of fiscal drag (boosting tax revenues). The subsequent econometric panel analysis is performed for total and dissaggregated government revenues. The results back theoretical considerations of inflation’s impact on different kinds of taxes, which tends to be positive for individual income taxes and social security contributions and is negative for corporate income taxation. The paper concludes that both declining inflation and changing tax structures limit the potential for future fiscal drag. Dari tulisan di atas bahwa dapat kita simpulkan bahwa penurunan inflasi membawa pengaruh yang negatif pada penerimaan pajak. Inflasi memiliki pengaruh yang berbeda-beda untuk setiap jenis pajak, inflasi memiliki pengaruh yang positif terhadap Pajak Penghasilan Orang Pribadi dan kontribusi sekuriti,
Universitas Sumatera Utara
akan tetapi inflasi memiliki pengaruh yang negatif terhadap Pajak Penghasilan Perusahaan. 2.6.3. Jumlah wajib pajak Di dalam Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 yang telah diperbaharui terakhir dengan Undang-undang No.16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, pada pasal 1 angka 2 terdapat pengertian Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Program kebijakan ekstensifikasi dalam tahun 2010 dilaksanakan melalui dua kegiatan utama yaitu pengenaan pajak atas surplus bank Indonesia dan penambahan subjek pajak orang pribadi. Penambahan wajib pajak akan terus dilakukan melalui tiga pendekatan utama yaitu pendekatan berbasis pemberi kerja dan bendahara pemerintah, pendekatan berbasis properti dan pendekatan berbasis profesi. Kegiatan ekstensifikasi merupakan kegiatan yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk memperluas atau menambah jumlah wajib pajak yang nantinya diharapkan akan menambah penerimaan negara dari sektor perpajakan. 2.6.4. Investasi Definisi Investasi atau penanaman modal menurut para ahli ekonomi merupakan ”pengeluaran-pengeluaran untuk membeli barang-barang modal dan peralatan – peralatan produksi dengan tujuan untuk mengganti dan terutama menambah barang-barang modal dalam perekonomian yang akan digunakan untuk memproduksikan barang dan jasa di masa depan”. Para ahli ekonomi
Universitas Sumatera Utara
mengatakan bahwa ekspor dan investasi merupakan “ engine of growth “ Oleh Karena itu, Meningkatnya pertumbuhan ekonomi suatu negara atau daerah biasanya di dukung oleh peningkatan Ekspor dan Investasi. Menurut Sunariyah (2003:4): “Investasi adalah penanaman modal untuk satu atau lebih aktiva yang dimiliki dan biasanya berjangka waktu lama dengan harapan mendapatkan keuntungan di masa-masa yang akan datang.” Dewasa ini banyak negara-negara yang melakukan kebijaksanaan yang bertujuan untuk meningkatkan investasi baik domestik ataupun modal asing. Hal ini dilakukan oleh pemerintah sebab kegiatan investasi akan mendorong pula kegiatan ekonomi suatu negara pada umumnya dan suatu daerah secara spesifiknya, penyerapan tenaga kerja, peningkatan output yang dihasilkan, penghematan devisa atau bahkan penambahan devisa. Menurut Husnan (1996:5) menyatakan bahwa “proyek investasi merupakan suatu rencana untuk menginvestasikan sumbersumber daya, baik proyek raksasa ataupun proyek kecil untuk memperoleh manfaat pada masa yang akan datang.” Pada umumnya manfaat ini dalam bentuk nilai uang. Sedang modal, bisa saja berbentuk bukan uang, misalnya tanah, mesin, bangunan dan lain-lain. Namun baik sisi pengeluaran investasi ataupun manfaat yang diperoleh, semua harus dikonversikan dalam nilai uang. Suatu rencana investasi perlu dianalisis secara seksama. Analisis rencana investasi pada dasarmya merupakan penelitian tentang dapat tidaknya suatu proyek (baik besar atau kecil) dapat dilaksanakan dengan berhasil, atau suatu metode penjajakkan dari suatu gagasan usaha/bisnis tentang kemungkinan layak atau tidaknya gagasan usaha/bisnis tersebut dilaksanakan. Suatu proyek investasi umumnya memerlukan dana yang besar dan akan mempengaruhi perusahaan dalam jangka panjang. Oleh
Universitas Sumatera Utara
karena itu dilakukan perencanaan investasi yang lebih teliti agar tidak terlanjur menanamkan investasi pada proyek yang tidak menguntungkan. Menurut Senduk (2004:24) bahwa produk-produk investasi yang tersedia di pasaran antara lain: a. Tabungan di bank Dengan menyimpan uang di tabungan, maka akan mendapatkan suku bunga tertentu yang besarnya mengikuti kebijakan bank bersangkutan. Produk tabungan biasanya memperbolehkan kita mengambil uang kapanpun yang kita inginkan. b. Deposito di bank Produk deposito hampir sama dengan produk tabungan. Bedanya, dalam deposito tidak dapat mengambil uang kapanpun yang diinginkan, kecuali apabila uang tersebut sudah menginap di bank selama jangka waktu tertentu (tersedia pilihan antara satu, tiga, enam, dua belas, sampai dua puluh empat bulan, tetapi ada juga yang harian). Suku bunga deposito biasanya lebih tinggi daripada suku bunga tabungan. Selama deposito kita belum jatuh tempo, uang tersebut tidak akan terpengaruh pada naik turunnya suku bunga di bank. c. Saham Saham adalah kepemilikan atas sebuah perusahaan. Dengan membeli saham, berarti membeli sebagian perusahaan tersebut. Apabila perusahaan tersebut mengalami keuntungan, maka pemegang saham biasanya akan mendapatkan sebagian keuntungan yang disebut deviden. Saham juga bisa dijual kepada pihak lain, baik dengan harga yang lebih tinggi yang selisih harganya disebut capital gain maupun lebih rendah daripada kita membelinya yang selisih
Universitas Sumatera Utara
harganya disebut capital loss. Jadi, keuntungan yang bisa didapat dari saham ada dua yaitu deviden dan capital gain. d. Properti Investasi dalam properti berarti investasi dalam bentuk tanah atau rumah. Keuntungan yang bisa didapat dari properti ada dua yaitu : (a) Menyewakan properti tersebut ke pihak lain sehingga mendapatkan uang sewa. (b) Menjual properti tersebut dengan harga yang lebih tinggi. e. Barang-barang koleksi Contoh barang-barang koleksi adalah perangko, lukisan, barang antik, dan lain-lain. Keuntungan yang didapat dari berinvestasi pada barang-barang koleksi adalah dengan menjual koleksi tersebut kepada pihak lain. f. Emas Emas adalah barang berharga yang paling diterima di seluruh dunia setelah mata uang asing dari negara-negara G-7 (sebutan bagi tujuh negara yang memiliki perekonomian yang kuat, yaitu Amerika, Jepang, Jerman, Inggris, Italia, Kanada, dan Perancis). Harga emas akan mengikuti kenaikan nilai mata uang dari negaranegara G-7. Semakin tinggi kenaikan nilai mata uang asing tersebut, semakin tinggi pula harga emas. Selain itu harga emas biasanya juga berbanding searah dengan inflasi. Semakin tinggi inflasi, biasanya akan semakin tinggi pula kenaikan harga emas. Seringkali kenaikan harga emas melampaui kenaikan inflasi itu sendiri.
Universitas Sumatera Utara
g. Mata uang asing Segala macam mata uang asing biasanya dapat dijadikan alat investasi. Investasi dalam mata uang asing lebih beresiko dibandingkan dengan investasi dalam saham, karena nilai mata uang asing di Indonesia menganut sistem mengambang bebas (free float) yaitu benar-benar tergantung pada permintaan dan penawaran di pasaran. Di Indonesia mengambang bebas membuat nilai mata uang rupiah sangat fluktuatif. h. Obligasi Obligasi atau sertifikat obligasi adalah surat utang yang diterbitkan oleh pemerintah maupun perusahaan, baik untuk menambah modal perusahaan atau membiayai suatu proyek pemerintah. Karena sifatnya yang hampir sama dengan deposito, maka agar lebih menarik investor suku bunga obligasi biasanya sedikit lebih tinggi dibanding suku bunga deposito. Selain itu seperti saham kepemilikan obligasi dapat juga dijual kepada pihak lain baik dengan harga yang lebih tinggi maupun lebih rendah daripada ketika membelinya. Dari berbagai produk investasi yang dikemukakan diatas, semuanya mempunyai keterkaitan baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap penerimaan negara di sektor perpajakan, misalnya saja pengenaan pajak atas bunga yang diterima nasabah di bank, baik bunga tabungan maupun bunga deposito. Dibidang properti, ketika seseorang atau suatu perusahaan hendak membangun perumahan dengan luas tertentu, maka baginya akan dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) karena kegiatan membangun sendiri dengan penerapan tarif yang berbeda sampai dengan jumlah luas bangunan tertentu. Demikian pula ketika suatu properti hendak dipindahtangankan seperti halnya transaksi jual beli,
Universitas Sumatera Utara
baik si pembeli maupun si penjual akan di kenakan pajak sesuai dengan kewajibannya masing-masing, si pembeli wajib membayar Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), sedangkan pihak penjual diwajibkan menyetorkan sejumlah uang ke kas negara karena kewajibannya atas Pajak Penghasilan (PPh) atas penjualan properti tersebut yang bersifat final. Khusus investasi yang berkaitan dengan saham, ada beberapa teori yang menyatakan keterkaitan yang erat antara investor, deviden dan penerimaan pajak yang telah diuji secara empiris, seperti yang dikemukan oleh Harahap (2004 : 320), yaitu : a) Dividend Irrelevance Theory Teori ini diperkenalkan oleh Miller dan Modigliani dalam papernya Dividend Irrelevance Preposition. Dalam paper tersebut dijelaskan bahwa dalam dunia
tanpa
pajak,
serta
dalam
kondisi
pasar
yang
sempurna
tidak
diperhitungkannya biaya transaksi maka kebijakan deviden tidak memberikan pengaruh apapun terhadap harga saham tersebut. Teori Dividend Irrelevance ini adalah suatu teori yang mengemukakan bahwa investor tidak peduli terhadap besar kecilnya dividen yang diberikan perusahaan kepada para pemegang saham. Teori ini diasumsikan bilamana tidak ada biaya transaksi dan pajak sehingga sulit untuk diterapkan dalam dunia nyata. b) Bird in Hand Theory. Menurut teori ini dikatakan bahwa dengan mendapatkan deviden (A bird in hand) adalah lebih baik daripada saldo laba (A Bird in The Bush) karena laba tersebut tidak akan pernah terwujud dalam masa depan (it can fly away). Sehingga berdasarkan teori diatas tingkat pengembalian yang disyaratkan atas ekuitas akan
Universitas Sumatera Utara
turun apabila rasio pembayaran deviden dinaikkan karena para pemegang saham kurang yakin terhadap penerimaan keuntungan (capital gain) yang akan dihasilkan dari laba yang ditahan jika dibandingkan dengan seandainya menerima deviden. Teori Bird-In-The-Hand ini adalah teori yang menjelaskan bahwa investor menghendaki pembayaran dividen yang tinggi. Alasan yang sering dikemukakan dalam memilih Teori Bird-In-The-Hand ini karena ada anggapan bahwa mendapat dividen tinggi saat ini resikonya lebih kecil daripada mendapat capital gain di masa yang akan datang. Salah satu keuntungan bila menerapkan Teori Bird-InThe-Hand ini adalah dengan memberikan dividen yang tinggi, maka harga saham perusahaan juga akan semakin tinggi pula. Tetapi perlu dicatat bahwa investor diharuskan membayar pajak yang besar akibat dari dividen yang tinggi. c) Tax Preference Theory Teori ini menjelaskan bahwa dalam hal yang berkaitan dengan pajak, investor lebih memilih pembayaran deviden yang rendah dibandingkan dengan deviden yang tinggi. Hal ini memberikan makna bahwa investor lebih suka apabila perusahaan menahan sebagian besar laba perusahaan karena ada adanya keuntungan pajak. Capital gain selanjutnya dipilih karena pajak capital gain relatif lebih rendah daripada dividen. Dibidang properti, Undang-Undang Pajak Penghasilan No.38 Tahun 2008 Pasal 15 juga mengemukakan bahwa pemotongan pajak penghasilan yang dilakukan oleh wajib pajak tertentu yang menggunakan norma penghitungan khusus, antara lain perusahaan pelayaran atau penerbangan international, perusahaan asuransi luar negeri, perusahaan pengeboran minyak, gas dan panas
Universitas Sumatera Utara
bumi, perusahaan dagang asing, perusahaan yang melakukan investasi dalam bentuk bangun guna serah. Lebih dari itu, selain investasi yang dilakukan oleh pihak swasta dalam negeri, investasi disini juga mencermati investasi yang dilakukan oleh pihak asing atau Penanaman Modal Asing (PMA), selain dapat menyediakan kesempatan kerja bagi para angkatan kerja yang semakin membludak di suatu daerah, efek multiplier dari investasi yang dilakukan oleh pihak asing ini cukup menjadikan penerimaan di sektor perpajakan khususnya pajak atas karyawan (PPh pasal 21/26) maupun pajak penghasilan lain yang bersifat final di daerah tersebut semakin meningkat. Dalam hal ini diperlukan adanya kerja sama dengan pemerintah daerah untuk gencar mempromosikan daerahnya agar para investor tertarik untuk menanamkan modalnya di daerah tersebut, tentunya hal ini harus di dukung dengan kondisi daerah yang kondusif, seperti jaminan tingkat keamanan, kebijakan pemerintah setempat (birokrasi) yang tidak berbelit-belit, sarana yang memadai, letak yang strategis dan daya tarik lainnya yang lebih menjanjikan.
2.7.
Penelitian Sebelumnya Penelitian yang dilakukan oleh Nasution (2003) yang merupakan penelitian
ex post facto yang merupakan penelitian dari peristiwa yang telah terjadi dan kemudian dirunut mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi dari berbagai sumber. Hasil penelitian menunjukkan bahwa potensi dan pertumbuhan penerimaan pajak penghasilan selama dasawarsa 1990-2000 di antaranya dipengaruhi
baik secara langsung maupun tidak langsung oleh faktor-faktor
Universitas Sumatera Utara
Produk Domestik Bruto, Jumlah Wajib Pajak, dan Jumlah Kantor Pelayanan Pajak yang tersebar di seluruh Indonesia. Kemudian pada tahun 2008 Nasution melakukan penelitian yang bertujuan untuk melihat pengaruh jumlah wajib pajak terhadap penerimaan PPh Orang Pribadi di Sumatera Utara, dengan memakai variabel jumlah wajib pajak sebagai variabel bebas dan penerimaan PPh Orang Pribadi di Sumatera Utara sebagai variabel terikat. Hasil penelitian menunjukkan jumlah wajib pajak berpengaruh positif terhadap Pajak Penghasilan Orang Pribadi di Sumatera Utara Penelitian yang dilakukan oleh Yogi Rahmayanti (2006) mengenai analisis potensi pajak menyatakan bahwa yang menentukan penerimaan pajak yaitu Tax Rate, Tax Base (GDP) don Collection System. Dalam penelitian ini ditekankan pada dua jenis pajak yang mempunyai peran yang signifikan terhadap penerimaan pajak di Indonesia yaitu PPh dan PPN. Salah satu hasil estimasi yang dilakukan menunjukkan bahwa Tax Base (GDP) dan time trend (trend waktu) mempunyai hubungan yang positif terhadap penerimaan PPh. Hasil regresi menunjukkan bahwa tax base mempunyai hubungan positif terhadap penerimaan PPh dengan koefisien sebesar 0,78 dan terhadap PPN dengan koefisien sebesar 1,156. ini menunjukkan bahwa setiap kenaikan Tax Base (GDP) sebesar satu persen akan meningkatkan penerimaan PPh sebesar 0,78 persen dan penerimaan PPN sebesar 1,156 persen.
Time trend (trend waktu) mempunyai hubungan yang positif
dengan dengan penerimaan PPh dengan koefisien sebesar 0,53 persen dan terhadap PPN dengan koefisien sebesar 0,37 persen. Immervoll (2005), Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh inflasi terhadap Pajak Penghasilan Orang Pribadi dan Kontribusi Sekuriti Sosial di
Universitas Sumatera Utara
Eropa, dengan memakai variabel inflasi sebagai variabel bebas dan pajak Penghasilan Orang Pribadi dan Kontribusi Sekuriti Sosial sebagai variabel terikat. Hasil penelitian menunjukkan Inflasi berpengaruh negatif terhadap Pajak Penghasilan Orang Pribadi. Dalam penelitiannya Teera (2000) menganalisis determinan penerimaan pajak di Uganda, estimasi model dimana penerimaan pajak merupakan fungsi dari pembangunan ekonomi dan struktur ekonomi. Ty = f (Y,M,A,P,Ag,Mf,D,TR,T) Dimana : Ty
=
Rasio Pajak terhadap PDB
Y
=
PDB per kapita
M
=
Rasio impor terhadap PDB
A
=
Rasio Aid terhadap PDB
P
=
Kepadatan Penduduk
Ag
=
Rasio Pertanian terhadap PDB
Mf
=
Rasio Manufaktur terhadap PDB
D
=
Rasio Hutang Luar Negeri terhadap PDB
TR
=
Variabel Bayang diproxy ke tax ratio
T
=
Time Trend
Afdal (2005) tentang analisis kemampuan fiskal daerah dan kebijakan dalam menghadapi sumber pendapatan daerah tanpa DBH minyak bumi di Kabupaten Kampar, adalah bahwa sumber pajak dan retribusi daerah bersifat elastisitas terhadap pertumbuhan ekonomi (PDRB) setelah pemberlakuan UU 22 dan 25 tahun 1999 cukup besar yaitu 2,36.
Universitas Sumatera Utara
Oktivani (2007), Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah jumlah wajib pajak dan jumlah pemeriksaan pajak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap penerimaan pajak penghasilan orang pribadi di Kantor Pelayanan Pajak Madiun, dengan memakai variabel jumlah wajib pajak dan jumlah pemeriksaan pajak sebagai variabel bebas dan penerimaan pajak penghasilan orang pribadi sebagai variabel terikat. Penelitian ini membuktikan bahwa jumlah wajib pajak lebih dominan mempengaruhi penerimaan PPh Orang Pribadi bila dibandingkan dengan jumlah pemeriksaan pajak terhadap penerimaan Pajak Penghasilan Orang Pribadi di Kantor Pelayanan Pajak Madiun. Heru Kusmono (2011), dimana tujuan utama penelitian ini adalah untuk menganalisis determinan penerimaan pajak di Indonesia. Penelitian ini mengemukakan bahwa Produk Domestik Brutto (PDB), Inflasi, Suku Bunga (SBI) dan wajib pajak berpengaruh terhadap penerimaan pajak di Indonesia. Dari beberapa penelitian sebelumnya, peneliti membuat sedikit perubahan dengan menambahkan variabel antara dalam melakukan penelitian, selain variabel bebas dan varibel terikat, dimana variabel ini berfungsi sebagai jembatan yang mengkaitkan antara variabel bebas dan variabel terikat dimaksud.
Universitas Sumatera Utara
2.8.
Kerangka Konseptual Pada Gambar 2.1. berikut menunjukkan bahwa partumbuhan ekonomi
berpengaruh terhadap jumlah wajib pajak, pertumbuhan ekonomi dan inflasi berpengaruh terhadap investasi, serta pertumbuhan ekonomi, inflasi, jumlah wajib pajak dan investasi berpengaruh terhadap penerimaan pajak di Kota Medan. Berdasarkan perumusan masalah, landasan teori dan berbagai penelitian sebelumnya, maka dapat dibentuk suatu kerangka konseptual penelitian sebagai berikut :
WP PE
T
INF
INV
Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian Analisis Determinan Penerimaan Pajak di Kota Medan
Keterangan : PE
=
Pertumbuhan Ekonomi Kota Medan (persen/tahun)
INF
=
Inflasi Kota Medan (persen/tahun)
WP
=
Jumlah Wajib Pajak Kota Medan (orang/tahun)
INV
=
Investasi (rupiah/tahun)
T
=
Penerimaan Pajak Kota Medan (rupiah/tahun)
Universitas Sumatera Utara
2.9.
Hipotesis Penelitian Adapun hipotesis penelitian berdasarkan kerangka konseptual adalah :
1.
Pertumbuhan ekonomi berpengaruh positip terhadap jumlah wajib pajak di Kota Medan, ceteris paribus.
2.
Pertumbuhan ekonomi berpengaruh positif terhadap investasi di Kota Medan, ceteris paribus.
3.
Inflasi berpengaruh negatif terhadap investasi di Kota Medan, ceteris paribus.
4.
Pertumbuhan ekonomi berpengaruh positif terhadap penerimaan pajak di Kota Medan, ceteris paribus.
5.
Inflasi berpengaruh negatif terhadap penerimaan pajak di Kota Medan, ceteris paribus.
6.
Jumlah wajib pajak berpengaruh positif terhadap penerimaan pajak di Kota Medan, ceteris paribus.
7.
Investasi berpengaruh positif terhadap penerimaan pajak di Kota Medan, ceteris paribus.
Universitas Sumatera Utara
WP
h1
PE
h6
h4 h2
T h5
INF
h3
h7
INV
Gambar 2.2. Hipotesis Penelitian Analisis Determinan Penerimaan Pajak di Kota Medan
Universitas Sumatera Utara