BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab ini, akan dibahas mengenai tinjauan pustaka yang digunakan peneliti terkait dengan penelitian yang dilakukan, yang nantinya dapat menjadi landasan teoritis dalam mendukung penelitian ini. Teori-teori yang terdapat dalam bab ini diantaranya performa kinerja dan teori kepemimpinan. 1.1 Teori Kinerja 1.1.1 Definisi Kinerja Kinerja merupakan perilaku nyata yang ditampilkan setiap orang sebagai prestasi kerja yang dihasilkan oleh pegawai sesuai dengan perannya dalam instansi. Kinerja karyawan merupakan suatu hal yang sangat penting dalam upaya instansi untuk mencapai tujuan (Sudayat, 2009, h.2). Menurut Bernadin dan Russel (2000 dalam Sudayat, 2009, h. 1) kinerja adalah outcome yang dihasilkan dari fungsi suatu pekerjaan tertentu atau kegiatan selama satu periode tertentu. Menurut Irawan (1995, dalam Sedarmayanti, 2010) kata kunci dari definisi kinerja adalah (a) hasil kerja pekerja, (b) proses atau organisasi, (c) terbukti secara konkrit, (d) dapat diukur, dan (e) dapat dibandingkan dengan standar yang telah ditentukan. Menurut Dessler (1997, dalam Widodo, 2006, h.4), kinerja merupakan prestasi kerja, yaitu perbandingan antara hasil kerja yang secara nyata dengan standar kerja yang ditetapkan. Penilaian kinerja adalah memberikan umpan balik kepada bawahan dengan tujuan memotivasi orang tersebut untuk menghilangkan kemerosotan kinerja atau berkinerja lebih tinggi lagi. Kinerja pegawai yang baik adalah salah satu faktor yang sangat penting dalam upaya 1
instansi untuk meningkatkan produktivitas. Kinerja merupakan indikator dalam menentukan bagaimana usaha untuk mencapai tingkat produktivitas yang tinggi dalam suatu organisasi atau instansi (Sudayat, 2009, h.2). Menurut Sunarni dan Istanti (2007, h.3) kinerja karyawan dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu : 1. Faktor kemampuan : a.
Pengetahuan : pendidikan, pengalaman, latihan dan minat
b.
Keterampilan : kecakapan dan kepribadian
2. Faktor motivasi : a. Kondisi sosial : kepemimpinan, organisasi formal dan informal, serikat kerja b. Kebutuhan individu : fisiologis, sosial c. Kondisi fisik : lingkungan kerja Sedangkan menurut Simamora (1995, dalam Sedarmayanti, 2010) kinerja (performance) dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu : Faktor individual, faktor psikologis dan faktor organisasi. Faktor individual terdiri : dari kemampuan dan keahlian, latar belakang dan demografi, sedangkan faktor psikologis terdiri dari : persepsi, attitude, pembelajaran dan motivasi. Faktor yang ketiga faktor organisasi terdiri dari : sumber daya, kepemimpinan, penghargaan, struktur dan job design. 2.1.2
Penilaian Kinerja Penilaian prestasi kerja adalah proses untuk mengukur prestasi kerja
pegawai berdasarkan peraturan yang telah ditetapkan, dengan cara membandingkan sasaran (hasil kerjanya) dengan persyaratan deskripsi pekerjaan yaitu standar pekerjaan yang telah ditetapkan selama periode tertentu. Standar kerja tersebut dapat dibuat baik secara kualitatif maupun
2
kuantitatif (Sami'an, 2008). Menurut Winston & Creamer (1997, dalam Sedarmayanti, 2010) penilaian kinerja (performance appraisal) adalah suatu proses dari sistem perundingan yang digunakan organisasi untuk menentukan prestasi pegawai guna memperbaiki keefektifan kerja. Mejia (2004, p.222-223 dalam Sami’an, 2008) mengungkapkan bahwa penilaian kinerja merupakan suatu proses yang terdiri dari: 1. Identifikasi, yaitu menentukan faktor-faktor kinerja yang berpengaruh terhadap kesuksesan suatu organisasi. Hal ini dapat dilakukan dengan mengacu pada hasil analisis jabatan. 2. Pengukuran, merupakan inti dari proses sistem penilaian kinerja. Pada proses ini, pihak manajemen menentukan kinerja pegawai yang bagaimana yang termasuk baik dan buruk. Manajemen dalam suatu organisasi harus melakukan perbandingan dengan nilai-nilai standar atau memperbandingkan kinerja antar pegawai yang memiliki kesamaan tugas. 3. Manajemen, proses ini merupakan tindak lanjut dari hasil penilaian kinerja. Pihak manajemen harus berorientasi ke masa depan untuk meningkatkan potensi pegawai di organisasi yang bersangkutan. Hal ini dapat dilakukan dengan pemberian umpan balik dan pembinaan untuk meningkatkan kinerja pegawainya.
Berdasarkan beberapa pendapat ahli mengenai pengertian penilaian kinerja, terdapat benang merah yang dapat digunakan untuk menarik kesimpulan bahwa penilaian kinerja merupakan suatu sistem penilaian secara berkala terhadap kinerja pegawai yang mendukung kesuksesan organisasi atau yang terkait dengan pelaksanaan tugasnya. Proses penilaian dilakukan dengan membandingkan kinerja pegawai terhadap standar yang telah ditetapkan atau memperbandingkan kinerja antar pegawai yang memiliki kesamaan tugas.
3
Hasil kerja seseorang akan memberikan umpan balik bagi orang itu sendiri untuk selalu aktif melakukan pekerjaannya secara baik agar mendapatkan keuntungan untuk dirinya sendiri ataupun keuntungan untuk perusahaan. Kinerja diharapkan menghasilkan mutu pekerjaan yang baik serta jumlah pekerjaan yang sesuai standar. 2.1.3
Tujuan Penilaian Kinerja Arti pentingnya penilaian kinerja menurut Hariandja (2002) secara
rinci dikemukakan sebagai berikut : 1. Penilaan kinerja memberikan kesempatan kepada karyawan untuk mengambil tindakan-tindakan perbaikan untuk meningkatkan kinerja melalui feedback yang diberikan oleh organisasi. 2. Penyesuaian gaji dapat dipakai sebagai informasi untuk mengkompensasi pegawai secara layak sehingga dapat memotivasi mereka. 3. Keputusan untuk penempatan, yaitu dapat dilakukannya penempatan pegawai sesuai dengan keahliannya. 4. Pelatihan dan pengembangan, yaitu melalui penialian akan diketahui kelemahan-kelemahan dari pegawai sehingga dapat dilakukan program pelatihan dan pengembangan yang lebih efektif. 5. Perencanaan karier, yaitu organisasi dapat memberikan bantuan perencanaan karier bagi pegawai dan menyelaraskan dengan kepentingan organisasi. 6. Dapat membantu pegawai mengatasi masalah yang bersifat eksternal, yaitu atasan dapat mengetahui apa yang menyebabkan kinerja kerja yang tibatiba menurun sehingga atasan dapat membantu menyelesaikannya. 7. Umpan balik pada pelaksanaan fungsi manajemen sumber daya manusia, yaitu dengan diketahuinya kinerja kerja pegawai secara keseluruhan ini
4
akan menjadi informasi sejauh mana fungsi sumber daya manusia berjalan dengan baik atau tidak.
2.2
Teori Cara Kepemimpinan 2.2.1 Definisi Kepemimpinan Menurut Cahyono dan Suharto (2005, dalam Sugianto, 2011, h.29),
kepemimpinan merupakan variabel yang sangat penting dalam mempengaruhi suatu perusahaan, kepemimpinan yang baik adalah dimana dalam memberi pengaruh, informasi, pengambilan keputusan dan dalam memberi motivasi bertujuan untuk meningkatkan atau memajukan perusahaan dan tidak merugikan karyawan. Kepemimpinan yang baik ini akan menciptakan suasana yang menyenangkan dan dapat menumbuhkan serta meningkatkan perfoma kinerja karyawan. Kepemimpinan sangat diperlukan agar semua sumber daya yang telah diorganisasikan dapat digerakkan untuk merealisasikan tujuan organisasi (Kasminto & Sjamsuddin, 2007, h.4). Menurut Kouzes dan Posner (2007, h.8), “Leadership can happen anywhere, at any time. It happen in a huge business or a small one”. Kepemimpinan didefinisikan sebagai hubungan yang saling mempengaruhi di antara pemimpin dan pengikut (bawahan) yang menginginkan perubahan nyata yang mencerminkan tujuan bersama (Rost 1993, dalam Sunarta, 2011). Dibutuhkan interaksi sosial satu sama lain yang saling membantu dan membutuhkan, sehingga tercipta lingkungan kerja yang kondusif dan nyaman agar para pimpinan dan bawahan saling terlibat dalam mewujudkan tujuan organisasi (Sunarta, 2011, h.2).
5
Beberapa teori mengenai kepemimpinan menggunakan pendekatan teori perilaku untuk menentukan bagaimana pemimpin mendelegasikan tugas, berkomunikasi dan memotivasi bawahan dan lain sebagainya, salah satu contohnya adalah teori mengenai sifat manusia Teori X dan Y dari Mc. Gregor tahun 1960 (Hughes, Ginnett, & Curphy, 2009). Teori Y berlandaskan asumsi optimistis tentang manusia yang di dukung karya tulis Maslow, Teori X mempunyai dasar yang lebih gelap yaitu orang mempunyai kecenderungan mendasar untuk menghindari keharusan bekerja (Adair, 2008). Pada Teori X, manajer memegang asumsi mengenai sifat manusia yang malas, greedy, berpusat pada diri sendiri (self-centered) serta harus diawasi, diberikan perintah dan dorongan eksternal agar bisa mendapatkan hasil yang baik dari pekerjaan mereka. Sedangkan Teori Y, manajer percaya bahwa orang-orang cenderung ingin melakukan sesuatu dengan baik, membuat kontribusi, dan dapat mengelola diri dengan baik serta hanya butuh arahan yang sedikit (Rothwell, Stavros, Sullivan, & Sullivan, 2010). Berdasarkan ciri-ciri manusia yang termasuk dalam Teori X maka kesesuaian gaya kepemimpinan yang tepat agar tujuan organisasi dapat tercapai adalah gaya kepemimpinan directing, gaya kepemimpinan coaching, dan gaya kepemimpinan otokrasi. Dalam Teori Y kesesuaian gaya kepemimpinan yang tepat agar tujuan organisasi dapat tercapai adalah gaya kepemimpinan delegating, gaya kepemimpinan participation, dan gaya kepemimpinan kendali bebas (Kuspriatni, 2011). Teori lain mengenai kepemimpinan menggunakan pendekatan situasional yaitu perilaku atau gaya kepemimpinan harus sesuai dengan situasi yang dihadapi oleh seorang pemimpin, contohnya model Kepemimpinan Situasional dari Hersey dan Blanchard (1969).
6
Kepemimpinan Situasional adalah sebuah teori yang berfokus pada para pengikut. Kepemimpinan yang berhasil dicapai dengan cara memilih gaya kepemimpinan yang benar, menurut Hersey dan Blanchard bergantung pada tingkat kesiapan para pengikut (Robbins & Judge, 2008). Menurut Hersey dan Blanchard (1992, dalam Kuspriatni, 2011), pimpinan adalah seseorang yang dapat mempengaruhi orang lain atau kelompok untuk melakukan unjuk kerja maksimum yang telah ditetapkan sesuai dengan tujuan organisasi. Organisasi akan berjalan dengan baik jika pimpinan mempunyai kecakapan dalam bidangnya, dan setiap pimpinan mempunyai keterampilan yang berbeda, seperti keterampilan teknis, manusiawi dan konseptual. Sedangkan bawahan adalah seorang atau sekelompok orang yang merupakan anggota dari suatu perkumpulan atau pengikut yang setiap saat siap melaksanakan perintah atau tugas yang telah disepakati bersama guna mencapai tujuan. Situational Leadership Theory ini memiliki asumsi juga bila seorang pengikut tidak mampu dan tidak bersedia, pemimpin harus memberikan pengarahan secara jelas dan spesifik; bila para pengikut tidak mampu namun bersedia, pemimpin harus menampilkan orientasi tugas yang tinggi untuk mengimbangi kurangnya kemampuan para pengikut serta orientasi hubungan yang juga tinggi untuk membuat para pengikut “menuruti” keinginan pemimpin; apabila para pengikut mampu namun tidak bersedia, pemimpin harus menggunakan gaya yang supportif dan partisipatif; sementara bila karyawan mampu dan bersedia, pemimpin tidak perlu berbuat banyak (Robbins & Judge, 2008). Kepemimpinan memiliki tiga implikasi dasar yaitu: (1) Kepemimpinan berarti kemampuan membujuk atau mempengaruhi, memotivasi, mengajak,
7
dan mengarahkan orang lain kepada suatu tujuan yang telah ditentukan. (2) kepemimpinan merupakan suatu konsep relasi, artinya sebuah kepemimpinan hanya ada dan bisa berlangsung jika ada pengikut/bawahan. Kepemimpinan tanpa bawahan tidak memiliki makna apa-apa, sebaliknya bawahan tanpa adanya kepemimpinan akan liar dan sesat. (3) Kepemimpinan merupakan sebuah proses bagaimana bisa melakukan sesuatu terhadap bawahannya sehingga bisa memelihara motivasi kerjanya (Sunarta, 2011, h.5). 2.2.2
Dimensi Kepemimpinan Kepemimpinan menurut Kouzes dan Posner adalah seni
memobilisasi orang lain agar berjuang untuk berbagi aspirasi. Kepemimpinan juga didefinisikan dalam lima praktek perilaku teladan (Five Practices Of Exemplary Behavior). Kouzes dan Posner (2007, p.14) memperkenalkan Five Practices of Exemplary Leadership sebagai lima hal panduan yang perlu dimiliki dan dikembangkan oleh pemimpin untuk dapat menciptakan suatu perubahan dan mencapai prestasi, serta menciptakan suasana dimana orang-orang menantang peluang untuk membuat suatu kesuksesan yang luar biasa. Five Practices of Exemplary Leadership adalah sebagai berikut : 1. Challenging the process : pemimpin berfokus dalam mencari dan menerima tantangan, mengenali dan mendukung ide-ide inovatif, bereksperimen dengan sistem yang baru dan berani mengambil resiko untuk membawa perubahan. 2. Inspiring the vision : kemampuan seorang pemimpin untuk membayangkan masa depan dan dengan jelas mengartikulasikan visi kepada orang lain, sehingga mendapatkan dukungan dari bawahannya dan kepercayaan dalam visi.
8
3. Enabling Others to Act : meliputi konsep-konsep seperti kerjasama tim, kepercayaan, keyakinan dan pemberdayaan. 4. Modelling The Way : pentingnya pemimpin menjadi suatu teladan bagi para bawahannya dan pemimpin bersedia bertindak atas keyakinannya, bukan hanya berbicara mengenai dirinya saja. 5. Encouranging the Heart : meliputi tindakan kecil atau besar oleh seorang pemimpin yang mendorong dan mendukung para bawahannya serta membantu tim merayakan kemenangan. Hal ini merupakan ekspresi perasaan yang tulus. Dalam Five Practices of Exemplary Leadership, terdapat masingmasing dua komitmen yang dapat memperjelas masing-masing practices. Komitmen yang terdapat pada Model The Way yaitu, a) dapat memperjelas nilai-nilai yang digunakan dengan mengeluarkan pendapat dan saling affirming shared ideals, b) Memberikan contoh tindakan yang disesuaikan dengan nilai-nilai yang telah ada. Komitmen yang terdapat pada practices Inspire a Shared Vision yaitu, a) Envision the future dengan membayangkan kemungkinan-kemungkinan menarik yang muncul, b) Berbagi aspirasi untuk mengajak orang lain mencapai visi bersama. Pada Challenge The Process dua komitmen yang memperjelas adalah a) Mencari peluang dengan mengambil inisiatif dan looking outward untuk meningkatkan inovasi, b) Bereksperimen dan mengambil resiko dengan terus menghasilkan kemenangan-kemenangan kecil serta belajar dari pengalaman yang didapat. Komitmen yang terdapat pada Enable Others To Act yaitu, a) Membina kolaborasi dengan membangun kepercayaan dan memfasilitasi relationship, b) Memperkuat orang lain dengan meningkatkan self-determination dan mengembangkan kompetensi yang ada.
9
Dua komitmen terakhir pada Encourage The Heart yaitu, a) Mengenali kontribusi dengan menunjukan penghargaan kepada individu yang unggul, b) Merayakan nilai-nilai dan kemenangan dengan menciptakan semangat komunitas.
Sumber : Buku THE LEADERSHIP CHALLENGE, 2007, p.26 Gambar 2.1 THE FIVE PRACTICES AND TEN COMMITMENTS OF LEADERSHIP Kouzes & Posner (2007).
Kredibilitas merupakan salah satu pondasi dari kepemimpinan. Ketika seorang pemimpin sudah dapat dipercaya, orang-orang lebih suka berkomitmen dan memberikan waktu, energi, intelligence dan dukungannya. Menurut Kouzes dan Posner (2010) terdapat empat sifat yang diharapkan orang dari seorang pemimpin yang berkualitas, yaitu :
10
a) Honest : Pemimpin yang jujur tidak hanya mengatakan kebenaran saja, tetapi juga menjalani suatu set ethical principles dan standar yang jelas. b) Foward-Looking : Pemimpin yang baik memiliki pandangan kedepan untuk organisasi dan membantu menghubungkan pandangan-pandangan tersebut kepada harapan dan aspirasi orang lain. Ketika orang-orang ikut serta dalam pandangan kedepan organisasi, mereka mungkin akan lebih bersedia mengikuti pemimpinnya. c) Inspiring : inspiring leaders berbagi kebahagiaan mengenai kemungkinankemungkinan yang terjadi di masa depan. Kebahagian ini biasanya disertai dengan positive attitude. d) Competent : Individu yang berkompeten biasanya terbukti memiliki track record menyelesaikan segala sesuatu dengan baik. Hal ini menghasilkan kepercayaan diri dalam diri seorang pemimpin. Orang-orang yang bekerja dengan para pemimpin yang menggunakan praktek-praktek lima menemukan bahwa mereka lebih puas dengan para pemimpin, lebih bersemangat tentang pekerjaan mereka, dan lebih produktif. Cara lain bahwa pemimpin menunjukkan penghargaan mereka adalah dengan terlibat dengan orang-orang. Ketika pemimpin ada dan tersedia, mereka dianggap lebih tulus, approachable dan manusiawi. 2.3 Hubungan Cara Atasan Memimpin dan Kinerja Dalam pencapaian tujuan perusahaan banyak unsur-unsur yang menjadi penting dalam pemenuhannya, diantaranya adalah unsur kepemimpinan (Yasiroh, 2010). Sumber daya manusia yang telah tersedia jika tidak dikelola dengan baik maka tidak akan memperoleh tujuan yang telah direncanakan, sehingga peran seorang atasan sangat penting dalam mempergunakan kepemimpinannya untu
11
mencapai suatu tujuan. Pada dasarnya cara atasan memimpin merupakan suatu cara yang digunakan atasan untuk mempengaruhi bawahannya agar mau bekerjasama dan bekerja secara efektif sesuai dengan tujuan perusahaan dan cara atasan memimpin dapat digunakan juga untuk mengarahkan sumber daya manusia agar dapat memaksimalkan kemampuan tiap individu dalam mencapai kinerja yang baik. Menurut Thoyib (2005, h.5) pemimpin memiliki karakteristik selalu memiliki upaya untuk menciptakan hal yang baru (selalu berinovasi). Gagasan-gagasan yang dimiliki oleh pemimpin merupakan gagasan sendiri tidak meniru ataupun menjiplak. Pemimpin selalu berupaya untuk mengembangkan apa yang ia lakukan. Ia percaya pada bawahan, dan selalu menyalakan api kepercayaan pada anggota organisasi serta gagasannya memiliki prespektif jangka panjang. 2.4.
Kerangka Berpikir
5 Cara Atasan Memimpin
Sumber : Diolah oleh Peneliti Gambar 2.2 Kerangka Berpikir 12
Kepemimpinan dan kinerja kerja karyawan memiliki keterkaitan antara yang satu dengan yang lain. Hal ini dibuktikan dengan adanya beberapa penelitian sebelumnya. Salah satu penelitian yang dilakukan oleh Melmambessy pada tahun 2010, menunjukan bahwa berdasarkan perhitungan koefisien maka ada hubungan yang tinggi atau kuat antara kepemimpinan dengan kinerja karyawan. Dan berdasarkan perhitungan koefisien determinasi penelitian tersebut disebutkan sumbangan kepemimpinan terhadap kinerja adalah 81% sehingga dapat dikatakan bahwa naik-turunnya kinerja dipengaruhi oleh kepemimpinan. Cara atasan memimpin menjadi salah satu indikator yang mempengaruhi kinerja karyawan pada suatu perusahaan. Dengan diketahuinya gambaran cara atasan memimpin, diharapkan dapat membantu dan memberikan perusahaan keuntungan baik keuntungan secara knowledge ataupun personal insight bagi para atasan serta bawahannya.
Hasil dari penilaian kinerja ini selanjutnya dapat dianalisis dan dikomunikasikan kembali kepada pegawai yang dinilai agar mereka mengetahui kinerjanya selama ini, serta mengetahui kinerja yang diharapkan oleh perusahaan. Evaluasi terhadap sistem penilaian kinerja yang telah juga dilaksanakan jika belum mencapai tujuan maka harus dilakukan revisi atau mendesain ulang sistem penilaian kinerja. Hipotesis dalam penelitian ini terdiri dari lima hipotesis, yaitu: 1. H0 :
Tidak Ada korelasi antara Cara Atasan Memimpin Modelling The
Way dengan Kinerja bawahan. H1:
Ada korelasi antara Cara Atasan Memimpin Modelling The Way
dengan Kinerja bawahan. 2. H0 :
Tidak Ada korelasi antara Cara Atasan Memimpin Inspiring a
Shared Vision dengan Kinerja bawahan. H1 : Ada korelasi antara Cara Atasan Memimpin Inspiring a Shared Vision dengan Kinerja bawahan. 13
3. H0 :
Tidak Ada korelasi antara Cara Atasan Memimpin Challenge the
Process dengan Kinerja kerja bawahan. H1 : Ada korelasi antara Cara Atasan Memimpin Challenge the Process dengan Kinerja kerja bawahan. 4. H0 :
Tidak Ada korelasi antara Cara Atasan memimpin Enable Others to
Act dengan Kinerja bawahan. H1 : Ada korelasi antara Cara Atasan memimpin Enable Others to Act dengan Kinerja bawahan. 5. H0 : Tidak Ada korelasi antara Cara Atasan Memimpin Encourange the Heart dengan Kinerja bawahan. H1 : Ada korelasi antara Cara Atasan Memimpin Encourange the Heart dengan Kinerja bawahan.
14