BAB II TINJAUAN HUKUM TENTANG ALAT BUKTI SURAT ELEKTORNIK (Email)
1.
Pengertian Alat Bukti Dalam proses persidangan, alat bukti merupakan sesuatu yang sangat
penting fungsi dan keberadaanya untuk menentukan hasil dari suatu putusan dalam persidangan. Dalam proses pembuktian dalam persidangan sangat berkaitan erat dengan alat-alat bukti. Menurut system HIR, dalam acara perdata hakim terikat pada alat bukti yang sah, yang berarti hakim hanya boleh mengambil keputusan berdasarkan alat-alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang saja. Alat-alat bukti dalam acara perdata diatur dalam undang-undang (ps. 164 HIR. 284 RBG. 1866 BW)1. Maka untuk memperjelas arti dari alat bukti berikut beberapa penjelasan mengenai alat bukti menurut para ahli, a.
Menurut M. Yahya Harahap, S.H Dalam bukunya Hukum Acara Perdata menyatakan bahwa “alat bukti (bewijsmiddel) adalah suatu hal berupa bentuk dan jenis yang dapat membantu dalam hal memberi keterangan dan penjelasan tentang sebuah masalah perkara untuk membantu penilaian hakim di dalam pengadilan”. Jadi, para pihak yang berperkara hanya dapat
1 Sudikno
Mertokusumo, 2009, hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta. H, 150
19
20
membuktikan kebenaran dalil gugat dan dalil bantahan maupun faktafakta yang mereka kemukakan dengan jenis atau bentuk alat bukti tertentu. Hukum pembuktian yang berlaku di Indonesia sampai saat ini masih berpegang kepada jenis dan alat bukti tertentu saja.2 b.
Menurut Andi Hamzah “Alat bukti yaitu sesuatu untuk meyakinkan kebenaran suatu dalil, pendirian atau dakwaan. Alat-alat bukti ialah upaya pembuktian yang diperkenankan melalui alat-alat yang diperkenankan untuk dipakai membuktikan dalil-dalil, atau didalam perkara pidana dakwaan di sidang pengadilan, misalnya keterangan terdakwa, kesaksian, keterangan ahli, surat dan petunjuk, dalam perkara perdata termasuk persangkaan dan sumpah”3.
2.2 Jenis Alat Bukti Dalam Hukum Acara Perdata Berdasarkan ketentuan pasal 164 HIR(pasal 1866 KUH Perdata), dikenal 5 (lima) macam alat-alat bukti utama dalam perkara perdata, yaitu : 1.
Bukti Surat Dalam pasal 164 HIR bukti surat merupakan alat bukti pertama dan utama. Dikatakan pertama oleh karena alat bukti surat gradasinya disebut pertama dibandingkan dengan alat bukti lainnya. Sedangkan
2 Harahap,
M. Yahya II, op.cit, h. 569
3 Andi Hamzah, 1986, Kamus Hukum, Ghali Indonesia, Jakarta, h. (selanjutnya disebut Andi Hamzah II) 99.
21
dikatakan utama oleh karena dalam hukum perdata yang dicari adalah kebenaran formal maka alat bukti surat memang sengaja dibuat untuk dapat dipergunakan sebagai alat pembuktian utama. Alat bukti surat pada hukum acara perdata dapat diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) macam yaitu : a.
Surat biasa Pada prinsipnya surat biasa ini dibuat tidak dengan maksud untuk menjadi alat bukti, akan tetapi, apabila dikemudian hari surat tersebut dijadikan alat bukti di persidangan maka hal ini bersifat insidental (kebetulan) saja.
b.
Akta otentik Pada dasarnya akta otentik merupakan suatu akta yang dibuat dengan bentuk sebagaimana ditentukan “oleh” dan “dihadapan” seorang pegawai umum (Hakim, Notaris, Jurusita, Pegawai Catatan Sipil, Camat, Pegawai Pencatat Nikah) Konkretnya, akta otentik dibuat memang sengaja untuk pembuktian. Kemudian mengenai kekuatan pembuktian akta otentik bersifat “acte ambtelijk” merupakan suatu bukti sempurna dan mengikat (pasal 165 HIR). Pengertian “sempurna “ dimaksudkan bahwa akta otentik tersebut cukup membuktikan tentang peristiwa atau hak. Konkretnya, sebagai bukti sempurna dalam arti bahwa ia tidak memerlukan penambahan alat bukti
22
lagi. Sedangkan “mengikat” dimaksudkan bahwa apa yang ditulis dalam akta tersebut harus dipercaya hakim yakni harus dianggap sebagai benar selama ketidakbenaran tersebut dapat dibuktikan sebaliknya4 c.
Akta di bawah tangan Pada asasnya, pengertian akta di bawah tangan merupakan akta yang dibuat “oleh”
dan “dihadapan” pegawai umum yang
berwenang membuatnya. 2.
Bukti Saksi Pembuktian dengan kesaksian merupakan cara pembuktian yang terpenting dalam suatu perkara yang sedang diperiksa di depan hakim. Suatu kesaksian, harus mengenai peristiwa-peristiwa yang dilihat dengan mata sendiri oleh seorang saksi. Jadi tidak boleh seorang saksi itu hanya mendengar saja tentang adanya peristiwa dari orang lain. Selanjutnya tidak boleh pula keterangan saksi tersebut merupakan kesimpulan-kesimpulan yang ditariknya sendiri dari peristiwa yang dilihat/ dialaminya, karena hakimlah yang berhak menarik kesimpulan-kesimpulan itu. Kesaksian bukanlah alat bukti yang sempurna dan mengikat hakim, tetapi terserah pada hakim
4 Retno Wulan
Sutantio dan Iskandar Oerip Kartawinata, 1997, Hukum Acara Perdata Dalam
Teori dan Praktek, Mandar Maju, Bandung, hal, 87.
23
untuk menerimanya/ tidak. Artinya, hakim leluasa untuk mempercayai atau tidak mempercayai keterangan seorang saksi. Selanjutnya, oleh undang-undang ditetapkan bahwa keterangan satu orang saksi tidak cukup. Artinya, hakim tidak boleh mendasarkan putusannnya tentang kalah menangnya suatu pihak atas keterangannya satu orang saksi saja. Jadi kesaksian itu selalu harus ditambah dengan suatu alat pembuktian lain. 3.
Persangkaan Persangkaan ialah suatu kesimpulan yang diambil dari suatu peristiwa yang sudah terang dan nyata. Dari peristiwa yang terang dan nyata ini ditarik kesimpulan bahwa suatu peristiwa lain yang harus dibuktikan juga telah terjadi5. Dalam hukum pembuktian, ada dua macam persangkaan, yaitu : a. Persangkaan yang ditetapkan oleh UU sendiri. Pada hakekatnya merupakan suatu pembebasan dari kewajiban membuktikan sesuatu hal untuk keuntungan salah satu pihak yang berperkara. b. Persangkaan yang ditetapkan oleh hakim. Terdapat dalam suatu pemeriksaan perkara dimana untuk pembuktian suatu peristiwa tidak bisa didapatkan saksi-saksi dengan mata kepala sendiri telah melihat peristiwa itu.
5 Ibid.
h. 90.
24
4.
Pengakuan Sebenarnya suatu pengakuan bukan suatu alat pembuktian, karena jika suatu pihak mengakui sesuatu hal, maka pihak lawannya dibebaskan dari kewajiban untuk membuktikan hal tersebut, sehingga tidak dapat dikatakan pihak lawan ini telah membuktikan hal tersebut, sebab pemeriksaan di depan hakim belum sampai pada tingkat pembuktian. Menurut undang-undang, suatu pengakuan yang dilakukan di depan hakim, merupakan suatu pembuktian yang sempurna tentang kebenaran hal atau peristiwa yang diakui. Ini berarti, hakim terpaksa untuk menerima dan menganggap suatu peristiwa yang telah diakui memang benar-benar telah terjadi, meskipun sebetulnya ia sendiri tidak percaya bahwa peristiwa itu sungguh-sungguh telah terjadi.
5.
Sumpah Menurut undang-undang ada 2 (dua) macam sumpah, yaitu : a. Sumpah yang menentukan. Sumpah yang menentukan adalah swumpah yang diperintahkan oleh salah satu pihak yang berperkara kepada pihak lawannya untuk maksud mengakhiri perkara yang diperiksa oleh hakim. b. Sumpah tambahan Suatu sumpah tambahan adalah suatu sumpah yang diperintahkan oleh hakim pada salah satu pihak yang
25
berperkara, apabila hakim itu berpendapat bahwa di dalam suatu perkara sudah terdapat suatu “permulaan pembuktian”, yang perlu ditambah dengan penyumpahan, karena dipandang kurang memuaskan untuk menjatuhkan putusan atas dasar bukti-bukti yang terdapat itu. Hakim leluasa apa ia akan memerintahkan suatu sumpah tambahan atau tidak. Jadi tidak ada keharusan untuk memerintahkan sumpah tersebut6.
3. Pengertian Alat Bukti Elektronik “Dokumen elektronik menurut Edmon Makarim adalah data/informasi yang diolah oleh sistem informasi secara elektronis tentunya akan tersimpan dala suatu media tertentu secara elektronis”7 Pengertian Alat Bukti Elektronik dalam pasal 1 ayat 4 Undang- undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yaitu Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat,ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol 6 Ibid,
h. 94.
7 Edmon
90.
Makarim, 2004, Kompilasi Hukum Telematika, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. h,
26
atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
2.4 Dasar Hukum Alat Bukti Elektronik Dalam hal pembuktian mengenai apakah e-mail dapat dijadikan sebagai alat bukti dalam proses peradilan perdata, kita perlu merujuk pada ketentuan dalam Undang- undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Kedudukan e-mail sebagai salah satu Dokumen Elektronik yang dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah, hal tersebut didasarkan dalam pasal 5 Undang- undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Pasal 5 (1).
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.
(2).
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.
(3).
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan SistemElektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.
27
(4).
Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk: a)
surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis; dan
b)
surat beserta dokumennya yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk akta notarilatau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.
5. Teori-Teori Pembuktian Dalam proses pembuktian terdapat tiga teori yang dipakai oleh hakim di dalam menilai alat bukti yang diajukan oleh para pihak yaitu : 1. Teori Pembuktian bebas Teori ini menghendaki kebasan seluas-luasnya bagi hakim, didalam menilai alat bukti, Hakim tidak terkait pada satu ketentuan hukum, atau setidak-tidaknya ikatan-ikatan oleh ketentuan umum harus dibatasi seminimum mungkin. Menghendaki kebebasan yang luas berarti menaruh kepercayaan kepada hakim untuk bersikap penuh rasa tanggung jawab, jujur, tidak memihak, bertindak dengan keahlian dan tidak terpengaruh oleh apapun dan siapapun 8.
8 Hari Sasangka, 2005, Hukum Pembuktian Dalam Prkara Perdata untuk Mahasiswa Dan Praktisi, Bandung, h 23.
28
2.
Teori Pembuktian Negatif Teori ini menginginkan adanya ketentuan-ketentuan yang mengikat, yang bersifat negative. Ketentuan tersebut membatasi hakim dengan larangan untuk melakukan sesuatu yang berhubungan dengan pembuktian. Jadi hakim dilarang dengan pengecualian. ( Pasal 306 RBg/169 HIR, pasal 1905 KUHPerdata). 9 Pasal 306 RBg/169 HIR : “Keteranagn Seorang saksi saja, dengan tidak ada suatu alat bukti lain, tidak dapat dipercayai di dalam hukum”
9 Ibid,
h. 24.
29
Pasal 1905 KUHPerdata : “Keterangan seorang saksi saja, tanpa suatu alat bukti lain, di muka pengadilan tidak boleh dipercaya” 3.
Teori Pembuktian Positif Dalam teori ini menghendaki adanya perintah kepada hakim. Disini hakim diwajibkan, tetapi dengan syarat. (Pasal 285 RBg/165 HIR, Pasal 1870 KUHPerdata)10 Pasal 285 RBg/165 HIR : “ Akta otentik, yaitu suatu surat yang dibuat menurut ketentuan undang undang oleh atau di hadapan pejabat umum yang berkuasa untuk membuat surat itu, memberikan bukti yang cukup bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya dan sekalian orang yang mendapat hak daripadanya, tentang segala hal yang tersebut dalam surat itu, dan juga tentang yang tercantum dalam surat itu sebagai pemberitahuan saja ; tetapi yang tersebut kemudian itu hanya sekedar diberitahukan itu langsung berhubungan dengan pokok yang disebutkan dalam akte tersebut. Pasal 1870 KUHPerdata : “ Suatu akta otentik memberikan diantara para pihak beserta ahli waris- ahli warisnya atau orang-orang yang mendapat hak dari
10
Ibid, h. 25.
30
mereka, suatu bukti yang sempurna tentang apa yang dimuat didalamnya.” Dari uraian diatas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa hukum pembuktian terdiri dari : 1.
Pembuktian Formil, mengatur cara bagaimana mengadakan pembuktian seperti terdapat dalam RBg/HIR.
2.
Pembuktian materiil, mengatur dapat tidaknya diterima pembuktian dengan alat-alat bukti tertentu di persidangan serta kekuatan pembuktian dari bukti itu.
2.6 Teori- Teori Tentang Beban Pembuktian Dalam proses pembuktian, hakim membebankan kepada para pihak untuk mengajukan alat-alat buktinya. Ada beberapa teori tentang beban pembuktian yang dijadikan pedoman bagi hakim : a) Teori pembuktian subjektif( teori hak) Menurut teori ini, bertujuan mempertahankan hukum subjektif
dan
siapa yang mengemukakan atau mempunyai suatu hak harus membuktikannya. b) Teori hukum objektif Menurut teori ini, mengajukan gugatan hak atau gugatan berarti bahwa pengugat
meminta pada hakim agar hakim menerapkan ketentuan-
ketentuan hukum objektif terhadap peristiwa yang diajukan.
31
c) Teori hukum acara dan Teori Kelayakan Kedua teori ini bermuara pada hasil yang sama yakni hakim seyogianya berdasarkan kepatutan membagi beban pembuktian. Menurut teori ini
asas audi et alteram partem atau juga asas
kedudukan prosesuil yang sama dari para pihak dimuka hakim merupakan asas pembagian beban pembuktian. Hakimharus membagi beban pembuktian berdasarkan kesamaan kedudukan para pihak, dengan demikian hakim harus membagi beban kepada kedua belah pihak secara seimbang dan adil sehingga kemungkinan menang antara para pihak adalah sama. d) Teori Pembuktian yang bersifat menguatkan belaka (Bloot Affrmatief) Menurut teori ini siapa yang mengemukan sesuatu harus membuktikannya dan bukan yang mengikari atau menyangkalnya.
32