BAB II PEMBINAAN AKHLAK, NARAPIDANA DAN LEMBAGA PEMASYARAKATAN
A. Pembinaan Akhlak 1. Pengertian Pembinaan Akhlak Akhlak berasal dari bahasa Arab, yaitu isim masdhar dari kata akhlaqa, yukhliqu, ikhlaqan, sesuai dengan timbangan (wazan) tsulasi mazid af‟ala, yuf‟ilu if‟alan yang berarti al-sajiyah (Perangai), aththabi‟ah (kelakuan, tabi’at, watak dasar), al-„adat (kebiasaan, kelaziman), al-maru‟ah (peradaban yang baik), dan al-din (agama).1 Secara sempit, pengertian akhlak dapat diartikan dengan kumpulan kaidah untuk menempuh jalan yang baik, jalan yang sesuai untuk menuju akhlak, pandangan akal tentang kebaikan dan keburukan.2 Untuk menjelaskan pengertian akhlak dari segi istilah ini kita dapat merujuk kepada berbagai pendapat para pakar di bidang ini. a. Menurut Ibnu Maskawih (941 - 1030 M): keadaan jiwa seseorang yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa melalui pertimbangan pikiran dahulu. Keadaan ini terbagi dua, ada yang berasal dari tabiat aslinya, ada pula yang diperoleh dari kebiasaan yang berulang-ulang 1
Ahmad Bangun Nasution, Akhlak Tasawuf: Pengenalan, Pemahaman, dan Pengaplikasiannya (Disertai Biografi Tokoh-tokoh Sufi), (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), hlm. 30. 2 Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm. 1-2.
22
23
b. Imam Al-Ghozali (1055 – 1111 M) dam Ihya Ulumuddin menyatakan: Akhlak adalah daya kekuatan (sifat) yang tertanam dalam jiwa yang mendorong perbuatan-perbuatan yang spontan tanpa memerlukan pertimbangan pikiran. Jadi, akhlak merupakan sikap yang melekat pada diri seseorang dan secara spontan diwujudkan dalam tingkah laku dan perbuatan. c. Muhyidin Ibnu Arabi (1165 – 1240 M): Keadaan jiwa seseorang yang
mendorong
manusia
untuk
berbuat
tanpa
melalui
pertimbangan dan pilihan terlebih dahulu. Keadaan tersebut pada seseorang boleh jadi merupakan tabiat dan bawaan, dan boleh jadi jugan merupakan kebiasaan melalui latihan dan perjuangan. d. Syekh
Makarim
Asy-Syirazi:
Akhlak
adalah
sekumpulan
keutamaan maknawi dan tabiat batini manusia. e. Al-Faidh Al-Kasyani (w. 1091 H): Akhlak adalah ungkapan untuk menunjukan kondisi yang mandiri dalam jiwa, yang dirinya muncul perbuatan-perbuatan dengan mudah tanpa didahului perenungan dan pemikiran.3 Jadi pada hakikatnya khuluq (budi pekerti) atau akhlak adalah suatu kondisi atau sifat yang telah meresap dalam jiwa dan menjadi kepribadian. Dari sinilah timbul berbagai macam perbuatan dengan cara spontan tanpa dibuat-buat dan tanpa memerlukan pemikiran. Dapat dirumuskan bahwa akhlak ialah ilmu yang mengajarkan
3
Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hlm. 33-34.
24
manusia berbuat baik dan mencegah perbuatan buruk dalam pergaulannya dengan Tuhan, manusia, dan makhluk sekelilingnya.4 Pembinaan akhlak menurut ibnu maskawih dititik beratkan kepada pembersihan pribadi dari sifat-sifat yang berlawanan dengan tuntutan agama, seperti takabur, pemarah dan penipu. Keluhuran akhlak sebagai media untuk menduduki tingkat kepribadian yang berbobot Islam. Dengan pembinaan akhlak dapat dicapai terwujudnya manusia yang ideal yang bertaqwa kepada Allah SWT dan cerdas. Di dunia pendidikan pembinaan akhlak dititik beratkan kepada pembentukan mental sesorang agar tidak mengalami penyimpangan. Sebab pembinaan akhlak berarti seseorang dituntun agar memiliki rasa tanggung jawab.5 2. Istilah Lain dari Akhlak Dalam kehidupan sehari-hari istilah akhlak sering disamakan dengan etika, moral dan budi pekerti. Istilah-istilah tersebut mempunyai persamaan sekaligus perbedaan, untuk menghindari timbulnya kesalahan pengertian masing-masing istilah, maka berikut akan dijelaskan pengertian masing-masing istilah berikut:
4
Asmaran AS, Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 1 Sudarsono, Etika Islam Tentang Kenakalan Remaja, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), hlm. 147-150. 5
25
a. Moral Perkataan moral berasal dari bahasa latin mores yaitu jamak dari kata mos yang berarti adat kebiasaan.6 Dalam kamus umum bahasa Indonesia moral diartikan sebadai kaidah tentang baik dan buruk suatu perbuatan atau kelakuan.7 Selanjutnya moral secara istilah suatu istilah yang digunakan untuk menentukan batas-batas dari sifat, perangai, kehendak, pendapat atau perbuatan yang secara layak dapat dikatakan benar, salah, baik dan buruk.8 Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa moral lebih bersifat praktis dengan menggunakan norma dalam masyarakat sebagai acuannya, sedangkan akhlak dan etika lebih bersifat teoritis. b. Budi Pekerti Budi Pekerti berasal dari dua kata “budi” dan “pekerti”. Kata budi berasal dari bahasa sansekerta budh yang berarti sadar, sedang kata pekerti dalam bahasa Indonesia mempunyai arti kelakuan yang disadari. Rahman Djatmiko mengartikan budi adalah sesuatu yang berhubungan dengan kesadaran yang didorong oleh perasaan hati yang disebut behavior. Jadi budi pekerti merupakan
6
hasil
perpaduan
antara
rasio
dan
rasa
yang
Asmaran As, Op. Cit., hlm. 8. W.J.S Purwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), hlm. 654. 8 Abuddin Nata, Op. Cit., hlm. 92. 7
26
bermanifestasi pada karsa dan tingkah laku manusia. Dengan demikian dapat dapat dikatakan bahwa budi pekerti pada umumnya dapat digunakan untuk menunjukkan kepada suatu pengertian yang bersifat praktis.9 Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa istilah moral, budi pekerti, akhlak, sopan santun, kesusilaan dan lain sebagainya umumnya digunakan dalam pengertian yang bersifat praktis. Sedangkan istilah ilmu akhlak dan etika lebih banyak digunakan dalam daratan ilmiah dan teoritis. Akhlak yang telah diuraikan diatas, berbeda dengan moral dan etika. Perbedaannya dapat dilihat terutama dari sumber yang menentukan mana yang baik dan mana yang buruk. Yang baik menurut akhlak adalah segala sesuatu yang berguna, yang sesuai dengan nilai dan norma agama. Yang buruk adalah segala sesuatu yang tidak berguna, tidak sesuai dengan nilai dan norma agama. Yang menentukan baik dan buruk dalam moral dan etika adalah adat istiadat dan pikiran manuia dalam masyarakat pada suatu tempat di suatu masa. Oleh karena itu, dipandang dari sumbernya, akhlak bersifat tetap dan berlaku untuk selama-lamanya. Sedangkan moral dan etika berlaku
9
selama
masa
tertentu
di
suatu
tempat
tertentu.
Imam Suraji, Etika dalam Al-Qur‟an dan Al-Hadits (Jakarta: PT. Pustaka Al Husna Baru, 2006), hlm. 31.
27
Konsekuensinya, akhlak bersifat mutlak, sedang moral dan etika bersifat relatif (nisbi).10 3. Dasar dan Tujuan Akhlak a. Dasar-dasar Akhlak 1) Al-Qur’an Melalui firman Allah dalam Al-Qur’an surat QS. AlQalam 68 : 4 berikut ini:
Artinya: sesungguhnya engkau (Muhammad) adalah orang yang berakhlak sangat mulia. (QS. Al-Qalam:4). Pujian Allah ini bersifat individual dan khusus hanya diberikan
kepada
Nabi
Muhammad
karena
kemulian
akhlaknya. Penggunaan istilah khulukun „adhim menunjukan keagungan dan keagunggan moralitas rasul, yang dalam hal ini adalah Muhammad SAW. dengan lebih jelas, Allah pun memberikan penjelasan secara transparan bahwa akhlak Rasulullah sangat layak untuk dijadikan standar modal bagi umatnya, sehingga layak untuk dijadikan idola yang teladani sebagai uswah khasanah, melalui firman Allah dalam AlQur’an surat Al-Ahzab 33: 21 berikut ini:
10
Muhammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), hlm. 355.
28
Artinya: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”. (Qs. Al-Ahzab. 21) 2) Al-Hadits Dalam ayat Al-Qur’an telah diberikan penegasan bahwa Rasulullah merupakan contoh yang layak ditiru dalam segala sisi kehidupannya. Disamping itu, ayat tersebut juga mengisyaratkan tidak ada satu sisi gelap pun yang ada pada diri Rasulullah, karena semua isi kehidupannya dapat ditiru dan diteladani. Ayat diatas juga mengisyaratkan bahwa Rasulullah sengaja diproyeksikan oleh Allah untuk menjadi “lokomotif” akhlak umat manusia secara universal, karena Rasulullah diutus sebagai rahmatallil „alamin. Hal ini didukung pula dengan hadits yang berbunyi:
. Artinya: sesungguhnya aku ini diutus hanyalah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia (HR. Malik). Hadits
tersebut
menunjukan,
karena
akhlaknya
menempati posisi kunci dalam kehidupan umat manusia, maka substansi misi Rasulullah itu sendiri adalah untuk
29
menyempurnakan akhlak seluruh umat manusia agar dapat mencapai akhlak yang mulia. Tentang akhlak Rasullullah dijelaskan pula oleh
Aisyah ra. Diriwayatkan oleh imam muslim. Dari Aisyah ra. Berkata: “Sesungguhnya Akhlak Rasullulah itu adalah AlQuran”.11 b. Tujuan Pembinaan Akhlak Pembinaan akhlak bertujuan hendak menciptakan manusia sebagai mahluk yang tinggi dan sempurna dan membedakannya dari mahluk yang lain. Pembinaan akhlak merupakan faktor dominan dalam pembentukan kepribadian muslim, dalam pelaksanaannya, antara lain bertujuan agar setiap orang berbudi pekerti (berakhlak), bertingkah laku (tabiat), berperangai atau beradat istiadat yang baik, sesuai dengan ajaran Islam.12 M. Moh Rifa’i pembinaan akhlak pada anak mempunyai tujuan diantaranya adalah: 1) Mempersiapkan manusia-manusia yang beriman dan selalu beramal saleh, tidak ada sesuatu apapun yang menyamai amal saleh dalam mencerminkan akhlak mulia. 2) Mempersiapkan insan beriman dan saleh yang menjalani kehidupannya 11 12
sesuai
dengan
ajaran
agama
dan
Nur Hidayat, Akhlak Tasawuf, (Yogyakarta: Ombak, 2013), hlm. 24-25. M. Ali Hasan, Tuntunan Akhlak , Cet. III (Jakarta: Bulan Bintang, 1983), hlm. 11
dan
30
meninggalkan apa yang diharamkan, menikmati hal-hal yang baik dan diperbolehkan serta menjauhi segala segala sesuatu yang dilarang, keji, hina, buruk, tercela dan mungkar. 3) Menciptakan insan yang beriman dan saleh yang bisa berinteraksi secara baik dengan sesamanya, baik dengan orang muslim maupun dengan non muslim, mampu bergaul dengan orang-orang disekelilingnya dengan mencari ridho Allah SWT yaitu dengan mengikuti ajaran Nya serta petunjuk nabi Nya. Mempersiapkan insan beriman dan saleh yang mampu dan mengajak orang lain ke jalan Allah, melaksanakan amal ma‟ruf nahi munkar dan berjuang fi sabilillah demi tegaknya ajaran Islam.13 4. Aspek-Aspek yang Mempengaruhi Pembentukan Akhlak Setiap perilaku manusia didasarkan atas kehendak. Apa yang telah dilakukan oleh manusia timbul dari kejiwaan. Walaupun panca indra kesulitan melihat pada dasar kejiwaan namun dapat dilihat dari kelakuan. Maka setiap kelakuan pasti bersumber dari kejiwan. Kemudian yang menjadi persoalan adalah apa saja yang menjadi dasar seseorang melakukan tindakan? Apabila ditinjau dari segi akhlaknya kejiwaan maka perilaku dilakkukan atas dasar pokok-pokok sebagai berikut:
13
M. Moh Rifa’i, Pembinaan Pribadi Muslim (Semarang: Wicaksana, 1993), hlm. 36.
31
a. Insting Definisi insting oleh ahli jiwa masih ada perselisihan pendapat. Namun perlu diungkapkan juga, bahwa menurut James, insting ialah suatu alat yang dapat menimbulkan perbuatan yang menyampaikan pada tujuan dengan berpikir lebih dahulu kearah tujuan itu dengan tidak didahului latihan perbuatan itu. Pengertian insting lebih lanjut adalah sifat jiwa pertama yang membentu akhlak, akan tetapi suatu sifat yang masih primitif, yang tidak dapat dilengahkan dan dibiarkan begitu saja, bahkan wajib dididik dan diasuh. Cara mendidik dan mengasuh insting kadang-kadang
dengan
ditolak
dan
kadang-kadang
pula
diterimanya. b. Pola Dasar bawaan Pada awal perkembangan jiwa primitif, bahwa ada pendapat yang mengatakan bahwa kelahiran manusia itu sama. Dan yang membedakan adalah faktor pendidikan. Tetapi pendapat baru mengatakan tidak ada dua orang yang keluar di alam keujudan sama dengan tubuh, akal dari akhlaknya. Ada teori yang mengemukakan masalah turunan (bawaan), yaitu: 1) Turunan (pembawaan) sifat-sifat menusia. Dimana-mana tempat orang membawa turunan dengan beberapa sifat yang bersamaan. Seperti, bentuk, panca indera, perasaan, akal dan kehendak.
32
2) Sifat-sifat bangsa. Selain adat kebiasaan tiap-tiap bangsa, ada juga beberapa sifat yang diturunkan sekelompok orang dahulu ke sekelompok orang sekarang. Sifat- sifat inilah menjadikan beberapa orang dai tiap-tiap bangsa berlainan dengan beberapa orang dari bangsa lain, bukan saja dalam bentuk mukanya bahkan juga dalam sifat-sifat yang mengenai akal. Keturunan (pembawaan) bukan satu-satunya sebab dalam pembentukan manusia.14 c. Lingkungan Lingkungan adalah suatu media dimana makhluk hidup tinggal, mencari penghidupannya, dan memiliki karakter serta fungsi yang khas yang mana terkait secara timbal balik dengan keberadaan makhluk hidup yang menempatinya, terutama manusia yang memiliki peranan yang lebih komplek dan riil.15 d. Kebiasaan Kebiasaan ialah perubahan yang diulang-ulang terus sehingga mudah dikerjakan bagi seseorang. Seperti kebiasaan berjalan, berpakaian, berbicara, berpidato, mengajar, dan lain sebagainya.16
14
A. Mustofa, Akhlak Tasawuf, (Bandung Pustaka Setia, 2005), hlm. 82-90. Elly M. Setiadi, et al, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, (Jakarta: Kencana, 2006), hlm.
15
177. 16
A. Mustofa, Op. Cit., hlm. 96.
33
e. Kehendak Kehendak adalah suatu perbuatan yang berdasarkan atas kehendak dan bukan kehendak. Contoh berdasarkan kehendak adalah menulis, membaca, mengarang dan lain sebagainya. Adapun contoh yang bukan berdasarkan kehendak adalah detak jantung, bernafas dan gerak mata.17 f. Pendidikan Secara harfiah, pendidikan berasal dari kata didik. Namun demikian, secara istilah pendidikan kerap diartikan sebagai “upaya”. Pendidikan sebagai kata benda berarti proses perubahan sikap dan tingkah laku seseorang atau kelompokdalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan. Pendidikan dalam arti luas merupakan proses pertumbuhan dan perkembangan sebagi hasil interaksi individu dengan lingkungan sosial dan lingkungan fisik, berlangsung sepanjang hayat sejak manusia lahir.18 B. Narapidana 1. Pengertian Narapidana Untuk dapat melakukan pembahasan terkait pemenuhan hak mendapatkan pendidikan dan pengajaran yang layak bagi anak, maka haruslah diketahui terlebih dahulu beberapa istilah terkait pembahasan tersebut. 17
Ibid. ,hlm. 103. Teguh Wangsa Gandhi, Filsafat Pendidikan: Mazhab-Mazhab Filsafat Pendidikan, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2013), hlm. 62. 18
34
Narapidana adalah orang yang pada suatu waktu tertentu sedang menjalani pidana, karena dicabut kemerdekaan bergeraknya berdasarkan keputusan hakim. Tujuan dari hukuman ini ialah untuk membuat jera dan menyadarkan bagi para narapidana yang telah melakukan tindak kejahatan.19 Berdasarkan Pasal 1 ayat (7) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, narapidana adalah terpidana yang
menjalani
pidana
hilang
kemerdekaan
di
Lembaga
Pemasyarakatan. Menurut Pasal 1 ayat (6) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, terpidana adalah seseorang yang di pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.20 Dari pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa narapidana adalah orang atau terpidana yang sedang menjalani masa hukumannya di Lembaga Pemasyarakatan dimana sebagian kemerdekaannya hilang. 2. Tujuan Pidana Pidana adalah kesengsaraan yang perlu bagi kejahatan yang dilakukan untuk menjaga efektivitas hukum dan menjaga agar masyarakat terikat dan patuh terhadap hukum.21 Ada dua unsur pokok dalam hukum pidana, pertama, adanya suatu norma, sedangkan yang
19
Mubarok, Metodologi Dakwah Terhadap Narapidana, (Jakarta: DEPAG, 1978), hlm.
13. 20
http://handarsubhandi.blogspot.com/2014/11/pengertian-narapidana-dan-hak-hak.html,. Diakses, 26 desember 2014. 21 Soejono, Kejahatan dan Penegakan Hukum di Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 1996), hlm, 35.
35
kedua, adanya sanksi atas pelanggaran norma itu berupa ancaman dengan hukum pidana.22 Terdapat banyak teori mengenai tujuan pidana yang dikenal dengan teori pidana, yaitu teori tentang pembenaran dikenakannya penderitaan berupa pidana terhadap seseorang. Beberapa teori di antaranya dapat disusun dengan sistematika sebagai berikut: a. Teori-teori absolut. Disebut teori absolut karena menurut teori ini pidana seharusnya merupakan sesuatu yang mutlak (absolut) menyusul dilakukannya kejahatan. Pidana dikenakan karena orang melakukan kejahatan, bukannya untuk mencapai suatu tujuan yang lain. Termasuk ke dalam kelompok teori ini antara lain: 1) Teori etis (moral) dari Emmanuel Kant (1724 - 1804). Menurut Kant, “the penal law is a categorical imperative”, suatu perintah mutlak dari moral kita. Oleh karenanya, pidana tidak dapat dijatuhkan sebagai suatu cara untuk mendukung suatu kebaikan yang lain, baik untuk penjahat itu sendiri maupun untuk masyarakat, tetapi dalam semua hal dijatuhkan sematamata karena individu yang bersangkutan telah melakukan kejahatan. 2) Tori logika dialektis dari G.W.F. Hegel (1770 - 1831). Menurut Hegel, keberadaan negara adalah gagasan yang rasional,
22
sedangkan
kejahatan
merupakan
pengingkaran
Pipin Syarifin, Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2000), hlm, 19.
36
terhadap realitas ini, yang niscaya diselesaikan melalui pidana, dimana
pidana
pengingkaran
merupakan
negation
(penyangkalan)
dari
der
negation,
pengingkaran
(penyangkalan). b. Teori-teori relatif. Disebut relatif karena teori-teori ini mencari pembenaran pidana pada tujuan yang hendak dicapai dengan pidana. Pidana dikenakan supaya orang jangan melakukan kejahatan. Teori-teori ini dapat dibagi atas: 1) Teori prevensi umum, yaitu pencegahan yang ditujukan kepada masyarakat pada umumnya. Dengan adanya pidana yang dikenakan pada pelaku kejahatan, maka orang-orang lain (masyarakat)
akan
urung melaksanakan
niatnya
untuk
melakukan kejahatan. Termasuk ke dalam kelompok teori prevensi umum adalah Anselm von Feuerbach (1775 - 1833). 2) Tori prevensi khusus, yaitu pencegahan ditujukan kepada orang yang melakukan kejahatan supaya tidak lagi melakukan kejahatan. Termasuk di sini adalah teori-teori yang bertujuan untuk memperbaiki orang yang melakukan kejahatan. c. Tori-teori penyatuan/integratif. Termasuk dalam kelompok teori ini adalah pandangan Grotius (1583 - 1654) bahwa, “kodrat mengajarkan bahwa barang siapa melakukan kejahatan, ia akan terkena derita” (aspek absolut), tetapi dalam menetapkan berat
37
ringannya derita yang dikenakan tergantung pada kemanfaatan sosial (aspek relatif).23 3. Komponen dalam Pembinaan Narapidana Narapidana adalah manusia yang memiliki spesifikasi tertentu. Secara umum narapidana adalah manusia biasa, seperti kita semua, tetapi kita tidak dapat menyamakan begitu saja, karena menurut hukum, ada spesifikasi tertentu yang menyebabkan seorang tersebut disebut narapidana. Narapidana adalah orang yang tengah menjalani narapidana, tidak peduli apakah itu pidana penjara, pidana denda atau pidana percobaan. Namun pada umumnya orang hanya menebut narapidana bagi mereka yang menjalankan pidana penjara. Karena memiliki spesifikasi tertentu, maka dalam membina narapidana tidak disamakan dengan kebanyakan orang. Membina narapidana harus menggunakan prinsip-prinsip pembinaan narapidana. Ada empat komponen penting dalam membina narapidana, yaitu: a. Diri sendiri, yaitu narapidana itu sendiri. b. Keluarga, adalah anggota keluarga inti, atau keluarga dekat. c. Masyarakat, adalah orang yang berada di sekeliling narapidana saat masih diluar Lembaga Pemasyarakatan, dapat berupa masyarakat biasa, pemuka masyarakat, atau pejabat setempat.
23
Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm. 232-233.
38
d. Petugas, dapat berupa petugas kepolisian, pengacara, petugas keagamaan, petugas sosial, petugas Lembaga Pemasyarakatan, Rutan, Balai Bispa, Hakim Wasmat dan lain sebagainya. Keempat komponen pembina narapidana, harus tahu tentang tujuan pembinaan narapidana, perkembangan pembinaan narapidana, kesulitan yang dihadapi dan berbagai program serta pemecahan masalah. Dalam membina narapidana, keempat komponen harus bekerja sama dan saling memberi informasi, terjadi komunikasi timbal balik, sehingga pembinaan narapidana dapat berjalan sesuai yang diharapkan.24 4. Tempat Pembinaan Narapidana Pada dasarnya dalam membina narapidana, kita mengenal dua tempat. Pertama di Lembaga Pemasyarakatan dan kedua di luar Lembaga Pemasyarakatan. Baik di dalam maupun di luar Lembaga Pemasyarakatan, narapidana harus memiliki syarat-syarat tertentu untuk ditempatkan di salah satu tempat pembinaan narapidana. Keduanya memiliki kebaikan dan kelemahan sendiri-sendiri. Sebab itu setiap pembina narapidana harus mengenal dengan baik tempat pembinaan narapidana, sebelum melakukan tindakan pembinaan. a. Di dalam Lembaga Pemasyarakatan Narapidana
yang
menjalani
pidana
di
Lembaga
Pemasyarakatan, pada dasarnya selama menjalani pidana, telah
24
Harsono, Sistem Baru Pembinaan Narapidana, (Jakarta: Djambatan, 1995), hlm. 51.
39
kehilangan kehilangan kebebasan untuk bergerak, kemerdekaan bergerak, telah dirampas untuk jangka waktu tertentu, atau bahkan seumur hidup. Sekalipun telah diusahakan berbagai hal dalam rangka pembinaan narapidana selama menjalani narapidana, namun ternyata dampak psikologis akibat pidana penjara masih nampak dan memerlukan pemikiran yang tuntas. Bagaimana juga dampak psikologis akibat dari pidana penjara, jauh lebih berat dibanding pidana penjara itu sendiri. Sehingga sebenarnya seorang narapidana tidak hanya dipidana secara fisik, tetapi juga secara psikologis. Pidana psikologis merupakan beban berat bagi setiap narapidana. Melihat berbagai dampak negatif dari pidana penjara, maka Lembaga Pemasyarakatan sebagai instansi yang diserahi untuk membina narapidana, mulai mengembangkan tempat pembinaan narapidana yang tidak berada di dalam Lembaga Pemasyarakatan, tetapi berada di luar Lembaga Pemasyarakatan. b. Di luar Lembaga Pemasyarakatan Berbagai bentuk pembinaan narapidana di luar Lembaga Pemasyarakatan mulai dikembangkan, sebagai alternatif pilihan setelah seseorang menjalani pidana di Lembaga Pemasyarakatan. Berbagai
bentuk
pembinaan
narapidana,
sebagian
telah
dilaksanakan pemerintah oleh Lembaga Pemasyarakatan, tetapi
40
sebagian lagi masih merupakan gagasan, ide, yang masih memerlukan pengembangan. Pada dasarnya tujuan pembinaan narapidana di luar Lembaga Pemasyarakatan adalah mengurangi dampak psikologis akibat pidana pidana penjara, disamping juga upaya untuk mendekatkan diri dari narapidana kepada masyarakat. Dengan pembinaan di luar Lembaga Pemasyarakatan, secara berlahan-lahan narapidana akan mampu beradaptasi dengan masyarakat. Setelah habis masa pidananya.25 5. Hak Narapidana Dalam undang-undang Pemasyarakatan Bab III Warga Binaan Pemasyarakatan bagian pertama narapidana pasal 14, narapidana berhak: a. Melakukan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya; b. Mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani; c. Mendapatkan pendidikan dan pengajaran; d. Mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak; e. Menyampaikan keluhan; f. Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainya yang tidak terlarang; g. Mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan;
25
Harsono, Op. Cit., hlm. 79-87.
41
h. Menerima kunjungan keluarga, penasehat hukum, atau orang tertentu lainnya; i. Mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi); j. Mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga; k. Mendapatkan kebebasan bersyarat; l. Mendapatkan cuti menjelang bebas; dan m. Mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.26 6. Hapusnya Terpidana Menjalankan Pidana Alasan terpidana untuk tidak menjalani pidana yang telah dijatuhkan oleh pengadilan adalah merupakan penerapan hukum terhadap seorang yang dijatuhi sanksi pidana pada suatu saat dihentikan. Begitu juga karena pengaruh waktu dapat menghapuskan hasrat untuk menghukum. Hapusnya terpidana untuk menjalani pidana dapat disebabkan karena: a. Meninggalnya Terpidana Seseorang yang telah dijatuhi pidana oleh pengadilan, sebelum menjalani pidana terpidana meninggal dunia, maka dengan sendirinya kewajiban untuk menjalani pidana itu menjadi gugur.
26
Undang-Undang Pemasyarakatan, (Bandung: Fokusindo Mandiri, 2014), hlm. 10.
42
Pasal 83 KUHP berbunyi: “kewenangan menjalankan pidana hapus jika terpidana meninggal dunia”. Keputusan
pasal
83
KUHP
itu
sebenarnya
dapat
dikecualikan dalam hal bila pidana yang dijatuhkan oleh pengadilan berupa pidana denda. Meskipun orang yang dikenakan pidana denda itu meninggal dunia, ini tidak perlu membawa akibat hapusnya pelaksanaan pidana denda. Sebab denda itu dapat saja dilaksanakan terhadap harta benda yang maninggal. Ketentuan ini dapat ditemukan dalam pelanggaran peraturan mata penghasilan dan sewa negara. Pasal 368 HIR berbunyi: “jika yang melakukan sudah meninggal dunia, sesudah hukuman yang dijatuhi telah menjadi pasti, segala denda dan perampasan, demikian juga biaya dalam perkara pelanggaran tentang mata penghasilan dan sewa negara, ditagih dari ahli waris atau wakil-wakil orang yang meninggal dunia itu.”27 b. Amnesti dan Abolisi dari Presiden Amnesti
adalah
pengampunan
dari
Presiden
yang
menghapuskan semua akibat hukum pidana bagi orang-orang yang telah melakukan suatu tindak pidana. Sementara itu, abolisi merupakan pengampunan dari Presiden yang dapat menghapuskan penuntutan kepada pelaku tindak pidana. Pasal 14 Undang-undang Dasar 1945 berbunyi: “Presiden memberi grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi.” Kemudian dalam UU Darurat No. 11 tahun 1945
27
Alfitra, Hapusnya Hak dan Menuntut Menjalankan Pidana, (Jakarta: Raih Asa Sukses, 2012), hlm.160.
43
disebutkan bahwa Presiden atas kepentingan negara, dapat memberi amnesti dan abolisi kepada orang-orang yang melakukan tindak pidana. Hal ini merupakan kewenangan Presiden sebagai Kepala Negara. c. Adanya Pemberian Grasi dari Presiden Grasi berarti ampun, ampunan, atau pengampunan yang diberi oleh Kepala Negara kepada mereka yang dijatuhi pidana, penggantian jenis pidanan seperti pidana menjadi pidanan seumur hidup. Hanya presiden saja yang berhak memberikan grasi kepada orang yang telah dikenakan pidana oleh pengadilan. d. Tata Cara Pengajuan Grasi oleh Pemohon Dalam UU No. 5 tahun 2010 tatacara pengajuan grasi sebagai berikut: 1) Bahwa hak mengajukan grasi diberitahukan kepada terpidana oleh hakim atau hakim ketua sidang yang memutus perkara pada tingkat pertama, atau jika yang bersangkutan tidak hadir akan diberitahukan secara tertulis oleh panitera pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama. 2) Pengajuan grasi dapat dilakukan oleh terpidana secara langsung, kuasa hukum atau terpidana atau keluarganya dengan persetujuan terpidana.
44
3) Dalam hal terpidana dihukum dengan hukuman mati, maka pengajuan grasi oleh keluarga dapat dilakukan dengan atau tanpa izin terpidana. 4) Permohonan grasi dapat diajukan sejak putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap dan tidak dibatasi tenggang waktu tertentu. 5) Permohonan ini diajukan secara tertulis melalui pengadilan tingkat pertama yang memutuskan perkara tersebut untuk diteruskan ke Mahkamah Agung dan kemudian mendapatkan jawaban dari presiden atau melalui Lembaga Pemasyarakatan tempat terpidana menjalani hukumannya untuk disampaikan kepada Presiden dengan salinan yang ditembuskan kepada pengadilan
tingkat
pertama
dimana
perkara
tersebut
diputuskan. 28 C. Lembaga Pemasyarakatan 1. Pengertian Lembaga Pemasyarakatan Dalam UU pemasyarakatan telah diberi batasan tentang sistem Pemasyarakatan, yaitu suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina dan masyarakat
untuk
meningkatkan
kualitas
warga
binaan
pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak
28
Ibid., hlm, 163.
45
mengulangi tindak pidana, sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab (Pasal 1 angka 2 UU Pemasyarakatan).29 2. Prinsip dan Asas Pembinaan dalam Lembaga Pemasyarakatan Prinsip-prinsip bimbingan dan pembinaan narapidana dalam Lembaga Pemasyarakatan adalah: a. Orang yang tersesat harus diayomi dengan memberikan kepadanya bekal hidup sebagai warga negara yang baik dan berguna bagi masyarakat. b. Penjatuhan pidana bukan tindakan pembalasan dendam dari negara. c. Negara tidak berhak membuat seorang narapidana lebih buruk atau lebih jahat daripada sebelum ia masuk lembaga. d. Rasa tobat tidaklah dapat dicapai dengan menyiksa melainkan dengan bimbingan. e. Selama kehilangan kemerdekaan begerak, narapidana harus dikenalkan kepada masyarakat dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat. f. Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana tidak boleh bersifat mengisi waktu atau hanya diperuntukan bagi kepentingan lembaga atau negara saja. Pekerjaan yang diberikan harus ditujukan untuk pembangunan negara.
29
Undang-Undang Pemasyarakatan, Op. Cit., hlm. 3-4.
46
g. Bimbingan dan didikan harus bedasarkan pancasila. h. Tiap orang adalah manusia dan harus diperlakukan sebagai manusia meskipun ia telah tersesat. Tidak boleh ditunjukan kepada narapidana bahwa ia itu penjahat. i. Narapidana itu hanya dijatuhi pidana hilang kemerdekaan. j. Sarana fisik lembaga dewasa ini merupakan salah satu hambatan pelaksanaan sistem pemasyarakatan.30 Sistem pembinaan pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan atas beberapa asas yaitu: a. Pengayoman; b. Persamaan perlakuan dan pelayanan; c. Pendidikan; d. Pembimbingan; e. Penghormatan harkat dan martabat manusia; f. Kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan. g. Terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu.31 3. Bentuk-bentuk
Pembinaan
Terhadap
Warga
Binaan
Pemasyarakatan (WBP) di Dalam Lembaga Pemasyarakatan a. Pembinaan Tahap Awal (Pasal 9 (1) PP 31/99) Pembinaan pada tahap ini terdapat narapidana yang memenuhi syarat diberikan cuti menjelang bebas atau pembebasan 30 31
Harsono, Op. Cit., hlm. 2. Undang-Undang Pemasyarakatan, Op. Cit., hlm. 6.
47
bersyarat dan pembinaannya dilakukan di luar lapas oleh balai pemasyarakatan (bapas) yang kemudian disebut pembimbingan klien pemasyarakatan. b. Pembinaan
Tahap
Lanjutan
(Pasal
9
(2)
a
PP
31/99)
Tahap Pertama waktunya dimulai sejak berakhirnya tahap awal sampai dengan 1/2 dari masa pidananya. Pada tahap ini pembinaan masih dilaksanakan di dalam lapas dan pengawasannya sudah memasuki tahap medium security. c. Pembebasan
tahap
akhir
(Pasal
9
(3)
PP
31/99)
Tahap kedua Dimulai sejak berakhirnya masa lanjutan pertama sampai dengan 2/3 masa pidananya. Pada tahap ini pengawasan kepada narapidana memasuki tahap minimum security. Dalam tahap lanjutan ini, narapidana sudah memasuki tahap asimilasi. Selanjutnya, napi dapat diberikan cuti menjelang bebas atau pembebasan bersyarat dengan pengawasan minimum security.32
32
https://lapasnarkotika.wordpress.com/2007/12/05/pembinaan-bagi-tahanan-napi/, Diakses, 28 oktober 2015.