BAB II LANDASAN TEORI (PENDEKATAN HOLISTIK DALAM KONSELING PASTORAL)
2.1. Pengantar Dalam bab II ini akan dideskripsikan landasan teoritis mengenai pendekatan holistik (menyeluruh) serta penerapannya dalam konteks pastoral bagi pengungsi Buru di Lembah Agro. Selain itu, akan disajikan pula landasan teologi dan landasan teori analisis permasalahan. 2.2. Pengertian Holistik Holistik adalah suatu pendekatan praktis dari konsep holism yang menjelaskan fenomena yang berkaitan dengan fungsi (maksud, kegiatan) dari keseluruhan (bentuk, totalitas, kesatuan) yang menjadi prinsip penuntu bagian-bagiannya. Menjelaskan kegiatan bagian-bagian dari suatu keseluruhan dalam kaitan dengan fungsi keseluruhan itu1. Fay dalam bukunya yang berjudul Contemporary Philosophy of Social Sciences, ia mendefinisikan holism sebagai paham-paham yang menjelaskan, bahwa pengalaman individu merupakan suatu bagian dari fungsi mereka didalam masyarakat atau suatu bagian dari beberapa sistem makna yang lebih luas. Dalam pandangan holism, identitas individu ditentukan oleh identitas keseluruhan keanggotaan kelompoknya, sebab identitas individu pada dasarnya dihasilkan oleh kekuatan sosial dan kebudayaan disekitar individu tersebut. Individu ada dan 1
Lorens Bagus, Kamus Filsafat (1996), 293
menjadi dirinya karena dibentuk oleh lingkungan sosialnya. Paham holism seperti ini menekankan bahwa masyarakat dan kebudayaan menjadi sumber sekaligus yang “membatasi” aktifitas individu. Dengan kata lain, dapat dijelaskan juga bahwa kebudayaan dan masyarakatlah yang menentukan karakter atau hakekat anggotanya.2 Metodologikal holism ini adalah mengutamakan mengamati fenomena sosial sebagai dasar untuk mendapatkan teori atau penjelasan dasar tentang individu. Alasannya adalah karena individu hanya dapat dimengerti atau dipahami dalam konteks dan konstruksi lingkungan sosialnya.3 Masyarakat dan kebudayaan ini merupakan elemen-elemen esensial yang memelihara seluruh sistem pendukung kehidupan manusia. Oleh karena itu, untuk mendapatkan pengalaman menyeluruh dan komprehensif tentang manusia, kita harus mempelajari lingkungan tempat manusia itu hidup. Jadi pada dasarnya, pandangan holism, yang memahami dan mempelajari manusia, alam dan lingkungannya secara interdependen merupakan studi yang “berpusat pada manusia”.4 Holism adalah cara pandang yang juga melihat individu sebagai suatu system organisme. Sebagai suatu organisme, maka individu dianggap lebih daripada kumpulan dari bagian-bagiannya. Menurut prinsip ini, sebuah gangguan kecil pada bagian tubuh manusia dapat mengganggu perkembangan dan tingkah laku.5 Holism memiliki daya tarik dalam ilmu-ilmu sosial karena fokusnya bukan pada individu tetapi pada satu kelompok, dengan demikian, mendukung
2
Bryan Fay, Contemporary Philosophy of Social Sciences. ( Massachusetts : Blackwell Publishers, 1997) , 50 3 Ibid. 4 Robert Gwinn (Ed), The New Encyclopedia Britanica. Vol17, (Chicago : The University of Chicago, 1989) , 979 5 Robert Gwinn, Contemporary Philosophy of Social Sciences, 686
pendekatan holistik dan bukan hanya fenomena individu semata. Sehingga hasilnya, ilmu tidak hanya menggambarkan objek studinya tetapi menjelaskan mengapa mereka berada atau berkelakuan seperti itu. Selanjutnya, dalam bidang kebudayaan dan kemasyarakatan, paham ini menyadarkan para ahli kebudayaan dan komunitas tempat manusia itu berada memiliki kuasa untuk mengubah individu-individu yang diam didalamnya. Sebab kebudayaan manusia pada dasarnya dibentuk atau disusun oleh system holistik yakni teknologi, ekonomi, struktur sosial dan politik, agama, bahasa, nilai dan lainnya yang saling berhubungan erat. Dengan interaksi komponen-komponen tersebut diatas, masyarakat akan berubah melalui satu seri tahapan transformasi struktur dan fungsi dalam masyarakat tersebut. Termasuk didalamnya produktifitas dan kesehatan sangat ditentukan oleh ikatan sosial dalam masyarakat tersebut. Itu sebabnya, kerjasama sosial cenderung dibentuk oleh kebutuhan-kebutuhan yang ada dalam tiap individu. Artinya, tiap hubungan antar pribadi dalam masyarakat pada hakekatnya diatur demi menunjang kebutuhan tiap orang. 6 Pada abad 20, psikologi juga sudah diarahkan untuk berinteraksi langsung dengan ilmu-ilmu lain untuk mengatasi berbagai persoalan manusia. Salah satu tokoh pelopor psikologi yang berpikir secara holistik adalah William James seperti yang dikutip oleh Crapps, ia berpendapat bahwa jalan menuju kesehatan pribadi adalah jalan penyatuan unsur-unsur yang ada dalam pribadi manusia, termasuk didalamnya unsur kepercayaan (agama). 7 Itulah sebabnya, studi
6
David Sills (Ed), International Encyclopedia of The Social Sciences Vol3-4 (New York : Macmillan Co & The Free Press, 1968), 340-341 7 Roberts W. Crapps, Dialog Psikologi dan Agama Sejak William James hingga Gordon W Allport (Yogjakarta : Canisius, 1986-Terjemahan), 34
psikologi agama menurut Crapps telah berkembang kepada studi yang melihat manusia sebagai satu keutuhan. Crapps mengatakan : Keutuhan kepribadian merupakan konsep penting dalam psikologi agama yang tugas pokoknya adalah mengadakan analisis rasional. Bagaimana sesuatu dapat diketahui dengan tepat tanpa memecahkan keseluruhan menjadi bagian-bagian yang membentuknya? Psikologi agama harus terus menerus menyadarkan diri bahwa keseluruhan pribadi manusia lebih daripada kumpulan dari bagian-bagiannya.8 2.3. Pendekatan Holistik Dalam Layanan Pastoral Bentuk penerapan konsep holism dalam studi layanan pastoral diawali dengan kesadaran tentang pentingnya ilmu-ilmu sosial diintegrasikan dengan ilmu teologi untuk mendapatkan pemahaman yang utuh tentang manusia. Joe dan Henriot mengatakan bahwa untuk mendapatkan hasil pelayanan yang optimal terhadap masalah sosial termasuk masalah jiwa yang dihadapi masyarakat dewasa ini, gereja tidak cukup dengan ilmu teologi tetapi juga ilmu lainnya. Pendekatan ini dikenal sebagai “lingkaran pastoral” yang menjelaskan bahwa mendekati masalah manusia tidak hanya dengan analisa teologis (iman) tetapi juga analisa cultural, analisa sosial analisa personal, analisa teologis dan perencanaan. 9 Menyadari pentingnya pelayanan pastoral yang holistik, dewasa ini diseluruh seminari teologi di Amerika dimasukkan mata kuliah Pastoral Care dan konseling sebagai mata kuliah utama. Kuliah ini disatukan dengan training dan praktek di Rumah Sakit dan bekerja sama dengan berbagai lembaga seperti CPE (Clinic Pastoral Education).10
8
ibid, 35 Joe Holland dan P.Henriot, Analisis Sosial dan Refleksi Teologis : Kaitan Iman dan Keadilan (Yogyakarta : Canisius, 1985), 9 10 Rotney J Hunter, Dictionary of Pastoral Care and Conseling ( Nashville : Abingdon Press, 1990), 499 9
Pendekatan holistik ini mulai diterapkan di Amerika sejak Boisen ikut mencetuskan CPE atau Clinical Pastoral Education (1923-1944). Boisen saat itu mengkritik gereja yang tidak mampu melayani kebutuhan manusia secara utuh. Gereja menutup mata terhadap kebutuhan para penderita gangguan jiwa. Ia berkata : If a man has a broken leg he cant in almost any part of the country be care for in a church hospital, at church expense, and under church auspices; but if he has a broken heart he is sent to estate institution, there to be forgotten by the church.11 Biosen menegaskan bahwa tujuan dari pelayanan pastoral termasuk pada mereka yang menderita sakit adalah membawa orang itu kembali pada relasi yang benar dengan Allah. Untuk itu menurut boisen, yang bermasalah membutuhkan pendampingan dari seorang konselor yang dapat mendengarkan dan memahami keautentikan dari klien.12 Aar Martin Van Beek dalam bukunya yang berjudul
Konseling Pasoral
membagi hidup manusia menjadi empat aspek yaitu fisik, sosial, mental dan spiritual dimana dapat digambarkan sebagai berikut.
11
Ibid. Charles Gerkin, Konseling Pastoral dalam Transisi (Canisius Yogjakarta dan BPK Jakarta, 1992), 48-49 12
Persekutuan Rasa syukur
Keluarga teman Uang Pekerjaan
SPIRITUAL
Rasa aman dstr.
Harga diri Emosi Pola pemikiran dstr.
MENTAL
SOSIAL
FISIK Olah raga Makan
Kesehatan Jasmani Dstr
Gambar 1. Skema Holistik Umat. 13 Gambar di atas menunjukan bahwa setiap masalah manusia dapat sekaligus merupakan masalah sosial dan fisik atau merupakan masalah mental dan rohani, dan seterusnya. Di samping itu, suatu masalah yang pada dasarnya merupakan masalah sosial dapat menimbulkan masalah psikis atau mental. Suatu masalah yang jasmani dapat menimbulkan kesulitan psikis atau rohani. Kenyataan ini dapat digambarkan dan dijelaskan sebagai berikut : SOSIAL
SPIRITUAL C D
E B
MENTAL
FISIK A
Gambar 2. Skema Hubungan Antar Aspek. 14
13
Aart Martin van Beek, Konseling Patoral (Semarang : Satya Wacana, 1987), 26
A. Masalah fisik menimbulkan masalah mental. Contoh : seorang yang sakit terus akan lebih cepat depresi dan tersinggung. B. Masalah mental menimbulkan masalah sosial. Contoh : orang yang tidak bermotivasi kuat tidak akan berhasil dalam karirnya. C. Masalah spiritual menimbulkan masalah sosial. Contoh : orang yang tidak pernah ingin ke gereja tidak merasa diberkati dalam persekutuan yang kuat D. Masalah sosial menimbulkan masalah fisik. Contoh : seseorang yang tidak punya gaji yang cukup dan mempunyai keluarga besar akan menderita kekurangan gizi. E. Masalah mental yang menimbulkan masalah spiritual. Contoh : seseorang yang sakit jiwa akan sering mengungkapkan pandangan theologies yang tidak masuk akal dan seterusnya. Kecenderungan dari masalah manusia untuk saling mempengaruhi, seringkali dapat mengakibatkan suatu lingkaran dari persoalan yang menjadi suatu lingkaran setan yang cukup kompleks. Contoh:
14
Ibid, 27
Masalah Sosial Ekonomi : Pekerjaan (Hasil pekerjaan menurun)
masalah Jasmani : tidak bisa tidur
masalah Psikis Mental (rasa minder)
Masalah sosial : uang (Gaji tidak cukup)
masalah sosial : keluarga (bentrok soal ekonomi)
masalah Rohani/Spiritual (MAlu bergaul dengan masyarakat lain)
Gambar 3. Skema Lingkaran Permasalahan. 15 Gambar diatas menunjukkan bahwa nampak sekali suatu persoalan dapat menyebabkan timbulnya masalah baru yang bersifat sama ataupun yang bersifat lain sehingga terbentuk suatu lingkaran penderitaan yang tidak dapat diretakkan. Disamping itu, setiap kesulitan yang baru cenderung untuk memperkuat kesulitan yang dulu (lihat garis-garis titik diatas). Seumpamanya masalah sosial-keluarga mengakibatkan masalah rohani atau spiritual yang mengakibatkan masalah psikis. Dalam situasi ini, kemungkinan besar bentrokan keluarga akan dipertajam. Masalah bukan sesuatu yang begitu saja dapat dipotong dari keseluruhan kehidupan kita. Kehidupan itu tidak bisa dianalisa lapisan demi lapisan. Tetapi merupakan suatu proses yang berjalan terus. Aart Martin van Beek mengungkapkan bahwa manusia, dalam hal ini individu, selalu berkembang dari suatu fase kehidupan ke fase kehidupan yang lain. Hal itu juga harus dipahami
15
Ibid, 28
oleh konselor pastoral secara menyeluruh atau holistik. Manusia berkembang dalam segi fisik, emosional, pandangan hidup (iman dan moral) dan seterusnya. 16 Pendekatan pastoral di Barat didasarkan pada pandangan holisme dan bertujuan untuk membawa manusia kepada pertumbuhan yang utuh. Sebab pendekatan pastoral menyadari bahwa hambatan pada satu bidang atau aspek dapat menimbulkan hambatan pada bidang atau aspek lainnya. Howard Clinebell dalam bukunya Growth Conceling mengatakan bahwa pada dasarnya tujuan layanan pastoral adalah membawa 6 aspek dalam hidup manusia dalam pertumbuhan yang harmonis dalam interaksinya. Keenam aspek pertumbuhan itu adalah pertumbuhan dalam pikiran, revitalisasi tubuh, relasi yang kaya dengan orang lain, hubungan yang akrab dengan alam dan biosphere, bertumbuh dengan lembaga yang bermakna bagi hidup kita dan dimensi hubungan dengan Allah. 17 Tujuan konseling kristen adalah membawa keenam dimensi itu pada pertumbuhannya yang utuh sehingga individu dapat menjadi agen rekonsiliasi dan agen keutuhan ditengah keluarga, masyarakat dan gereja. Konsekuensi logis dari pemahaman diatas menjelaskan bahwa layanan pastoral mau atau tidak mau harus terbuka pada sumbangan ilmu lainnya. Ketidaksediaan untuk membuka diri terhadap sumbangan ilmu-ilmu lainnya, maka keputusan dan layanan pastoral yang dilakukan bagi mereka yang bermasalah tidak pernah akan cukup dalam memberi solusi. Bahkan dalam banyak hal, ilmu-ilmu sosial lebih mampu memberikan informasi lengkap tentang realita manusia kepada kita dari pada ilmu teologi.18
16
Ibid, 29 Howard Clinebell, Growth Conceling : Hope-Centered Methods of Actualizing Human wholeness (Nashville : Parthenon Press, 1982), 17 18 Mesach Krisetya, Teologia Pastoral (Salatiga : Fakultas Teologi UKSW, 1998), 55 17
Dalam konteks keenam dimensi manusia diatas, Clinebell mengemukanan bahwa keenam dimensi itu saling terkait satu dengan lainnya. Apabila satu aspek belum terpenuhi maka akan berdampak pada laju pertumbuhan hidup seseorang. Dengan demikian pendampingan pastoral yang dilakukan gereja harus membantu seseorang untuk menemukan keutuhan dalam kehidupannya. Clinebell membuat formulasi dalam bentuk diagram
berkenan dengan pelayanan pendampingan
pastoral yang dilakukan gereja sebagai berikut:
Gambar 4: Diagram Holistik. 19
Dari gambar di atas, Clinebell menjadikan aspek spiritual sebagai kunci dari pertumbuhan kehidupan manusia. Clinebell berpendapat bahwa “spiritual growth is the key
to all human growth. Because human beings are inherently
transpersonal and transcendent, there is no way to fulfill one self except in relationship to lenger spiritual reality”.20dalam konsep ini, Clinebell memberi pemahaman bahwa agama bukan ditujukan pada lembaga, melainkan sebagai 19
C Howard Clinebell, Tipe-tipe Dasar Pendampingan dan Konseling Pastoral, (Jogjakarta: Kanisius dan BPK, 2002), 50 20 Howard Clinebell, Growth Counseling, 101
usaha menumbuh-kembangkan kehidupan spiritualitasnya. Lewat pengalaman spiritual yang mendalam seseorang dapat menjadikan hidupnya sejahtera secara utuh. 2.4. Landasan Teologis Secara teologis dimensi Holistik nampak pada kata syalom yang dikisahkan dalam kitab Perjanjian Lama. Kata syalom sebenarnya menunjuk pada suatu keadaan yang sejahtra pada diri seseorang. Dalam buku-buku literature kebanyakan menjelaskan bahwa syalom memiliki arti sehat, aman, damai dan sejahtra. Sedangkat menurut kata Ibrani, syalom secara etimologi berasal dari ” Sh-l-m”. menurut Evans, ada tiga konsep yang terkandung dalam kata syalom yaitu “totality the adjective syalom istranlated ‘whole’), well –being and harmony”.21 Konsep ini merupakan cakupan dari kata syalom, dimana mencakup keseluruhan aspek kehidupan manusia. Aspek Holistik lain dalam cerita Alkitab, nampak pada cerita penciptaan. Kej pasal 2 ayat 7 memberi kesaksian yang berkaitan dengan subtansi dari manusia. Kesatuan dari manusia itu sendiri dari pneuma-psikologi-somatis. Menurut Eka Darma Putera,, susunan kesatuan manusia itu adalah sebagai berikut: 1.
2.
3.
21
Manusia adalah debu (adama), mengarah pada aspek fisik. Artinya bahwa manusia mempunyai tubuh, materi. Allah membuat itu! Dan Allah juga memperhatikan kebutuhan fisik dari manusia (kej 2:9) Manusia memiliki jiwa (psyche), mengarah pada aspek mental. Manusia diciptakan Allah dengan kebutuhan kejiwaannya. Allah mengerti dan tidak membiarkan manusia kesepian (Kej 2:18). Manusia diberi kebebasan (Kej 2:16), manusia diberikan tanggung jawab dan kepercayaan (Kej 2:15). Manusia memiliki Roh, mengarah pada aspek spiritual. Artinya bahwa Allah memberikan “nafas hidup”, bahkan menghembuskannya dari “nafas hidup” Allah sendiri (Kej 2:7). Dengan demikian ada relasi yang sangat sakral antara Allah dan manusia. Dalam Maz 8:6 dituliskan
Evans, C. F. “Peace”, A Theologycal Word Book Of The Bible, 1950), 165
bahwa “Engkau telah membuat hampir sama seperti Allah, dan telah memahkotanya dengan kemuliaan dan hormat. Manusia pun diciptakan serupa dan segambar dengan Allah (Kej 1:26,27). Artinya bahwa manusia adalah representasi dari Allah itu sendiri. Richard M. Gula, S.S dalam buku yang berjudul Etika Pastoral mengemukakan berapa pandangan teologisnya berkaitan dengan studi konseling pastoral.
Richard
berpendapat
bahwa
pelayanan
pastoral
sesungguhnya
merupakan suatu panggilan dan profesi. Dikatakan panggilan karena perayanan pastoral adalah tanggapan bebas terhadap panggilan Tuhan di dalam dan melalui komunitas untuk mengabdikan diri dalam cinta demi pelayanan kepada sesama. 22 Selanjutnya Richard juga menjadikan tiga hal penting dalam etika teologis sebagai akses memahami maksud Tuhan, yaitu Perjanjian, citra Allah, dan Kemuridan. 1. Perjanjian Kesaksian alkitab tentang perjanjian membentuk model hubunganhubungan pelayanan. Dalam alkitab, konteks perjanjian menyingkapkan apa yang dikehendaki oleh Tuhan dan apa yang seharusnya dilakukan oleh anggota-anggota yang setia dalam hubungan-hubungan perjanjian. Cirriciri dasariah perjanjian adalah cara perjanjian itu dibentuk, yaitu rahmat adalah langkah pertama. Allah yang memulainya dari cinta kasih (Keluaran 6:7; 19:4-5). Kita lebih banya dicari daripada mencari. Israel mengakui bahwa perjanjian adalah suatu anugrah, suatu kehormatan atas diri mereka (Im 26:9-12; Yer 32:38-41). Citra kita tentang gereja sebagai umat Allah dikaitkan dengan panggilan Tuhan untuk suatu hubungan perjanjian (2 Kor 6: 16; Ibr 8: 10; Why 21: 3). Cara untuk memahami 22
Richard M. Gula, S.S, Etika Pastoral, (Yogjakarta: Kanisius, 2009), 25-27
gereja ini mengajarkan kita untuk memahami dan menghargai kodrat perjanjian pelayanan pastoral berhubungan dengan pelayan bukan hanya dengan seorang yang mencari pelayanan pastoral, tetapi juga dengan Tuhan dan seluruh komunitas. Konteks Eklesial pelayanan pastoral akan selalu mencakup hubungan-hubungan perjanjian ini. Ciri-ciri lain dari perjanjian adalah bahwa kelayakan dan keluhuran datang pertama-tama dari cinta Tuhan atas diri manusia dan bukan dari hasil prestasi pribadi manusia atau peran-peran sosial mereka. Dalam kitab Ulangan misalnya, pemilihan Allah atas Israel pertama-tama karena kesetiaan penuh cinta, dan bukan karena kebesaran Israel (Ul 7:7-8). Dalam kitab Yesaya, dilukiskan tentang Allah yang mencintai umat perjanjian bagi kepentingan mereka sendiri dan bukan demi keberadaan mereka yang berguna (Yes 43:1 ;4 ; 41:8-16). Hosea melukiskan cinta Allah bagi umat yang memberontak melalui wajah orangtua yang lembut bagi anaknya (Hos 11:1-9). Dalam perjanjian baru, salah satu wajah Yesus yang disukai oleh mereka yang hidupnya berdasarkan cinta Tuhan, yang tak bersyarat adalah sang anak (Mat 18:1-5). Apa yang membuat wajah sang anak begitu cocok adalah keamanan si anak yang berakar dalam keinginan akan cinta itu dan bukan dalam sesuatu yang dicapai sang anak. Cirri-ciri lain dari perjanjian adalah kebebasan, bukan hanya kebebasan Allah untuk mencintai manusia tetapi juga kebebasan manusia untuk menerima atau menolak cinta itu. Cinta ilahi yang mendukung manusia tidak menghancurkan kebebasannya. Tawaran cinta Tuhan menantikan penerimaan dari setiap orang. Berperan serta dalam perjanjian
itu bersifat sukarela. Bagaimanapun juga, sekali kita menerima tawaran cinta, kita membuktikan diri hidup sesuai tawaran perjanjian. 2. Citra Allah Manusia pada dasarnya diciptakan menurut citra Allah. Pandangan teologis tentang “menjadi manusia” merupakan pusat dari tradisi etis kekristenan. dalam perjanjian, terdapat dasar teologis untuk memahami posisi Allah dalam hidup moral dan manusia sebagai panutann wajah Allah. Inisiatif Allah untuk mengadakan perjanjian dengan manusia mendukung keluhuran martabat manusia dan kodrat sosial manusia yang merupakan kriteria kunci untuk menilai semua aspek moral. Tindakantindakan
yang
benar
adalah
tindakan
yang
mendukung
dan
mengembangkan kemajuan pribadi-pribadi manusia dalam komunitas. Memahami pribadi manusia dalam kaitan dengan Allah menggaris bawahi dua dimensi manusia, yaitu suci dan sosial. Melalui tema citra Allah (Maz 8:5; 1 Kor 11:7; Yak 3:9), dengan tegas kitab suci menegaskan kesucian atau keluhuran tiap pribadi. Tiap pribadi adalah suci berarti mengatakan bahwa Allah telah menjalin hubungan dengan manusia dan bahwa manusia tidak bisa memahami pribadinya terlepas dari keberadaannya dalam Allah. Kisah penciptaan memberitahukan bahwa puncak penciptaan adalah pria dan wanita dan diciptakan sesuai dengan citra Allah (Kej :26-27). Secara implist, kisah penciptaan itu mengungkapkan bahwa setiap pribadi manusia mempunyai keluhuran yang tak terpisahkan dari berkat cinta
Allah. Keluhuran manusia itu terdapat didalam dirinya bahkan sebelum dia mampu meraih prestasi atau kedudukan sosial (Kej 4-11). 3. Kemuridan Pengertian pemuridan diarahkan pada suatu wujud penerimaan terhadap Yesus Kristus sebagai norma pelayanan dan hidup moral. Kehidupan seperti ini adalah kehidupan yang memasuki jalan kemuridan. Hal ini bertujuan untuk menanggapi undangan Yesus : “Datang, ikutilah Aku” (Mat 19:21). Mengikuti Yesus berarti hidup dalam semangat Yesus, ambil bagian dalam hidup dan nasibnya, berbagi pengalaman dalam ketaatan-Nya yang bebas dan cinta kasihnya kepada kehendak Bapa. Menjadi seoran pengikut Yesus berarti menyesuaikan diri dengan-Nya yang menjadi seorang hamba dan bahkan memberikan diri-Nya pada salib (Fil 2:5-8). Tantangan panggilan kemuridan bagi hubungan manusia dengan pelayanan pastoral adalah untuk menjadikan cara hidup Yesus sebagai patokan. Setiap orang yang percaya pada Yesus dipanggil untuk mencerminkan apa yang dilakukan-Nya, dibentuk oleh sabda dan perbuatan-Nya untuk tetap setia kepada Tuhan dan hadir ditengah-tengah orang lain dalam zaman sekarang seperti Yesus berada pada zaman-Nya.23 2.5.Fungsionalisasi Layanan Pastoral. Agar layanan pastoral dapat berfungsi dengan baik, maka pengertian tentang layanan
pastoral
perlu
diperhatian dengan
baik.
mengemukakan defenisi layanan Pastoral sebagai berikut:
23
Richard M Gulo, S.S, Etika Pastoral, 31-54
Clebsch
dan
Jaekle
“ The ministry of the cure of soul, or pastoral care, consist of helping acts, done by representative Christian persons. Directed toward the healing, sustaining, guiding, and reconciling of traubled persons whose troubles arise in the context of ultimate meanings and concerns.”24 Hal-hal yang penting untuk diperhatikan dari defenisi di atas adalah: 1. Pekerjaan pelayanan pastoral gereja dilakukan oleh orang-orang yang disebut representatif (Pendeta, Presbyters, Diaken, Para Tua-tua, dll). Pendekatan yang seperti itu memberi peluang yang sangat besar bagi peran aktif orangorang tertentu dalam suatu komunitas gereja dan mengabaikan peran aktif dari komponen yang lain dalam pelayanan gereja. Dengan demikian pendekatan seperti ini sudah harus ditinjau, dalam rangka memberikan peran kepada semua komponen dalam persekutuan jemaat untuk melakukan tanggung jawab bersama. 2. Pelayanan Pastoral ditujukan kepada orang-orang yang bermasalah. Konsepsi ini mengandung pengertian bahwa layanan pastoral hanya akan dilakukan jika seseorang mengalami masalah dalam kehidupannya. Itu artinya jika seseorang tidak bermasalah maka sudah barang tentu ia tidak memerlukan pelayanan pastoral. Layanan Pastoral yang seperti ini tidak mencakup aktifitas kepada orang-orang
yang
sekalipun
tidak
bermasalah
tetapi
membutuhkan
pendampingan dalam rangka pertumbuhan. Jadi seharusnya suatu layanan pastoral tidak terbatas bagi orang-orang yang mengalami masalah saja. 3. Pelayanan Pastoral berorientasi induvidualistik. Dengan demikian fokus utama pelayanan pastoral adalah masalah pribadi saja. Kelemahannya adalah masalah-masalah pastoral tidak hanya bersifat pribadi saja tetapi juga bersifat komunal (kelompok). 24
William A. Clebsch,Charles R. Jaekle, Pastoral Care In Historical Peerspective,( USA: Harper dan Row,1967),p.4-10.
4. Layanan Pastoral mengabaikan aktivitas menolong yang lain di dalam gereja. Artinya orang-orang yang melakukan pekerjaan memberi pertolongan di dalam layanan pastoral tidak harus terbatas pada masalah-masalah yang ultima saja. Terkait dengan itu maka Perintah melayani dalam bentuk penggembalaan memiliki
fungsi
penyembuhan
(healing),
penopangan
(sustaining),
pembimbingan (guiding), dan pendamaian (reconciling). 1. Penyembuhan (healing) : merupakan suatu fungsi pastoral yang bertujuan untuk mengatasi beberapa kerusakan dengan cara mengembalikan orang itu pada suatu keutuhan dan menuntun dia kearah yang lebih baik dari kondisi sebelumnya. 2. Penopangan (sustaining) berarti, menolong orang yang terluka untuk bertahan dan melewati suatu keadaan yang di dalamnya pemulihan kepada kondisi semula atau penyembuhan dari penyakitnya tidak mungkin atau tipis kemungkinannya. 3. Pembimbingan (guiding), berarti membantu orang-orang yang kebingungan untuk menentukan pilihan-pilihan yang pasti di antara berbagai pikiran dan tindakan alternatif, jika pilihan-pilihan demikian dipandang sebagai yang mempengaruhi keadaan jiwanya sekarang dan akan datang. 4. Pendamaian (reconciling), berupaya membangun ulang relasi manusia dengan sesamanya, dan antara manusia dengan Allah. Secara tradisi gereja, pendamaian menggunakan dua bentuk yaitu pengampunan dan disiplin. Tentunya dengan didahului dengan pengakuan.25
25
William A. Clebsch, Charles R. Jaekle, Pastoral Care in Historical Perspekttif, 33-66
Dalam buku Sang Terluka yang Menyembuhkan, stres adalah ketegangan beban yang menarik kita dari segala penjuru, tekanan yang kita rasakan pada saat menghadapi tuntutan atau harapan yang menantang kemampuan kita untuk mengatasi dan mengelola hidup. Stres bisa dipahami dan dilihat dalam dua bentuk yaitu stres biasa dan stres traumatik. Tidak semua stres bersifat traumatik. Malahan pada kenyataannya sebagian besar stres merupakan stres biasa yang akibatkan oleh berbagai tekanan hidup sehari-hari.
26
Ciri-ciri umum kedua jenis
stres ini berbeda. Perbedaannya yaitu: Table 1. Ciri-ciri Umum Stres Biasa dan Stres Traumatik Stres Biasa
Stres Traumatik
Bertahap Menjadi rapuh bagaikan baju yang dipakai dan dicuci serta digilas keraskeras untuk waktu yang lama, Menumpuk semakin lama semakin berat, bagaikan tumpukan jerami yang membebani punggung unta Dampak pada setiap orang berlainan
Mendadak, tiba-tiba Menusuk tajam (menyakitkan sekali) bagaikan kain tipis yang dikoyak sebilah pisau Kejadiannya mendadak namun bisa mendatangkan efek jangka panjang Menakutkan hampir bagi siapa saja.
Namun tidak semua orang mengalami stres dengan cara yang sama. Orang mengalami stres tergantung kepada beberapa hal yaitu 1. Faktor Biologis / Genetik: Usia dan kematangan. Warisan genetik yang mereka miliki 2. Pemicu Stres:
26
Tekanan dan harapan orang lain atas diri mereka.
Karl dan B Evelin., Sang Terluka Yang Menyembuhkan (Stres & Trauma Healing), Pustaka Muria, Semarang, 2005), 6-22
Seberapa banyak dukungan ataupun kritik yang mereka dapatkan dari keluarga atau teman.
3. Kapasitas Menangani Stres
Kemampuan untuk mengatasi berdasarkan pada pengalaman masa lalu mereka. Harkat diri Iman dan harapan mereka kepada Tuhan.
Menurut Norman Wright, ada 10 hal yang bisa menimbulkan stres, yaitu : 1.
Rasa bosan atau merasa semua hal yang dilakukan tidak berarti.
2.
Tekanan-tekanan waktu dan batas waktu yang harus dipenuhi
3.
Beban kerja yang berlebihan dapat menciptakan tekanan pada hidup seseorang dan sekali lagi hal ini sering ditimbulkan oleh diri sendiri.
4.
Harapan-harapan yang tidak realistis terhadap diri sendiri atau terhadap orang lain.
5.
Konflik dalam peranan kita dapat menyebabkan ketegangan.
6.
Masalah keuangan dan ketidakpastian pekerjaan.
7.
Terhalangnya pengungkapan emosi dan macetnya komunikasi yang terbuka dalam suatu hubungan.
8.
Orang-orang yang membangun rasa jati diri dan rasa harga diri mereka atas dasar yang tidak mantap, misalnya dalam pekerjaan, akan mengalami stres.
9.
Kurangnya pengertian tentang tahap-tahap perkembangan orang dewasa yang normal dapat menyebabkan tekanan pribadi maupun tekanan dalam pernikahan.
10.
Kepribadian Tipe-A yaitu kerpibadian yang didominasi oleh rasa tidak aman dalam batin mengenai status dan oleh sifat hiperagresif.27
27
Norman Wright, konseling Krisis,,(Malang: Gandum Mas, 2006), 257-258
Untuk mengatasi setiap stres, maka patutlah diperhitungkan apa yang jadi pemicu stres tersebut. 28 Stres pada seseorang akan tampak lewat berbagai gejala tubuh dan penampilan fisik. Dalam bukunya, Karl dan Evelin Barth mengatakan ada berbagai dampak stres yang bisa diamati pada diri orang yang mengalami stres. Yaitu: Table 2. Gejala-gejala Stres Gejala Fisik
28
Jantung berdebar Meningkatnya tekanan darah Nafas memburu Otot-otot menegang Sakit kepala Pening Sakit ditulang punggung Infeksi kronis Gangguan kesehatan kulit Gangguan menstruasi Maag Gemetar Mimpi buruk
Emosi
Marah Cepat gusar Tindak kekerasan Takut kepada orang Serangan rasa panik Mati rasa Tegang Mudah curiga Tidak berdaya Depresi Rasa bersalah berlebihan Gejolak perasaan Kehilangan minat
Karl dan B Evelin., Sang Terluka Yang Menyembuhkan (Stres & Trauma Healing) 6-22
Table 3. gejala-gejala Stres. 29
Tindakan
Leah, kekurangan tenaga, terus menerus merasa lelah Jorok Menurunnya disiplin diri Minum alcohol dan obat berlebihan makan terlalu banyak atau terlalu sedikit Tidak bisa tidur atau sebaliknya Kurang bisa mengendalikan dorongan sesaat
Hubungan-hubungan
Menarik diri dari teman, keluarga dan lingkunan sekitar Kesulitan berhubungan intim dalam konteks seksual dan sosial sulit menjalankan peranan sosial dalam pernikahan keluarga maupun pekerjaan
Percakapan Pastoral merupakan pelayanan yang dilakukan oleh gereja dan melalui gereja oleh Yesus kristus. Di mana para pelayan sebagai utusan Allah bertindak sebagai pelaksananya. 30 Perlu untuk memahami bahwa penggembalaan selalu bersifat holistik, artinya bahwa memandang pribadi yang bermasalah itu tidak secara terpecahpecah, tetapi harus didekati sebagai kesatuan, keutuhan yaitu secara fisik, mental, sosial, spiritual.31 Gereja lebih dari pada hanya lembaga manusia atau lembaga sosial saja; ia adalah suatu “gamaiden atau gemeinschaften” yang artinya komunitas itu adalah “persatuan antara orang-orang (umat) yang dihasilkan dari dan dikonstitusikan oleh yang menjadikan mereka rohani dan pribadi-pribadi yang merdeka”.32 Jadi gereja adalah persekutuan rohani yang terjadi dengan suatu kesadaran bersama sebagai milik Allah. Gereja terdiri dari persekutuan orang-orang yang telah 29
Ibid. Ch. J. L Abineno. Percakapan Pastoral dalam Praktik, (Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 2004), 5 31 Mesach Krisetya, Clinical Pastoral Education in Java ; theological and Cultural Consideration. Thesis 1990), 15-20 32 Karl Rahner , Theology and Pastoral Action, (Neo York:Herder dan Herder, 1968), 26 30
sosial
diperbarui oleh Kristus atau tepatnya, telah mengalami trasformasi. Basis persekutuan mereka adalah spiritual dan tidak ada yang lain kecuali Kristus sendiri. Konsep tentang gereja sebagai suatu komunitas rohani didukung oleh beberapa gambaran alkitabiah. Tetapi gambaran yang paling dalam adalah gereja sebagai Tubuh Kristus. Gambaran gereja sebagai tubuh Kristus yang terdapat di dalam I Korintus 12:12-31 adalah organis, dari pada sosiologis atau organisasi. Gereja dianalogikan dengan tubuh manusia yang dilengkapi dengan berbagai macam organ tubuh. Dan tubuh Kristus yang berbeda dengan organisme biasa apapun, memiliki suatu prinsip kehidupan Ilahi-roh Kudus.33 Gambaran ini mempunyai tujuan utama yaitu untuk menjelaskan persatuan mutualitas, perhatian timbal balik, solidaritas dan yang lebih penting dari semuanya adalah interdependensi dari semua anggota tubuh, satu kepada yang lain. Dalam paparannya tentang proses memberikan pertolongan kepada orang yang mengalami masalah, Wright34 mengemukakan delapan langkah.
Langkah yang pertama adalah intervensi segera. Langkah ini ditempuh dengan cara menciptakan suatu keseimbangan, -menggunakan teknik memberi dukungan, -menghindari hal-hal yang dapat mengakibatkan malapetaka.
Langkah kedua adalah Aksi. Langkah ini ditempuh dengan cara sebagai berikut: - melihat ke masa depan, -mengeksplorasi kekuatan dan kelemahan orang tersebut, - menetapkan kebutuhan-kebutuhan yang mendesak, melakukan
klarifikasi,
-
memfasilitasi
mempertimbangkan alternatif-alternatif
33 34
atau
memberi
baru.
Every Dulles. Models Of the Church (New York: Image Book, 1978), 46 H. Norman Wright, Konseling Krisis , 75-99.
petunjuk,
-
Langkah ketiga adalah menghindari katastrophe. Langkah ini ditempuh dengan menetapkan tujuan konseling dan merestorasi orang yang mengalami krisis serta menciptakan keseimbangan.
Langkah keempat adalah membantu menciptakan harapan bagi orang yang mengalami krisis. Upaya ini ditempuh dengan memberikan informasi dan interaksi.
Langkah kelima adalah memberikan dukungan. Langkah ini dapat dilakukan dengan cara-cara
sebagai berikut: jika karena adanya suatu situasi yang
mendesak, klien dapat menghubungi konselor melalui telepon. Selain itu diperlukan juga sistim dukungan yang diperluas. Hal lain yang diperlukan adalah menjadikan konseling sebagai sesuatu yang bernilai.
Langkah keenam adalah fokus pada pemecahan masalah. Untuk maksud ini diperlukan adanya tawaran akan hal-hal yang nyata, fokus pada kenyataan, mengembangkan teknik mendengarkan, mendeteksi level kegelisahan klien, mengeksplorasi perasaan klien.
Langkah ketujuh adalah membangun rasa menghargai diri sendiri. Hal pertama yang diperlukan dalam langkah ini adalah konsistensi dan kemudian menanamkan kepercayaan terhadap proses konseling. Langkah kedelapan adalah menanamkan kepercayaan diri sendiri. Dalam tahapan ini upaya yang perlu dilakukan adalah: - membangun mekanisme kelompok, -mendorong keyakinan pada diri klien bahwa ia dapat menolong dirinya sendiri.
2.6. Model Developmental Gerard Egan35 dengan model Developmental mengemukakan langkahlangkah yang akan ditempuh dalam upaya melaksanakan layanan konseling pastoral. Model Developmental mengagas tiga langkah / stage dalam upaya memberi pertolongan itu sendiri. Stage I : Helper response and client self-exploration. Stage II : Intergrative Understanding / dynamic self – understanding. Stage III: Action Programs. Ide yang terkandung dalam langkah-langkah yang dikemukakan Egan adalah bahwa keberhasilan sangat ditentukan secara timbal balik. Peran aktif harus dimainkan bukan saja oleh penolong tetapi juga oleh orang yang ditolong. Orang yang memberi pertolongan harus dapat menciptakan atmosfir sedemikian rupa agar orang yang sedang ditolong dapat mengeksplorasi dirinya sendiri. Dengan mengeksplorasi dirinya sendiri, maka klien kemudian akan ditolong untuk menemukan “pemahaman diri yang dinamis”. Pada akhirnya harus dirumuskan program-program aksi. 36 Beberapa unsur dari pemikiran Egan yang perlu dikemukakan selanjutnya: (1). Attending - hadir-. Konseling adalah sebuah aktifitas pertolongan yang bertujuan agar orang yang ditolong dapat menolong dirinya sendiri dan kemudian dapat pula menolong orang lain. Dalam upaya memberi pertolongan itulah aspek human Relation sangat menentukan. Suatu konseling yang konstruktif tidak akan tercipta tanpa adanya suatu relasi baik. Relasi yang baik memerlukan keterbukaan dan saling mempercayai. Relasi 35
Gerard Egan, The Skilled Helper – A Model for Systematic Helping and Interpersonal Relating-, (California : Brooks/Cole,1975), 2-7, 28-54. 36 Ibid.
dalam konseling Pastoral diawali dengan kehadiran orang yang akan memberi pertolongan (konselor/helper). Kehadiran seorang penolong harus diwujudkan baik secara fisik maupun Psykologis. Kehadiran adalah wujud keprihatinan dan kesediaan penolong untuk memberikan pertolongannya. Dengan kehadiran A Shared Compassion telah dimulai. Hadir secara fisik menunjuk pada pengertian bahwa penolong melalui fosturnya menunjukkan kepada klein bahwa ia “ada dengan dan siap sedia” bagi klien. Dengan kehadiran penolong menciptakan kehangatan agar sekalipun dalam situasi yang “kritis” dimana klien “sulit untuk diajak bicara” tetap tercipta peluang bagi klien untuk mengeksplorasi pengalamannya. (2). Empaty. Empaty mununjuk kepada kemampuan untuk mengerti klien dan dunianya dari dalam diri klien (seolah-olah helper berada dalam diri orang yang ditolong) dan kemampuan untuk melihat seolah-olah menggunakan mata klien untuk melihat dunianya dan dirinya seperti apa adanya supaya dapat melihat apa yang “diperjuangkan” klien dan apa yang “dituntut” untuk dapat “bertumbuh”. Empaty membantu helper untuk melihat dunia dalam klien dengan perspektif klien dan bukan dengan perspektif helper. Empaty memungkinkan sebuah masalah dapat dibedakan apakah masalah klien atau masalah orang lain. Dalam hal ini helper akan membantu klien untuk melihat dan menanggapi masalahnya (masalah klien) dari perspektif yang berbeda. Selain itu helper akan mengkomunikasikan pengertiannya bahwa ia mengerti “perasaan, pikiran, tingkah laku serta pengalaman” klien. Dalam proses konseling aspek “perasaan dan tingkah laku” sangat penting untuk diperhatiakn jika klien sedang mengungkapkan pengalamannya. Dalam
konseling pastoral masalah bukanlah yang menjadi prioritas melainkan orangnya, tetapi menolong orang untuk mengeksplorasi dirinya sendiri supaya dapat menolong diri sendiri - Helped for self help-.37 Selain hal diatas, konseling pastoral perlu juga memperhatiakn apa yang disebut dengan istilah trialog. Kalau dalam dialog komunikasi berlangsung dua arah yakni antara helper dan klien, maka dalam Trialog komunikasi komunikasi berlangsung tiga arah, yakni antara Allah, klien dan helper. Dengan Trialog klien ditempatkan dalam relasi dengan Allah agar ia dapat merasakan kehadiran Allah yang memperhatikan dan peduli dengan persoalan yang sedang dihadapinya. Dalam konseling yang demikian, maka Allah akan dapat disadari sebagai realita (yang realita bukan saja yang dapat diindrawi). Konsepsi ini menunjuk pada pemahaman bahwa wilayah kerja dan kompetensi konselor pastoral adalah pertumbuhan spiritual. Di atas telah dikemukakan bahwa konseling Pastoral merupakan aktifitas memberi pertolongan yang berlangsung di atas Realisme kasih Allah yang telah dinyatakan di dalam Yesus Kristus. Sama seperti Allah di dalam Yesus Kristus telah hadir di tengah realisme keberadaan dunia dan manusia, maka konseling sebagai aktifitas memberikan pertolongan harus dimulai dengan “kehadiran” itu sendiri (baik secara fisik maupun psyke). Orang-orang yang berada di dalam krisis memerlukan kehadiran seorang penolong untuk “mendengarkan” apa yang dialami dalam situasi keprihatinan itu. Dalam konseling, seorang penolong akan mendengarkan seluruh pengalaman klien baik yang diungkapkan secara verbal, non verbal maupun paralinguistik. Upaya mengeksplorasi pengalaman klien
37
Ibid.
memerlukan bantuan penolong dan untuk maksud itu diperlukan Empaty. Empaty memungkinkan penolong dapat mengenal klien dari “dunia” klien dan kemudian memberikan respons secara konstruktif. Dengan mekanisme seperti ini, maka konseling telah berlangsung dalam suasana dialogis. Bukan saja dialogis, tetapi konseling krisis memerlukan juga mekanisme trialogis, sebab kesadaran akan kehadiran Allah oleh klien akan memungkinkan klien memaknai realisme pergumulannya. Dengan mekanisme seperti ini dimungkinkanlah pencapaian tahap-tahap dalam model Developmental. Tahap-tahap itu adalah klien dibantu untuk mengeksplorasi pengalamannya dan kemudian memahaminya secara dinamis serta dapat merumuskan program aksi.