BAB II PINDAH AGAMA DARI PERSPEKTIF KONSELING PASTORAL 1. Definisi pindah agama Menurut Jalaluddin, pengertian pindah agama disebut dengan konversi agama. Ia mengemukakan bahwa konversi agama (religious conversion) dapat diartikan dengan berubah agama atau masuk agama.1 Dalam arti tersebut menunjukkan adanya proses berubahnya sikap batin terhadap keyakinan agama, sehingga ada pergantian arah dari agama sebelumnya, sedangkan masuk agama sama artinya dengan berpindah agama. Untuk memberikan gambaran yang lebih mengena tentang maksud kata-kata yang berkenaan dengan pindah agama, Jalaluddin memberikan penjelasan melalui uraian yang dilatar belakangi oleh pengertian secara etimologi, serta terminiloginya, dengan harapan dapat memberikan pengertian yang jelas. Secara etimologi, konversi berasal dari kata latin “conversion” yang berarti: tobat, pindah dan berubah (agama). Selanjutnya kata tersebut dipakai dalam kata inggris conversion yang mengandung pengertian : berubah dari suatu keadaan atau dari suatu agama ke agama lain ( change from one state, or from one religion, to another ).2Sebagai contoh berkaitan dengan pengertian ini adalah seseorang yang sebelumnya beragama Yahudi kemudian berpindah agama ke Kristen, atau juga seorang yang beragama Kristen pindah agama menjadi penganut Islam. Berdasarkan arti kata-kata tersebut dapat disimpulkan bahwa konversi agama secara etimologi mengandung pengertian :berubah agama, berbalik pendirian dari ajaran agama yang satu kemudian masuk ke agama yang lain. Dalam terminologi yang berhubungan dengan konversi agama, beberapa ahli memberikan definisi, seperti berikut : 1. Marx Heirich, dalam American Journal of Sociology,
mengatakan bahwa
konversi agama, adalah suatu tindakan di mana seseorang atau sekelompok orang masuk atau berpindah ke suatu sistem kepercayaan atau perilaku yang berlawanan
1
.Jallaludin, Psikologi Agama, Memahami perilaku keagamaan dengan mengaplikasikan prinsip-prinsip Psikologi, (edisirevisi), Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, hlm.361 2 Samsul Arifin, Bambang, Psikologi Agama, Pustaka Setia, Bandung, 2008, hlm.155
6
dengan kepercayaan sebelumnya.3 Pada terminologi ini, memberikan gambaran bahwa dalam konversi agama terjadi perubahan sikap batin yang radikal, karena menghasilkan perilaku yang bertentangan dengan keyakinan sebelumnya, hal yang demikian akan memengaruhi sikap individu terhadap kelompok agama yang sebelumnya dianut, karena kepercayaan baru yang dianut berlawanan dengan kepercayaan yang dianut sebelumnya. 2. William James, dalam buku The Varieties of Religious Experience, menjelaskan konversi agama dengan kata-kata: to be converted, to be regenerated, to received grace, to experienced religion, to again an assurance, are so many phrases which denotes to the process, gradual or sudden, by which a self better divide, and consciously from inferior and unhappy, becomes unified and consciously right superior and happy, in consequence of it firmer bold upon religious realities. ( bertobat, terlahir kembali, menerima anugrah, mendapatkan pengalaman keagamaan, memperoleh kepastian, serta ada banyak kata-kata yang menujukkan adanya proses perubahan secara bertahap ataupun secara tiba-tiba, dan sadar bahwa dirinya rendah, salah dan tidak berbahagia, menjadi menyatu dan merasa percaya diri, benar dan berbahagia, sebagai akibat menguatnya keyakinan terhadap relitas-realitas keagamaan.).4 Terminologi konversi agama yang dikemukakan William James, menjelaskan tentang pindah agama yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang akan melalui proses, yang membawa akibat adanya perubahan sikap dan perilaku hidup seseorang atau kelompok yang berbeda dengan perilaku sebelumnya, dan perubahan tersebut bisa terjadi secara bertahap, atau secara tiba-tiba. Dalam perubahannya tersebut menumbuhkan perasaan yang memperkuat sikapnya terhadap realitas hidup keagamaan yang baru dianutnya, dengan lain kata tanpa proses tidak akan terjadi konversi agama. Berdasarkan uraian di atas, menurut Jalaluddin fenomena pindah agama secara psikologis menyangkut masalah kejiwaan dan pengaruh lingkungan di mana seseorang atau sekelompok orang itu berada, dan dalam konversi agama memiliki ciri-ciri seperti berikut :
3
Max Heirich, Change of Heart: A Test of Some Widely Held Theories about Religious Conversion, American Journal of Sociology, Vol.83, hlm.654, 4 James William, The Varaties of Religious Experiences, Published in United States of America by Longman, Green and Co, 1902, Penerjemah Gunawan Admiranto, PT. Mizan Pustaka, Bandung, hlm.280.
7
a. Adanya perubahan arah pandangan dan keyakinan seseorang terhadap agama dan kepercayaan yang dianutnya. b. Perubahan yang terjadi dipengaruhi kondisi kejiwaan sehingga perubahan dapat terjadi secara berproses atau secara mendadak. c. Perubahan tersebut bukan hanya berlaku bagi perpindahan kepercayaan dari suatu agama ke suatu agama lain, tetapi juga termasuk perubahan pandangan terhadap agama yang dianutnya sendiri. d. Selain faktor kejiwaan dan kondisi lingkungan maka perubahan itu pun disebabkan karena faktor petunjuk dari yang maha kuasa. Ciri-ciri yang disebutkan di atas menunjukkan bahwa secara psikologis, pindah agama
pada dasarnya adalah proses perubahan keyakinan yang menyangkut
masalah kejiwaan seseorang atau sekelompok orang yang dipengaruhi oleh faktor kejiwaan dan lingkungan, dari pengaruh-pengaruh tersebut menghasilkan perubahan perilaku yang berbeda dengan perilaku sebelumnya. 2. Teori Konversi keagamaan William James mengemukakan dua teori konversi keagamaan, pertama teori pertobatan, kedua transformasi.5 a. Pada teori konversi pertobatan, terdapat dua
pemikiran terhadap orang yang
melakukan konversi agama: Pertama, adanya perasaan berdosa, atau bersalah atas apa yang ada pada masa kini, dari perasaan berdosa tersebut seseorang ingin terbebaskan; dan kedua, ada keinginan yang ideal berbalik dari keberdosaan , yaitu dengan bertobat. Dalam kaitan dengan teori ini konversi adalah proses perjuangan melepaskan diri dari dosa, dan bukan untuk mencapai kesalehan.6 Proses konversi seperti dikemukakan William James tersebut menjadi model konversi berarti pertobatan dari merasa diri benar sendiri dan egois akhirnya menemukan kebahagiaan karena merasa dekat dengan Tuhan dan muncul pula perasaan perduli kepada orang lain. Inti konversi dari perspektif ini adalah "bangkitnya gairah" dan "penuh minat" terhadap agama yang baru dipeluknya, dan proses konversinya cenderung bersifat mendadak.
5
James, William, The Varaties of Religious Experiences, Published in United States of America by Longman, Green and Co, 1902, Penerjemah Gunawan Admiranto, PT. Mizan Pustaka, Bandung, hlm.281-289 6 James, William, hlm.303
8
b. Teori "transformasi", William James menyampaikan pada konversi terjadi secara terus menerus, dan
teori ini tidak hanya melihat konsep konversi sebagai
perpindahan agama, melainkan juga proses berkelanjutan dalam mentaati agama yang dianutnya. Perubahan terus menerus ini adalah bentuk keterbelahan yang lengkap, dalam konversi ini salah satu kelompok keagamaan memegang kendali tindakan dan mendorong munculnya kegiatan, kelompok lainnya berwujud keinginan hidup dalam kesalehan.7 Dalam teori ini terdapat transformasi nilai keagamaan yang dianutnya. c. Teori konversi dari Tomas F.O’Dea, ia berpandangan bahwa dalam sebuah tatanan masyarakat, terdapat suatu kondisi dan gaya hidup yang tidak sama yang melahirkan pandangan, kebutuhan, tanggapan dan struktur motivasi yang beranekaragam. Beberapa prinsip keagamaan akan menunjukkan secara jelas kaitan kongkrit antara kebutuhan dan pandangan kelompok tertentu dari pada kelompok yang lain, yang kadangkala kepentingannya tidak tercermin sama sekali. Masyarakat bukan hanya sekedar sebuah struktur sosial, tetapi juga merupakan proses sosial yang kompleks. Dalam proses sosial dapat menimbulkan perubahan yang begitu cepat dan mengakibatkan tampilnya bentuk-bentuk baru, serta mengganggu struktur yang sudah mapan. Proses perubahan sosial tersebut berlangsung secara berkesinambungan.8 Berdasarkan teori ini konversi agama dipandang sebagai proses sosial yang berpotensi mengganggu struktur sosial seperti lembaga agama yang mapan.
3. Faktor-faktor yang menyebabkan pindah agama Untuk memberikan jawaban mengenai faktor-faktor yang menyebabkan seseorang ataupun sekelompok orang pindah agama, beberapa ahli memberikan pendapat yang berbeda. William James dalam bukunya The Varieties of Religious experience9 dan Max Heirich dalam bukunya Change of Heart10,
menguraikan
tentang faktor-faktor yang mendorong terjadinya pindah agama. Dalam buku tersebut diuraikan pendapat dari para ahli yang terlibat dalam disiplin ilmu, masing-masing
7
James, William, The varieties of Religious Experiences, Published in United States of America by Longman, Green and Co, 1902, Penerjemah Gunawan Admiranto, PT. Mizan Pustaka, Bandung, hlm.287 8 O’Dea, F, Thomas, Sosiologi Agama, Judul Asli: The Sociology of Religion, Jakarta, CV. Rajawali, 1997, hlm.105-114 9 James, William, hlm.327 10 Marx Heirich, Change of Heart, hlm.654
9
mengemukakan pendapat bahwa pindah agama disebabkan faktor-faktor yang ada kecenderungannya dengan bidang ilmu yang mereka tekuni. Menurut William James, dan Marx Heirich, dari perspektif ahli agama menyatakan, bahwa yang menjadi faktor pendorong terjadinya pindah agama adalah petunjuk ilahi. Pada perspektif ini seseorang atau sekelompok orang masuk atau pindah agama karena didorong oleh karunia Allah. Tanpa pengaruh khusus dari Allah orang tidak sanggup menerima kepercayaan yang sifatnya radikal yang mengatasi kekuatan insan, dengan kata lain untuk berani menerima hidup baru dengan segala konsekwensinya diperlukan bantuan istimewa dari Allah.11 Pengaruh faktor ilahi tersebut bersifat personal, subyektif sehingga yang dominan adalah faktor keyakinan kepada Tuhan, seseorang atau sekelompok orang bisa berpindah agama karena pengalaman pribadi dengan Tuhan, yang tidak dialami oleh orang lain, sehingga keadaan ini tak terjangkau oleh pengamatan sosial, serta sulit dijelaskan dengan logika, mereka percaya bahwa yang menjadikan semuanya berubah adalah kehendak Tuhan. Dalam perspektif sosiologi menurut Jalaluddin, yang menyebabkan terjadinya konversi agama adalah pengaruh sosial 12. Adapun pengaruh sosial yang mendorong terjadinya pindah agama itu terdiri dari berbagai faktor antara lain : Pengaruh hubungan antar pribadi baik pergaulan yang bersifat keagamaan maupun non agama ( kesenian, ilmu pengetahuan, ataupun bidang kebudayaan yang lain), pengaruh kebiasaan yang rutin, misalnya : menghadiri secara rutin upacara keagamaan, atau pertemuan-pertemuan yang bersifat keagamaan baik pada lembaga formal ataupun non formal, pengaruh anjuran atau propaganda dari orang-orang yang dekat seperti sahabat, keluarga, famili dan sebagainya, pengaruh karena adanya hubungan baik pemimpin keagamaan,pengaruh perkumpulan yang berdasarkan hobi, pengaruh kekuasaan pemimpin, yang dimaksud di sini adalah pengaruh kekuasaan pemimpin berdasarkan kekuatan hukum.13 Mencermati faktor-faktor yang menyebabkan seseorang pindah agama dari perspektif sosiologis, berhubungan erat dengan terbangunnya
relasi antara seseorang atau
sekelompok orang dengan orang atau kelompok lain. Dalam relasi tersebut saling mempengaruhi, logisnya mereka yang kuat memengaruhi yang lemah, akhirnya seseorang yang identitas agamanya lemah beralih ke yang kuat, sehingga terjadi proses pindah agama. 11
James, William, The Variaties of Religious of Experience, hlm.327 Jalaluddin, Psikologi Agama, Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2011, hlm.363 13 Jalaludin, hlm.363-364 12
10
Hasil suatu penelitian mengenai pindah agama di Israel, yang ditulis dalam jurnal akademis
oleh Daphna Hacer, mengatakan bahwa: empat dari enam
perempuan asal Rusia yang migrasi ke Israel kawin dengan pemuda Yahudi, dan mereka menyatakan pindah agama dari Kristen ortodok ke agama Yahudi.14 Data tersebut merupakan contoh bahwa relasi yang terjadi antara gadis-gadis Rusia, yang beragama Kristen ortodok dengan pemuda Israel beragama Yahudi akhirnya menikah, dan pindah agama Yahudi mengikuti agama suaminya. Di sini adalah bukti bahwa agama mayoritas Yahudi yang dianut pemuda di Israel mempengaruhi gadis Rusia untuk pindah agama. Dalam tinjauan ilmu Psikologi, menurut Hendropuspito, bahwa seseorang pindah agama karena adanya tekanan batin. Tekanan batin itu sendiri timbul dari dalam diri seseorang karena pengaruh lingkungan sosial, tekanan iu bisa timbul dari faktor masalah keluarga, kesepian batin, tidak mendapat tempat dalam kerabat, faktor lingkungan sosial, rencana kawin dengan penganut agama lain dan sebagainya. Adanya pengaruh-pengaruh tersebut menyebabkan tekanan batin, yang kemudian orang itu mencari jalan keluar, dengan mencari kekuatan lain yaitu dengan masuk agama.15Dengan demikian orang masuk agama atau pindah agama dalam perspektif psikologis adalah dalam rangka pembebasan diri dari tekanan batin, dan jawaban atas pembebasan dari tekanan batin itu adalah masuk agama, atau pindah agama.Pada perspektif psikologis ini memberi tekanan bahwa seseorang pindah agama diakibatkan karena adanya tekanan batin, sehingga pindah agama cenderung sebagai pelarian. Persoalannya akan muncul bilamana di kemudian hari mengalami tekanan batin lagi, sehingga bisa terjadi pengulangan pindah agama. Jalaluddin juga berpendapat bahwayang menjadi pendorong terjadinya pindah agama adalah faktor psikologis, yang ditimbulkan oleh faktor intern, seperti kepribadian, keadaan batin individu maupun faktor ekstern, yaitu pengaruh lingkungan.16 Faktor-faktor tersebut apabila mempengaruhi seseorang atau kelompok hingga menimbulkan semacam gejala tekanan batin, maka akan terdorong untuk mencari jalan keluar, yaitu ketenangan batin. Dalam kondisi jiwa yang demikian itu secara psikologis kehidupan batin seseorang itu menjadi kosong dan tak berdaya 14
Hecker, Daphna, (2012), Inter religious in Israel: Gendered Implications for conversion, Children and citizenship, Israel Studies, Vol.14, no. 2, pp 181 15 Hendropuspito, D, (1983), Sosiologi Agama, Kanisius, Yogyakarta, hlm.80 16 Jalaluddin, Psikologi Agama, Rajafindo Persada, Jakarta 2011, hlm.364
11
sehingga mencari perlindungan kekuatan lain yang mampu memberinya kehidupan jiwa yang terang dan tentram dengan masuk agama. Dalam uraiannya ia juga sependapat dengan pendapat William James,17yang berhasil meneliti berbagai pengalaman seseorang yang mengalami konversi agama karena masalah psikologis, pada kesimpulannya ia menyatakan seperti berikut: konversi agama terjadi karena adanya suatu tenaga jiwa yang menguasai pusat kebiasaan seseorang sehingga pada dirinya muncul persepsi baru, dalam bentuk suatu ide yang bersemi secara mantap. Selanjutnya konversi agama dapat terjadi oleh karena suatu krisis ataupun secara mendadak ( tanpa suatu proses).18Atas kesimpulan tersebut menjadi jelas bahwa secara psikologis yang menjadi latar belakang seseorang masuk atau pindah agama karena secara mental mengalami krisis yang serius, sehingga pindah agama merupakan jawaban atas krisis yang dialami seseorang. Berdasarkan gejala tersebut maka William James meminjam istilah yang digunakan Starbuck,ia membagi konversi agama menjadi dua tipe. Pertama, Tipe Volotional (perubahan bertahap)19, konversi agama tipe ini terjadi secara berproses sedikit demi sedikit, sehingga menjadi seperangkat aspek dan kebiasaan rohaniah yang baru. Konversi yang demikian itu sebagian terjadi sebagai proses perjuangan batin yang ingin menjauhkan diri dari dosa karena ingin mendatangkan suatu kebenaran. Kedua, Tipe Self Surrender ( Perubahan drastis )20, konversi agama tipe ini adalah konversi yang terjadi secara mendadak. Seseorang tanpa mengalami suatu proses tertentu tiba-tiba berubah pendiriannya terhadap suatu agama yang dianutnya. Perubahan ini pun dapat terjadi dari kondisi yang tidak taat menjadi lebih taat, dari tidak percaya kepada suatu agama kemudian menjadi percaya.Pada konversi tipe kedua ini William James mengakui adanya pengaruh petunjuk dari yang maha kuasa terhadap seseorang, karena gejala konversi ini terjadi dengan sendirinya pada diri seseorang sehingga ia menerima kondisi yang baru dengan penyerahan jiwa sepenuhnya.21 Pengakuan James tersebut menunjukkan bahwa konversi agama yang dialami seseorang tidak semata-mata karena tekanan batin, tetapi ada faktor lain yang turut mempengaruhinya, yaitu faktor ilahi. 17
. Jalaluddin, (2011), Psikologi Agama, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm.364 , Jalaluddin, (2011), Psikologi Agama, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm.364 19 , James, William, The Varieties of Religious Experience, hlm.300-301 20 , James, William, hlm.301 21 , James, William, 301 18
12
Secara psikologis yang menyebabkan terjadinya pindah agama karena adanya tekanan batin, sehingga pindah agama adalah pembebasan diri dari tekanan. Menurut Jalaluddin , faktor yang melatar belakanginya timbul dari dalam diri (intern) dan dari lingkungan (ekstern)22.Faktor intern, yang ikut memperngaruhinya antara lain : 1. Kepribadian, secara psikologis tipe kepribadian tertentu akan mempengaruhi kehidupan jiwa seseorang. Ia sependapat dengan William James
yang dalam
penelitiannya menemukan, bahwa tipe melankolis yang memiliki kerentanan perasaan lebih mendalam dapat menyebabkan terjadinya konversi agama dalam dirinya,23tetapi perlu ditegaskan bahwa faktor kepribadian yang melankolis bukan menjadi satusatunya faktor penentu terjadinya konversi agama, perlu juga memperhatikan faktor lain, seperti pengaruh dari luar diri individu.
2. Faktor pembawaan, menurut penelitian Guiy E. Swanson, bahwa ada semacam kecenderungan urutan kelahiran mempengaruhi konversi agama. 24 Anak sulung dan anak bungsu biasanya tidak mengalami tekanan batin, sedangkan anak-anak yang dilahirkan pada urutan antara keduanya sering mengalami tekanan jiwa. Kondisi yang dibawa berdasarkan urutan kelahiran itu banyak memengaruhi terjadinya konversi agama. Pendapat Swatson perlu diapresiasi karena didasarkan pada hasil penelitian, tekanan batin yang dialami seseorang bisa mendorong seseorang untuk mencari pelarian dan salah satunya adalah dengan pindah agama. Faktor-faktor ekstern (faktor-faktor luar) yang memengaruhi terjadinya konversi agama adalah: 1. Faktor keluarga, keretakan keluarga, ketidak serasian, berlainan agama, kesepian, kesulitan seksual, kurang mendapatkan pengakuan kaum kerabat, dan lainnya. Kondisi yang demikian menyebabkan seseorang akan mengalami tekanan batin sehingga sering terjadi konversi agama dalam usahanya untuk meredakan tekanan batin yang menimpa dirinya. 2. Lingkungan tempat tinggal, orang yang merasa terlempar dari lingkungan tempat tinggal atau tersingkir dari kehidupan di suatu tempat merasa dirinya hidup sebatang 22
Jalaluddin (2011), Psikologi Agama, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm.365-367 James,William, The Variaties of Religious Experience, hlm, 229, 298, 24 Jalaluddin, (2011), Psikologi Agama, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 366 23
13
kara, apalagi di lingkungan tempat tinggalnya secara agama ia memeluk agama yang tidak sama dengan kebanyakan orang di lingkungannya, keadaan yang demikian menyebabkan seseorang berupaya untuk mendapatkan ketenangan dan mencari tempat untuk bergantung hingga kegelisahan batinnya hilang. 3. Perubahan status, perubahan status terutama yang berlangsung secara mendadak akan banyak mempengaruhi terjadinya konversi agama, misalnya : perceraian, keluar dari sekolah atau perkumpulan, perubahan pekerjaan, kawin dengan yang berlainan agama, dan yang semacamnya. Perubahan status seseorang diawali adanya perasaanperasaan yang menekan seseorang untuk mengambil keputusan, misalnya akan menikah tetapi pasangannya adalah beda agama, maka dalam tekanan batin itulah seseorang akan memberikan keputusannya untuk pindah agama agar bisa melangsungkan pernikahannya. 4. Kemiskinan, kondisi sosial ekonomi yang sulit juga merupakan faktor yang mendorong dan mempengaruhi terjadinya konversi agama. Masyarakat awam yang miskin cenderung untuk memeluk agama yang menjajikan kehidupan dunia yang lebih baik. Kebutuhan mendesak akan sandang dan pangan dapat mempengaruhi seseorang untuk pindah agama, tetapi menurut Hendropuspito, faktor kemiskinan ini tidak mutlak menjadi alasan seseorang untuk berpindah agama.25 Dalam kenyataan sehari-hari masih banyak orang miskin yang setia pada agamanya, dengan demikian benar pendapat Hendropuspito bahwa faktor kemiskinan bukan menjadi alasan utama untuk berpindah agama. 5. Faktor Pendidikan, menurut Jalaluddin, penelitian ilmu sosial menampilkan data dan argumentasi, bahwa suasana pendidikan ikut mempengaruhi konversi agama, 26 walaupun hal ini diakui belum dapat dikumpulkan data secara pasti tentang pengaruh lembaga pendidikan terhadap konversi agama, namun berdirinya sekolah yang bernaung di bawah yayasan agama tentunya mempunyai motivasi keagamaan. Hendropuspito menyatakan bahwa ditemukan banyak fakta dari pendirian sekolahsekolah keagamaan yang dipimpin oleh Yayasan-yayasan berbagai agama. Kenyataan menunjukkan bahwa sebagian kecil saja dari seluruh jumlah anak didik dari sekolah tersebut masuk agama yang dipeluk pendirinya. Hanya sejauh itu dapat dibenarkan sistem pendidikan lewat sekolah termasuk faktor pendorong masuk agama, tetapi para pendiri sekolah akan kecewa bila mereka bertujuan semata-mata untuk mencapai 25 26
Hendropuspita, (1983), Sosiologi Agama, Kanisius, Yogyakarta, hlm.81 Jalaluddin, (2011), Psikologi Agama, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm.367
14
pemeluk baru.27 Dengan demikian pendidikan bisa menjadi faktor seseorang untuk pindah agama, tetapi bukan merupakan hal yang mutlak.
3. Proses Pindah agama Proses pindah agama menyangkut perubahan batin seseorang secara mendasar. Menurut Jalaluddin, proses ini diumpamakan seperti proses pemugaran sebuah gedung bangunan lama dibongkar dan pada tempat yang sama didirikan bangunan baru yang lain sama sekali dari bangunan sebelumnya. 28Terkait dengan analogi tersebut dijelaskan bahwa seseorang atau sekelompok orang yang mengalami proses pindah agama, segala bentuk kehidupan batinnya yang semula mempunyai pola tersendiri berdasarkan pandangan hidup agama yang dianutnya, setelah pindah agama pada dirinya secara spontan ditinggalkan sama sekali. Segala bentuk perasaan batin terhadap kepercayaan lama seperti harapan, rasa bahagia, keselamatan, dan kemantapan berubah menjadi berlawanan arah.Timbullah gejala-gejala baru berupa perasaan tidak lengkap, tidak sempurna. Gejala ini menimbulkan proses kejiwaan dalam bentuk merenung, timbul tekanan batin, penyesalan diri, rasa berdosa, cemas terhadap masa depan dan perasaan susah yang ditimbulkan oleh kebimbangan. Sehubungan dengan proses pindah agama yang dialami individu, Lewis R.Rambo dalam jurnal ilmiahnya memberikan pendapatnya, bahwapara ahli perlu untuk menelusuri pengalaman seseorang individu yang pindah agama, karena setiap orang mempunyai isu-isu tertentu yang perlu ditelusuri mengenai perjalanan perubahan keagamaannya. 29 Pendapat tersebut perlu diapresiasi, dengan menelusuri proses pindah agama maka akan membantu seorang konselor dalam memberikan bantuan konseling pastoral, sesuai dengan temuan melaui penlusuran terhadap konseli. Terkait dengan proses pindah agama seseorang, Rambo juga mengatakan: konselor bisa memberikan gagasan-gagasan yang bernilai untuk melacak secara mendalam mengenai proses pindah agama.30 Pelacakan proses pindah agama oleh konselor dimaksudkan untuk memberikan bantuan pendampingan, dan menentukan metode yang sesuai dengan yang dibutuhkan seseorang yang melakukan pindah 27
Hendropuspito, Sosiologi Agama, Kanisius, Yogyakarta, 1983, hlm. 83 Jalaluddin, (2911) Psikologi Agama, Raja Grasindo Persada, Jakarta, hlm.367-368 29 Rambo, Lewis, R, (2010), Conversion Studies, Pastoral Counseling and Cultural Studies Engaging and Embracing a New Paradigm, Journal of Pastoral Psychology, Vol.59,pp.433-443 30 Rambo, pp.436 28
15
agama. Perasaan yang berlawanan itu menimbulkan pertentangan dalam batin, pada saat itulah seseorang mengalami krisis, sehingga untuk mengatasi kesulitan tersebut harus dicari jalan penyalurannya. Pada umumnya gejala tersebut apabila sudah dialami seseorang atau sekelompok orang, mereka menjadi lemah dan pasrah, sehingga berusaha untuk menghindari diri dari pertentangan batin. Ketenangan batin akan terjadi dengan sendirinya apabila yang bersangkutan
mampu memilih
pandangan hidup yang baru. Pandangan hidup yang dipilih tersebut merupakan petaruh bagi masa depannya, sehingga ia menjadi pegangan baru dalam kehidupan selanjutnya. Proses pindah agama yang dianalogikan dengan membangun bangunan baru di tempat yang sama, merupakan proses perubahan yang membutuhkan waktu yang relatif lama, membutuhkan pemikiran yang ekstra, serta perjuangan batin yang tidak sederhana yang pada akhirnya sampai pada pengambilan keputusan untuk melakukan konversi agama. Sebagai hasil dari pemilihan terhadap pandangan hidup, maka seseorang yang pindah agama bersedia dan mampu untuk membaktikan diri kepada tuntutan-tuntutan dan peraturan-peraturan yang ada dalam pandangan hidup yang diplihnya itu, yaitu berupa partisipasinya secara penuh. Makin kuat keyakinannya terhadap kebenaran pandangan hidup yang baru, maka akan makin tinggi nilai baktinya yang diberikan. Pindah agama bukanlah proses yang sederhana, seseorang yang melakukan pindah agama telah melalui proses yang mendahuluinya, proses tersebut bisa membutuhkan waktu yang relatif lama, tetapi bisa juga dalam waktu yang relatif pendek yang pada akhirnya mendorong seseorang untuk melakukan konversi agama, dan mereka yang melakukan konversi agama cenderung ada keyakinan yang kuat terhadap kebenaran yang diperoleh atas konversi tersebut yang mendorong seseorang membaktikan diri pada agama baru yang dianutnya. Herve Carrier,mengatakan, bahwa pindah agama mengandung dua unsur yaitu: Unsur dari dalam diri (endogenos origin), yaitu proses perubahan yang terjadi dalam diri seseorang atau kelompok31Pindah agama yang terjadi dalam batin ini membentuk suatu kesadaran untuk mengadakan transformasi disebabkan oleh krisis yang terjadi, dan keputusan yang diambil seseorang berdasarkan pertimbangan pribadi. Proses ini terjadi menurut gejala psikologi yang beraksi dalam bentuk
31
H, Carrier.SJ, The Sosiology of Religious Belonging, Dalton, Longman and Todd, London, hlm.70
16
hancurnya struktur psikologi yang lama dan seiring dengan proses tersebut muncul pula struktur psikologi baru yang dipilih. Unsur dari luar (eksogenes origin ), yaitu proses perubahan yang berasal dari luar diri atau kelompok, sehingga mampu menguasai kesadaran orang atau kelompok yang bersangkutan.32Kekuatan yang datang dari luar ini kemudian menekan pengaruhnya terhadap kesadaran, mungkin berupa tekanan batin, sehingga memerlukan penyelesaian oleh yang bersangkutan.Kedua unsur tersebut kemudian mempengaruhi kehidupan baru untuk aktif berperan memilih penyelesaian yang mampu memberikan ketenangan batin kepada yang bersangkutan.Jadi di sini terlihat adanya pengaruh motivasi dari unsur tersebut terhadap batin. Jika pemilihan tersebut sudah serasi dengan kehendak batin maka akan tercipta suatu ketenangan. Seiring dengan timbulnya ketenangan batin tersebut terjadilah semacam perubahan total dalam struktur psikologis sehingga struktur lama terhapus dan digantikan dengan yang baru sebagai hasil pilihan yang dianggap baik dan benar. Sebagai pertimbangan akan muncul motivasi baru untuk merealisasi kebenaran itu dalam bentuk tindakan atau perbuatan yang positif. Jika proses pindah agama ini diteliti dengan seksama maka, baik itu terjadi oleh unsur dari luar ataupun unsur dari dalam ataupun terhadap individu ataupun kelompok, akan ditemui persamaan. Perubahan yang terjadi tetap ada pentahapan yang sama dalam bentuk kerangka proses seperti pada umumnya. Terkait dengan hal ini beberapa ahli membagi dalam tahapan seperti berikut: 1. Herve Carrier, dalam bukunya yang berjudul The Sociology of Religious Belonging33, membagi proses tersebut dalam tahapan seperti berikut: (1) Akibat krisis terjadilah disintegrasi kognitif dan motivasi. (2) Reintegrasi kepribadian berdasarkan konversi agama yang baru. Dengan adanya integrasi ini maka terciptalah kepribadian baru yang berlawanan dengan struktur lama. (3) Penerimaan peran sosial dari agama baru. (4) Kesadaran atas panggilan baru itu sebagai karya ilahi. 2. Zakiah Dradjat, dalam buku Ilmu Jiwa Agama,34 menyatakan pendapatnya bahwa berdasarkan proses kejiwaan, konversi keagamaan melalui lima tahapan yaitu: (1) Masa tenang, pada tahap ini kondisi jiwa seseorang berada dalam keadaan tenang, 32
H. Carrier, The Sosiology of Religious Belonging, Dalton, Longman and Todd, London, hlm.70 H. Carrier, SJ hlm.74 34 Dradjat, Zakiah, (1970), Imu Jiwa Agama, Bulan Bintang, Jakarta, hlm,52 33
17
karena masalah agama belum mempengaruhi sikapnya. Terjadi sikap apriori terhadap agama. Keadaan yang demikian dengan sendirinya tidak akan mengganggu keseimbangan batinnya, hingga ia berada dalam keadaan tenang dan tentram. (2) Masa ketidak tenangan, tahap ini berlangsung jika masalah agama telah mempengaruhi batinnya. Kemungkinan dikarenakan suatu krisis, musibah atau perasaan berdosa, hal ini menimbulkan semacam keguncangan dalam kehidupan
batinnya,
sehingga
mengakibatkan
terjadi
keguncangan
yang
berkecambuk dalam bentuk rasa gelisah, panik, putus asa, ragu dan bimbang. Perasaan seperti itu menyebabkan orang menjadi lebih sensitif dan sugesibel. Pada tahap ini terjadi proses pemilihan terhadap idea atau kepercayaan baru untuk mengatasi konflik batinnya. (3) Masa pindah agama (konversi), pada tahap ketiga ini terjadi setelah konflik batin mengalami keredaan, karena kemantapan batin telah terpenuhi berupa kemampuan menentukan keputusan untuk memilih apa yang dianggap serasi ataupun timbulnya rasa pasrah. Keputusan ini memberikan makna dalam menyelesaikan pertentangan batin yang terjadi, sehingga terciptalah ketenangan dalam bentuk kesediaan untuk menerima kondisi yang dialami sebagai petunjuk ilahi. Pada saat ketenangan batin itu terjadi dilandaskan atas suatu perubahan sikap kepercayaan yang bertentangan dengan sikap kepercayaan sebelumnya, maka terjadilah proses konversi agama. (3) Masa tenang dan tentram, masa tenang dan tentram yang kedua ini berbeda dengan tahap sebelumnya. Jika pada tahap pertama keadaan itu dialami karena sikap acuh tak acuh, maka ketenangan dan ketentraman pada tahap ketiga ini ditimbulkan oleh kepuasan terhadap keputusan yang sudah diambil. Ia timbul karena telah mampu membawa suasana batin menjadi mantap sebagai pernyataan menerima konsep baru. (4) Masa ekspresi pindah agama, sebagai ungkapan menerima terhadap konsep baru dalam ajaran agama yang diyakini tadi, maka perilaku dan sikap hidupnya diselaraskan dengan ajaran dan peraturan agama yang dipilihnya tersebut. Pencerminan ajaran dalam bentuk amal dan perbuatan yang serasi dan relevan sekaligus merupakan pernyataan konversi agama itu dalam kehidupan. Proses pentahapan seseorang untuk pindah agama adalah proses dalam rangka menuju keputusan untuk membuat komitmen, sehingga prosesnya tidak hanya melibatkan kekuatan kognitif tetapi juga afektif, tentu saja proses tersebut tidak sederhana, dan polanya antara orang yang satu dengan yang lain bisa serupa, tetapi bisa juga berbeda. 18
Lewis R.Rambo dan Steven C.Bauman, keduanya juga menyampaikan tahapan konversi dalam sebuah jurnal Pastoral Psychology,
35
secara ringkas proses
pentahapanpindah agama seperti berikut. (1) Tahap dinamika dalam kontek: pada tahap ini seseorang mendapatkan pengaruh dari konteks makro dan konteks mikro. Konteks makro seperti keadaan masyarakat yang beragam kulturnya, agama mayoritas penduduk, ideologi, kontek mikro, adalah pengaruh dari kondisi keadaan keluarga,
(2) Tahap krisis, akibat pengaruh konteks makro dan mikro, individu
mengalami krisis, merasa tertekan, (3) tahap pencarian, pada tahap ini pada saat krisis maka berupaya untuk mencari sesuatu untuk keluar dari krisis, (4) Tahap perjumpaan, pada tahap ini seseorang yang berpotensi untuk pindah agama, terlibat kontak dengan orang yang dianggap mampu membimbing. (5) tahap interaksi, sesudah menjalin kontak pada tahap perjumpaan dilanjutkan dengan adanya interaksi yang intensif, pada tahap ini seseorang membuka diri untuk belajar, ajaran-ajarannya, gaya hidup (life style), serta harapan-harapan dalam kelompok agama yangbaru itu, (6), tahap komitmen, pada tahap ini seseorang yang telah berinteraksi dan belajar tentang agama baru menguatkan diri dengan berkomitmen untuk konversi, komitmen untuk menerima yang baru. (7) Tahap menerima konsekwensi konversi, di tahap ini seseorang dengan sadar menerima konsekwensi sebagai akibat logis dari komitmennya untuk meneruskan dalam kehidupan selanjutnya. adanya tahapan dari Rambo tersebut menunjukkan bahwa seseorang yang melakukan konversi, secara psikologis telah melalui proses yang membutuhkan waktu yang relatif lama, walaupun dimungkinkan juga terjadi dalam waktu yang relatif cepat. Dalam sebuah jurnal Pastoral Psikologiterkait dengan konversi keagamaan yang ditulis oleh Linda A. Mercadante, memberikan catatan bahwa telah ada kesepakatan dasar diantara para sarjana mengenai konversi agama yang perlu ditelaah yaitu: pertama, konversi agama sering terjadi diantara usia puber, remaja awal (adolescence) ke masa dewasa. Kedua, setidaknya ada dua paradigma berkaitan dengan konversi agama yaitu adanya intensitas perubahan secara bertahap atas kepercayaan yang mapan beralih ke denominasi lain, dan adanya metamorfosa keagamaan.Ketiga, konversi agama biasanya didahului oleh adanya krisis, bisa krisis keagamaan, politik, psikologis, atau kebudayaan.Keempat, metanoia, yaitu ideologi atau pandangan yang 35
Rambo, Lewis,R, Bauman, Steven. C, (2012) Psychology of Conversion and Spiritual Transformation, Journal Pastoral Psychology, IV no.61, hlm. 881-889
19
mengakibatkan, hati seseorang menjadi terbuka, menghasilkan pertobatan, adanya perasaan yang kuat untuk berubah haluan dan bersikap inklusif.Kelima, walaupun konversi agama tidak merubah temperamen seseorang, bisa menjadi hal profan, adanya transformasi serta perubahan arah dan tujuan hidup, perilaku, dan makna kehidupan.36 Berhubungan dengan catatan-catatan yang dikemukakan Linda Mercadante merupakan gejala umum yang terjadi pada proses konversi keagamaan, sehingga halhal tersebut perlu penelitian lanjutan. 4. Pindah agama ditinjau dari Perspektif Konseling Pastoral Untuk memahami fenomena pindah agama dari perspektif konseling pastoral adalah lebih baik bila terlebih dahulu memahami definisi konseling pastoral yang dikemukakan beberapa ahli, seperti berikut ini : 1. Menurut Yakup B. Susabda, definisi konseling (pastoral) adalah: Percakapan terapeutik antara konselor dengan konsele / kliennya di mana konselor membimbing konselenya ke dalam suatu suasana percakapan konseling yang ideal yang memungkinkan konsele dapat mengenal dan mengerti apa yang terjadi dalam dirinya sendiri, persoalan yang sedang ia hadapi, kondisi hidupnya, dan mengapa ia merespon semua itu dengan pola pikir, perasaan dan sikap tertentu.37 Dalam definisi tersebut menekankan adanya perjumpaan antara konselor dan konseli, di mana konseli difasilitasi konselor untuk mampu memahami permasalahan yang dialaminya, melalui suasana percakapan yang ideal dengan maksud agar konseli mampu mendorong diri untuk mencari jalan keluar atas permasalahan yang dialami. 2. Totok Wirya Saputra, berpendapat bahwa: Pada hakekatnya konseling pastoral merupakan perjumpaan pertolongan antara dua orang manusia sebagai subyek, yakni konselor dengan konseli.Perjumpaan pertolongan itu bertujuan untuk menolong konseli agar dapat menghayati keberadaannya dan pengalamannya secara penuh dan utuh.38 Pendapat ini menekankan adanya perjumpaan pertolongan antar subyek, sehingga ada relasi sejajar antara konselor dan konseli yang memberikan ruang untuk saling menghargai antara konselor dan konseli.
36
Mercadante, Linda A. (2011), Italian-American Immigrants and Religion conversion, Journal of Pastoral Psichology, V.60, pp.551-561 37 Susabda, Yakub, B, (2014), Konseling Pastoral, Balai Pustaka, Jakarta, hlm.6-7 38 Wiryasaputra, Totok S, (2014), Pengantar Konseling Pastoral, Diandra Pustaka Indonesia, Yogyakarta, hlm,64
20
Usaha memahami fenomena pindah agama yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dari perspektif konseling pastoral, terlebih dahulu perlu melihat manusia secara holistik.Kata holistik berasal dari kata whole yang memiliki arti keseluruhan, utuh, lengkap dan sempurna.39Kongkritnya ketika menghadapi seseorang atau konseli yang sedang mengalami krisis kehidupan atau persoalan mental, emosional, kejiwaan, sosial, dan spiritual kita memandangnya secara utuh dalam keseluruhan sebagai manusia, dan bukan sebagai kasus penyakit atau masalah tertentu. Menurut Totok S. Wiryasaputra, manusia dan seluruh dinamika kehidupannya itu kompleks, tetapi bila dicermati aspek kehidupan manusia dapat digolongkan kedalam empat aspek utama yaitu : fisik, mental, sosial dan spiritual. 40 Aspek fisik manusia
berkaitan dengan bagian luar dan kelihatan
materiilnya.Aspek ini mengacu pada hubungan manusia dengan bagian luar dirinya, yang menjadikan manusia dapat diamati, disentuh, dipegang, dan diukur, misalnya keadaan tubuhnya, tangannya, kakinya, beratnya dan sebagainya.Aspek mental manusia dikaitkan dengan bagian diri manusia dan tidak nampak (itangible).Aspek ini berkaitan dengan pikiran (kognisi), emosi, perasaan, konasi, karakter, dan kepribadian seseorang.Aspek ini tidak dapat nampak, sehingga tidak dapat diraba, atau disentuh. Dengan aspek mental seseorang mampu aktualisasi diri, membuat keputusan, membuat jarak dengan pihak lain, dan mampu membedakan diri dengan orang lain. Aspek sosial, yaitu aspek yang berhubungan dengan dunia luar diri (eksternal) yang tampak.Aspek sosial ini menjadikan manusia tidak sendirian karena berada dalam lingkungan sesamanya, sehingga tercipta relasi antar sesama. Dengan kata lain manusia dalam aspek ini dilihat dalam hubungannya dengan pihak luar secara horisontal, yakni dunia sekelilingnya. Aspek spiritual mengacu pada keberadaan diri manusia, yang secara khusus berhubungan dengan sesuatu yang berada di luar diri yang tidak nampak, yang berada di luar jangkauannya.Aspek ini mengacu hubungan manusia dengan Tuhan.Pada aspek spiritual ini merupakan sisi vertikal kehidupan manusia. Seluruh aspek hidup dan keberadaan manusia, phisik, mental, sosial dan spiritual itu saling berhubungan satu dengan yang lain tidak bisa dipisahkan, ada keterkaitan, saling mendukung serta saling mempengaruhi secara sistemik membentuk eksistensi manusia sebagai satu keutuhan yang terus bertumbuh. 39 40
Wiryasaputra, Totok S, hlm.40 Wiryasaputra, Totok S, hlm.43
21
Berangkat dari dari pemahaman konseling pastoral memandang manusia secara utuh(holistik) maka dalam kasus pindah agama juga dilihat secara holistik pula, walaupun secara psikologis seseorang atau sekelompok yang pindah agama ada proses yang mendahuluinya, yaitu mengalami krisis, yang sampai pada keputusannya untuk pindah agama. Krisis yang dimaksudkan di sini adalah seseorang berada di persimpangan jalan, di mana dalam masa krisis orang mengalami masa-masa sulit. Menurut Anita L. Spencer, yang dikutip oleh Totok S.Wiryasaputra, 41 krisis terjadi ketika orang menghadapi goncangan batin yang melewati ambang batas mekanisme pertahanan psiologisnya. Goncangan batin itu tidak tertanggungkan sedemikian rupa sehingga sangat mengganggu kondisi batin seseorang, akhirnya dia tidak dapat berfungsi normal. Dengan memperhatikan keadaan yang demikian, maka dalam perspektif konseling mereka membutuhkan bantuan pendampingan. Pendekatan untuk memahami fenomena pindah agama, ditinjau dari perspektif konseling pastoral perlu dibantu dengan pendekatan secara ilmu psikologi. Lewis Rambo, dalam jurnal Pastoral Psychology, memberikan asumsi bahwa pindah agama (konversi) adalah satu proses pergantian agama yang terjadi karena suatu dorongan dinamis yang melibatkan masyarakat, kelembagaan, ide-ide, peristiwa-peristiwa dan pengalaman-pengalaman hidup.42 Asumsi tersebut menunjukkan bahwa proses pindah agama yang terjadi pada seseorang tidak berdiri sendiri tetapi karena adanya faktor-faktor terkait yang mempengaruhinya baik dari dalam maupun dari luar diri individu. Selanjutnya dikatakan bahwa studi tentang pindah agama tidak hanya memperhatikan dinamika dimensi personal, tetapi memperhatikan juga faktor sosial, kultur, dan dinamika keagamaan di mana seseorang berada di dalamnya. 43 Demikian pula fenomena pindah agama dipahami sebagai fenomena yang didalamnya ada keragaman, dan persoalan yang kompleks, yang ada relevansinya dengan antropologi, sosiologi, psikologi, dan studi tentang agama, semuanya itu diperlukan untuk mendukung proses konseling pastoral yang efektif, dengan penelusuran keadaan konseli secara mendalam. Beberapa hal yang perlu ditelusuri terkait dengan pelaku pindah agama menurut Lewis S. Rambo, secara psikologis yang perlu ditelusuri adalah: 1. Presepsi-presepsi nya (perceptions). 41
Wiryasaputra, Totok S, Ready to Care, (2006), Galang Press, Yogyakarta, hlm.75 Rambo, Lewis, R, and Bauman, Stefen C, (2012), Psychology of Conversion and Spiritual Transformation, Journal of Pastoral Psychology, v.61, pp.879-894 43 Rambo, Lewis R, and Bauman Stefen C, pp.880 42
22
2. Kesadarannya (cognitions). 3. Perasaan-perasaannya (emotions) 4. Relasi-relasinya (relationships) dan 5. Perilakunya (behavior)44 Penelusuran dimaksudkan untuk menemukan adanya faktor-faktor dari dalam diri (intern) dan dari luar diri individu, yang mengakibatkan adanya tekanan batin yang hebat yang mendorong seseorang melakukan pindah agama. Sebagai suatu ilmu dan terapi, psikologi berusaha mencari jawaban untuk menjelaskan, memahami, memprediksikan, dan melakukan kontrol terhadap seseorang (konseli). Ia (Lewis R. Rambo) menawarkan studi secara psikologi terkait dengan pindah agama, yang
dapat dianalisa ke dalam empat pendekatan yang
berbeda,45yang diuraikan seperti berikut : Pertama, secara psikoanalisa memperhatikan faktor-faktor yang tidak kelihatan yang menjadikan seseorang pindah agama, fokusnya pada unsur emosi internal, khususnya emosi-emosi yang dibentuk oleh hasrat kerinduan individu yang ambivalen karena permusuhan dengan orangtua, yaitu dengan ayah atau ibunya. Analisa ini tersebut melihat faktor internal individu yang dipengaruhi suasana permusuhan dengan orangtua, sehingga seorang anak tumbuh dengan pengalaman pahit dengan orang tuanya, akhirnya berusaha mencari jawaban atas persoalannya dengan memilih pindah agama. Kedua, pendekatan pelaku atau eksperimen. Pendekatan ini menekankan adanya pengaruh yang kuat dari lingkungan yang berpotensi menyebabkan seseorang pindah agama. Lingkungan yang potensi memengaruhi seperti teman bergaul, kerabat, kumpulan yang sama hobinya, lingkungan tempat kerja, tempat tinggal dan yang semacamnya. Pendekatan ini mengedepankan adanya kekuatan dari lingkungan individu yang memberikan kontribusi yang kuat terhadap terjadinya konversi keagamaan, dengan demikian memposisikan individu sebagai pihak yang menyerah pada keadaan. Ketiga, pendekatan yang mewakili aliran psikolog transpersonal - humanistik. William James, dalam bukunya The Varieties of Religious Experiences, yang dikutip 44
Rambo, Lewis, R and Baumen C. Stefen, Psychology of Conversion and Spiritual Transformation, Journal of Pastoral Psychology, v.61, pp.880 45 Rambo, Lewis, R and Bauman C. Steven, hlm. 881
23
Lewis R. Rambo, mengatakan bahwa perspektif transpersonal - humanistik ini menekankan cara konversi yang memberi kewenangan seseorang untuk menerima realitas diri, atau konversi sebagai pemenuhan kebutuhan untuk aktualisasi diri.Para pengikut perspektif ini biasanya mendukung penuh sikap keagamaan dan menghargai pengalaman seseorang yang pindah agama. Dalam kaitan dengan ini dapat dikatakan bahwa dalam pendekatan transpersonal- humanistik ini seseorang yang pindah agama adalah dalam rangka penerimaan diri sebagai perwujudan aktualisasi diri (selfactualization ). Dalam perspektif konseling pastoral, untuk menolong seseorang agar dapat menemukan jati dirinya sendiri, serta memberi kesempatan bagi konseli mencapai aktualisasi diri, diperlukan adanya terapi. Carl Rogers tokoh Person Centerred teraphy,
menyarankan
psikoterapinya,
yaitu
beberapa : 1.
sarana
Memberikan
yang
menjadi
penghargaan
prinsip positif
dasar tanpa
dari syarat
(Unconditional positive regard), yaitu sikap konselor yang rela memberikan penghargaan tanpa syarat dan pandangan positif terhadap konselinya, apapun dan bagaimanapun keadaan konseli, konselor menghargainya sebagai manusia yang seutuhnya.46 2. Bersikap empati terhadap kerangka rujukan konseli (Emphatic understanding of his or her internal frame of reference), adalah sikap melepaskan subyektivitas pribadi dan mencoba menempatkan diri di tempat konseli sebagai proses mengerti pola berpikir yang unik dari konseli dan merasakan apa yang dirasakan konseli tersebut.47 Memperhatikan hal yang disarankan Rogers untuk menghargai apapun keadaan konseli, adalah tindakan memberi perhatian dan menghargai eksistensi manusia dengan demikian bisa menjadi jalan masuk untuk menelusuri permasalahan yang sesungguhnya dialami konseli. Keempat, pendekatan eklektik, holistik, yang mencoba untuk mensitesis ketiga pendekatan di atas, dan berusaha menemukan pendekatan yang inklusif dan holistik untuk memahami dinamika proses perubahan perilaku seseorang. Pada pendekatan ini konversi sebagai proses penyeleksian atas pertimbangan-pertimbangan ketiga pendekatan sebelumnya. Pendekatan eklektik-holistik ini memberikan penilaian bahwa konversi agama adalah hasil dari proses seleksi yang dilakukan seseorang untuk menentukan pilihan terhadap agama
yang akan dianutnya melalui
pertimbangan-pertimbangan yang bersifat subyektif, dan membebaskan. Pendekatan46 47
Susabda, Yakub. B, (2014), Konseling Pastoral, Balai Pustaka, Jakarta, hlm.189 Susabda, Yakub, B hal.189
24
pendekatan yang dikemukaan di atas adalah upaya untuk memberikan konseling pastoral terhadap mereka yang pindah agama, melalui pendekatan ilmu psikologi dengan tetap memberi peluang kepada ilmu-ilmu lain seperti sosiologi dan antropologi. Dalam perspektif konseling pastoral memerlukan sikap dan ketrampilan yang mendukung proses pelaksanaan konseling pastoral, sikap dan ketrampilan dasar tersebut adalah
kemampuan untuk memberi perhatian, empati, dan ketrampilan
mendengar. Terkait dengan sikap dan ketrampilan yang diperlukan untuk pelayanan konseling pastoral J.l.CH Abineno mengemukakan syarat-syarat yang perlu dipenuhi di antaranya: kemampuan untuk memberi perhatian, empati, dan ketrampilan mendengarkan48 yang dimaksudkan memberi perhatian adalah sikap memberi perhatian terhadap diri, orang lain, dan terhadap persoalan yang dialami konseli, empati adalah kemampuan untuk menempatkan diri dan merasakan apa yang dirasakan oleh konsele, sedangkan yang dimaksud ketrampilan mendengarkan, adalah ketrampilan mendengar perkataan-perkataan dan perasaan-perasaan konseli. Untuk mengembangkan ketrampilan dasar konseling pastoral, Yakub B. Susabda menyampaikan unsur-unsur dasar yang perlu dikenal oleh konselor sebagai tindakan untuk menolong terciptanya suasana yang ideal, unsur-unsur tersebut adalah: (1) Understanding (sikap penuh pengertian dari pihak konselor), (2) Empathy (empati) yaitu kemampuan untuk menempatkan diri pada tempat konseli, dan ikut merasakan apa yang dirasakan oleh konseli, (3). Acceptance (sikap menerima konseli apa adanya), (4) Listening (kemampuan dan kesediaan mendengar secara professional), (5) Reflective Listening (merefleksikan apa yang sudah didengar), (6) Responding (merespon yang dialami konseli).
49
keenam unsur tersebut merupakan
satu kesatuan yang saling terkait, sehingga tidak boleh dipisah-pisahkan. Selanjutnya Yakub B. Susabda menambahkan bahwa untuk menciptakan suasana yang kondusif dalam proses konseling pastoral diperlukan suasana kehangatan, pemberian dukungan, kemurnian sikap, dan menstimulasi konsele.50 Suasana tersebut diperlukan untuk memberi ruang, dukungan serta efektifitas proses konseling pastoral. Mempertimbangkan kompleksnya keadaan konseli dalam kasus pindah agama, maka proses konseling pastoral perlu mempunyai tujuan, dan harus jelas. Konselor 48
Abineno, C.H,JL, (2007), Pelayanan Pastoral Kepada orang berduka, Balai Pustaka, hlm.35-58 Susabda, Yakub, B, (2014), Konseling Pastoral, Balai Pustaka, Jakarta, hlm.36-50 50 Susabda, Yakub, B hlm.51-52. 49
25
perlu konsisten dengan tujuan pendampingannya,. Totok S. Wiryasaputra berpendapat bahwa dalam konseling pastoral setidaknya memiliki tujuh tujuan yaitu: 1) membantu konseli mengalami pengalamannya dan menerima kenyataan, 2) membantu konseli mengungkapkan diri secara penuh dan utuh, 3) membantu konseli untuk berubah, bertumbuh, dan berfungsi maksimal, 4) membantu konseli untuk menciptakan komunikasi yang sehat, 5) membantu konseli untuk bertingkah laku baru, 6) membantu konseli bertahan dalam situasi baru, 7) membantu konseli menghilangkan gejala disfungsional.51 Kejelasan tujuan dalam proses konseling pastoral akan membantu konselor maupun konseli untuk mencapai hasil yang diharapkan, karena itu tenaga konseling pastoral perlu memperlengkapi diri dengan pengetahuan, serta pemahaman tentang tujuan pendampingan pastoral terhadap konseli.
5. Fungsi Pendampingan Pastoral Untuk mendukung tercapainya keberhasilan pendampingan pastoral, maka seorang konselor perlu memahami fungsi pastoral, adapun fungsi pendampingan pastoral, menurut Aart Van Beek, ada enam fungsi pendampingan pastoral, yaitu: 1. Fungsi membimbing,
2. mendamaikan atau memperbaiki hubungan. 3. menopang,
4.menyembuhkan, 5. mengasuh, dan 6. Fungsi mengutuhkan. 52 Fungsi pertama membimbing, dalam fungsi ini orang yang didampingi, ditolong untuk memilih atau mengambil keputusan tentang apa yang akan ditempuh, atau yang menjadi masa depannya. Fungsi pendamping dalam kaitan dengan ini adalah mengupayakan beberapa kemungkinan yang bertanggungjawab dengan segala resikonya, sambil membimbing orang yang didampingi kearah pemilihan yang bermanfaat. Pengambilan keputusan tentang masa depan atau mengubah dan memperbaiki tingkah laku tertentu, atau kebiasaan tertentu tetap berada di tangan orang yang di damping, dan jangan sampai pendamping mewajibkan konseli untuk memilih, lebih bertanggungjawab bilamana seseorang yang didampingi diberi kepercayaan
untuk
mengemukakan
persoalannya.
Dengan
demikian
fungsi
pembimbingan memberikan kesempatan kepada konseli untuk dapat mengambil kepuusan secara bertanggungjawab.
51 52
Wirya Saputra, Totok S, (2014), Pengantar Konseling Pastoral, Diandra Pustaka, Yogyakarta, hlm. 97-105 Beek, Aart Van, Pendampingan Pastoral, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2003
26
Fungsi kedua adalah mendamaikan, fungsi ini dipakai untuk membantu orang yang didampingi bilamengalami konflik batin dengan pihak lain yang mengakibatkan rusaknya hubungan, dalam fungsi ini pendamping berperan sebagai mediator atau penengah, dan berusaha menengahi pihak-pihak yang terlibat dalam konflik, dan membicarakannya secara jujur dan adil, dan diharapkan mereka dapat mengambil jalan keluar yang saling menumbuhkan untuk menjalin hubungan kembali. Pendamping dalam hal ini perlu menciptakan ruang bersama bagi kedua belah pihak untuk terjadinya pemulihan hubungan. Fungsi ketiga menopang, fungsi ini dilakukan bilamana orang yang di damping tidak mungkin kembali ke keadaan semula. Fungsi menopang ini dipakai untuk membantu orang yang didampingi dapat menerima keadaan sekarang apa adanya, dan kemudian berdiri di atas kaki sendiri, dalam keadaan yang baru, bertahan dan bertumbuh secara penuh. Misalnya B adalah seseorang telah pindah agama menganut agama Kristen, dampaknya ia dikucilkan oleh saudaranya. Dalam hal ini pendamping dapat memfungsikan dirinya sebagai penopang B, agar dia dapat menerima kenyataan bahwa ia dikucilkan keluarganya, kemudian ia diajak untuk menerima kenyataan telah berpindah agama yang baru, dan meninggalkan agama yang lama, selanjutnya berupaya bertahan, dan bertumbuh dalam keadaan yang baru sebagai penganut agama Kristen. Fungsi keempat menyembuhkan, pada fungsi ini pendamping menyediakan diri untuk mendengar keluhan-keluhan yang disampaikan konseli, sebagai akibat adanya persoalan yang menekan batinnya, sehingga mengalami krisis. Fungsi ini dipakai untuk membantu orang yang didampingi menghilangkan gejala-gejala dan tingkah laku yang disfungsional, sehingga tidak menampakkan lagi gejala yang mengganggu, dan dapat berfungsi kembali secara normal seperti sebelum mengalami krisis. Fungsi ini dapat dilakukan melalui tehnik katarsis, dimana seseorang yang didampingi difasilitasi untuk mengeluarkan unek-unek yang ada di dalam hatinya, sehingga orang yang didampingi merasa lega, yang akhirnya menghantar pada kesembuhan batin. Fungsi kelima mengasuh, fungsi ini berusaha menolong mereka yang membutuhkan pendampingan dengan melihat potensi yang ada pada diri konseli yang dapat menumbuh kembangkan kehidupannya, sebagai kekuatan yang dapat diandalkan untuk melanjutkan kehidupan. Konselor dalam hal ini perlu menolong 27
konseli untuk bertumbuh melalui pengasuhan ke arah pertumbuhan melalui proses pendampingan pastoral. Pada fungsi ini pendamping dapat berfungsi seperti seorang ibu yang mengasuh anaknya dengan kasih sayang. Fungsi keenam adalah mengutuhkan, menurut Van Beek fungsi ini adalah fungsi pusat, dan merupakan tujuan utama pendampingan pastoral, yaitu pengutuhan kehidupan manusia dalam aspek kehidupannya, yaitu fisik, sosial, mental dan spiritual.53 Menurut Van Beek, bila seseorang mengalami penderitaan aspek-aspek tersebut tercabik-cabik, sehingga tidak utuh, dan diperlukan pendampingan agar kembali utuh, secara fisik, sosial, mental dan spiritual dengan demikian pendampingan pastoral berfungsi untuk mengutuhkan aspek aspek yang ada pada diri manusia. Keenam fungsi pastoral yang dikemukakan Van Beek, adalah pengetahuan yang perlu dimengerti oleh konselor untuk menangani kasus yang dialami oleh konseli, tanpa pengertian ataupun pemahaman yang baik terntang fungsi pastoral, akan mempengaruhi kualitas proses konseling pastoral.Sementara itu Totok S.Wiryasaputra menyampaikan
bahwa
fungsi
pendampingan pastoral
ada
lima:
yaitu 1)
menyembuhkan (healing), 2) membimbing (guiding), 3)menopang (sustaining),4) memperbaiki hubungan (reconciling), dan 5). Membebaskan (liberating ).54 Memperhatikan kelima fungsi pendampingan yang dikemukakan Totok S, menunjukkan bahwa ia sepaham dengan pemikiran Aart Van Beek, hal ini merupakan indikasi bahwa di antara mereka menaruh perhatian akan pentingnya fungsi pastoral bagi kehidupan manusia. Kesimpulan Bab dua, pindah agama adalah fenomena keagamaan yang dialami seseorang yang dipengaruhi oleh faktor psikologis faktor sosial, dan faktor ilahi, secara teori konversi disebut sebagai pertobatan,
tranformasi nilai, dan proses
perubahan sosial. Dalam perspektif pastoral seseorang yang pindah agama mengalami krisis, dan diperlukan pendekatan konseling pastoral.
53 54
Beek, Aar Van, Pendampingan Pastoral, BPK Gunung Mulia, Jakarta, hlm.16 Wirya Saputra, Totok S. (2006), Ready to Care, Galang Press, Yogyakarta, hlm.87-95
28