KEBEBASAN PINDAH AGAMA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HAM
Oleh : Abdul Qodir NIM : 103043227980
KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1429 H / 2008 M
KEBEBASAN PINDAH AGAMA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HAM Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) Oleh :
Abdul Qodir NIM : 103043227980
Di Bawah Bimbingan
Pembimbing I
Dr. Mujar Ibnu Syarif, M.Ag NIP: 150 275 509
Pembimbing II
Dedy Nursyamsi, SH M.Hum NIP: 150 264 001
KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1429 H/2008 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul KEBEBASAN PINDAH AGAMA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HAM telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 29 Mei 2008. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum (PMH). Jakarta, 29 Mei 2008 Mengesahkan, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof. Dr. Drs.H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM NIP. 150 210 422 PANITIA UJIAN 1. Ketua (………….)
: Dr. Mujar Ibnu Syarif, M.Ag NIP. 150 275 509
2. Sekretaris (………….)
: H. Muhammad Taufiqi, M.Ag. NIP. 150 290 159
3. Pembimbing I (………….)
: Dr. Mujar Ibnu Syarif, M.Ag NIP. 150 275 509
4. Pembimbing II (………….)
: Dedy Nursyamsi, SH, M.Hum NIP. 150 264 001
5. Penguji I
: Dr. JM. Muslimin, MA, Ph.D NIP. 150 295 489
(………..)
6. Penguji II (………….)
: Drs. H. Abdul Wahab Abd. Muhaimin, Lc.MA NIP. 150 238 774
LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa : 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif HIdayatullah Jakarta. 3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif HIdayatullah Jakarta. Jakarta:
7 Maret 2008 29 Shafar 1429 H
Abdul Qodir
KATA PENGANTAR Ungkapan rasa syukur tak terukur, tertutur dalam kata pengantar kepada Allah swt. Dia telah menuturkan ayat-ayat-Nya untuk dijadikan alat tafakur dan tadabur. Sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini sesuai yang diharapkan. Shalawat dan salam penulis haturkan kepada Nabi Muhammad saw, yang telah menuturkan ayat-ayat Al-Qur’an untuk dijadikan bahan berfikir. Selesainya penulisan skripsi ini, bagi penulis merupakan suatu kebanggaan dan kesenangan yang luar biasa, untuk mengungkapkan rasa tersebut, penulis merasa susah untuk menterjemahkannya dalam bahasa tulisan. Oleh karena itu, dalam skripsi ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada yang terhormat : 1. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Yaitu Bapak Prof. Dr. Drs. H. M. Amin Suma, SH., MA., MM. 2. Ketua Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum (PMH/PH) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Yaitu Bapak DR. H. Ahmad Mukri Aji, MA. 3. Sekretaris Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum(PMH/PH)Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Yaitu Bapak H. Muhammad Taufiqi, M.Ag. 4. Pembimbing Skripsi, Bapak Dr. Mujar Ibnu Syarif, M.Ag dan Dedy Nursyamsi, SH., M.Hum yang telah membimbing penulis dalam penyusunan Skripsi ini.
5. Terkhusus Kepada Bapak Dosen Penasihat Akademik Prodi PMH/PH periode 2003-2008 yaitu Bapak Dr. Mujar Ibnu Syarif, M. Ag yang telah mengarahkan dan membimbing kami sehingga telah menyelesaikan program studi sampai selesai. 6. Para Dosen Fakultas Syariah dan Hukum serta seluruh civitas akademika, yang telah memberikan sumbangsih wawasan keilmuan dan bimbingan selama penulis berada dalam perkuliahan. 7. Pimpinan Perpustakaan UIN “ Syarif Hidayatullah “Jakarta beserta para staff dan seluruh karyawannya yang telah melayani penulis selama studi dan khususnya dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini. 8. Kedua orang tuaku Ayahanda H.MA. Firdaus dan Ibunda Tercinta Hj. Siti Fatimah yang telah melahirkan, membesarkan, dan mendidik penulis untuk menggapai cita-cita. 9. Saudaraku yang tercinta, (Kakanda Hayatun Nufus, Suhlia, Agung Wahyudi, dan M. Rosyid) yang selalu memberikan motivasi bagi penulis. 10. Teman-teman yang berada di LKB-HMI, (Kanda Jalal, Isnur, Ainul Yaqin) dan semua yang berada di Komfaksya yang tidak saya sebutkan satu persatu terima kasih atas motivasi dan pinjaman buku-bukunya. 11. Teman-teman yang tergabung dalam IKBAS (Ikatan Keluarga Besar Alumni Sunanul Huda). 12. Secara Khusus penulis haturkan salam ta’zhim kepada guru-guruku, di pesantren Sunanul Huda Cikaroya Sukabumi. Terkhusus Al-mukarram al-ustadz Aa Buya
KH. Dadun Sanusi beserta keluarga. Serta guru-guru yang ada dalam lingkungan IKBAS korwil Cilebut, ( KH. Jaenudin, KH. Dimyati, KH. Firdaus ) yang telah membimbing dan mengarahkan penulis. 13. Sdr. Ali, STh.i, dan Sdr. Wildan Hasan Syadzily, STh.i, yang telah memberikan kontribusinya sebagai tempat konsultasi sekaligus minta pinjaman buku-buku. Atas nama pribadi penulis memohon, semoga segala partisipasi, dan motivasi, dari semua pihak, senantiasa mendapatkan ridho Allah swt. Terakhir, penulis mengharapkan semoga skripsi ini dapat berguna bagi agama, bangsa, dan khususnya bagi segenap pembaca.
Jakarta:
28 Maret 2008 M 20 Rabiul Awal 1429 H
Penulis
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR………………………………………………………………i DAFTAR ISI………………………………………………………………………...iv BAB I :
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah…………………………………………. 1 B. Identifikasi Masalah……………………………………..………. 7 C. Pembatasan dan Perumusan Masalah……………………………. 8 D. Tujuan dan Manfaat Penelitian…………………………………... 9 E. Metode Penelitian……………………………………….……….10 F. Sistematika Penulisan…………………………………………....12
BAB II :
HAM DALAM PERSPEKTIF ISLAM DAN BARAT A. Pengertian Hak Asasi Manusia…………………………………. 14 B. Sejarah dan lahirnya Konsep Hak Asasi Manusia…………….... 19 C. Realitas HAM di dalam Masyarakat Barat dan Islam…………...22
BAB III :
BERAGAMA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HAM A. Konsep Beragama Menurut Islam dan HAM…………………... 29 B. Sumber dan dalil Hukum Islam………………………………….34 C. Nilai Utama HAM dan Sumber-sumber Hukum HAM……….... 45
BAB IV :
PINDAH AGAMA DALAM PERSPEKRIF HUKUM ISLAM DAN HAM A. Kebebasan beragama menurut hukum Islam dan HAM…………60 B. Historitas pindah agama dalam Islam dan HAM………………...84 C. Hukum Pindah Agama dalam Islam dan HAM …………………86 D. Analisis Perbandingan Kebebasan Pindah Agama……………....94
BAB V :
PENUTUP A. Kesimpulan………………………………………………………97 B. Saran-saran………………………………………………………98
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………......100
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Makna keberadaan agama dalam kehidupan manusia sering kali penuh dilema. Disatu sisi ia adalah sumber penting dari terbentuknya sebuah peradaban. Tapi disisi lain, agama pun akan menjadi titik api dari konflik sosial yang berkepanjangan.1 Agama tidak hanya menjadi inspirasi bagi persaudaraan sejati (sentripetal ), tapi ia pun dapat menjadi penyulut api permusuhan abadi ( Sentrifugal ).2 Wacana di sekitar HAM di Negara kita akhir-akhir ini termasuk tema yang paling banyak diperbincangkan berbagai kalangan. Seperti disoroti media massa, baik dalam maupun luar negeri, Indonesia termasuk negara yang banyak melakukan pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia. Aspirasi dari berbagai pihak ditegagkan hukum yang setimpal bagi para pelanggar HAM kian menguat dan menampakkan dirinya dalam berbagai aksi dan tekanan. Tekanan tersebut terlihat semakin kental sejak runtuhnya rezim orde baru pada 21 Mei 1998. Unjuk rasa atau demonstrasi baik yang dimotori oleh mahasiswa maupun masyarakat dari berbagai kalangan digelar dimana-mana sejak dari pusat sampai daerah.3
1
Zainudin Maliki, Agama Rakyat Agama Penguasa: Konstruksi Tentang Realitas Agama dan Demokratisas, ( Yogyakarta: Yayasan Galang, 2000 ), h. xxi. 2 Komarudin Hidayat, Memahami Bahasa Agama, sebuah kajian Hermeneutik, ( Jakarta: Paramadina, 1996 ), Cet. Pertama, h.15. 3 Ahmad Kosasih. HAM Dalam Perspektif Islam Menyingkap Persamaan dan Perbedaan Antara Islam dan Barat, (Jakarta, Salemba Diniyah, 2003), Cet. I. h. xv.
Dikalangan akademisi (Lembaga Pendidikan) tegasnya, Perguruan Tinggi masalah HAM sudah menjadi bahan perbincangan dan perdebatan seharihari, dengan diadakannya seminar atau Studium general. Pada tanggal 25 Maret 2007 Studium General dilaksanakan di gedung Auditurium UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan Tema “Prospek Pembangunan Hukum, HAM dan Demokrasi di Indonesia”4 dengan nara sumber (Pemateri) H. Wiranto. S.ip, itu merupakan sebagian diantara Perguruan Tinggi yang haus akan wacana HAM demi terciptanya supremasi HAM. Hingga kini, diskursus HAM dilaksanakan secara seragam dan menyeluruh diberbagai penjuru dunia (Universal approaches). Sementara yang lain menghendaki penegakan HAM dari sudut pandang yang lebih spesipik dan sesuai dengan kondisi budaya dan keyakinan masyarakat setempat (Local approaches). Hanya saja, sampai sekarang belum ada solusi yang lebih memadai bagi kedua kutub tersebut. Bahkan yang terjadi sebaliknya, setiap upaya dari pihak terakhir di atas selalu dicurigai sebagai pembangkangan atas sesuatu yang universal. Padahal, demokrasi wacana kembar HAM mengabsahkan perbedaan pendapat dan meniscayakan penghargaan atas pendapat orang lain. 5
4
fakultas Syariah dan Hukum, Studium General, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 25
Maret 2007. 5
Egi Sudjana. HAM dalam Perspektif Islam Mencari Universalitas HAM Bagi Tatanan Modernitas yang HAkiki, (Jakarta, Nuansa Madani, 2005), Cet. II, h. iii.
HAM dalam Perspektif Islam lebih cenderung bersumber kepada AlQur’an dan As-Sunnah, serta dokumen-dokumen HAM, seperti Piagam Madinah, Khutbah Wada’ pernyataan kairo tentang HAM Islam hingga Deklarasi HAM Universal PBB tahun 1948. maka sangat jelas bahwa hak asasi tersebut bukan berasal dari siapapun, termasuk raja atau Presiden sekalipun, tetapi berasal dari Causa Prima alam semesta ini, yaitu Tuhan Yang Maha Esa, atau yang lebih dikenal dengan istilah Theosentris. Sedangkan HAM sendiri lebih bersumber kepada HAM barat seperti HAM yang dideklarasikan oleh badan tertinggi dunia (PBB) pada 10 Desember 1948 yang dikenal dengan piagam PBB tentang hak-hak asasi Manusia atau “The Universal Deklaration Of Human Right” yang terdiri dari 30 pasal. Magna Charta yang lahir pada tahun 1215 di Inggris, yang menyatakan bahwa raja yang tadinya berkekuasaan Absolute (Menciptakan Hukum) menjadi terbatas, dapat dimintai pertanggung jawabannya dimuka umum. Dari sinilah terlihat raja tidak kebal hukum lagi. Lahirnya Magna Charta kemudian diikuti oleh peraturan sejenis yang lebih dikenal dengan Bill Of Right tahun 1689. Saat itu, timbul adigium Equality before the law (persamaan kedudukan dimuka hukum). Kemudian, di tahun 1789 lahir he French deklaration. Adapun inti deklarasi itu adalah hak-hak asasi diperinci lagi sehingga melahirkan dasar the rule of law. Sedangkan di Indonesia sendiri sebagai Negara demokrasi telah menjamin HAM, baik langsung maupun tidak langsung. Hal ini secara formil
dituangkan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang terdapat pada batang tubuh yang mencantumkan 7 pasal di dalamnya: Sebelum amandemen ketentuan HAM di dalam UUD 1945 relatif sedikit, hanya 7 (tujuh pasal saja masing-masing pasal 27, 28, 29, 30, 31, 31 dan 34). Namun Sekalipun demikian, telah diusulkan juga untuk membuka kesempatan memasukkan pasal-pasal HAM ke dalam UUD 1945 melalui amandemen. Upaya amandemen terhadap UUD 1945 ini telah melalui 2 tahapan usulan. Usulan draft amandemen Undangundang Dasar 1945 yang kedua tanggal 18 Agustus 2000 telah menambahkan satu bab khusus yaitu Bab X-A tentang Hak Asasi Manusia mulai pasal 28 A sampai dengan 28 J. Sebagian besar isi perubahan tersebut mengatur mengenai hak-hak sipil dan politik, hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Pencantuman hak-hak asasi tersebut dalam UUD 1945 merupakan bukti adanya jaminan yang diberikan oleh negara kepada rakyatnya, bukan dalam kaitannya dengan hukum positif. Serta Undang-undang HAM tahun 1999 No.39 tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 26 Tahun 2000 “Tentang Pengadilan HAM”, serta undang-undang Dasar pasal 27 dan 29 tentang kehidupan yang layak dan Kebebasan Beragama. Maka sangat jelas bahwa hak asasi tersebut seolah-olah merupakan hak pemberian manusia atau ciptaan manusia itu sendiri. Sebagaimana yang telah kita ketahui bersama bahwa manusia dianugerahi oleh Tuhan Yang Maha Esa akal budi dan nurani yang memberikan kepadanya kemampuan untuk membedakan yang baik dan yang buruk yang akan membimbing
dan
mengarahkan
sikap
dan
perilaku
dalam
menjalani
kehidupannya. Dengan akal budi dan nuraninya itu maka manusia memiliki kebebasan untuk memutuskan sendiri perilaku atau perbuatannya. Di samping itu, untuk mengimbangi kebebasan tesebut manusia memiliki kemampuan untuk bertanggung jawab atas semua tindakan yang dilakukannya. 6 Sejalan dengan pandangan di atas, maka kita dapat menemukan adanya nilai kebebasan yang tertuang dalam undang-undang No. 39 Th. 1999. salah satu Nilai Kebebasan yang terkandung dalam undang-undang tersebut adalah Kebebasan beragama, yang mana termuat juga dalam deklarasi PBB pada 10 Desember 1948 yang terdiri dari 30 pasal. Yaitu pasal 18 yang berbunyi : “Setiap orang berhak untuk bebas berpikir, bertobat dan beragama, hak ini meliputi kebebasan berganti agama atau kepercayaan, dan kebebasan untuk menyatakan agama dan kepercayaan dalam bentuk beribadat dan menepatinya, baik sendiri maupun dilakukan bersama-sama dengan orang lain, baik di tempat umum maupun sendiri”. Begitupun di dalam undang-undang dasar tahun 1945 pasal 29 ayat 1 dan 2 menyatakan adanya kebebasan beragama bahwa Negara menjamin tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut kepercayaannya itu. Di dalam Islam, kebebasan dan kemerdekaan merupakan hak asasi manusia, termasuk di dalamnya kebebasan menganut agama sesuai dengan keyakinannya. Oleh karena itu Islam melarang keras adanya pemaksaan
6
Redaksi Sinar Grafika, UU RI No. 30 Th. 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, (Jakarta, Sinar Grafika, 2000), Cet. I. h. 1.
keyakinan agama kepada orang yang telah menganut agama lain. Hal Ini senada dengan ayat suci al-qur’an:
!"# (-.01 "*☺, ) %&⌧( 9:#1=> 23467 8 *@AB☺CD , ? 8 =>FG 8 LAM.N K ) HIJ3 SST.⌧U R=> 0 OPQ (٢٥٦ :٢/ )ا ةV XS YZ Artinya: “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya Telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut7 dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia Telah berpegang kepada buhul tali yang amat Kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui”. (Q.S.Al-Baqarah/2:256). Kemudian dijelaskan juga di dalam al-qur’an tentang kerukunan antar umat beragama melalui toleransi, sebagai berikut:
4_, [\ ] , A2(#cd *☺Kb (2`aD=> S @ef K=> (hG=> (2Gg=4=3g>d klN>d *☺ 8 -ij#=4 2(#cd=> mY6Cnb "# R R 240=jF8 kXo =j (240[8=p=> =j[8=p (240 => qGY6*☺>d rstP K (2-GY6*☺>d 240=jF8=> =jqF8 =jqF S*☺uv R xnM*☺ PT => (١٥ :٤٢/)ا رى8 Artinya: ”Maka Karena itu Serulah (mereka kepada agama ini) dan tetaplah sebagai mana diperintahkan kepadamu dan janganlah mengikuti hawa nafsu mereka dan Katakanlah: "Aku beriman kepada semua Kitab yang diturunkan Allah dan Aku diperintahkan supaya berlaku adil diantara kamu. Allah-lah Tuhan kami dan Tuhan kamu. bagi kami amal-amal kami dan bagi kamu amal-amal kamu. tidak ada pertengkaran antara
7 8
Thaghut ialah syaitan dan apa saja yang disembah selain dari Allah SWT. Maksudnya:tetaplah dalam agama dan lanjutkanlah berda’wah
kami dan kamu, Allah mengumpulkan antara kita dan kepada-Nyalah kembali (kita)". (Q.S. Assûra/42: 15). Berdasarkan uraian di atas, Islam telah memberikan respon positif terhadap kebebasan beragama yang tercermin dalam bentuk kerukunan dan toleransi antar pemeluk agama dibatasi pada hal-hal yang bersifat mu’amalah (Hubungan antar sesama untuk beragama) atau kemasyarakatan. Sehingga dalam hal ini, (pasal 18 UDHR) sangat tidak sesuai dengan apa yang telah dilandasi oleh Islam. Karena pasal ini akan berbenturan dengan prinsip-prinsip akidah Islam. Adanya pertentangan tersebutlah yang melatar belakangi penulis membuat skripsi ini berjudul “Kebebasan Pindah Agama Dalam Perspektif Hukum Islam dan HAM”. B. Identifikasi Masalah Agar pembahasan masalah ini tidak rancu, maka perlu adanya identifikasi masalah. Pada dasarnya kebebasan pindah agama itu terletak pada kebebasan
menjalankan
agamanya
masing-masing,
kenyamanan,
dan
ketenteraman, karena kebebasan beragama dan menjalankan semua perintah dan ajarannya adalah bagian dari Hak Asasi Individu. Setiap orang berhak untuk bebas berpikir, bertaubat, dan beragama, hal ini meliputi kebebasan berganti agama atau kepercayaan, dan kebebasan untuk menyatakan agama dan kepercayaan dalam bentuk beribadat dan menepatinya, baik sendiri maupun dilakukan bersama-sama dengan orang lain, baik ditempat umum maupun sendiri.
Adapun yang dimaksud dengan perspektif Hukum Islam dan HAM dalam skripsi ini adalah Pertama tentang ma’na atau pengertian HAM dalam Islam dan Barat, latar belakang serta sejarah HAM yang nantinya akan mengarah kepada realitas HAM dalam masyarakat Islam dan Barat.kedua, penulis akan memfokuskan pada kerangka hukum yang nantinya akan mengarah kepada konsep beragama menurut Islam dan HAM. Ketiga, pembahasan skripsi ini mengarah pada pandangan Islam dan HAM dalam kaitannya dengan kebebasan pindah agama dengan terlebih dahulu mengkaji konsep kebebasan, historis pindah agama, hukum pindah agama dalam perspektif Islam dan HAM serta berakhir dengan uraian analisis perbandingan kebebasan pindah agama. Agar permasalahan skripsi ini lebih terarah dan terfokus, maka penulis akan mengidentifikasikan ruang lingkup penulisan skripsi ini hanya pada persoalan Islam dan HAM Barat. Namun apabila ada pembahasan HAM menurut konvensional, Nasional, Internasional itu hanya sebagai penguat saja. C. Pembatasan dan Perumusan Masalah Sebelum menguraikan batasan dan rumusan masalah dalam skripsi ini secara makro, penulis akan mengulas kata kunci dalam skripsi ini, yaitu Pindah Agama. Dalam Islam pindah agama lebih dikenal dengan sebutan murtad, yang mana orang yang murtad harus dibunuh, merupakan sebuah antitesis (Pertentangan yang menyolok) dikalangan pemikir Islam sendiri.
Agar pembatasan dan permasalahan ini lebih terarah dan terfokus berdasarkan latar belakang dari uraian di atas, maka penulis akan memberikan pembatasan ruang lingkup penulisan skripsi ini hanya pada persoalan pindah agama perspektif hukum Islam dan HAM, yang berhubungan dengan sanksi atau hukuman bagi pelaku pindah agama. Untuk lebih memudahkan dalam skripsi ini penulis mencoba untuk merumuskan masalah ini sebagai berikut: 1. Bagaimana hukumnya pindah agama dalam Islam dan HAM ? 2. Bagaimana persamaan dan perbedaan tentang pindah agama menurut Islam dan HAM ? Dengan pembatasan dan perumusan masalah seperti ini, diharapkan skripsi ini dapat mengupas konsep kebebasan pindah agama dalam perspektif Islam dan HAM. D. Tujuan dan Manfaat Penelitian Adapun tujuan penelitian yang dimaksudkan penulis adalah: 1. Mengetahui hukum pindah agama dalam Islam dan HAM. 2. Mengetahui persamaan dan perbedaan tentang pindah agama menurut hukum Islam dan HAM. Sedangkan dari hasil penelitian yang dilakukan diharapkan bermanfaat bagi pihak yang mempunyai kepentingan dengan penelitian hukum ini sebagai berikut: 1. Manfaat Praktis
Sebagai bahan informasi pengetahuan dan keilmuan bagi para pembaca dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat yang hegemonis sehingga dapat meningkatkan hubungan beragama yang harmonis. 2. Manfaat Akademis Sebagai kesempatan kepada peneliti untuk mengkaji dan membahas tentang persoalan agama yang terjadi dalam kehidupan beragama khususnya mengenai kebebasan pindah agama menurut hukum Islam dan HAM. E. Metode Penelitian Untuk mengumpulkan data dalam penulisan penelitian skripsi ini, penulis menggunakan metode: 1. Jenis dan Sifat Data Adapun jenis data yang akan dikumpulkan dalam penelitan ini adalah jenis kualitatif yakni berupa uraian kata-kata, yang sesuai dengan kebutuhan penelitian ini. Sedangkan sifat data dalam penelitian ini termasuk penelitian yang bersifat deskriptif analisis yakni penelitian yang menggambarkan data dan informasi di lapangan berdasarkan fakta yang diperoleh secara mendalam. Dengan kata lain penelitian ini untuk menjelaskan tentang kebebasan pindah agama di Indonesia. Dan metode yang penulis pergunakan adalah metode deskriftif. Metode deskriftif bertujuan melukiskan secara sistematis fakta atau karakteristik populasi tertentu secara factual dan cermat. Cara ini bertujuan mendeskripsikan keadaan kongkrit agama yang ada di Indonesia.
Sedangkan sifat data dalam penelitian ini termasuk dalam penelitian yang bersifat deskriptif analisis yakni penelitian yang menggambarkan data dan informasi di lapangan berdasarkan fakta yang diperoleh secara mendalam. Dengan kata lain penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan dan menganalisis secara mendalam tentang kebebasan pindah agama yang terkandung dalam hukum Islam dan HAM Barat serta perkembangannya dalam kehidupan seharihari. 2. Sumber Data Adapun sumber data yang di pergunakan dalam penelitian ini adalah : a. Sumber Data Primer Pengambilan sumber data primer ini berpijak pada doktrin-doktrin pemikiran Islam dan Barat. Alur pembahasan dalam skripsi ini akan diawali dengan konsep agama yang ada dalam hukum Islam dan undang-undang b. Sumber data skunder Bahan data skunder ini diambil dari literature Islam (buku-buku Islam), maupun buku-buku yang bersifat umum, serta seluruh pustaka maupun media yang berkaitan dengan objek penelitian ini. 3. Tehnik Pengumpulan data Adapun tehnik pengumpulan data dalam penelitian ini: Dengan menggunakan referensi Primer, tentunya cara ini dengan mencari dan mengkaji buku-buku, serta literature yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas seperti pemikiran tokoh Islam al-maududi yang berbicara masalah hukum orang
murtad, zakiyuddin baidhawi tentang kredo kebebasan beragama dan studi perpustakaan lainnya yang berkaitan dengan HAM dalam hal Kebebasan Beragama.
4. Tehnik Analisis Data Adapun tehnik analisis data yang penulis gunakan adalah tehnik analisis semantic relationship analysis (analisis domain) tehnik analisis domain adalah mencoba menggambarkan objek penelitian pada tingkat permukaan, namun relative utuh tentang objek penelitian di tingkat permukaan. Jadi dalam penelitian ini penulis hanya bersifat eksploratif. Artinya, analisis hasil penelitian ini hanya ditergetkan untuk memperoleh deskripsi objek penelitian secara general. Alasan penulis menggunakan metode analisis ini adalah karena metode ini sangat relevan dengan objek yang akan diteliti, yaitu penulis mencoba menggambarkan secara umum mengenai keberagamaan dalam Hukum Islam maupun hukum positif yakni undang-undang yang berlaku di Indonesia. 5. Tehnik Penulisan Adapun metode penulisan skripsi ini mengacu pada buku pedoman penulisan skripsi tesis dan disertasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. F. Sistematika Penulisan Agar pemahaman dalam naskah skripsi nanti teratur dan berurutan dengan baik, maka pembahasan proposal ini dibangun secara sistematis, sehingga
diharapkan dapat diperoleh kejelasan yang semaksimal mungkin dari informasi yang termuat dalam skripsi nanti. Adapun sistematika penulisannya adalah sebagai berikut: BAB I
: Merupakan Bab Pendahuluan yang terdiri dari: Latar Belakang Masalah,
Identifikasi
Masalah,Tujuan
Masalah,
Pembatasan
dan
Perumusan
dan Manfaat Penelitian, Metode Penelitian serta
Sistematika Penulisan. BAB II : Membahas tentang HAM dalam perspektif hukum Islam dan Barat yang meliputi: pengertian Hak Asasi Manusia, sejarah dan lahirnya Konsep Hak Asasi Manusia yang berhubungan dengan kebebasan pindah agama, serta penjelasan tentang Realitas HAM dalam Masyarakat Barat dan Islam. BAB III : Membahas Beragama dalam Perspektif Hukum Islam dan HAM, yang meliputi: Konsep Beragama Menurut Islam dan HAM, sumber dan dalil hukum Islam, serta Nilai Utama HAM dan sumber-sumber hukum HAM. BAB IV : Membahas kebebasan pindah agama Perspektif Hukum Islam dan HAM. Yang dimulai dengan pembahasan mengenai
kebebasan
beragama menurut hukum Islam dan HAM, Historis pindah agama dalam Islam dan HAM, Hukum Pindah Agama dalam Islam dan HAM dan berakhir dengan uraian analisis perbandingan kebebasan pindah agama.
BAB V : Merupakan Penutup Yang Berisi Kesimpulan dan Saran-Saran, serta dilengkapi dengan Daftar Pustaka.
BAB II HAM DALAM PERSPEKTIF ISLAM DAN BARAT A. Pengertian Hak Asasi Manusia Pengertian segala sesuatu itu menjadi sangat penting. Begitu juga dengan pendefinisian Hak Asasi Manusia. Karena jika definisinya telah diketahui dengan jelas, maka akan memudahkan pembaca untuk mengetahui lebih jauh permasalahan-permasalahan yang berhubungan dengan kajian penulis tentang hak-hak asasi manusia. Hak-hak asasi manusia terdiri dari tiga suku kata, yaitu Hak, Asasi dan Manusia. Untuk mendapatkan pengertian yang memadai tentang hak asasi manusia, akan diuraikan terlebih dahulu kata demi kata dibawah ini.Kata hak merupakan kata tunggal, mufrad atau singular, sedangkan hak-hak adalah jamak atau plural. Dengan kata lain hak-hak adalah kata jamak dari hak. Hak adalah kekuasaan atau wewenang yang dimiliki seseorang atas sesuatu (Suria Kusuma, 1986). Hak Asasi menunjukan bahwa kekuasaan atau wewenang yang dimiliki seseorang tersebut bersifat mendasar, pemenuhannya bersifat imperatif (perintah yang harus dilakukan). Artinya hak-hak itu wajib dipenuhi karena hak-hak ini menunjukkan nilai subjek hak. Hak Asasi Manusia adalah hak-hak yang melekat pada diri manusia, dan tanpa hak-hak itu manusia tidak dapat hidup layak sebagai manusia.
Haka Asasi Manusia adalah hak yang dimiliki manusia yang telah diperoleh dan dibawanya bersamaan dengan kelahirannya, atau kehadirannya di dalam kehidupan masyarakat. Hak Asasi Manusia adalah hak-hak dasar yang dibawa manusia sejak lahir yang melekat pada esensinya sebagai anugerah Allah SWT (Mustafa Kemal Pasha). Hak Asasi Manusia adalah seperangakat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara hukum, pemerintahan, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia ( Undang-undnag Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia). Kata hak dalam bahasa Indonesia dapat diduga berasal dari atau merupakan pengaruh dari bahasa Arab, قح. Menurut Ensiklopedi Islam, hak secara semantik berarti milik, harta atau sesuatu yang ada secara pasti. 9 Miriam Budiardjo mengatakan Hak asasi adalah hak yang dimiliki manusia yang telah diperoleh dan dibawanya bersamaan dengan kelahiran atau kehadirannya di dalam kehidupan masyarakat. Dianggap bahwa beberapa hak itu dimilikinya tanpa perbedaan atas dasar bangsa, ras, agama atau kelamin, dan karena itu bersifat azasi serta universal. Dasar dari semua hak asasi adalah bahwa
9
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam 2, ( Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), h. 67.
manusia memperoleh kesempatan untuk berkembang sesuai dengan bakat dan cita-citanya.10 Menurut Mr. L.J. Van Apeldoorn yang dikutip oleh C.S.T Kancil, hak ialah hukum yang dihubungkan dengan seorang manusia atau subjek hukum tertentu dan dengan demikian menjelma suatu kekuasaan dan suatu hak timbul apabila hukum mulai bergerak. Kata hak dalam bahasa latin digunakan istilah ius, dalam bahasa Belanda reight ataupun droit dalam bahasa Perancis, adalah izin atau kekuasaan yang diberikan oleh Hukum.11 Hak adalah keterkaitan yang tidak mungkin dipahami oleh hak individu tanpa individu lain yang terkait dengannya. Tatkala individu menjadi seorang yang berdiri sendiri ( mandiri), maka ia memiliki hak yang tidak boleh dilanggar. Pada umumnya hak adalah kemampuan seseorang untuk mempengaruhi tindak-tanduk atau perilaku orang lain, tidak dengan cara mempergunakan kekuatannya sendiri, tetapi berdasarkan pendapat umum atau kekuatan umum. Dengan pengertian lain hak adalah suatu tuntutan ( Claim ) yang berkat adanya suatu kaedah hukum dimiliki oleh seseorang terhadap orang lain, supaya orang lain itu berbuat atau bertindak menurut suatu kaedah tertentu.12 Menurut kamus besar bahasa Indonesia, Hak berarti: a). benar, b). milik kepunyaan, c). kewenangan, d). kekuasaan untuk berbuat sesuatu, e). kekuasaan 10
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar ilmu politik, ( Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2003), Cet. Ke-24, h.120. 11 CST. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia,( Jakarta: Balai Pustaka, 1989), Cet. Ke-8, h.120. 12 Sunaryati Hartono, Kapita Selekta Perbandingan Hukum. ( Bandung Citra Aditya Bakti, 1993), h.36-37.
yang benar atas sesuatu atau menuntut sesuatu, f). derajat atau martabat, g). hukum wewenang menurut hukum.13 Asasi, asas berarti dasar ( sesuatu yang menjadi tumpuan berfikir atau berpendapat). Asasi berarti bersifat dasar, pokok.14 Manusia, makhluk yang berakal budi (mampu menguasai makhluk lain: insan, orang).15 Dalam kamus politik, Hak Asasi Manusia adalah hak yang dimiliki manusia karena kelahirannya, bukan karena diberikan oleh masyarakat atau negara. Hak Asasi Manusia tidak dapat dihilangkan atau dinyatakan tidak berlaku oleh negara. Hak Asasi ini antara lain : hak atas hidup, kemerdekaan, hak atas milik pribadi, hak atas keamanan, hak melakukan perlawanan terhadap penindasan dan hak untuk mencapai kebahagiaan.16 Menurut Frans Cauvin, hak dan padanannya dalam beberapa bahasa yang penting memiliki dua pengertian moral dan politik yang penting, yakni kejujuran dan keberkahan.17 Dalam arti kejujuran, kita berbicara mengenai hal melakukan sesuatu dengan benar, mengenai sesuatu yang berada dalam keadaan benar (atau salah). Menyangkut keberkahan dalam arti lebih sempit, kita secara khusus berbicara tentang seseorang yang memiliki hak.
13
Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), h.292. 14 ibid, h. 52 15 ibid, h. 558 16 BN. Masbun, Kamus Politik, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996), Cet.1, h.193. 17 Frans Cauvin, Hak Asasi Manusia:Pendasaran Dalam Filsafat Hukum dan Filsafat Politik, (Flores: Ledorero,2004), Cet.1. h. 5.
Hak Asasi Manusia dengan demikian merupakan hak yang mesti dan harus diberikan kepada seseorang untuk melakukan suatu perbuatan. Sebagai hak, HAM termasuk kedalam kelompok hak mutlak dan HAM ini merupakan hak alami setiap individu. Hak asasi ini dianggap mutlak dan alami bagi setiap individu karena hak dapat dipertahankan terhadap siapapun orangnya, sebaliknya siapapun harus menghormati hak asasi tersebut. Hak asasi yang disebut juga hak dasar manusia adalah hak-hak manusia yang tidak dapat dipisahkan dari badannya dan tidak dapat diganggu gugat.18 HAM merupakan hak mutlak yang ada pada diri manusia semenjak ia dilahirkan dan merupakan anugerah terbesar yag Allah SWT berikan kepada hambanya. Dengan demikian maka, HAM merupakan hak yang kuat dan yang harus dilindungi dan dipertahankan dengan perlindungan dari sebuah negara. Hal tersebut dijelaskan dalam UU No. 39 tahun 1999 Tentang hak Asasi Manusia yang terdapat dalam pasal 2 dan pasal 8 yang berbunyi: Pasal 2 Hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia tidak dapat dilepaskan dari manusia pribadi karena tanpa hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia yang bersangkutan kehilangan harkat dan martabat kemanusiaannya. Oleh karena itu, negara Republik Indonesia termasuk Pemerintah berkewajiban, baik secara hukum maupun secara politik, ekonomi, sosial dan moral, untuk melindungi dan memajukan serta mengambil langkah-langkah konkrit demi tegagnya hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia.
18
h.56
Suhrawardi K. Lubis, Etika Profesi Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 1994), Cet. I.
Pasal 8 Yang dimaksud dengan “perlindungan” adalah termasuk pembelaan hak asasi manusia. B. Sejarah dan Lahirnya Konsep Hak Asasi Manusia Dalam sejarah umat manusia telah tercatat banyak kejadian, seseorang atau segolongan manusia mengadakan perlawanan terhadap penguasa atau golongan orang lain untuk memperjuangkan apa yang dianggap sebagai haknya. Sering perjuangan ini menuntut pengorbanan jiwa dan raga. Juga didunia barat telah berulang kali ada usaha untuk merumuskan serta memperjuangkan beberapa hak yang dianggap suci dan harus dijamin. Keinginan ini timbul setiap kali terjadi hal-hal yang dianggap menyinggung perasaan dan merendahkan martabat seseorang sebagai manusia. Menurut penyelidikan ilmu pengetahuan, sejarah Hak-Hak Asasi Manusia itu barulah tumbuh dan berkembang pada waktu HAM tersebut oleh manusia mulai diperhatikan dan diperjuangkan terhadap serangan-serangan atau bahaya yang timbul dari kekuasaan suatu masyarakat atau negara, pada hakikatnya persoalan mengenai HAM itu berkisar pada hubungan antara manusia sebagai individu dan masyarakat. Ide HAM timbul pada abad ke tujuh belas dan abad ke delapan belas masehi, hak-hak ini timbul sebagai reaksi terhadap keabsolutan raja-raja dan kaum feodal di zaman itu terhadap rakyat yang mereka perintah atau manusia yang dipekerjakan sebagai budak. Masyarakat manusia zaman silam terdiri dari
dua lapisan besar. Lapisan atas, minoritas yang mempunyai hak-hak dan lapisan bawah, mayoritas yang memiliki kewajiban-kewajiban. Sebenarnya, HAM merupakan sebuah gagasan lama yang telah ada sebelumnya yaitu ketika Islam datang. Konsep ini berawal dari filsafat stoika di zaman kuno yang termaktub dalam yurisprudensi hukum kodrati (natural law) Grotius dan Ius Naturale dari undang-undang Romawi. Kendati gagasan lama, istilah “hak asasi manusia” menjadi relative baru dan menjadi bahasa sehari-hari di sela-sela perang dunia II, dan dalam proses pembentukan PBB (perserikatan bangsa-bangsa) tahun 1945. Hak asasi manusia menggantikan istilah Natural right yang menjadi suatu kontroversi.19 Ide tentang HAM bersumber dari ide hak alamiah. Para pakar jurisprudensi Barat menegaskan bahwa ide tentang HAM pada asalnya merupakan campuran-campuran, dimana abad ke-18, sekolah-sekolah filsafat menjadi tempat rujukan dan merupakan ibu dari sekolah hak alami, seperti yang disodorkan dan dipelopori oleh filosuf Jhon Lock pada tahun 1690 M, yang menjabarkan ide-idenya sebagai ungkapan-ungkapan mengenai HAM dikemudian hari, yang dijabarkan oleh seorang ahli hukum inggris Philaxton, pada pertengahan abad ke delapan belas.20
19
Heru Susetyo, Hak Asasi Manusia : Sejarah Doktrin dan Kendala Implementasinya, dalam Majalah Sabili, edisi. IV, 13 November 2001, h. 1. 20 Muhammad Ahmad Mufti dan Sami Salih al-Wakil, HAM Menurut Barat, HAM Menurut Islam,Ter. Yahya Abdurrahman, dari Huquq al-Insan Fi al Fikr as-siyasi al-gharbi wa asy-syar’I al-Islami, (Dirasah Muqaranah), (Bogor, Pustaka Thariqul Izah, 2005), Cet.1, h. 6.
Karenanya, para pemikir politik Barat kontemporer berpendapat menurut pandangan kaedah-kaedah serta pemahaman semata mengenai Hak Asasi Manusia. Pandangan hak asasi ini terfokus pada pembatasan kekuasaan penguasa, dan pengakuan atas hak-hak individu. Pemikiran tersebut bersandar pada apa yang disebut dengan hak alami yang dimiliki individu dan juga bersandar pada pemikiran-pemikiran undang-undang alami buatan manusia, yang merupakan rujukan tertinggi bagi hak-hak dan kewajiban yang digali dari alam. Manusia pada tingkat pengetahuan itu dengan akalnya, dan akal merupakan anugerah yang paling besar yang diberikan Allah SWT kepada manusia. Dengan akal, manusia melakukan penggalian hukum yang memadai untuk melindungi hak-hak individu yaitu berupa undang-undang alami yang bersifat tetap, kekal dan yang tidak berubah. Pemikiran undang-undang alami telah menghantarkan kepada dibangunnya substansi dan perspektif yang membatasi pokok-pokok fitriyah bagi sebagian pilar-pilar perundang-undangan, semisal perspektif tentang kontrak sosial yang menjadi visi bagi pengakuan hakhak dasar individu yang lebih diprioritaskan atas pelaksanaan kekuasaan pemerintah, pandangan itu adalah berbagai perspektif yang berujung pada (ide) HAM.21 Konsep HAM dalam Islam telah lahir jauh sebelum semua bentuk deklarasi Barat disahkan, yaitu pada tahun pertama bulan hijriyah atau abad ke-7 21
Ibid h. 7.
masehi, sebagaimana yang telah terjadi pada masa Rasulullah SAW dengan dibentuknya sebuah deklarasi Piagam Madinah yang merupakan deklarasi yang pertama kali memuat akan HAM. Konsep HAM dalam Islam lahir pada tahun pertama bulan hijriyah atau abad ke-7 masehi, jauh sebelum semua bentuk deklarasi Barat disahkan. Sebenarnya, agama-agama yang dibawa para Nabi dan Rasul tidak kurang perhatiannya dan upayanya dalam menegakkan HAM. Dalam ajaran agama, HAM merupakan karunia Allah SWT yang diberikan kepada umat manusia begitu manusia itu dilahirkan, dengan kata lain sudah menjadi kodrat dan bawaan manusia. Sebagaimana yang terjadi pada masa Rasulullah SAW dengan dibentuknya sebuah deklarasi pertama Piagam Madinah yang pertama kali memuat segala hak-hak manusia. C. Realitas HAM di Dalam Masyarakat Barat dan Islam Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa sosiologis perlindungan hak asasi manusia disetiap negara atau masyarakat tidak dapat dinilai dari pernyataanpernyataan politis atau diplomatis suatu negara. Dengan demikian kita akan melihat bahwa negara yang paling vokal sekali pun bisa jadi tidak menerapkan sepenuhnya perlindungan hak asasi manusia atau tidak bebas sama sekali dari diskriminasi. Oleh karena itu melihat fakta bahwa pelanggaran hak asasi manusia tidak hanya terjadi di negara-negara Dunia Ketiga, akan tetapi bisa juga
ditemukan di negara Barat yang paling liberal. Kita mengetahui insiden Los Angeles di Amerika Serikat beberapa tahun yang lalu atau diskriminasi terhadap penduduk pribumi (Aborigin) di Australia, atau berbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia lainnya di negara-negara Barat. Dengan adanya politik luar negeri beberapa negara Barat, seperti Amerika Serikat, yang menerapkan standar ganda dan jelas-jelas melakukan pelanggaran HAM di Dunia Ketiga. Namun, kita harus mengakui bahwa berbagai pelanggaran tersebut lebih sering terjadi di negara-nagara Dunia Ketiga, termasuk di negara-negar Islam, baik dilakukan oleh negara maupun masyarakat. Cukup disesali bahwa masih banyak negara Islam dan negara yang berpenduduk mayoritas Muslim yang belum mengakui dan meratifikasi berbagai konvensi, seperti Universal Deklaration of Human Right, Konvensi atas hak-hak sipil dan politik atau atas hak-hak ekonomi, sosial dan budaya masyarakat.22 Sehingga dapat diketahui bahwa HAM yang dijunjung tinggi oleh Barat ternyata bertolak belakang dengan apa yang selama ini diorasikan, pandangan Barat mengenai HAM yang ingin berusaha menjunjung tinggi nilai-nilai HAM ternyata dilanggar sendiri oleh Barat dengan melihat adanya Diskriminasi ras, Ekonomi dengan standar gandanya, dan dengan adanya terorisme yang mengatas namakan agama. dengan demikian negara-negara Dunia Ketiga, termasuk Islam,
22
Cet. I h. 113.
Elza Peldi Taher. Agama dan Dialog Antar Peradaban, Jakarta: Paramadina, 1996,
berusaha untuk menolak gagasan HAM yang berakarkan Barat salah satunya yaitu dengan belum mengakui dan meratifikasi berbagai konvensi. Gambaran realitas ini menjadi sesuatu yang menakutkan ketika tindakan-tindakan terorisme mulai muncul, khususnya selama dekade 70-an dan 80-an yang mengklaim bertindak atas nama atau sekurang-kurangnya berkaitan dengan gerakan Islam tertentu di Timur Tengah, terlepas dari latar belakang atau sebab apa yang mendasarinya. Sehingga hal itu menciptakan gambaran di mata Barat bahwa masyarakat Islam bersifat eksklusif dan menakutkan, dan dipandang sebagai “anti HAM”. Ini disebabkan karena Sarjana-sarjana politik, seperti Hunington dan sebagian pengamat lainnya dengan pengetahuan yang dangkal mengenai Islam dan keaneka-ragaman masyarakat Islam, melihat Islam sebagai “sebuah realitas yang eksklusif dan menakutkan” dan pada saat bersamaan memandangnya sebagai suatu potensi “ancaman” bagi Barat. Dengan demikian perlu kiranya kita melihat realitas HAM yang ada di Indonesia, ada tiga perbedaan tajam dan kontroversial di dalam Majelis Konstituante pada tahun 1950-an. Pertama, tentang pemisahan antara negara dan agama. Kedua, tentang larangan propaganda anti-agama. dan ketiga, Tentang kebebasan seseorang untuk berganti agama. Harus diakui bahwa pemikiran
tentang hak asasi manusia di Indonesia dalam empat puluh lima tahun terakhir mengalami kemunduran.23 Di Negara-Negara berkembang, usaha untuk meluaskan penerimaan akan ide-ide tentang hak asasi manusia sering mengalami hambatan. Salah satu hambatan itu datang dari argumen bahwa konsep hak asai manusia itu adalah buatan Barat, dengan konotasi sebagai sumber kejahatan kolonialisme dan imperialisme. Dalam retorika yang menyangkut masalah pandangan hidup, hak asai manusia yang merupakan konsep Barat itu adalah sama dengan sekulerisme, jika bukan ateisme sekalian. Maksudnya ialah adanya usaha untuk menegakkan hak asasi manusia dalam wacana budaya dan agama. dimana pandangan Barat mengenai
HAM
lebih
berorientasi
kepada
Nilai-nilai
kemanusian
(Antroposentris), bukan Nilai-nilai Ketuhanan (teosentris). Mendengar tanggapan semacam itu, biasanya kita langsung menolaknya, dan mencapnya sebagai keterbelakangan, konservatisme, atau bahkan mungkin kebiadaban. Kita mungkin akan segera mengasosiasikannya dengan kelompok tertentu, baik dalam kategori kedaerahan, kebangsaan, atau kesukuan, maupun dalam kategori keagamaan. Pengasosiasian itu disertai dengan penilaian langsung, bahwa kelompok tertentu memang pada dasarnya tidak dapat menerima ide
23
Ibid,h.116
tentang hak asasi, karena pandangan hidup mereka yang secara inherent tidak mendukung.24 Jika kita ingat bahwa kenangan pahit dari kolonialisme dan imperialisme belum terlewatkan lebih dari dua generasi (sekitar 50 tahun), maka prasangka yang keras kepada Barat, yang ikut mengaburkan kepada hal-hal yang sebenarnya tidak murni Barat semata, seperti ide tentang hak asasi manusia, dapat sedikit banyak kita pahami. Persoalannya mungkin bukanlah bagaimana menghilangkan kenangan pahit atau negatif kepada Barat akibat pengalaman kolonialisme dan imperialisme, (yang memang masih banyak tersisa dan belum seluruhnya terhapus).25 Karena yang menjadi sasaran penjajahan dan imperialisme Barat ialah negara-negara Islam, maka kenangan yang pahit dan kekalahan oleh Barat itu menjadi
sebab
banyaknya
kecenderungan
pada
kaum
muslim
untuk
mendefinisikan dirinya berhadapan dengan Barat. Serta menegaskan keunikan mereka dalam sejarah, bahwa orang-orang Islam banyak mempunyai kompleks membedakan diri dari Barat, dan menolak sesuatu yang datang dari Barat. Bagaimanapun juga, kedamaian yang ditawarkan oleh Islam adalah pesan yang
24
Nurcholish Madjid. Hak Asasi Manusia “dalam perspektif Budaya Indonesia”.
Jakarta:Gramedia Pustaka Utama, 1997 Cet. Ke-1. 25
Ibid.h. 43.
paling berkedamaian di antara semua agama. diluar itu Islam datang menentang kita, kitalah yang lebih dahulu mengundangnya ke Iran.26 Secara lebih khusus lagi berkenaan dengan usaha-usaha pengakuan hak asasi manusia Chandra Muzaffar menunjuk kepada beberapa ironi dan sikap-sikap tidak konsisten dari para sponsor hak asasi itu di Barat. Sehingga perlu kiranya kita mengutif apa yang dikatakannya tentang hal ini ia katakan demikian: “Sementara kebanyakan kelompok hak asasi manusia menaruh perhatian kepada otoritarianisme pada peringkat nasional, mereka jarang bereaksi terhadap penguasaan dan dominasi politik oleh suatu klik dari utara. Padahal otoritarianisme pada peringkat internasional, sebagaimana telah kita tunjukkan, memperlihatkan kesamaan yang mencolok dengan otoritarianisme pada peringkat nasional. Pada kedua peringkat itu misalnya, terdapat manipulasi media dan penyalahgunaan lembaga-lembaga politik dan proses-proses hukum untuk melayani kepentingan mereka yang memegang kekuasaan. Pada politik peringkat nasional dan internasional, penguasaan dan dominasi kaum elite telah mengakibatkan kemerosotan dan pengingkaran hak-hak asasi manusia. Karena itu orang pun bertanya-tanya, mengapa otoritarianisme pada peringkat internasional dapat luput dari sensor kelompok-kelompok hak-hak asasi konvensional di Utara maupun Selatan”?27
26 27
Ibid.44. Ibid. h. 45.
dari kutifan diatas dapat kita ketahui bahwa adanya pertentangan yang terjadi dalam hal Realitas HAM di Barat, salah satunya ialah tidak konsistennya para Sponsor hak asasi di Barat mengenai sistem yang ada pada tingkat Internasional dan sistem yang ada pada tingkat Nasional sehingga terjadi manipulasi dan penyalahgunaan lembaga politik dan proses hukum, yang merupakan sumber hukum HAM itu sendiri.
BAB III BERAGAMA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HAM A. Konsep beragama Menurut Islam dan HAM. 1. Definisi Agama Ada beberapa istilah yang digunakan untuk menyebut agama. selain kata agama, dikenal juga istilah Religi dan Din. Menurut Sidi Gazalba, agama bukanlah istilah yang berasal dari Islam. Ia dipinjam dari bahasa Sansekerta untuk menunjuk sistem kepercayaan dalam Hinduisme/Budhisme. Istilah lain bagi agama ialah Religi yang berasal dari bahasa latin. Menurut satu pendapat asalnya ialah Relegere yang mengandung arti mengumpulkan dan membaca. Sedangkan kata Din dalam bahasa semit mempunyai arti Undang-undang atau Hukum. Sedangkan dalam bahasa Arab, kata din mengandung arti Menguasai, menundukan, patuh utang, balasan, dan kebiasaan. Sedangkan istilah agama dapat didefinisikan sebagai berikut:
ل واح0 ) ا- ح./ ل ﺏ ره ا ا ) ا# وى ا% &'( )* ا+,و ا ل Artinya: “Suatu peraturan Tuhan yang mendorong jiwa seseorang yang mempunyai akal untuk mencapai kebaikan hidup dan kebahagiaan kelak di Akhirat.”1
1
Taib Thahir abd. Muin. Ilmu Kalam, (Jakarta: Wijaya, 1986), Cet. VIII, h.121.
Menurut Harun Nasution, Guru Besar Filsafat dan Teologi Islam berdasarkan analisisnya terhadap berbagai kata yang berkaitan dengan agama yaitu al-din dan religi dan kata agama itu sendiri sampai pada kesimpulan bahwa intisari yang terkandung dalam istilah-istilah di atas ialah ikatan. Agama mengandung arti ikatan-ikatan yang harus dipegang dan dipatuhi manusia. Ikatan ini mempunyai pengaruh yang besar sekali terhadap kehidupan manusia seharihari, ikatan ini berasal dari suatu kekuatan yang lebih tinggi dari pada manusia.2 2. Konsep Beragama Menurut Islam Konsep bergama menurut Islam terdiri dari 4 bidang, diantaranya: a. Bidang Aqidah. Aqidah menurut bahasa adalah menghubungkan dua sudut sehingga bertemu dan bersambung secara kokoh. Aqidah dalam Islam meliputi keyakinan dalam hati tentang Allah sebagai Tuhan yang wajib disembah, ucapan dengan lisan dalam bentuk dua kalimah syahadat, yaitu menyatakan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan bahwa Nabi Muhammad sebagai utusan Allah. b. Bidang Ibadah. Secara harfiah Ibadah berarti bakti manusia kepada Allah. Karena didorong dan dibangkitkan oleh aqidah tauhid. Majlis Tarjih Muhammadiyah mendefinisikan ibadah sebagai upaya mendekatkan diri kepada Allah dengan 2
h.10.
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspek, (Jakarta: UI Pres, 1979), Cet. I
mentaati segala perintah-Nya, menjauhi segala larangan-Nya, dan mengamalkan segala yang diizinkan-Nya. Ibadah ada yang umum dan ada yang khusus. Yang umum ialah segala amalan yang diizinkan Allah. Sedangkan yang khusus ialah apa yang telah ditetapkan Allah akan perincian-Nya, tingkat dan cara-caranya yang tertentu.3 c. Bidang Munakahat (Perkawinan). Perkawinan dalam literatur Fiqih berbahasa Arab disebut dengan dua kata, yaitu Nikah dan Zawaj. Kedua kata ini merupakan kata yang terpakai dalam kehidupan sehari-hari orang Arab dan banyak terdapat dalam al-qur’an dan hadist Nabi. Kata na-ka-ha terdapat dalam al-qur’an dengan arti kawin, seperti terdapat dalam surat An-Nisậ ayat 3:
{>d X4z.n! y =>
347nBG 3n0N, )p=f6C=T !"~# 240 !| # )&# 4AB~q y , *S68Jp=> *6YGI=> 34 G {>d Ia.n! i0Y# # >>d *]=3, *@ ] ) (240q6*☺1>d /ء34 ) ا34 3G {>d
_>d (٣:٤ Artinya;”Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil4, Maka
3
Nasruddin Razak, Dỉnul Islam, (Bandung: al-Ma’arif, 1977), Cet. II, h. 44 & 47. Berlaku adil ialah perlakuan yang adil dalam meladeni istri seperti pakaian, tempat, giliran dan lain-lain yang bersifat lahiriyah. 4
(kawinilah) seorang saja5, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. (Q.S. An-Nisậ / 4 : 3). Demikian pula dengan kata zawaj terdapat dalam al-qur’an dalam arti kawin, seperti pada surat al-Ahzậb ayat 37:
l k3- => PTY R !2*GN>d PTY Ai☺*GN>d=> *@*>* *@TY @nB#>d
n1c#=> => P1(@# R # [\nB.N R=> j &*1>#=> ☺Y, P 1># y>d p*P>d r~# &1* )&A& ( m *u06q>* => y3401 K
O*P j#☺ (2 u=T_>d :O]=>>d "# (3K #>d [%⌧ => ) => (٣٧:٣٣/اب7ﺡ9 ) اj3G.# ? Artinya; “Dan (ingatlah), ketika kamu Berkata kepada orang yang Allah Telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) Telah memberi nikmat kepadanya: "Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada Allah", sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid Telah mengakhiri keperluan terhadap Istrinya (menceraikannya), kami kawinkan kamu dengan dia6 supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu Telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya7. dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi”. (Q.S. Al-ahzậb / 33:37). 5
Islam memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu. Sebelum turun ayat ini poligami sudah ada, dan pernah pula dijalankan oleh para nabi sebelum nabi Muhammad saw. Ayat ini membatasi poligami sampai empat orang saja. 6 Maksudnya setelah habis idahnya. 7 Yang dimaksud orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya ialah Zaid bin Haritsah. Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dengan memberi taufik masuk Islam. Nabi Muhammad pun telah memberi nikmat kepadanya dengan memerdekakan kaumnya dan mengangkatnya menjadi anak. Ayat ini memberikan pengertian bahwa orang boleh megawini bekas istri anak angkatnya.
Secara garis besar kata nikah atau zawaj dapat diartikan sebagai berikut:
وج7 ح اواA4 اBCD >=< اﺏﺡ; ا طء ﺏ%? Artinya “Akad atau perjanjian yang mengandung maksud membolehkan hubungan kelamin dengan menggunakan lafaz Na-ka-ha atau Za-waja”. d. Bidang Mua’amalat Kata mu’ậmalật ( )تالماعملاyang kata tunggalnya mu’ậmalah ()ةلماعملا yang berakar pada kata لماعmengandung arti saling berbuat atau berbuat secara timbal balik. Lebih sederhana lagi berarti hubungan antara orang dengan orang. Bila kata ini dihubungkan kepada lafaz fiqih, maka mengandung arti aturan yang mengatur hugungan antara seseorang dengan orang lain dalam pergaulan hidup didunia. Ini merupakan imbangan dari fiqih ibadah yang mengatur hubungan lahir antara seseorang dengan Allah. Jadi secara khusus muamalat adalah hubungan antara sesama manusia yang berkaitan dengan harta. 3. Konsep Beragama Menurut HAM. Sebagai makhluk bermartabat, manusia memiliki sejumlah hak dasar yang wajib dilindungi, seperti hak hidup, hak beropini, hak berkumpul, serta hak beragama dan hak berkepercayaan. Nilai-nilai HAM mengajarkan agar hak-hak dasar yang asasi tersebut dilindungi dan dimuliakan. HAM mengajarkan prinsip persamaan dan kebebasan manusia sehingga tidak boleh ada diskriminasi,
eksploitasi dan kekerasan terhadap manusia dalam bentuk apapun dan juga tidak boleh ada pembatasan dan pengekangan apa pun terhadap kebebasan dasar manusia, termasuk di dalamnya hak kebebasan beragama, termasuk hak untuk pindah agama. Konsep beragama yang ditawarkan HAM di atas, dapat kita ketahui dengan jelas karena tercantum di dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), ditemukan juga di dalam berbagai dokumen historis tentang HAM, seperti dokumen Right Of Man France (1789), Bill Of Right Of USA (1791), dan Internasional Bill Of Right (1966). Selanjutnya dapat kita ketahui beberapa pasal yang berkaitan dengan kebebasan beragama yang termuat dalam HAM: Pasal 2 “Setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan-kebebasan yang tercantum di dalam Deklarasi ini tanpa perkecualian apapun, seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat yang berlainan, asal mula kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik, kelahiran, ataupun kedudukan lain.” Pasal 18 “Setiap orang mempunyai hak kebebasan untuk berpendapat dan beragama, termasuk hak untuk pindah agama.” B. Sumber dan dalil Hukum Islam Struktur yuridis Islam dalam menentukan ibadah ritual maupun pola hubungan antara manusia dengan Allah, antar manusia dengan manusia maupun dengan makhluk lainnya, tidak lepas dari dua sumber hukum, yaitu al-Qur’an, alhadist, dan dua dalil hukum ijmak dan qiyas. Pada prinsipnya struktur hukum tersebut mendasari pemikiran tentang ijtihad di masa sekarang.
Hal ini penting dikemukakan untuk menghindari salah faham terhadap ideologi Islam. Sementara ini, parameter tentang hak-hak manusia masih berkiblat ke ideologi Barat, sehingga nilai-nilai Islam yang banyak berbeda dengan ideologi Barat dipandang tidak berlaku universal. Untuk memahami sistem nilai yang berlaku dalam Islam perlu kiranya kita lihat salah satu Firman Allah:
r[>61 3GT>d 3q#=4 3GT>d=> >cd=> k3D y , I40j# (ao d4&⌧?
X4zl6=j ? >_, X4zq4 y `k3D => ? 8 y3j#G ) n!a*(3=T => x(*!"ABP>d=> *@ ] (٥٩ :٤/ء34 ⌧ )ا1>, Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, Taatillah Allah dan Rasul-Nya dan ulil amri di antara kamu, kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian”. (Q.S. AnNisa/4:59). Ayat ini menjelaskan tentang beberapa hal yang menurut
Maududi
bersangkutan dengan konstitusi dasar28. Sehingga undang-undang tertinggi bagi orang-orang mukmin, menurut al-qur’an adalah patuh dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya, bersumber dari syari’ah bukan hasil ijtihad manusia, bersifat tetap tidak berubah, berbeda dengan hasil ijtihad Fiqih. Dalam persepsi Maududi, tidak
28
Shalahuddin Hamid. HAM dalm Perspektif Islam, Jakarta, Amisco, 1994, Cet.I h. 73
seorang muslim pun berhak mengeluarkan suatu hukum dalam suatu perkara yang hukumnya telah dikeluarkan Allah dan Rasul-Nya. Menyimpang dari hukum Allah dan Rasul-Nya adalah kebalikan dari iman dan lawan baginya.9 1. Al-Qur’an Al-Qur’an adalah kitab samawi yang diturunkan paling terakhir oleh Allah swt, kepada Nabi Muhammad saw (571-632), sebagai penyempurnaan dan pelengkap dari kitab-kitab yang diturunkan Allah swt. Dengan jumlah ayat-Nya sebanyak 6236 ayat, ayat-ayat tentang hukum hanya sedikit. Soal-soal kehidupan kemasyarakatan hanya berjumlah 228 ayat atau 3 ½
persen. Abdul Wahab
Khallaf10 merangkumnya sebagai berikut: a.
ayat-ayat
mengenai
soal
sosial-kemasyarakatan:
pembentukan
keluarga,perkawinan, perceraian, hak waris dan sebagainya sebanyak 70 ayat. b.
ayat-ayat menegenai sosial-ekonomi: perdagangan/perekonomian, jual beli, sewa menyewa, pinjam meminjam, gadai, perseroan, kontrak dan sebagainya sebanyak 70 ayat.
c.
ayat-ayat mengenai masalah yuridis, soal kriminal sebanyak 30 ayat.
9
Ibid. h. 74 Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (al-Qahirah: Dar al-Qolam, 1978), Cet.
10
VIII. h. 73.
d.
ayat-ayat perjanjian,
mengenai masalah yuridis: soal pengadilan, sumpah, persaksian dalam upaya
menegakkan keadilan dan
penegakkan hak-hak asasi manusia sebanyak 13 ayat. e.
ayat-ayat mengenai soal politik dalam negeri, perundang-undangan, konstitusi, soal kenegaraan sebanyak 10 ayat.
f.
ayat-ayat mengenai soal politik luar negeri: mengenai hubungan kedaulatan Islam dan bukan Islam sebanyak 25 ayat.
g.
ayat-ayat mengenai soal ekonomi: hubungan kaya dan miskin sebanyak 10 ayat. Fazlurrahman menjelaskan : Semangat dari dasar al-qur’an adalah
semangat moral, dari mana ia menekankan monotheisme serta keadilan sosial. Hukum moral adalah abadi. Manusia tidak dapat membuat atau memusnahkan hukum moral, tetapi ia harus menyerahkan diri kepadanya. Penyerahan ini dinamakan Islam dan Implementasinya (pengabdian kepada Allah) atau yang biasa disebut ibadah. Karena penekanan morallah hingga Al-qur’an tampak bagi banyak orang terutama sebagai Tuhan Keadilan. Tetapi hukum moral dan nilainilai spritual, untuk bisa dilaksanakan haruslah diketahui.11 Al-qur’an merupakan sumber hukum yang melahirkan hukum-hukum kemanusiaan, bagi umat Islam fundamental mereka tidak perlu mengambil ideologi lain untuk mengambil hukum. Tetapi kaum demokrat menurut mereka 11
Fazlurrahman, Islam, alih bahasa ahsin Mohammad, (Bandung: Pustaka Bandung, 1984), Cet. I, h. 34.
Islam membolehkan mereka untuk mengambil jalan ijtihad terhadap persoalanpesoalan yang tidak menyangkut ibadah mahdah. Al-Banna dengan teori Syumuliyahnya menyatakan bahwa Islam telah sempurna tanpa harus mengambil konsep Barat sebagai sandaran. Al-maududi sependapat dengan Al-Banna bahwa Islam telah lengkap, sebagai agam terakhir yang melengkapi ajaran Yahudi-Kristen. Rasyid Ridla meskipun dalam beberapa hal berbeda dengan Al-Banna tetapi ia setuju bahwa Islam mencakup seluruh aspek kehidupan masyarakat. Mu’tazilah memandang bahwa Tuhan memberikan daya kepada manusia untuk berbuat dan mengatur persoalan. Manusia bebas untuk menentukan masalahnya, dan bukan berarti lari dari wahyu Tuhan. Tuhan memberikan akal sebagai kekuatan yang harus dipakai untuk digunakan sepenuhnya bagi kepentingan manusia. 2. As-Sunnah As-Sunnah adalah sumber kedua konstitusi Islam. “Kata sunnah” secara literatur (harfiah) bermakna cara dan kebiasaan hidup. Secara teknis sunnah dapat didefinisikan dengan segala perkataan Nabi Muhammad saw, dan tindakantindakan atau perbuatan pribadi beliau, dan tindakan orang lain yang dengan bijaksana beliau setujui. Sunnah merupakan cara Rasulullah saw, menerjemahkan ideologi Islam yang terdapat dalam cahaya tuntunan Al-Qur’an ke dalam bentuk praktik,
mengembangkan kedalam suatu susunan sosial yang positif dan akhirnya meningkat menjadi sebuah negara Islam penuh.12 Beberapa hadis mengenai berbagai masalah konstitusi: a. Ketaatan kepada Allah adalah yang tertinggi dan tidak ada ketaatan kepada yang lain yang dapat melanggar ketaatan kepada Allah ini.
JD? K) اD ﺹM4 ?< اMD?
(%= )روا اﺡNO و7? K; ا/#) ﻡ- قDQ= ;?R 9 لS D(و
Artinya; “Dari Sa’ad binUbaidah dari Abi Abdul Rahman as-Sulami dari Ali dari Nabi saw, bersabda Tidaklah ada ketaatan kepada makhluk, jika di dalamnya melibatkan ketidaktaatan kepada Allah Ajja Wajala.” (HR. Ahmad). b. ketaatan kepada Allah hanya dapat dilakukan melalui ketaatan kepada Rasulullah saw.
<ل ﻡS D( وJD? K) اD ﺹK ان ر(ل اJ4? K) ا,?< اﺏ) هة ر ١٤
(رىQ )روا اK عR ا%- M4?Rا
Artinya; “Barang siapa mengikuti aku maka telah mengikuti Allah dan Rasulullah saw”. (HR. al-Bukhori,). c. Orang yang memegang kekuasaan harus ditaati.
JD? K) اD ﺹKل ر(ل اS =? < ?< اﺏ+- ?< ﻥC#O M ﺏ< اﺏKا%?
(ئ34 ; )روا ا/#=?; ﺏR9 و+=( .- ;/#=اﻡ ﺏ
12
Shalahuddin Hamid. HAM dalm Perspektif Islam, Jakarta, Amisco, 1994, Cet.I h. 80. Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, Musnad Ahmad, (al-Maktabah alSyamilah: Mauqiu’ Islam, 2006), Juz. III. H. 47. ١٤ Muhammad bin Ismail al-Bukhori, Shohih Bukhori, (al-Maktabah Al-Syamilah: Mauqiu’ Islam, 2006), Juz. x. h. 114. ١٣
Artinya; “seorang muslim harus mendengarkan dan mematuhi penguasa baik dia menyetujui maupun membenci apa yang telah diperintahkan, asal dia tidak diperintah untuk melakukan dosa. Jika diperintahkan melakukan dosa, maka dia harus tidak mendengarkan atau mentaatinya”. HR. anNasaî). d. Urusan-urusan pemerintahan tidak boleh diserahkan kepada mereka yang menginginkannya.
JD? ا ﺡص% اواﺡJ ( ا% اﺡN=# ﻥ ) ه]ا9 K اﻥ وا:لS )( ﻡM?< اﺏ ١٦
(D3)روا ﻡ
Artinya; “Dari Abi Musa berkata: Demi Allah kami tidak menugaskan urusanurusan pemerintahan kepada siapapun yang mendambakannya atau yang serakah terhadapnya”. (HR.Muslimi). e. Dewan permusyawaratan
اب/ ا%4? ا7=< وا(روه وﻥD3= ا أي ﻡ< اNا اه#=Oءه اﻡOاذا ١٧
(D3 )روا ﻡJD? *ﻥa0 وb ﺏﻥ* إ ) ذ%4 * اﻥNﻡ< ارا'* ﺏ
Artinya; “jika datang kepada mereka suatu masalah, mereka mengumpulkan para ahli dari kaum muslim. Kemudian mereka saling bermusyawarah dan mengambil yang benar dari rangkaian pendapat mereka. Bahkan, para ahli tadi mengajak dan menganjurkan kaum muslimin untuk berpegang kepada pendapat yang benar tadi”. (HR. Muslim). f. Tanggung jawab kolektif.
ADل آS D( وJD? K) اD ﺹK ان ر(ل اJ4? K) ا, ﺏ< ?= رK ا%?
(رىQ )روا اJ?ول ?< رW3 ﻡADراع وآ
١٥
Ahmad bin Suaib bin Ali bin Baher bin Sinan, Sunan an-Nasaî, (al-Maktabah alSyamilah: Mauqiu’ Islam, 2006), Juz. xiii. h. 115. ١٦ Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi an Naisaburi, Shoheh Muslim, (alMaktabah al-Syamilah: Mauqiu’ Islam, 2006), Juz. IX. h. 344. ١٧ ibid, h. 345. ١٨ Muhammad bin Ismail al-Bukhori, Shohih Bukhori, (al-Maktabah al-Syamilah: Mauqiu’ Islam, 2006), Juz. xvi. h. 187.
Artinya;“Dari Sayidina Ibnu Umar meriwayatkan bahwa Rasulullah telah bersabda, Tiap-tiap dari kalian adalah pemimpin dan semuanya bertanggung jawab terhadap yang dipimpin”. (HR. al-Bukhori). g. Pengadilan yang independen dan tidak memihak Berikan hukuman yang adil baik kepada keluarga yang jauh maupun yang dekat, dan janganlah takut akan cemooh orang demi pelaksanaan batasbatas yang telah digariskan oleh Allah.
b اdDO اذاMD? لS D( وJD? K) اD ﺹK) ان ر(ل اD?
( واﺏداود وا ﻡ]ى%= ا >ء )روا اﺡb < ﺕb ذeD#-اذا
Artinya; “Dari Ali, Rasulullah saw bersabda,” Jika ada dua orang membawa perselisihan mereka kehadapanmu untuk kamu putuskan, janganlah dulu kamu mengadakan pengadilan itu kecuali telah kamu adakan pemeriksaan secara seksama terhadap keduanya”. ( HR. Ahmad, Abu Dauwud, dan Tirmidzi). h. Tidak ada kewarganegaraan ekstra-teritorial.
<* ا =آi ﺏ< اD3 ﻡN اﻥ ﺏئ ﻡ< آKل ر(ل اS Kا%? <ﺏO
()روا اﺏ داود وا ﻡ]ى
Artinya; “Dari Zarib bin Abdillah telah bersabda Rasulullah Aku (Nabi sebagai kepala negara) tidak bertanggung jawab terhadap seorang muslim yang hidup diantara orang-orang musyrik.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi).
١٩
Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal, Musnad Ahmad, (alMaktabah al-Syamilah; Mauqiu’ Islam, 2006), Juz. II. h. 436. ٢٠ Muhammad bin Ali bin Muhammad ash-Syaukan, Nailul athor, (Mesir: Syirkah Iqomah al-Dîn, 2000), Juz. V. h. 265.
Masih banyak hadits lain yang berhubungan dengan berbagai masalah konstitusi, dimana lebih lanjut Rasulullah sendiri telah mendirikan sebuah negara Islam. Aparat negara
dan berbagai organnya yang berada di bawah
kepemimpinan Rasulullah saw, merupakan As-Sunnah. 3. Ijma’ Ijmak adalah kesepakatan para mujtahid disetiap masa setelah wafatnya Rasulullah, mengambil istimbath (Kesimpulan) terhadap hukum syar’i (al-qur’an dan al-hadist). Hal ini terjadi karena al-qur’an dan hadist interpretable. Islam memberikan
ruang
bagi
manusia
untuk
mempergunakan
kebebasannya
melakukan interpretasi. Ijma merupakan kumpulan legislasi yang mengambil sumber dari al-qur’an dan hadist. Karena ada ruang bagi kebebasan berinterpretasi maka kedudukannya merupakan dalil hukum, ia boleh disanggah, dikritik atau dirubah. Ijmak merupakan sumber hukum dan konstitusi Islam yang ketiga. Menurut kata-kata Iqbal, ijmak adalah “merupakan gagasan hukum yang paling penting dalam Islam” secara literal, makna ijmak adalah “Konsensus”. Menurut Imam Syafi’i, ada beberapa perbedaan mengenai definisi yang tepat bagi ijmak sebagai sebuah konsensus yang komplet dari ulama mengenai suatu poin hukum tertentu. Menurut beliau, haruslah terdapat sesuatu pendapat yang tunggal dalam konsensus. Sedangkan menurut Ibnu jabir dan Abu Bakar arRazi menganggap bahkan keputusan kesepakatan mayoritas itu adalah sebagai ijmak. Sementara menurut Ahmad Ibnu Hambal “Kami mengetahui bahwa tidak
ada posisi terhadap pandangan itu,’” dalam hal ini berarti bahwa beliau menganggap keputusan konsensus itu adalah ijmak. Fazlurrahman menyatakan “Sesungguhnyalah, praktek-praktek yang bersesuain dan para sahabat juga dinamakan ijma’ para sahabat, dan istilah ijma’ bermula pada mereka juga. Tetapi tidak ada lagi generasi baru an sich yang dianggap mampu menghasilkan sunnah yang baru, namun titik hubungan antara para sahabat dan generasi selanjutnya, yakni generasi Tabi’in, menghasilkan timbunan materi yang aktual, dengan cara dedukasi langsung dan penerapan oleh pemikir-pemikir perseorangan, yang terkena aplikasi istilah Sunnah dan Ijma’. Pada sisi lain, terdapat beberapa aturan tertentu yang disetujui oleh para ulama dari daerah tertentu, tetapi mereka tidak melaksanakan kekuatan konsensus masyarakat yang dikenal dengan ijmak para ulama. Ijmak ulama pada masa-masa awal keberadaan Islam merupakan sebuah mekanisme untuk membuat suatu bentuk integrasi ijtihad yang berlainan dari para ahli hukum. Keputusan Khulafa ar-Rasyidin mengenai berbagai permasalahan konstitusi yang diambil melalui konsensus para sahabat bersifat mengikat bagi kaum muslim untuk segala zaman. Hal ini dikenal secara teknis dengan ijmak para sahabat. Dalam perkembangannya ijmak berperan penting dalam penetapanpenetapan hukum sosial kemasyarakatan, ketatanegaraan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Banyak sekali persoalan-persoalan sosial budaya yang menuntut ijtihad para ulama untuk memberikan hukum atas soal-soal
tersebut. Maka ijmak menjadi alternatif bagi soal-soal yang belum dikemukakan. Fazlurrahman menyebutnya sebagai bagaian yang tak terpisahkan dari fiqih moderen. Kedudukannya dalam konstitusi Islam berada dibawah al-qur’an dan hadist. 4. Qiyas (Analogi) Secara etimologis berarti analogi. Qiyas dan Ra’yu dapat disebut sinonim karena kedudukannya yang sama. Namun secara tradisionil qiyas dipakai dengan arti penalaran analogy29 atau Mitsal dalam bahasa arab. Secara terminologis qiyas berarti suatu pengambilan kesimpulan analogis dimana hukum sebuah teks diterapkan pada kasus-kasus yang meskipun tidak tercakup oleh bahasa yang dipakai, namun tetap diatur oleh alasan dalam teks (Al-Qur’an dan Sunnah). Hanafi mendefinisikannya sebagai “sebuah perluasan hukum dari teks asli kedalam prosesnya yang diterapkan di dalam kasus tertentu dengan perantara sebuah sebab efektif (Ilahi) umum bahasa teks”. Semakin meluas negara Islam pada era sahabat Nabi, masalah baru yang tidak termasuk dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah pun semakin bermunculan, sehingga terdorong oleh para ahli hukum untuk mencari pemecahan masalah hukum dengan bantuan sikap para sahabat ini berdasarkan sabda Rasulullah saw, “Berilah keputusan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah jika terdapat hal itu di
29
94.
Shalahudin Hamid. HAM dalam Perspektif Islam, Jakarta, Amisco, 1994, Cet. I h.
dalamnya. Jika kamu tidak menemukan ketentuannya, maka carilah jalan lain dengan pendapat dan penafsiranmu”. Fazlurrahman
menjelaskan
ketika
menggunakan
skema
analisa
Aristoteles tentang sumber hukum ini, “Menurut analogi ini, al-qur’an dan sunnah adalah prinsip-prinsip materil (sumber-sumber), kegiatan penalaran analogis (Qiyas) adalah prinsip yang dihasilkan dari prinsip yang pertama (efficient cause), dan ijma adalah prinsip formalnya (kekuatan Fungsional). Sehingga manusia dapat hidup dibawah kedaulatan Tuhan dan sesuai dengan kehendaknya. C. Nilai utama HAM dan Sumber-sumber Hukum HAM Dengan lahirnya Deklarasi HAM Sedunia pada 10 Desember 1948 diharapkan keadilan di dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat di dunia ini dapat ditegakkan. Deklarasi tersebut mempunyai arti penting yang besar karena menjadi dasar untuk mengubah dan membebaskan peradaban manusia yang telah berabad-abad didominasi ketidak-adilan, di mana hak asasi manusia tidak mendapat perlindungan.30 Sebagai bahan diskusi, berikut ini disajikan Nilainilai kemanusiaan yang ada dalam HAM.
1. Nilai Utama HAM a. Kebebasan /Kemerdekaan
30
Siti Musdah Mulia. Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Beragama.Artikel diakses pada 10 April 2008, dari http://www.Geogle. Kebebasan beragama. Com/
Manusia dilahirkan dalam keadaan Merdeka. Karena itu menjadi harapan setiap manusia menjalani kehidupannya dalam keadaan merdeka. Misalnya merdeka memilih Negara, Tempat Tinggal, Berkeluarga, Bergerak, Memilih
Pekerjaan,
Berserikat
Berkumpul,
Berekspresi,
Mengemukakan
pendapat, Memperoleh dan mendayagunakan informasi dan lain-lain. b. Kemanusiaan/Perdamaian Manusia
dalam
menjalani
kehidupannya
sangat
mendambakan
ketenteraman, bebas dari rasa takut, terjamin keamanannya dan senantiasa dalam suasana yang damai. c. Keadilan/kesederajatan/persamaan Diperlakukan secara wajar dan adil, mendapatkan kesempatan yang sama dalam memperoleh hak, tidak dibeda-bedakan antara manusia yang satu dengan yang lain dengan alasan apapun merupakan keinginan setiap manusia. Sesungguhnya masih banyak nilai dasar HAM yang lain, tapi jika dicermati nilainilai yang lain merupakan pengembangan dari ketiga nilai dasar tersebut. Misalnya, tanpa diskriminasi dalah merupakan pengembangan dari nilai keadilan/kesederajatan/persamaan. Demokrasi oleh beberapa kalangan dianggap sebagai nilai HAM yang mendasar tapi bila ditelusuri demokrasi merupakan pengembangan dari nilai kebebasan atau kemerdekaan. 31
31
Nieke Masruchiyah. Prosiding Seminar KMKG: Peranan Pemuda Dalam Penegakan HAM, 17 Juli 2007. Cisarua.
2. Sumber-sumber Hukum HAM Dalam bahasa Indonesia, kata sumber berarti asal, asal-usul, asal mula32. Kalau direnungkan dengan lebih mendalam, kata atau istilah asal, asalusul, dan asal mula tersebut mengandung pengertian yang luas dam umum. Pertama,
dapat berarti sebagai materi atau bahan yang akan menjadikannya
sebagai hukum. Kedua, dapat pula diartikan sebagai suatu proses yang berkesinambungan berupa rangkaian peristiwa ataupun fakta. Ketiga, sumber dapat pula berarti sebagai bentuk atau wujud yang tampak. Jadi sumber hukum adalah segala sesuatu yang menimbulkan aturanaturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat memaksa, yaitu apabila dilanggar akan mengakibatkan timbulnya sanksi yang tegas.33 Kalau kata atau istilah sumber itu dipasangkan dengan kata atau istilah hukum HAM , maka akan menjadi istilah Sumber Hukum HAM. Sumber hukum HAM terdiri dari dua bagian:34 a. Internasional Hukum HAM Internasional merupakan sumber hukum bagi lahirnya Hukum HAM Nasional, Hukum HAM Internasional mengikat bila memuat
32
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia,(Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 1998), Cet. I, h. 867. 33 Yulie Tiena Mariani, Pengantar Hukum Indonesia, (Jakarta, Sinar Grafika, 2004), Cet. I h. 13. 34 Yayan Sopian. “Peran Masyarakat Dalam Penegakan HAM”. Prosiding Seminar: Sosialisasi HAM Bagi Masyarakat di Propinsi Jakarta, 17 Juli 2007. Cisarua. Hotel Ever Green, Puncak Jawa Barat
kewajiban-kewajiban Internasional bagi para pihak yang meratifikasi dan telah memenuhi jumlah peserta yang ditetapkan dalam perjanjian. Yang mana perjanjian tersebut dapat kita ketahui baik berupa deklarasi, kovenan dan konvensi sebagai berikut; 1. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB (1948). DUHAM telah disepakati oleh negara-negara anggota PBB pada tanggal 10 Desember 1948 dengan sebuah resolusi nomor 217A (III). Sebagai sebuah “deklarasi” maka sifat dan daya ikatnya juga berbeda dengan konvensi. Sebagai deklarasi ia bersifat “deklaratur”: artinya bahwa deklarasi ini hanya merupakan seruan moral kepada negara-negara peserta untuk memajukan dan menghormati secara universal dan mentaati hak-hak asasi kebebasan manusia. Dengan demikian maka daya ikat dari deklarasi ini bersifat “morality binding” artinya hanya mengikat secara moral kepada negara-negara peserta. Namun demikian sekalipun merupakan “morality binding”, maksudnya ialah suatu bentuk penghormatan secara moral dari negara-negara peserta DUHAM dengan cara meratifikasi Deklarasi tersebut. Jadi apa yang dinyatakan dalam dokumen DUHAM ini benar-benar dimaksudkan sebagai standar umum, tolok ukur, atau fundamental norm yang dimaksudkan agar dapat dipergunakan sebagai pedoman yang diakui dunia internasional guna menentukan lebih lanjut berbagai hak dan berbagai bentuk kebebasan yang harus diakui oleh rezim-rezim kekuasaan manapun di dunia yang beradap. Sebab perwujudan dari “fundamental human rights – hak-hak asasi manusia” dan “fundamental freedom- kebebasan
asasi manusia” menyaratkan adanya “rule of law” yaitu jaminan perlindungan yang diatur oleh hukum dalam negeri negara-negara serta “supreme of law’ yaitu kehidupan bernegara yang harus berdasarkan atas hukum. Muktie Fadjar, dalam bukunya “tipe-Tipe negara Hukum, disebutkan bahwa salah satu ciri negara hukum adalah “adanya penghormatan dan perlindungan Hak Asasi Manusia bagi warga negaranya”. Tentunya menjadi syarat mutlak bagi Indonesia untuk membuat regeulasi dibidang tersebut yang secara eksplisit menganut “kedaulatan hukum” dalam konstitusinya. Oleh karena itu sebagai sebuah pedoman umum tentang HAM tentunya DUHAM membutuhkan konvensi khusus yang dibuat oleh negara-negara yang bersifat mengikat sebagai aturan-aturan yang menindak lanjuti dan melaksanakan kententuan dari DUHAM tersebut yaitu berupa The International Covenant on Civil and Political Rights (CCPR) dan The Internastional on Social, Economical and Cultural Rights (ICSECR) serta protocol tambahannya. 2. Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (1966). Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik yang kita kenal sekarang, sebagai salah satu kovenan mengenai hak asasi manusia (HAM) Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), memiliki sejarah yang panjang. Konflik kepentingan antara negara-negara Blok Timur melawan Blok Barat sangat terasa dalam proses perdebatan di sidang-sidang PBB. Proses legislasi kovenan ini dimulai pada 1947 dan baru disahkan pada 1966. Dibutuhkan waktu hampir 20 tahun untuk menjadikannya sebagai
instrumen hukum internasional. “Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik atau International Covenant on Civil and Political Rights merupakan produk Perang Dingin: ia merupakan hasil kompromi Politik yang keras antara kekuatan blok Sosialis melawan kekuatan blok Kapitalis,”. Perdebatan yang terjadi sangat sengit dan masing-masing blok membawa kepentingannya masing-masing. Perdebatan yang paling peting adalah apakah hak-hak ekonomi, sosial dan budaya disatukan dengan hak-hak sipil dan politik atau tidak. Blok Timur, yang didukung negara-negara berkembang menghendaki hak-hak ekonomi, sosial dan politik disatukan dalam kovenan ini. Alasannya, hak ekonomi, sosial dan budaya merupakan hak yang tidak bisa dipisahkan dari hak asasi manusia dan merupakan kondisi yang esensial bagi kebebasan. Namun, blok Barat menolaknya. Inilah hal yang menyebabkan kovenan hak asasi manusia ini terpisah menjadi dua, yakni kovenan tentanag hak sipil dan politik dan Kovenan Internasional hak-hak Ekonomi, politik dan Budaya atau International Convenan on Economic, Social and Cultural. Dua kovenan ini, kendati tidak sempurna betul, karena merupakan hasil tarik-menarik antara dua kepentingan besar ketika itu, bagaimanapun merupakan produk yang baik untuk memajukan kondisi hak asasi manusia di muka bumi. Namun, para anggota PBB tidak serta-merta menerima kovenan hak-hak sipil dan politik ini. Selama tiga tahun (1971-1973), PBB melakukan imbauan dan kunjungan ke berbagai negara mendesak untuk segera meratifikasi. Namun,
hasilnya tidak menggembirakan. Negara-negara anggota PBB rupanya khawatir kebebasan mereka untuk bertindak akan dibatasi jika meratifikasi kovenan ini. Ini karena Pasal 2 ayat 2 kovenan itu mengharuskan setiap negara harus segera menyesuaikan perundang-undangannya dengan isi kovenan. Namun, kini sudah 141 dari 159 negara anggota PBB yang meratifikasi. Sebanyak 18 negara belum meratifikasi, termasuk Indonesia. Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik merupakan dokumen yang amat penting bagi penyelenggaraan dan penegakan hukum dan hak asasi manusia di muka bumi. Kovenan ini antara lain menyepakati hak sebuah bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri, bebas menentukan status politik dan bebas melaksanakan pembangunan ekonomi, sosial dan budaya mereka. Di sisi lain, penyelenggara negara penandatangan kovenan harus menghormati dan menjamin semua individu yang berada dalam wilayahnya tanpa membedakan suku, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik dan lain-lainnya. Kovenan ini juga melarang adanya penyiksaan, atau perlakuan atas hukuman yang kejam, tidak manusiawi atau penghinaan. Kovenan ini juga menghapus semua jenis perbudakan, penghambaan dan menjamin hak-hak orangorang yang karena perbuatan pidana harus dibatasi kebebasannya. Jadi kovenan ini tidak ubahnya seperti “kitab suci” penyelenggaraan HAM di muka bumi. Sayang, Indonesia belum mengakuinya sebagai “kitab suci”, kendati rezim militer pimpinan Jendral Soeharto, yang anti kovenan ini, sudah jatuh. 3. Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (1966).
Ditetapkan oleh Resolusi Majelis Umum 2200 A (XXI) tertanggal 16 Desember 1966, dan terbuka untuk penandatangan, ratifikasi, dan aksesi mukadimah Negara-Negara Pihak dalam Kovenan ini, Menimbang bahwa sesuai dengan asas-asas yang diproklamasikan dalam Piagam Perserikatan BangsaBangsa, pengakuan terhadap martabat yang melekat dan hak-hak yang sama dan tidak terpisahkan dari semua anggota keluarga manusia merupakan landasan dari kebebasan, keadilan dan perdamaian di dunia, Mengakui bahwa hak-hak ini berasal dari martabat yang melekat pada manusia, Mengakui bahwa sesuai dengan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Keadaan ideal dari manusia yang bebas dari penikmatan kebebasan dari ketakutan dan kemelaratan, hanya dapatdicapai apabila diciptakan kondisi di mana semua orang dapat menikmati hak-hak ekonomi, sosial dan budayanya, juga hak-hak sipil dan politiknya. Menimbang kewajiban
Negara-Negara
dalam
Perserikatan
Bangsa-Bangsa
untuk
memajukanpenghormatan dan pentaatan secara universal pada hak-hak asasi manusia dan kebebasan. Menyadari bahwa individu, yang mempunyai kewajiban terhadap individu lainnya dan pada masyarakat di mana ia berada, berkewajiban untuk mengupayakan kemajuan dan pentaatan dari hak-hak yang diakui dalam Kovenan ini, Menyetujui pasal-pasal berikut : Pasal 1 Semua bangsa mempunyai hak untuk menentukan nasib sendiri. Berdasarkan hak tersebut mereka dapat secara bebas menentukan status politik mereka dan secara bebas mengejar kemajuan ekonomi, sosial dan budaya mereka. Pasal 2
Semua bangsa, uuntuk tujuan-tujuan mereka sendiri, dapat secara bebas mengelola kekayaan dan sumber daya alam mereka tanpa mengurangi kewajiban-kewajiban yang timbul dari kerjasama ekonomi internasional berdasarkan asas saling menguntungkan dan hukum internasional. Dalam hal apapun tidak dibenarkan untuk merampas hak-hak suatu bangsa atas sumbersumber penghidupannya sendiri. Pasal 3 Negara Pihak dalam Kovenan ini, termasuk mereka yang bertanggung jawab atas penyelenggaraan Wilayah Tanpa Pemerintahan dan Wilayah Perwalian, harus memajukan perwujudan hak untuk menentukan nasib sendiri, dan harus menghormati hak tersebut sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa. 4. Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (1965). Dalam konvensi ini, pengertian "diskriminasi rasial" berarti suatu pembedaan, pengucilan, pembatasan atau pilihan berdasarkan ras, warna kulit, keurunan atau asal usul etnik atau kebangsaan, yang bertujuan atau berakibat mencabut atau mengurangi pengakuan, perolehan tau pelaksanaan hak-hak asasi manusia dan kebebasan mendasar, dalam suatu kesederajatan, di bidak pilitik, ekonomi, sosial, budaya tau bidang-bidang kehidupan kemasyarakatan lainnya. Konvensi
ini
tidak
berlaku
terhadap
pembedaan-pembedaan,
pengucilan-
pengucilan, pembatasan-pembatasan atau pilihan-pilihan yang dilakukan oleh suatu Negara Pihak Konvensi dalam hubungannya dengan masalah warga negara dan bukan warga. Tidak ada ketentuan-ketentuan dalam Konvensi ini yang dapat ditafsirkan sebagai mempengaruhi, dengan cara apapun juga, ketentuan-ketentuan hukum Negara Negara Pihak tentang kebangsaan, kewarganegaraan atau naturalisasi sepanjang ketentuanketentuan tersebut tidak mendiskriminasi kebangsaan tertentu. Langkah-langkah khusus yang semata-mata diambil untuk menjamin pemajuan kelompok ras atau etnik atau perorangan atau kelompok perorangan yang memerlukan perlindungan agar mereka dapat menikmati atau melaksanakan hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan mendasar secara sederajat tidak dapat dianggap suatu diskriminasi
rasial, sepanjang langkah-langkah tersebut tidak mempunyai konsukuensi yang mengarah kepada berlanjutnya hak-hak terpisah bagi kelompok rasial yang berbeda dan bahwa langkah-langkah tersebut tidak dilanjutkan setelah tujuannya tercapai.
Pasal 2 1. Negara-negara pihak mengutuk diskriminasi rasial dan mengambil semua langkahlangkah yang sesuai guna menyusun segera mungkin kebijakan penghapusan segala bentuk diskriminasi rasial dan memajukan pengertian antar ras untuk mencapai tujuan tersebut akan melaksanakan :
a.
Setiap negara pihak tidak akan melakukan kegiatan-kegiatan atau praktek-praktek diskriminasi rasial terhadap perorangan atau kelompok perorangan atau lembagalembaga dan menjamin bahwa semua kekuasaan umum dan lembaga-lembaga baik pada tingkat lokal maupun nasional bertindak sesuai dengan kewajiban ini;
b.
Setiap Negara Pihak tidak akan menyokong, mempertahankan atau membantu diskriminasi rasial yang dilakukan perorangan atau organisasi-organisasi.
c.
Setiap Negara Pihak akan mengambil langkah-langkah efektif guna mengkaji ulang berbagai kebijakan pemerintah, nasional dan lokal, serta mengubah, mencabut atau membatalkan perundang-undangan dan peraturan yang berakibat menciptakan atau meneruskan diskriminasi rasial dimanapun berada;
d.
Setiap Negara Pihak akan melarang dan menghentikan, melalui berbagai langkahlangkah yang sesuai termasuk penciptaan peraturan-peraturan apabila diharuskan, diskriminasi rasial yang dilakukan perorangan, kelompok atau organisasi;
e.
Setiap Negara Pihak, apabila dirasakan perlu, berupaya untuk mendorong gerakangerakan dan organisasi-organisasi integrasionis multirasial serta berbagai cara penghapusan hambatan-hambatan antar ras, dan tidak mendorong segala sesuatunya yang menjurus kepada penguatan suatu pembedaan rasial.
2.
Negara-negara Pihak, apabila situasi mengharuskan akan mengambil langkah-langkah nyata dan khusus di bidang sosial, ekonomi, budaya dan bidang-bidang lain guna menjamin pengembangan dan perlindungan yang memadai terhadap kelompokkelompok rasial tertentu atau perorangan dari kelompok tersebut guna menjamin perolehan secara penuh dan sederajat hak-hak asasi manusia dan kebebasankebebasan mendasar. Langkah-langkah ini tidak boleh membawa konsukuensi berlanjutnya adanya suatu hak-hak yang terpisah dan tidak sederajat bagi kelompokkelompok rasial lainnya apabila tujuan-tujuan langkah tersebut telah tercapai.
e). Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap wanita (1979)
Pada tahun 1967 Perserikatan Bangsa-Bangsa telah mengeluarkan Deklarasi mengenai Penghapusan terhadap diskriminasi wanita. Deklarasi tersebut memuat hak dan kewajiban wanita berdasarkan persamaan hak dengan pria dan menyatakan agar diambil langkah-langkah seperlunya untuk menjamin pelaksanaan Deklarasi tersebut. Oleh karena Deklarasi itu sifatnya tidak mengikat maka Komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Kedudukan wanita berdasarkan Deklarasi tersebut menyusun rancangan Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita. Pada tanggal 18 Desember Tahun 1979 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa telah menyetujui Konvensi tersebut. Karena ketentuan Konvensi pada dasarnya tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, maka Pemerintah Republik Indonesia dalam Konperensi Sedunia Dasawarsa Perserikatan Bangsa-Bangsa bagi Wanita di Kopenhagen pada tanggal 29 Juli 1980 telah menandatangani Konvensi tersebut. Penandatanganan itu merupakan penegasan sikap Indonesia yang dinyatakan pada tanggal 18 Desember 1979 pada waktu Majelis Umum Perserikatan BangsaBangsa melakukan pemungutan suara atas resolusi yang kemudian menyetujui Konvensi tersebut. 5. Konvensi tentang Hak Anak (1989). Negara-negara Peserta akan menghormati dan menjamin hak-hak yang ditetapkan dalam Konvensi ini dan setiap anak dalam wilayah hukum mereka tanpa diskriminasi dalam bentuk apapun, tanpa memandang ras, warna kulit, jenis
kelamin, bahasa, agama, pandangan politik atau pandangan lain, asal-usul bangsa, asal-usul etnik atau sosial, kekayaan, ketidakmampuan, kelahiran atau status lain dan anak atau dan orangtua anak atau walinya yang sah menurut hukum hak Setiap Anak adalah:
•
Untuk dilahirkan, untuk memiliki nama dan kewarganegaraan;
•
Untuk memilik keluarga yang menyayangi dan mengasihi ;
•
Untuk hidup dalam komunitas yang aman, damai dan lingkungan yang sehat;
•
Untuk mendapatkan makanan yang cukup dan tubuh yang sehat dan aktif;
•
Untuk mendapatkan pendidikan yang baik dan mengembangkan potensinya;
•
Untuk diberikan kesempatan bermain waktu santai;
•
Untuk dilindungi dari penyiksaan, eksplotasi, penyia-siaan, kekerasan dan dari mara bahaya;
•
Untuk dipertahankan dan diberikan bantuan oleh pemerintah;
•
Agar bisa mengekspresikan pendapat sendiri
b. Nasional 1. UUD 1945 Undang-undang Dasar 1945 merupakan perwujudan dari tujuan Proklamasi kemerdekaan RI tanggal 17 agustus 1945 yang terdiri atas pembukaan dan batang tubuh Undang-undang Dasar 1945. Dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945 mengandung pokokpokok pikiran sebagai berikut; Negara melindungi segenap bangsa Indonesia
dengan berdasar atas persatuan dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, Negara berkedaulatan rakyat, berdasar atas kerakyatan dan permusyawaratan perwakilan, Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemansiaan yang adil dan beradab. Dalam batang tubuh Undang-undang Dasar 1945 berisi materi yang pada dasarnya dapat dibedakan sebagai berikut; pertama berisi materi tentang kedudukan, tugas wewenang dan hubungan antar lembaga-lembaga Negara. Kedua berisi materi yang berkaitan dengan konsepsi negara dibidang politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, keamanan, agama, sesuai dengan arah atau tujuan negara Indonesia yang di cita-citakan.35 2. UU. No. 39/1999 Tentang Hak Asasi Manusia Bahwa manusia dianugerahi oleh Tuhan Yang Maha Esa akal budi dan nurani yang memberikan kepadanya kemampuan untuk membedakan yang baik dan yang buruk yang akan membimbing dan mengarahkan sikap dan perilaku dalam menjalani kehidupannya. Dengan akal budi dan nuraninya itu maka manusia memiliki kebebasan untuk memutuskan sendiri perilaku atau perbuatannya. 3. UU. No. 26/2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia Bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus 35
9.
Ilhami Bisri, Sistem Hukum Indonesia, (Jakarta, PT Raja Grafindo, 2004), Cet.I, h.
dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapa pun. Dan untuk ikut serta memelihara perdamain dunia dan menjamin pelaksanaan hak asasi manusia serta memberi perlindungan, kepastian, keadilan, dan perasaan aman kepada perorangan ataupun masyarakat, maka perlu segera dibentuk suatu Pengadilan Hak Asasi Manusia untuk menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia yang berat sesuai dengan ketentuan pasal 104 ayat (1) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.yang mana bunyi pasal tersebut adalah :
Pasal 104 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “pelanggaran hak asasi manusia yang berat” adalah pembunuhan massal, pembunuhan sewenang-wenang atau di luar putusan pengadilan, penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, perbudakan, atau diskriminasi yang dilakukan secara sistematis.
BAB IV PINDAH AGAMA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HAM A.
Kebebasan Beragama Menurut Hukum Islam dan HAM Arti kebebasan sebagaimana yang tercantum dalam item nomor 4 dari advertensi hak-hak asasi manusia di Prancis yang terbit tahun 1879 M, adalah kemampuan manusia dalam melakukan setiap kegiatan maupun aktivitasnya yang tidak merugikan pihak lain. Maksudnya bahwa kebebasan itu tidak bersifat mutlak dari segi waktu dan tempat. Kebebasan sebagaimana memiliki sifat relatif dalam undang-undang sipil dan demokrasi modern negara Barat, juga relatif dalam demokrasi Islam.36 Menurut istilah hukum, kebebasan berarti sesuatu hal yang dapat membedakan manusia dengan lainnya, sehingga dengan kebebasan yang dimilikinya, manusia dapat berbuat, berkata, dan bertindak dengan kehendak sendiri serta bebas tanpa ada paksaan, tetapi dalam batasan-batasan tertentu. Untuk mengetahui batasan-batasan kebebasan tersebut maka dapat dilihat melalui dua konsep, yaitu konsep kebebasan menurut Islam dan Konsep Kebebasan menurut HAM.
36
Wahbah Az-Zuhaili, Kebebasan dalam Islam, Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 2005, Cet. Pertama. h. 31.
1. Konsep Kebebasan dalam Islam Setiap orang berhak atas kebebasan beragama atau berkepercayaan. Konsekwensinya tidak seorang pun boleh dikenakan pemaksaan yang akan mengganggu kebebasannya untuk menganut atau memeluk suatu agama atau kepercayaan pilihannya sendiri. Hak untuk beragama dan berkepercayaan merupakan persoalan krusial dalam agama-agama dan kepercayaan-kepercayaan. Masalah ini terus mengundang perdebatan dikalangan kaum agamawan, tak terkecuali di kalangan ulama muslim bahkan kaum awam. Sehingga hubungan antara Islam dan kultur Islam dengan pandangan Barat mengenai organisasi masyarakat dan hak-hak asasi manusia telah banyak ditulis. Salah satunya dapat kita ketahui bahwa Islam dan Barat merupakan dua prinsip yang bertentangan dalam soalsoal penting seperti kebebasan beragama. Dari uraian di atas ada baiknya kita mengutif pendapat yang diajukan oleh Adda Bozeman sebagai berikut “bahwa kultur Islam tidak dibimbing oleh ide-ide kebenaran atau prinsip, namun sebaliknya Barat memahami kultur Islam ditandai dengan penguasaan personalisme dan pragmatisme, di mana otoritas keputusan “keharaman dan pemaksaan merupakan sesuatu hampir pasti”.37 Maksudnya ialah mengenai kebebasan beragama Islam dan Barat keduanya
37
David Litle, dkk, Kebebasan Agama dan Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), Cet. I h. 37.
mempunyai masing-masing prinsip yang bertentangan, baik dalam hal kebebasan beragama maupun kebudayaannya masing-masing. Selain Adda Bozemen ada baiknya kita mengutif pendapat James Piscatory walaupun pendapatnya bertentangan, beliau mengatakan, “bahwa penghormatan terhadap kehidupan dan harta benda dan praktik toleransi serta persaudaraan yang diajarkan oleh Islam, menunjukkan bahwa Islam “tidak dapat disangsikan banyak titik temu dengan gerakan hak-hak asasi manusia belakangan ini”, dapat juga dikatakan bahwa Islam “ tidak mengajukan gagasan dasar tentang hak-hak yang tidak dapat dicabut, Islam juga tidak menghindari pembedaan menurut jenis kelamin dan agama”. Singkatnya, “teori Islam tidak menawarkan gagasan tentang hak-hak individu, hak-hak yang tidak melekat manusia, Islam lebih banyak menunjuk keistimewaan-keistimewaan manusia”. 38 Dari kutifan diatas dapat kita arahkan bahwa gagasan yang dikeluarkan oleh James Piscatory Mengenai kehidupan, harta benda, toleransi, persaudaraan, dan pembedaan jenis kelamin dan agama tidak dapat melahirkan gerakan hakhak asasi manusia terutama dalam hal kebebasan bergama, karena Islam lebih mengajarkan ketaqwaan kepada Tuhan yang mengarah kepada keistimewaan dan kemuliaan manusia. Islam merupakan ajaran yang menempatkan manusia pada posisi yang tinggi bahkan al-qur’an menjamin adanya hak pemuliaan dan pengutamaan manusia. Sebagaimana dalam al-qur’an disebutkan: 38
Ibid. h. 38.
=>
&8 q#⌧
(2u6q,Y=⌧3=> L*_=4 @ =>
x* [:~# 2u6q*=p=> i6@_7 xKb ) Iu6=j,Y{,=> ⌧_n. qY*! "☺~# (٧٠:١٧/(اء9)ا Artinya:“Dan Sesungguhnya Telah kami muliakan anak-anak Adam, kami angkut mereka di daratan dan di lautan39, kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang Sempurna atas kebanyakan makhluk yang Telah kami ciptakan”. (Q.S. Al-Isrậ/17:70). Dengan demikian manusia memiliki hak al-karamah dan hak al-fadhilah. Apalagi
misi
Rasulullah
adalah
Rahmatan
lil-‘alamin.
Dimana
kemaslahatan/kesejahteraan merupakan tawaran untuk seluruh manusia dan alam semesta. Persoalan krusial ini bukan semata monopoli para teolog atau mutakallimin, namun juga menjadi perhatian para fuqaha, utamanya Imam alSyatibi. Ia dalam karya besarnya al-Muwậfaqật fỉ Ushûl al-Ahkam merumuskan lima tujuan pokok syariah diturunkan kepada umat manusia. Melalui pendekatan induksi-tematik (al-istiqra’ al-ma’nawi), al-Syatibi menyimpulkan maksud-maksud penetapan syariah itu ke dalam lima macam, yakni menjaga agama (hifzh al-dîn), menjaga jiwa (hifz al-nafs),40 menjaga akal (hifzh al39
Maksudnya, Allah memudahkan bagi anak Adam pengangkutan-pengangkutan didaratan dan dilautan untuk memperoleh penghidupan. 40 Hifzh al-nafs adalah hak asasi manusia untuk hidup dan bertumbuh kembang dalam kehidupan ini. Ini merupakan hak paling dasar bagi setiap manusia yang terlahir ke alam dunia. Jaminan atas hak hidup menjadi taken for granted dan tanpa syarat. Sebagaimana Allah menjamin dalam sebuah ayat: “Barang siapa membunuh jiwa melalui jalan yang batil atau
‘aql),41 menjaga keturunan (hifzh al-nasl),42 dan menjaga harta (hifzh al-mậl),43 lima maksud syariah ini kemudian dikenal dengan sebutan maqậshid alsharî’ah. Teori maqậshid dari al-Syatibi ini tentu saja dikembangkan menurut tuntutan zamannya, perubahan sosial yang terjadi pada saat itu. Lebih dari itu, nampaknya al-Syatibi pada masanya belum menghadapi problem lingkungan sehingga dapat diterima jika dalam teori maqậshid-nya belum memasukkan unsur pelestarian lingkungan (hifzh al-bî’ah),44 Imam al-Syatibi memasukan kelima tujuan pokok syariah itu dalam kategori “kepentingan yang mendesak atau urgen” atau lebih dikenal dengan istilah lima hal dharûriyat. Sedangkan istilah hifzh (menjaga) dalam ungkapan maqậshid itu lebih menggambarkan pada suatu tindakan “memelihara” sesuatu
membuat kerusakan dimuka bumi, maka ia seperti membunh semua jiwa manusia. Dan barang siapa memberi hidup bagi jiwa maka ia seperti memberi kehidupan bagi semua jiwa manusia” (QS) Al-Ma’idah 5;32). 41 Hifzh al-‘aql adalah hak dan kebebasan untuk berfikir, mengeluarkan pendapat secara lisan maupun tertulis. 42 Hifzh al-nasl adalah hak-hak reproduksi. Setiap orang memiliki hak untuk bereproduksi secara sehat yang dengannya jaminan atas kelangsunagan keturunannya dikemudian hari memperoleh kepastian. 43 Hifzh al-mậl adalah hak seseorang untuk memiliki, membelanjakan, dan memprgunakan kekayaan untuk memenuhi kebutuhan dan keinginannya, serta menginvestasikannya demi jaminan hidup kelak, mentransfer dan mewariskannya kepada anakanak keturunannya. 44
Hifzh al-bî’ah adalah salah satu maksud syariah yang selama ini belum disentuh dalam khasanah pemikiran fiqih Islam, meskipun alusi-alusi al-qur’an tentang pentingnya memakmurkan kehidupan bumi (isti’mậrfi al-ardh) termaktub dengan tegas dan lugas, bersamaan dengan larangan-larangan atas tindak kejahatan atau perusakan atas kehidupan alam beserta ekosistem di dalamnya. Biasanya dalam hal terakhir, al-qur’an mengemukakan dengan ungkapan larangan fasậd fi al-ardh dan ‘ayth fi al-ardh. Prinsip yang satu ini eksklusif menjadi hak alam dan lingkungan, dan karenanya menjadi kewajiban bagi manusia untuk memenuhi hak tersebut.
yang sudah dipilih atau diambil. Dengan demikian, “menjaga” lebih melukiskan suatu tindakan lanjutan atau akibat yang harus diterima oleh manusia karena pilihan-pilihannya. Pada saat yang sama, kata “menjaga” belum mewakili tindakan yang menunjukkan “sebab”, “asal-usul” sesuatu mengapa mesti dijaga dan dipelihara. Oleh karena itu, perluasan makna “menjaga” merupakan kebutuhan. Kata “hifzh” lebih tepat jika dipahami mencakup tindakan “menjamin”, “melindungi” hak dan kebebasan. Jadi, hifzh al-dîn berbicara tentang jaminan atas hak asasi dan kebebasan manusia dalam hal beragama atau berkepercayaan sekaligus perlindungan terhadap hak dan kebebasan tersebut. Dalam hal ini, Islam mengakui kebebasan menjalankan agama45 dan melarang keras setiap orang merusak aqidahnya secara bebas, meskipun berlandaskan akalogika dan teori yang benar. Hal itu karena Islam menjadikan dasar teologi dan keimanan untuk dibahas dan dikaji, tidak ada unsur paksaan dan taqlid. Dan banyak sekali ayat al-qur’an yang mendorong manusia untuk melihat ruang angkasa dan isi bumi serta semua ciptaan Allah swt, agar supaya dengan begitu bisa mendapat petunjuk yang benar bagi iman, serta agama yang benar Sebagaimana Firman Allah.
45
Arti ini perlu penjelasan dan batasan bahwa maksud penulis adalah tidak boleh memaksa seseorang masuk agama islam, tetapi itu di nisbatkan kepada mereka yang beragama Islam. Hukum Islam (Syara’) mengatakan bahwa hukum orang yang pindah agama (Riddah) adalah dibunuh, bila ia masih terus melakukan setelah disuruh bertaubat, karena pindah agama ( Riddah ) menghianati agama dan menghina masyarakat Islam. Pandangan Empat Mazhab, (Hanafi, Syafi’i, Maliki dan Mazhab Hanbali).
I =>>d
> -j1 2]=36*☺BB 2340Y# Y*o #=> ¡¢(pao=> y>d=> d4&⌧? "# R y3401 y>d &As (2uGY*>d !|=x £*G8 s1 gl> @, (١٨٥:٧/?اف9 )اy3j#1 Artinya:“Dan apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan segala sesuatu yang diciptakan Allah, dan kemungkinan Telah dekatnya kebinasaan mereka, Maka kepada berita manakah lagi mereka akan beriman sesudah Al Quran itu”. ( Q.S. Al-A’Rậf/7:185).
G8 9:~# IC_ =3 2GI ? h, K(3Y, *@ ] Pa*☺P=p=> (240TY xn61¤ !"~# ICq40 (٦٤:٢/)ا ة
Artinya:“Kemudian kamu berpaling setelah (adanya perjanjian) itu, Maka kalau tidak ada karunia Allah dan rahmat-Nya atasmu, niscaya kamu tergolong orang yang rugi”.(Q.S. Al-Baqarah/2: 64). Diantara ayat al-qur’an yang mencela orang yang taqlid, tidak mengikuti jalan pemikiran dan teori, sebagaimana firman Allah:
N 34 (h8 N=48=4 N*"=> N => @r#cd y>Cu¥# 2g6>I=4 (٢٢:٣٣/ ف7 )ا Artinya:“Bahkan mereka berkata: Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama, dan Sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak merek”.(Q.S. Azkhruf/33:22).
Dan banyak ayat yang menerangkan dan meniadakan iman dengan jalan paksaan, sebagaimana firman Allah swt:
!"#
(-.01 "*☺, ) %&⌧( 9:#1=> 23467 8 *@AB☺CD , ? 8 =>FG 8 LAM.N K ) HIJ3 SST.⌧U R=> 0 OPQ (٢٥٦:٢/ )ا ةVXS YZ Artinya:“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya Telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia Telah berpegang kepada buhul tali yang amat Kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui”. (Q.S. Al-Baqorah/2:256). Fiman Allah dalam surat Yunus:
!"#¦* *@¥8=p =4⌧ (3 => (2u§Y-b ¡¢(pao
"# 0G AiN>,>d ) G_g 3N3401 )&eX*P j (٩٩:١٠/d©[ )ﻥj## Artinya:“Dan Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuany”. (Q.S.Yunus/10:99).
_ = => (840q1_ (840 (٦:١٠٩/ون-A )ا Artinya: "Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku”. (Q.S. AlKafirûn/109; 6). Apabila dasar keyakinan dalam Islam berdasarkan akalogika, dan membahas ayat-ayat al-qur’an dengan jalan taqlid dan paksaan, maka kebebasan pindah agama tidak akan terjamin. Hal itu dikuatkan oleh keterangan di dalam al-qur’an bahwasannya tidak ada kekuasaan bagi da’i selain orang yang memberi nasihat baik sebagimana firman Allah swt:
AiN>d *☺N (ª ⌧T, I uTYZ AiB ⌦nb⌧T# (٢٢-٢١:٨٨/;ﺵl )اh7_AM☺ 8 Artinya:“Maka berilah peringatan, Karena Sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan. Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka”. (Q.S. Al-Ghosyiyah/88:21-22). Ayat di atas termasuk dalil yang menguatkan kebebasan tegaknya syiar Islam karena Islam menjadikan dan menghormati non muslim dalam menegakakn syiar agama mereka di tempat ibadah dan menjadikan mereka mengikuti hukum agama, perdata dan sifat kepribadian. Hal itu berdasarkan hadist Rasulullah ketika bersabda kepada kafir zimmi, “Bagi mereka sama dengan kita, dan mereka itu seperti kita” sedangkan perdamaian yang diberlakukan untuk orang-orang yang mengadakan perjanjian yaitu harus ada perlindungan jiwa, harta, agidah dan menegakkan syiar agama. Dalam masa pemerintahan umar beliau pernah berpesan
kepada
penduduk “Berikan keamanan bagi mereka, jangan kamu tempati gereja-gereja mereka dan jangan kamu kurangi kebaikannya serta salibnya, jangan membenci agama mereka serta tidak boleh menyakiti mereka. Di dalam Islam, kebebasan dan kemerdekaan merupakan hak asasi manusia, termasuk di dalmnya kebebasan menganut agama sesuai dengan keyakinannya. Kita temukan bahwa Islam adalah syariat produk Allah, Dzat yang pertama kali mengumandangkan adanya dasar-dasar kebebasan dan hak-
hak asasi manusia secara teori maupun praktis sebelum dunia modern mengetahui hak-hak tersebut kecuali setelah akhir abad XVII M.46 Secara alami bahwa hasil dari adanya pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia adalah saling tolong menolong di antara semua individu manusia, kelompok-kelompok individu, lembaga-lembaga individu untuk tetap menjaga hak tersebut. Inilah kebebasan pengalihan dan pengakuan dasar persatuan manusiawi yang dalam Al-Qur’an disebutkan:
Jj r[>61 l 240¬8=p 3-e ) Q*]=> .N "~# 840Yo
(١:٤/ء34 أ Artinya: “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah m e n c i p t a ka n k a m u d a ri y an g s at u” . (Q . S. A n- Ni s ậ / 4: 1 ) . Orang-orang
Islam
dalam
realitanya,
mereka
bercermin
dan
mempraktikan dasar ini, serta mengakui kebebasan rakyat, umat, dan individu pada tataran pemerintahan (pada masa kenabian, khulafaurrasyidin, dan orangorang setelahnya). Pada tataran berinteraksi dalam hubungan luar dan dalam dengan non muslim. Yang hal itu tidak dapat terpenuhi kecuali setelah mengakui dasar kebebasan dan persamaan pada semua manusia di bumi. Hal ini senada dengan ayat al-qur’an :
=3Gg 46
Vr*u> h40 => rxª =3# 3- @aD,
Wahbah Az-Zuhaili, Kebebasan dalam Islam, Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 2005, Cet. Pertama, h. 12.
# >d ) 2]=x(* R 240 8 2,1 3N340 ) y ) G_☺* (١٤٨:٢/ ⌦ )ا1 d4&⌧? h4 Artinya:“untuk tiap-tiapnya ada arah tujuan yang dia hadapi, karena itu berlomba-lombalah dalam kebajikan. Di mana pun kamu berada, Allah himpunkan kamu kesemuanya. Allah maha kuasa atas segala”.(Q.S. AlBaqarah/2:148). Ayat di atas mengundangkan ajaran kebebasan beragama. Untuk Indonesia, berdasarkan perundangan yang diberlakukan, itu berarti kebebasan bagi pemeluk agama-agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Konghucu. 47 Agama Islam memberikan hak kebebasan suara hati nurani dan keyakinan kepada seluruh umat manusia. Kaum muslim diperbolehkan mengajak orang-orang non muslim untuk menuju jalan Islam, tetapi mereka tidak dapat memaksakan kehendak. Umat Islam tidak boleh mempengaruhi siapapun untuk menerima agama Islam
dengan cara melakukan tekanan-
tekanan sosial dan politik. Islam tidak hanya melarang penggunaan paksaan dan kekerasan dalam masalah keyakinan beragama, tetapi juga melarang penggunaan bahasa yang kasar terhadap agama-agama yang berlainan, “Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah”.
47
Syu’bah Asa, Tafsir Ayat-ayat Sosial Politik, Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000, Cet. Pertama, h. 9.
3D@ Bh K=> [© ? y>_ "# y31 ☺> 3D@ B=_, *@ ]⌧T⌧ 0 mI,YZ x( 8 |r#cd h40 q¬1* ) 2GI IuY=⌧ IuGn 2m=p *☺ 8 Iu® P@¯T, ٦/م#ﻥ9 )اy3GY*☺G1 3N⌧ (١٠٨: Artinya:“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, Karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan”. (Q.S. Alan’am/6:108). Astiq adalah seorang budak Nasrani milik Sayidina Umar. Umar sering mempengaruhinya untuk menerima ajaran Islam. Ketika astiq menolak, Sayidina Umar hanya dapat berucap, “Tidak ada paksaan dalam beragama.”48 Dari uraian ayat-ayat di atas maka dapat kita tafsirkan sebagai berikut: perlu dicatat bahwa yang dimaksud dengan tidak ada paksaan dalam menganut agama adalah menganut aqidahnya. Ini berarti apabila seseorang telah memilih satu aqidahnya, katakan saja aqidah Islmiyah, maka dia terikat dengan tuntunan-tuntunannya dan berkewajiban melaksanakan perintah-perintahnya. Dia terancam sanksi bila melanggar ketetapannya. Dia tidak boleh berkata “Allah telah memberi saya kebebasan untuk shalat atau tidak, berzina atau
48
Syech Syaukat, Hussain. Hak Asasi Manusia Dalam Islam, (Jakarta, Gema Insani Press, 1996), Cet. I. h. 73.
nikah”. Karena bila dia telah menerima aqidahnya, maka dia harus melaksankan tuntutannya. 49 Kembali kepada penegasan ayat ini, tidak ada paksaan dalam menganut keyakinan agama, Allah menghendaki agar setiap orang merasakan kedamaian. Agamanya dinamai Islam, yakni damai. Kedamaian tidak dapat diraih kalau jiwa tidak damai. Paksaan menyebabkan jiwa tidak damai, karena itu tidak ada paksaaan dalam menganut keyakinan agama Islam. Mengapa ada paksaan, padahal telah jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat. Jika demikian, sangatlah wajar setiap pejalan memilih jalan yang benar, dan tidak terbawa kejalan yang sesat. Sangatlah wajar semua masuk agama ini. Pasti ada sesuatu yang keliru dalam jiwa seseorang yang enggan menelusuri jalan yang lurus setelah jelas jalan itu terbentang dihadapannya. Ayat ini menggunakan kata (% )رﺵrusyd yang mengandung makna “jalan lurus”. Kata ini pada akhirnya bermakna “ketepatan mengelola sesuatu serta kemantapan dan kesinambungan dalam ketepatan itu”. Ini bertolak belakang dengan
(Ml )اal –gayy, yang terjemahannya
adalah jalan sesat. Jika demikian, yang menelusuri jalan lurus itu pada akhirnya melakukan segala sesuatu dengan tepat, mantap, dan berkesinambungan. Tidak ada paksaan dalam menganut agama, karena telah jelas jalan yang lurus. Itu sebabnya, orang gila dan yang belum dewasa, atau yang tidak 49
Shihab Quraish, Tafsir Al-Misbah “Pesan Kesan dan Keserasian Al-Qur’an” surat Ali-Imran. Jakarta:Lentera Hati Ct. Ke-I.
mengetahui tuntunan agama, tidak berdosa jika melanggar atau tidak menganutnya, karena bagi dia jalan jelas itu belum diketahuinya. Tetapi anda jangan berkata bahwa anda tidak tahu jika anda mempunyai potensi untuk mengetahui, tetapi potensi itu tidak anda gunakan.disini anda pun dituntut karena menyia-nyiakan potensi yang anda miliki. Ada juga yang memahami ayat di atas dalam arti: jalan yang benar, jelas juga perbedaanya dengan jalan yang sesat, telah jelas bahwa yang ini membawa manfaat dan itu mengakibatkan mudarat. Jika demikian tidak perlu ada paksaan, karena yang dipaksa adalah enggan tunduk akibat ketidak tahuan. Disini telah jelas jalan itu, sehingga tidak perlu paksaan. Anda memaksa anak untuk minum obat yang pahit, karena anda tahu bahwa obat itu adalah mutlak untuk kesembuhan penyakit yang dideritanya. Yang enggan memeluk agama ini pada hakekatnya terbawa oleh rayuan thagut, sedangkan yang memeluknya adalah yang ingkar dan menolak ajakan thagut, dan mereka itulah orang-orang yang memiliki pegangan yang kukuh, karena itu, barang siapa yang ingkar kepada thagut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang teguh kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. (تnR) Thagut, terambil dari akar kata yang berarti “melampaui batas” biasanya digunakan untuk yang melampaui batas dalam keburukan. Setan, dajjal, penyihir, yang menetapkan hukum bertentangan dengan ketentuan ilahi,
semuanya digelar dengan thagut. Yang memeluk agama Islam harus menolak ajakan mereka semua. Berpegang teguh pada buhul tali yang amat kuat adalah berpegang teguh, disertai dengan upaya sungguh-sungguh, bukan sekedar berpegang, sebagaimana dipahami dari kata (b3=( )اistamsaka, yang menggunakan huruf sin dan ta bukan (b3 )ﻡmasaka. Tali yang dipegangnya pun amat kuat, dilanjutkan dengan pernyataan tidak akan putus, sehingga pegangan yang berpegang itu amat kuat, materi tali yang dipegangnya kuat, dan hasil jalinan materi tali itu disebabkan karena ayunan thagut cukup kuat, sehingga diperlukan kesungguhan dan kekuatan. Kata ( )?وةurwah yang di atas diterjemahkan dengan gantungan tali adalah tempat tangan memegang tali, seperti yang digunakan pada timba guna mengambil air dari sumur. Ini memberi kesan bahwa yang berpegang dengan gantungan itu bagaikan menurunkan timba untuk mendapatkan air kehidupan. Manusia membutuhkan air( H2O , yang merupakan gabungan dua molekul hidrogen dan satu molekul oksigen) untuk kelangsungan hidup jasmaninya. Manusia juga membutuhkan air kehidupan yang merupakan syahadatain, yakni gabungan dari kepercayaan kepada Allah Yang Maha Esa dan kepada kerasulan Nabi Muhammad saw. Ayat ini merupakan perumpamaan keadaan seseorang yang beriman betapapun sulitnya keadaan, walau ibarat menghadap ke suatu jurang yang amat curam, dia tidak akan jatuh binasa, karena dia berpegang dengan kukuh pada
seutas tali yang juga amat kukuh. Bahkan seandainya ia terjerumus masuk kedalam jurang itu, ia masih dapat naik atau ditolong. Karena ia tetap berpegang pada tali
yang menghubungkannya dengan sesuatu yang di atas, bagaikan
timba yang dipegang ujungnya. Timba yang diturunkan mendapatkan air dan ditarik ke atas. Demikian juga seorang mukmin yang terjerumus kedalam kesulitan. Memang dia turun atau terjatuh, tetapi sebentar lagi dia akan ke atas membawa air kehidupan yang bermanfaat untuk dirinya dan orang lain. Dalam tafsir ibnu katsir dijelaskan Allah ta’ala berfirman, “TIdak ada paksaan dalam agama.” maksudnya, janganlah kamu memaksa seseorang pun untuk memasuki agama Islam, karena agama Islam itu sudah jelas dan terang. Dalil-dalil dan argumentasinya sudah nyata sehingga seseorang tidak perlu dipaksa supaya masuk agama Islam, dilapangkan hatinya, dan disinari mata hatinya oleh Allah, maka ia akan masuk ke dalamnya secara terang benderang. Adapun orang yang hatinya dibutakan Allah, pendengaran, dan penglihatannya dikunci mati oleh Allah, maka tidaklah berguna memaksanya untuk memasuki Islam.50 Diceritakan bahwa ayat ini turun karena ada seorang wanita anshar berjanji kepada dirinya bahwa apabila putranya hidup, maka dia akan menjadikannya Yahudi. Tatkala Bani Nadhir diusir dan diantar mereka ada anak-anak kaum Anshar, maka kaum Anshar berkata, “Kami tidak akan
50
Arrifa’I, Muhammad Nasib. Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir. Jakarta: Gema Insani Press, 1999, Cet. Ke-1.
membiarkan anak kami menjadi Yahudi.” Maka Allah menurunkan ayat, Tidak ada paksaan dalam agama.” Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir dari Ibnu Abbas. Dalam tafsir qur’an karim, Mahmud Yunus, dijelaskan bahwa dalam ayat 256 terang benar, bahwa dalam agama Islam tidak boleh memaksa orang supaya memeluk agama Islam. Melainkan orang itu diberi kemerdekaan tentang agama apa yang akan dianutnya, karena sudah terang mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang benar dan mana yang salah, yaitu jika kita mau memikirkannya dengan pikiran yang waras. Kewajiban kita orang Islam, ialah memeberi keterangan yang cukup kepada umum atas kebenaran agama Islam. Kemudian itu mereka diberi kesempatan untuk memikirkannya, karena agama itu ialah kepercayaan hati, sedang kepercayaan itu tidak bisa dimasukkan kedalam hati seseorang dengan jalan paksaan. 51 Dalam tafsir Fizhilalil Qur’an, masalah aqidah adalah masalah kerelaan hati setelah mendapatkan keterangan dan penjelasan, bukan pemaksaan dan tekanan. Agama Islam datang dan berbicara kepada daya pemahaman manusia dengan segala kekuatan dan kemampuannya. Ia berbicara kepada akal yang berpikir, intuisi yang dapat berbicara, dan perasaan yang sensitif, sebagaimana ia berbicara kepada fitrah yang tenang. Ia berbicara kepada wujud manusia secara keseluruhan serta kepada pikiran dan daya pemahaman manusia dengan 51
Mahmud Yunus, Tafsir Qur’an Karim.Jakarta: Sa’adijah Putra. 1971, Cet.Ke-I
segala seginya. Ia tidak memaksanya dengan hal-hal luar biasa yang bersifat kebendaan yang kadang-kadang dengan menyaksikannya seseorang menjadi tunduk. Akan tetapi, akalnya tak dapat merenungkannya dan pikirannya tak dapat memikirkannya, karena memang hal itu diluar jangkauan akal pikiran52. Dalam prinsip ini tampaklah dengan jelas betapa Allah memuliakan manusia, menghormati kehendak, pikiran, dan perasaannya. Juga menyerahkan urusan mereka kepada dirinya sendiri mengenai masalah yang khusus berkaitan dengan petunjuk dan kesesatan dalam itikad, dan memikulkan tanggung jawab atas dirinya sebagai konsekwensi amal perbuatannya. Ini merupakan kebebasan manusia yang amat khusus. Kebebasan yang ditentang untuk diberlakukan kepada manusia dalam abad kedua puluh ini oleh ideologi-ideologi penindas dan peraturan-peraturan atau sistem yang merendahkan manusia, yang tidak menolerir makhluk yang dimuliakan Allah. Untuk memilih aqidahnya pikirannya untuk memikirkan kehidupan
ini agar mengkonsentrasikan
dan tata aturannya yang tidak
dikehendaki oleh pemerintah dengan segenap perangkat dan perundangundangannya. Maka kemungkinan yang dialami oleh yang bersangkutan adalah mengikuti mazhab pemerintah yang melarangnya beriman kepada Tuhan yang mengatur alam semesta ini dan kemungkinan lain adalah menghadiri hukuman mati (kalau tidak mengikutinya) dengan berbagai macam cara dan alasan.
52
Sayyid, Quthb. Tafsir fizhilalil Qur’an. Jakarta: Gema Insani Press, 2000, Cet. Ke-1
Kebebasan beritikad (beragama) adalah hak asasi manusia yang karena itikadnya itulah dia layak disebut manusia. Maka, orang yang melucuti manusia dari
kebebasan
kemerdekaan
beraqidah
berarti
dia
telah
melucuti
kemanusiaannya. Disamping kebebasan beritikad, dijamin pula kebebasan menda’wahkan aqidah ini dan dijamin keamanannya dari gangguan dan fitnah. Kalau tidak demikian, kebebasan atau kemerdekaan itu hanyalah slogan kosong yang tidak ada realisasinya dalam kehidupan. Hamka berpendapat bahwa keyakinan suatu agama tidak boleh dipaksa53, sebab telah nyata kebenaran dan kesesatan. Orang boleh menggunakan akalnya buat menimbang dan memilih kebenaran itu, dan orang pun mempunyai pikiran waras untuk menjauhi kesesatan. “maka barang siapa yang menolak segala pelanggaran batas dan beriman kepada Allah, maka sesunguhnya telah berpeganglah dia dengan tali yang amat teguh, yang tidak akan putus selama-lamanya”. Agama Islam memberi orang kesempatan untuk mempergunakan fikirannya yang murni, guna mencari kebenaran. Asal orang sudi membebaskan diri dari pada hanya turut-turutan dan pengaruh dari hawa nafsunya, niscaya dia akan bertemu dengan kebenaran itu. Apabila inti kebenaran sudah didapat, niscaya iman kepada Tuhan Allah mesti timbul, dan kalau iman kepada Tuhan Allah telah tumbuh, segala pengaruh dari yang lain, dari sekalian pelanggaran batas mesti hilang. Tetapi suasana yang seperti ini 53
Hamka, Tafsir Al-Azhar Juzu’ III. Jakarta: Pustaka Panjinar, 1983.
tidak bisa dengan paksa, meski timbul dari keinsafan sendiri. Dan Allah adala maha mendengar dan mengetahui (ujung ayat 256 ). Didengarnya permohonan hambanya minta petunjuk. Diketahuinya hambanya kesusahan mencari kebenaran. Kemudian di dalam al-quran pula, terdapat ayat yang menjadi landasan atas kebenaran agama Islam. Sehingga menjadi dalil atas larangan tentang kebebasan pindah agama di dalam Islam itu sendiri, sebagaimana disebutkan di dalam surat Ali- Imran ayat 19:
? *q [© y #=> 0 °I6YDi [© *Ya! { AY6Cn0 3G>cd 2Gg=4*" # G8 "# ☺T8 °I,YG (-.01 "#=> 0 IuqF8 ±% , ? i61? 8 `|AB¤ S1 xA± (١٩:٣/=ان# )ا Artinya:“Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. tiada berselisih orang-orang yang Telah diberi Al Kitab54 kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, Karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. barangsiapa yang kafir terhadap ayatayat Allah Maka Sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya”. (Q.S. Ali-Imran/3:19). Kata ( )نيدdîn mempunyai banyak arti, antara lain “ketundukan”, ketaatan, perhitungan, balasan”. Kata ini juga berarti “agama”, karena dengan agama seseorang bersikap tunduk dan taat, serta akan diperhitungkan seluruh amalnya yang atas dasar itu ia memperoleh balasan dan ganjaran. 54
maksudnya ialah kitab-kitab yang diturunkan sebelum al-qur’an.
Sesungguhnya agama yang disyariatkan di sisi Allah adalah Islam. Demikian terjemahan populer. Terjemahan atau makna itu, walau tidak keliru, belum sepenuhnya jelas, bahkan dapat menimbulkan kerancuan. Untuk memahaminya dengan lebih jelas, maka kita lihat hubungan ayat ini dengan ayat sebelumnya. Ayat yang lalu menegaskan bahwa tiada Tuhan, yakni tiada Penguasa yang memiliki dan mengatur seluruh alam, kecuali Dia, Yang Maha Perkasa lagi Bijaksana. Jika demikian, ketundukan dan ketaatan kepada-Nya adalah keniscayaan yang tidak terbantah, sehingga jika demikian, hanya keislaman, yakni penyerahan diri secara penuh kepada Allah yang diakui dan diterima di sisi-Nya. Agama atau ketaatan kepada-Nya, ditandai oleh penyerahan diri secara mutlak kepada Allah swt. Islam dalam arti “Penyerahan diri” adalah hakikat yang ditetapkan Allah dan diajarkan oleh para nabi sejak Nabi Adam as. Hingga Nabi Muhammad saw. Banyak yang berselisih tentang agama dan ajaran yang benar, bahkan yang berselisih adalah pengikut para nabi yang diutus Allah membawa ajaran itu. Benar, mereka berselisih karena kedengkian yang ada di antara mereka. Kedengkian yang merupakan terjemahan dari kata (l ) ﺏbagyan yang digunakan ayat di atas, adalah ucapan atau perbuatan yang dilakukan untuk tujuan mencabut nikmat yang dianugerahkan Allah kepada pihak lain disebabkan rasa iri hati terhadap pemilik nikmat itu.
Ayat di atas menegaskan bahwa mereka telah mengetahui kebenaran, namun demikian mereka tetap dikecam bahkan diancam. Ini karena keberagamaan bukan sekedar pengetahuan, tetapi ketundukan dan ketaatan, atau dengan kata lain, pengetahuan yang membuahkan ketaatan. Kemudian di dalam ayat 85 surat Ali-Imran disebutkan:
=x(⌧V :C(Q1 "#=> "Y, qq1_ 26YDi
=3Gg=> Pq# Kh1 !"# n!a* (٨٥:٣/=ان# "! )ا1nB6* Artinya:”Barangsiapa mencari agama selain agama islam, Maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi”. (Q.S. Ali Imran/3:85). Inilah hakikat yang diperingatkan kepada semua pihak yang enggan patuh seperti kepatuhan yang dijelaskan ayat di atas. Barang siapa mencari agama selain agama Islam, yakni ketaatan kepada Allah mencakup ketaatan kepada syariat yang ditetapkan-Nya, yang intinya adalah keimanan akan keesaan-Nya, mempercayai para rasul, mengikuti dan mendukung mereka, tunduk serta patuh pula akan ketentuan-ketentuan-Nya yang berkaitan dengan alam raya, yang intinya adalah penyerasian diri dengan seluruh makhluk dalam sistem yang ditetapkan-Nya Pada ayat di atas pakar-pakar bahasa menyatakan bahwa patron (pola) kata yang dibubuhi penambahan huruf ta’ , mengandung makna keterpaksaan dan rasa berat (hati, pikiran, atau tenaga) untuk melakukanya. Di sini kata (Ml) yabtagi dibubuhi huruf ta’, karena asalnya adalah ( )غبيyabgi. Jika demikian,
mencari agama selain agama Islam merupakan sesuatu yang bertentangan dengan fitrah atau naluri normal manusia. Ayat di atas juga menegaskan bahwa adanya dua macam sanksi, yaitu sanksi duniawi dan ukhrawi yang penyebutannya dipisahkan dengan sanksi duniawi yaitu, sekali-kali tidak akan diterima, yang merupakan akibat pencarian agama selain Islam serta kepatuhan kepada selain Allah, sedang dari sanksi ukhrawi adalah dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi,akibat patuh kepada selain Allah. Pemisahan ini memberi isyarat bahwa penyebab sanksi duniawi itu masih mungkin dapat dielakkan bila yang bersangkutan mau berpikir dengan tenang dan sungguh-sungguh. Itu mengisyaratkan juga bahwa kerugian ukhrawi lebih besar dan tidak dapat dielakkan. Memang seseorang yang murtad kemudian mati dalam kemurtadannya, maka semua amalnya terhapus. Sedangkan mereka yang murtad kemudian menginsafi kesalahannya dan kembali memeluk Islam, maka amal-amalnya yang lalu tidak terhapus. 2. Konsep Kebebasan dalam HAM HAM mengajarkan prinsip persamaan dan kebebasan manusia sehingga tidak boleh ada diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan terhadap manusia dalam bentuk apa pun dan juga tidak boleh ada pembatasan dan pengekangan apa pun terhadap kebebasan dasar manusia, termasuk di dalamnya hak kebebasan pindah agama. Secara normatif dalam perspektif Hak Asasi Manusia (HAM), hak kebebasan beragama atau berkeyakinan dapat disarikan
ke dalam 8 (delapan) komponen55 yaitu; kebebasan internal, kebebasan eksternal, tidak ada paksaan, tidak diskriminatif, hak dari orang tua dan wali, kebebasan lembaga dan status legal, pembatasan yang diijinkan pada kebebasan eksternal, non-derogability. Yang akan diuraikan sebagai berikut:
1. Kebebasan Internal Setiap orang mempunyai kebebasan berfikir, berkeyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menganut atau menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri termasuk untuk berpindah agama dan keyakinannya. 2. Kebebasan Eksternal Setiap orang memiliki kebebasan, apakah secara individu atau di dalam masyarakat, secara publik atau pribadi untuk memanifestasikan agama atau keyakinan di dalam pengajaran dan peribadahannya. 3. Tidak ada paksaan Tidak seorangpun dapat menjadi subyek pemaksaan yang akan mengurangi kebebasannya untuk memiliki atau mengadopsi suatu agama atau keyakinan yang menjadi pilihannya. 4. Tidak diskriminatif
55
Chandra Setiawan. “Kebebasan Beragama dan Melaksanakan Agama /Kepercayaan Perspektif HAM”. Artikel diakses pada 2 Februari 2008 dari http://www. Geogle. Kebebasan beragama. Com/
Negara berkewajiban untuk menghormati dan menjamin kebebasan beragama atau berkepercayaan semua individu di dalam wilayah kekuasaannya tanpa membedakan suku, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama dan keyakinan, politik atau pendapat, penduduk: asli atau pendatang, serta asal usulnya.
5. Hak dari orang tua dan wali Negara berkewajiban untuk menghormati kebebasan orang tua, dan wali yang sah, jika ada untuk menjamin bahwa pendidikan agama dan moral bagi anak-anaknya sesuai dengan keyakinannya sendiri. 6. Kebebasan lembaga dan status legal Aspek yang vital dari kebebasan beragama atau berkeyakinan, bagi komunitas keagamaan adalah untuk berorganisasi atau berserikat sebagai komunitas. Oleh karena itu komunitas keagamaan mempunyai kebebasan dalam beragama atau berkeyakinan termasuk di dalamnya hak kemandirian di dalam pengaturan organisasinya. 7. Pembatasan yang diijinkan pada kebebasan eksternal Kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaan seseorang hanya dapat dibatasi oleh undang-undang dan demi kepentingan melindungi
keselamatan dan ketertiban publik, kesehatan atau kesusilaan umum atau hakhak asasi dan kebebasan orang lain. 8. Non-Derogability Negara tidak boleh mengurangi kebebasan beragama atau berkeyakinan dalam keadaan apapun. B.
Historitas Pindah Agama dalam Islam dan HAM Kutipan sejarah keberagamaan manusia dalam al-qur’an banyak menunjukan sesuatu yang diwarnai dengan penggunaan kekuatan fisik dan kekerasan atas nama agama yang dilakukan oleh golongan orang yang tidak sedikit pun memiliki pengetahuan tentang Allah. Nabi Nuh a.s. yang mengajak umatnya ke jalan taqwa dan wara’ tidak pernah melakukan penindasan atau memaksa kaumnya. Meski demikian, kaumnya telah berbuat tidak fair karena mereka menyembunyikan suara Nuh a.s ketika mendengar kerasulan Nuh a.s. Sejarah kekerasan dan kezaliman atas nama agama sebagaimana yang disinyalir al-qur’an dengan jelas menyatakan bahwa para pengikut agama sendirilah yang justru menjadi korban. Al-qur’an menyebutkan Nabi ibrahim a.s. sebagai contoh diantara nabi-nabi yang mengajak kaum kejalan Allah dengan penuh kecintaan, kasih sayang, dan kerendahan hati. Beliau tidak pernah menggunakan pedang, bahkan satupun alat perang. Namun, para pemuka kaumnya melakukan hal yang serupa sebagaimana yang dilakukan para musuh agama Nabi Nuh a.s. Azar, bapak nabi ibrahim, berkata kepada Ibrahim:
" AiN>d YV=p>d k &`X*u =4
XSg](8 61 *@j=4g(po PC¯ I AT Y#
(-tg=> (٤٦:١٩/)ﻡ Artinya:“Berkata bapaknya:Bencikah kamu kepada tuhan-tuhanku, Hai Ibrahim? jika kamu tidak berhenti, Maka niscaya kamu akan kurajam, dan tinggalkanlah Aku buat waktu yang lama". (Q.S. Mariam/19: 46). Di Eropa, pada abad-abad pertengahan dapat kita jumpai bahwa orangorang yang menamakan dirinya para pengikut Yesus-Paus, para Uskup, para penentu undang-undang gereja, serta tokoh-tokoh gereja, telah menulis satu pasal yang amat mengerikan dalam sejarah penulisan kitab-kitab. Paus Agustin menganggap pasal yang mengerikan tersebut sebagai “Penindasan Saleh” gereja terhadap orang-orang fasik, dan pada hari ini, para sejarawan Kristen telah mengakui bahwa “penindasan saleh” yang dilakukan dengan mengatas namakan Yesus tersebut, merupakan aib bagi gereja. Dalam Musium Lilin di Londen, para pengunjung dapat melihat kerudung-kerudung kematian para biarawan dan penggalan-penggalan kepala koleksi Antonit dan lois XIV. Juga dapat disaksikan alat tiang gantung yang sebenarnya. Di samping alat-alat penyiksa lain, seperti yang digunakan untuk menyiksa dan membunuh orang-orang kristen yang mengatas namakan Penindasan Saleh.
Alat-alat penyiksaan yang berada di Musium Lilin itu memberikan gambaran mengenai peristiwa-peristiwa tragis yang pernah terjadi dalam lembaga-lembaga peradilan di Spanyol dan Perancis. Telah banyak orang-orang kristen yang tak berdosa mengalami penindasan dan penyiksaan karena tuduhan Pindah agama dari agamanya. C.
Hukum Pindah Agama dalam Islam dan HAM 1. Hukum Pindah Agama dalam Islam Di era sekarang ini, kita tidak bisa mentolerir muslim manapun untuk keluar dari Islam. Demikian halnya terhadap pemeluk agama lain, apapun agamanya, untuk menyebarkan ajaran dan keyakinannya (Abu al-A’la alMaududi).56 Kaum
muslimin
adalah
umat
yang
terbentuk
dari
berbagai
ketidakeksisan. Seluruh kepribadian yang ada dalam orang-orang kafir juga ada dalam umat ini. Mereka dalam tubuh kaum Muslimin merupakan muka kedua dari orang-orang kafir. (Abu al-A’la al-Maududi).57 Maksud dari kutipan ini adalah karakter orang-orang kafir yang menyekutukan Allah ada dalam setiap orang Islam yang keluar dari ajaran dan keyakinannya dalam arti lain orang yang keluar dari Islam adalah sama dengan orang kafir. Abu al-A’la al-Maududi adalah seorang ulama yang sangat terkenal dan memiliki reputasi besar didunia Islam. Sebagaimana beliau adalah penerima 56
Muhammad Munir Adlabi, Membunuh Orang Murtad,(Jakarta: Niqos 2002), Cet. I
57
Ibid,h.50.
h. 49.
nobel raja Faisal di bidang riset dan pengetahuan Islam, dan beliau dianggap sebagai ulama yang paling besar dan penting di masanya. Karena berbagai karya tulis dan pemikiran beliau tersebar dengan luas di dunia Islam, maka pendapat dan Fatwa beliau juga tersebar luas di kalangan generasi Islam. Oleh karena itu, mengetahui pemahaman-pemahaman beliau dapat membantu dalam menjelaskan gambaran yang tercermin tentang ajaran dan arah pemikiran Abu al-A’la al-Maududi dan sesamanya, serta pengaruhnya yang berbahaya bagi anak-anak dan remaja kita. Mengenai Tafsir ayat yang menjelaskan tentang kebebasan pindah agama ( kebebasan beragama)maka dapat diketahui sebagai berikut:
!"# (-.01 "*☺, ) %&⌧( 9:#1=> 23467 8 *@AB☺CD , ? 8 =>FG 8 LAM.N K ) HIJ3 SST.⌧U R=> 0 OPQ (٢٥٦:٢/ )ا ةVXS YZ Artinya:“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya Telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia Telah berpegang kepada buhul tali yang amat Kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Q.S.. Al-Baqarah/2;256). Menurut keterangan sebab turunnya (asbậb al-nuzûl), ayat ini diturunkan kepada penduduk Anshar di Madinah. Pada saat itu, banyak dijumpai di kalangan penduduk Anshar yang memiliki anak-anak, baik laki-laki
maupun perempuan, dan mereka telah menjadikan anak-anak mereka penganut agama Yahudi atau Nasrani, dua agama yang telah mendahului Islam. Ketika Allah menyampaikan risalah Islam kepada Nabi Muhammad saw. Umatnya, penduduk Anshar ini mempunyai keinginan untuk memaksa anak-anak mereka yang sudah beragama Yahudi dan Nasrani itu agar masuk dan memeluk agama baru, Islam. Sebagai jawaban dan penjelasan atas keinginan mereka untuk mengonversi putra-putri kepada Islam, maka turunlah ayat ini. Yang initinya, Allah melarang mereka melakukan pemurtadan secara paksa terhadap anakanak tersebut agar pindah ke agama Islam. Siapa berkehendak ia akan menegakkan tauhid Islam, dan siapa berkehendak ia dapat meninggalkan Islam.58 Al-Maududi mengemukakan : “Memang benar, ayat ini memberi pengertian, bahwa kita tidak boleh memaksa siapapun untuk untuk mengikuti agama kita. Namun, kita berkewajiban untuk mengingatkan kepada siapa pun yang hendak keluar dari Islam, bahwa orang yang telah memilih masuk Islam, maka ia sudah tidak lagi memiliki keleluasaan untuk keluar. Oleh karenanya, jika anda ingin masuk Islam, silahkan masuk, sementara anda menyadari bahwa jika anda keluar, berarti anda akan binasa. Seorang ahli Tafsir, Ghulam Ahmad Barfiz mengomentari penafsiran alMaududi ini. Menurutnya, “Islam al-Maududi tak ubahnya sebagai perangkap
58
Zakiyuddin Baidhawi Kredo Kebebasan Beragama, (Jakarta, Pusat Studi Agama dan Peradaban, 2005), Cet. I. h. 27.
tikus. Ketika seekor tikus telah terjerat dalam perangkap itu, maka ia tidak akan dapat lepas darinya.” Begitupun dengan Calvin seorang pemikir Barat, menghendaki ajaran Kristen disebarluasakan dengan cara kekerasan dan menjadikan hukuman mati sebagai sanksi bagi orang murtad.59 Dalam sejarah klasik dan pertengahan, Islam memandang mereka yang konversi (perubahan/penukaran keyakinan) dari kesetiaan terhadap Islam adalah perbuatan dosa tak terampunkan. Mereka ini patut dihukum, dipaksa untuk kembali ke Islam dan bertobat. Jika diperlukan proses kembali ke Islam dilakukan dengan kekerasan dan siksaan. Merka yang tidak memeluk Islam lagi diakhiri hidupnya dengan hukuman mati. Hal ini sesuai dengan hadits nabi:
DS - J4 ل د%ل ﻡ< ﺏS D( وJD? K) اD ﺹK?< اﺏ< ?س ان ر(ل ا ٢٠
Artinya:“Barang
siapa
yang
mengganti
(D3ري وﻡQ )روا ا
agamanya
hendaklah
dia
dibunuh”.(HR. al-.Bukharî dan Muslim). Selain hadits diatas ada juga hadits yang menghalalkan untuk membunuh orang yang keluar dari Islam, hadits tersebut ialah:
D3 دم اﻡئ ﻡN0 9 لS D( وJD? K) اD ﺹKد ان ر(ل ا#3?< اﺏ< ﻡ
h. 53
٢١
dC ﻥl ﺏdC ﻥNSن و/ اﺡ%# ا=ن وزﻥ ﺏ%# ﺏCث آ.ى ﺙ% ﺏﺡ9ا
59
Muhammad Munir Adlabi, Membunuh Orang Murtad,(Jakarta: Niqos 2002), Cet. I
٢٠ ٢١
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Bandung: PT Alma’arif, 1984), Cet. I h. 175. Ibid, h.175-176.
Artinya : diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Tidaklah halal darah seorang Islam kecuali ia menjalankan salah satu dari tiga perkara, yaitu:Kafir setelah beriman, Berbuat Zina setelah menjadi orang muhsahan, dan Membunuh orang yang dijaga darahnya. Dari kutipan hadits di atas empat imam mazhab sepakat bahwa orang yang pindah dari Islam secara meyakinkan harus dibunuh dan darahnya harus ditumpahkan tanpa syarat. Namun demikian, sebelum hukuman mati dijatuhkan, para imam mazhab memberikan kesempatan kepada Muslim yang pindah agama untuk bertobat. Abu Hanifah berpendapat agar kali pertama ia diminta untuk kembali ke Islam. Jika ia ragu, ia dipersilahkan untuk mengungkapkan keraguannya sehingga jelas apa keraguannya dan mungkin dapat dijelaskan mengenai keraguan tersebut. Melalui cara ini dia diberi dua kemungkinan; kematian atau menerima kembali Islam. Dengan mempertimbangkannya selama tiga hari. Namun bagi wanita yang murtad tidak boleh dibunuh, tetapi dipenjara saja sampai ia mau bertaubat atau mati. Sedangkan menurut Jumhur ulama fiqih mengatakan bahwa hukuman bagi seorang wanita yang keluar dari Islam sama dengan hukuman bagi laki-laki yang keluar dari Islam (Murtad). Imam Syafi’i dan para pengikutnya berpendapat perlunya memberikan waktu tiga hari bagi orang yang pindah agama. kesempatan ini diberikan dengan alasan agar ia punya waktu untuk meluruskan kebingungannya, dan menemukan kebenaran kembali. Bila batas waktu itu terlampaui, maka ia harus dibunuh.
Syafiiyah menetapkan perlunya memberi peluang tiga hari, baik dipinta ataupun tidak oleh orang yang pindah agama. Imam Malik memegangi pendapat agar orang yang pindah agama diberi kesempatan selama tiga hari dan tiga malam, mulai dari hari ketika ia menyatakan keluar dari Islam, bukan hari ketika ia tidak beriman, atau hari ketika ia dituduh sebagai orang yang pindah agama. Dalam mazhab Hanbali, ada dua pendapat dalam masalah ini, sebagian percaya bahwa orang yang pindah agama harus diberi masa tenggang untuk menyesali diri selamatiga hari, sementara sebagain lainnya berpendapat tidak perlu memberi kesempatan untuk bertobat, bahkan hanya diberi kesempatan untuk memeluk Islam. Jika ia menerima tawaran memeluk Islam kembali, ia bebas, jika tidak , ia dihukum mati. Dengan pengenalan yang berkembang menjadi pengetahuan dan ilmu pengetahuan, manusia dapat memanfaatkan semua yang ada di semesta ini untuk kesejahteraan dan kemakmuran. Akal pikiran juga memosisikan anak Adam ini sebagai makhluk otonom. Otonom dari segi kedudukan, fungsi, dan perannya adalah khalifah di muka bumi. Berkaitan dengan masalah agama dan beragama, setiap individu mencerminkan diri sebagai makhluk otonom. Beragama sebagai masalah pilihan jalan hidup, baik menentukan berada di atas rel kebaikan maupun keburukan, bukan secara otomatis dan taken for granted terjadi. Hal ini merupkan dimensi etika rasional, untuk apa sebuah keputusan dipilih.
Mempertimbangkan otonomi dan kebebasan manusia dalam membawa arah kehidupannya secara individual, Allah menyatakan jaminan atas kebebasan memilih beragama. Dalam sebuah ayat dinyatakan:
KhT BB P6=j1**g N # => ☯ ⌧ # (٣:٧٦/ن3ﻥ9 ) اp3-.⌧ Artinya: “Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus, ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir.” (Q.S. Al-Insân/76:3). . Tafsiran ayatnya sebagai berikut: ungkapan inna hadaynậ al-sabîl menunjukan bahwa Allah telah memberikan kepada manusia dua instrumen yang disebut indra dan akal. Dua instrumen ini menjadi pelengkap bagi hidayah lain yang disebut insting atau gharizah, yang salah satunya adalah fitrah bertuhan. Namun fitrah itu setelah kelahiran manusia sama sekali dalam keadaan kosong, tidak mengetahui apapun. Maka indra baik yang zahir maupun batin, mengawali untuk mengamati (observasi), kemudian akal manusia yang menyusunnya menjadi ilmu pengetahuan. Jadi akallah yang kemudian memiliki wewenang untuk memilih apa yang wajib, boleh, dilarang, dan seterusnya. Sementara ungkapan al-sabîl dalam ayat ini meliputi jalan kebaikan, keburukan, kebahagiaan, dan kehancuran. Jadi, al-sabîl adalah ism li al-jinsi, meski mufrad bentuknya namun mencakup semua jalan, yang macamnya ada dua sebagaimana ditunjukkan oleh ungkapan shậkiran au kafûran. Majas dari
ungkapan ayat di atas dapat dipahami bahwa Tuhan telah memberi nasihat kepada manusia, dan jika tidak berkehendak ia dapat menolaknya.60 2. Hukum Pindah Agama dalam HAM Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa pembahasan sekitar Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia di Perserikatan Bangsa-Bangsa memberikan titik pangkal yang unik terhadap penelitian mengenai Islam dan Kebebasan Pindah Agama. Hal ini terjadi karena pasal-pasal tertentu dari Deklarasi itu mengarah pada persoalan-persoalan yang berkaitan dengan kebebasan pindah agama secara langsung, khususnya pasal 18, yang memberikan hak terhadap kebebasan nurani dalam memilih dan mempraktikan keyakinan agama, termasuk hak untuk berpindah agama. hal tersebut termuat dalam UUD 1945 pasal 28E, pasal 28I, dan pasal 29 ayat 2 yang mana bunyi pasal tersebut adalah: UUD 1945 Pasal 28 E 1. Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan,memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali. 2. Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya. UUD 1945 Pasal 28I
60
Fakhr al-Din al-Razi, al-Tafsîr al-kabỉr, (Beirut:Dâr al-kutub al-‘ilmiyah, 1990), vol.30, hal.210-211.
1. Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. UUD 1945 Pasal 29 ayat (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Dari uraian di atas jelaslah bahwa HAM mengabsahkan dan menyatakan bahwa Kebebasan pindah agam itu boleh-boleh saja. D.
Analisis Perbandingan Kebebasan Pindah Agama 1. Persaman dari kedua perspektif (Hukum Islam dan HAM) -
Isalam Mengakui adanya Hak asasi manusia tentang kehidupan beragama dalam hal ini kebebasan untuk melaksanakan agamanya dan keyakinannya dan Islam tidak memaksakan suatu agama kepada orang lain. Dan Islam secara terbuka dan jujur mengakui adanya kebebasan pindah agama dan siap untuk menerima kehadiran agama-agama lain untuk hidup berdampingan secara layak
-
Dalam HAM Kebebasan Pindah agama merupakan hak yang paling Fundamental, sehingga pembahasan mengenai kebebasan pindah agama menjadi titik yang unik terhadap penelitian menegani Islam dan Kebebasan agama.
-
Adanya penghargaan atas kebebasan pindah agama diantara hukum Islam dan HAM
2. Perbedaan dari kedua perspektif (Hukum Islam dan HAM) -
Perbedaan dari keduanya dilihat dari segi sumber hukum yang dijadikan sebagai dalil. HAM lebih cenderung Mengangkat Nilai-nilai kemanusian daripada Nilai Ilahiyah, yang mengarah kepada konsep kebebasan dengan mengunakan
akal
logika
manusia,
begitupun
sebaliknya
Islam
memperhatikan Nilai-nilai kemanusian tanpa mengesampingkan nilai Ilahiyah. -
Produk pemikiran HAM tentang kebebasan Pindah agama tidak sama dengan produk pemikiran Islam.
BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN Berdasarkan uraian data dari hasil penelitian dapat disimpulkan sebgai berikut: 1. Menurut Islam dan HAM dapat dipandang sebagai berikut: Dalam sejarah Klasik dan pertengahan, Islam memandang bahwa pindah agama atau keyakinan merupakan suatu perbuatan yang sangat dilarang bahkan bagi mereka yang melakukan perbuatan ini patut dihukum, dipaksa untuk kembali ke Islam dan bertobat. Jika diperlukan proses kembali ke Islam dilakukan dengan kekerasan dan siksaan. Hal ini senada dengan pandangan Empat Imam mazhab bahwa orang yang pindah agama dari Islam harus diberi sanksi hukuman mati atau dibunuh. Sedangkan untuk konteks sekarang, berdasarkan referensi kontemporer, Islam memandang bahwa sanksi hukuman mati bagi mereka yang pindah agama sudah tidak relevan lagi. Karena Islam memandang Negara mana pun di dunia Islam, kini memiliki keragaman dari sisi keyakinan keagamaan dan kepercayaan. Pandangan menurut HAM atas dasar hak asasi manusia paling fundamental untuk beragama/berkepercayaan dan memilih, atau merevisi pilihannya dan pindah kelain agama, hukuman mati atas orang yang pindah agama bertentangan dengan prinsip-prinsip HAM itu sendiri, salah satunya prinsip tentang hak kebebasan pindah agama dan hak hidup.
2. Persamaan dan perbedaan tentang Kebebasan Pindah Agama dapat dilihat sebagai berikut; adanya pengakuan atas perbedaan dan keragaman dalam agama dan kepercayaan menjadi titik awal atas perlindungan hak kebebasan pindah agama dalam hukum Islam dan HAM. Perbedaan kebebasan pindah agama yang terjadi antara satu individu dengan individu lain terjadi bukan karena haknya sebagai manusia, melainkan didasarkan keimanan dan ketakwaannya. Sedangkan kebebasan pindah agama yang ditawarkan HAM terjadi karena adanya hak dalam diri manusia yang dibawa sejak lahir yang bukan berdasarkan keimanan dan ketakwaan melainkan berdasarkan hak dan kebebasan. kebebasan pindah agama yang ditawarkan Islam merupakan kebebasan yang berasal dari Tuhan (teosenrtis), sedangkan kebebasan yang ada dalam HAM merupakan kebebasan yang datang dari diri manusia (antroposentris). B. Saran-saran Dari kesimpulan di atas, peneliti dapat memberikan saran yang mungkin dapat menjadi sumber inspirasi bagi para pencari kebenaran tentang kebebasan pindah agama, baik bagi Para Tokoh atau pemikir Islam maupun Orientalis, terkhusus bagi para pembaca skripsi ini: 1. Masalah kebebasan pindah agama bukanlah masalah persaingan antaridiologi pemikiran melainkan keberadaan manusia itu sendiri, dan tidak ada jalan untuk mengetahui Tuhan kecuali dengan Tuhan. Bertanyalah pada Muhammad saw, darinya akan anda peroleh jawaban tentang ini.
2. Kebebasan pindah agama adalah perwujudan nyata dari suatu kehendak yang luhur dari suatu yang maha semesta. 3. Kebenaran tentang kebebasan pindah agama adalah hakikat yang muncul dari kesadaran dan bahwa alam indrawi muncul secara hakiki dari kekuatan luar biasa yang maha tinggi.
DAFTAR PUSTAKA Al-Qur’an- al-Karim. Ali bin Muhammad bin Muhammad ash-Syaukan, Nailul athor, (Mesir: Syirkah Iqomah al-Dîn, 2000), Juz. V. h. 265. Ahmad Abu Abdillah bin Muhammad bin Hanbal, Musnad Ahmad, (al-Maktabah alSyamilah: Mauqiu’ Islam, 2006), Juz. III. H. 47. Ahmad bin Suaib bin Ali bin Baher bin Sinan, Sunan an-Nasaî, (al-Maktabah alSyamilah: Mauqiu’ Islam, 2006), Juz. xiii. h. 115. Al-Din, Fakhr al-Razi, al-Tafsîr al-kabỉr, (Beirut:Dâr al-kutub al-‘ilmiyah, 1990), vol.30, hal.210-211. Ahmad, Muhammad Mufti dan Sami Salih al-Wakil, HAM Menurut Barat, HAM Menurut Islam,Ter. Yahya Abdurrahman, dari Huquq al-Insan Fi al Fikr as-siyasi algharbi wa asy-syar’I al-Islami, (Dirasah Muqaranah), (Bogor, Pustaka Thariqul Izah, 2005), Cet.1, h. 6. Adlabi,Muhammad Munir. Membunuh Orang Murtad. Jakarta: Niqos, 2002, Cet. Ke1. Asa, Syub’ah. Dalam Cahaya Al-qur’an Tafsir Ayat-ayat Sosial-Politik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000. Az-Zuhaili, Wahbah, Kebebasan dalam Islam, Jakarta: Pustaka Al-Katsar, 2005, Cet. KeI. Arrifa’I, Muhammad Nasib. Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir. Jakarta: Gema Insani Press, 1999, Cet. Ke-1. Baidhawi, Zakiyuddin. Kredo Kebebasan Beragama. Jakarta: Pusat Studi Agama dan Peradaban (PSAP), 2005, Cet. Ke-1. Bisri, Ilhami. Sistem Hukum Indonesia, (Jakarta, PT Raja Grafindo, 2004), Cet.I, h. 9. Budiardjo, Mariam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2003, Cet. Ke-24, h.120. BN. Masbun, Kamus Politik. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996. Cet. Ke-I.
CST. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1989. Culla, Adi Suryadi. Masyarakat Madani. Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2002. Cet. Ke-III. Cauvin, Frans Hak Asasi Manusia:Pendasaran Dalam Filsafat Hukum dan Filsafat Politik, (Flores: Ledorero,2004), Cet.1. h. 5. Dalizar Putra, Hak Asasi Manusia Menurut Al-Qur’an. Jakarta: PT. Al-Husna Zikra, 1995, Cet. Ke-II. Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam 2, ( Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), h. 67. Fazlurrahman, Islam, alih bahasa ahsin Mohammad, (Bandung: Pustaka Bandung, 1984), Cet. I, h. 34. Hamid, Shalahuddin. HAM Dalam Perspektif Hukum Islam. Jakarta: Amisco. Hidayat, Komarudin. Memahami Bahasa Agama Sebuah Kajian Hermanitik. Jakarta: Paramadina, 1996 Cet. Ke-I. Hamka, Tafsir Al-Azhar Juzu’ III. Jakarta: Pustaka Panjinar, 1983. Hartono, Sunaryati, Kapita selekta Perbandingan Hukum.Bandung:Citra Aditya Bakti, 1993. Kosasih, Ahmad. HAM dalam Perspektif Islam “Menyikap Persamaan dan Perbedaan Antara Islam dan Barat. Jakarta: Salemba Diniyah, 2003, Cet. Ke-I. K. Lubis, Suhrawardi. Etika Profesi Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 1994), Cet. Ke-I. Litle, David. Kebebasan Agama dan Hak-hak Asasi Manusia, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1997, Cet. Ke-I. Madjid, Nurcholish. Hak Asasi Manusia “dalam perspektif Budaya Indonesia”. Jakarta:Gramedia Pustaka Utama, 1997 Cet. Ke-1. Masbun,BN. Kamus Politik. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996. Cet. Ke-I. Muladi, Hak Asasi Manusia “Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat”. Bandung: PT. Refika Aditama, 2005, Cet. Ke-1.
Mahfudh, Sahal. Solusi Problematika Aktual. Surabaya: Lagnah Ta’lif Wan Nasyr cet. Ke-III. 2007. Maliki, Zaenudin. Agama Rakyat Agama Penguasa “Kontruksi Tentang Realitas Agama dan Demokratis”. Yogyakarta: Yayasan Galang, 2000. Muhammad bin Ismail al-Bukhori, Shohih Bukhori, (al-Maktabah Al-Syamilah: Mauqiu’ Islam, 2006), Juz. x. h. 114. Muhammad bin Ali bin Muhammad ash-Syaukan, Nailul athor, (Mesir: Syirkah Iqomah al-Dîn, 2000), Juz. V. h. 265. Muslim Abu al-Husain bin al-Hajjaj al-Qusyairi an Naisaburi, Shoheh Muslim, (alMaktabah al-Syamilah: Mauqiu’ Islam, 2006), Juz. IX. h. 344. Muzaffar, Chandra. Hak Asasi Manusia Dalam Tata Dunia Baru. Bandung: Mizan, Cet. Ke-1. Masruchiyah, Nieke. Prosiding Seminar KMKG: Peranan Pemuda Dalam Penegakan HAM, 17 Juli 2007. Cisarua. Musdah Mulia, Siti. Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Beragama.Artikel diakses pada 10 April 2008, dari http://www.Geogle. Kebebasan beragama. Com/ Nasution, Harun. Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspek, (Jakarta: UI Pres, 1979), Cet. I h.10. Putra Dalizar, Hak Asasi Manusia Menurut Al-Qur’an. Jakarta: PT. Al-Husna Zikra, 1995, Cet. Ke-II. Peldi Taher, Elza. Agama dan Dialog Antar Peradaban, Jakarta: Paramadina, 1996, Cet. I h. 113. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah “Pesan Kesan dan Keserasian Al-Qur’an” surat Ali-Imran. Jakarta:Lentera Hati Ct. Ke-I. Quthb, Sayyid. Tafsir fizhilalil Qur’an. Jakarta: Gema Insani Press, 2000, Cet. Ke-1. Razak, Nasrudin. Dỉnul Islam, (Bandung: al-Ma’arif, 1977), Cet. II, h. 44 & 47. Sabiq, Sayyid. Fiqih Sunnah, Bandung: PT Alma’arif, 1984, Cet. I h. 175.
Sopyan Yayan. “Peran Masyarakat Dalam Penegakan HAM”. Prosiding Seminar: Sosialisasi HAM Bagi Masyarakat di Propinsi Jakarta, 17 Juli 2007. Cisarua. Hotel Ever Green, Puncak Jawa Barat Sudjana, Eggi. HAM dalam Perspektif Islam “Mencari Universalitas HAM bagi Tatanan Modernitas yang Hakiki”, Jakarta: Nuansa Madani, 2005, Cet. Ke-II. Susetyo, Heru. Hak Asasi Manusia : Sejarah Doktrin dan Kendala Implementasinya, dalam Majalah Sabili, edisi. IV, 13 November 2001, h. 1. Syaukat Hussain, Syekh. Hak Asasi Manusia dalam Islam.Jakarta: Gema Insani Press, 1996. Sihab, Qurais. Tafsir Al-Misbah. Jakarta: Lentera Hati, Cet. Ke-1. Setiawan, Chandra. “Kebebasan Beragama dan Melaksanakan Agama /Kepercayaan Perspektif HAM”. Artikel diakses pada 2 Februari 2008 dari http://www. Geogle. Kebebasan beragama. Com/ Thahir, Taib abd. Muin. Ilmu Kalam, (Jakarta: Wijaya, 1986), Cet. VIII, h.121. Teungku Hasbi al-Shidd, Islam dan HAM. Semarang: PT.Pustaka Rizki Putra,1999, Cet. Ke-1. Taher, Elza Peldi. Agama dan Dialog Antar Peradaban. Jakarta: Paramadina, Cet. Ke-1 1996. Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), h.292. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ( Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 1988), Cet. I, h. 867. Tiena, Yulies Mariani, Pengantar Hukum Indonesia, (Jakarta, Sinar Grafika, 2004), Cet. I h. 13. Undang-undang HAM 1999, “Tentang Hak Asasi Manusia”, Jakarta: Sinar Grafika,2000, Cet. Ke-I. Wahab, Abdul Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (al-Qahirah: Dar al-Qolam, 1978), Cet. VIII. h. 73.
Yunus Mahfud, Tafsir Qur’an Karim.Jakarta: Sa’adijah Putra. 1971, Cet.Ke-I Zainudin, A.Rahman. “Hak Asasi Manusia” Sebuah Bunga Rampai” . Jakarta: Yayasan obor Indonesia, 1994.