BAB II LANDASAN TEORI
II. 1
Tinjauan Teori
II. 1. 1 Definisi dan Unsur Pajak UU KUP No 28 Tahun 2007 pasal 1 menyebutkan definisi pajak sebagai berikut: “Kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapat timbal balik secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Pengertian pajak, menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro SH (Mardiasmo, 2006:1): Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara (peralihan kekayaan dari sektor partikelir ke sektor pemerintah) berdasarkan Undang-Undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (tegen-prestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membiayai pengeluaran umum (publik uitgaven). Dari
sudut
pandang
lain
pengertian
pajak,
menurut
Dr.
Soeparman
Soemahamidjaja (Ilyas,W.B., & Burton, R., 2004:4): “Pajak adalah iuran wajib, berupa uang atau barang, yang dipungut oleh pengusaha berdasarkan norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi barangbarang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum”.
9
Menurut Liberti Pandiangan, SE,.MSi (2002:19) Pajak adalah: Pembayaran (pengalihan) sebagian harta kekayaan yang dimiliki oleh masyarakat kepada negara yang dapat dipaksakan berdasarkan Undang-Undang, namun pembayarannya tidak mendapatkan suatu balas jasa secara langsung, untuk digunakan membiayai pengeluaran negara guna meningkatkan kualitas masyarakatnya.
Maka dari beberapa pandangan mengenai definisi pajak yang disebutkan diatas terdapat 2 (dua) pihak yang terlibat dalam perpajakan yaitu pemerintah dan masyarakat, serta menurut Mardiasmo (2008), dapat diperjelas bahwa terdapat 4 (empat) unsur yang melekat dalam definisi pajak, yaitu: 1. Merupakan iuran wajib dari masyarakyat ke negara yang mana pemungutan pajak hanya dilakukan oleh negara baik itu pemerintah pusat maupun daerah (tanpa ada campur tangan dari pihak swasta); 2. Pembayaran pajak harus didasarkan pada ketetapan Undang-Undang yang berlaku; 3. Tidak terdapat jasa timbal atau kontra prestasi dari negara yang secara langsung dapat dirasakan oleh pembayar pajak; 4. Pajak digunakan dalam rangka untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran pemerintah baik yang bersifat rutin maupun pembangunan bagi kepentingan masyarakat umum.
10
II. 1. 2 Pengelompokan Pajak Dalam perkembangannya, pajak digolongkan menjadi beberapa kategori. Menurut Siti Resmi (2008), berdasarkan sifat-sifat tertentu, pajak dibagi kedalam 4 (empat) kelompok yaitu : a. Pajak atas kekayaan dan pendapatan b. Pajak atas lalu lintas kegiatan c. Pajak yang bersifat kebendaan d. Pajak atas pemakaian Berdasarkan Purno Murtopo (2010), menurut sifatnya, pajak dibagi menjadi 2 (dua) jenis yaitu: a. Pajak langsung, yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh Wajib Pajak dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Pengenaan pajak langsung ini dilakukan secara periodik dan berulang-ulang kepada setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi syarat secara subjektif dan objektif. Contoh: Pajak Penghasilan. b. Pajak tidak langsung, yaitu kewajiban pajak yang di akhir pemanfaatannya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada pihak lain. Contoh: Pajak Pertambahan Nilai. Berdasarkan kriteria sasarannya menurut Rimsky k. Judisseno (2001), pajak dibagi menjadi 2 (dua) jenis yaitu: a. Pajak subjektif, yaitu pajak yang pengenaannya didasarkan pada keadaan subjeknya atau dalam arti memperhatikan keadaan diri dari Wajib Pajak, dimana besar kecilnya pajak yang dibayarkan tergantung dari Wajib Pajak tersebut. Contoh: Pajak Penghasilan. 11
b. Pajak objektif, yaitu pajak yang pengenaannya didasarkan pada keadaan objeknya dimulai pada saat dipenuhinya sebab-sebab yang dapat menimbulkan adanya kewajiban membayar pajak seperti keadaan, peristiwa maupun perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak, tetapi tanpa memperhatikan keadaan diri dari Wajib Pajak yang bersangkutan. Contoh: Pajak Pertambahan Nilai. Menurut kategori lembaga pemungutnya yang diungkapkan oleh Liberti Pandiangan (2011), pajak dibagi kedalam 2 (dua) jenis, yaitu: a. Pajak pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara. Contoh: Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. b. Pajak daerah, yaitu pajak yang pemungutannya diselenggarakan oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. Pajak daerah terdiri atas : b.1 Pajak Provinsi, contoh : Pajak Kendaraan Bermotor, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, Pajak Air Permukaan, dan Pajak Rokok. b.2 Pajak Kabupaten/kota, contoh : Pajak Hotel, Pajak Restoran, dan Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan, Pajak Parkir, Pajak Air Tanah, Pajak Sarang Burung Walet, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
12
II. 1. 3 Pajak Penghasilan Pasal 22 dan Pajak Pertambahan Nilai II. 1. 3. 1 Pajak Penghasilan Pasal 22 II. 1. 3. 1. 1 Pengertian Pajak Penghasilan Pasal 22 Menurut Atep Adya Barata (2011), Pajak Penghasilan Pasal 22 adalah pelaksanaan pembayaran Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan yang dilaksanakan dengan cara dilakukannya pemungutan oleh pihak pemungut pajak seperti Bendahara Pemerintah baik pusat maupun daerah dan badan-badan tertentu yang mendapat ijin dari Menteri Keuangan, sehubungan dengan: •
Pembayaran atas penyerahan barang yang pembayarannya bersumber dari dana APBN dan APBD
•
Pemungutan pajak berkenaan dengan kegiatan di bidang impor
•
Pemungutan pajak lainnya yang berkaitan dengan kegiatan di bidang usaha tertentu Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 diatur dalam Keputusan
Menteri
Keuangaan
nomor
254/KMK.03/2001
tanggal
30
April
2001
sebagaimana diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 210/PMK.03/2008 dan diperbaharui kembali dengan Peraturan Menteri Keuangan nomor 154/PMK.03/2010.
II. 1. 3. 1. 2 Sifat dan Ciri Pajak Penghasilan Pasal 22 Menurut Atep Adya Barata (2011), dalam pelaksanaannya, Pajak Penghasilan Pasal 22 di Indonesia memiliki sifat dan ciri khusus yaitu: 13
•
Pajak langsung Pajak Penghasilan Pasal 22 merupakan salah satu jenis pajak yang memiliki karakteristik sebagai pajak langsung. Pajak Penghasilan Pasal 22 tergolong dalam karakteristik pajak langsung karena beban Pajak Penghasilan Pasal 22 tidak dapat dialihkan ke pihak lain, dalam arti kata bahwa pihak yang mendapatkan manfaat, yang harus menanggung beban Pajak Penghasilan Pasal 22.
•
Pajak subjektif Pajak Penghasilan Pasal 22 didasarkan pada kondisi subjektif subjek pajak dan tidak didasarkan pada ada atau tidaknya objek pajak. Pajak Penghasilan Pasal 22 dikenakan atas dasar adanya suatu transaksi yang terjadi dan dilakukan oleh subjek pajak / pihak-pihak yang berhak untuk melakukan pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22.
•
Tarif tunggal Dalam pelaksanaannya, Pajak Penghasilan Pasal 22 dikenakan atas suatu kegiatan dan bidang industri tertentu dimana setiap kegiatan yang diatur dalam Pajak Penghasilan Pasal 22 dikenakan tarif yang berbeda namun merupakan tarif tunggal untuk masing-masing kegiatan.
•
Kredit pajak Kredit pajak merupakan ciri dari Pajak Penghasilan Pasal 22, dimana pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 22 merupakan pembayaran pendahuluan yang nantinya dapat diperhitungkan dengan jumlah pajak yang terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan. Penghitungan kredit Pajak Penghasilan Pasal
14
22 didasarkan pada bukti penyetoran PPh Pasal 22 yang telah dibayar ke Kas Negara, berupa Surat Setoran Pajak PPh Pasal 22. •
Pajak atas kegiatan dan industri tertentu Pajak Penghasilan Pasal 22 adalah jenis Pajak Penghasilan yang dikenakan atas dasar suatu kegiatan dan industri tertentu, meliputi pemungutan pajak yang berkenaan dengan pembayaran atas penyerahan barang yang pembayarannya bersumber dari dana APBN dan APBD, pemungutan pajak yang berkaitan dengan kegiatan impor, dan pemungutan pajak yang berasal dari transaksi yang dilakukan oleh badan usaha yang bergerak di bidang industri tertentu yang diungkapkan dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan No 36 tahun 2008 dalam Pasal 22.
II. 1. 3. 1. 3 Subjek Pajak Penghasilan Pasal 22 Dalam rangka melaksanakan pemungutan PPh Pasal 22, maka Peraturan Menteri Keuangan nomor 154/PMK.03/2010 mengatur mengenai pihak-pihak yang berhak melakukan pemungutan atau yang biasa disebut dengan subjek Pajak Penghasilan Pasal 22, yang terdiri atas:
15
Tabel 2.1 Pemungut PPh Pasal 22 No
Pemungut
Objek yang dipungut
1.
Bank devisa dan Ditjen Bea dan Cukai
Impor barang
2.
Bendahara
Pemerintah
dan
Kuasa
Pengguna
Pembayaran atas pembelian barang
Anggaran (KPA) baik di tingkat pusat ataupun tingkat daerah, Bendahara Pengeluaran untuk pembayaran dengan mekanisme uang persediaan (UP), KPA atau pejabat penerbit Surat Perintah Membayar yang diberi delegasi KPA untuk mekanisme pembayaran langsung (LS) 3.
Badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha
Penjualan hasil produksi industri
industri semen, industri kertas, industri baja, dan
tertentu di dalam negeri
industri otomotif, yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak 4.
Produsen atau importir bahan bakar minyak, gas,
Penjualan bahan bakar minyak,
dan pelumas atas penjualan bahan bakar minyak,
gas, dan pelumas
gas, dan pelumas 5.
Industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor
Pembelian bahan - bahan untuk
perhutanan, perkebunan, pertanian, dan perikanan
keperluan industri atau ekspor
yang ditunjuk oleh kepala KPP
mereka dan pedagang pengumpul
II. 1. 3. 1. 4 Objek dan Non Objek Pajak Penghasilan Pasal 22 Objek pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 terdiri dari: •
Impor barang
•
Pembayaran atas penyerahan barang yang dilakukan oleh Bendahara Pemerintah baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah
•
Penjualan hasil produksi di dalam negeri yang dilakukan oleh badan usaha yang bergerak di bidang industri tertentu
16
•
Pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri yang bergerak dalam sektor kehutanan, perkebunan, pertanian, perikanan dari pedagang pengumpul
•
Penjualan hasil produksi yang dilakukan oleh Pertamina dan badan usaha selain Pertamina yang bergerak di bidang bahan bakar minyak dan gas Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan no 154/PMK.03/2010,
terdapat beberapa penghasilan yang dikecualikan atau dibebaskan dari pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 yaitu:
a. Impor barang dan atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan tidak terutang Pajak Penghasilan; b. Impor barang yang dibebaskan dari pungutan Bea Masuk dan atau Pajak Pertambahan Nilai: 1. Barang perwakilan negara asing beserta para pejabatnya yang bertugas di Indonesia berdasarkan asas timbal balik; 2. Barang untuk keperluan badan internasional beserta pejabatnya yang bertugas di Indonesia dan tidak memegang paspor lndonesia yang diakui dan terdaftar dalam peraturan menteri keuangan yang mengatur tentang tata cara pemberian pembebasan bea masuk dan cukai atas impor barang untuk keperluan badan internasional beserta para pejabatnya yang bertugas di Indonesia; 3. Barang kiriman hadiah untuk keperluan ibadah umum, amal, sosial, kebudayaan atau untuk kepentingan penanggulangan bencana; 4. Barang untuk keperluan museum, kebun binatang, konservasi alam dan tempat lain semacam itu yang terbuka untuk umum: 5. Barang untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan; 17
6. Barang untuk keperluan khusus kaum tunanetra dan penyandang cacat lainnya; 7. Peti atau kemasan lain yang berisi jenazah atau abu jenazah; 8. Barang pindahan; 9. Barang pribadi penumpang, awak sarana pengangkut, pelintas batas, dan barang kiriman sampai batas jumlah tertentu sesuai dengan ketentuan Perundang-undangan kepabeanan: 10. Barang yang diimpor oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah yang ditujukan untuk kepentingan umum; 11. Persenjataan, amunisi, dan perlengkapan militer, termasuk suku cadang yang diperuntukkan bagi keperluan pertahanan dan keamanan negara; 12. Barang dan bahan yang dipergunakan untuk menghasilkan barang bagi keperluan pertahanan dan keamanan negara; 13. Vaksin Polio dalam rangka pelaksanaan program Pekan Imunisasi Nasional (PIN); 14. Buku-buku pelajaran umum, kitab suci dan buku buku pelajaran agama; 15. Kapal laut, kapal angkutan sungai, kapal angkutan danau, kapal angkutan penyeberangan, kapal pandu, kapal tunda, kapal penangkap ikan, kapal tongkang, dan suku cadang serta alat keselamatan pelayaran atau alat keselamatan manusia yang diimpor dan digunakan oleh Perusahaan Pelayaran Niaga Nasional atau perusahaan penangkapan ikan nasional; 16. Pesawat udara dan suku cadang serta alat keselamatan penerbangan atau alat keselamatan manusia, peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan
18
yang diimpor dan digunakan oleh Perusahaan Angkutan Udara Niaga Nasional; 17. Kereta Api dan suku cadang serta peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan serta prasarana yang diimpor dan digunakan oleh PT Kereta Api Indonesia; 18. Peralatan yang digunakan untuk penyediaan data batas dan foto udara wilayah Negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh Tentara Nasional Indonesia; dan/ atau 19. Barang untuk kegiatan hulu Minyak dan Gas Bumi yang importasinya dilakukan oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama. c. Impor sementara, jika pada waktu impornya nyata-nyata dimaksudkan untuk diekspor kembali; d. Impor kembali (re-impor), yang meliputi barang-barang yang telah diekspor kemudian diimpor kembali dalam kualitas yang sama atau barang-barang yang telah diekspor untuk keperluan perbaikan, pengerjaan dan pengujian yang telah memenuhi syarat yang ditentukan oieh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai; e. Pembayaran yang dilakukan oleh pemungut pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf b, huruf c dan, huruf d, berkenaan dengan: 1. Pembayaran yang jumlahnya paling banyak Rp 2.000.000 (dua juta rupiah) dan tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah; 2. Pembayaran untuk pembelian bahan bakar minyak, listrik, gas, pelumas, air minum/ PDAM dan benda-benda pos.
19
f. Pembayaran untuk pembelian gabah dan/atau beras oleh perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (BULOG); g. Emas batangan yang akan diproses untuk menghasilkan barang perhiasan dari emas untuk tujuan ekspor; h. Pembayaran untuk pembelian barang sehubungan dengan penggunaan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
II. 1. 3. 1. 5 Dasar Pengenaan Pajak dan Tarif Pajak PPh Pasal 22 Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor 523/PJ./2001 tentang tarif dan tata cara pemungutan, penyetoran, serta pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 22 dan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 23/PJ./2009, maka dasar dan tarif pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 22 terdiri dari :
20
Tabel 2.2 Objek dan Tarif PPh Pasal 22 No
Jenis Objek
Tarif
Dasar Perhitungan
1
Pembelian barang oleh Bendahara dan
1,5 %
Harga pembelian
Sifat
BUMN/BUMD
2
Impor Barang a.
Importir mempunyai API
2,5 %
Nilai Impor
b.
Importir tidak mempunyai API
7,5 %
Nilai Impor
c.
Yang tidak dikuasai
7,5 %
Harga Jual Lelang
API
0,5 %
Nilai Impor
4
Industri semen
0,25 %
DPP PPN
5
Industri rokok (SE-7/PJ.03/2008)
Pasal 17 UU PPh
Harga Bandrol
6
Industri kertas
0,1 %
DPP PPN
7
Industri baja
0,3 %
DPP PPN
8
Industri otomotif
0,45 %
DPP PPN
9
Bahan Bakar Minyak dan Gas
Tergantung
3
Impor kedelai, gandum, dan tepung terigu, oleh importir yang memiliki
pihak
Penjualan
Swastani-sasi
pemungut (swastanisasi
final /
Pertamina
pertamina) 10
tidak final
Pembelian bahan-bahan berupa hasil
Harga
pembelian
perhutanan, perkebunan, pertanian, dan
(tidak
termasuk
perikanan untuk keperluan industri dan
0,5 %
PPN)
ekspor dari pedagang pengumpul
21
II. 1. 3. 1. 6 Contoh Perhitungan Pajak Penghasilan Pasal 22 •
Pembelian barang oleh instansi pemerintah 1,5% x Harga Pembelian Contoh : Pembelian beras oleh BULOG (Badan Urusan Logistik) pada awal bulan Mei 2010 adalah sebesar Rp 20.000.000.000, maka PPh Pasal 22 yang harus dipungut adalah 1,5% x Rp 20.000.000.000 = Rp 30.000.000
•
Pemungutan PPh Pasal 22 atas impor 2,5% x Nilai Impor
Jika Memiliki API
7,5% X Nilai Impor
Non API
Contoh : PT Electronusa memiliki API, mengimpor 10 buah TV Berwarna 32” dengan harga impor dari Japan USD 500,000, dengan asuransi di luar negeri 10%, bea masuk 10%, PPN 10% dan PPnBM 20%. Kurs USD 1 = Rp 9.000. Harga Impor
USD 500,000
Asuransi di luar negeri 10%
USD 50,000 + USD 550,000
Bea masuk 10%
USD 55,000 +
Nilai Impor
USD 605,000
Maka, Pajak Penghasilan Pasal 22 impor adalah 2,5% x USD 605,000 X Rp 9.000 = Rp 136.125.000 •
Pemungutan PPh Pasal 22 atas penjualan hasil produksi industri kertas 0,1% x DPP PPN
22
Contoh : Produsen kertas menjual kertas HVS kepada distributor dengan total harga jual Rp 4.000.000.000 (sebelum PPN), maka PPh Pasal 22 yang harus dipungut adalah 0,1% x Rp 4.000.000.000 = Rp 4.000.000 II. 1. 3. 1. 7 Penyetoran dan Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 •
PPh Pasal 22 yang dipungut oleh Bendahara pemerintah yang dibiayai dari APBN/APBD terutang dan dipungut pada saat pembayaran untuk penyerahan barang dan jasa kepada rekanan. Yang menjadi dasar pemungutan adalah penghasilan neto dari penyerahan barang dan/atau jasa dengan tarif pemungutan PPh Pasal 22 atas penyerahan barang ini adalah sebesar 1,5%. Penyetoran dilakukan di Bank Persepsi atau kantor pos dengan menggunakan Surat Setoran Pajak, yang sekaligus menjadi bukti pemungutan PPh Pasal 22.
•
PPh Pasal 22 atas impor dipungut oleh importir baik yang memiliki Angka Pengenal Impor maupun yang tidak memiliki Angka Pengenal Impor, dengan dasar pemungutan yaitu didasarkan pada penghasilan neto dari pemasukan barang ke dalam daerah pabean atau nilai impor. Nilai impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar perhitungan Bea masuk yang terdiri atas nilai Cost Insurance and freight ditambah dengan Bea masuk dan pungutan lainnya yang dapat dikenakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan pabean di bidang impor. Pajak Penghasilan Pasal 22 atas impor barang terurang dan harus dilunasi pada saat bersamaan dengan saat pembayaran Bea masuk.
23
•
PPh atas kegiatan industri tertentu dipungut oleh Badan usaha tertentu dengan tarif yang berbeda-beda dalam industri masing-masing dan terutang pada saat terjadi penjualan/penyerahan hasil produksi industri tersebut. Pajak Penghasilan Pasal 22 yang telah dipungut dalam suatu masa
pajak harus disetorkan oleh pemungut atas nama Wajib Pajak ke bank persepsi atau kantor pos paling lambat tanggal 10 (sepuluh) bulan takwim berikutnya dengan menggunakan formulir SSP (Surat Setoran Pajak). Selain itu menurut Atep Adya Barata (2011), pemungut pajak juga wajib menerbitkan Bukti Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 dalam rangkap tiga yaitu lembar pertama untuk pembeli, lembar kedua sebagai lampiran laporan bulanan kepada Kantor Pelayanan Pajak, dan lembar ketiga sebagai arsip pemungut pajak yang bersangkutan. Pemungut pajak yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan memiliki kewajiban untuk memberikan laporan mengenai Pajak Penghasilan Pasal 22 yang telah dipungut dan telah disetor setiap bulan kepada Kantor Pelayanan Pajak setempat dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 22 yang dilampiri dengan bukti pemungutan PPh Pasal 22 dan lembar ketiga Surat Setoran Pajak yang dilakukan dalam suatu masa pajak tertentu paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah berakhirnya masa pajak yang bersangkutan.
24
II. 1. 3. 2 Pajak Pertambahan Nilai II. 1. 3. 2. 1 Pengertian Pajak Pertambahan Nilai Menurut Winston Manihuruk (2010), Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi barang dan jasa di dalam daerah Pabean yang dikenakan secara bertingkat / berkali-kali di setiap jalur produksi dan distribusi. Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai dipengaruhi oleh perkembangan transaksi bisnis serta pola konsumsi masyarakat. Undang-Undang
Pajak
Pertambahan
Nilai
telah
mengalami
reformasi perpajakan yang pertama kali diatur dengan UU no 8 tahun 1983, diperbaharui dengan UU no 11 tahun 1994 dan disempurnakan lagi terakhir kali dengan UU no 42 tahun 2009. Perubahan Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai ini dilakukan dengan tujuan yaitu untuk: • meningkatkan kepastian hukum dan keadilan bagi pengenaan Pajak Pertambahan Nilai • menyederhanakan sistem Pajak Pertambahan Nilai, agar tidak menyulitkan Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya • meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak dan mengurangi biaya kepatuhan dalam rangka melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan.
25
II. 1. 3. 2. 2 Sifat dan Ciri Pajak Pertambahan Nilai Menurut Untung Sukardji (2009) Pajak Pertambahan Nilai di Indonesia memiliki karakteristik tertentu yaitu: • Pajak tidak langsung Pajak Pertambahan Nilai tergolong sebagai pajak tidak langsung karena secara ekonomis beban PPN dapat dialihkan kepada pihak lain. Tanggung jawab pembayaran PPN kepada pemerintah berada pada pihak yang menyerahkan barang atau jasa, sedangkan yang menanggung beban pajak berada pada pihak penanggung pajak. • Pajak objektif Pajak Pertambahan Nilai tidak didasarkan pada kondisi subjektif subjek pajak melainkan didasarkan ada atau tidaknya objek pajak, yaitu keadaan, peristiwa atau perbuatan hukum yang dapat dikenai pajak. • Pajak bertingkat / multistage tax Perbedaan yang prinsipal antara Pajak Pertambahan Nilai dengan Pajak Penjualan atas Barang mewah terletak pada sistem pemungutannya, dimana dalam Pajak Pertambahan Nilai dapat dipungut berkali-kali dalam tiap tingkatan produksi. Setiap penyerahan barang yang menjadi objek Pajak Pertambahan Nilai mulai dari tingkat pabrikan, kemudian ditingkat pedagang besar sampai dengan tingkat pedagang pengecer tetap akan dikenakan PPN. • Tarif tunggal
26
Di Indonesia, PPN mengenal jenis tarif tunggal atau single tarif yaitu sebesar 10% untuk penyerahan BKP/JKP dalam daerah pabean dan sebesar 0% untuk ekspor Barang Kena Pajak • Metode kredit Metode kredit digunakan dalam penghitungan Pajak Pertambahan Nilai dimana metode ini mengandung konsep bahwa pajak yang terutang berasal dari selisih antara pajak yang dikenakan pada saat penyerahan barang / jasa (Pajak Keluaran) dengan pajak yang dibayar pada saat pembelian barang atau penerimaan jasa (Pajak Masukan). • Pajak atas konsumsi dalam negeri Sebagai pajak atas konsumsi dalam negeri, PPN menganut prinsip destination principle yaitu pajak dikenakan di tempat barang atau jasa akan dikonsumsi. Dengan prinsip ini, PPN memberikan perlakuan yang sama terhadap komoditi impor dengan produk domestik yang juga dikonsumsi dalam negeri, sebaliknya PPN tidak dikenakan atas arus barang atau jasa yang melintasi batas wilayah Negara dan yang dikonsumsi di luar negeri. • Menggunakan sistem faktur Setiap objek Pajak Pertambahan Nilai mengharuskan pengusaha untuk membuat faktur pajak sebagai bukti pungutan PPN. Bagi pihak pembeli, faktur pajak merupakan bukti pembayaran Pajak Pertambahan Nilai.
27
II. 1. 3. 2. 3 Subjek Pajak Pertambahan Nilai Menurut Danny Darussalam (2008) menjelaskan Pengusaha Kena Pajak adalah pengusaha yang melakukan kegiatan-kegiatan berupa penyerahan Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak yang dikenakan pajak berdasarkan ketentuan UU PPN 1984 dan perubahannya. Dengan kata lain, Subjek PPN terbagi kedalam dua kategori berikut: • Pengusaha
Kena
Pajak
(PKP)
sebagai
subjek
PPN
yang
meliputi
pabrikan/produsen yang: Melakukan penyerahan Barang Kena Pajak Melakukan penyerahan Jasa Kena Pajak Melakukan ekspor Barang Kena Pajak berwujud Melakukan ekspor Barang Kena Pajak tidak berwujud Melakukan ekspor Jasa Kena Pajak Melakukan penyerahan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan • Non Pengusaha Kena Pajak sebagai subjek PPN, yaitu: Pihak yang melakukan impor Barang Kena Pajak Pihak-pihak yang memanfaatkan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean Pihak yang memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean Orang pribadi atau badan yang membangun sendiri tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya 28
II. 1. 3. 2. 4 Objek dan Non Objek Pajak Pertambahan Nilai Menurut UU nomor 42/2009 dalam pasal 4 yang menjadi objek PPN adalah berupa “Penyerahan Barang atau Jasa”, yang dirincikan dengan: •
Penyerahan Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak kepada pihak luar, dimana dasar pengenaan pajaknya adalah nilai harga jual. Barang Kena Pajak adalah barang berwujud yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa barang bergerak maupun barang tidak bergerak yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-Undang.
•
Impor Barang Kena Pajak, dengan dasar pengenaannya adalah nilai impor yang dilakukan melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai
•
Penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak. Penyerahan JKP adalah setiap kegiatan pemberian JKP, termasuk JKP yang digunakan untuk kepentingan pribadi dan JKP yang diberikan secara cuma-cuma
•
Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean
•
Pemanfaatan Jasa Kena Pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean
•
Ekspor Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak
•
Ekspor Barang Kena Pajak tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak
•
Ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak Non-objek Pajak Pertambahan Nilai terbagi dalam kategori jenis
barang yang tidak dikenakan PPN dan jenis jasa yang tidak dikenakan PPN yaitu: 29
Tabel 2.3 Non Objek PPN Jenis Barang Non-PPN
Jenis Jasa Non-PPN
Barang hasil pertambangan atau
Jasa di bidang pelayanan kesehatan medis, Jasa di
hasil
bidang pelayanan sosial
pengeboran
yang
diambil
langsung dari sumbernya Barang-barang
kebutuhan
pokok
yang sangat dibutuhkan oleh rakyat
Jasa keagaman, jasa pendidikan, jasa kesenian dan hiburan, jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan
banyak Makanan
dan
minuman
yang
disajikan di hotel, restoran, rumah
Jasa pengiriman surat dengan perangko, jasa angkutan umum di darat dan di air, jasa angkutan udara
makan, warung dan sejenisnya Uang, emas batangan dan surat
Jasa keuangan, jasa asuransi, jasa tenaga kerja, jasa
berharga
perhotelan, jasa penyediaan tempat parkir, jasa boga, jasa pengiriman uang dengan wesel pos, jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam
II. 1. 3. 2. 5 Dasar Pengenaan Pajak dan Tarif Pajak Pertambahan Nilai Berdasarkan Pasal 1 angka 17 UU PPN 2009 merumuskan bahwa, dasar pengenaan pajak adalah jumlah harga jual, penggantian, nilai impor, nilai ekspor, atau nilai lain yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak yang terutang. Harga jual sesuai pasal 1 angka 18 UU PPN adalah nilai berupa uang termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pengusaha karena penyerahan Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut UU PPN dan potongan harga yang dicantumkan dalam faktur pajak. Sesuai pasal 1 angka 19 UU PPN, penggantian adalah nilai berupa 30
uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pengusaha karena penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Jasa Kena Pajak, atau ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud.
Nilai berupa Uang
+
Semua Biaya-biaya terkait
-
Potongan harga dalam Faktur Pajak
=
Harga Jual
Penggantian
Gambar 2.1 Dasar Pengenaan Pajak PPN Menurut Waluyo (2011), Nilai impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar pengenaan pajak untuk kegiatan impor Barang Kena Pajak yang disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan Pabean, sedangkan nilai ekspor adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta oleh pihak eksportir. Dasar pengenaan pajak lainnya adalah Nilai lain, yaitu suatu jumlah yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan untuk menghitung besarnya jumlah pajak yang terutang. Berdasarkan pasal 7 ayat 1 UU PPN bahwa tarif PPN adalah 10% (sepuluh persen) dan merupakan tarif tunggal. Selain itu dalam ayat 2, tarif PPN atas ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, BKP Tidak Berwujud, dan ekspor Jasa Kena Pajak adalah 0% (nol persen).
31
II. 1. 3. 2. 6 Contoh Perhitungan Pajak Pertambahan Nilai Contoh penghitungan PPN yaitu PKP “A” dalam bulan Januari 2001 menjual tunai Barang Kena Pajak kepada PKP “B” dengan harga jual Rp 25.000.000. Maka nilai PPN terutang yang dipungut oleh PKP “A” adalah = 10% x Rp 25.000.000 = Rp 2.500.000 PPN sebesar Rp 2.500.000 ini merupakan Pajak Keluaran yang dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak “A”. Contoh lainnya, Pengusaha Kena Pajak D melakukan ekspor Barang Kena Pajak dengan nilai ekspor Rp 10.000.000, maka Pajak Pertambahan Nilai yang terutang adalah sebesar 0% x Rp 10.000.0000 = Rp 0 Transaksi diatas merupakan contoh kegiatan ekspor dan dikenakan tarif sebesar 0% dan nilai Pajak Pertambahan Nilai sebesar Rp 0 tersebut merupakan Pajak Keluaran bagi Pengusaha Kena Pajak D.
II. 1. 3. 2. 7 Penyetoran dan Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai Pajak
Pertambahan
Nilai
terutang
pada
saat
dilakukannya
penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, impor BKP, pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam daerah Pabean, pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean dan ekspor BKP. Dalam hal pembayaran diterima sebelum penyerahan Barang Kena Pajak atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak atau dalam hal pembayaran dilakukan sebelum dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa 32
Kena Pajak dari luar daerah pabean, maka saat terutangnya pajak adalah pada saat pembayaran. Undang-undang PPN no 42 tahun 2009 menjelaskan bahwa tempat terutang PPN terjadi di tempat tinggal atau tempat kedudukan dan/atau tempat kegiatan usaha dilakukan atau tempat lain selain tempat tinggal atau tempat kedudukan dan/atau tempat kegiatan usaha dilakukan yang diatur dengan Peraturan Direktorat Jenderal Pajak. Untuk impor, tempat terutang berada di tempat BKP dimasukkan ke dalam daerah pabean. Untuk kegiatan membangun sendiri yang dilakukan oleh PKP yang dilakukan tidak dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya atau oleh bukan PKP, tempat terutang pajak berada di tempat bangunan tersebut didirikan. Dalam pasal 15A UU PPN, penyetoran Pajak Pertambahan Nilai oleh Pengusaha Kena Pajak dilakukan paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya masa pajak dan dilakukan pula sebelum Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak setempat. Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai disampaikan pula paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya masa pajak.
II. 2
Penelitian Terdahulu Penelitian mengenai ekualisasi Pajak Penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai
belum banyak dilakukan. Berikut ini merupakan salah satu contoh penelitian mengenai ekualisasi Pajak Penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai. 33
Yoanthi Riestha Astuti (2005), melakukan penelitian terhadap nilai ekualisasi total penyerahan menurut SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai (12 Bulan) dengan jumlah peredaran usaha menurut SPT Tahunan Pajak Penghasilan Badan pada PT. X. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui faktor-faktor penyebab terjadinya perbedaan total penyerahan menurut SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai dengan jumlah peredaran usaha menurut SPT Penghasilan Badan. Teknik analisa yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan cara membandingkan data-data yang terkait dengan penyerahan serta peredaran usaha yang dilakukan dalam PT. X. Dalam penelitian ini, penulis mengungkapkan bahwa kegiatan ekualisasi merupakan kegiatan membandingkan peredaran usaha dan total penyerahan yang disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dari penelitian ini, diperoleh hasil yaitu bahwa pentingnya setiap perusahaan untuk melakukan ekualisasi pada total penyerahan menurut SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai dengan jumlah peredaran usaha menurut SPT Tahunan Pajak Penghasilan, sehingga memudahkan perusahaan dalam menjelaskan perbedaan nominal dalam pelaporan pajaknya.
34