BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Perilaku Asertif Alberti & Emmons (1990) mendefinisikan bahwa perilaku asertif merupakan perilaku kompleks yang ditunjukan oleh seseorang dalam hubungan antar pribadi, dalam mengekspresikan perasaan, sikap, keinginan, hak, pendapat secara langsung, tegas dan jujur, dengan menghormati perasaan, keinginan, pendapat dan hak orang lain. Komplex merupakan perilaku yang berasal dari alam bawah sadar yang dimunculkan dalam alam sadar. Perilaku tersebut ditunjukan dalam hubungan antar pribadi secara langsung, tegas dan jujur. Dalam mengekspresikan perasaan, sikap, keinginan, hak dan pendapat penyampaiannya mempertimbangkan perasaaan, hak dan pendapat orang lain sehingga tidak membuat orang lain merasa terancam atau tersinggung. Pendapat Alberti dan Emmons dalam Nursalim (2005) bahwa perilaku asertif mempertimbangkan persamaan hak dalam hubungan antar pribadi, perilaku asertif memungkinkan individu untuk bertindak sesuai dengan kepentingan sendiri dalam mengekspresikan perasaan dengan senang, jujur, menggunakan hak peribadi tanpa mengabaikan hak atau kepentingan orang lain. Nursalim (2005) mengutip definisi Alberti and Emmons dan memerinci sebagai berikut:
8
a) Memperkembangkan persamaan hak dalam hubungan manusiawi, berarti meletakkan dua kelompok atau fihak dalam derajat yang sama, menjaga keseimbangan dalam hubungan, dan menghindari adanya “top dog dan under dog”. b) Bertindak bebas tanpa rasa cemas meliputi perilaku seperti menyatakan “tidak”, merespon kritik, hinaan, atau kemarahan orang lain, mengekspresikan, mendukung, atau mempertahankan pendapat. c) Mengekpresikan perasaan dengan jujur dan senang, berarti kemampuan untuk menyatakan ketidaksetujuan, menampakan kemarahan, takut, mengekpresikan pertsetujuan atau dukungan, bertindak spontan semuanya tanpa rasa cemas. d) Menggunakan atau melaksanakan hak-hak pribadi, berkaitan dengan kompetensi sebagai warga negara, sebagai konsumen, sebagai anggota dari suatu organisasi atau sekolah, atau kelompok kerja, sebagai seorang partisipan di dalam peristiwa masyarakat untuk mengekpresikan pendapat, untuk melakukan perubahan, untuk merespon pelaggaran hakhak pribadi maupun orang lain. e) Tidak menghindari orang lain hak-hak orang lain, adalah bahwa dalam memenuhi perilaku-perilaku tersebut di atas tanpa memberikan kritik yang tidak fair pada orang lain, tanpa melukai atau menyakiti orang lain, tanpa mencela orang lain, tanpa mengintimidasi, tanpa memanipulasi, tanpa mengendalikan perilaku orang lain.
Ada 3 jenis perilaku yaitu non asertif, asertif dan agresif dengan ciri yang berbeda. Ketiga perilaku tersebut dicontohkan dalam kasus sebagai berikut: ketika seorang ayah yang akan tidur pada malam hari dan esok hari harus bangun pagi untuk melakukan tugas atau pekerjaannya. Namun, di ruang sebelah anak-anaknya terlalu berisik sehingga menganggu ayah untuk tidur. Apa yang akan dilakukan seorang ayah untuk mengatasi persoalan tersebut? Ada tiga pilihan yaitu: 1) Mendatangi si anak kemudian memarahinya, 2) Mendatangi si anak untuk meminta lebih tenang dengan penyampaian alasan yang tepat dan dengan kata-kata yang sopan, 3) membiarkan anak tetap ribut meskipun sang ayah merasa terganggu. Dari ketiga pilihan di atas menunjukan bahwa selalu ada pilihan dalam setiap tindakan yang akan dilakukan. Pada pilihan pertama menunjukan adanya tindakan
9
tanpa memperdulikan keadaan si anak sehingga si ayah hanya melakukan bagaimana cara untuk mengatasi masalahnya sendiri tanpa memperdulikan perasaan dan hak si anak, perilaku seperti ini disebut dengan perilaku agresif. Pilihan kedua menunjukan bahwa sang ayah mempertimbangkan persamaan hak yaitu kepedulian dengan apa yang sedang dilakukan si anak, sehingga sang ayah dapat mengatakan apa yang diinginkan secara langsung bahwa ayah merasa terganggu dengan suara gaduh sang anak (menyatakan ketidak setujuan dan hak sang ayah) dengan menjelaskan alasannya dengan baik dan sopan (baik nada maupun volumenya) sehingga anak dapat mengerti tanpa membuatnya merasa terancam atau tersinggung. Perilaku ini disebut perilaku asertif. Pilihan ketiga menunjukan bahwa sang ayah tidak dapat melakukan hal yang sebenarnya ia inginkan, meskipun menganggunya. Sang ayah hanya diam dan membiarkannya tanpa melakukan suatu tindakan apapun. Hal ini bisa terjadi karena kecemasan yang dirasakan sang ayah untuk melakukan apa yang ia inginkan. Perilaku ini disebut dengan perilaku non asertif. Menurut Alberti dan Emmons (dalam Nursalim, 2005) mengemukakan bahwa untuk membedakan perilaku pasif, asertif dan agresif dapat dicontohkan bahwa perilaku pasif yaitu individu yang nampak ragu-ragu dalam berkomunikasi dengan individu lain dan tidak mampu mengekpresikan perasaan dan pikirannya, misalnya bicara dengan pelan, melihat kearah lain, menghindari isu, menilai dirinya lebih rendah dan menyakiti diri sendiri untuk tidak menyakiti orang lain. Kemudian perilaku asertif yaitu perilaku individu yang dapat mengekspresikan hak, pendapat 10
maupun keinginannya, baik secara verbal atau non verbal, misalnya mampu berbicara dengan nada dan volume yang layak, melihat ke arah lawan bicara melihat dirinya sama dengan orang lain dan tidak menyakiti dirinya untuk tidak menyakiti orang lain. Sedangkan perilaku agresif adalah individu yang mengemukakan hak dan pendapatnya secara bernafsu tanpa memperdulikan perasaan, hak dan pendapat orang lain, misalnya memotong pembicaraan orang lain, berbicara dengan keras, menghina dengan kasar, melotot atau membelalak, menilai dirinya lebih tinggi dari orang lain dan menyakiti orang lain untuk tidak menyakiti diri sendiri. `
2.1.1 Aspek Perilaku Asertif Perilaku asertif mempunyai beberapa aspek yang dikemukakan oleh Alberti & Emmons (dalam Nursalim, 2005) dalam 10 kunci pokok perilaku asertif sebagai berikut: a) Mengekspresikan diri secara penuh Artinya bahwa individu asertif mampu untuk mengkomunikasikan apa yang diinginkan, dirasakan, dan dipikirkan kepada orang lain. b) Menghormati kepentingan orang lain. Individu asertif dapat menerima keadaan orang lain dengan terbuka tanpa harus memaksakan kehendak kepada orang lain. Senantiasa menunjukan rasa hormat akan pendapat orang lain terhadapnya.
11
c) Langsung dan tegas Individu asertif mampu untuk mengkomunikasikan pikiran dan perasaan secara langsung artinya dapat berkomunikasi tanpa perantara orang lain. Selain itu seseorang dapat dikatakan asertif apabila mampu menyatakan keinginan dan sesuatu yang tidak diinginkannya dengan tegas tanpa cemas atau khawatir. d) Jujur dan terbuka mengatakan kebutuhan perasaan dan pikiran apa adanya. Aspek ini menyebutkan bahwa individu asertif mampu mengatakan perasaan dan pikirannya apa adanya. Selalu melakukan tindakan dengan jujur dan terbuka tanpa merasa malu dan takut. e) Menempatkan orang lain secara setara dalam suatu hubungan. Setiap individu tidak dapat hidup tanpa orang lain dan membutuhkan bantuan orang lain. Individu yang asertif dapat menempatkan orang lain setara dengan dirinya tanpa merendahkan orang lain dalam suatu hubungan. f) Verbal, mengandung isi pesan (perasaan, fakta, pendapat, permintaan, batasanbatasan) Individu asertif mampu mengekspresikan dirinya melalui perkataan yang diucapkan. Namun, sesuatu yang diucapkan tidak hanya sebatas mengeluarkan kata-kata saja tapi juga mengandung pesan yang dapat dimengerti oleh lawan komunikasinya. Pesan tersebut dapat berupa perasaan dimana individu dapat mengutarakan perasaannya secara jujur tanpa merasa cemas. Selain itu pesan juga berisi fakta yang terjadi, individu mampu mengatakan kalimat permintaan untuk mengungkapkan kebutuhannya dan yang terakhir adalah batasan-batasan dimana 12
apapun yang dikatakan individu asertif selalu mempertimbangkan isi kalimat sehingga tidak membuat lawan bicara menjadi terancam. g) Non verbal mengandung bentuk pesan (kontak mata, suara, postur, ekpresi, wajah, gerak tubuh, jarak fisik, waktu, kelancaran bicara, mendengarkan). Dalam melakukan proses komunikasi, individu asertif tidak hanya secara verbal namun juga non verbal dimana bentuk pesan disertai dengan bahasa tubuh. Orang yang non asertif akan cenderung menunduk atau melihat objek lain daripada melihat mata lawan bicaranya sehingga akan terlihat menunduk atau memalingkan wajah. Lain halnya dengan individu asertif dapat menatap mata lawan bicaranya disertai dengan intonasi suara yang tepat artinya tidak terlalu lantang dan tidak terlalu lirih. Selain itu juga dapat mengatur kelancaran bicaranya sehingga tidak gugup atau terbata-bata. Individu asertif akan senantiasa menjaga keseimbangan postur tubuhnya, gerak tubuhnya, jarak fisik dengan lawan bicaranya sekaligus menjadi pendengar yang baik. h) Layak bagi orang lain dan situasi, tidak universal. Individu asertif dapat memposisikan diri sesuai dengan keadaan yang ada, mampu membedakan cara-cara komunikasi dengan menyesuaikan keadaan dan kondisi lawan bicaranya. i) Dapat diterima secara sosial. Individu asertif adalah individu yang fleksibel yang dapat mengekspresikan diri serta menghormati orang lain sehingga dapat diterima oleh lingkungan sosial
13
misalnya keluarga, teman, sahabat dan masyarakat pada umumnya. Hal ini bertujuan untuk dapat memberikan kontribusi kepada lingkungan sekitar. j) Perilaku asertif merupakan sesuatu yang dipelajari, bukan bakat yang diturunkan. Setiap individu terlahir seperti kertas putih yang kosong. Itu berarti perilaku asertif juga dapat dituangkan didalamnya dengan cara belajar dan berlatih untuk menjadi asertif. Jadi, asertif bukanlah bakat atau keturunan.
2.2 Pendekatan Behavioral Konseling behavioral merupakan satu jenis konseling yang berorientasikan perilaku, bertujuan untuk menghilangkan perilaku yang tidak betul dan membantu konseli menguasai keterampilan-keterampilan atau perilaku-perilaku baru (dalam Loekmono, 2008). Konseling behavioral dikenal juga dengan modifikasi perilaku yang dapat diartikan sebagai tindakan yang bertujuan untuk mengubah perilaku. Modifikasi perilaku memiliki kelebihan dalam menangani masalah-masalah yang dialami oleh individu (dalam Komalasari, dkk, 2011), yaitu dapat merencanakan langkah terlebih dahulu, perincian pelaksanaan dapat diubah menyesuaikan kebutuhan konseli, dapat dievaluasi, teknik konseling dapat dijelaskan dan diatur secara rasional serta dapat diprediksi dan dievaluasi secara objektif dan waktu yang dibutuhkan lebih singkat.
14
2.2.1
Tujuan Konseling Behavioral Dalam Loekmono (2008) mengemukakan bahwa tujuan utama konseling
behavioral adalah menyediakan keadaan-keadaan dan lingkungan-lingkungan agar perilaku yang tidak sesuai dapat dihapuskan dan sesudah itu konseli akan diajar untuk menguasai perilaku baru yang sesuai untuk menggantukan perilaku yang tidak sesuai itu. 2.2.2 Peranan Konselor Dalam Loekmono (2008) menyatakan ada empat peranan utama yang harus dimainkan konselor dalam konseling behavioral adalah sebagai berikut a)
Dalam konseling ini, konselor berkedudukan sebagai pakar, guru yang aktif karena konselor mempunyai pengetahuan dan keterampilan saintifik yang dapat dipakai untuk mengobati masalah-masalah yang dihadapi konselinya. Oleh karena itu, konselor hendaknya berusaha untuk mendiagnosis masalah yang dihadapi oleh konsleinya dan selanjutnya membuat saran dan rencana untuk mengatasi masalahnya. b) Sebagai seorang pakar yang akan dikagumi dan dihormati oleh konseli, konselor dapat menjadi model atau contoh untuk diteladani oleh konselinya. Sikap, nilai, filsafat, kepercayaa, perilakunya dan segala yang berkaitan dengan dirinya akan dicontoh atau diikuti oleh konselinya. Justru karena itu, amatlah penting bagi konselor menyadari hakikat ini dan selanjutnya waspada agar dia menjadi model yang sesuai untuk dicontoh. c) Konselor hendaknya terampil dengan semua ataupun dengan sebagian besar teknik yang dipakai dalam konselng perilaku yang beraneka ragam. d) Konselor juga harus mempuyai orientasi yang baik ke arah penyelidikan dan statistik agar konselor dapat melaksanakan penilaian dengan objektif.
2.2.3 Peranan Konseli Dalam Loekmono (2008) mengungkapkan bahwa konseling behavioral memakai setrategi yang khusus dan jelas bukan saja untuk diikuti oleh konselor, tetapi juga untuk konseli. Disamping itu, konseling behavioral bukan saja memakai
15
bahasa di dalam mengatasi suatu masalah, tetapi juga sangat menitik beratkan tindakan berupa perilaku-tindakan yang harus dilakukan sewaktu konseling dan lebih penting lagi sesudah sesi konseling. Oleh karena ada ketentuan seperti ini, konseli yang dibantu dengan konseling ini harus mempunyai motivasi untuk mengubah apa saja perilaku menjadi kebiasaanya, konseli harus bersedia melakukan apa yang disetujui atau diarahkan serta bersedia menghadapi dan menerima resiko dari percobaan diluar ruang konseling.
2.2.4 Teknik dan Prosedur Konseling Behavioral Tiga hal yang menarik mengenai teknik dan prosedur yang terdapat dalam konseling behavioral (dalam Loekmono, 2008). Diantaranya yaitu bahwa konseling behavioral mempunyai banyak teknik dan setrategi yang telah diusahakan dan diketahui secara efektif, sehingga konseling ini mengutamakan perilaku yang nyata, sehingga dapat diketahui keberhasilan dan apabila terjadi kegagalannya maka dapat dievaluasi dengan menggunakan teknik yang baru yang lebih efektif. Selain itu, setrategi dalam konseling behavioral bisa dikombinasikan menjadi pendekatan eklektik. Beberapa teknik dan setrategi dalam konseling behavioral yaitu latihan relaksasi, desentisasi indera sistematik, konseling impulsif, teknik aversif, ekonomi token, percontohan, teknik kognitif , latihan ketrampilan sosial dan latihan asertif.
16
2.3 Latihan Asertif (Training) 2.3.1 Pengertian Latihan Asertif Alberti dan Emmons (dalam Nelson-Jones, 2011) mengenai latihan asertif yang menekankan bahwa latihan asertif seharusnya bukan hanya berfokus pada perilaku verbal, tetapi juga komponen lain seperti kontak mata, postur tubuh, gestur, ekpresi wajah, volume suara, kelancaran dalam berbicara dan timing asersi. Program latihan asertif ditempatkan sebagai salah satu teknik atau strategi bantuan dari pendekatan behavioral. Sebagai suatu setrategi terapi, latian asertif digunakan atau direkomendasikan untuk mengurangi dan menghilangkan gangguan kecemasan dan meningkatkan kemampuan (kompetensi) interpersonal individu. Teknik ini dapat digunakan untuk kelompok maupun individu.
2.3.2 Tujuan Latihan Asertif Dalam Loekmono (2008) menyatakan bahwa latihan asertif biasanya diberikan kepada konseli yang tidak dapat melepaskan kemarahannya, tidak dapat mengatakan “tidak”, terlalu tertib dan dimanfaatkan orang lain, tidak dapat menyatakan isi hati dan perasaan serta respons-respons positif dan individu yang merasa tidak mempunyai hak untuk menyatakan pikiran, kepercayaan dan perasaannya
2.3.3 Strategi Latihan Asertif Dalam melakukan latihan asertif, ada beberapa setrategi yang dapat digunakan. Berikut adalah 6 setrategi latihan asertif yang dikemukakan dalam Loekmono (2008):
17
a) Pengajaran, dimana konselor menerangkan kepada konseli perilaku yang diharapkannya. b) Respons, dimana konselor memberikan respons positif dan juga negatif kepada konseli berkaitan dengan perilakunya sesudah diberi pengarahan. c) Pencontohan, dimana ada kalanya konselor menunjukan contoh perilaku kepada konseli. Ini dapat dilakukan secara hidup atau dengan memakai audio vidual. d) Keasyikan, dimana konseli akan berlatih melalui permainan peranan perilaku tertentu dan konseli akan dikritik oleh konselor. e) Penguatan sosial, dimana dari waktu ke waktu konseli akan diberi pujian. f) Tugas atau PR, dimana konseli akan diberi tugas untuk dikerjakan.
2.3.4 Prosedur Latihan Asertif Dalam Sunardi (2010) prosedur latihan asertif secara umum adalah sebagai berikut: a)
b)
c)
d)
e)
f)
g) h)
i)
Identifikasi masalah, yaitu dengan menganalisis permasalahan klien secara komprehensif yang meliputi situasi-situasi umum dan khusus di lingkungan yang menimbulkan kecemasan, pola respon yang ditunjukan, faktor-faktor yang mempengaruhi, tingkat kecemasan yang dihadapi, motivasi untuk mengatasi masalahnya, serta sistem dukungan. Pilih salah satu situasi yang akan diatasi, dengan memilih terlebih dahulu situasi yang menimbulkan kesulitan atau kecemasan paling kecil. Selanjutnya, secara bertahap menuju pada situasi yang lebih berat. Analisis situasi, yaitu dengan menunjukan kepada klien bahwa terdapat banyak alternatif yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalahnya tersebut. Identifikasi alternatif penyelesaian masalah. Menetapkan alternatif penyelesaian masalah. Bersama-sama klien berusaha untuk memilih dan menentukan pilihan tindakan yang dianggap paling sesuai, mungkin cocok , layak dengan keinginan dan kemampuan klien serta memiliki kemungkinan peluang berhasil paling besar. Mencobakan alternatif yang dipilih. Dengan bimbingan, secara bertahap klien diajarkan untuk mengimplementasikan pilihan tindakan yang telah dipilih. Dalam proses latihan, hendaknya diperhatikan hal-hal yang terkait dengan kontak mata, postur tubuh, gerak isyarat, ekspresi wajah, suara, pilihan kalimat, tingkat kecemasan yang terjadi, serta kesungguhan dan motivasinya. Diskusikan hasil, hambatan dan kemajuan-kemajuan yang terjadi, serta tindak lanjutnya. Klien diberi tugas untuk mencoba melakukan hal-hal yang sudah dibicarakan secara langsung dalam situasi yang nyata. Evaluasi hasil dan tindak lanjut.
18
2.4 Tinjauan Penelitian yang Relevan Beberapa penelitian menjelaskan tentang efektifitas latian asertif, diantaranya adalah menurut Nugraheni (2012) dengan judul “Pengentasan Perilaku Membolos pada Siswa Kelas VIII Melalui Konseling Kelompok Pendekatan Behavioral teknik Latihan Asertif di SMP Negeri 9 Salatiga”. Dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan desain Penelitian Tindakan Bimbingan dan Konseling (PTBK). Hasil penelitian ini menunjukan bahwa konseling kelompok dengan menggunakan teknik latihan asertif dapat mengatasi perilaku membolos pada siswa kelas VIII. Konseling behavioral dengan teknik latihan asertif yang dilakukan siklus I sampai siklus II telah membantu dalam merubah perilaku siswa yang bermasalah menjadi tingkah laku yang inginkan konseli. Hal ini ditemukan dari sikap konseli mampu bersikap tegas apabila ada teman yang mengajak untuk membolos (konseli mampu menyatakan “tidak” pada hal-hal yang memang dianggap tidak sesuai dengan perasaannya). Kesimpulannya, konseling kelompok dengan menggunakan teknik asertif dapat mengatasi perilaku membolos pada siswa kelas VIII di SMP Negeri 9 Salatiga. Menurut hasil penelitian Trianingtyas dan Nursalim yang berjudul “Penerapan latihan asertif untuk meningkatkan keterampilan komunikasi interpersonal siswa kelas VIII-D SMP N 1 Krian Sidoarjo Tahun ajaran 2009-2010”. Subjek dalam penelitian ini adalah 8 orang yang mempunyai ketrampilan sosial rendah. Teknik analisis data yang digunakan adalah statistic non parametric dengan menggunakan uji Wilcoxon. Hasil menunjukan bahwa Ha diterima. Hal ini memiliki pengertian bahwa 19
penerapan latihan asertif dapat meningkatkan ketrampilan komunikasi interpersonal siswa, jadi hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini diterima. 2.5 Hipotesis Dari uraian-uraian di atas maka penulis mengajukan hipotesis bahwa perilaku asertif dapat ditingkatkan secara signifikan melalui pendekatan behavioral dengan teknik latihan asertif pada siswa SMP Negeri 2 Salatiga.
20