BAB II KURIKULUM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM A. Pengertian Kurikulum Pada mulanya kurikulum dijumpai dalam dunia atletik pada zaman yunani kuno, yang berasal dari kata curir yang artinya pelari, dan curere artinya tempat berpacu atau tempat berlomba. Sedangkan curriculum mempunyai arti “jarak” yang harus ditempuh oleh pelari.1 Kurikulum merupakan salah satu komponen pokok dalam pendidikan, ia merupakan kompas penunjuk arah hendak kemana anakanak didik mau dibawa. Oleh karena itu, maka posisi kurikulum dalam praktik pendidikan amatlah penting, namun betapapun pentingnya posisi kurikulum, harus tetap diingat bahwa ia adalah alat untuk mencapai tujuan.2 Otonomi pendidikan memberikan peluang bagi sekolah, khususnya guru, untuk melakukan pengembangan kurikulum sesuai dengan konteks sekolah
masing-masing.
Hal
ini
dilakukan
agar
sekolah
dapat
mengakomodasi kebutuhan-kebutuhan peserta didik sesuai dengan lingkungannya, misalnya lingkungan petani, pedagang, pengusaha, dan lain-lain.3
1
Syarifudin Nurdin, Guru Profesional dan Implementasi Kurikulum (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), hlm. 33. 2 Ali Mudhofir, Aplikasi Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dan Bahan Ajar dalam Pendidikan Agama Islam (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hlm. 4. 3 Zainal Arifin, Pengembangan Manajemen Mutu Kurikulum Pendidikan Islam (Jogjakarta: Diva Press, 2012), hlm. 13.
23
24
Kurikulum merupakan inti dari proses pendidikan, sebab di antara bidang-bidang pendidikan yaitu manajemen pendidikan, kurikulum, pembelajaran, dan bimbingan siswa, kurikulum-peng-ajaran merupakan bidang yang paling langsung berpengaruh terhadap hasil pendidikan. Dalam pengembangan kurikulum, minimal dapat dibedakan antara desain kurikulum dan kurikulum tertulis (“design, written, ideal, itended, official, formal curriculum, atau curriculum in action”).4 1. Kurikulum dalam Pandangan Lama Menurut Oemar Hamalik kurikulum menurut pandangan lama adalah: Sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh oleh murid untuk memperoleh ijazah. Pengertian ini memiliki implikasi bahwa mata pelajaran pada hakekatnya pengalaman masa lampau, tujuannya adalah untuk memperoleh ijazah.5 Menurut S. Nasution kurikulum diartikan sebangai mata pelajaran yang diajarkan di sekolah. Pengertian kurikulum yang dianggap tradisional ini masih banyak dianut sampai sekarang termasuk juga di Indonesia.6 Dua definisi di atas merupakan pandangan kurikulum secara tradisional. Dan dari keduanya masih tampak adanya kecenderungan penekanan pada rencana pelajaran dan kurikulum juga diartikan secara sempit hanya pada penyampaian mata pelajaran kepada peserta didik. 4
Nana Syaodih Sukmadinata dan Erliana Syaodih, Kurikulum dan Pembelajaran Kompetensi (Bandung: PT Refika Aditama, 2012), hlm. 31. 5 Oemar Hamalik, Pengembangan Kurikulum Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Sistem dan Prosedur (Bandung: Triganda Karya, 1993), hlm. 18. 6 Nasution, Asas-asas Kurikulum (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), hlm. 9.
25
Dewasa ini kurikulum tidak hanya terbatas sebagai segala hal yang berhubungan dengan pendidikan, tetapi, hendaknya kurikulum bisa lebih mengacu pada kemajuan teknologi dan pengetahuan. Jelaslah bahwa kurikulum bukan sekedar seperangkat mata pelajaran atau bidang studi, tetapi sudah menjadi ajang politik, dan sudah menjadi bekal para lulusan untuk dapat menjawab tuntutan masyarakat.7 2. Kurikulum dalam Pandangan Modern Menurut Hamalik, sebagaimana yang dikutip oleh M. Joko S. setidaknya ada tiga penafsiran mengenai kurikulum, yaitu: a. Kurikulum memuat isi dan pelajaran. Kurikulum merupakan sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh dan dipelajari oleh peserta didik untuk memperoleh sejumlah pengetahuan. b. Kurikulum sebagai sarana pembelajaran. Dalam hal ini kurikulum merupakan
program
pendidikan
yang
disediakan
untuk
membelajarkan peserta didik. c. Kurikulum sebagai pengalaman belajar. Kurikulum merupakan serangkaian pengalaman belajar.8 Pengertian kurikulum sebagai pengalaman belajar, mengandung makna bahwa kurikulum adalah seluruh kegiatan yang dilakukan siswa baik disekolah dalam maupun di luar sekolah asal kegiatan tersebut berada di bawah tanggung jawab guru (sekolah). Yang dimaksud
7
Khaerudin dkk, KTSP Konsep dan Implementasinya di Madrasah (Jogyakarta: Nuansa Aksara, 2000), hlm. 25. 8 M. Joko Susilo, KTSP : Manajemen Pelaksanaan dan Kesiapan Sekolah Menyongsongnya (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm. 78.
26
dengan kegiatan itu tidak terbatas pada kegiatan intra ataupun ekstra kurikuler. Apa pun yang dilakukan siswa asal saja ada di bawah tanggung jawab dan bimbingan guru, itu adalah kurikulum. Misalnya kegiatan anak mengerjakan pekerjaan rumah, mengerjakan tugas kelompok, mengadakan observasi, wawancara, dan lain sebagainya, itu merupakan bagian dari kurikulum, karena memang pekerjaanpekerjaan itu adalah tugas-tugas yang diberikan guru dalam rangka mencapai tujuan pendidikan seperti yang diprogramkan oleh sekolah.9 Implikasi secara lebih eksplisit tentang definisi kurikulum diungkapkan oleh Burhan Nurgiyantoro menjadi enam hal, yaitu: 1. Kurikulum adalah suatu rencana atau inentions, ia mungkin hanya berupa perencanaan (mental) saja, tapi pada umumnya diwujudkan dalam bentuk tulisan. 2. Kurikulum bukanlah kegiatan, melainkan perencanaan atau rancangan kegiatan. 3. Kurikulum berisi tentang macam hal seperti masalah apa yang harus dikembangkan pada diri peserta didik, evaluasi untuk menafsirkan hasil belajar, bahan dan peralatan yang dipergunakan, kualitas guru yang dituntut, dan sebagainya. 4. Kurikulum melibatkan maksud atau pendidikan formal, maka ia sngaja mempromosikan belajar dan menolak sifat rambang, tanpa rencana, atau kegiatan tanpa belajar. 9
Wina Sanjaya, pembelajaran dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi, Cet. Ke-5 (Jakarta: Penada Media, 2015), hlm. 3.
27
5. Sebagai perangkat organisasi pendidikan, kurikulum menyatukan beberapa komponen seperti tujuan, isi, sistem penilaian dalam satu kesatuan yang tak terpisahakan atau dengan kata lain, kurikulum adalah suatu sistem. 6. Pendidikan dan latihan dimaksudkan untuk menghindari kesalah pahaman yang terjadi jika suatu hal dilalaikan.10 Pengertian ini menunjukan, bahwa kegiatan-kegiatan kurikulum tidak terbatas dalam ruangan saja, melainkan mencangkup juga kegiatan di luar kelas tidak ada pemisahan yang tegas antara intra dan ekstra kurikulum.11 Kurikulum sebagai sebuah program atau rencana pembelajaran, tidaklah hanya berisi tentang program kegiatan, tetapi juga berisi tentang tujuan yang harus ditempuh beserta alat evaluasi untuk mengetahui keberhasilan pencapaian tujuan, di samping itu, juga berisi tantang alat atau media yang diharapkan mampu menunjang pencapaian tujuan tersebut. Kurikulum sebagai suatu rencana disusun untuk melancarkan proses belajar mengajar di bawah bimbingan dan tanggung jawab sekolah atau lembaga pendidikan beserta stafnya.12 Dalam UU SISDIKNAS No. 20 tahun 2003, pada Bab I Pasal I dijelaskan bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang 10
Burhan Nurgiyantoro, Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum Sekolah (Yogyakarta: IKIP), hlm. 5. 11 Ibid., hlm. 11. 12 Ali Mudhofir, Aplikasi Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dan Bahan Ajar dalam Pendidikan Agama Islam (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hlm. 3.
28
digunakan sebagai pedoman menyelenggarakan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan tertentu.13 Berbagai pengertian atau definisi yang telah disebutkan diatas dapat diperoleh penggolongan sebagai berikut: 1. Kurikulum dapat dilihat sebagai produk, yakni sebagai hasil karya para pengembang kurikulum, biasanya dalam suatu panitia. Hasilnya dituangkan dalam bentuk buku atau pedoman kurikulum, misalnya berisi sejumlah mata pelajaran yang harus diajarkan. 2. Kurikulum dapat pula diartikan program, yakni alat yang dilakukan oleh sekolah untuk mencapai tujuannya. Ini dapat berupa mengajarkan berbagai mata pelajaran tetapi dapat juga meliputi segala kegiatan yang dianggap dapat mempengaruhi perkembangan peserta didik misalnya perkumpulan sekolah, pertandingan, pramuka, warung sekolah dan lain-lain. 3. Kurikulum dapat pula dipandang sebagai hal-hal yang diharapkan akan
dipelajari
peserta
didik,
yakni
pengetahuan,
sikap,
ketrampilan tertentu. Apa yang diharapkan akan dipelajari tidak selalu sama dengan apa yang benar-benar dipelajari 4. Kurikulum sebagai pengalaman peserta didik. Ketiga pandangan di atas
berkenaan
dengan
perencanaan
kurikulum
sedangkan
pandangan ini mengenai apa yang secara aktual menjadi kenyataan pada tiap peserta didik. Ada kemungkinan, bahwa apa yang 13
Mansur Muslich, KTSP : Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Kontekstual (Jakarta: Bumi Aksara, 2007), hlm. 1.
29
diwujudkan pada diri anak berbeda dengan apa yany diharapkan menurut rencana.14 Dalam dunia pendidikan kurikulum bisa diartikan secara sempit maupun secara luas. Secara sempit kurikulum diartikan hanya sebagai sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh atau diselesaikan peserta didik di sekolah atau perguruan tinggi. Secara lebih luas kurikulum diartikan tidak terbatas pada mata pelajaran saja, tetapi lebih luas daripada itu, kurikulum diartikan merupakan aktivitas apa saja yang dilakukan sekolah dalam rangka mempengaruhi anak dalam belajar untuk mencapai suatu tujuan, termasuk di dalamnya kegiatan belajar mengajar, mengatur strategi dalam proses belajar, cara mengevaluasi program pengembangan pengajaran dan sebagainya.15 Nampaknya konsep dasar kurikulum tidak hanya sebatas itu, namun juga dapat diartikan menurut fungsinya sebagaimana terdapat dalam pengertian-pengertian berikut ini: 1. Kurikulum
sebagai
program
studi,
pengertiannya
adalah
seperangakat mata pelajaran yang mampu dipelajari oleh anak didik di sekolah atau di instansi pendidikan lainnya. 2. Kurikulum sebagai konten, pengertiannya adalah data atau informasi yang tertera dalam buku-buku kelas tanpa dilengkapi dengan data atu informasi lain yang memungkinkan timbulnya belajar. 14
Nasution, Op. cit., hlm. 9. Darwyn Syah, Perencanaan Sistem Pengajaran Pendidikan Agama Islam (Jakarta: GP Press, 2007), hlm. 10. 15
30
3. Kurikulum sebagai kegiatan berencana, pengertiannya adalah kegiatan yang direncanakan tentang hal-hal yang akan diajarkan dan dengan cara bagaiman hal itu dapat diajarkan dengan berhasil. 4. Kurikulum sebagai hasil belajar, pengertiannya adalah seperangkat tujuan yang utuh untuk memperoleh suatu hasil tertentu tanpa menspesfikasikan cara-cara yang dituju untuk memperoleh hasilhasil itu, atau seperangkat hasil belajar yang direncanakan dan diinginkan. 5. Kurikulum sebagai reproduksi kultural, pengertiannya adalah transfer
dan
refleksi
butir-butir
kebudayaan
masyarakat
agarndimiliki dan difahami anak-anak generasi muda masyarakat tersebut. 6. Kurikulum sebagai pengalaman belajar, pengertiannya adalah keseluruhan pengalaman belajar yang direncanakan di bawah pimpinan sekolah. 7. Kurikulum sebagai produksi, pengertiannya adalah seperangkat tugas yang harus dilakukuan untuk hasil yang ditetapkan terlebih dahulu.16 Dari beberapa definisi mengenai kurikulum di atas, penulis dapat menarik kesimpulan bahwa kurikulum merupakan pengalaman peserta didik baik di dalam sekolah maupun di luar sekolah di bawah bimbingan sekolah. Kurikulum tidak hanya terbatas pada mata
16
Mahmud, Pemikiran Pendidikan Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2011), hlm. 108.
31
pelajaran, tetapi meliputi segala sesuatu yang dapat mempengaruhi perkembangan peserta didik, dan bisa menentukan arah atau mengantisipasi sesuatu yang akan terjadi. Dengan kata lain kurikulum haruslah menunjukan kepada apa yang sebenarnya harus dipelajari oleh peserta didik B. Kurikulum Pendidikan Agama Islam Kurikulum Pendidikan Agama Islam disusun demi mencapai citacita umat Islam. Tujuan yang ingin dicapai oleh kurikulum dalam pendidikan Islam adalah sejalan dengan tujuan falsafah pendidikan Islam dan juga sama dengan tujuan pendidikan, yaitu membentuk akhlak yang mulia dalam kaitannya dengan tujuan penciptaan manusia, yaitu mengabdi kepada Allah SWT.17 Pada dasarnya kurikulum mempunyai aspek utama yang menjadi ciri-cirinya sebagaimana yang diungkapkan oleh Hasan Langgulung, yaitu: 1. Tujuan-tujuan pendidikan yang ingin dicapai oleh kurikulum itu, 2. Pengetahuan (knowledge) ilmu-ilmu data, aktivitasnya-aktivitasnya dan pengalaman-pengalaman dari mana terbentuk kurikulum itu, 3. Metode dan cara-cara mengajar dan bimbingan yang diikuti muridmurid untuk mendorong mereka ke arah yang dikehendaki dan tujuantujuan yang dirancang.
17
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Cet. Ke-2 (Jakarta: Radar Jaya, 2002), hlm. 128.
32
4. Metode dan cara penilaian yang digunakan dalam mengukur dan menilai hasil proses pendidikan yang dirancang dalam kurikulum.18 Kurikulum pendidikan agama Islam pada dasarnya merupakan refleksi paradigma pengetahuan menurut Islam. Secara mendasar meliputi dua kebutuhan dasar manusia, yakni yang berorientasi pada kebutuhan materiil dan yang berorientasi pada kebutuhan spiritual. Kedua kebutuhan ini bagaimanapun tidak dapat dilepaskan keterkaitannya dalam menyusun materi dalam kurikulum pendidikan Islam. Dalam pemahaman lain, kurikulum pendidikan selalu berkait dengan sejumlah pengetahuan teoritis dan praktis. Hal ini didasari oleh pengertian bahwa untuk mencapai tujuan pendidikan diperlukan sejumlah pengetahuan dan ilmu.19 Kurikulum yang ditawarkan oleh Ibnu Sina untuk tingkatan pendidikan agama Islam adalah mengajari Al-Qur’an, karena anak-anak dari segi fisik dan mental, telah siap menerima pendiktean, dan pada waktu yang sama diajarkan juga huruf hijaiyah dan dasar agama kemudian syair berikut artinya. Setelah anak-anak belajar al-Qur’an dan dasar agama, kemudian diarahkan untuk mempelajari sesuatu yang sesuai dengan kecenderungannya.20 Dalam Islam, pengetahuan diidentifikasikan bersumber dari dua hal pokok, yaitu: 1. Wahyu Ilahi yang mengandung ajaran agama Allah
18
Ibid., hlm. 130. Mahmud, Op. cit, hlm. 147. 20 Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam pada Periode Klasik dan Pertengahan, Cet. Ke-2 (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010), hlm. 117. 19
33
2. Intelek manusia dan perangkatnya yang tetap berada dalam hubungan timbal balik dengan alam semesta pada tingkat pengamatan, kontemplasi, percobaan, dan penerapan. Manusia bebas melakukan apa saja yang dikehendakinya sejauh ia tetap berada dalam kondisi yang sepenuhnya manaati Al-Qur’an dan As-Sunnah.21 Selanjutnya pendidikan Agama Islam yang paling utama bagi setiap umat Islam adalah pendidikan tentang aqidah. Dengan cara apa kita menanamkan enam aspek keimanan atau akidah tersebut pada mereka. Dan bagaimana anak bisa mengekspresikan keimanan mereka. Namun apabila kita mempelajari proses kehidupan Rosulullah SAW dengan segala yang telah beliau ajarkan, kita akan menemukan lima pola dasar pembinaan akidah seperti, membacakan kalimat tauhid pada anak, menanamkan kecintaan mereka pada Allah, Pada Rosulullah Muhammad SAW, mengajarkan Al-Qur’an dan menanamkan nilai perjuangan serta pengorbanan pada mereka.22 C. Pengertian Madrasah Diniyah Madrasah sebagai wujud pembaharuan pesantren pada masa tersebut sebenarnya baru merupakan perluasan yang terbatas dari model pesantren, yang dipengaruhi tradisi keilmuan Mekah. Mengingat pada
21 22
Ibid., hlm. 174. Muhammad Nur Abdul Hafizh, Op. cit., hlm. 110.
34
abad sebelumnya (abad ke-19) hubungan antara Indonesia dengan Mekah makin lama makin erat.23 Eksistensi madrasah dalam tradisi pendidikan Islam di Indonesia tergolong fenomene modern yang dimulai sekitar awal abad ke-20 M. Buku-buku tentang sejarah pendidikan Islam di Indonesia sejauh ini tidak pernah menginformasikan adanya lembaga pendidikan yang disebut madrasah pada awal penyebaran Islam ke bumi nusantara ini. Evolusi kelembagaan pendidikan di wilayah ini pada umumnya bermula dari pesantren, madrasah dan sekolah. Madrasah di Indonesia bisa dianggap sebagai perkembangan lebih lanjut atau pembaharuan dari lembaga pendidikan pesantren atau surau.24 Sebelum lebih jauh membahas tentang pertumbuhan madrasah, terlebih dahulu akan dikemukakan periodesasi pendidikan Islam sebagaimana yang dikemukakan oleh Zuhairini yang membaginya kepada lima periode: 1. Periode pembinaan pendidikan Islam, yaitu pada masa Rosulullah SAW. 2. Periode pertumbuhan pendidikan Islam, yaitu pada masa Rosulullah SAW sampai pada masa Bani Umayyah.
23
Mujamil Qomar, Pesantren dari Tansformasi Motodologi menuju Demokratisasi InstitusiI (Jakarta: Erlangga, 2002), hlm. 91. 24 Muhammad Hambal Shafwan, Intisari Sejarah Pendidikan Islam, Cet Ke-1 (Sukoharjo: Pustaka Arafah, 2014), hlm. 257-258.
35
3. Periode kejayaan pendidikan islam, yaitu pada masa Abbasiyah sampai dengan jatuhnya Baghdad diwarnai dengan timbulnya madrasah dan puncak budaya Islam. 4. Periode kemunduran pendidikan Islam, yaitu jatuhnya Baghdad sampai dengan jatuhnya mesir ke tangan Napoleon. 5. Periode pembaharuan pendidikan Islam, yaitu pada masa Mesir dipegang oleh Napoleon sampai dengan kini. Dari periodesasi di atas dapat diasumsikan bahwa pembahasan ini berada pada periode ketiga, yaitu pada masa Abbasiyah sampai dengan jatuhnya Baghdad.25 Lahirnya madrasah-madrasah di dunia Islam, pada dasarnya merupakan usaha pengembangan dan penyempurnaan zawiyah (tempat belajar
mengajar),
dalam
rangka
menampung
pertumbuhan
dan
perkembangan ilmu pengetahuan dan jumlah pelajar yang semakin meningkat.26 Di Indonesia pembaharuan pendidikan Islam yang banyak mengundang reaksi kalangan luar, bukanlah dimulai dari kota besar Padang, melainkan dari beberapa tempat yang lebih kecil di Padang daratan. Dorongan yang terpenting berasal dari tokoh aneh, tetapi mempunyai kepribadian yang kuat, Zainudin Labai el Junusi (1890-1924). 25
Abuddin Nata, Op. cit., hlm. 47-48. Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Cet. Ke-3 (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1999), hlm. 162. 26
36
Ketika masih kecil, Zainudin Labai masuk sekolah gubernemen selama 4 tahun, tetapi dia tidak dapat menyelesaikan sekolahnya. Karena ayahnya seorang ulama, dia belajar agama di surau ayahnya dan beberapa surau lainnya. Sistem pendidikan surau yang bebas memungkinkan dia untuk menuruti kemauannya sendiri, dan hal itu baik bagi perkembangannya. Di samping itu, dalam beberapa kejadian dia digambarkan agak negative oleh para penulis biografinya, karena dia hidup sebagai parewa. Namun dengan cara studi sendiri, dia mendapatkan pengetahuan yang agak bagus mengenai bahasa Arab, Belanda, dan Inggris. Berbeda dengan kalangan tradisi, dia mempelajari bahasa Arab melalui tulisan yang tidak bersifat agamis. Dia berpantalon dan memakai dasi, dan dengan begitu dia mendapatkan sebutan oarng yang maju, seorang anak nakal dari surau. Meskipun demikian Zainudin Labai masih tetap ditolelir, karena kewibawaan ayahnya.27 Dari beberapa pengertian kelembagaan tentang pendidikan di Indonesia mulai dari pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Pendidikan non formal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan. Pengertian Madrasah dalam kelembagaan di
27
hlm. 43-44.
Karel A Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah (Jakarta: Pustaka LP3ES, 1994),
37
Indonesia termasuk dalam pendidikan non formal yang terstruktur dan berjenjang.28 Pengertian
Madrasah
adalah
tempat
pendidikan
yang
memberikan pendidikan dan pengajaran yang berada di bawah naungan Departemen Agama. Yang termasuk dalam kategori madarasah ini adalah lembaga
pendidikan:
Ibtidaiyah,
Tsanawiyah,
Aliyah,
Mu’alimin,
Mu’alimat serta Diniyah.29 Madrasah Diniyah adalah bentuk madrasah yang hanya mengajarakan ilmu-ilmu Agama (Diniyah). Madrasah ini dimaksudkan sebagai lembaga pendidikan Agama yang disediakan bagi siswa yang belajar di sekolah umum. Madrasah ini terbagi kepada tiga jenjang pendidikan: 1. Madrasah Diniyah Awaliyah untuk siswa-siswa Sekolah Dasar (4 tahun) 2. Madrasah Diniyah Wustho untuk siswa-siswa Sekolah Lanjutan Pertama (3 tahun) 3. Madrasah Diniyah ‘Ulya untuk siswa-siswi Sekolah Lanjutan Atas (3 tahun).30
28
Undang-undang SISDIKNAS No. 20 Tahun 2003 Ridlwan Nasir, Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal, Cet. Ke-2 (Jokjakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 90. 30 Ibid., hlm. 95-96. 29
38
Madrasah ini dimaksudkan sebagai lembaga yang disediakan bagi anak-anak yang pada waktu pagi pergi ke sekolah umum, dan pada sore hari mendapatkan mata pelajaran agama. Untuk madrasah diniyah ini kurikulumnya tersusun sebagai berikut: 1. Membaca Al-Qur’an, 3 jam per minggu 2. Tauhid, 3 jam per minggu 3. Fiqh, 3 jam per minggu 4. Akhlak, 3 jam per minggu. Madrasah ini oleh Departemen Agama direncanakan untuk siklus 4 tahun, kemudian dilanjutkan dengan madrasah menengah yang ditambah dengan mata pelajaran sejarah Islam. Maka di tingkat madrasah menengah, kurikulum adalah sebagai berikut: Diniyah Wustho
Kelas I
Kelas II
Kelas III
Jam / Minggu
Jam / Minggu
Jam / Minggu
Al-Qur’an
3
3
3
Tauhid
3
2
2
Fiqh
1
1
1
Sejarah Islam
2
3
3
39
Akhlak
Diniyah Aliyah
1
1
1
Kelas I
Kelas II
Kelas III
Jam / Minggu
Jam / Minggu
Jam / Minggu
Al-Qur’an Hadits
3
3
3
Tauhid
2
2
2
Fiqh
3
3
3
Sejarah Islam
1
1
1
Akhlak
1
1
1
Jadi jumlah jam baik Madrasah Diniyah Wustho dan Aliyah menjadi tetap 10 jam perminggu. Tambahan sejarah Islam pada permulaan, mengurangi jam pelajaran yang diberikan kepada fiqh dan akhlak. Pada Diniyah Aliyah, mata pelajaran yang lebih teknis seperti syariah lebih menonjol lagi, sedangkan sejarah Islam dan akhlak dikurangi. Madrasah Diniyah ini dibentuk dalam keputusan Menteri Agama tahun 1964.31
31
Karel A Steenbrink, Op. cit., hlm.167-168.
40
Struktur kurikulum adalah kerangka umum program pengajaran yang diberikan pada tiap jenjang pendidikan Madrasah Diniyah Takmiliyah yang meliputi: 1. Satuan mata pelajaran dan muatan lokal yang diberikan pada Madrasah Diniyah Takmiliyah berikut frekuensi dan alokasi waktunya dalam satu minggu. Untuk Madrasah Diniyah Takmiliyah, jumlah hari belajar ditentukan oleh masing-masing pengelola dengan ketentuan bahwa, setiap minggu dilaksanakan 18 jam mata pelajaran dengan frekuensi yang telah ditentukan 2. Program pengembangan diri dan pembiasaan akhlakul karimah santri. Program ini merupakan pengembangan dari mata pelajaran yang dijalankan di luar kelas berupa penciptaan iklim religius dalam lingkungan Madrasah Diniyah Takmiliyah serta kegiatan-kegiatan lain yang bertujuan untuk mengembangkan potensi santri. Struktur
kurikulum
mata
pelajaran
Takmiliyah adalah sebagai berikut:
untuk
Madrasah
Diniyah
41
Tabel Struktur Kurikulum Mata Pelajaran Madrasah Diniyah Takmiliyah Awwaliyah, Wustha dan Ulya *) MDTA No.
MDTW
MDTU
Mata Pelajaran I
II
III
IV
I
II
I
II
Keagamaan 1
Al-Qur’an
5
5
4
4
3
3
2
2
2
Hadits
1
1
2
2
2
2
2
2
3
Aqidah
1
1
1
1
1
1
2
2
4
Akhlak
2
2
2
2
2
2
2
2
5
Fiqih
4
4
4
4
4
4
4
4
6
Tarikh Islam
1
1
1
1
2
2
2
2
4
4
4
4
4
4
4
4
-
-
-
-
-
-
-
-
18
18
18
18
18
18
18
18
Bahasa 7
Bahasa Arab
Muatan Lokal 8
Muatan Lokal: a. Arab Pegon; b. Imla’; c. dll. Jumlah
Ketentuan alokasi waktu untuk setiap jam pelajaran dari mata pelajaran tersebut adalah:
42
1. MDTA Kelas I adalah 30 menit; 2. MDTA Kelas II s.d. IV MDTA adalah 40 menit; 3. MDTW Kelas I s.d. II MDTW adalah 45 menit; 4. MDTU Kelas I s.d. II MDTU adalah 45 menit Adapun program pengembangan diri dan pembiasaan akhlakul karimah diberikan melalui kegiatan-kegiatan yang mengakomodasi minat, bakat dan potensi santri serta penciptaan lingkungan religius di Madrasah Diniyah Takmiliyah. Program ini dijalankan dengan menyesuaikan kondisi lingkungan Madrasah Diniyah Takmiliyah di luar pembelajaran kelas. Program pembiasaan akhlak karimah dilaksanakan melalui pengkondisian lingkungan baik fisik maupun nonfisik sehingga memungkinkan terbentuknya prilaku akhlak karimah, baik dalam bentuk kegiatan terprogram yang terjadwal maupun sepontan.32 D. Potret Generasi Islami dan Berkualitas Dalam upaya menghasilkan generasi penerus yang tangguh dan berkualitas, diperlukan adanya usaha yang konsisten dan kontinu dari orang tua di dalam melaksanakan tugas memelihara, mengasuh dan mendidik anak-anak mereka baik lahir maupun batin sampai anak tersebut dewasa dan/atau mampu berdiri sendiri, di mana tugas ini merupakan kewajiban orang tua. Begitu pula halnya terhadap pasangan suami istri
32
Dokumen: TU MDA Salafiyah Moga
43
yang berakhir dengan perceraian, ayah dan ibu tetap berkewajiban untuk memelihara, mengasuh dan mendidik anak-anaknya.33 Anak merupakan investasi unggul untuk melanjutkan kelestarian peradaban sebagai penerus bangsa, maka haruslah diperhatikan pendidikan dan hak-haknya. Orang tua memiliki tugas yang amat penting dalam menjaga dan memperhatikan hak-hak anak. Menurut Islam bahwa makhluk yang paling dicintai Allah adalah anak-anak, sebagaimana ditegaskan oleh Rasulullah, bahwa sesungguhnya Allah tidak murka lantaran sesuatu sebagaimana Dia murka lantaran (penindasan atas) para wanita dan anak-anak. Agar
masyarakat
memperhatikan
urusan
anak-anak,
Islam
menyatakan bahwa usaha orang tua dan para pendidik dalam membina dan mendidik anak serta memenuhi kebutuhan mereka adalah sama dengan ibadah dan berjuang di jalan Allah. Rasulullah bersabda bahwa satu hari bagi seorang pemimpin yang (bersikap) adil jauh lebih baik daripada ibadah selama tujuh puluh tahun. kemudian beliau bersabda bahwa setiap orang adalah pemimpin dan setiap pemimpin bertanggung jawab terhadap orang yang dipimpin(nya). Tidaklah sama seorang yang berusaha untuk memperbaiki dirinya dan orang lain, dengan seorang yang hanya sibuk memperbaiki dirinya sendiri. Dan tidaklah sama seorang yang bersabar atas gangguan (orang lain) dengan seorang yang hanya berusaha untuk hidup senang dan bebas dari gangguan. Bertahan dan tabah dalam 33
Mahmud, Heri Gunawan, Yuyun Yulianingsih, Pendidikan Agama Islam dalam Keluarga (Jakarta: Akademia Permata, 2013), hlm. 132.
44
menghadapi kesulitan kehidupan rumah tangga dan anak merupakan jihad di jalan Allah.34 Dari sini dapat dilihat bahwa betapa pentingnya pendidikan bagi anak-anak, dan jelas pula bahwa anak-anak harus mendapatkan pendidikan yang layak. Apabila generasi penerus suatu bangsa bagus, masa depan bangsa pun akan bagus pula. Begitu juga sebaliknya, apabila generasi atau penerus bangsa rusak, suram juga masa depan bangsa tersebut.35 Dengan demikian, pendidikan terhadap anak dipandang sebagai salah satu aspek yang memiliki peranan pokok sebagai pembentukan manusia menjadi insan yang sempurna (insan kamil) atau memiliki kepribadian yang utama. Berdasarkan asumsi tersebut, diperlukan pendidikan anak yang dapat membantu menyelesaikan problem yang dihadapi masyarakat muslim saat ini. semakin gencarnya pengaruh modernisme,
yang
menuntut
lembaga
pendidikan
formal
untuk
memberikan ilmu pengetahuan umum dan keterampilan sebanyakbanyaknya kepada anak yang menyebabkan terdesaknya mereka (khusus umat Islam) untuk memperoleh bekal keagamaan yang cukup memadai. Oleh karena itu, seyogianya pendidikan menyentuh seluruh aspek yang bersinggungan langsung dengan kebutuhan perkembangan individu
34
Mansur, Pendidikan Anak Usia Dini dalam Islam, Cet. Ke-3 (Yogyakarta: Pelajar Pustaka, 2009), hlm. 161-162. 35 Dindin Jamaluddin, Paradigma Pendidikan Anak dalam Islam (Bandung: Cv Pustaka Setia, 2013), hlm. 40.
45
anak-anak, baik dari ilmu agama maupun ilmu umum agar mereka dapat hidup dan berkembang sesuai dengan ajaran agama Islam yang kaffah.36 Untuk menciptakan generasi Islami dan berkualitas, maka ada beberapa tanggung jawab yang diemban oleh para pendidik, diantaranya yaitu: 1. Tanggung Jawab Pendidikan Iman Pendidikan iman bagi anak merupakan hal yang sangat mendasar dan sangat utama. Pendidikan iman yang dimaksud adalah memberikan pemahaman kepada anak dengan dasar-dasar keimanan, rukun Islam dan dasar-dasar syariat sejak anak mulai mengerti dan memahami sesuatu. Pendidikan iman ini sebagai fondasi yang harus segera ditanamkan kepada anak. Jika dikatakan fondasi maka sebelum pendidikan yang lain mesti pendidikan iman terlebih dahuludikatakan dalam sebuah bait syair “Awalu wajibin ‘ala insani, ma’rifatul ilaahi bistiqaani” maksudnya bahwa kewajiban yang mesti dilakukan oleh setiap orang adalah mengetahui (mengimani) Allah dengan disertai argumentasi-argumentasinya (dalil-dalilnya).37 Yang dimaksud dengan dasar-dasar keimanan ialah, segala sesuatu yang ditetapkan melalui pemberitaan secara benar, berupa hakikat keimanan dan masalah gaib, semisal beriman kepada Allah Swt., beriman kepada para malaikat, beriman kepada kitab-kitab samawi, beriman kepada semua rasul, beriman bahwa manusia akan 36 37
Ibid., hlm. 40. Mahmud, Heri Gunawan, Yuyun Yulianingsih, Op. cit., hlm. 179.
46
ditanya oleh dua malaikat, beriman kepada siksa kubur, hari kebangkitan, hisab, surga, neraka, dan seluruh perkara gaib lainnya.38 Sejalan dengan firman Allah Swt., sebagai berikut:
Artinya: Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar". (QS. Luqman: 13).
Ayat tersebut menjelaskan bahwa akidah harus ditanamkan kepada anak yang merupakan dasar pedoman hidup seorang muslim. Karena al-Qur’an telah menjelaskan bahwa tauhid yang diperintahkan Allah kepada kita agar dipegang secara erat. Dengan demikian pendidikan agama dalam keluarga menurut Islam hendaknya dikembalikan kepada pola pendidikan yang dilaksanakan Luqman dan anaknya.39
38
Abdullah Nashih Ulwan, Pendidikan Anak dalam Islam (Jakarta: Pustaka Amani, 2007), hlm. 165. 39 Mansur, Op. cit., hlm. 326.
47
2. Tanggung Jawab Pendidikan Akhlak Pendidikan akhlak adalah pendidikan yang mengenai dasardasar akhlak (moral) dan keutamaan perangai, perilaku, dan sikap yang harus dimiliki dan dijadikan kebiasaan oleh anak hingga ia menjadi seorang yang dewasa sebagai bekal dalam mengurangi kehidupannya. Hal ini agar kelak ia dapat tumbuh menjadi manusia yang memiliki akhlak yang luhur dan berguna untuk masyarakatnya. Untuk itu, pendidikan akhlak pada anak harus mulai dibiasakan sejak usianya masih kecil sampai ia tumbuh dewasa.40 Sebaliknya, jika mayoritas karakter masyarakat negatif, karakter negatif dan lemah mengakibatkan peradaban yang dibangun pun menjadi lemah, sebab peradaban tersebut dibangun dalam fondasi yang lemah.41 Termasuk persoalan yang tidak diragukan lagi, bahwa moral, sikap, dan tabiat merupakan salah satu buah iman yang kuat dan pertumbuhan sikap keberagamaan seseorang yang benar.42 3. Tanggung Jawab Pendidikan Fisik Diantara tanggung jawab lain yang dipikulkan Islam di atas pundak para pendidik, termasuk ayah, ibu dan para pengajar, adalah tanggung jawab pendidikan fisik. Hal ini dimaksudkan agar anak-anak tumbuh dewasa dengan kondisi fisik yang kuat, sehat, bergairah, dan bersemangat.43
40
Mahmud, Heri Gunawan, Yuyun Yulianingsih, Op. cit., hlm. 188. Dindin Jamaluddin, Op. cit., hlm. 93. 42 Abdullah Nashih Ulwan, Op. cit., hlm. 193. 43 Ibid., hlm. 245. 41
48
4. Tanggung Jawab Pendidikan Psikis Bukan hanya pendidikan fisik atau jasmani yang mesti mendapatkan perhatian para pendidik dan para orang tua, tetapi pendidikan psikis juga harus menjadi perhatian. Pendidikan psikis menjadi hal yang sangat penting, karena tujuan utama dari pendidikan ini adalah pembinaan mental dan kepribadian anak, sehingga jika anak sudah menginjak usia dewasa ia dapat mengoptimalkan peranannya sebagai makhluk Allah, terutama dalam kerangka ta’abud ila Allah dan mengelola bumi ini dengan sebaik-baiknya (khalifah Allah fi alArdh).44 5. Tanggung Jawab Pendidikan Rasio (Akal) Pendidikan rasio adalah, membentuk (pola) pikir anak dengan segala
sesuatu
yang
bermanfaat,
seperti;
ilmu-ilmu
agama,
kebudayaan dan peradaban. Dengan demikian, pikiran anak menjadi matang, bermuatan ilmu, kebudayaan, dan sebagainya.45 6. Tanggung Jawab Pendidikan Sosial Pendidikan sosial ini menjadi tanggung jawab yang sangat penting bagi para pendidik dan orang tua dalam mempersiapkan anak. Pendidikan sosial ini merupakan manifestasi dari pendidikan sebelumnya, yakni pendidikan keimanan, pendidikan akhlak, dan pendidikan psikis. Sebab pendidikan sosial ini adalah manifestasi perilaku dan watak untuk menjalankan hak-hak, tata krama, kritik 44 45
Mahmud, Heri Gunawan, Yuyun Yulianingsih, Op. cit., hlm. 201. Abdullah Nashih Ulwan, Op. cit., hlm. 301.
49
sosial, keseimbangan intelektual, politik, dan pergaulan yang baik bersama orang lain.46 7. Tanggung Jawab Pendidikan Seksual Mengingat rasa ingin tahu remaja yang begitu besar, pendidikan seksualitas yang diberikan harus sesuai kebutuhan remaja, serta tidak menyimpang dari prinsip pendidikan seksualitas itu sendiri. Maka pendidikan seksualitas harus mempertimbangkan penghormatan hak reproduksi dan hak seksual remaja untuk mempunyai pilihan, kesetaraan jender, serta partisipasi remaja secara penuh dalam proses perencanaan, pelaksanaa, dan evaluasi pendidikan seksualitas. Pendidikan reproduksi dan seksualitas sebaiknya bukan cuma dilakukan secara formal, tetapi juag nonformal melalui media-media yang jauh dari kesan pornografi dan pornoaksi. Dengan demikian, kita akan mampu menciptakan generasi masa depan yang sehat dan memiliki pedoman moral yang kuat.47
46 47
18-19.
Mahmud, Heri Gunawan, Yuyun Yulianingsih, Op. cit., hlm. 201-202. M. T. Indiarti, Kalender Seksual Anda, (Yokyakarta: Elmatera Publishing, 2007), hlm.