BAB II KEGIATAN KEAGAMAAN DAN PEMBENTUKAN AKHLAK A. KEGIATAN KEAGAMAAN 1. Pengertian Kegiatan Keagamaan Kegiatan keagamaan berasal dari dua kata dasar yaitu giat dan agama. Giat berarti rajin, bergairah dan bersemangat tentang perbuatan atau usaha.1 Agama berarti sistem, prinsip kepercayaan kepada Tuhan (Dewa dan sebagainya) dengan ajaran kebaktian dan kewajibankewajiban yang bertalian dengan kepercayaan itu.2 Agama adalah landasan dari terbentuknya suatu komunitas kognitif. Artinya, agama merupakan awal terbentuknya suatu komunitas atau kesatuan hidup yang diikat oleh keyakinan akan kebenaran hakiki yang sama, yang memungkinkan berlakunya suatu patokan pengetahuan yang sama pula. Hanya dalam komunitas kognitif Islam bahwa Tuhan mutlak satu merupakan pengetahuan yang mutlak benar3 Maksud dari kegiatan keagamaan adalah segala bentuk aktivitas yang ada hubungannya dengan agama, baik berupa kepercayaan maupun nilai-nilai yang menjadi rutinitas dalam kehidupan dan menjadi pedoman dalam menjalani hubungan kepada Allah Swt dan lingkungan sekitarnya. Misalnya: pengajian, tahlilan, istighosah, diba’iyah, TPQ dan aktivitas 1
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), hlm. 10. 2 Ibid, hlm. 317. 3 Syamsul Arifin, Studi Agama Perspektif Sosiologi dan Isu-isu Kontemporer (Malang: UMM Press, 2009), hlm. 43.
22
23
lainnya yang mampu memberi pengetahuan lebih guna mendekatkan diri kepada Allah Swt. 2. Materi dalam Kegiatan Keagamaan Pada garis besarnya kegiatan keagamaan dalam Islam terdiri atas akidah, syari’ah dan akhlak. a. Akidah Secara etimologis (bahasa), aqidah berakar dari kata „aqadaya‟du-„aqdan-„aqidatan. „Aqdan berarti simpul, ikatan, perjanjian dan kokoh. Setelah terbentuk menjadi „aqidah adalah keyakinan itu tersimpul dengan kokoh di dalam hati, bersifat mengikat dan mengandung perjanjian. Secara terminologis (istilah), terdapat beberapa definisi antara lain: 1) Menurut Hasan al-Banna bahwa aqa‟id (bentuk jamak dari aqidah)
adalag
beberapa
perkara
yang
wajib
diyakini
kebenarannya oleh hatimu, mendatangkan ketentraman jiwa, menjadi keyakinan yang tidak bercampur sedikit pun dengan keragu-raguan. 2) Menurut Abu Bakar Jabir al-Jazairy bahwa aqidah adalah sejumlah kebenaran yang dapat diterima secara umum oleh manusia berdasarkan akal, wahyu dan fitrah. Kebenaran itu dipatrikan oleh manusia di dalam hati serta diyakini kesahihan
24
dan keberadaannya (secara pasti) dan ditolak segala sesuatu yang bertentangan dengan kebenaran itu.4 b. Syariah Syariah berasal dari kata syar’i, secara harfiah berarti jalan yang harus dilalui oleh setiap muslim. Menurut ajaran Islam, syariah ditetapkan Allah menjadi patokan hidup setiap muslim sebagai jalan hidup, ia merupakan the way of life umat Islam. Menurut Mohammad Idris as Syafi’i bahwa syariat adalah peraturan-peraturan lahir yang bersumber dari wahyu dan kesimpulan-kesimpulan yang berasal dari wahyu itu mengenai tinggkah laku manusia.5 c. Akhlak Al-Jurjanji mendefinisikan akhlak dalam bukunya at-Ta‟rifat bahwa akhlak adalah istilah bagi sesuatu sifat yang tertanam kuat bagi diri, yang darinya terlahir perbuatan-perbuatan dengan mudah dan ringan, tanpa perlu berfikir dan merenung. Jika dari sifat tersebut terlahir perbuatan-perbuatan yang indah menurut akal dan syariat dengan mudah, maka sifat tersebut dinamakan dengan akhlak yang baik. Sedangkan jika darinya terlahir perbuatan-perbuatan buruk, maka sifat tersebut dinamakan akhlak yang buruk.6
4
Yunahar Ilyas, Kuliah Aqidah Islam (Yogyakarta: LPPI, 2010), hlm. 1-2. Mohammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), hlm. 235. 6 Ali Abdul Halim Mahmud, Akhlak Mulia (Jakarta: Gema Insani Pres, 2004), hlm. 32. 5
25
3. Macam-macam Kegiatan Keagamaan Kegiatan keagamaan sangatlah banyak dan beragam antara lain terdapat rebana (simtuddurar), dakwah (tausiyah), pembacaan surat alwaqi’ah dan tahlil. a. Rebana (Simtuddurar) Di Indonesia banyak ragam musik Islami baik dilihat dari bentuk maupun isinya. Musik yang Islami adalah musik yang bertemakan keislaman dalam lirik dan syairnya mengandung ajaranajaran Islam, nasehat atau ajakan untuk bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, mengikuti perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Menurut bahasa Arab musik rebana/ musik sholawatan/ simtuddurar berasal dari kata asholawat yang merupakan bentuk jamak dari kata asholat yang berarti do’a atau sembahyang. Sholawat adalah satu ungkapan yang penuh dengan nuansa-nuansa sastra yang berisi pujian-pujian terhadap nabi Muhammad SAW. Sholawatan merupakan seni rakyat yang diwariskan secara turun-temurun. Sholawatan yang sering disebut dengan seni terbangan dianggap sudah ada sejak zaman nabi Muhammad Saw. Sholawatan terdiri dari suara vokal dan instrumental, yang unsur utamanya adalah vokal yang berupa sanjungan kepada nabi Muhammad Saw dan dzikir atau doa-doa. Karena musik sholawatan bersumber pada riwayat hidup nabi Muhammad, maka inti sarinya
26
adalah membaca riwayat hidup nabi Muhammad dalam bentuk nyanyian dengan iringan musik instrumental yang lebih banyak berupa alat musik ritmis.7 Dalam aktivitas shalawatan terdapat pembelajaran akhlak yang dapat dirumuskan sebagai berikut: 1) Menanamkan rasa cinta kepada nabi Muhammad Saw Rasa cinta kepada Rasulullah ini dibangun disetiap kesempatan, anjuran-anjuran untuk membaca shalawat selalu disampaikan, bahkan sampai dalam kegiatan-kegiatan yang dipandang sebagai kegiatan dunia harus dihiasi dengan bacaan shalawat, seperti dalam kegiatan berdagang, mengasuh anak, dan lain sebagainya. Selain itu, shalawat juga dibaca dalam ritual-ritual keagamaan. 2) Menggelorakan kemauan berkorban untuk yang dicintai. Rasa cinta yaang tertanam mendalam akan selalu memunculkan kemauan untuk berkorban bagi yang dicintai. Cinta yang telah tertanam kepada nabi Muhammad Saw menyebabkan rasa ketidakraguan untuk mengorbankan sesuatu yang mereka miliki untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan mengenang nabi Muhammad Saw seperti berzanji, diba‟i, nadzam burdah. 3) Meneladani nabi Muhammad Saw 7
Syahrul Syah Sinaga, "Akulturasi Kesenian Rebana" (Semarang: Staf Pengajar Jurusan Sendratasik FBS UNNES, N0. 3, September-Desember, II, 2001), hlm. 74-75.
27
Setelah mencintai dan kemauan berkorban maka taraf selanjutnya adalah mau meneladani dan mengikuti tingkah laku yang disanjung dan dicintai.8 b. Dakwah (Tausiyah) Secara etimologis, dakwah berasal dari bahasa Arab, yaitu da‟a, yad‟u, da‟wan, du‟a, yang diartikan sebagai mengajak/ menyeru, memanggil, seruan, permohonan, dan permintaan. Istilah ini sering diartikan sama dengan istilah-istilah tabligh, amr ma’ruf dan nahi mungkar, mauidzhoh hasanah, tabsyir, indzhar, washiyah, tarbiyah, ta’lim, dan khotbah. 9 Secara terminologi para ulama memberikan definisi yang bervariasi, antara lain: 1) Ali
Makhfudh
dalam
kitabnya
"Hidayatul
Mursyidin"
mengemukakan bahwa dakwah adalah mendorong manusia untuk berbuat kebajikan dan mengikuti petunjuk agama, menyeru mereka pada kebaikan dan mencegah mereka dari perbuatan mungkar agar memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. 2) Muhammad Khidr Husain dalam bukunya "al-Dakwah ila al ishlah" mengatakan bahwa dakwah adalah upaya untuk memotivasi orang agar berbuat baik dan mengikuti jalan 8
Kholid Mawardi, "Shalawatan: Pembelajaran Akhlak Kalangan Tradisionalis" (Purwokerto: Forum Tarbiyah: Jurnal Pemikiran Alternatif Kependidikan STAIN Purwokerto, No. 3, September-Desember, XIII, 2009), hlm. 7-8. 9 Muhammad Munir dan Wahyu Ilaihi, Manajemen Dakwah (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), hlm. 17.
28
petunjuk, dan melakukan amar ma’ruf nahi mungkar dengan tujuan mendapatkan kesuksesan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa esensi dakwah merupakan aktivitas dan upaya untuk mengubah manusia, baik individu maupun masyarakat dari situasi yang tidak baik kepada situasi yang lebih baik.10 Dalam kegiatan dakwah terdapat komponen-komponen (unsurunsur), antara lain: 1) Da’i (pelaku dakwah) Da’i adalah orang yang melaksanakan dakwah baik lisan, tulisan, maupun perbuatan yang dilakukan baik secara individu, kelompok, atau lewat organisasi/lembaga. 2) Mad’u (penerima dakwah) Mad’u yaitu manusia yang menjadi sasaran dakwah, atau manusia penerima dakwa, baik sebagai individu maupun sebagai kelompok. 3) Maddah (materi dakwah) Maddah dakwah adalah isi pesan atau materi yang disampaikan da’i kepada mad’u. Materi dakwah diklasifikasikan menjadi empat masalah pokok yaitu akidah, syariah, mu’amalah dan akhlak.
10
Ibid, hlm. 18-21.
29
4) Wasilah (media dakwah) Wasilah dakwah adalah alat yang digunakan untuk menyampaikan materi dakwah (ajaran Islam) kepada ma’du. 5) Thariqah (metode dakwah) Suatu cara yang bisa ditempuh atau cara yang ditentukan secara jelas untuk mencapai dan menyelesaikan suatu tujuan, rencana, sistem, tata pikir manusia. 6) Atsar (efek dakwah) Jika dakwah telah dilakukan oleh sorang da’i dengan materi dakwah, wasilah dan thariqah tertentu, maka akan timbul respon dan efek pada mad’u (penerima dakwah).11 c. Pembacaan surat al-waqi’ah Pembacaan dapat diartikan proses, cara, perbuatan membaca, sebelum acara dimulai lebih dahulu dilakukan.12 Surat al-waqiah adalah surat yang diturunkan setelah surat Thaa Haa, terdiri dari 96 ayat dan termasuk surat makkiyah. Arti dari Al-Waqiah yaitu suatu peristiwa yang terjadi, itu adalah nama dari hari kiamat sendiri yang menerangkan tentang keadaan hari kiamat, berita orang dulu-dulu dan juga berita orang-orang yang akan datang serta berita tentang penduduk neraka dan mengetahui keadaan ahli dunia dan ahli
11 12
Ibid, hlm. 21-34. Departemen Pendidikan Nasional, op.cit, hlm. 110.
30
akhirat.13
Dalam
surat
al-waqi’ah
memiliki
manfaat
bagi
pembacanya, antara lain: 1) Untuk memudahkan datangnya rezeki. 2) Supaya menjadi orang yang kaya raya. 3) Supata mendapatkan reeki yang tidak disangka-sangka. 4) Dapat meringankan siksa mayat. 5) Dapat meringankan sakit seseorang. 6) supaya memperlancar dalam proses melahirkan.14 Selain manfaat diatas, dalam surat Al-Waqi’ah ayat ke 13 dan 14.
َثُلَتٌ ِهيَ ْاْلَ َّّلِ ْيي َّقَلِي ٌل ِهيَ ْاْلَ ِخ ِسيي Artinya:
13. segolongan besar orang-orang purbakala 14. Dan sejumput kecil orang-orang yang kemudian
Didalam kedua ayat ini dijelaskan bahwasanya di zaman dahulu banyaklah orang-orang yang berlomba, berkejar-kejaran kepada jalan yang baik, dahulu mendahului, oleh sebab itu zaman dahulu banyaklah jumlahnya orang yang mendapat tempat dekat dengan Tuhan. Adapun dihari kemudian, bertambah lama bertambah sedikit orang yang sudi berlomba menuju jalan yang baik, sebab itu bertambah sedikit pula orang yang dapat mendekati Tuhan. Tetapi
13 14
Hamka, Tafsir Al-Azhar juz XXVII (Jakarta: PT Pustaka Panjimas, 2006), hlm. 220.
Ahmad Sunarto, Fadhilah dan Khasiat Surat Yasin, al-waqiah dan al-mulk (Surabaya: Mutiara Ilmu, 2009), hlm. 75-80.
31
ayat ini bukanlah berarti menyuruh orang berputus asa. Karena dalam mengerjakan kebajikan itu semua orang diberikan kesempatan oleh Tuhan. Mendengar ayat ini beberapa sahabat Rasulullah merasa hiba hati mendengar ayat itu, maka bersabdalah Nabi saw:
أًِِ َلَزْ وُْْ ا نَ ْى كَ ُوْ ًُْْ ا ُز ْع َ ن ُْ ِل ْال َنٌَّ ِتث ثُلُ َ نَ ُْ ِل ا ْل َنٌَّ ِت عَلْ نَ ًْتُ ْن ْ ف نَ ُْ ِل ْال َنٌَّ ِت اَّْ َش ُ ًِْص ْٔ ًِ ط َس نَ ُْ ِل ْال َنٌَّ ِت َّكُقَا ِس ُوْْ ًَُِ ُن الٌِّصْ فَ الثَّا Artinya: Besar harapanku moga-moga kalian ini menjadi seperempat dari ahli surga, sepertiga ahli surga, bahkan kamu separo dari ahli surga, dan yang separo lagi biarlah mereka bagibagikan. Hadis lain yang diriwayatkan oleh Al Imam Ahmad bahwa:
ٍَُهثَ ُل ن ُ َّهتِ ْٔ َهثَ ُل ْال َوطَ ِس ْلَيُ ْد َزٓ اَ َّّلَُُ َخ ْي ٌس اَ ْم نَ ِخ ُس Artinya: Perumpamaan umatku adalah laksana hujan, tidak diketahui permulaannyakah yang baik atau yang kemudian. Hadis ini dapatlah diartikan bahwa agama ini memerlukan kepada suatu umat pertama yang menyampaikan kepada umat yang datang kemudian yang berdiri menegakkannya sampai kepada akhirnya, untuk menyerukan kepada manusia agar tetap berpegang kepada sunnah Nabi dan menetapkannya. Meskipun kita ketahui bahwa keutamaan tetap dipegang oleh yang datang lebih dahulu.15
ب لَ ْف ٍظ َه َ ُك ِّل ٍ نَ َّى فِٔ َُ ِر ٍِ ْاْلُ َّه ِت َس ْب ِع ْييَ نَ ْلفًا يَ ْد ُخلُْْ ىَ ْال َنٌَّتَ ِع َغي ِْس ِح َسا ف َس ْبعُْىَ نَ ْلفًا َّفِٔ نَ َخ َس َه َ ُك ِّل َّا ِح ٍد َس ْبعُْْ ىَ نَلفًا ٍ ْنل
15
Hamka, op.cit, hlm. 257-259.
32
Artinya: Bersama dengan tiap-tiap 1000 orang yang akan dimasukkan ke dalam surga 70.000. dan di dalam riwayat yang lain; pada tiap-tiap seorang akan dimasukkan ke surga 70.000 orang. Demikianlah pengharapan yang ditimbulkan Tuhan di dalam dada tiap-tiap orang yang beriman. Dan dapatlah kita memahamkan sabda Nabi yang lain, bahwasanya masuk ke dalam surga itu sekalikali bukanlah semata-mata karena ganjaran yang dipastikan oleh Tuhan, sekian amal dan sekian pahala. Melainkan semata-mata karunia belaka. Sebab betapa pun banyak amal yang kita kerjakan tidaklah sepadan banyaknya amal itu dengan karunia yang diberikan Tuhan. Cobalah fikirkan, misalnya kita berusia sampai 80 tahun, sedang kita disuruh sembahyang yang wajib hanya lima kali dalam sehari semalam, dan puasa yang wajib hanya bulan Ramadhan, dan haji yang wajib hanya sekali seumur hidup, itu pun kalau ada kesanggupan, membayar zakat tidak wajib kalau harta tidak sampai satu nishab. Asal itu saja sudah dikerjakan meburut kemampuan dan kesanggupan, telah dijanjikan Tuhan akan masuk ke dalam surga dan kekal selama-lamanya di dalamnya.16 d. Tahlilan Tahlilan berasal dari bahasa Arab yaitu halala yuhallilu (membaca kalimat laa ilaha illa Allah). Dari kata halala inilah akhirnya dicetuskan istilah tahlilan. Dalam acara tahlilan setiap daerah memiliki urut-urutan bacaan tahlil yang berbeda, akan tetapi
16
Ibid, hlm. 260-261
33
intinya sama yaitu membaca dzikir laa ilaha illa Allah yang dibaca secara berulang-ulang, ada yang 11, 33, 41, 100 dan 1000 kali. Acara tahlilan sendiri sudah menjadi common sense yang bisa digunakan dalam segala acara keagamaan dan bisa dijadikan sebagai media untuk mengantarkan doa secara bersama-sama, baik dalam keadaan senang maupun keadaan duka. Seperti kematian, lulus wisuda, pernikahan, sunatan, rumah baru, mtor atau mobil baru, dan lain sebagainya. Kegiatan tahlilan seperti ini memiliki efek sosial dan spiritual. Jika dipandang dari segi sosial kegiatan keagamaan ini bermanfaat sebagai media silaturahmi, kontrol sosial dan pendidikan nonformal. Jika dilihat dari segi spiritual melalui pembacaan ayat-ayat al-Qur’an dan tahlil bisa menentramkan hati dan menghibur anggota keluarga. Hal ini karena kiai senantiasa menasehati bahwa al-Qur’an sebagai mukjizat Nabi bisa mengobati hati yang gelisah, sakit, kecewa, takut dan khawatir.17 Hal ini sejalan dengan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud yang mengemukakan "siapa yang akhir ucapannya La Ilaha illa Allah, dia akan masuk ke surga." Penyebutan kata La Ilaha illa Allah disi merupakan singkatan dari ajaran Islam, atau istilah yang mengandung juga pengakuan kebenaran Nabi Muhammad Saw. Disamping itu, jangan duga 17
Kholilurrohman, "Ritual Tahlilan sebagai Media Dakwah" (Purwokerto: Forum Dakwah: Jurnal Dakwah dan Komunikasi STAIN Purwokerto, N0. 1, Januari-Juni, IV, 2010), hlm. 2-5.
34
seseorang akan mampu menjadikan ucapan itu akhir kalimatnya, seandainya dalam kehidupan di dunia dia tidak sering mengucapkan dan mengamalkan kandungannya. Karena biasanya kematian menemui seseorang sebagaimana kebiasaannya sehari-hari.18
B. PEMBENTUKAN AKHLAK 1. Pengertian Akhlak Pengertian secara etimologis akhlaq (Bahasa Arab) adalah bentuk jamak dari khuluq yang berati budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat. Berakar dari kata khalaqa yang berati menciptakan. Seakar dari kata Khaliq (Pencipta), makhluq (yang diciptakan) dan khalq (penciptaan). Kesamaan akar kata diatas mengisyaratkan bahwa dalam akhlak tercakup pengertian terciptanya keterpaduan antara kehendak Khaliq (Tuhan) dengan perilaku makhluq (manusia). Atau dengan kata lain, tata perilaku seseorang terhadap orang lain dan lingkungannya baru mengandung nilai akhlak yang hakiki manakala tindakan atau perilaku tersebut didasarkan kepada kehendak Khaliq (Tuhan).
Pengertian
etimologis seperti ini, akhlak bukan saja merupakan tata aturan atau norma yang mengatur hubungan antar sesama manusia, tetapi juga norma
18
M. Quraish Shihab, Hidangan Ilahi dalam Ayat-ayat Tahlil (Jakarta: Lentera Hati, 2008), hlm. 268-269.
35
yang mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan dan bahkan dengan alam semesta sekalipun.19 Dilihat dari sudut istilah (terminologi), para ahli berbeda pendapat, namun intinya sama yaitu tentang perilaku manusia. Pendapat-pendapat tersebut dihimpun sebagai berikut: a. Imam Al-Ghazali mengemukakan bahwa akhlak ialah suatu sifat yang tertanam dalam jiwa yang daripadanya timbul perbuatanperbuatan dengan mudah, dengan tidak memerlukan pertimbangan pikiran (lebih dahulu).20 b. Muhyiddin Ibnu Arabi mengemukakan bahwa akhlak ialah keadaan jiwa seseorang yang mendorong manusia untuk berbuat tanpa melalui pertimbangan dan pilihan terlebih dahulu. keadaan tersebut pada seseorang boleh jadi merupakan tabiat atau bawaan, dan boleh jadi juga merupakan kebiasaan melalui latihan atau perjuangan.21 c. Hamzah Ya’qub mengemukakan pengertian akhlak sebagai berikut: 1) Akhlak adalah ilmu yang menentukan batas antara baik dan buruk, antara terpuji dan tercela, tentang perkataan atau perbuatan manusia lahir dan batin. 2) Akhlak adalah ilmu pengetahuan yang memberikan pengertian tentang baik dan buruk, ilmu yang mengajarkan pergaulan
19
Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlaq (Yogyakarta: Lembaga Pengkajian dan Pengalaman Islam, 2004), hlm. 1. 20 A. Mustofa, Akhlak Tasawuf (Bandung: CV Pustaka Setia, 2014), hlm. 12. 21 Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hlm.14.
36
manusia dan menyatakan tujuan mereka yang terakhir dari seluruh usaha dan pekerjaan mereka.22 Dari pendapat-pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa akhlak merupakan sifat yang tertanam dalam jiwa manusia yang dapat melahirkan perbuatan-perbuatan baik atau buruk secara spontan tanpa memerlukan pikiran dan dorongan dari luar.23 2. Sumber-sumber Akhlak Persoalan "Akhlak" di dalam Islam banyak dibicarakan dan dimuat pada Al-Qur’an dan Al-Hadits. Sumber tersebut merupakan batasanbatasan dalam tindakan sehari-hari bagi manusia. ada yang menjelaskan arti baik dan buruk. Memberi informasi kepada umat, apa yang semestinya harus diperbuat dan bagaimana harus bertindak. Sehingga dengan mudah dapat diketahui, apakah perbuatan itu terpuji atau tercela, benar atau salah. Akhlak Islam, karena merupakan sistem akhlak yang berdasarkan kepercayaan kepada Tuhan, maka tentunya sesuai pula dengan dasar daripada agama itu sendiri. Dengan demikian, dasar/sumber pokok daripada akhlak Islam adalah Al-Qur’an dan Al-Hadits yang merupakan sumber utama dari agama Islam itu sendiri.24 a. Al-Qur’an
ك لَ َعلَ ٰى ُخل ُ ٍق َعظِ ٍيم َ َوإِ َّن 22
M. Yatimin Abdullah, Studi Akhlak dalam Perspektif Al-Qur‟an dan Al-hadist (Jakarta: Amzah, 2007), hlm. 3. 23 Ulil Amri Syafri, Pendidikan Karakter Berbasis Al-Qur‟an (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012), hlm. 73. 24 A. Mustofa, op.cit, hlm. 149.
37
Artinya: “Sesungguhnya engkau (Muhammad) adalah orang yang berakhlak sangat mulia.” (QS. Al-Qalam: 4) Pujian Allah ini bersifat individual dan khusus hanya diberikan kepada nabi Muhammad karena kemuliaan akhlaknya. Banyak nabi dan rasul yang yang disebut-sebut dalam Al-Qur’an, tetapi hanya nabi Muhammad saw yang mendapat pujian sedahsyat itu. Dengan lebih tegas, Allah pun memberikan penjelasan secara transparan bahwa akhlak Rasulullah sangat layak untuk dijadikan standar modal bagi umatnya, sehingga layak untuk diijadikan idola yang diteladani sebagai Uswah hasanah.25 Tingkah laku Nabi Muhammad merupakan contoh suri teladan bagi umat manusia semua. Ini ditegaskan dalam firman Allah yang berbunyi:
َّللا َو ْال َي ْو َم ِ َّ ُول َ َّللا أُسْ َوةٌ َح َس َن ٌة ِل َمنْ َك َ لَ َق ْد َك ِ ان لَ ُك ْم فِي َرس َ َّ ان َيرْ جُو َّللا َك ِثيرً ا َ َّ ْاْلخ َِر َو َذ َك َر Artinya: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharapkan rahmat Allah dan kedatangan hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al-Ahzab:21)26 b. Al-Hadits Dalam ayat al-Qur’an telah diberikan penegasan bahwa Rasulullah merupakancontoh yang layak ditiru dalam segala sisi
25
Nur Hidayat, Akhlak Tasawuf (Yogyakarta: Ombak, 2013), hlm.24-25. M. Yatimin Abdullah, op.cit, hlm. 4.
26
38
kehidupannya, karena Rasulullah diutus sebagai rahmatan lil ‘alamin. Hal ini didukukung pula dengan hadis yang berbunyi:
ُ إِ َّن َما ُبع ِْث ار َم االَ ْخ ََل ِق ِ ت ال ُ َت ِّم َم َم َك Artinya: “Sesungguhnya saya ini diutus hanyalah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR. Malik) Hadits tersebut menunjukkan, karena akhlak menempati posisi kunci dalam kehidupan umat manusia, maka subtansi misi Rasulullah itu sendiri adalah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia. Akhlak Rasulullah yang tercermin lewat semua tindakan, ketentuan atau pertkataannya senantiasa selaras dengan Al-Qur’an, dan benar-benar merupakan praktek riil dari kandungan Al-Qur’an. Semua perintah dilaksanakan, semua larangan dijauhi, dan semua isi Al-Qur’an didalaminya untuk dilaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini sejalan dengan hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah r.a.
آن َ ْكا َ َن ُخلُقُ ُه ْالقُر Artinya: “ akhlak Rasulullah itu adalah Al-Qur‟an.”27 3. Ruang Lingkup Akhlak Jika definisi tentang ilmu akhlak tersebut kita perhatikan dengan seksama, akan tampak bahwa ruang lingkup pembahasan ilmu akhlak adalah membahas tentang perbuatan-perbuatan manusia, kemudian menetapkannya apakah perbuatan yang buruk. Ilmu akhlak dapat pula
27
Nur Hidayat, op.cit, hlm. 25-26.
39
disebut sebagai ilmu yang berisi pembahasan dalam upaya mengenal tingkah laku manusia, kemudian memberi nilai atau hukum kepada perbuatan tersebut, yaitu apakah perbuatan tersebut tergolong baik atau buruk. Dengan mengemukakan beberapa literatur tentang akhlak tersebut menunjukan bahwa keberadaan ilmu akhlak sebagai disiplin ilmu agama sudah sejajar dengan ilmu-ilmu keislaman lainnya, seperti tafsir, tauhid, fiqih, sejarah Islam dan lain-lain.28 Muhammad Abdullah Draz dalam bukunya Dustur al-Akhlak fi alIslam, membagi ruang lingkup akhlak kepada lima bagian: a. Akhlak pribadi, terdiri dari: 1) Yang diperintahkan, 2) Yang dilarang, 3) Yang diperbolehkan dan 4) Akhlak dalam keadaan darurat. b. Akhlak berkeluarga, terdiri dari: 1) Kewajiban timbal balik orang tua dan anak, 2) Kewajiban suami istri, 3) Kewajiban terhadap kerabat. c. Akhlak Bermasyarakat, terdiri dari: 1) Yang dilarang, 2) Yang diperintahkan.
28
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011), hlm. 8.
40
d. Akhlak bernegara, terdiri dari: 1) Hubungan antara pemimpin dan rapat, 2) Hubungan luar negeri. e. Akhlak beragama, yaitu kewajiban terhadap Allah SWT.29 4. Macam-macam Akhlak Ada dua jenis akhlak dalam Islam, yaitu akhlakul Karimah (akhlak terpuji) ialah akhlak yang baik dan yang benar menurut syariat Islam, dan akhlaqul madzmumah (akhlak tercela) ialah akhlak yang tidak baik dan tidak benar menurut Islam. a. Akhlaqul Karimah (Akhlak Terpuji) Adapun jenis-jenis akhlaqul karimah itu adalah sebagai berikut: 1) Al-Amanah (sifat jujur dan dapat di percaya) Sesuatu yang dipercayakan kepada seseorang, baik harta, ilmu, rahasia atau lainnya yang wajib dipelihara dan disampaikan kepada yang berhak menerimanya. 2) Al-‘Afwu (sifat pemaaf) Apabila orang berbuat sesuatu terhadap diri seseorang yang karena khilaf atau salah, maka patutlah dipakai sifat lemah lembut
sebagai
rahmat
kesalahan dan kekhilafannya.
29
Yunahar Ilyas, op.cit, hlm. 5.
Allah
terhadapnya,
maafkanlah
41
3) Al-Khairu (kebaikan atau berbuat baik) Berbuat baik hendaklah dimulai dengan diri sendiri, tidak perlu disuruh berbuat baik terhadap sesama manusia, tetapi juga terhadap hewan. Sebab setiap kebaikan walaupun kecil sekali, namun Allah akan membalasnya kelak di akhirat.30 4) Al-Qona’ah Menurut K.H Ahmad Rifa’i qona’ah adalah hatinya tenang memilih rida Allah mengambil keduniawian sekedar hajat yang diperkirakan dapat menolong untuk taat memenuhi kewajiban (syariat) menjauhkan maksiat. 5) Al-Shabr Sabar secara istilah berati melaksanakan tiga perkara yang pertama menanggung kesulitan ibadah memenuhi kewajiban dengan penuh ketaatan, yang kedua menanggung kesulitan taubat yang benar menjauhi perbuatan maksiat zahir batin sebatas kemampuan, yang ketiga menanggung kesulitan hati ketika tertimpa musibah di dunia kosong dari keluhan yang tidak benar. 6) Al-Tawakkal Tawakal bukan berarti hanya pasrah kepada Allah tanpa melakukan ikhtiar dan meninggalkan usaha mencari rizki sekedarnya melainkan sebatas kemampuan tidak boleh tidak
30
M. Yatimin Abdullah, op.cit, hlm. 12-14.
42
harus berusaha memerangi hawa nafsu lainnya yang mengajak kepada kerakusan terhadap dunia. 7) Al-Syukr Syukur adalah mengetahui dan menghayati kenikmatan yang diberikan oleh Allah, oleh karena itu manusia wajib menghayati dan mensyukuri nikmat Allah karena Allah akan menambah nikmat-nikmat yang diberikan Allah. 8) Al-Ikhlas Ikhlas adalah membersihkan hati agar ia menuju kepada Allah semata dalam melaksanakan ibadah, hati tidak boleh menuju selain Allah.31 b. Akhlaqul Madzmumah (Akhlak Tercela) Adapun jenis-jenis akhlaqul madzmumah itu adalah sebagai berikut: 1) Syirik Syirik secara bahasa adalah menyamakan dua hal, sedangkan menurut istilah yaitu menjadikan sekutu selain Allah SWT dan memperlakukannya seperti Allah SWT, seperti berdoa dan meminta syafaat.
31
Nur Hidayat, op.cit, hlm. 123-130.
43
2) Kufur Kufur secara bahasa berarti menutupi, sedangkan menurut istilah yaitu orang yang tidak beriman kepada Allah dan RasulNya, baik dengan mendustakaan atau tidak mendustakan. 3) Nifak dan Fasik Nifak menurut syara’, artinya menampakkan Islam dan kebaikan, tetapi menyembunyikan kekufuran dan kejahatan. Nifak adalah menampakkan sesuatu yang bertentangan dengan apa yang terkandung di dalam hati. 4) Dengki Dalam bahasa Arab, dengki disebut hasad, yaitu perasaan yang timbul dalam diri seseorang setelah memandang sesuatu yang tidak dimiliki olehnya, tetapi dimiliki oleh orang lain, kemudian dia menyebarkan berita bahwa yang dimiliki orang tersebut diperoleh dengan tidak sewajarnya. 5) Gibah (mengupat) Menurut Ibnu Atsir menjelaskan bahwa gibah adalah membicarakan keburukan orang lain yang tidak pada tempatnya walaupun keburukan itu memang ada padanya. 6) Riya’
44
Riya’ adalah memperlihatkan diri kepada orang lain. Maksudnya beramal bukan karena Allah tetapi karena manusia.32 5. Metode Pembentukan Akhlak a. Metode pelaksanaan rukun Islam Hasil analisis Muhammad al-Ghazali terhadap rukun Islam yang lima telah menunjukkan dengan jelas, bahwa dalam rukun Islam yang lima itu terkandung konsep pembinaan akhlak. Rukun Islam yang pertama adalah mengucapkan dua kalimat syahadat, yaitu bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah. Kalimat ini mengandung pernyataan bahwa selama hidupnya manusia hanya tunduk kepada aturan dan tuntutan Allah. Orang yang tunduk dan patuh pada peraturan Allah dan Rasul-Nya sudah dapat dipastikan akan menjadi orang yang baik. Selanjutnya rukun Islam yang kedua adalah mengerjakan shalat lima waktu. shalat yang dikerjakan akan membawa pelakunya terhindar dari perbuatan yang keji dan mungkar. Dalam hadits qudsi dijelaskan pula sebagai berikut:
َ ض َ عِِا َ لِ َع َّ اًَِّوا َ اَكَقَبَّ َل ال َٔظ َوتِي َّلَ ْن يَ ْستَ ِطلْ َعل َ صالَةُ ِه َّو ْي كَ َْا ْ َِخ ْلقِٔ َّلَ ْن يَب صيَتِ ْي َّقَطَ َ الٌَِّا َ َزفِٔ ِذ ْك ِسْٓ َّ َز ِح َن ِ ص ًّسا َعلَٔ َه ْع ِ ت ُه )ب ( زّاٍ الب ّزز َ َ ْال ِو ْس ِو ْييَ َّا ْعيَ ال َّسبِ ْي َل َّ ْاْلَزْ ِهلَ ِت َّ َز ِح َن ْال ُوصا 32
Rosihon Anwar, op.cit, hlm. 122-137.
45
"Bahwasanya Aku menerima shalat hanya dari orang yang bertawadlu dengan shalatnya kepada keangungan-Ku yang tidak terus menerus berdosa, menghabiskan waktunya sepanjang hari untuk zikir kepada-Ku, kasih sayang kepada fakir miskin, ibn sabil, janda serta mengasihi orang yang mendapat musibah.” (HR alBazzar).33 Pada hadis tersebut shalat diharapkan dapat menghasilkan akhlak yang mulia, yaitu bersikap tawadlu, mengagungkan Allah, berdzikir, membantu fakir miskin, ibn sabil, janda dan orang yang mendapat musibah. Rukun Islam yang ketiga yaitu zakat, pendidikan akhlak yang dapat diambil yaitu agar orang yang melaksanakannya dapat membersihkan dirinya dari sifat kikir, mementingkan diri sendiri dan membersihkan hartanya dari hak orang lain. Islam juga mengajarkan ibadah puasa sebagai rukun Islam yang keempat, bukan hanya sekedar menahan diri dari makan dan minum dalam waktu yang terbatas, tetapi lebih dari itu merupakan latihan menahan diri dari keinginan melakukan perbuatan keji yang dilarang. Dalam hubungan ini Nabi mengingatkan:
ِّ ب َّاًَِّ َوا ال ِّ ْس ال َ لَي ِ َصيَا ُم ِهيَ اللَّ ْغ ِْ َّال َّسف ِ ْصيَا ُم ِهيَ ْاْلُ ُك ِل َّا ل ُّشس )صا ئِ ُن ( زّاٍ اعي حزيوت َ ك اَ َح ٌد اَّْ َوَِ َل َعلَ ْي َ َفَا ِ ْى َساع َ ًِِّٔك فَقُلْ ا "Bukankah puasa itu hanya menahan diri dari makan dan minum saja, tetapi bahwasanya puasa itu menahan diri dari perkataan-perkataan kotor dan omongan-omongan keji. Kalau ada seorang datang kepadamu memarahi dan mengatakan engkau
33
137-138
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), hlm.
46
bodoh (dan sebagainya), katakanlah `aku sedang berpuasa`.” (HR Ibn Khuzaimah).34 Selanjutnya rukun Islam yang kelima adalah ibadah haji. Dalam ibadah haji ini pun nilai pembinaan akhlaknya lebih besar dibandingkan dengan nilai pembinaan akhlak yang ada pada ibadah rukun Islam lainnya. Hal ini bisa dipahami karena ibadah haji ibadah dalam Islam bersifat komprehensif yang menuntut persyaratan yang banyak, yaitu disamping harus menguasai ilmunya, juga harus sehat fisiknya, ada kemauan keras, bersabar dalam menjalankannya dan harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit, serta rela meninggalkan tanah air, harta kekayan dan lainnya. b. Metode pembiasaan Metode pembiasaan yang dilakukan sejak kecil dan berlangsung secara kontinyu. Berkenaan dengan ini Imam alGhazali mengatakan bahwa kepribadian manusia itu pada dasarnya dapat menerima segala usaha pembentukan melalui pembiasaan. Untuk ini al-Ghazali menganjurkan agar akhlak diajarkan, yaitu dengan cara melatih jiwa kepada pekerjaan atau tingkah laku yang mulia. Jika seseorang menghendaki agar ia menjadi pemurah, maka ia harus dibiasakan dirinya melakukan pekerjaan yang bersifat
34
Ibid, hlm. 139-140.
47
pemurah, hingga murah hati dan murah tangan itu menjadi bi’atnya yang mendarah daging.35 c. Metode keteladanan Akhlak yang baik tidak dapat dibentuk hanya dengan pelajaran, instruksi dan larangan, sebab tabi’at jiwa untuk menerima keutamaan itu tidak cukup dengan hanya seorang guru mengatakan kerjakan ini dan jangan kerjakan itu. Menanamkan sopan santun memerlukan pendidikan yang panjang dan harus ada pendidikan yang lestari. Pendidikan itu tidak akan sukses, melainkan jika disertai dengan pemberian contoh telaadan yang baik dan nyata. d. Mengetahui kekurangan yang dimiliki Pembentukan akhlak dapat juga ditempuh dengan cara senantiasa menganggap diri sebagai yang banyak kekurangannya daripada kelebihannya. Dalam hubungan ini Ibn Sina mengatakan jika seseorang menghendaki dirinya berakhlak utama, hendaknya ia lebih dahulu mengetahui kekurangan dan cacat yang ada dalam dirinya, daan membatasi sejauh mungkin untuk tidak berbuat kesalahan, kenyataan.36
35 36
Ibid, hlm. 140-141. Ibid, hlm. 141-142.
sehingga
kesalahan
itu
tidak
terwujud
dalam