BAB II PEMBENTUKAN PERILAKU KEAGAMAAN PELAJAR PESISIR A. Perilaku Keagamaan 1. Pengertian Perilaku Keagamaan Pengertian perilaku keagamaan dapat dijabarkan dengan cara mengartikan kata demi kata. Kata perilaku dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa adalah tanggapan atau reaksi individu terhadap rangsangan atau lingkungan.1 Sedangkan menurut W.J.S. Poerwadarminta, perilaku adalah tanggapan atau reaksi individu yang terwujud dalam gerakan dan sikap yang muncul dalam perbuatan yang nyata atau ucapan.2 Perilaku bila diartikan dalam bahasa arab adalah akhlak. Secara etimologi, kata akhlak berasal dari bahasa Arab dari rumpun khalaqayahluqu yang berarti „menciptakan‟. Dari kata itu pula, ada kata makhluk (yang diciptakan) dan kata khalik (pencipta). Maka, akhlak berarti segala sikap dan tingkah laku manusia yang datang dari Pencipta (Allah). Secara terminologi merupakan bentuk jamak dari kata al-khuluq atau al-khulq yang berarti tabiat, budi pekerti, kebiasaan atau adat, keperwiraan, kesatriaan, kejantanan, agama dan kemarahan. Akhlak adalah suatu keadaan yang melekat pada jiwa manusia, yang darinya lahir perbuatan-perbuatan dengan mudah, tanpa melalui proses pemikiran, pertimbangan atau penelitian. Jika keadaan tersebut melahirkan perbuatan
1
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ke 4 (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2012), hlm. 1056. 2 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, edisi 3, 2001), hlm. 7.
20
21
baik dan terpuji menurut pandangan akal dan hukum islam, disebut akhlak yang baik (akhlaq al-karimah). Sedangkan jika perbuatan-perbuatan yang timbul itu tidak baik, dinamakan akhlak yang buruk (akhlaq almadzmumah).3 Kata keagamaan berasal dari kata dasar agama yang berarti ajaran, sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan dan manusia serta manusia dan lingkungan.4 Agama itu merupakan salah satu komponen yang sangat penting dalam tata kehidupan masyarakat manusia. Hal ini didasarkan atas kenyataan bahwa agama dijumpai hampir dalam setiap kehidupan masyarakat. 5 Kata keagamaan sudah mendapat awalan “ke” dan akhiran “an” yang mempunyai sesuatu yang berhubungan dengan agama. Dengan demikian perilaku keagamaan berarti segala tindakan perbuatan atau ucapan yang dilakukan seseorang sedangkan perbuatan atau tindakan serta ucapan tadi akan terkaitnya dengan agama, semuanya dilakukan karena adanya kepercayaan kepada Tuhan dengan ajaran, kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan.6 Atau dapat juga diartikan perilaku keagamaan adalah tanggapan atau reaksi nyata seseorang sebagai akibat dari akumulasi pengalaman,
3
Ali Mudhofir, Kamus Etika (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 18. Departemen Pendidikan Nasional, op.cit., hlm. 15. 5 Mahmud, et al, Pendidikan Agama Islam dalam Keluarga (Jakarta: Permata Putri Media, hlm. 124 6 Pusat Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), hlm. 992. 4
22
pengalaman sebagai respon yang diterimanya, yang diwujudkan dalam bentuk ibadah keseharian. 2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Keagamaan Perilaku seseorang akan diwarnai atau dilatarbelakangi oleh sikap yang ada pada orang yang bersangkutan namun tidak semua ahli menerima pendapat tersebut karena perilaku merupakan manifestasi dari sikap dan sikap itu sendiri mempunyai keterkaitan dengan pengalaman– pengalaman hidup lainnya. Dengan kata lain untuk mengambil keputusan perilaku, seseorang harus mempertimbangkan banyak hal, sehingga dalam keputusan sikap banyak faktor yang mempengaruhinya. Adapun faktorfaktor yang mempengaruhi perilaku dan sikap seseorang bisa datang dari diri sendiri (faktor intern) dan bisa datang dari luar (faktor ekstern). a. Faktor intern Faktor intern yaitu faktor yang muncul dari diri sendiri dan masanya atas kesadaran yang tinggi. Adapun faktor ini muncul atas : 1) Pengalaman Pribadi Menurut Zakiyah Darajat berpendapat bahwa sebelum anak masuk sekolah telah banyak pengalaman yang diterimanya dari rumah, orang lain, saudara-saudaranya, serta anggota keluarga lain disamping teman-teman sepermainannya. Semua pengalaman yang dilalui sejak lahir merupakan unsur–unsur dari kepribadianya.7 Kepribadian merupakan sistem yang dinamis dari sifat, sikap dan
7
Zakiah Darajat, Kepribadian Guru (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), hlm. 11.
23
kebiasaan yang menghasilkan tingkat konsistensi respon individu yang
beragam.
Sifat-sifat
kepribadian
mencerminkan
perkembangan fisik, seksual, emosional, sosial, kognitif dan nilainilai. Fase Remaja merupakan saat yang paling penting bagi perkembangan dan integrasi kepribadian. Faktor-faktor dan pengalaman baru yang tampak terjadinya perubahan kepribadian pada masa remaja, meliputi perolehan pertumbuhan fisik yang menyerupai masa dewasa, kematangan seksual yang disertai dengan dorongan-dorongan dan emosi baru, kesadaran terhadap diri sendiri, keinginan untuk mengarahkan diri dan mengevaluasi kembali tentang standart (norma), tujuan dan cita-cita, kebutuhan akan persahabatan yang bersifat heteroseksual, berteman dengan pria atau wanita dan munculnya konflik sebagai dampak dari masa transisi antara masa anak-anak dan dewasa.8 Kepribadian
anak
yang
tumbuh
tergantung
pada
pengalamannya dalam keluarga. Sikap dan pengalaman hidup orang tuanya, sopan santun dalam bergaul, baik dalam keluarga maupun masyarakat pada umumnya akan diserap oleh anak dalam kepribadiannya. Demikian pula sikap mereka terhadap agama, ketekunan dalam menjalankan ibadah dan kepatuhan kepada ketentuan agama serta pelaksanaan nilai-nilai agama dalam 8
Syamsu Yusuf, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005), hlm. 201.
24
kehidupan agamanya. Maka pembentukan sikap dan perilaku keagamaan hendaknya ditanamkan sedini mungkin dalam pribadi seseorang. Kepribadian menurut pandangan psikologi terdiri dari dua unsur, yaitu unsur hereditas dan pengaruh lingkungan. Hubungan antara unsur hereditas dengan pengaruh lingkungan inilah yang membentuk kepribadian.9 2) Pengalaman Emosi Emosi merupakan pengaruh yang sangat besar dalam pembentukan perilaku keagamaan. Hal ini didukung oleh sebuah pendapat yang mengatakan sesungguhnya emosi memegang peranan penting dalam sikap dan tindak agama.10 Emosi adalah kegoncangan organisme yang disertai oleh gejala-gejala kesadaran, keperilakuan dan proses fisiologis. Fungsi emosi bagi tingkah laku seseorang antara lain sebagai pengikut energi, sebagai pembawa informasi tentang diri seseorang, sebagai pembawa pesan kepada orang lain dan sebagai sumber informasi tentang keberhasilan.11 Tidak ada suatu sikap atau tindak agama yang dapat dipahami tanpa mengindahkan emosi. Lebih-lebih dalam usia remaja yang mengalami kegoncangan (masa goncang) masa konflik. Zakiah Darajat berpendapat bahwa remaja akan gelisah bila tampak perbedaan nilai-nilai agama dengan kelakuan orang9
Jalaludin, Psikologi Agama (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998), Cet 3. hlm. 213 Zakiah Darajat, Ilmu Jiwa Agama (Jakarta: Bulan Bintang: 1993), hlm. 77. 11 Achmad Mubarak, Psikologi Dakwah ( Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), hlm. 86. 10
25
orang dalam kenyataan hidup. Kenyataan ini akan menyebabkan mereka benci terhadap agama. Apabila ada yang menyimpang dari agama dan sebagainya, mereka menyamakan bahwa pemimpin agama tidak sungguh-sungguh dalam tugasnya memelihara moral orang banyak.12 Pada fase ini emosi remaja serba tidak menentu. Ia sangat gelisah, resah gundah tetapi ia tidak mengerti, mengapa ia demikian resah, gelisah, sedih. Ia bersikap menolak perintah harapan, anjuran maupun keinginan orangtua atau gurunya, tetapi ia tidak mengerti apa yang akan diperbuat setelah menolak semuanya itu. Pada akhir fase ini, ia berusaha untuk menjadi pusat perhatian dari lingkungannya. Ia bersikap egois, bahkan ia merasa serba super, sehingga mau tidak mau lawan jenisnya tertarik, mengagumi dan akhirnya berserah diri padanya. Darahnya mudah menggelora, ia adalah pemberani yang kadang-kadang kurang perhitungan, tingkah lakunya kasar, penaik darah, mudah tersinggung dan tidak takut mati.13 b. Faktor Ekstern Manusia sering disebut dengan homo religius (makhluk beragama). Pernyataan ini menggambarkan bahwa manusia mempunyai potensi dasar yang dapat dikembangkan sebagai makhluk yang 12
Zakiah Darajat, Pembinaan Remaja (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), hlm. 15. Agus Sujanto, Psikologi Perkembangan, Cet. Ke-VII, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1996), hlm. 183. 13
26
beragama. Jadi manusia dilengkapi potensi berupa kesiapan untuk menerima pengaruh luar sehingga dirinya dapat dibentuk menjadi makhluk yang memiliki rasa dan perilaku keagamaan. Potensi yang dimiliki manusia ini secara umum disebut fitrah keagamaan, yaitu berupa kecenderungan untuk bertauhid. Sebagai potensi, maka perlu adanya pengaruh yang berasal dari luar diri manusia. Pengaruh tersebut dapat berupa bimbingan, pembinaan, latihan, pendidikan dan sebagainya, yang secara umum disebut sosialisasi. Faktor ekstern yang dinilai berpengaruh dalam perkembangan jiwa keagamaan dapat dilihat dari lingkungan dimana seseorang itu hidup. Pada umumnya lingkungan tersebut dibagi menjadi tiga, yaitu: Keluarga, Institusi dan Masyarakat.14 1) Lingkungan Keluarga Menurut F.J. Brown berpendapat bahwa ditinjau dari sudut pandang sosiologis, keluarga dapat diartikan dua macam, yaitu a) dalam arti luas, keluarga meliputi semua pihak yang ada hubungan darah atau keturunan yang dapat dibandingkan dengan „clan‟ atau marga; b) dalam arti sempit meliputi orangtua dan anak.15 Keluarga merupakan satuan sosial yang paling sederhana dalam kehidupan manusia. Anggota– anggotanya terdiri atas Ayah, Ibu dan Anak-anak. Bagi anak-anak keluarga merupakan lingkungan sosial pertama yang dikenalnya. 14 15
Jalaludin, op. cit., hlm. 220 Syamsu Yusuf, op. cit., hlm. 36.
27
Pembentukan perilaku keagamaan juga bisa dibentuk sejak dalam kandungan, maka yang paling berperan disini adalah orang tua. Dengan demikian kehidupan keluarga menjadi fase sosialisasi awal bagi pembentukan jiwa keagamaan anak. Keluarga juga dipandang sebagai institusi (lembaga) yang dapat memenuhi kebutuhan insani (manusiawi), terutama kebutuhan bagi pengembangan kepribadiannya dan pengembangan ras manusia. Apabila mengaitkan peranan keluarga dengan upaya memenuhi kebutuhan individu, Maka keluarga merupakan lembaga pertama yang dapat memenuhi kebutuhan tersebut.16 Zakiah Darajat berpendapat bahwa pendidikan agama dalam arti pembinaan kepribadian sebenarnya telah dimulai sejak anak lahir, bahkan sejak dalam kandungan. Keadaan psikologis orang tua ketika anak dalam kandungan akan mempengaruhi jiwa anak.17 Tingkat penyesuaian diri dan pertumbuhan remaja sangat tergantung pada sikap orang tua dan suasana psikologi dan sosial yang menonjol dalam keluarga. Suasana keluarga tidaklah sama polanya, ia berbeda dari satu rumah ke rumah yang lain, sementara rumah merupakan tempat yang baik bagi pemeliharaan anak, sedangkan yang lainnya tampak sebaliknya.18 Orang tua hendaknya memberi contoh yang lebih dalam dari segala aspek kehidupannya, karena segala
16
Syamsu Yusuf, op. cit., hlm. 37. Zakiah Darajat, op. cit., hlm. 109. 18 Musthafa Fahmi, Kesehatan Jiwa dalam Keluarga, Sekolah dan Masyarakat, alih bahasa Zakiah Darajat (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), hlm. 104. 17
28
ucapan, perlakuan percontohan dan hubungan antara kedua orang tua akan mempengaruhi sikap dan tindakan anak. Kebiasaan perilaku orang tua akan ditiru oleh anak-anak. Jika kebiasaan itu baik maka anak-anak akan meniru baik. Begitu juga sebaliknya bila kebiasaan itu buruk juga akan ditirunya.19 Orang tua harus menyiapkan pendidikan yang benar dari dalam rumah sebelum ia melepas anaknya ke luar. Dalam hal ini suasana rumah yang islami sangat membantu keberhasilan kedua orang tua dalam mendidik anak-anaknya.20 Nasih Ulwan dalam bukunya Tarbiyah al-aulad fi al-Islam telah banyak mendekripsikan tentang tanggung jawab orang tua dalam pendidikan anak. Menurutnya paling tidak ada enam macam tanggung jawab orang tua dalam pendidikan anak-anaknya. Keenam hal tersebut di atas diantaranya.21 a) Tanggung jawab pendidikan iman. Setiap bayi yang lahir, diciptakan Allah swt di atas fitrah keimanan. Allah swt berfirman dalam QS Al-Araf: 172.
19
Zakiah Darajat, op. cit., hlm. 15. Ummu Ihsan Choiriyah dan Abu Ihsan al-Atsary, Op. Cit., hlm. 61. 21 Mahmud, et al, op. cit., hlm. 179. 20
29
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anakanak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah aku ini Tuhan-mu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), Kami menjadi saksi". (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)", (QS Al-Araf: 172).22 Fitrah islam berupa tauhid dan pengetahuan tentang Rabbnya, Artinya, apabila bayi itu dibiarkan berkembang dengan sendirinya (tanpa pengaruh apa-apa), niscaya ia akan memilih jalan iman dalam tingkatan ihsan, karena memang ia tercipta di atas karakter yang siap untuk menerima syariat. Andaikan saja ia dibiarkan terus di atas fitrah tersebut, maka ia akan berpegang padanya, ia tidak akan melepaskan dan tidak cenderung kepada 22
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahanya Al-„Aliyy (Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 2005), hlm. 137.
30
yang lain. Oleh karena itulah orang tua mempunyai tanggung jawab yang besar terhadap keimanan seorang anak. b) Pendidikan akhlak. Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam kitab Ahkamul Maulud mengatakan, „Yang sangat dibutuhkan anak adalah perhatian terhadap akhlaknya. Ia akan tumbuh menurut apa yang dibiasakan oleh pendidiknya ketika kecil. Sejak kecil ia terbiasa marah, keras kepala, tergesa-gesa dan mudah mengikuti hawa nafsu, serampangan, tamak dan seterusnya, maka akan sulit baginya untuk memperbaiki dan menjauhi hal itu ketika dewasa. Perangai seperti ini akan menjadi sifat dan perilaku yang melekat pada dirinya. Jika ia tidak dibentengi betul dari hal itu, maka pada suatu ketika nanti semua perangai itu akan muncul. Karena itu kita temukan manusia yang akhlaknya menyimpang itu disebabkan oleh pendidikan yang dilaluinya.‟ Sebagai orangtua seharusnya melakukan pembinaan akhlak anak secara nyata melalui keteladanan yang baik bagi mereka, hingga mereka tumbuh dengan perangai yang mulai ini dan tidak mengabaikan akhlak-akhlak islam di hadapan berbagai gelombang arus yang menyimpang.23
23
Ummu Ihsan Choiriyah dan Abu Ihsan al-Atsary, op. cit., hlm. 94
31
c) Pendidikan jasmani. Jasmani adalah nikmat dan amanah Allah swt. Demikian pula dengan kesehatan. Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah. Demikian pula dengan anak-anak. Wajib bagi orangtua menjaga jasmani dan kesehatan mereka, sehingga mereka tumbuh menjadi mukmin yang sehat jasmani dan rohaninya.24 d) Pendidikan intelektual Orangtua
harus
menanamkan
kepada
anak
tentang
kecintaan pada ilmu dan mengajarkan adab-adabnya serta menjelaskan pada anak bahwa ilmu laksana cahaya. Orang yang tak punya ilmu akan hidup dalam kegelapan. Tidak tahu jalan mana yang harus ia tempuh dan apa yang harus ia lakukan saat menghadapi masalah. e) Pendidikan sosial Orangtua harus memberikan pembinaan kemasyarakatan kepada anak. Tujuannya agar bisa beradaptasi dengan lingkungan kemasyarakatannya dan mampu menempatkan diri dengan sebaikbaiknya. Ia mampu berinteraksi positif dengan teman-temannya dan juga orang-orang sekitarnya. Dan agar ia jauh dari sifat egois (mementingkan diri sendiri) dan rasa malu yang tidak pada
24
Ibid, hlm. 167
32
tempatnya. Ia bergaul dengan sopan santun, memberi dan menerima dengan sopan santun juga. f) Pendidikan seksual Dorongan seksual diciptakan Allah swt pada jiwa manusia sebagai sebab kelangsungan hidup mereka. Allah menjadikan masa tertentu untuk bisa melakukan hal ini agar manusia bisa meneruskan keturunan. Dorongan seksual adalah fitrah, maka jangan sikapi negatif. Sebagai orang tua perlu bercerita dari hati ke hati dengan anak, tentang dorongan yang mereka rasakan terhadap lawan jenis. Orang tua harus mendampingi dan memberikan pengarahan. Selanjutnya jaga agar dorongan seksual anak bisa berjalan normal tanpa ada pembangkit dari luar yang bisa menyebabkan penyimpangan perilaku.25 Seorang orang tua terutama seorang ayah mempunyai tanggung jawab yang besar dalam membina anak-anaknya hal ini sesuai dengan Firman Allah QS At-Tahrim ayat 6
25
Ibid., hlm. 181.
33
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (QS At-Tahrim : 6)”26 2) Lingkungan Institusional Lingkungan
institusional
yang
ikut
mempengaruhi
perkembangan jiwa keagamaan dapat berupa institusi formal seperti sekolah ataupun yang nonformal seperti berbagai perkumpulan atau organisasi. Sekolah memiliki peran dan pengaruh yang sangat besar. Sebab di sekolahlah anak menghabiskan sebagisan besar waktunya. Sekolah merupakan lingkungan kedua setelah rumah. Sekolah merupakan lembaga pendidikan formal yang secara sistematis melaksanakan program bimbingan, pengajaran dan latihan 26
Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 448.
34
dalam rangka membantu siswa agar mampu mengembangkan potensinya, baik yang menyangkut aspek moral-spiritual, intelektual, emosional maupun sosial.27 Menurut
Havighurst
sekolah
mempunyai
peranan
atau
tanggung jawab penting dalam membantu para siswa mencapai tugas perkembangannya. Sehubungan dengan hal ini, sekolah seyogyanya berupaya menciptakan iklim yang kondusif, atau kondisi yang dapat memfasilitasi siswa untuk mencapai tugas perkembangannya.28 Kelompok teman sebaya juga ikut andil dalam mempengaruhi perilaku keagamaan pelajar. Kelompok teman sebaya sebagai lingkungan sosial bagi remaja (siswa) mempunyai peranan yang cukup penting bagi pengembangan kepribadiannya. Perkembangan kehidupan sosial remaja juga ditandai dengan gejala meningkatnya pengaruh teman sebaya dalam kehidupan mereka. Sebagian besar waktunya dihabiskan untuk berhubungan atau bergaul dengan teman-teman sebaya mereka.29 Aspek kepribadian remaja yang berkembang secara menonjol dalam pengalamannya bergaul dengan teman sebaya, adalah: a. Social Cognition: Kemampuan untuk memikirkan tentang pikiran, perasaan, motif dan tingkah laku dirinya dan orang lain. Kemampuan memahami orang lain, memungkinkan remaja untuk lebih mampu menjalin hubungan sosial yang lebih baik dengan teman sebayanya. b. Konformitas: motif untuk menjadi sama, sesuai, seragam, dengan nilai-nilai, kebiasaan, kegemaran (hobi), atau budaya 27
Syamsu Yusuf, op. cit., hlm. 54. Ibid., hlm. 55. 29 Desmita, Psikologi Perkembangan (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005), hlm. 219 28
35
teman sebayanya. Berdasarkan survey nasional terhadap remaja di Amerika, ditemukan bahwa remaja memiliki kecenderungan yang kuat untuk menjadi populer dan konformitas.30 Lingkungan sekolah merupakan tempat berkumpul dengan ratusan anak dari berbagai latar belakang pemikiran, adat kebiasaan dan karakter kepribadian. Demikian juga para pengajar yang berasal dari berbagai macam latar belakang pemikiran dan budaya serta kepribadian. Guru merupakan orang pertama setelah orang tua yang mempengaruhi pembinaan dan pembentukan kepribadian anak. Oleh karena itu, khususnya guru agama hendaknya menyadari bahwa pendidikan agama bukan sekedar melatih ketrampilan anak dalam melaksanakan ibadah, akan tetapi jauh lebih penting lagi adalah membentuk kepribadian anak sesuai dengan ajaran agama. Jika dapat dikatakan bahwa faktor terpenting bagi seorang guru adalah kepribadiannya.31 3) Masyarakat. Masyarakat merupakan tempat untuk bermain anak, sekaligus tempat untuk belajar dari hal baik maupun buruk. Jika di dalam masyarakat itu diwarnai dengan suasana keagamaan, maka anak ikut diwarnai menjadi baik. Begitu juga sebaliknya, jika lingkungan
30 31
Syamsu Yusuf, loc. cit., hlm. 59. Zakiah Daradjat,op. cit., hlm. 16.
36
masyarakat itu jauh dan gersang jiwanya dari nilai-nilai agama, ini berpengaruh pada perilaku kesehariannya menjadi buruk.32 Masyarakat merupakan kumpulan individu-individu yang bersepakat untuk hidup bersama, entah atas dasar kepentingankepentingan
bersama
atau
atas
dasar
faktor-faktor
ideologi.
Masyarakat merupakan produk manusia dan manusia merupakan produk masyarakat, dua hal yang saling terkait, antara manusia dan masyarakat merupakan dua entitas bersifat dialektis.33 Ibn Khaldun menjelaskan posisi dan eksistensi manusia yang merupakan makhluk sosial. Dengan demikian, pernyataan ini mengandung makna bahwa seorang manusia tidak bisa hidup sendirian, dan eksistensinya tidaklah terlaksana kecuali dengan kehidupan bersama. Manusia adalah makhluk sosial, makhluk yang memerlukan bantuan pihak lain untuk memenuhi sebagian dari kebutuhannya. Menurut Ibn Khaldun, pada mulanya seseorang membutuhkan bantuan pihak lain untuk memenuhi sebagian dari kebutuhannya. Menurut Ibn Khaldun, pada mulanya seseorang membutuhkan bantuan orang lain berupa konsultasi, lalu berserikat (berorganisasi, berkelompok) dan seterusnya.34 Pada masa remaja berkembang „social cognition‟, yaitu kemampuan untuk memahami orang lain. Remaja memahami orang 32
Abin Syamsudin Makmum, Psikologi Kependidikan (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005), hlm. 81. 33 Syarifuddin Jurdi, Sosiologi Islam Elaborasi Pemikiran Sosial IBN Khaldun (Yogyakarta: Teras, 2008), hlm. 189. 34 Ibid., hlm. 55.
37
lain sebagai individu yang unik, baik menyangkut sifat-sifat pribadi, minat nilai-nilai maupun perasaannya. Pemahamannya ini, mendorong remaja untuk menjalin hubungan sosial yang lebih akrab dengan mereka (terutama teman sebaya), baik melalui jalinan persahabatan maupun percintaan (pacaran).35 3. Macam-macam perilaku keagamaan Al-Ghazali melihat perilaku atau tingkah laku dari suatu segi yang mempunyai tujuan agama dan kemanusiaan, sejalan dengan semangat Islam, maka dia memandang manusia sebagai suatu pribadi yang utuh menggabungkan antara ibadah murni atau ibadah formal dan aktivitas keduniaan atau ibadah informal, jika perbuatan itu berasas pada suatu yang dapat masuk akal dari segi kepentingan individu atau masyarakat dan kemuaan manusia.36 a. Menurut ahli psikologi membedakan tingkah laku menjadi 2 macam. 1) Tingkah laku intelektual Adalah sejumlah perbuatan yang dikerjakan seseorang yang berhubungan dengan kehidupan jiwa dan intelektual. Ciri utamanya adalah berusaha untuk mencapai tujuan tertentu. 2) Tingkah laku mekanistis atau reflektif Adalah respon-respon yang timbul pada manusia secara menistis dan tetapi seperti kedipan mata sebab cahaya dan 35
Syamsu Yusuf, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005), hlm. 198. 36 Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam (Jakarta: Al-Husna, 2000), hlm. 306.
38
gerakan-gerakan rambang yang kita lihat pada anak-anak seperti pergerakan kedua tangan dan kaki secara terus menerus.37 b. Menurut ahli sosiologi, jenis perilaku manusia yaitu: 1) Perilaku normal, yaitu perilaku yang sesuai dan tepat yang dapat diterima bagi masyarakat. 2) Perilaku abnormal, yaitu perilaku yang tidak akurat, tidak bisa diterima oleh masyarakat pada umumnya dan tidak sesuai dengan norma susila yang ada.38 4. Ruang Lingkup Perilaku Keagamaan Perilaku keagamaan merupakan buah dari akhlak seseorang yang terdapat dalam jiwanya, karena sebuah kesadaran untuk mengamalkan syariat islam ini dalam kehidupan sehari-hari. Ruang lingkup perilaku keagamaan mencangkup hal-hal sebagai berikut: a. Perilaku manusia kepada Allah yaitu dengan beribadah kepada Allah melaksanakan perintahNya dan menjauhi laranganNya tidak berbuat syirik (menyekutukan Allah) karena tiada Tuhan selain Allah sendiri, tiada bersekutu dan dengan-Nyalah adanya daya kekuatan.39
37
M. Jamiluddin Mahfudz, Psikologi Anak dan Remaja Muslim (Jakarta: Al-Kautsar, 2001), hlm. 14. 38 Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Social Cet VII (Jakarta: Dian Rakyat, 1992), hlm. 239 39 Pimpinan Pusat Muhammadiyah Majelis Tarjih, Himpunan Putusan Tarjih (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2009), hlm. 12.
39
b. Perilaku manusia kepada Rasulullah yaitu dengan menjalankan sunah-sunahnya, bersolawat kepadanya dan menziarahi kuburnya. c. Perilaku manusia pada diri sendiri seperti menjaga kesucian diri dari sifat-sifat tercela, seperti sombong, tamak, rakus, mengumbar nafsu,
menumbuhkan
semagat
jihad
dalam
dirinya,
mengembangkan keberanian (saja‟ah) dalam menyampaikan kebenaran dan memberantas kedzaliman, senantiasa memperbaiki diri untuk lebih baik, cinta dengan ilmu, amanah, jujur, tawadhu‟ dan mudah memaafkan d. Perilaku manusia kepada keluarga yang baik, baik pada suami, istri, anak orang tua. Berusaha memenuhi kewajiban-kewajiban kita dan memenuhi hak-hak mereka, tidak pernah dzalim terhadap mereka, berdakwah kepada mereka, agar terhindar dari api neraka sebelum berdakwah pada orang lain.40 B. Pelajar 1. Pengertian Pelajar Kata Pelajar berasal dari kata ajar yang mempunyai arti petunjuk yang diberikan orang untuk diketahui (diturut) sedangkan Pelajar adalah anak sekolah (terutama pada sekolah dasar dan menengah); murid; siswa; anak didik.41 Dalam hal ini pelajar termasuk peserta didik. Dalam proses pendidikan, peserta didik merupakan salah satu komponen manusiawi yang menempati posisi sentral. Sebagai 40
Masan Alfat, dkk, Aqidah Akhlak Kelas VIII (Semarang: Thoha Putra, 2003), hlm. 30. Meity Taqdir Qadratillah, Kamus Bahasa Indonesia untuk pelajar (Jakarta: Kemendibud, 2011), hlm. 9. 41
40
salah satu komponen penting dalam sistem pendidikan, peserta didik sering disebut sebagai „raw material‟ (bahan mentah).42 Berdasarkan perpektif psikologis, peserta didik adalah individu yang sedang berada dalam proses pertumbuhan dan perkembangan baik fisik maupun psikis menurut fitrahnya masing-masing. Sebagai individu yang tengah tumbuh dan berkembang, peserta didik memerlukan bimbingan dan pengarahan yang konsisten menuju ke arah titik optimal kemampuan fitrahnya. Dilihat dari tahapan perkembangan yang disetujui oleh banyak ahli, anak usia sekolah menengah (SMP) berada pada tahap perkembangan pubertas (10-14 tahun). Terdapat sejumlah karakteristik yang menonjol pada anak usia SMP ini, yaitu: a. Terjadinya ketidakseimbangan proporsi tinggi dan berat badan. b. Mulai timbulnya ciri-ciri seks sekunder. c. Kecenderungan ambivalensi, antara keinginan menyendiri dengan keinginan bergaul, serta keinginan untuk bebas dari dominasi dengan kebutuhan bimbingan dan bantuan dari orangtua. d. Senang membandingkan kaedah-kaedah, nilai-nilai etika atau norma dengan kenyataan yang terjadi dalam kehidupan orang dewasa. e. Mulai mempertanyakan secara skeptis mengenai eksistensi dan sifat kemurahan dan keadilan Tuhan. 42
Desmita, Psikologi Perkembangan Peserta Didik (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, cet 2, 2010), hlm. 39.
41
f. Reaksi dan ekspresi emosi masih stabil. g. Mulai mengembangkan standart dan harapan terhadap perilaku diri sendiri yang sesuai dengan dunia sosial. h. Kecenderungan minat dan pilihan karer relatif sudah lebih jelas.43 2. Perilaku-Perilaku Pelajar di Usia Remaja. Para ahli berbeda pendapat terkait dengan umur permulaan dan berakhirnya masa remaja. Masa remaja bergantung kepada masingmasing individu dan masyarakat dimana individu itu hidup. Masa remaja adalah masa peralihan, yang ditempuh oleh seseorang dari anak-anak menuju dewasa atau dapat dikatakan bahwa masa remaja adalah perpanjangan masa anak-anak sebelum mencapai dewasa. Para ahli jiwa tidak mempunyai kata sepakat tentang berapa panjangnya masa remaja tersebut. Mereka hanya sepakat dalam menentukan permulaan masa remaja, yaitu dengan dimulainya kegoncangan, yang ditandai dengan datangnya haidh (menstruasi) pertama bagi wanita dan mimpi bagi pria. Kejadian ini tidak sama antara satu anak dengan lainnya, ada yang mulai umur 12 tahun, ada yang sebelum itu dan ada pula yang sesudah umur 13 tahun. Tapi secara kira-kira ditentukan umur kurang lebih 13 tahun sebagai permulaan masa remaja. Sedangkan akhir remaja itu bermacam-macam ada yang mengatakan 15 tahun, ada pula yang menentukan umur 18 tahun,
43
Ibid., hlm. 36.
42
bahkan dalam bidang kemantapan beragama umur itu oleh ahli jiwa agama diperpanjang lagi sampai 24 atau 25 tahun. Batas-batas umur yang bermacam-macam itu baik 15, 18, 21 maupun 25 tahun adalah wajar dan cocok bagi masing-masing masyarakat, sesuai dengan nilai dan ukurannya sendiri-sendiri.44 Masa remaja pertama menurut Zakiah Darajat dalam bukunya Ilmu Jiwa Agama adalah berusia antara 13-16 tahun. Mereka yang berasal dari masa anak-anak yang terkenal tenang, tidak banyak debat dan soal, mereka memasuki masa goncang, karena pertumbuhan cepat di segala bidang terjadi.45 Dapat dimengerti bahwa akibat luas dari masa puber pada keadaan fisik anak juga mempengaruhi sikap dan perilaku. Namun ada bukti yang menunjukan bahwa perubahan dalam sikap dan perilaku yang terjadi pada saat ini lebih merupakan akibat dari perubahan sosial daripada akibat perubahan kelenjar yang berpengaruh pada keseimbangan tubuh.46 Semua perubahan jasmani cepat itu, menimbulkan kecemasan pada remaja, sehingga menyebabkan terjadinya kegoncangan emosi, kecemasan dan kekhawatiran. Bahkan kepercayaan terhadap agama yang telah bertumbuh pada umur sebelumnya mungkin pula mengalami kegoncangan, karena ia kecewa terhadap dirinya sendiri. Maka kepercayaan remaja kepada Tuhan kadang-kadang sangat kuat,
44
Zakiah Daradjat, op. cit., hlm. 71 Ibid., hlm. 114 46 Elizabeth B. Hurock, Psikologi Perkembangan, alih bahasa Istiwidayanti dan Soejarwo. (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1980), hlm. 191. 45
43
akan tetapi kadang-kadang menjadi ragu dan berkurang, yang terlihat dari cara ibadahnya yang kadang-kadang rajin dan kadang-kadang malas. Hendaknya guru agama memahami keadaan anak yang sedang mengalami kegoncangan perasaan akibat pertumbuhan yang berjalan sangat cepat itu dan segala keinginan, dorongan dan ketidakstabilan kepercayaan itu. Dengan pengertian itu, guru agama dapat memilihkan cara penyajian agama yang tepat bagi mereka, sehingga kegoncangan perasaan dapat diatasi. 3. Perkembangan jiwa keagamaan pada Remaja. Dalam pembagian tahap perkembangan manusia, maka masa remaja menduduki tahap progresif. Dalam pembagian yang agak terurai masa remaja mencakup masa: Juvenilitas (adolescantium), pubertas dan nubilitas. Sejalan dengan perkembangan jasmani dan rohaninya, maka agama pada para remaja turut dipengaruhi perkembangan itu maksudnya penghayatan para remaja terhadap agama dan tindak keagamaan yang tampak pada para remaja banyak berkaitan dengan faktor perkembangan tersebut.47 Perkembangan pada para Remaja ditandai oleh beberapa faktor perkembangan rohani dan jasmaninya. Perkembangan itu antara lain menurut W. Starbuck adalah
47
74.
Jalaludin, Psikologi Agama, Cet. Ke-5 (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001), hlm.
44
a. Pertumbuhan pikiran dan mental. Ide dan dasar keyakinan beragama yang diterima dari masa kanak-kanaknya sudah tidak begitu menarik bagi mereka. Sifat kritis terhadap ajaran agama mulai timbul. Karena itu, maka tidak jarang pula ide-ide dan pokok-pokok ajaran agama ditolak atau di kritik oleh anakanak yang telah meningkat remaja. Bahkan kadang-kadang mereka menjadi bimbang beragama, terutama anak-anak yang mendapat didikan agama dengan cara yang memungkinkan mereka berfikir bebas dan boleh mengkritik. Remaja-remaja yang mendapat didikan agama dengan cara yang tidak memberi kesempatan untuk berpikir logis dan mengkritik pendapat-pendapat yang tidak masuk akal, disertai pula oleh kehidupan kehidupan lingkungan dan orangtua, yang juga menganut agama yang sama, maka kebimbangan pada remaja itu agak kurang. Remaja-remaja akan merasa gelisah dan kurang aman apabila agama atau keyakinannya berlainan dari agama atau keyakinan orangtuanya. Keyakinan orangtua dan keteguhannya menjalankan ibadah, serta memelihara nilai-nilai agama dalam hidupnya sehari-hari menolong remaja dari kebimbangan agama.48 b. Perkembangan perasaan Berbagai perasaan telah berkembang pada masa remaja. Perasaan sosial, etis dan estetis mendorong remaja untuk menghayati
48
Zakiah Daradjat, op. cit., hlm. 74
45
perikehidupan yang terbiasa dalam lingkungannya. Kehidupan religius akan cenderung mendorong dirinya lebih dekat ke arah hidup yang religius pula. Sebaliknya, bagi remaja yang kurang mendapat pendidikan dan siraman ajaran agama akan lebih mudah didominasi dorongan seksual.49 c. Pertimbangan sosial Corak keagamaan pada remaja juga ditandai oleh adanya pertimbangan sosial. Remaja tidak menciptakan perilaku sosial begitu saja. Perilaku sosialnya terpengaruh oleh tipe-tipe perilaku yang dominan di keluarga, sekolah khususnya dan masyarakat secara umum. Perkembangan
intelektual dan mentalnya juga berpengaruh
langsung terhadap perilaku sosialnya. Perilaku sosial masyarakat yang mengalami dekadensi atau kekacauan mempunyai efek negatif terhadap perilaku
remaja
dan
tingkat
adaptasinya
dengan
diri
dan
lingkungannya.50 d. Perkembangan moral Perkembangan moral pada remaja bertitik tolak dari rasa berdosa dan usaha untuk mencari proteksi. Tipe moral juga terlihat pada para remaja juga mencakupi51: 1) Self directive, taat terhadap agama atau moral berdasarkan pertimbangan pribadi.
49
Jalaludin, Op.Cit., hlm. 75. M. Sayyid Muhammad Az-Za‟balawi, Pendidikan remaja antara islam dan ilmu jiwa, (Jakarta: Gema insani, 2007), hlm. 168 51 Jalaludin, Op.Cit., hlm. 76. 50
46
2) Adaptif, mengikuti situasi lingkungan tanpa mengadakan kritik. 3) Submissive, merasakan adanya keraguan terhadap ajaran moral dan agama. 4) Unadjusted, belum meyakini akan kebenaran ajaran agama dan moral. 5) Deviant, menolak dasar dan hukum keagamaan serta tatanan moral masyarakat. e. Sikap dan minat. Sikap dan minat remaja terhadap masalah keagamaan boleh dikatakan sangat kecil dan hal ini tergantung dari kebiasaan masa kecil serta lingkungan agama yang mempengaruhi mereka (besar kecil minatnya). Menurut Zakiah Darajat sikap remaja terhadap agama terbagi menjadi empat macam yaitu52: 1) Percaya turut-turutan. Sesungguhnya kebanyakan remaja percaya kepada Tuhan dan menjalankan ajaran agama, karena mereka terdidik dalam lingkungan yang beragama, karena ibu bapaknya orang beragama, teman-teman dan masyarakat kelililngnya rajin beribadah maka mereka ikut percaya dan melaksanakan ibadah dan ajaran-ajaran agama, sekedar mengikuti suasana lingkungan dimana ia hidup. 2) Percaya dengan kesadaran.
52
Zakiah Daradjat, Op.Cit., hlm 91
47
Kesadaran agama atau semangat agama pada masa remaja itu, mulai dengan cenderungnya remaja kepada meninjau dan meneliti
kembali
caranya
beragama
di
masa
kecil
dulu.
Kepercayaan tanpa pengertian yang diterimanya waktu kecil itu, tidak memuaskan lagi, patuh dan tunduk kepada ajaran tanpa komentar atau alasan tidak lagi menggembirakannya. Mereka ingin menjadikan
agama,
sebagai
suatu
lapangan
baru
untuk
membuktikan pribadinya, karenanya ia tidak mau lagi beragama sekedar ikut-ikutan saja. 3) Kebimbangan beragama. Sesungguhnya kebimbangan terhadap ajaran agama yang pernah diterimanya tanpa kritik waktu kecilnya itu, merupakan pula pertanda bahwa kesadaran beragama telah terasa oleh remaja. Tentunya kemampuan untuk merasa ragu-ragu terhadap apa yang dulu
diterimanya
begitu
saja,
berhubungan
erat
dengan
pertumbuhan kecerdasan mencapai kematangannya, sehingga ia dapat mengkritik, menerima atau menolak, apa saja yang diterangkan kepadanya. 4) Tidak percaya kepada Tuhan. Perkembangan remaja ke arah tidak mempercayai adanya Tuhan itu, sebenarnya mempunyai akar atau sumber dari kecilnya. Apabila seorang anak merasa tertekan oleh kekuasaan atau kezaliman orang tua kepadanya, maka ia telah memendam sesuatu
48
tantangan terhadap kekuasaan orang tua dan selanjutnya kekuasaan terhadap siapapun. Setelah usia remaja dicapainya, maka tantangan itu akan berani menampakkan diri dalam bentuk menentang Tuhan, bahkan menentang ujud-Nya. f. Ibadah Keyakinan
agama
pada
usia
Remaja
telah
mengalami
perkembangan yang cukup berarti. Kalau pada masa awal anak-anak ketika mereka baru memiliki kemampuan berfikir simbolik Tuhan dibayangkan sebagai person yang berada di awan, maka pada masa remaja mereka mungkin berusaha mencari sebuah konsep yang lebih mendalam tentang tuhan dan eksistensi. Perkembangan pemahaman remaja terhadap keyakinan agama ini sangat dipengaruhi oleh perkembangan kognitifnya.53 Sedangkan menurut Syamsu Yusuf bahwa kematangan beragama dalam lingkup ibadah adalah mengamalkan ibadah ritual secara ikhlas dan mampu mengambil hikmah dari ibadah tersebut dalam kaitannya dalam kehidupan sehari-hari.54 4. Tahapan perkembangan penghayatan keagamaan pelajar di usia remaja. Adapun tahapan perkembangan penghayatan keagamaan remaja adalah sebagai berikut: a. Masa Remaja Awal 1) Sikap
negatif
(meskipun
tidak
selalu
terang-terangan)
disebabkan alam pikirannya yang kritis melihat kenyataan 53
Desmita,op. cit., hlm. 282. Syamsu Yusuf LN, Psikologi Perkembangan Anak & Remaja, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005), hlm. 145 54
49
orang-orang beragama secara pura-pura yang pengakuan dan ucapannya tidak selalu selaras dengan perbuatannya. 2) Pandangan dalam hal ke-Tuhanan menjadi kacau karena ia banyak membaca atau mendengar berbagai konsep dan aliran paham yang bertentangan. 3) Penghayatan rohaniyahnya cenderung skeptik (cemas) sehingga banyak yang tidak melakukan berbagai kegiatan ritual yang selama ini biasa dilakukan dengan penuh kepatuhan. b. Masa Remaja Akhir. 1) Sikap kembali kearah positif dengan tercapainya kedewasaan intelektualnya, bahkan agama dapat menjadi pegangan hidupnya menjelang dewasa. 2) Pandangan dalam ke-Tuhan dipahamkan dalam konteks agama yang dianut dan dipilihnya. 3) Penghayatan rohaniahnya kembali tenang setelah melalui proses identifikasi yang dapat membedakan antara agama sebagai doktrin atau ajaran dan manusia penganutnya.55 C. Kondisi Geografis dan Kebudayaan Masayarakat Pesisir Secara geografis dan kebudayaannya masyarakat jawa dapat dipilah menjadi tiga pembagian utama Negarigung, Mancanegari dan Pesisiran. Kebudayaan masyarakat di wilayah Negarigung adalah kebudayaan yang bersumber dan berakar pada dunia kraton. Mereka ini 55
109.
Abin Syamsudin, Psikologi Kependidikan (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005), hlm.
50
disebut Tiyang Negari (Orang Negeri) dengan sifat-sifatnya yang mengedepankan kehalusan baik dalam bahasa maupun kesenian, dengan kehidupan keagamaan yang sinkretik. Masyarakat di wilayah Mancanegari memiliki banyak kesamaan dengan budaya Negarigung
dan mereka
mengidentifikasikan dirinya sebagai Tiyang Pinggiran (Orang Pinggiran) yang memiliki kebudayaan „kurang halus‟ dibandingkan dengan Tiyang Negari
dan dalam kehidupan keberagamannya juga dicirikan sebagai
sinkretik. Masyarakat Pesisiran secara geografis tinggal di pesisir utara Jawa memiliki ciri khas dan budaya yang berbeda, berwatak keras, terbuka dan keberagamanya yang cenderung akulturatif. Mereka ini terbagi menjadi dua pengelompokan. Secara geografis yaitu wilayah barat yang terdiri dari Demak, Kendal, Batang, Pekalongan, Pemalang, Wiradesa, Tegal dan Brebes sedangkan wilayah timur terdiri dari Cengkal Sewu, Surabaya, Gresik, Sedayu, Tuban, Lasem, Juwana, Pati, Kudus dan Jepara.56 Kondisi geografis mempengaruhi pola kehidupan pendidikan terutama dalam aspek mata pencaharian makanan dan tempat tinggal. Di wilayah pedesaan terutama untuk desa-desa terpencil yang berada jauh dari kota, pola kehidupan masyarakatnya bergantung pada apa yang di sediakan alam dan sekitarnya.57
56
Nur Syam, Islam Pesisir (Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2005), hlm. 166. . Wirastuti Widyatmanti dan Dini Natalia. Geografi untuk SMP dan Mts Kelas VII (Jakarta: Grasindo, 2006), hlm. 120 57