BAB II PERILAKU KEAGAMAAN DAN JILBAB A. PERILAKU KEAGAMAAN 1. Definisi Perilaku Secara etimologi, perilaku merupakan terjemahan dari Behavior, yang artinya perilaku atau tingkah laku. Adapun secara terminologi, perilaku didefinisikan sebagai berikut: a. Menurut Ngalim Purwanto, tingkah laku atau perilaku adalah segala kegiatan atau tindakan perbuatan manusia yang tidak kelihatan maupun yang kelihatan, baik disadari maupun tidak.1 b. Menurut Soerjono Soekanto, perilaku adalah tindakan atau perbuatan yang dilakukan untuk perbuatan yang dilakukan untuk merealisasikan keinginan.2 c. Menurut Sarlito Wirawan S, prerilaku merupakan tanggapan (respon) terhadap rangsangan (stimulus), karena itu rangsangan sangat mempengaruhi tingkah laku.3 d. Kamus Besar Bahasa Indonesia, perilaku ialah tanggapan atau reaksi individu yang terwujud dalam gerakan (sikap), tidak saja badan atau ucapan.4 Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahawa perilaku adalah segala perbuatan manusia sebagai tanggapan terhadap rangsangan baik yang disadari maupun yang tidak disadari yang terwujud dalam gerakan tidak saja badan atau ucapan untuk merealisasikan keinginan. 1
Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan, (Bandung: Rosdakarya, 1998), hlm. 1. Soerjono Soekanto, Remaja dan Masalah-masalahnya, (Jakarta: Rajawali, 1983), hlm.
2
11. 3
Sarlito Wirawan S, Teori-Teori Psikologi Sosial, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995),
hlm. 11. 4
Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Media, 2008), hlm 1056.
18
19
2. Pembentukan Perilaku Perilaku dapat terbentuk melalui tiga cara, yaitu: a. Dengan kondisioning atau kebiasaan Dengan cara membiasakan diri untuk berperilaku seperi yang diharapkan, akhirnya akan terbentuklah perilaku. Cara ini didasarkan atas teori belajar kondisioning baik yang dikemukakan oleh Pavior, Thorndike, dan Skonner. b. Dengan pengertian (insight) Cara ini berdasarkan atas teori belajar kognitif, yaitu belajar dengan disertai adanya pengertian sebagaimana dalam eksperimen kohler, dalam belajar yang penting adalah pengertian atau insight. c. Dengan model atau contoh Cara ini didasarkan atas teori belajar sosial (social learning theory) atau observational learning theory yang dikemukakan oleh Bandura dalam bukunya Bimo Walgito yang berjudul Pengantar Psikologi Umum.5 3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku a. Faktor Personal Faktor Personal yang berpengaruh terpengaruh terhadap pemakaian jilbab adalah faktor sosiopsikologi, yang mencangkup tiga komponen, yaitu: 1). Komponen akfektif atau aspek emosional, meliputi motif sosiogenis (motif sekender), sikap, dan emosi. 2). Komponen kognitif atau aspek intelektual, yaitu kepercayaan.
5
Bimo Walgito,Pengantar Psikologi Umum, (Yogyakarta: Andi Offsset, 2003), hlm.12-
14.
20
3). Komponen konatif atau volisional, berhubungan dengan kebiasaan dan kemauan bertindak.6 b. Faktor Situasional 1). Aspek-aspek objektif dari lingkungan, cuaca yang panas bisa dijadikan alasan bagi sebagian orang untuk melepaskan jilbab. 2). Lingkungan psikolisosial yang meliputi iklim organisasi dan kelompok serta ethos dan iklim institusional dan kultural, seseorang yang dibesarkan dsalam lingkungan orang yang berjilbab maka akan berpengaruh untuk memakai jilbab. 3). Stimuli yang mendorong dan memperteguh perilaku.7
4. Pengertian Perilaku Keagamaan Perilaku menurut W. J. S. Poerdarminta adalah tanggapan atau reaksi individu yang terwujud dalam gerakan dan sikap yang muncul dalam perbuatan yang nyata atau ucapan.8 Sedangkan dalam kamus besar bahasa Indonesia dijelaskan perilaku adalah tanggapan atau reaksi individu terhadap rangsangan atau lingkungan.9 Pengertian perilaku keagamaan dapat dijabarkan dengan cara mengartikan perkata. Kata perilaku berarti tanggapan atau reaksi individu terhadap rangsangan atau lingkungan. Sedangkan kata keagamaan berasal dari kata dasar agama yang berarti sistem, prinsip kepercayaan kepada Tuhan dengan ajaran kebaktian dan kewajiban
6
Ibid., hlm. 37. Ibid.,hlm. 44. 8 W. J. S Poerdarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, Ed.3, 2001,hlm. 7. 9 Pusat Pembinaan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1990, hlm. 992. 7
21
yang bertalian dengan kepercayaan itu. Kata keagamaan itu sudah mendapat awalan “ke” dan akhiran “an” yang mempunyai arti sesuatu (segala tindakan) yang berhubungan dengan agama. Dengan demikian perilaku keagamaan berarti segala tindakan itu perbuatan atau ucapan yang dilakukan seseorang sedangkan perbuatan atau tindakan serta ucapan tadi akan terkaitannya dengan agama, semuanya dilakukan karena adanya kepercayaan kepada Tuhan dengan ajaran, kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan.10 Sikap keagamaan tidak terlepas dari keberadaan agama. Apabila telah terpola dalam pikiran bahwa agama itu sesuatu yang benar maka apa saja yang menyangkut dengan agama akan membawa pikiran positif. Kepercayaan bahwa agama itu adalah sesuatu yang benar dan baik mengambil bentuk perasaan yang positif terhadap agama. Bila seseorang percaya bahwa agama itu adalah sesuatu yang benar dan baik, maka timbullah perasaan suka terhadap agama.11 Sikap keagamaan adalah suatu kondisi diri seseorang
yang dapat
mendorongnya untuk bertingkah laku sesuai dengan kadar ketaatannya terhadap agama. Sikap keagamaan tersebut disebabkan oleh adanya konsistensi antara kepercayaan terhadap agama sebagai unsur kognitif, perasaan terhadap adama sebagai unsur efektif, dan perrilaku terhadap agama sebagai unsur konatif.12
http://www.perkuliahan.com/perilaku-keagamaan-siswa/#ixzz3c4vCzgpZ. Di unduh
10
pada tanggal 14 September 2015. 11
Ramayulis, Psikologi Agama. (Jakarta: Kalam Mulia, 2013), hlm.112. Bambang Syamsul Arifin, Psikologi Agama. (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm.77.
12
22
Sedangkan Al-Ghozali berpendapat bahwa perilaku atau tingkah laku adalah sebagai berikut: a. Tingkah laku mempunyai penggerak (motivasi), pendorong, dan tujuan. b. Motivasi itu bersifat dari dalam yang muncul dari diri manusia itu sendiri, tetapi ia rangsang dengan rangsangan-rangsangan dari luar, atau rangsangan-rangsangan dalam yang berhubungan dengan kebutuhankebutuhan jasmani dalam kecenderungan-kecenderungan amiah, seperti rasa lapar, cinta dan takut kepada Allah. c. Menghadapi motivasi-motivasi manusia mendapati dirinya terdorong untuk menferjakan sesuatu. d. Tingkah laku ini mengandung rasa kebutuhan dengan perasaan tertentu dan kesadaran akal terhadap sesuatu tersebut. Ini semua disertai oleh aktivitas jenis tertentu yang tidak terpisah dari rasa, perasaaan, dan kesadaran dari suasana itu. e. Kehidupan psikologis adalah suatu perbuatan dinamis dimana berlaku interaksi terus-menerus antara tujuan atau motivasi dengan tingkah laku. f. Tingkah laku itu bersifat individual yang berada menurut perbedaan faktorfaktor keturunan dan perolehan atau proses belajar. g. Tingkah laku ada dua tingkatan. Tingkatan pertama manusia berdekatan dengan semua makhluk hidup, yang dikuasi oleh motivasi-motivasi. Sedangkan pada tingkatan yang kedua ia mencapai cita-cita idealnya dan mendekati pada makna-makna ke-Tuhanan dan tingkah laku malaikat, tingkat ini dikuasi oleh kemauaan dan akal.13
13
Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam, Al-Husna, Jakarta, 1992, hlm. 274.
23
Dari berbagai pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa perilaku keagamaan adalah tanggapan atau reaksi nyata seseorang sebagai akibat dari akumulasi pengalaman, pengetahuan sebagai respon yang diterimanya, yang diwujudkan dalam bentuk ibadah keseharian seperti: sholat, puasa, zakat, membaca Al-Qur‟an, bertutur kata, bergaul dengan sesama dan lain sebagainya. 5. Ruang Lingkup Perilaku Keagamaan Perilaku Keagamaan merupakan buah dari akhlak seseorang yang telah terpatri di dalam jiwanya, karena sebuah kesadaran untuk mengamalkan syaraiat Islam dalam kehidupan sehari-hari. Di dalam Islam ibadah terbagi menjadi dua yaitu ibadah magdhoh dan ibadah ghoiru maghloh . Yang termasuk ibadah magdhoh adalah sholat, puasa, zakat, haji. Sedangkan yang termasuk ibadah ghoiru magdhoh antara lain: tolong menolong, bersikap baik, bertuturkata sopan, menghormati orang lain, sedekah, dan masih banyak lainnya. Dengan demikian, ruang lingkup perilaku keagamaan mencangkup halhal sebagai berikut: a. Perilaku manusia kepada Allah, seperti mentauhidkan Allah dan menghindari syirik,bertaqwa kepada-Nya, mohon pertolongan kepadaNya melalui do‟a, berdzikir setiap waktu dan tempat, dan senantiasa bertawaqal kepada-Nya. b. Perilaku manusia kepada Rasulullah, yaitu dengan menegakkan sunahNya mencontoh akhlaknya, menziarahi kuburannya dan membacakan sholawat untuknya.
24
c.
Perilaku manusia pada dirinya sendiri, seperti menjaga kesucian diri dari sifat-sifat tercela, seperti sombong, tamak, rakus, mengumbar nafsu, menumbuhkan
semangat
jihad
dalam
dirinya,
mengembangkan
keberaniah (saja‟ah) dalam menyampaikan kebenaran dan memberantas kedzaliman, senantiasa menempatkan diri untuk lebih baik, cinta dengan ilmu, amanah, jujur, tawadlu‟, mudah memaafkan, menjaga diri dari amarah, selalu qona‟ah, senantiasa mendekatkan diri kepada Allah SWT. d.
Perilaku manusia kepada keluarga, baik suami, istri, anak, orang tua, berusaha memenuhi kewajiban-kewajiban kita dan memenuhi hak-hak mereka, tidak pernah dzalim terhadap mereka, berdakwah kepada mereka, agar terhindar dari apai neraka, sebelum berda‟wah pada yang lain.14
6. Ciri-ciri Perilaku Keagamaan Menurut William James melihat adanya hubungan antara tingkah laku keagamaan sesesorang dengan pengalaman keagamaan yang dimilikinya. Secara garis besar sikap dan perilaku keagamaan itu dapat dikelompokkan menjadi dua tipe, yaitu: pertama tipe orang yang sakit jiwa; kedua tipe orang yang sehat jiwa. Kedua tipe ini menunjukkan perilaku dan sikap keagamaan yang berbeda. a. Tipe orang yang sakit jiwa (The Sick Soul) Sikap kebergamaan orang yang sakit jiwa ini ditemui pada mereka yang pernah mengalami latar belakang kehidupan keagamaan yang terganggu. Mereka yang pernah mengalami ini terkadang secara mendadak dapat menunjukkan sikap yang taat hingga ke sikap yang fanatik terhadap agama
14
Manas Alfat, dkk,Aqidah Akhlaq Kelas VIII, Semarang: Thota Putra, 2003
25
yang diyakininya. Seperti yang dikemukakan Wiliam James berpendapat bahwa penderitaan yang dialami disebabkan oleh dua faktor utama, yaitu faktor intern dan faktor ekstern. Tipe pertama yng melatarbelakangi oleh faktor intern (dalam diri) sedangkan yang kedua faktor adalah faktor ekstern (penderitaan). 1)
Faktor intern yang diperkirakan menjadi penyebab dari timbulnya sikap keberagamaan yang tidak lazim ini: a). Temperamen Temperamen merupakan salah satu unsur dalam membentuk kepribadian manusia sehingga dapat tercermin dari kehidupan kejiwaan seseorang. b). Gangguan Jiwa Orang yang mengidap gangguan jiwa menunjukkan kelainan dalam sikap dan tingkah lakunya. Tindak-tanduk keagamaan dan pengalaman keagamaan yang ditampilkannya tergantung dari gejala gangguan jiwa yang mereka idap. c). Konflik dann keraguan Konfik dan keraguan ini dapat mempengaruhi sikap seseorang terhadap agama seperti taat, fanatik ataupun agnostis hingga ateis. d). Jauh dari teman Orang yang dalamkehidupannya jauh dari ajaran agama, lazimnya akan merasa dirinya lemah dan kehilangan pegangan saat menghadapi cobaan. Hal ini menyebabkan terjadinya semacam perubahan sikap keeagamaan pada dirinya.
26
2). Faktor ekstern yang mempengaruhi sikap keagamaan secara mendadak, adalah: a). Musibah Terkadang musibah yang serius dapat mengguncangkan kejiwaan seseorang. Keguncangan ini sering pula menimbulkan kesadaran diri manusia berbagai macam tafsiran. Bagi mereka yang semasa hebatnya kurang memiliki pengalaman dan kesadaran agama yang cukup umumnya menafsirkan musibah sebagai peringatan Tuhan kepada dirinya. b). Kejahatan Mereka yang menekuni di lingkungan dunia hitam, baik sebagai pelaku
ataupun
pendukung
kejahatan,
umumnya
memiliki
keguncangan batin dan rasa berdosa. Perasaan itu ditutupi dengan perbuatan yang bersifat kompensatif, namun
upaya untuk
menghilangkan guncangan batin tersebut sering tidak berhasil. Karena itu jiwa menjadi labil dan terkadang dilampiaskan dengan tindakan yang brutal, pemarah, mudah tersinggung, dan berbagai tindakan negatif lainnya. b. Tipe orang yang sehat jiwa (Healthy-Minded-Ness) Menurut W. Starbuck tipe orang yang sehat jiwa yang dikemukakan dalam bukunya Religion Psychology adalah: 1). Optimis dan gembira 2). Ekstrovet dan tak mendalam 3). Menyenangi ajaran ketauhidan yang liberal15
15
Jalaluddin, Psikologi Agama. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,2001), hlm.119-126.
27
7. Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Sikap Keagamaan Pada Remaja Perkembangan pada masa remaja menduduki masa progresif. Penghayatan para remaja terhadap ajaran agama dan tindak keagamaan yang tampak pada para remaja banyak berkaitan dengan faktor perkembangan tersebut. Adapun perkembangan agama pada masa remaja ditandai oleh bebarapa faktor perkembangan rohani dan jasmaninya. Perkembangan itu antara lain menurut W. Starbuck yang dikutip dalam bukunya Noer Rohmah yang berjudul Pengantar Psikologi Agama: 16 a. Perkembangan pikiran dan mental b. Perkembangan perasaan Pada masa remaja berbagai perasaan telah berkembang misalnya: perasaan sosial, etis, dan esteris mendorong remaja untuk menghayati perikehidupan yang terbiasa dalam lingkungannya. c. Pertimbangan sosial Dalam kehidupan keagamaan pada masa remaja banyaktimbul konfllik anatar pertimbangan moral dan material.Karena kehidipan duniawi lebih dipengaruhikepentingan akan materi, maka para remaja lebih cenderung jiwanya untuk bersikap materialis. d. Perkembangan moral Perkembangan moral para remaja bertitik tolak dari rasa berdosa dan usaha unttuk mencari proteksi. e. Sikap dan minat Besar-kecil sikap dan minat para remaja terhadap agama ternyata juga dipengaruhi oleh kebiasaan dan lingkungan agama yang diterima sejak kecil. f. Ibadah Tentang pandangan para remaja terhadap ajaran agama yakni masalah ibadah dan do‟a. 8. Faktor-faktor Yang Menghasilkan Sikap Keagamaan atau Sumber Jiwa Agama Secara Psikologik a. Faktor Sosial Faktor ini mencangkup semua pengaruh sosial dalam perkembangan sikap keagamaan itu: pendidikan dari orang-orang itu, tradisi-tradisi sosial, dan tekanan-tekanan lingkungan sosial untuk menyesuikan diri dengan 16
Noer Rohmah, Pengatar Psikologi Agama. (Yogyakarta: Teras, 2013), hlm. 126-130.
28
berbagai pendapat dan sikap yang disepakati oleh lingkungan itu. Konsep psikologik yang paling erat kaitannya dengan pengaruh-pengaruh seperti ini adalah konsep sugesti yakni proses komunikasi yang menyebabkan diterima dan disadarinya suatu gagasan yang dikomunikasikan tanpa alasan-alasan rasional yang cukup. b.
Faktor alami Pada umumnya ada tiga anggapan bahwa kehadiran keindahan, keselarasan dan kebaikan yang dirasakan dalam dunia nyata secara psikologik turut memainkan peranan dalam membentuk sikap keagamaan. Sebenarnya ada tiga unsur yang bisa dibedakan dalam sumbangansumbangan pengalaman di dunia nyata kepada sikap keagamaan yaitu: pengalaman-pengalaman mengenai manfaat, keharmonisan dan keindahan.
c.
Faktor Konflik Moral Pengalaman mengenai konflik ada beberapa kecenderungan perilakunya sendiri dan sistem tatanan yang otoritasnya dikenalinya betul. Sistem tatatnan itu biasanya dsisebut hukum moral; sedangkan konflik psiklogik yang timbul daripadanya bisa disebut konflik moral.
d. Faktor Intelektual Proses-proses intelektual itu merupakan bagian dari landasan sikap keagamaan, karena memang ada benarnya bahwa suatu kepercayaan, secara diam-diam akan lebih kuat dipegangi bila proses pemikiran itu dapat digunakan untuk memberikan alasan pembenarannya, dan kebanyakan orang cenderung meninggalkan kepercayaab-kepercayaan yang dimata mereka tampak kurang mendapatakan dukungan intelektual meskipun
29
kepercayaan-kepercayaan ini menarik perhatian mereka berdasarkan pertimbangan-pertimbangan lainnya. e. Faktor Afektif (Emosional) Salah satu faktor yang membantu pembentukan sikap keagamaan adalah sistem pengalaman emosional yang dimiliki setiap orang dalam kaitannya dengan agama mereka. Ini bisa disebut “emosional” atau “afektif” dalam sikap keagamaan. f. Kebutuhan yang Tidak Terpenuhi Adapun faktor lainnya yang dianggap juga sebagai sumber keyakinan agama ialah adanya kebutuhan-kebutuhan yang tidak terpenuhi secara sempurna dimana-mana sehingga mengakibatkan terasa adanya kebutuhan akan kepuasan-kepuasan agama.17 B. JILBAB 1. Pengertian Jilbab Makna jilbab menurut para mufassir adalah sebagai berikut: (1) kerudung panjang yang menutupi kepala (rambut) dan dada, (2) jilbab (kerudung biasa) dan (3) baju yang besar. Namun, titik temu dari semua dari arti di atas adalah kain panjang yang dapat menutupi badan.18 Secara etimologis, kata jilbab berasal dari bahasa Arab, dan bentuk jamaknya adalah jalabib yang tercantum dalam surat Al-Ahzab ayat 59. Menurut Ibrahim bin Fathi bin Abd Al-Muttaqin dalam bukunya 110 Kekeliruan dalam Berjilbab menyebutkan bahwa jilbab adalah titlebagi sekumpulan hukum-hukum sosial yang berhubungan dengan posisi wanita dalam sistem Islam dan yang disyariatkan Allah agar menjadi benteng kokoh 17
Noer Rohmah, Pengantar Psikologi Agama, (Yogyakarta: Teras, 2013), hlm. 56-66. Denidya Damayanti, Hijab Lover Stories, (Yogyakarta: Araska, 2015), hlm.29.
18
30
yang mampu melindungi kaum wanita, menjadi pagar pelindung yang mampu melindungi masyarakat dari fitnah, dan menjadi framework yang mengatur fungsi wanita sebagai pelahir generasi, pembentuk umat masa depan, dan lebih lanjut sebagai penyumbangsih kemenangan dan kekokohan Islam di muka bumi.19 Menurut Qatadah dalam bukunya Fikih Wanita Tentang Hal-hal Yang Dilarang berkata: Jilbab adalah sepotong kain yang dipakai menutupi tubuh seorang wanita mulai dari keningnya hingga wajahnya dan dadanya. Diwajibkannya wanita memakai jilbab yang dapat menutupi wajahnya dan tubuhnya adalah agar mereka dapat dikenal sebagai orang-orang baik agar mereka tidak diganggu kaum lelaki iseng.20 Beberapa ulama menyamakan makna jilbab dengan hijab. Khalid al Namadi mengartikan hijab sebagai sesuatu (pakaian) yang menutup aurat wanita muslimah dari pandangan laki-laki yang bukan mahram. Hijab merupakan wasilah (sarana) penjagaan bagi wanita muslimah khususnya. Bahkanbagi setiap individu dan masyarakat pada umumnya. 21 Sementara itu, ada pula yang membedakannya. Sebagaimana yang tertulis dalam buku Abdul Halim Abu Syuqqah yang berjudul kebebasan wanita, bahwa hijab adalah penghalang antara laki-laki dan wanita untuk saling melihat, sedangkan jilbab atau libas (pakaian, busana) yang biasa dipakai kaum wanita, meskipun sampai menutup wajah wajahnya, masih memungkinkan wanita memandang laki-laki. Apabila hijab dikhususkan untuk istri-istri Nabi
19
Idatul Fitri dan Nurul Khasanah RA, 110 Kekeliruan dalam Berjilbab, (Jakarta: AlMaghfiroh, 2013), hlm.9. 20 Khalid Abdurrahman Al-„Ikk, Fikih Wanita tentang Hal-hal Yang Dilarang. (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2010), hlm. 320. 21 Khalid al Namadi, Risalah Buat Wanita Muslimah, (Solo: CV. Pustaka Mantiq, 1997), hlm. 160.
31
SAW, maka kewajiban mengenkan libas (busana) tidak ada kekhususannya. Itu berlaku bagi semua tanpa terkecuali.22 Perbedaan ini bertujuan untuk menjaga kesucian bagi para sahabat Rasulullah SAW yang laki-laki, disebabkan mereka tidak bisa melihat Ummul Mukminin (istri-istri Nabi SAW), serta kesucian hati Ummul Mukmin, karena mereka tidak bisa melihat atau memandang kaum laki-laki. Peraturan ini dimaksudkan untuk membedakan Ummul Mulminin dari wanita-wanita mukmin lainnya dan untuk menghormati Rasulullah SAW. 2. Kewajiban Berjilbab Pakaian jilbab disyariatkan bagi setiap mukminat dan muslimat yang sudah akil baligh. Cara penetapan syariat tentang pemakaian jilbab ini bertahap, ketentuan-ketentuannya turut secara berangsur, sehingga manusia tidak dikejutkan dengan perubahan ketentuan dalam masalah aurat.23 Sebagaimana yang terdapat pada Surat Al-Qur‟an sebagai berikut: a. Q.S Al-A‟raf ayat 26
22
Abdul Halim Abu Syuqqah, Kebebasan Wanita, (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), hlm. 25-26. 23 Ensiklopedi Islam, Op Cit., hlm. 317-318.
32
Artinya:
“Hai anak Adam, sesungguhnya kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutupi auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan.”24 Ayat ini mengisyaratkan dua fungsi pakaian, yaitu menutup aurat serta sebagaian hiasan bagi pemkainnya. Yang seringkali menjadi masalah bagi sementara orang adalah memadukan fungsi pakaian sebagai hiasan dengan fungsinya menutup aurat. Disini, tidak jarang orang tergelincir sehingga mengabaikan ketertutupan aurat demi sesuatu yang dinilainya keindahan dan hiasan. Agama Islam menghendaki para pemeluknnya agar berpakaian sesuai dengan fungsi-fungsi tersebut, atua paling sedikitnya fungsinya yang terpenting, yaitu menutp aurat. Ini karena penampakan aurat dapat menimbulkan dampak negatif bagi yang menampakkan serta bagi yang melihatnya.25 b. Q.S An-Nur ayat 30-31
24
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahannya (Semarang: CV Asy Syifa, 2000), hlm. 121. 25 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahannya. (Semarang: CV Asy Syifa, 2000). hlm.121.
33
Artinya: “Katakanlah kepada pria-pria Mukmin: “ Hendaklah mereka menahan sebagian pandangan mereka dan memelihara kemaluan mereka yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. Katakanlah kepada wanita-wannita Mukminah: “ Hendaklah mereka menahan sebagian pandangan” mereka dan memelihara kemaluan mereka dan jangannlah mereka menampakkan hiasan mereka kecuali yang Nampak darinya dan hendaklah mereka menutupkan kerudung mereka ke dada mereka,”26 c. Q.S Al-Ahzab ayat 33
Artinya: “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu, dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orangorang Jahiliyah yang terdahulu”. 27
26
Departemen RI, Op Cit., hlm. 282. Departemen RI, Op Cit., hlm. 337.
27
34
Ayat ini memerintahkan kepada istri-istri Nabi SAW agar tetap dirumah, dan keluar rumah bila ada keperluan yang dibenarkan oleh syara. Perintah ini meliputi segenap mukminat. d. Q.S Al-Ahzab ayat 59
Artinya:
"Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anakanak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya[1232] ke seluruh tubuh mereka". yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.".28 Ayat ini menuntut kaum wanita untuk mengulurkan jilbabnya pada waktu keluar rumah untuk memenuhi keperluan mereka. Yang demikian itu supaya mereka berbeda dari wanita budak, sehingga tidak ada seorang pun akan mengganggu mereka. Ini berarti bahwa jilbab disyariatkan untuk menyempurnakan keadaan ketika mereka keluar rumah. Dan dalam kesempurnaan ini terdapat kesempurnaan pembedaan, penjagaan diri, dan penghormatan. Adapun terpenuhinya penutup yang wajib terhadap aurat maka hal ini dpat diwujudkan dengan pakaian yang bagaimanapun 28
Departemen RI, Op Cit.,hlm. 340.
35
bentuknya, asalkan memenuhi persyaratan yang diperintahkan syari‟ (pembuat syariat).29 3. Syarat-syarat Jilbab Ada beberapa syarat wajib yang harus dipenuhi agar pakaian bisa disebut hijab/jilbab syar’i, antara lain: a. Bahannya tidak terbuat dari perhiasan itu sendiri. Allah memerintahkan perempuan orang-orang beriman agar tidak menampakkan perhiasannya di hadapan laki-laki yang bukan mahramnya, Allah juga melarang mereka bertajarrub yaitu menampakan perhiasan dan kecantikkan ketika keluar rumah, dan tujuan ini tidak akan terealisasi, jika jilbab yang dikenakan
berwarna-warni
yang menarik
dan
menyorot
pandangan atau dibordir dengan aneka aksesoris, perhiasan dan sebagainya. b. Kain tebal dan tidak transparan. Tidak diperbolekan mengenakan pakaian yang tipis di hadapan laki-laki yang bukan mahram, di mana pakaian itu terlihat transparan di hadapannya, menggambarkan warna kulit yang putih atau hitam atau yang lain. Pakaian tipis juga tidak baik untuk dijadikan hijab. Perempuan juga tidak mengenakan pakaian yang tebal akan tetapi kualitasnya buruk dimana menampakkan sebagian aurat, ia tidak sah dipakai untuk shalat,
29
Abdul Halim Abu Syuqqah, Op Cit., hlm. 57.
36
kewajiban menutup aurat terpenuhi jika mengenakan pakaian tebal, menutupi seluruh aurat, menghalangi orang yang memandang dan warna kulit.
c. Tidak mempertontonkan lekukan tubuh. Salah satu tujuan berjilbab adalah menutup aurat dan mencegah terjadinya fitnah dan tujuan mulia ini dapat terealisasi jika perempuan mengenakan pakaian yang tebal dan longgar, karena pakaian yang tebal namun sempit walaupun dapat menutupi warna kulit akan tetapi ia memperlihatkan lekukanlekukan tubuh wanita dan bagian-bagian yang menonjol darinya. d. Tidak diberi aroma wangi. Perempuan tidak diperbolehkan memakai parfum ketika keluar dari rumahnya, karena hal itu akan mengundang pandangan kaum laki-laki yang bukan mahramnya dan dapat membangkitkan syahwat, baik parfum yang diberikan kepada pakaian maupun badannya.
e. Tidak menyerupai pakaian lakip-laki, pakaian wanita wanita fasik atau pakaian syuhrah. Tidak diperbolehkan bagi wanita untuk mengenakan pakaian khusus untuk laki-laki atau wanita fasik, baik dari segala jenis maupun bentuknya, menurut tradisi masyarakat.
37
f. Mencangkup seluruh tubuh Wanita seluruh tubuhnya adalah aurat dihadapan laki-laki yang bukan mahram, karena itu jika ia keluar rumah dengan menampakkan salah satu dari bagian tubuhnnya, maka ia telah mengundang fitnah bagi dirinya sendiri, ia telah menyalahi fitrahnya yang Allah anugerahkan kepadanya. 30 4. Kriteria Busana Muslimah Islam tidak menentukan model pakaian untuk perempuan. Islam sebagai suatu agama yang sesuai untuk tiap masa dan dapat berkembang di setiap tempat, memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada kaum perempuan untuk merancang mode pakaian yang sesuai dengan selera masing-masing, asal saja tidak keluar kriteria berikut: a. Busana dapat menutup seluruh aurat yang wajib ditutup. b. Busana tidak merupakan pakaian untuk dibanggakan atau busana yang menyolok mata. c. Busana tidak tipis, agat kulit pemakainnya tidak tampak dari luar. d. Busana yang longgar dan tidak atau jangan terlalu sempit (ketat), agar tidak menampakkan bentuk tubuh. e. Berbeda dengan pakaian khas pemeluk agama lain,
karena di
samping bnayak sekali ayat Al-Qur‟an yang melarang kaum muslimin dan muslimat meniru pakaian yang mirip dengan pakaian pemeluk agama lain.
30
Syaikh Abdul Wahab Abdussalam Thawilah, Adab Berpakaian dan Berhias.(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2014), hlm. 156-164.
38
f.
Busana muslimah tidak sama dengan pakaian laki-laki, karena Rasulullah SAW melaknat laki-laki yang memakai pakaian perempuan dan perempuan yang memakai pakaian laki-laki, juga beliau mengutuk laki-laki yang meniru-niru perempuan dan perempuan yang meniru laki-laki.
g. Busana tidak menampakkan bentuk perhiasan kecantikan.31 5. Fungsi Jilbab32 a. Sebagai penutup aurat. b. Sebagai perhiasan. Maksudnya adalah perhiasan untuk memperindah penampilan dihadapan Allah SWT dan sesama manusia. Sebagai perhiasan, seseorang bebas merancang dan membuat bentuk atua mode serta warna pakaian yang dianggap indah, menarik, serta menyenangkan, selama tidak melanggar batas-batas yang telah ditentukan. c. Sebagai pelindung tubuh dari hal-hal yang merusak, seperti panas, dingin, angin kencang, sengatan matahari dan sebagainya. 6. Keutamaan Jilbab Bagaiman bila tidak mentaatu-Nya bila di balik kewajiban ini ada hikmah dan rahasia agung, ada keutamaan terpuji, serta tujuan dan maslahat yang besar. Di antaranya adalah: a. Menjaga kehormatan. Jilbab adalah pelindung syar‟i untuk menjaga kehormatan, serta menolak fitnah dan kerusakan.
31
Huzaemah Tahido Yanggo, Fikih Perempuan Kontemporer. (Bandung: Ghalia Indonesia, 2010), hlm. 17-18. 32 Mohammad Irsyad, Jilbab Terbukti Memperlambat Penuaan dan Kanker Kulit. (Yogyakarta: Mutiara Media, 2012), hlm. 31-32.
39
b. Kesucian hati. Jilbab mengajak kepada kesucian hati kaum mukminin dan mukminat, untuk kemudian memenuhinya dengan takwa dan takut kepada dosa-dosa besar. Maha Benar Allah ketika berfirman, “Cara yang demikian itu lebih suci hatimu dan hati mereka” (Al-Ahzab: 53). c. Kemuliaan akhlak. Jilbab lebih mendorong kepada terwujudnya akhlak mulia, berupa kesucian diri, sifat malu, dan ghairah (cemburu), serta mencegah akhlak yang buruk lagi tercela, semisal tidak punya malu, pelanggaran, tabuat rendah dan berbuat kerusakan. d. Jilbab sebagai ciri khas perempuan-perempuan suci. Jilbab menjadi pertanda syar‟i
untuk perempuan-perempuan suci yang menjaga
kehormatan dirinya dan terjauh dari tuduhan miring yang meragukan. e. Meredam ketamakan dan pikiran-pikiran kotor. Jilbab adalah pelindung sosial bagi kaum laki-laki dan perempuan dari berbagai keburukan dan penyakit hati. f.
Menjaga sifat malu. Kata haya’ (malu) berasala dari kata hayah (kehidupan). Artinya, tidak ada kehidupan tanpa ada sifat malu. Sifat malu merupakan salah satu keistimewaan manusia, ciri khas fitrah dan akhlak Islami, sekaligus satu dari sekian banyak cabang keimanan.
g. Jilbab mencegah ekspansi tabarruj, sufur (menampakkan wajah) dan ikhtilat (campur baur antara laki-laki dan perempuan) ke wilayah masyarakat muslim.
40
h. Jilbab menjadi benteng pelindung dari perzinahan dan budaya permisif (serba boleh). Sehingga perempuan tidak akan menjadi wadah yang „dijilati‟ para lelaki hidung belang. i.
Perempuan adalah aurat, dan hijablah yang akan menutup aurat ini. Hijab merupakan bentuk ketakwaan. Allah berfirman:
Artinya: “ Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadammu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah unttuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik.... „ (Al-A‟raf: 26) j.
Menjaga sifat ghairah (cemburu). 33
7. Manfaat Berjilbab a. Mencegah terjadinya ikhtilath dan menghindari munculnya fitnah dan kerusakan, juga menghilangkan perasaan cemburu yang sering muncul pada pasangan dan mahram. b. Menyempurnakan kemuliaan akhlak, menjaga diri, wibawa serta rasa malu. c. Tidak memberi kesempatan kepada mata untuk berkhianat, memutus bisikan setan yang selalu menggoda, jilbab adalah perisai kaum
33
Syaikh Bakr bin Abdullah Abu Zaid, Mengapa Wanita Selalu Dihina?. (Solo: Multazam, 2009), hlm.78-101.
41
wanita
dan
sebagai
penghalang
timbbulnya
keraguan.34
34
Syaikh Abdul Wahab Abdussalam Thawilah, Op.Cit., hlm. 153.
prasangka
dan