BAB II KAJIAN TEORI
2.1 Pembelajaran IPA IPA merupakan singkatan dari Ilmu Pengetahuan Alam. Andre Prima (2013) mengatakan bahwa menurut Srini M. Iskandar (1997), IPA merupakan serangkaian pengetahuan yang diperoleh melalui proses eksperimen dan observasi, kemudian diperjelas dengan aturan-aturan, hukum, prinsip, teori dan hipotesa yang ada. Andre Prima (2013) mengatakan bahwa terdapat tiga komponen penting dalam IPA. Ketiga komponen tersebut adalah: a. Ilmu Pengetahuan Alam sebagai produk ilmiah merupakan kumpulan pengetahuan yang tersusun dari fakta, konsep, prinsip, hukum dan teori. b. Ilmu Pengetahuan Alam sebagai proses ilmiah merupakan keterampilan yang dilakukan oleh para ilmuwan untuk mendapatkan hasil temuan melalui serangkaian proses. c. Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam di Sekolah Dasar merupakan pembelajaran edukatif dari guru kepada murid dengan mengembangkan aspek pengetahuan, keterampilan dan sikap. “Robert M. Gagne menyatakan bahwa proses belajar yang disengaja atau tidak memiliki kelebihan masing-masing dan kemudahan untuk diamati” (Asih Widi Wisudawati dan Eka Sulistyowati, 2014).
Stimulasi yang berasal dari lingkungan berperan penting dalam proses belajar peserta didik. Oleh karena itu, diperlukan suatu pembelajaran yang diharapkan membawa dampak positif pada peserta didik. Salah satunya adalah dengan menggunakan fasilitas-fasilitas yang akan mendukung tercapainya tujuan pembelajaran seperti gambar, grafik, KIT praktikum IPA, video pembelajaran, dan sebagainya (Asih Widi Wisudawati dan Eka Sulistyowati, 2014).
6
7
Menurut pandangan Benjamin S. Bloom yang dikutip oleh Asih Widi Wisudawati dan Eka Sulistyowati (2014:38-39) dalam bukunya yang berjudul Metodologi Pembelajaran IPA, persiapan seorang guru dalam menata lingkungan, mengadakan aktivitas kegiatan dan memberikan pengalaman bagi peserta didik akan sangat mempengaruhi tercapainya tujuan dalam proses pembelajaran. Pengaplikasian materi pembelajaran, peran guru dan peserta didik yang berbeda dan materi pembelajaran dibutuhkan pada tujuan pembelajaran yang berbeda (Asih Widi Wisudawati dan Eka Sulistyowati, 2014:39). Dikutip oleh Herry Sanoto dan Deasy S. Pulungan (2014:19) dalam bukunya yang berjudul Pengembangan Pembelajaran IPA SD, Piaget mengatakan bahwa pengalaman langsung akan mendorong kemajuan perkembangan kognitif anak. Pendidikan IPA penting untuk diajarkan ke anak-anak lewat aktivitas kegiatan yang menarik dan sesuai dengan perkembangan kemampuan kognitif mereka. Paolo dan Marten mendefinisikan keterampilan proses IPA adalah melakukan pengamatan, memahami apa yang telah diamati, menggunakan pengetahuan yang baru untuk membuat prediksi apa yang akan terjadi, kemudian menguji apakah prediksi sebelumnya benar (Samatowa, 2011:5). De vito (1993) mengatakan bahwa pembelajaran IPA yang baik harus dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari (Samatowa: 2011 : 104). Dijelaskan oleh Herry Sanoto dan Deasy S. Pulungan (2014 : 21) mengenai daur belajar untuk mengajarkan IPA. Strategi ini terdiri dari 3 tahap yang berbeda, yaitu: a. Tahap eksplorasi, yaitu suatu tahap dimana anak mengalami sesuatu secara langsung. Pada tahap ini, anak mendapatkan informasi baru yang seringkali bertolak belakang dengan konsep yang telah dimilikinya. b. Tahap generalisasi, yaitu suatu tahap dimana anak dapat menarik kesimpulan
dari
pengalaman
yang
bertolak
belakang
dengan
pengetahuan yang telah dimiliki anak. c. Tahap deduksi, yaitu suatu tahap untuk menerapkan konsep baru pada situasi dan kondisi yang baru.
8
Dari uraian tentang pembelajaran IPA dapat ditarik kesimpulan bahwa IPA merupakan mata pelajaran yang mengarahkan siswa untuk mempelajari alam. Dalam mengajarkan IPA ke siswa, diharapkan agar guru mampu memberikan pengalaman belajar yang bermakna untuk siswa. Sehingga terjadi pembelajaran yang berpusat pada siswa dimana siswa mengalami secara langsung, melakukan pembuktian untuk mengetahui prediksinya benar atau tidak, kemudian menerapkan pengetahuan yang didapatkan. 2.2 Sumber Belajar Menurut Pannen (2001), bahan ajar merupakan bahan atau materi yang telah disusun secara sistematis untuk digunakan guru mengajar di dalam kelas (Andi Prastowo, 2012). Menurut Andi Prastowo (2012) terdapat dua jenis kriteria sumber belajar, yaitu: a. Kriteria Umum Kriteria sumber belajar secara umum diantaranya adalah: - Ekonomis, artinya sumber belajar tidak mahal. - Praktis dan sederhana. - Mudah diperoleh. - Fleksibel, artinya sumber belajar dapat dimanfaatkan untuk berbagai tujuan pembelajaran. b. Kriteria Khusus Kriteria sumber belajar secara khusus diantaranya adalah: - Dengan menggunakan sumber belajar diharapkan dapat memotivasi peserta didik. - Sumber belajar harus mendukung tujuan pembelajaran. - Sumber belajar dapat diteliti dan diobservasi. - Sumber belajar dapat digunakan untuk mengatasi masalah yang dihadapi peserta didik. - Sumber belajar dapat digunakan untuk menyampaikan pesan kepada peserta didik. Dari uraian tentang sumber belajar dapat disimpulkan bahwa sumber belajar merupakan salah satu hal penting yang dibutuhkan dalam rangka
9
mensukseskan pembelajaran. Dengan memenuhi persyaratan umum dan khusus maka dapat dipastikan sumber belajar dapat digunakan untuk membantu guru dan siswa dalam proses pembelajaran. 2.3 Metode Contextual Teaching and Learning (CTL) 2.3.1 Hakikat Contextual Teaching and Learning (CTL) Dalam
buku
Sigit
Mangun
Pembelajaran Kontruktivisme:
Wardoyo
(2013:53)
yang
berjudul
Teori Dan Aplikasi Pembelajaran dalam
Pembentukan Karakter dikatakan bahwa menurut Suprijono (2012), metode Contextual Teaching and Learning (CTL) merupakan suatu metode pembelajaran yang dilakukan oleh guru dengan mengaitkan materi pembelajaran dengan kehidupan nyata, sehingga peserta didik mampu menerapkan pengetahuan yang dimilikinya dalam kegiatan sehari-hari. Dikatakan lebih lanjut oleh Suprijono (2012), bahwa terdapat beberapa prinsip dalam Contextual Teaching dan Learning. Pertama adalah saling ketergantungan antara komponen yang satu dengan yang lainnya. Komponenkomponen tersebut adalah komponen pembelajar, tujuan, metode dan penilaian. Selain itu terdapat lingkungan lain di luarnya dan memiliki keterkaitan erat dalam menciptakan suatu proses pembelajaran yang bermakna. Kedua adalah diferensiasi, maksudnya adalah dalam Contextual Teaching and Learning(CTL) disediakan berbagai macam pengetahuan dari berbagai realitas kehidupan yang ada di sekitar peserta didik. Adanya perbedaan-perbedaan inilah yang nantinya dapat membuat peserta didik memahami dan memiliki kesiapan dalam beradaptasi dan berinteraksi dengan keadaan tersebut. Ketiga adalah pengaturan diri. Keterlibatan peran siswa sangat dibutuhkan dalam penerapan metode Contextual Teaching and Learning (CTL). Peserta didik harus mampu mengatur dirinya untuk melaksanakan tanggung jawab dan tugastugas yang diberikan dalam rangka menghubungkan materi dengan kehidupan nyata. Tanggung jawab dan aktivitas kegiatan siswa harus dilakukan secara sadar, kreatif dan menyenangkan. Keempat adalah pembelajaran dipusatkan pada pembelajaran bermakna (meaningful learning). Proses Contextual Teaching and Learning (CTL) harus
10
mampu menciptakan kondisi pembelajaran yang dapat membuat peserta didik mampu memahami dan mengaplikasikan apa yang telah mereka pelajari. Maka dari itu, guru harus benar-benar memberikan penjelasan secara utuh terkait dengan tujuan pembelajaran, materi yang akan diajarkan, kebermanfaatannya dan proses apa yang harus dilakukan oleh peserta didik. Kelima, adalah proses pembelajaran yang autentik. Artinya, bahwa dalam pembelajaran guru harus mengutamakan pengalaman yang nyata, pengetahuan yang bermakna dalam menghadapi kehidupan nyata. Sehingga peserta didik harus memiliki kemampuan afektif, psikomotorik dan kognitif. Keenam adalah memusatkan pada proses dan hasil pembelajaran. Maka dari itu, diperlukan penilaian dan evaluasi dari perpaduan berbagai informasi yang diperoleh dari berbagai teknik dan instrumen. Hal yang paling penting adalah bagaimana seorang pendidik mengaplikasikan penilaian secara autentik. Dalam Pembelajaran
buku
Sigit
Mangun
Kontruktivisme:
Teori
Wardoyo dan
(2013:53)
Aplikasi
yang
berjudul
Pembelajaran
dalam
Pembentukan Karakter dikatakan bahwa menurut Suprijono (2012), terdapat tujuh komponen pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) yaitu: a. kontruktivisme, b. inkuiri, c. bertanya, d. masyarakat belajar, e. pemodelan, f. refleksi, g. penilaian autentik. 2.3.2 Sintaks Contextual Teaching and Learning (CTL) Menurut Sigit Mangun Wardoyo (2013:61) pada penerapan metode CTL terdapat 6 langkah yang dapat dilakukan. Keenam langkah tersebut adalah: a. Tahap Pengenalan Dalam tahap ini, siswa akan dikenalkan dengan hal baru yang akan dipelajari. Tahap ini akan membantu siswa dalam tahap-tahap selanjutnya.
11
b. Tahap Pengaitan Dalam tahap pengaitan, siswa diminta untuk mengaitkan pengetahuan baru yang didapatkan dengan pengetahuan awal yang telah dimiliki siswa sebelumnya. c. Tahap Penafsiran Dalam proses pembelajaran konstruktivisme, siswa dituntut untuk menemukan dan menyimpulkan pengetahuan yang didapatkannya dengan menafsirkan pada pengetahuan yang dimiliki sebelumnya. d. Tahap Implementasi Dalam tahap implementasi, siswa diminta mengimplementasikan pengetahuan yang telah mereka dapatkan ke dalam konteks kehidupan yang nyata. Nilai-nilai yang telah dipelajari dapat diterapkan dalam sikap dan perilaku mereka. e. Tahap Refleksi Dalam CTL, siswa perlu melakukan tahap refleksi. Dimana dalam tahap ini siswa mampu mengingat kembali apa yang telah mereka lakukan selama pembelajaran dan mengerti kekurangan atau kelemahan mereka selama mengikuti proses pembelajaran. f. Tahap Evaluasi Pada tahap ini siswa dinilai secara autentik untuk menentukan sampai dimana pengetahuan dan kemampuan siswa setelah dilakukannya proses pembelajaran. Penilaian dilakukan dengan berbagai teknik baik teknik tes maupun non tes. Hal yang dievaluasi juga meliputi proses dan hasil pembelajaran. 2.3.3 Strategi Pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) Menurut Beni S. Ambarjaya (2012:94) dalam bukunya yang berjudul Psikologi Pendidikan & Pengajaran, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menerapkan metode Contextual Teaching and Learning, diantaranya: a. Strategi pembelajaran kontekstual merupakan suatu metode yang melibatkan peran siswa secara penuh melalui kegiatan-kegiatan baik secara fisik maupun mental.
12
b. Strategi pembelajaran kontekstual tidak memiliki pandangan bahwa belajar mengharuskan siswa untuk menghafalkan materi sendiri, tetapi melalui kegiatan-kegiatan dapat memberikan siswa pengalaman dalam kehidupan nyata dan secara tidak langsung mengajak siswa untuk belajar. c. Ruang kelas di dalam pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) merupakan tempat untuk menguji hasil temuan di lapangan. d. Siswa berperan aktif untuk menemukan materi sendiri dan tidak hanya menerima materi dari guru. Jadi, guru lebih berperan sebagai fasilitator dan siswa memiliki pengalaman untuk mencari dan menemukan sendiri materi pelajaran. e. Metode Contextual Teaching and Learning (CTL) menuntut siswa untuk dapat menyimpulkan hubungan antara pengalaman belajar dengan kehidupan nyata. f. Metode Contextual Teaching and Learning (CTL) tidak hanya membuat siswa memahami materi yang dipelajarinya, namun juga agar pelajaran yang didapatkan mampu diterapkan di dalam kehidupan nyata para siswa. 2.3.4 Langkah-Langkah CTL untuk Membangun Keterkaitan di Kelas Menurut Johnson dalam bukunya yang berjudul Contextual Teaching Learning: Menjadikan Kegiatan Belajar-Mengajar Mengasyikkan dan Bermakna terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk membangun keterkaitan dalam proses pembelajaran, diantaranya adalah: a. Guru perlu memikirkan bagaimana siswa mendapatkan informasi di kelas. Selain memberikan informasi atau pelajaran kepada siswa, guru juga perlu mengajak siswa berdiskusi mengenai materi yang sedang mereka pelajari. Pelajaran juga perlu disampaikan dengan cara yang bervariasi karena setiap siswa memiliki gaya belajar yang berbeda. b. Guru perlu menyusun dan memikirkan tujuan utama dari pelajaran di kelas yang akan dilaksanakan.
13
c. Guru perlu menguji isi mata pelajaran sehingga dapat mengetahui apakah dengan mengajarkan materi tersebut siswa dapat memiliki kesempatan untuk bertanya, bekerja sama dalam menyelesaikan tugas, serta menghubungkan pengetahuan baru dengan pengetahuan yang sebelumnya. Guru perlu memberikan siswa waktu untuk mempelajari materi lebih dalam. d. Guru perlu mempertimbangkan apakah pelajaran yang akan diajarkan dapat membuat siswa berpikir tentang kesadaran situasi rumah siswa. e. Guru perlu menggunakan beberapa metode penilaian autentik yang berhubungan langsung dengan mata pelajaran. f. Guru perlu memberikan kesempatan kepada siswa untuk berpikir kreatif dan kritis. g. Guru perlu memberikan kesempatan untuk siswa bekerja sama, karena lewat aktivitas ini siswa dapat belajar dari siswa lain serta belajar untuk saling menghargai pendapat siswa lain. h. Guru perlu memberikan kesempatan bagi siswa belajar dengan menggunakan media dan fasilitas-fasilitas pendukung. i. Guru perlu menyediakan lingkungan kelas yang aman dan nyaman. j. Guru perlu menunjukkan kepedulian kepada setiap siswa tanpa membeda-bedakan atau mengutamakan salah satu. 2.4 Media 2.4.1 Hakikat Media Menurut Azhar Arsyad (2011) dalam bukunya yang berjudul Media Pembelajaran, media berasal dari bahasa latin yaitu medius yang berarti perantara. Dituliskan juga dalam bukunya, Gerlach dan Ely (1971) menyatakan bahwa media dapat diartikan sebagai manusia, materi atau kejadian yang dapat menyebabkan siswa memperoleh pengetahuan, keterampilan dan sikap. Seringkali media disebut juga sebagai mediator yang menghubungkan dua pihak yang saling berkaitan yaitu siswa dengan isi materi. Dina Indriana (2011) dalam bukunya yang berjudul Ragam Alat Bantu Media Pengajaran mengatakan bahwa media berasal dari bahasa latin yaitu
14
medium yang secara harfiah berarti perantara antara sumber pesan dan penerima pesan. Kemudian menjelaskan tentang pengertian media dari beberapa ahli, diantaranya adalah: a. Gagne menyatakan bahwa media menunjukkan adanya berbagai macam komponen yang mampu membantu siswa belajar. b. Miarso menyatakan bahwa media berfungsi untuk menyampaikan pesan yang dapat merangsang perasaan, pikiran, kemauan dan perhatian siswa untuk belajar. c. Schram menyatakan bahwa guru dapat memanfaatkan media sebagai teknologi pengantar pesan untuk keperluan mengajar. d. National Education Association mengatakan bahwa bahwa media merupakan sarana komunikasi yang berbentuk cetak atau audiovisual, termasuk perangkat kerasnya. e. Association
for
Educational
Communications
and
Technology
mengatakan bahwa media merupakan segala sesuatu yang dapat menyampaikan informasi. Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa media merupakan sarana komunikasi untuk menyampaikan pesan dari komunikator ke komunikan. Guru sebagai komunikator akan dapat menyampaikan pesan dengan mudah ke murid lewat bantuan media. 2.4.2 Hakikat Media Pembelajaran Radio, media cetak, diagram, televisi dan komputer merupakan contoh media yang ada. Beberapa contoh media yang penulis sebutkan dapat digunakan dalam proses pembelajaran dalam tercapainya tujuan pembelajaran. Banyak sekolah-sekolah di Indonesia terutama di sekolah di perkotaan yang memiliki sarana dan prasarana yang memadai termasuk media pembelajaran yang sangat mendukung terlaksananya proses pembelajaran dengan baik. Leslie J. Briggs (1979) menyatakan bahwa media pembelajaran seperti buku, film, rekaman video dan lain sebagainya dapat digunakan untuk merangsang peserta didik supaya memiliki kemauan belajar (Dina Indriana, 2011:14). Media pembelajaran juga dapat dikatakan sebagai sarana komunikasi bagi pendidik kepada anak didik.
15
Pendidik berperan sebagai komunikator dan anak didik berperan sebagai komunikan. Komunikator perlu menyampaikan informasi kepada komunikan. Jika komunikan memahami informasi tersebut artinya informasi tersampaikan dengan baik. Dalam hal ini media pembelajaran dapat digunakan untuk membantu proses tersampaikannya informasi dengan lebih baik.Media pembelajaran yang dapat digunakan diantaranya adalah televisi, komputer, peta dunia, video pembelajaran, power point, papan tulis, buku cerita, peralatan eksperimen dan sebagainya. Dari uraian mengenai hakikat media pembelajaran dapat disimpulkan bahwa
media pembelajaran sangat diperlukan sebagai perantara antara
komunikator dan komunikan dalam menyampaikan materi ajar. Dengan digunakannya media pengajaran di dalam kelas diharapkan agar dapat menarik perhatian siswa untuk belajar dan terlaksananya proses pembelajaran dengan baik. 2.4.3 Macam-Macam Media Pembelajaran Dilihat dari bentuk dan cara penyajiannya, klasifikasi media pembelajaran terbagi menjadi: (a) grafis, bahan cetak, dan gambar diam; (b) media proyeksi diam; (c) media audio; (d) media gambar hidup/film; (e) media televisi; dan (f) multimedia. Namun jika dilihat dari bentuknya, klasifikasi media pembelajaran terbagi menjadi: (a) media cetak (printed media), (b) media pameran (displayed media), (c) media yang diproyeksikan (projected media), (d) rekaman audio (audiotape recording), gambar bergerak (motion picture), dan media berbasis komputer (computer based media) (Dina Indriana, 2011:55-56). 2.4.4 Fungsi dan Manfaat Media Pembelajaran Dina Indriana (2011) dalam bukunya yang berjudul Ragam Alat Bantu Media Pengajaran, memaparkan empat pilar pendidikan menurut UNESCO, yaitu: a. belajar untuk menguasai (learning to know), b. belajar untuk menerapkan (learning to do), c. kemampuan memanfaatkan ilmu untuk kepentingan bersama (to live together), dan d. keterampilan untuk bekerja secara profesional (to be). Media membantu siswa dalam memperoleh pengalaman belajar yang lebih baik. Jika guru dapat menggunakan media yang tepat dalam proses pembelajaran,
16
maka kemungkinan besar hal tersebut dapat membantu meningkatkan hasil prestasi siswa (Dina Indriana, 2011). Menurut Kemp dan Dayton dalam buku Dina Indriana yang berjudul Ragam Alat Bantu Media Pengajaran (2011: 47-48) menyatakan bahwa terdapat beberapa manfaat dari media pembelajaran. Pertama, media pembelajaran dapat membuat pesan pembelajaran tersampaikan pada standar yang lebih tinggi. Kedua, media pembelajaran menjadikan pembelajaran semakin menarik. Ketiga, media pembelajaran dapat menjadikan pembelajaran lebih interaktif. Keempat, adanya penyingkatan waktu dengan menerapkan teori belajar. Kelima, media pembelajaran dapat menyebabkan terjadinya peningkatan kualitas pembelajaran. Keenam, dengan adanya media pembelajaran memudahkan proses pembelajaran untuk dilakukan dimana pun dan kapan saja. Ketujuh, adanya peningkatan sikap positif siswa terhadap materi pembelajaran. Kedelapan, adanya peningkatan peran guru menjadi lebih positif. Dalam buku Dina Indriana (2011) dijelaskan pula bahwa terdapat nilai dan manfaat yang dapat diperoleh dari penggunaan media, diantaranya adalah: a. Mengubah materi abstrak menjadi konkret. Anak-anak memiliki karakteristik perkembangan yang berbeda-beda. Tentunya dalam kelas bawah maupun kelas tinggi, penggunaan benda konkret akan lebih membantu proses pemahaman terhadap materi. Untuk itu media pembelajaran memiliki manfaat yang besar bagi anak karena berbentuk konkret. b. Menghadirkan objek-objek yang berbahaya atau sulit didapatkan namun perlu diajarkan kepada anak-anak. Contohnya adalah ketika guru akan mengajarkan mengenai binatang buas namun tidak memungkinkan membawa contoh binatang buas ke dalam kelas atau tidak memungkinkan pula untuk membawa anak ke kebun binatang, maka guru dapat menggunakan CD interaktif, video pembelajaran, maupun buku cerita untuk mengajarkannya. c. Menampilkan benda yang terlalu besar atau terlalu kecil ke dalam kelas. Dalam pembelajaran guru akan mengajarkan mengenai transportasi,
17
sejarah candi, mikroba, dan sebagainya. Namun seringkali karena merasa susah untuk membawa benda-benda besar dan kecil tersebut ke dalam kelas, guru hanya membacakan dari buku pegangan sehingga masih dominan untuk menggunakan metode ceramah. Padahal penggunaan media pembelajaran akan sangat membantu, guru bisa menampilkan gambar-gambar
melalui
media
powerpointataupun
menampilkan video tentang materi tersebut. d. Memperlihatkan gerakan yang terlalu cepat atau terlalu lambat. Dengan menggunakan media seperti video, guru dapat menampilkan peristiwa yang berlangsung sangat cepat seperti video melesatnya peluru atau melesatnya anak panah dengan memperlambat video. Guru juga
dapat
menggunakan
video
untuk
menunjukkan
proses
pertumbuhan tumbuhan yang secara nyata tidak dapat dilihat dengan sangat cepat. Media pembelajaran akan sangat membantu guru dalam mengajar. Banyak sisi positif yang dimiliki oleh media pembelajaran. Selain membuat guru mengajar dengan kreatif, media pembelajaran juga akan membuat siswa tertarik untuk belajar. 2.4.5 Tingkat Kesesuaian Media Menurut Dina Indriana (2011) dalam bukunya yang berjudul Ragam Alat Bantu Media Pengajaran terdapat beberapa faktor yang mampu menentukan layak tidaknya suatu media digunakan dalam pembelajaran. Beberapa faktor tersebut adalah tujuan pembelajaran, karakteristik siswa, lingkungan, ketersediaan fasilitas pendukung, dan lain sebagainya. Berikut merupakan tingkat kesesuaian yang dikelompokkan sebagai berikut. a. Kesesuaian dengan tujuan pembelajaran Media yang digunakan tentu harus disesuaikan dengan tujuan pembelajaran yang ada, baik secara umum maupun khusus, bahkan lebih baik jika disesuaikan dengan standar kompetensi, kompetensi dasar dan indikatornya sehingga tujuan pembelajaran yang diharapkan tercapai dengan baik.
18
b. Kesesuaian dengan materi yang diajarkan Sesuai dengan fungsinya sebagai perantara, media harus disesuaikan dengan materi ajar sehingga dapat membantu guru menyampaikan materi dengan baik ke siswa. c. Kesesuaian dengan fasilitas pendukung, kondisi lingkungan dan waktu Media perlu disesuaikan dengan kondisi lingkungan yang ada untuk mencapai tujuan pembelajaran yang diharapkan. Sebagus apapun media yang dimiliki apabila tidak didukung dengan lingkungan atau waktu maka tidak akan bisa dipakai dalam pembelajaran. Contohnya saja jika guru akan mengajar menggunakan slide power point tapi di sekolah tidak ada projector maka proses pembelajaran akan terhambat. d. Kesesuaian dengan karakter siswa Penggunaan media juga perlu disesuaikan dengan karakter siswa. Ada kalanya beberapa siswa berbeda sehingga membutuhkan pendampingan khusus atau perlu disesuaikan media yang cocok untuk semua karakter siswa. Contohnya saja jika ada siswa yang memiliki kekurangan pada pendengaran maka tidak mungkin guru menyediakan media audio dalam pembelajaran. e. Kesesuaian dengan gaya belajar siswa Terdapat 3 gaya belajar siswa yaitu gaya belajar visual, auditif dan kinestetik. Pemilihan media juga perlu mempertimbangkan ketiga gaya belajar ini. Siswa dengan gaya belajar audio akan lebih paham belajar dengan melihat langsung suatu benda atau kejadian, guru dapat menggunakan video dan gambar sebagai media pembelajaran. Siswa dengan gaya belajar auditif akan mudah memahami pelajaran dengan cara mendengarkan. Sedangkan siswa dengan gaya belajar kinestetik akan lebih paham belajar dengan cara melakukan. f. Kesesuaian dengan teori yang digunakan Teori merupakan hal penting dalam pemilihan media yang akan digunakan dalam pembelajaran di kelas. Pemilihan media bukan hanya
19
bergantung pada pilihan guru namun juga harus disesuaikan dengan teori. 2.4.6 Media Cetak Media cetak dibuat dengan proses percetakan dengan tujuan untuk menyampaikan pesan dalam bentuk huruf dan gambar. Fungsi dari media cetak adalah untuk menyampaikan informasi atau pesan dengan jelas. Contoh media cetak adalah: buku pegangan guru, buku pegangan siswa, lembar kerja siswa, buku ceritadan sebagainya yang dibuat dengan tujuan untuk memberikan penjelasan tentang materi yang akan diajarkan. Dina Indriana (2011:63-64) dalam bukunya yang berjudul Ragam Alat Bantu Media Pengajaran memaparkan kelebihan dan kekurangan media cetak. Kelebihan media cetak adalah: a. penyajian informasi yang lebih banyak, b. informasi dapat dipelajari sesuai dengan kebutuhan siswa, c. media cetak yang disajikan dengan warna dan gambar akan menjadi lebih menarik, d. kemudahan untuk melakukan perbaikan. Sedangkan kekurangan media cetak adalah: a. proses pembuatan yang cukup lama karena melalui proses percetakan, b. tebalnya bahan cetak terkadang membuat anak didik enggan mempelajarinya, c. kualitas kertas yang buruk mengakibatkan media cetak cepat rusak. 2.5 Media Cerita Bergambar Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, cerita merupakan karangan mengenai apa yang dialami orang lain baik itu nyata atau tidak. Sedangkan bergambar berasal dari kata gambar yang berarti tiruan yang dibuat dengan coretan pensil pada kertas atau lukisan. Berdasarkan pengertian di atas cerita bergambar adalah karangan yang berisi rangkaian kegiatan yang dialami seseorang dan disajikan dengan gambar yang mendukung karangan tersebut. Ketika anak-anak membaca suatu karangan, mereka membutuhkan imajinasi yang tinggi untuk memahaminya. Namun dengan
20
membaca buku cerita bergambar yang dipenuhi gambar-gambar ilustrasi yang menggambarkan setiap peristiwa dalam cerita membuat anak lebih mudah memahami dan berimajinasi. Menurut Amir Hamzah Suleiman (1981) dalam bukunya yang berjudul Media Audio-Visual untuk pengajaran, penerangan dan penyuluhan menjelaskan bahwa penggunaan media gambar dapat membuat orang lebih memahami ide/gagasan daripada membaca tulisan atau mendengarkan kata-kata. Anak-anak berbeda dengan orang dewasa yang sudah mampu menginterpretasikan makna dari suatu gambar, mereka harus diarahkan untuk mengetahui apa yang dimaksud dari gambar tersebut. Dari suatu gambar, guru dapat membuat siswa memiliki rasa ingin tahu yang cukup tinggi sehingga mereka aktif untuk bertanya dan memperluas pengetahuan mereka. Menurut Drs. Oemar Hamalik (1980) dalam bukunya yang berjudul Media Pendidikan, terdapat beberapa alasan penggunaan media gambar dalam pendidikan, yaitu: a. Gambar bersifat konkret. Penggunaan gambar dapat mempermudah siswa memahami materi pelajaran, sehingga siswa bukan hanya mampu membayangkan suatu benda / suatu kejadian. b. Gambar mengatasi batas waktu dan ruang. Sebagai contoh dalam pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial, guru mengajarkan mengenai bangunan bersejarah seperti piramida dan candi prambanan, serta benua-benua di dunia. Guru tidak mungkin mengajak siswa pergi langsung ke lokasi atau ke masa lampau, oleh karena itu gambar merupakan media yang baik untuk digunakan dalam mengajarkan materi tersebut. c. Gambar mengatasi kekurangan daya panca indera manusia. Benda-benda yang terlalu kecil untuk dilihat dapat difoto dan gambarnya dapat digunakan sebagai bahan materi ajar yang memudahkan siswa melihat dengan jelas benda tersebut tanpa
21
menggunakan
mikroskop.
Contohnya
adalah
mempelajari
sel
tumbuhan. d. Gambar dapat didapatkan dengan biaya yang murah. Bagi sebagian sekolah yang tidak memiliki cukup dana untuk menunjang proses kegiatan belajar mengajar, penggunaan media gambar sangatlah membantu. e. Gambar mudah digunakan baik secara perorangan maupun kelompok. Dengan menggunakan gambar ukuran besar seluruh siswa dapat melihat dengan jelas, namun untuk kelompok atau individu dapat diberikan gambar ukuran kecil yang mampu membantu siswa memahami materi dengan baik. 2.5.1 Manfaat Media Cerita Bergambar Suyanto dan Abbas (Evantina, 2011), menyatakan bahwa “cerita dapat digunakan sebagai sarana mendidik dan membentuk kepribadian anak. ”Ketika pendidik membacakan cerita dan anak didik menyimak, saat itulah mereka belajar mengenal tokoh, karakter, latar tempat dan budaya serta sebab akibat dalam alur cerita. Pesan moral yang terkandung dalam cerita dapat ditanamkan pada diri anak didik dan lebih kuat daripada nasehat. Dengan menggunakan cerita bergambar, guru akan menjadi lebih kreatif untuk mengajar. Siswa dapat melatih keterampilan membaca dari kalimat-kalimat yang disajikan. Buku cerita juga semakin menarik dengan menampilkan gambargambar yang imajinatif yang dapat memancing imajinasi mereka. Buku cerita bergambar dengan ukuran yang cukup besar dapat digunakan guru untuk dibacakan di depan kelas. Dari buku tersebut, guru dapat memberikan pertanyaanpertanyaan sambil membacakan cerita dan tanpa sadar kegiatan ini dapat melatih keterampilan siswa dalam menjawab pertanyaan guru. Pertanyaan yang disampaikan guru dari buku cerita bukan sekedar pertanyaan mengenai pengetahuan apa yang disampaikan oleh guru dari cerita tersebut namun juga pemahaman (comprehension) mereka yang menuntut mereka berpikir kritis. Seperti yang kita ketahui, bahwa masih banyak anak-anak Indonesia yang malu jika diberi kesempatan mengutarakan pendapat atau menjawab pertanyaan
22
bahkan ketika guru meminta mereka untuk aktif. Melalui buku cerita bergambar, guru dapat melatih mereka untuk aktif menanggapi. Dituliskan oleh Zhihui Fang (1996) bahwa menurut Bodmer (1992), gambar ilustrasi bertujuan untuk mengembangkan, menjelaskan, menafsirkan suatu teks tertulis. Gambar ilustrasi yang digunakan dalam buku ceritapun berbeda dengan gambar yang dipamerkan dalam suatu pameran. Gambar ilustrasi di dalam buku cerita lebih kepada menjelaskan jalannya suatu cerita. Gambar ilustrasi memiliki fungsi sebagai berikut: a. Menetapkan latar Menurut Norton (1987) setting biasa digunakan di dalam buku cerita untuk menjelaskan waktu dan tempat, membuat suasana hati, memunculkan musuh, atau menekankan pada suatu simbol yang berarti. Gambar ilustrasi seringkali mendukung fungsi dari setting. Contohnya, cerita sejarah dapat dijelaskan melalui gambar ilustrasi yang mungkin tidak dapat dijelaskan melalui kata-kata. Selain itu, gambar ilustrasi juga dapat membuat kesan pembaca merasakan apa yang terjadi dalam suatu cerita. b. Mendefiniskan dan mengembangkan karakter Karakter pada gambar ilustrasi hendaknya memiliki ciri khusus yang memiliki daya tarik bagi pembaca anak-anak dan sesuai dengan permintaan format pendek. Ketika cerita pendek tidak dapat mendefinisikan dan mengembangkan karakter dengan jelas, maka disinilah fungsi gambar ilustrasi yang dapat membuat anak memahami jalannya cerita. c. Memperluas atau mengembangkan plot Gambar ilustrasi dapat membantu pembaca memahami alur dari suatu cerita. Terkadang pada buku cerita tersedia naskah yang pendek dan tidak begitu jelas alurnya, namun melalui gambar ilustrasi mampu menjelaskan alur dari cerita tersebut. Contohnya saja dalam buku yang berjudul “Where the Wild Things Are”, pembaca dapat mengetahui bahwa ibu mengurung Max tanpa makan malam karena perbuatan
23
nakalnya. Walaupun pada naskah tidak dijelaskan apa yang terjadi pada Max, namun gambar ilustrasi mampu menjelaskan permasalahan yang ada. Pembaca dapat melihat Max berdiri di atas buku-buku, memasang paku pada dinding dengan palu dan memburu anjing dengan garpu. Walaupun naskah menjelaskan sedikit ketika Max pergi meninggalkan hutan belantara dan kembali ke rumah, gambar ilustrasi mengimbangi dengan kekurangan penjelasan pada naskah. d. Menyediakan beberapa sudut pandang yang berbeda Kadang-kadang gambar ilustrasi justru bertolak belakang dengan naskah. Menurut Lukens (1990) semakin hebat proporsi dari gambar ilustrasi ke naskah, maka akan semakin hebat pengaruh gambar ilustrasi dalam cerita. Hutchin (1968) mengatakan bahwa dalam cerita berjudul Rosie’s Walk, ayam betina yang bernama Rosie berjalan-jalan di sekeliling peternakan dan kembali untuk “makan malam”. Namun pada gambar ilustrasi terdapat rubah yang bersembunyi di belakang Rosie dan bersiap menjadikan Rosie makan malamnya. e. Memperjelas kesinambungan naskah Menurut Tannen (1984), gambar ilustrasi dapat memperjelas maksud dari suatu naskah yang berkelanjutan. Gambar ilustrasi dapat membantu pembaca mengkaitkan maksud dari suatu naskah ketika digabung menjadi satu dalam bentuk media cetak. f. Memperkuat naskah Fungsi utama gambar ilustrasi adalah untuk memperkuat daripada menjelaskan
naskah.
Buku
cerita
bergambar
non-fiksi
sering
menggunakan fungsi ini yakni memanfaatkan gambar ilustrasi sebagai penguat naskah. 2.5.2 Kriteria Media Gambar yang Baik Drs. Oemar Hamalik (1986) dalam bukunya yang berjudul Media Pendidikan memaparkan beberapa kriteria media gambar yang baik, diantaranya adalah:
24
a. Keaslian gambar Gambar harus menunjukkan situasi atau keadaan yang sebenarnya, sehingga tujuan pembelajaran tercapai dan siswa mampu memahami dengan baik. b. Gambar sederhana Gambar tidak terlalu ramai dan warnanya juga sederhana sehingga membuat anak-anak tertarik untuk membaca dan tidak membuat bingung mereka memahami gambar. c. Gambar yang menunjukkan suatu perbuatan lebih menarik perhatian anak-anak. d. Anak-anak terkadang lebih tertarik dengan gambar fotografi yang tidak terlalu bagus. e. Penggunaan gambar disesuaikan dengan tujuan yang hendak dicapai. Terkadang gambar biasa justru lebih membuat anak tertarik. Amir Hamzah Suleiman (1981) dalam bukunya yang berjudul Media Audio-Visual untuk Pengajaran, Penerangan dan Penyuluhan memaparkan syaratsyarat pemilihan gambar yang baik untuk dipakai, diantaranya adalah: a. Gambar yang digunakan harus bagus, jelas, menarik, mudah dimengerti dan cukup besar untuk dapat memperlihatkan detail. Penggunaan media gambar yang cukup besar mampu digunakan guru untuk menerangkan suatu materi kepada seluruh siswa sehingga mereka akan dapat melihat gambar dengan jelas dan memberi keuntungan tersendiri bagi guru karena siswa akan dengan mudah memperhatikan guru. b. Gambar berkaitan dengan materi yang akan dipelajari sehingga tujuan pembelajaran dapat tersampaikan dengan baik. c. Gambar harus autentik yang berarti harus sama dengan kejadian yang sebenarnya dalam kehidupan nyata. d. Gambar harus sederhana karena anak-anak susah memahami gambar yang terlalu ramai dan tidak menunjukkan bagian terpenting dari suatu gambar sehingga memungkinkan kekeliruan pemahaman.
25
e. Gambar harus disesuaikan dengan kemampuan anak. Sebagai contoh, tidak mungkin guru menyediakan buku cerita bergambar untuk orang dewasa yang terlalu rumit. f. Penggunaan warna dalam gambar mampu menarik perhatian anak-anak dan memperjelas maksud dari gambar. Namun penggunaan warna yang tidak sesuai justru dapat membuat kesan menyimpang dari maksud awal. Contohnya adalah pada gambar pantai, pasir diberi warna hijau sehingga menimbulkan pemahaman bahwa pasir berwarna hijau. g. Gambar seharusnya memiliki ukuran perbandingan yang benar. Suatu kesalahpahaman pernah terjadi pada anak-anak Sekolah Dasar di kotakota besar Amerika. Mereka mengira bahwa sapi sama besarnya dengan kucing karena sering melihat keduanya hampir sama besar dalam gambar. 2.5.3 Kriteria Cerita Bergambar yang Baik Suhartono (2014) menyatakan bahwa guru perlu memilih materi yang sesuai dengan kurikulum untuk selanjutnya mencari media yang cocok sesuai dengan tingkat perkembangan bahasa, psikologis dan perkembangan siswa. Suhartono (2014) menuliskan bahwa Sutawijaya dan Rumini (Supriyadi, dkk. 1992:351) menetapkan 2 kriteria khusus dalam pemilihan bahan pembelajaran, di antaranya adalah: a. Kriteria Keterbacaan i. Kejelasan Bahasa Cerita yang digunakan harus sesuai dengan tingkat bahasa siswa SD. Bahasa yang sederhana, kalimat tidak teralalu panjang dan tidak rumit merupakan bahasa yang harus digunakan pada cerita anakanak. Jenis tulisan yang digunakan juga perlu diperhatikan. Katakata yang digunakan juga harus mengandung makna konkret. Sebelum guru memutuskan untuk menggunakan suatu media cerita, guru harus benar-benar memahami perkembangan berbahasa siswa. Penggunaan buku cerita dengan bahasa yang setingkat lebih tinggi di
26
atas tingkat kemampuan siswa juga bagus digunakan untuk memperluas kosakata siswa (Rusana, 1982:31). ii. Kejelasan Tema Tema cerita hendaknya memiliki nilai etik terpuji, misalnya tentang kejujuran,
kasih sayang,
cinta
lingkungan,
keberanian dan
sebagainya agar dapat membentuk kepribadian siswa secara positif. iii. Kesederhanaan Plot Plot merupakan serangkaian peristiwa yang terdapat di dalam cerita. Dalam mengajarkan materi kepada siswa kelas rendah (kelas 1-3) hendaknya digunakan plot yang sederhana. Dalam plot ini dapat dimasukkan beberapa konflik sederhana yang dapat melatih siswa kelas rendah mencari solusi untuk memecahkan permasalahan yang ada. iv. Kesederhanaan Perwatakan Perwatakan yang digunakan haruslah yang konsisten sehingga tidak membingungkan
siswa.
Kesederhanaan
perwatakan
mampu
digambarkan dari tokoh yang sesuai dengan anak SD. Sebaiknya tokoh dibuat dengan karakter pemberani dan cerdik karena siswa lebih menyukainya daripada karakter yang kalah dalam pertarungan. v. Kesederhanaan Latar Cerita yang disajikan sebaiknya tidak berbeda jauh dari lingkungan siswa karena dapat mempermudah mereka memahami isi cerita. Latar tempat juga harus mendukung cerita yang akan disampaikan. Tidaklah tepat jika menggunakan latar hutan padahal di dalam cerita tokoh sedang memakai pakaian renang. vi. Kejelasan Pusat Pengisahan Pusat pengisahan ini berhubungan dengan sudut pandang cerita. Boleh saja menggunakan istilah “aku” dan “dia” namun harus konsisten
dan
tidak
melompat-lompat,
membingungkan siswa mengikuti alur cerita.
sehingga
tidak
27
b. Kriteria Kesesuaian Kriteria kesesuaian dengan Garis-garis Besar Program Pengajaran (GBPP) diperlukan dalam pengajaran di kelas. Penerapan kriteria ini dimaksudkan agar materi tersampaikan dengan baik lewat cerita bergambar. Cerita bergambar pun perlu disesuaikan dengan tingkat perkembangan
siswa.
Oeyeng
Suwargana
(1969)
memaparkan
pemilihan cerita sebagai bahan pelajaran yang disesuaikan dengan tingkat perkembangan siswa sebagai berikut: i. Anak usia 6-9 tahun Umumnya anak pada usia 6-9 tahun lebih menyukai cerita mengenai kehidupan sehari-hari, dongeng binatang dan cerita lucu. ii. Anak usia 9-12 tahun Umumnya anak usia 9-12 tahun menyukai cerita nyata tentang keluarga, cerita ilmu pengetahuan, dan cerita petualangan. Untuk anak laki-laki mereka lebih menyukai ketika tokoh merupakan pahlawan yang pemberani atau suka berpetualang dalam suatu cerita. Sedangkan anak perempuan lebih suka pahit manisnya hidup berkeluarga. Kesesuaian dengan nilai moral perlu diperhatikan, karena anak-anak akan dapat meniru hal-hal yang mereka dapatkan dari suatu cerita. Dituliskan oleh Marianne Richmond (2016), seorang editor bernama Margaret Anastas mengatakan bahwa ”Buku cerita bergambar yang baik menceritakan cerita dalam 32 halaman dan itu sangat sulit untuk dilakukan. Kemudian Marianne Richmond (2016) memaparkan 3 kriteria untukbuku cerita anak yang baik, yaitu: a. Karakter yang kuat menimbulkan emosi yang kuat Suatu buku cerita yang baik harus dapat memiliki karakter yang kuat, sehingga pembaca dapat merasakan apa yang dialami oleh tokoh di dalam cerita. Dari karakter yang ada dapat membuat pembaca tertawa, bahagia maupun menangis.
28
b. Cerita yang memberikan sesuatu untuk dipelajari Cerita yang baik dapat mengajarkan konsep sederhana seperti angka, huruf atau warna. Bahkan cerita yang baik dapat mengajarkan nilai-nilai moral seperti perbedaan, cinta, perilaku dan penerimaan. c. Gambar ilustrasi, kosakata, atau konsep yang dikembangkan Cerita yang baik mampu menyediakan gambar ilustrasi yang baik dan sesuai dengan cerita, membuat anak tertarik melalui kata-kata puitis, kata-kata berima, menambahkan kosakata anak, dan sebagainya. 2.6 Kriteria Cerita Bergambar yang Sesuai untuk Anak Kelas 3 SD Jean
Piaget
mengemukakan
tahap-tahap
perkembangan
kognitif
(Piaget:2010), diantaranya adalah: a. Tahap Sensorimotor (lahir-2tahun) Menurut Piaget, anak-anak pada tahap ini memiliki sejumlah refleks bawaan selain untuk mengeksplorasi dunianya. Piaget berpendapat bahwa pada tahap ini menandai perkembangan kemampuan dan pemahaman penting dalam enam sub tahapan, yaitu: sub-tahapan skema refleks, sub-tahapan fase reaksi sirkular primer, sub-tahapan fase reaksi sirkular sekunder, sub-tahapan koordinasi reaksi sirkular sekunder, sub-tahapan fase reaksi sirkular tersier dan sub-tahapan awal representasi simbolik. b. Tahap Praoperasional (2-7 tahun) Piaget berpendapat bahwa pada tahap ini, anak-anak belajar menggunakan objek dengan gambaran dan kata-kata. Anak dapat mengklasifikasikan suatu objek menggunakan 1 ciri. Contohnya, mereka dapat mengumpulkan semua benda berwarna hijau walaupun berbeda-beda bentuknya. Selain itu, mereka juga mengembangkan keterampilan berbahasanya. Mereka juga memiliki pikiran yang sangat imajinatif dan menganggap setiap benda yang tidak hidup memiliki perasaan. Mereka juga masih kesulitan melihat sudut pandang orang lain (thinking egocentric).
29
c. Tahap Operasi Konkret (7-11 tahun) Pada tahap ini anak memiliki ciri untuk menggunakan logika dengan baik. Terdapat proses-proses penting selama tahapan ini berlangsung, diantaranya adalah: 1. Pengurutan Menurut Piaget, anak pada tahap ini sudah mampu mengurutkan benda berdasarkan ukuran, bentuk atau ciri lainnya. 2. Klasifikasi Pada tahap ini, anak sudah mampu mengklasifikasikan benda menurut tampilan, ukuran dan karakteristik lain. Anak tidak lagi memiliki keterbatasan logika berupa animisme, yaitu anggapan bahwa semua benda memiliki perasaan dan hidup. 3. Decentering Pada tahap ini, anak mulai bisa mempertimbangkan beberapa hal sebagai solusi dari suatu permasalahan. 4. Reversibility Pada tahap ini, anak akan mulai memahami bahwa jumlah benda dapat diubah dan dapat kembali ke keadaan semula. Sebagai contoh, dalam penjumlahan matematika 2+2=4 dan 4-2=2. 5. Konservasi Anak akan memahami bahwa kuantitas, panjang atau jumlah benda tidak berhubungan dengan tampilan dari benda tersebut. Contohnya anak akan memahami volume air dalam satu gelas jika dipindahkan ke gelas lain volumenya akan tetap sama. 6. Penghilangan sifat egosentrisme Tahap ini merupakan kemampuan untuk melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain. d. Tahap Operasional Formal(11tahun ke atas) Pada tahap ini, anak sudah bisa berpikir secara abstrak, menalar secara logis dan menarik kesimpulan dari informasi yang tersedia. Pada tahap
30
ini, mereka tidak menerima informasi secara mentah namun sudah bisa menalar dan menganalisis hal-hal seperti cinta, bukti logis dan nilai. Berdasarkan kriteria di atas Isti Yuni Purwanti memaparkan beberapa teori Piaget yang dapat diterapkan dalam pembelajaran, diantaranya adalah: a. menggunakan benda konkret dalam pembelajaran, b. menggunakan alat visual, c. menggunakan contoh yang sederhana untuk anak, d. penyajian yang terorganisasi, dan e. menyediakan permasalahan yang dapat dipecahkan secara konkret. Dituliskan oleh Suhartono (2014), Tarigan dan Djago (1997) memaparkan bahwa bahasa yang digunakan dalam buku cerita anak sebaiknya tidak baku, kosakata yang digunakan sebaiknya sesuai dengan lingkungan tempat tinggal anak, dan di dalamnya terdapat pengalaman hidup pengarangnya. Suhartono (2014) menyimpulkan bahwa cerita anak memiliki karakteristik sebagai berikut: a. diambil dari kehidupan anak, seperti permainan yang sering dimainkan, sifat dan perkembangannya, b. dibuat untuk dikonsumsi anak, c. tema cerita sesuai dengan anak-anak, d. bahasa yang digunakan harus sesuai dengan bahasa yang digunakan anak sehingga mudah untuk dipahami, e. pengadaan konflik yang dapat membantu anak berpikir kritis untuk menemukan jalan keluar dar konflik yang ada, dan f. mengandung nilai-nilai kehidupan. 2.7 Hak Cipta Ditulis oleh Dodoy Suharyati (2013), bahwa menurut Undang-Undang Hak Cipta No. 19 tahun 2002 dalam pasal 1 ayat 1 menyatakan bahwa “Hak cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta atau penerimaan hak untuk menggunakan atau memperbanyak ciptaannya atau memberi ijin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-perundang yang berlaku.”
31
Menurut Jonathan Bailey (2016), hak cipta merupakan suatu aturan yang memberikan kepemilikan dari sesuatu yang diciptakan atau dibuat. Sesuatu tersebut dapat berupa lukisan, fotografi, puisi atau novel. Beberapa hak yang dimiliki oleh pencipta di antaranya adalah: a. hak untuk memproduksi kembali karyanya, b. hak untuk mempersiapkan pekerjaan asli, c. hak untuk mendistribusikan salinan, d. hak untuk menunjukkan karya, dan e. hak untuk menunjukkan karya ke publik. Digital Media Law Project (2016) menyebutkan bahwa di dalam UndangUndang Hak Cipta pasal 107 didefinisikan penggunaan wajar suatu karya yang tidak akan melanggar hak cipta. Penggunaan bersifat adil dari suatu karya yang memiliki hak cipta, termasuk salinan atau rekaman suara untuk tujuan seperti kritik, komentar, laporan berita, bahan ajar (termasuk beberapa salinan untuk digunakan di dalam kelas), beasiswa atau penelitian bukan termasuk pelanggaran hak cipta. Dalam menentukan apakah suatu karya melanggar hak cipta perlu diperhatikan hal-hal berikut ini: a. dilihat dari tujuan penggunaan, apakah bersifat komersial ataukah murni untuk tujuan pendidikan. b. sifat dari karya cipta. c. jumlah dari bagian yang digunakan dalam hubungan dengan karya cipta keseluruhan, dan d. efek nilai yang ditimbulkan terhadap pasar. Memang belum pasti patokan dalam penggunaan wajar, namun pengadilan akan menggunakan faktor-faktor dalam menentukan pelanggaran hak cipta. Keempat faktor tersebut adalah: a. Tujuan dan karakter penggunaan Jika penggunaan karya berhak cipta untuk tujuan kritik, pelaporan berita, atau komentar maka akan disebut sebagai penggunaan yang adil. Tujuan seperti ini sering dianggap sebagai kepentingan umum dan dianggap pengadilan dengan mencari keuntungan dari pekerjaan orang
32
lain.Jika dalam menggunakan karya seseorang namun tetap ada perubahan entah itu mengubah karakter atau menambahkan detail lain maka akan dianggap sebagai penggunaan adil. Apalagi jika mencantumkan pemilik asli. b. Sifat kerja hak cipta Sifat kerja ini berhubungan dengan diterbitkannya atau tidak suatu karya. Penggunaan wajar mungkin lebih cenderung pada karya yang tidak dipublikasi. Tidak seperti karya faktual, karya fiksi lebih cenderung mendapat perlindungan yang lebih besar. c. Jumlah dan kekukuhan dari porsi yang digunakan Sayangnya tidak ada aturan yang jelas untuk batasan penggunaan suatu karya. Namun jika suatu kutipan mengurangi nilai asli atau bahkan mewujudkan bagian penting dari upaya penulis maka dapat dikategorikan
sebagai
pelanggaran.
Jika
penulis
membatasi
penggunaan sebagian kecil dari suatu karya untuk menyampaikan pesan maka pengadilan dapat menganggap sebagai penggunaan wajar. d. Pengaruh penggunaan setelah pasar potensial untuk kerja hak cipta Faktor
keempat
ini
adalah
faktor
paling
penting
bagi
pengadilan.pengadilan akan melihat berapa banyak nilai pasar yang memiliki hak cipta yang telah dipengaruhi oleh penggunaan yang bersangkutan. Jika ingin menggunakan suatu karya untuk dijadikan contoh atau kutipan atau bahkan mengadopsi maka perlu dipastikan bahwa karya tersebut memiliki hak cipta atau tidak. Jika suatu karya memiliki hak cipta, maka harus meminta ijin kepada pihak yang bersangkutan. Berikut adalah langkah-langkah yang perlu diperhatikan menurut Digital Media Law Project (2016): a.
Pemberitahuan hak cipta Langkah awal adalah memeriksa apakah suatu karya memiliki hak cipta. Nama pemilik tercantum pada hak cipta dan dapat dijadikan informasi.Perlu diperhatikan bahwa penulis juga pemilik hak cipta. Namun jika penulis tidak memiliki hak cipta, mereka dapat
33
mengalihkan kepada pemilik hak cipta. Pencarian pemilik hak cipta juga dapat dilakukan online apabila mengutip dari karya suatu website. b.
Meminta ijin Setelah mengidentifikasi pemilik hak cipta, maka perlu dilakukan perijinan melalui email atau telepon secara formal. Perijinan ini meliputi: nama dan informasi kontak; rincian hal yang akan digunakan (URL, judul, dll); alasan penggunaan (pribadi, penelitian, komersial, komentar, kritik, ulasan, atau tujuan pendidikan); bagaimana bentuk penggunaan (website, majalah, dll), dan lamanya waktu penggunaan.
c.
Tanggapan dari pemilik hak cipta Bila pemilik hak cipta memberikan ijin, maka harus dicatat apa saja yang harus dilakukan dan menyimpan info penting mengenai perijinan yang diberikan sehingga dapat digunakan ketika dibutuhkan. Hal yang perlu dicatat adalah: nama informasi tambahan (misal: url), informasi kontak pemilik hak cipta, tanggal permintaan ijin, tanggal pemberian ijin dari pemiliki, tanggal pemberhentian ijin, biaya yang harus dibayarkan kepada pemiliki hak cipta.
d.
Apabila pemilik hak cipta tidak merespon atau memberi ijin maka salah satu caranya adalah dengan menggunakan penggunaan wajar.
2.8 Kajian Hasil Penelitian yang Relevan Tinjauan pustaka ini dimaksudkan untuk mengkaji hasil penelitian yang relevan dengan penelitian penulis. Berikut ini merupakan beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Penelitian yang dilakukan oleh Amaylinda Ayu Nindiya (2015) yang berjudul Pengembangan Media Cerita Bergambar pada Mata Pelajaran Matematika Pokok Bahasan Bilangan Ganjil dan Bilangan Bulat pada Pembelajaran Matematika Kelas II SD menunjukkan bahwa penggunaan media cerita bergambar dapat meningkatkan hasil prestasi siswa. Setelah dilakukan penelitian menggunakan media cerita bergambar didapatkan skor hasil tes tertulis dari 38 siswa dengan kategori sangat baik. Berdasarkan data yang ada, sebanyak
34
20 siswa dengan prosentase 52,6 % mendapatkan nilai mulai dari 91-100 dan sebanyak 18 siswa dengan prosentase 47,4% mendapatkan nilai dari 81-90%. Sedangkan untuk respon siswa produk yang telah dibuat oleh Amaylinda Ayu Nindiya rata-rata mendapatkan nilai 5 yang artinya sangat setuju bahwa belajar menggunakan buku cerita tersebut membuat mereka lebih tertarik untuk belajar dan memahami pelajaran dengan mudah. Berdasarkan hasil penilaian tersebut maka dapat dipastikan bahwa media cerita bergambar yang dikembangkan dalam penelitian ini layak dipakai dalam pembelajaran di Sekolah Dasar. Penelitian yang dilakukan oleh Susi Susanti (2012) yang berjudul Pengaruh Penggunaan Cerita Bergambar dalam Pembelajaran Terhadap Hasil Belajar Siswa Kelas I SD Negeri Kecandran 01 Kecamatan Sidomukti Semester 2 Tahun Pembelajaran 2011/2012 menunjukkan adanya perubahan positif hasil prestasi siswa yang belajar dengan menggunakan cerita bergambar. Pada skor posttest kelas eksperimen nilai terendah adalah 65 dan nilai tertinggi adalah 100 dengan nilai rata-rata kelas sebesar 85.Dari 23 siswa, sebanyak 1 siswa atau 4.35% mendapat nilai 65-71 sedangkan sebanyak 7 siswa atau 30,43% mendapat 97-100 dan 7 anak atau 30,43% mendapat nilai 93-96. Pada skor posttest kelas kontrol nilai terendah adalah 15 dan nilai tertinggi adalah 95, dengan nilai ratarata perolehan kelas adalah 63.5.Dari 20 siswa, sebanyak 3 siswa atau 15% dari total siswa mendapat nilai 15-21 dan sebanyak 1 siswa atau 5% mendapatkan nilai 92-97. Dalam tabel perbandingan dipaparkan bahwa perubahan hasil kelas eksperimen lebih tinggi daripada kelas kontrol, yaitu kelas eksperimen sebanyak 26,5 dan kelas kontrol sebanyak 4,65. Dari hasil penelitian eksperimen tersebut penggunaan media cerita bergambar terbukti dapat meningkatkan prestasi belajar siswa. 2.9
Kerangka Pikir Media pembelajaran dapat membantu pekerjaan guru dalam mengajar
menjadi lebih mudah dan lebih menarik. Tanpa disadari media pembelajaran memiliki dampak positif bagi anak didik jika media yang digunakan tepat dan sesuai sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai dengan baik.
35
Siswa kelas 3 SD berada dalam tahap operasional konkret, dimana mereka membutuhkan media dan alat peraga untuk dapat memahami suatu materi dengan baik. Untuk itulah penulis menyusun pengembangan media pembelajaran cerita bergambar yang diharapkan dapat membantu guru mengajar dan membantu siswa memahami materi dengan baik. Implementasi KTSP Kendala /tantangan
Buku pegangan masih berperan penting namun sudah cukup lama digunakan dan kurang menarik.
Media Pembelajaran Solusi Penggunaan media cerita bergambar sebagai bahan ajar.
Siswa kurang tertarik mendengarkan penjelasan guru. Siswa memahami materi dengan mudah.
Gambar 2.1 Kerangka Pikir
2.10
Hipotesis Penelitian Berdasarkan uraian dalam landasan teori dan kerangka pikir, maka penulis
membuat hipotesis bahwa penggunaan media cerita bergambar akan membantu guru dalam menyampaikan materi pelajaran dengan baik dan dapat menanamkan moral pada anak didik dengan mudah. Penggunaan media cerita bergambar yang disampaikan dengan kalimat yang sesuai dan gambar yang menarik akan membuat siswa tertarik untuk belajar dan diharapkan adanya peningkatan hasil prestasi siswa.