BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Sistem Feodalisme Feodalisme di Indonesia dalam Ensiklopedia Nasional Indonesia (1997) merupakan penjelasan yang berkaitan dengan pandangan kolot kelanjutan pada tata cara bangsawan keraton. Dimana pengikut para raja/bangsawan diikat dengan tuantuan mereka dalam konsepsi manunggaling kawula lan gusti, bersatunya tuan dan hamba atau bawahan dengan atasan. Kehendak gusti yang dipertuan otomatis harus dijalankan. Sementara disisi lain, dalam struktur masyarakat Indonesia memiliki istilah priyayi dan wong cilik, inilah bentuk feodalisme. Istilah feodalisme berasal dari bahasa latin yaitu feodum yang berarti feud, tanah yang dipinjamkan dan fief atau upeti. Disimpulkan bahwa istilah feodalisme secara harfiah berarti suatu paham dimana masyarakat diatur berdasarkan sistem fief (upeti), dengan kekuasaan legal dan politis yang menyebar luas diantara orang-orang yang memiliki kekuasaan ekonomi. Sistem fief itu digambarkan seperti struktur hierarki berbentuk piramida dengan raja atau tuan berada di puncak sedangkan tenant, serf, dan slave berada di dasar. Secara formal, raja adalah lord tertinggi yang menguasai semua fief dan semua lahan pada dasarnya adalah milik raja. Pada intinya feodalisme merupakan sistem sosial atau politik yang memberikan kekuasaan yang besar kepada golongan bangsawan. Masyarakat feodal biasanya ditandai dengan
18 Universitas Sumatera Utara
adanya tanah-tanah luas yang dikuasai para bangsawan atau para tuan tanah, dan tanah tersebut dikerjakan oleh buruh bahkan beberapa budak. Feodalisme diartikan sebagai suatu sistem yang ada di Eropa sejak abad pertengahan. Di Indonesia sendiri menurut Wijaya, para ahli bahasa sepakat mengatakan feodalisme adalah sistem sosial atau politik yang memberikan kekuasaan yang besar kepada golongan bangsawan. Masyarakat feodal biasanya ditandai dengan adanya tanah-tanah luas yang dikuasai para bangsawan atau para tuan tanah, dan tanah tersebut dikerjakan oleh buruh bahkan beberapa budak yang mengabdi pada pemilik tanah tersebut. Adapun ciri-ciri pokok dari sistem feodalisme ini diantaranya adalah sebagai berikut : a) Adanya sistem politik-ekonomi pertanian yang bersifat sempit; b) Semua tanah pertanian pada hakikatnya adalah milik raja atau kaum bangsawan dan di bawahnya ada hierarki. c) Kaum bangsawan yang tertinggi mendapat tanah langsung dari raja, kemudian bangsawan di bawahnya akan mendapat tanah dari bangsawan tertinggi, dan seterusnya sampai bangsawan terendah yang hanya menguasai sebidang tanah saja. Dalam perkembangan selanjutnya, tidak hanya tanah yang dipinjamkan melainkan juga pangkat dan kedudukan yang lama-kelamaan bersifat turun-temurun. Kesimpulannya ialah bahwa feodalisme adalah sistem sosial atau politik yang
19 Universitas Sumatera Utara
memberikan kekuasaan besar kepada golongan bangsawan dan sistem sosial yang mengagung-agungkan pangkat dan jabatan, bukan prestasi kerja. Sistem feodal merupakan faktor yang memberikan andil dalam pembentukan sistem stratifikasi sosial di dalam struktur masyarakat perkebunan. Masyarakat feodal dibatasi sebagai tatanan masyarakat yang ditandai oleh beberapa indikator di antaranya: 1. Ketergantungan kehidupannya pada sektor pertanian dan perkebunan (agraris). 2. Ukuran kelas sosial selalu didasarkan pada sektor kepemilikkan tanah, sehingga orang-orang yang memiliki tanah yang luas atau tuan tanah menempati kelas sosial atas. 3. Pembedaan status sosial kemasyarakatan dengan gelar anak staf, atau misalnya seperti kebangsawanan raden (di jawa), sir (di Inggris), dan lainlain. 4. Pola-pola hubungan perekonomian lebih banyak didominasi oleh polapola hubungan antara tuan kebun dan buruh, atau petani penggarap dan penyewa tanah. (Setiadi, 2010: 425) Feodalisme semakin tumbuh subur dan berkembang, terutama di Negaranegara yang mengenal sistem tuan tanah. Secara umum dapat dilihat bahwa sistem feodal yang terjadi merupakan suatu sistem dimana masyarakat terbagi dalam dua
20 Universitas Sumatera Utara
kelas sosial yaitu kelas penguasa atau tuan tanah dan kelas pekerja yakni para petani, buruh, dan budak. Feodalisme secara khusus berkaitan dengan adanya sistem hubungan politik, sosial dan ekonomi dan dengan dicirikan dengan adanya tanahtanah luas yang dikuasai oleh tuan-tuan tanah dan dikerjakan oleh para buruh. Sedangkan di sisi bentuk sosio-ekonomis yang bercirikan, seperti alat utama produksi adalah tanah dan ini dikuasai oleh segelintir orang dan pelaksanaan ekonomi dijalankan oleh para petani dan budak-budak yang bekerja pada sang tuan atau manager. (LPKN, 2013) Walaupun sistem Feodalisme menyebabkan eksploitasi antara tuan tanah terhadap pekerjanya, tetapi antar keduanya terlihat suatu hubungan yang saling menguntungkan dimana masing-masing pihak memberikan imbalan-imbalan yang sangat penting untuk mempertahankan kehidupan dalam keadaan dimana organisasi dan stabilitas politik sudah tidak terorganisir lagi. Dalam Zanden (Martono, 2011). Dikatakan bahwa ilmuwan sosial membedakan antara tiga lapisan atau lebih. Misalnya, pembedaan antara kelas atas (upper-upper), atas bawah (lower upper), menengah atas (upper middle), menengah bawah (lower middle), bawah atas (upper lower) dan bawah-bawah (lower-lower). Sedangkan pada masyarakat perkebunan terdapat 4 lapisan masyarakat, seperti :
21 Universitas Sumatera Utara
Manajer Pegawai Staf Pegawai NonStaf Buruh Lepas
Berdasarkan berbagai penjelasan diatas dapat dianalisa bahwa masyarakat perkebunan merupakan miniatur masyarakat kolonial pada umumnya, serta menunjukkan karakteristik yang sama antara lain (1) pluralistik, (2) tersegmentasi menurut golongan suku, (3) rasialistik, (4) dualistis berdasarkan sektor ekonomi eropa dan non eropa, (5) dominasi sosial, ekonomi dan politik kaum kolonial ; juga perbedaan gaya hidup. (Soekirman, 2014: 26).
22 Universitas Sumatera Utara
2.2 Teori Stratifikasi Sosial Menurut Soerjono Soekanto (1982), bahwa dalam setiap masyarakat selalu mempunyai sesuatu yang dihargai. Misalnya berupa kekayaan, ilmu pengetahuan, status haji, status “darah biru” atau keturunan dari suatu keluarga yang terhormat atau segala yang bernilai ekonomis. Dalam kehidupan masyarakat sesuatu yang dihargai tidaklah selalu sama. Di lingkungan masyarakat perkebunan, kedudukan dan jabatan dengan upah yang besar sering dianggap jauh lebih berharga dan istimewa daripada prestasi. Sementara itu, di lingkungan masyarakat kota yang modern, yang sering sekali terjadi ialah sebaliknya. Pitirim A. Sorokin mengemukakan bahwa sistem pelapisan dalam masyarakat adalah bagian dari ciri yang tetap dan umum dalam setiap masyarakat yang hidup dengan teratur. Mereka yang memiliki sesuatu yang berharga dalam jumlah yang banyak akan menduduki lapisan atas dan sebaliknya mereka yang memiliki dalam jumlah yang relatif sedikit atau bahkan tidak memiliki dipandang memiliki kedudukan yang rendah. Stratifikasi sosial adalah pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat (hierarkis). Wujudnya ialah adanya kelas-kelas tinggi dan kelas yang lebih rendah. Ini menimbulkan kontribusi ketidakseimbangan dalam pembagian hak dan kewajiban, serta tanggung jawab nilainilai sosial dan pengaruhnya diantara anggota masyarakat.
Dalam Bagong
(Sztompka, 2011). Dikatakan bahwa pada umumnya masyarakat yang menduduki lapisan atas tidak hanya memiliki satu macam saja dari sesuatu yang dihargai, akan tetapi kedudukan yang tinggi tersebut bersifat kumulatif. Mereka yang memiliki uang 23 Universitas Sumatera Utara
banyak, misalnya akan mudah mendapatkan tanah, kekuasaan, ilmu pengetahuan, bahkan mungkin kehormatan tertentu. Secara rinci, ada tiga aspek yang merupakan karakteristik stratifikasi sosial dalam budaya feodalisme perkebunan, yaitu: 1. Perbedaan dalam kemampuan dan kesanggupan. Masyarakat yang memiliki strata tinggi memiliki kesanggupan dan kemampuan yang lebih besar dibandingkan anggota masyarakat yang di bawahnya. Contoh: seorang manager mampu membeli mobil mewah, sedangkan kebanyakan golongan karyawan hanya akan sanggup membeli mobil bekas atau sepeda motor. 2. Perbedaan dalam gaya hidup (life style). Seorang manager perkebunan, dituntut selalu berpakaian rapi, mereka juga biasanya melengkapi dengan aksesoris untuk mendukung kemantapan penampilan, seperti memakai dasi, bersepatu mahal, berolahraga tenis atau golf, memakai pakaian merek terkenal, dan perlengkapan lain yang sesuai dengan statusnya. Sebaliknya, jikalau seorang bawahan berperilaku seolah-olah manager tentu juga akan menjadi bahan cemoohan. 3. Perbedaan dalam hal hak dan akses dalam memanfaatkan sumber daya. Seorang yang menduduki jabatan tinggi biasanya akan semakin banyak hak dan fasilitas yang diperolehnya, seperti dari rumah yang bersangkutan, upah, dan fasilitas pendukung kerja (mobil dan supir) serta pengawal
24 Universitas Sumatera Utara
keamanan. Sementara itu, seseorang yang tidak menduduki jabatan strategis apa pun tentu hak dan fasilitas yang mampu dinikmati akan semakin kecil. Dalam berbagai perusahaan, biasanya kita akan menemui adanya ketentuan yang tertulis yang mengatur apa saja yang menjadi hak atasan dan apa pula yang menjadi hak bawahan. (Soekirman, 2014: 145146) Beberapa contoh jenis stratifikasi sosial yang berkaitan dengan feodalisme ialah sebagai berikut: 1. Hierarki Kekuasaan Di dalam masyarakat perkebunan, kekuasaan dan kewenangan selalu terdistribusi secara tidak merata. Artinya, kekuasaan dan kewenangan terdistribusi secara hierarkis vertikal mengerucut bagaikan piramida. Semakin keatas distribusi kekuasaan dan kewenangan makin mengerucut dan makin kecil jumlah orang yang menempatinya. Dengan kata lain, ada sebagian orang yang memperoleh kekuasaan dan kewenangan yang lebih besar dibanding dengan kelompok lainnya. Distribusi kekuasaan dan kewenangan tidak merata tergantung pada mekanisme yang berlaku di dalam struktur masyarakatnya. Masyarakat yang menganut pola-pola feodal distribusi kekuasaan acap kali tidak didasarkan pada kualifikasi seseorang, namun lebih ditentukan pada faktor historis orang tersebut. Hal diatas mengartikan bahwa sekelompok strata sosial seseorang biasanya mengikuti strata sosial orangtuanya (ascribed status). Disisi lain biasanya pola-pola
25 Universitas Sumatera Utara
stratifikasi sosial di dalam struktur masyarakat seperti ini bersifat tertutup. Dalam artian, tidak mudah bagi seseorang atau sekelompok orang berpindah-pindah status sosialnya (mobilitas sosial vertikal). Pada masyarakat berpola feodal, sering sekali ditemukan mekanisme kekuasaan dan kewenangan yang mengarah kepada bentuk sistem yang otoriter. Menurut Vilfredo Pareto, dasar bagi terbentuknya stratifikasi sosial khususnya yang berkaitan dengan kekuasaan dan kewenangan politik ada lima macam, yaitu : 1. Kekuasaan dan kewenangan politik selalu terdistribusi ke dalam masyarakat secara tidak merata, artinya kekuasaan dan kewenangan politik terdistribusi berdasarkan pola-pola hierarkis vertikal mengerucut dari bawah ke atas makin mengecil. 2. Di dalam struktur sosial secara sederhana dikelompokkan dalam dua kelompok yaitu kelompok yang memiliki kekuasaan dan kewenangan “penting” dan kelompok masyarakat yang tidak memilikinya. 3. Secara internal, elite politik bersifat homogen, bersatu, dan memilki kesadaran kelompok. 4. Elite politik selalu mengatur sendiri kelangsungan hidupnya dan keanggotaanya berasal dari lapisan masyarakat yang sangat terbatas.
26 Universitas Sumatera Utara
5. Kelompok elite pada hakikatnya bersifat otonom, kebal akan gugatan dari siapa pun di luar kelompoknya mengenai keputusan-keputusan yang dibuatnya. (Setiadi, 2010 : 407)
2. Hierarki Ekonomi Di dalam struktur masyarakat kapitalis sebuah indikator dari hierarki atas dasar ekonomi dapat dilihat dari jumlah kepemilikkan lahan sebagai alat produksi. Artinya kepemilikkan lahan pertanian akan lebih berharga daripada kepemilikkan barang-barang berharga lainnya. Dan dalam struktur masyarakat seperti ini memiliki pola hidup yang lebih menghargai harta warisan kekayaan daripada kekayaan yang diperoleh melalui perdagangan atau bisnis. Sedangkan pada masyarakat feodal lebih menitikberatkan pada sektor pertanian, dimana kelas sosial dapat dilihat dari polapola hubungan antara tuan kebun dan pekerjanya (buruh) yang bekerja padanya dalam sebuah pabrik khususnya perkebunan, dengan tujuan dari para pekerja ialah memperoleh upah. Hal ini memiliki kesamaan pada pemilik tanah dan buruh tani (pawongan) yang mengerjakan lahan milik tuan tanah atau petani penggarap, yaitu sekelompok orang yang mengerjakan lahan milik orang lain dengan ijab Kabul penyewa atau bagi hasil (jawa: paroan). Akan tetapi, di dalam struktur masyarakat kapitalistik, indikator untuk menentukan kedudukan seseorang di dalam masyarakat tidak lagi bertumpu pada faktor kepemilikkan tanah. Kelas sosial lebih diukur berdasarkan kepemilikkan uang sebagai modal produksi di dalam suatu perusahaan.
27 Universitas Sumatera Utara
Hubungan sosial di dalam struktur masyarakat kapitalis diwarnai oleh interaksi antara pemilik perusahaan dan buruh perusahaan yang oleh Karl Marx disebut kaum borjuis dan proletar. (Setiadi, 2010:404). Menurut marx, dalam paham kapitalis dikatakan bahwa seseorang memperoleh atas dasar kemampuannya. Dan hal ini memperlihatkan kesamaan pencapaian tujuan yang mengarah pada pelapisan masayakat secara ekonomi. Antara lain menurut, Joseph Schumpeter yang memberikan ukuran dan kriteria yang biasa dipakai untuk menggolong-golongkan anggota-anggota masyarakat ke dalam suatu lapisan, yaitu : 1. Ukuran kekayaan Barangsiapa yang memiliki kekayaan paling banyak termasuk dalam lapisan teratas. Kekayaan tersebut, misalnya dapat dilihat pada bentuk rumah yang bersangkutan, mobil pribadinya, cara-caranya mempergunakan pakaian serta bahan pakaian yang dipakainya, kebiasaan untuk berbelanja barang-barang mahal dan seterusnya. 2. Ukuran kekuasaan Barangsiapa yang memiliki kekuasaan atau yang mempunyai wewenang terbesar menempati lapisan atas. 3. Ukuran kehormatan
28 Universitas Sumatera Utara
Ukuran
kehormatan
terlepas
dari
ukuran-ukuran
kekayaan
dan/atau
kekuasaan. Orang yang paling disegani dan dihormati, mendapat tempat yang teratas. Ukuran semacam ini dijumpai pada kehidupan masyarakat tradisional. Biasanya mereka golongan tua atau mereka yang pernah berjasa. 4. Ukuran ilmu pengetahuan Ilmu pengetahuan merupakan ukuran yang dipakai oleh masyarakat dalam mencapai tujuan yang lebih baik. Ilmu pengetahuan dijadikan ukuran, seperti gelar kesarjanaannya. Hal ini memacu mereka untuk menempati posisi-posisi yang strategis sehingga menempatkan mereka pada lapisan atas. 3. Hierarki Status Menurut Max Weber, yang mengelompokkan manusia kedalam kelompok-kelompok status atas dasar ukuran kehormatan. Ia mendefinisikan kelompok status sebagai kelompok yang anggotanya memilki gaya hidup sosial tertentu dan mempunyai tingkat penghargaan sosial dan kehormatan sosial tertentu pula. Hierarki status juga ada dalam sistem masyarakat feodal yang banyak diberlakukan pada Negara-negara yang berbentuk kerajaan. Di dalam struktur masyarakat tersebut raja dan lingkaran kebangsawanannya biasanya menempati kedudukan tertinggi yang mempunyai kekuasaan mutlak. Sedangkan dalam lapisan masyarakat bawah terdapat petani yang mengabdi pada golongan bangsawan, tuan tanah, dan lingkar orang-orang yang terhormat. Atas dasar inilah masyarakat feodal memiliki keyakinan bahwa
29 Universitas Sumatera Utara
kepatuhan yang berlebihan itu tidak hanya sekadar sikap mengabdikan dirinya kepada raja tetapi juga dilatarbelakangi akan aksi ngalap berkah (mengharapkan berkah) dan rasa takut. Selain itu, kelompok masyarakat yang menduduki posisi terhormat biasanya memiliki gaya hidup yang eksklusif. Baik dalam bentuk pergaulan hidup sehari-hari yang dapat dilihat dalam bentuk pembatasan pergaulan dengan kelompok orang yang statusnya lebih rendah. Anggota kelompok di dalam lingkar kebangsawanan (tuan tanah) cenderung menjalankan pola-pola endogami dan menghindari pernikahan dengan kelompok yang statusnya lebih rendah. (Giddens, 1973: 53-54)
2.3. Perubahan Sosial Pada Nilai Sistem Feodal Perkebunan Pada saat sekarang ini kondisi masyarakat perkebunan sudah banyak mengalami perubahan, baik dari segi nilai-nilai yang ada pada kehidupan pekerja dengan sang manager. Perubahan sistem feodal perkebunan besar tidak menghilangkan tujuan utamanya, yakni ditandai oleh hubungan eksploitasi, pengisapan, dan hubungan kekuasaan (antara yang berkuasa dan yang dikuasai). Dalam Sztompka (Farley,1990) mengatakan bahwa perubahan sosial yang dimaksud ialah perubahan pola perilaku, hubungan sosial, lembaga dan struktur sosial pada waktu tertentu. Perubahan dimensi utama sistem feodal yang secara tidak langsung kemungkinan terimplikasi pada perubahan sebagai berikut, (1) perubahan komposisi, (2) perubahan struktur, (3) perubahan fungsi, (4) perubahan batas, (5) perubahan hubungan
30 Universitas Sumatera Utara
antarsubsistem, (6) perubahan lingkungan. Adakalanya perubahan pada nilai sistem feodal perkebunan hanya terjadi sebagian, terbatas ruang lingkupnya, tanpa menimbulkan akibat besar terhadap unsur lain dari sistem. Di sisi lain, di mata Boeke dan Geertz perkebunan besar adalah symbol kemajuan, kekayaan dan dualisme. Secara harfiah ini memang terlihat demikian, namun sangat berbeda jika melihat kondisi nilai-nilai feodal yang dijalankan pada sistem kerja di dalam perkebunan. Sistem feodal mempertahankan hubungan kelas-kelas pekerja secara kaku. Hubungan antarkelas dalam sistem feodal ini ditandai dengan hubungan eksploitasi, penghisapan, dan hubungan kekuasaan. Ini terlihat dari penerapan jam kerja yang cukup padat, waktu istirahat yang sedikit dan tingkat upah yang diterima pekerja relatif kecil. Kemakmuran perkebunan dan efisiensi produksi hanya dinikmati oleh para tuantuan kebun, dalam hal ini manager beserta koleganya. Sang manager atau sang tuan di perkebunan dianggap seperti raja yang sangat di takuti para pekerja di lapangan. Kondisi ini memperlihatkan hubungan manager dengan bawahannya sangat kaku dan kurang fleksibel. Para pengusaha perkebunan besar mempunyai hak otonom di dalam wilayah perkebunannya. Selain itu para penguasa perkebunan memiliki kebebasan untuk mengatur perkebunan yang dimilikinya. Serta juga pada umumnya sang tuan perkebunan juga memiliki satuan keamanan tersendiri untuk mengawasi dan menjaga keamanan kebun demi kepentingannya. (Mubyarto,1990: 176) Pada era abad ke-21 ini kondisi masyarakat perkebunan sudah banyak mengalami perubahan di bidang sosial ekonomi, sehingga kondisi penderitaan dahulu tidak 31 Universitas Sumatera Utara
terlihat lagi. Hanya saja pada konsep sistem kerja tidak memiliki perubahan yang cukup jauh. Secara historis, kemuraman para kuli tidak seimbang dengan gambaran kota Medan yang menjadi kota modern dan mewah. Kemakmuran kota Deli ketika itu telah membawa orang Eropa kebanjiran uang, dan kota Medan menjadi terangbenderang dan berhamburan kenikmatan-kenikmatan dunia. Sedangkan pada saat ini perkebunan-perkebunan modern, yang merupakan sistem ekonomi kapitalis, hidup sebagai “enclave” ditengah-tengah masyarakat pertanian tradisional atau bagi perkebunan rakyat. (Suhendar, 1998: 85)
32 Universitas Sumatera Utara