BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Seksio Sesaria Seksio sesaria merupakan tindakan pembedahan untuk melahirkan bayi melalui dinding abdomen. Bayi dilahirkan melalui laparotomi dan histerotomi. Secara umum terdapat dua tipe seksio sesaria, yaitu: primer (histerotomi pertama kali) dan sekunder (terdapat riwayat histerotomi sebelumnya) (Cunningham dkk, 2014). Beberapa indikasi seksio sesaria disajikan pada tabel 2.1. Lebih dari 85% seksio sesaria dilakukan dengan 4 alasan, yaitu: riwayat seksio sesaria sebelumnya, distosia, gawat janin, atau presentasi janin abnormal. Berdasarkan urgensi tindakan, seksio sesaria dapat dibedakan menjadi prosedur elektif (terencana) dan cito (tidak terencana) (Cunningham dkk, 2014). Terdapat beragam teknik pembedahan seksio sesaria. Insisi dinding abdomen dapat melalui pendekatan vertikal midline atau transversal suprapubik. Insisi transversal dapat melalui teknik Pfannenstiel atau Maylard. Insisi uterus umumnya dilakukan secara transversal pada segmen bawah uterus. Kadang insisi vertikal pada segmen bawah dapat digunakan. Insisi klasik adalah insisi vertikal pada korpus uteri di atas segmen bawah rahim, mencapai fundus uteri. Secara praktis, insisi klasik mirip dengan insisi vertikal rendah karena dapat diperluas ke sefalad untuk memperluas lapangan operasi. Insisi transversal lebih banyak digunakan karena lebih mudah untuk diperbaiki, lokasi pada segmen inaktif
8
9 sehingga tidak mudah ruptur pada kehamilan berikutnya, perdarahan lebih sedikit, dan sedikit perlekatan usus atau omentum ke insisi miometrium (Cunningham dkk, 2014). Tabel 2.1
Ibu
Indikasi Seksio Sesaria (Cunningham dkk, 2014)
Riwayat seksio sesaria Plasenta abnormal Permintaan pasien Riwayat miomektomi full-thickness Massa obstruktif traktus genitalia Kanker serviks invasif Cervical cerclage permanen Riwayat bedah rekonstruktif pelvis Deformitas pelvis Infeksi herpes simpleks atau HIV Penyakit jantung atau paru Aneurisma serebral Malformasi arteriovenosus serebral
Ibu-Janin
Disproporsi sefalopelvik Kegagalan persalinan pervaginam Plasenta previa atau abrupsio plasenta
Janin
Gawat janin Malpresentasi Makrosomia Anomali kongenital Tali pusat abnormal (USG Doppler) Trombositopenia
2.2 Anestesi pada Seksio Sesaria Pada empat dekade terakhir telah berkembang teknik anestesi yang lebih baik untuk seksio sesaria. Pertama, dokter obstetri lebih sering melakukan seksio sesaria dan kerap menghadapi masalah ibu dan janin. Kedua, dokter anestesi lebih memahami fisiologi kehamilan, khususnya risiko sehubungan dengan anestesi. Ketiga, dokter anestesi dan obstetri memberikan perhatian yang lebih besar pada kesejahteraan janin. Teknik anestesi telah berkembang untuk memberikan proteksi ibu, dengan efek minimal pada janin dan bayi (Kuczkowski dkk, 2014).
10 Pelayanan anestesi yang diberikan selama seksio sesaria merupakan puncak dari hampir seluruh prinsip anestesi obstetri. Dokter anestesi harus mampu memberikan anestesi pada ibu dengan aman, tanpa mempengaruhi kondisi janin dan bayi yang lahir. Dalam beberapa dekade terakhir, insiden kematian ibu akibat anestesi di Amerika Serikat telah menurun. Anestesi tetap memberikan kontribusi sekitar 3-12% dari seluruh kematian ibu. Mayoritas kematian tersebut terjadi selama anestesi umum, sebagai akibat dari kegagalan intubasi, ventilasi dan oksigenasi, dan/atau pneumonia aspirasi. Faktor-faktor yang berpengaruh meliputi: obesitas, hipertensi dalam kehamilan, dan tindakan emergensi. Jika memungkinkan, banyak dokter anestesi merekomendasikan pemberian anestesi regional. Anestesi umum hanya digunakan jika tidak dapat dilakukan anestesi regional (Kuczkowski dkk, 2014). Teknik anestesi yang dipilih untuk seksio sesaria disesuaikan dengan keadaan pasien. Rencana anestesi biasanya ditentukan oleh urgensi seksio sesaria dan kondisi ibu/janin. Terdapat dua teknik anestesi untuk seksio sesaria, yaitu: anestesi umum dan anestesi neuraksial. Anestesi neuraksial meliputi anestesi spinal, blok epidural, dan kombinasi keduanya. Gambar 2.1 menunjukkan bagan alur untuk merencanakan anestesi pada seksio sesaria (Toledo, 2015). Secara umum, tahapan untuk memberikan anestesi pada seksio sesaria adalah sebagai berikut: 1) penilaian prabedah dan informed consent, 2) profilaksis aspirasi, 3) pemasangan monitor, 4) pemberian antibiotik profilaksis, 5) memposisikan pasien, 6) pemberian anestesi, 7) co-loading cairan, 8) manajemen hipotensi, 9) pemberian uterotonika, 10) analgesi pascabedah (Toledo, 2015).
11 Tipe seksio sesaria Cito
Elektif
Status gawat darurat?
Anestesi neuraksial, kecuali kontraindikasi
Tidak gawat darurat
Gawat darurat
Apakah kateter epidural persalinan sudah terpasang?
Apakah kateter epidural persalinan sudah terpasang?
Ya
Tidak
Ya
Tidak
Anestesi epidural
Anestesi neuraksial
Anestesi epidural
Nilai DJJ Buruk
Baik
Anestesi umum
Anestesi neuraksial
Gambar 2.1
Bagan Alur Perencanaan Teknik Anestesi pada Seksio Sesaria (Toledo, 2015) 2.3 Anestesi Spinal 2.3.1 Anatomi kolumna vertebralis Kolumna vertebralis terdiri atas 33 vertebrae (7 servikal, 12 torasik, 5 lumbal, 5 sakral yang fusi, dan 4 koksigeal yang fusi). Identifikasi vertebra penting untuk menentukan lokasi insersi yang diinginkan. T12 dapat diidentifikasi dengan melakukan palpasi costae 12 dan mengikutinya hingga pertemuannya pada
12 vertebra T12. Garis yang dibentuk antar krista iliaka akan memotong korpus vertebra L4 atau celah interspinosum L4-5 (Bernards & Hostetter, 2013). Vertebra dipertahankan oleh lima ligamen. Ligamentum supraspinosum berjalan diantara prosesus spinosus mulai dari sakrum hingga T7. Mulai di atas T7, ligamen ini berlanjut sebagai ligamentum nuchae dan melekat pada occipital protuberance pada dasar kranium. Ligamentum interspinosum melekat diantara prosesus spinosus, dengan batas ligamentum flavum di bagian anterior dan ligamentum supraspinosum di bagian posterior. Ligamentum flavum adalah ligamen yang kuat, berbentuk baji, dan terbentuk dari elastin. Ligamentum longitudinal anterior dan posterior berjalan sepanjang permukaan korpus vertebrae (Bernards & Hostetter, 2013).
A
Gambar 2.2
Anatomi Kolumna Vertebralis. A) Kolumna Vertebralis, B) Vertebra Tampak Superior, C) Vertebra Tampak Lateral (Butterworth dkk, 2013)
13
Gambar 2.3
Anatomi Ligamen Vertebrae Meningen spinalis terdiri atas tiga lapisan protektif, meliputi: dura mater, arachnoid mater, dan pia mater, yang merupakan kelanjutan dari meningen kranial. Dura mater merupakan lapisan terluar dan paling tebal. Bermula dari foramen magnum dan berakhir sekitar di S2. Arachnoid mater adalah membran yang halus dan avaskular. Ruang subaraknoid berada diantara arachnoid mater dan pia mater, mengandung cairan serebrospinal (CSS). Pia mater menempel pada medulla spinalis (Bernards & Hostetter, 2013). Cairan serebrospinal merupakan larutan kompleks yang dibentuk dari 99% air dan mengandung elektrolit, protein, glukosa, neurotransmiter, nukleotida siklik, asam amino, dan lainnya. Volume CSS sekitar 100-160 mL pada orang dewasa, dan diproduksi dengan kecepatan 20-25 mL/jam. Sebagai konsekuensinya, keseluruhan volume CSS akan terganti setiap 6 jam. CSS diproduksi dari ultrafiltrasi plasma di pleksus koroideus pada ventrikel serebral. CSS kemudian bersirkulasi satu arah melalui ruang subaraknoid dan kemudian diabsorbsi oleh
14 vili araknoid pada sinus sagitalis superfisialis dan/atau menuju limfe melalui lapisan perineural. CSS tidak dapat diandalkan untuk mendistribusikan obat di ruang subaraknoid. Pada anestesi spinal injeksi tunggal, energi kinetik dan barisitas larutan berperan dalam mendistribusikan obat (Bernards & Hostetter, 2013). Saat lahir medulla spinalis berakhir setinggi L3. Pada orang dewasa, ujung kaudal medulla spinalis setinggi L1. Namun demikian, pada 30% individu medulla spinalis berakhir di T12, dan 10% berakhir pada L3 (Bernards & Hostetter, 2013). 2.3.2 Jarum spinal Meskipun banyak desain telah diperkenalkan sepanjang sejarah anestesi spinal, jarum yang umumnya dipakai hingga saat ini dapat dibedakan menjadi cutting atau pencil point. Jarum tipe Quincke merupakan salah satu jarum cutting yang paling sering digunakan. Quincke memiliki bevel dengan panjang medium, dengan ujung tajam. Sebaliknya, jarum pencil point seperti Whitacre, Sprotte, dan Gertie-Marx, memiliki ujung bulat dan noncutting (Warren dkk, 2012).
Gambar 2.4
Ujung Jarum Spinal. A) Quincke, B) Whitacre, C) Gertie-Marx (Warren dkk, 2012)
15 2.3.3 Teknik anestesi spinal a.
Persiapan Persiapan meliputi: informed consent, perlengkapan resusitasi, akses
intravena yang adekuat, monitoring standar (pulse oximetry, tekanan darah noninvasif dan elektrokardiogram), set blok steril, cairan aseptik (klorheksidin, alkohol, atau iodin) (Brull dkk, 2015). b.
Posisi Tiga posisi utama pasien meliputi: lateral dekubitus, duduk, dan telungkup.
Masing-masing posisi memiliki kelebihan pada situasi tertentu. Konsensus terkini menyatakan bahwa anestesi neuraksial harus dilakukan pada pasien sadar, kecuali pada kondisi tertentu dimana telah dipertimbangkan manfaat melebihi risikonya. Anestesi umum atau sedasi berat akan menghilangkan tanda nyeri atau parestesia saat jarum mendekati jaringan saraf. Posisi lateral dekubitus memfasilitasi pemberian sedatif, kurang tergantung pada asisten dibandingkan posisi duduk, dan lebih nyaman. Setelah injeksi obat, pasien diposisikan sehingga penyebaran obat hipobarik, isobarik, atau hiperbarik sesuai dengan lokasi operasi. Identifikasi garis tengah lebih mudah pada posisi duduk, khususnya bila pasien obese atau skoliosis. Hipotensi lebih sering terjadi pada posisi duduk. Posisi telungkup jarang digunakan, namun dapat dipilih jika pasien dipertahankan telungkup selama pembedahan, meliputi tindakan rektal, perineal, atau lumbal (Brull dkk, 2015). c.
Proyeksi dan Insersi Pendekatan midline bergantung pada kemampuan pasien dan asisten untuk
meminimalisir lordosis lumbal dan membuka celah interspinosum. Insersi
16 dilakukan pada level L2-L3, L3-L4, atau L4-L5. Medulla spinalis berakhir pada level L1-L2, sehingga insersi jarum di atas level ini dihindari. Garis interkristal adalah garis yang dibentuk antara dua krista iliaka dan memotong corpus vertebra L4 atau celah interspinosum L4-L5. Anestesi lokal diinjeksi dengan kecepatan sekitar 0,2 mL/detik. Pendekatan paramedian memberikan target subaraknoid yang lebih luas. Pendekatan paramedian berguna pada kalsifikasi luas ligamentum interspinosum. Pada teknik paramedian, jarum tidak melewati ligamentum supra dan interspinosum seperti pada teknik midline (Brull dkk, 2015). 2.3.4 Anestesi lokal Banyak anestesi lokal yang telah digunakan untuk anestesi spinal di masa lampau, namun hanya beberapa yang masih digunakan, yaitu: prokain, bupivakain, tetrakain, dan lidokain. Hanya larutan yang bebas pengawet yang dapat digunakan. Bupivakain dan tetrakain hiperbarik adalah dua obat yang paling sering digunakan. Kedua obat ini memiliki onset lambat (5-10 menit) dan durasi panjang (90-120 menit). Lidokain dan prokain memiliki onset yang relatif cepat (3-5 menit) dan durasi pendek (60-90 menit). Pada larutan hiperbarik, level anestesi tergantung pada posisi pasien selama dan segera setelah injeksi (Butterworth, 2013). Bupivakain adalah anestesi lokal golongan amida, dimana grup lipofilik (biasanya aromatic benzene ring) terpisah dengan grup hidrofilik (biasanya tertiary amine) oleh rantai intermediat amida. Bupivakain dimetabolisme oleh enzim mikrosomal P-450 di hepar (Butterworth, 2013).
17 2.3.5 Faktor yang mempengaruhi level anestesi spinal Faktor yang paling penting adalah barisitas anestesi lokal, posisi pasien selama dan segera setelah injeksi, dan dosis obat. Secara umum, makin besar dosis atau makin sefalad lokasi injeksi, maka makin sefalad level anestesi yang diperoleh. Migrasi sefalad anestesi lokal pada CSS tergantung pada densitasnya terhadap CSS (barisitas). CSS memiliki specific gravity 1.003-1.008 pada suhu 37°C. Larutan anestesi lokal hiperbarik lebih berat dibandingkan CSS, sedangkan larutan hipobarik lebih ringan dibandingkan CSS. Larutan anestesi lokal dapat dibuat hiperbarik dengan menambahkan glukosa atau hipobarik dengan menambahkan akuades atau fentanil. Pada posisi head-down, larutan hiperbarik akan menyebar ke sefalad, sedangkan larutan hipobarik menyebar ke kaudal. Begitu pula sebaliknya bila posisi head-up. Larutan isobarik akan tetap berada pada level injeksi (Butterworth, 2013). Faktor lain yang mempengaruhi adalah level injeksi, tinggi badan pasien, dan anatomi kolumna vertebralis. Arah bevel jarum spinal juga mempengaruhi, dimana level akan lebih tinggi bila bevel diarahkan ke sefalad. Larutan hiperbarik cenderung bergerak ke dependen area (T4-T8 pada posisi terlentang). Pada anatomi kolumna vertebralis normal, apeks kurvatura torakolumbal adalah T4. Kurvatura abnormal seperti skoliosis dan riwayat operasi kolumna vertebralis juga mempengaruhi level anestesi spinal. Volume CSS berkorelasi terbalik dengan penyebaran dermatom anestesi spinal. Peningkatan tekanan intraabdomen atau kondisi yang menyebabkan pelebaran vena epidural akan menurunkan volume CSS, dan menyebabkan penyebaran yang lebih luas dengan volume anestesi lokal
18 yang sama. Kondisi tersebut meliputi kehamilan, asites, tumor abdomen yang besar. Beberapa klinisi menurunkan dosis anestesi lokal pada pasien hamil sebesar sepertiga dosis dibandingkan pasien tidak hamil, terutama apabila tindakan dimulai pada posisi lateral. Penurunan volume CSS akibat usia tampaknya bertanggungjawab pada tingginya level anestesi pada geriatri dengan dosis yang sama (Butterworth, 2013). 2.3.6 Efek fisiologis Mekanisme anestesi spinal masih spekulatif. Tempat kerja utama blok neuraksial dipercaya pada nerve root. Anestesi lokal yang diinjeksikan ke CSS akan menggenangi nerve root pada ruang subaraknoid. Injeksi obat anestesi lokal ke CSS membutuhkan dosis yang relatif rendah untuk mendapatkan blok sensoris dan motoris yang kuat. Blok terhadap transmisi saraf (konduksi) pada nerve root posterior akan mempengaruhi sensasi somatik dan visceral, sedangkan blok pada nerve root anterior akan menghambat eferen motorik otot rangka dan outflow otonomik (Butterworth, 2013). Efek anestesi lokal pada serat saraf bervariasi tergantung pada ukuran dan karakteristik serat saraf (seperti: myelinisasi), panjang saraf yang tergenang anestesi lokal, dan konsentrasi anestesi lokal. Nerve roots terdiri atas berbagai tipe serat saraf. Serat saraf yang kecil dan bermielin lebih mudah diblok dibandingkan dengan serat saraf yang besar dan tidak bermielin. Ukuran dan karakteristik serat saraf, dan fakta bahwa konsentrasi anestesi lokal menurun dengan bertambahnya jarak dari level injeksi menerangkan terjadinya fenomena blok diferensial selama anestesi neuraksial. Blok diferensial ditandai dengan blok simpatis (suhu) 2
19 segmen atau lebih ke arah sefalad dibandingkan blok sensoris (nyeri, sentuhan ringan), dan beberapa segmen ke arah sefalad dibandingkan blok motorik. Outflow simpatis medulla spinalis berasal dari segmen torakolumbal, sedangkan parasimpatis berasal dari kraniosakral. Serat saraf simpatis praganglionik (kecil, serat β bermielin) keluar dari medulla spinalis bersama nervus spinalis dari T1-L2 dan dapat berjalan ke atas atau bawah rantai simpatis sebelum bersinaps dengan sel
pascaganglion di
ganglion simpatis. Sebaliknya,
serat praganglion
parasimpatis keluar dari medulla spinalis bersama nervus kranialis dan sakralis. Anestesi neuraksial tidak memblok nervus vagus. Dengan demikian, respons fisiologis anestesi neuraksial terjadi akibat penurunan tonus simpatis dan/atau tidak ada perlawanan terhadap tonus parasimpatis (Butterworth, 2013). 2.3.7 Efek terhadap sistem organ a.
Sistem kardiovaskular Anestesi neuraksial menghasilkan penurunan tekanan darah yang dapat
disertai penurunan laju jantung. Efek ini proporsional dengan level dermatom dan luasnya simpatektomi. Tonus vasomotor secara primer ditentukan oleh serat simpatis dari T5-L1, mempersarafi otot polos arteri dan vena. Blok terhadap saraf ini akan menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah venous capacitance dan akumulasi darah pada viscera dan ekstremitas bawah, sehingga menurunkan volume sirkulasi efektif dan aliran darah balik ke jantung. Vasodilatasi arteri juga menurunkan
tahanan
sistemik
vaskular.
Efek
vasodilatasi
arteri
dapat
diminimalisir oleh kompensasi vasokonstriksi arteri di atas level blok, khususnya bila level blok sensorik dibatasi pada dermatom toraks bawah. Blok simpatis
20 tinggi tidak hanya menghambat mekanisme kompensasi, namun juga memblok serat simpatis akselator jantung yang berasal dari T1-T4. Hipotensi berat dapat terjadi akibat dilatasi arteri dan pooling vena, dikombinasi dengan bradikardia (dan kemungkinan penurunan kontraktilitas ringan). Efek ini dapat diperburuk lagi oleh posisi head-up atau penekanan oleh uterus gravid. Tidak adanya perlawanan terhadap tonus vagal dapat menjelaskan terjadinya henti jantung mendadak pada anestesi spinal. Efek kardiovaskular yang berbahaya harus diantisipasi dan dilakukan upaya untuk mengurangi derajat hipotensi. Loading volume dengan 10-20 mL/kg cairan intravena pada pasien sehat sebelum pemberian anestesi spinal gagal mencegah hipotensi. Left uterine displacement pada trimester tiga kehamilan membantu mengurangi obstruksi fisik pada aliran darah balik ke jantung. Walaupun dengan usaha tersebut, hipotensi masih dapat terjadi dan harus segera diatasi. Autotransfusi dapat dilakukan dengan memposisikan head down. Bolus cairan intravena 5-10 mL/kg dapat membantu pada pasien dengan fungsi kardiak dan renal yang adekuat untuk mengatasi loading cairan setelah blok menghilang. Bradikardia yang berlebihan atau simtomatik harus diatasi dengan atropin dan hipotensi harus diatasi dengan vasopresor. Agonis alfa adrenergik (misalnya fenilefrin) menyebabkan konstriksi arteriol dan dapat meningkatkan bradikardia, meningkatkan tahanan sistemik vaskular. Efedrin memiliki efek direk dan indirek beta adrenergik yang meningkatkan laju jantung dan kontraktilitas, serta efek indirek yang menyebabkan vasokonstriksi. Seperti efedrin, epinefrin dosis rendah (2-5 mcg
21 bolus) berguna untuk mengatasi hipotensi akibat anestesi spinal. Jika hipotensi dan bradikardia menetap, dapat diberikan infus vasopresor (Butterworth, 2013). b.
Sistem pernapasan Perubahan fisiologi paru biasanya minimal dengan anestesi neuraksial, karena
diafragma dipersarafi oleh nervus frenikus dengan serat berasal dari C3-C5. Meskipun dengan level toraks tinggi, volume tidak tidak berubah, hanya terdapat penurunan kecil kapasitas vital akibat hilangnya kontribusi otot abdomen dalam ekspirasi dalam. Pasien dengan penyakit paru kronis berat menggunakan otot bantu napas (musculus intercostales dan otot abdomen) untuk inspirasi dan ekspirasi. Blok saraf yang tinggi akan mengganggu otot ini, termasuk fungsinya untuk batuk dan mengeluarkan sekret. Oleh karena itu, anestesi neuraksial digunakan dengan hati-hati pada pasien dengan cadangan respirasi yang terbatas. Risiko ini harus dibandingkan dengan keuntungan anestesi spinal dalam menghindari penggunaan instrumen jalan napas dan pemberian ventilasi tekanan positif. Untuk operasi di atas umbilikus, teknik regional murni mungkin bukan pilihan terbaik pada pasien dengan penyakit paru berat (Butterworth, 2013). c.
Sistem gastrointestinal Outflow simpatis berasal dari level T5-L1. Simpatektomi akibat anestesi
neuraksial menyebabkan dominasi tonus vagal dan mengakibatkan peristaltik yang aktif dan usus yang kecil karena kontraksi. Kondisi ini dapat membantu kondisi lapangan operasi pada laparoskopi bersama dengan anestesi umum. Aliran darah hepar akan menurun dengan penurunan tekanan arteri rerata akibat obat anestesi (Butterworth, 2013).
22 d.
Sistem urogenital Aliran darah ginjal dipertahankan oleh autoregulasi. Anestesi neuraksial pada
level lumbal dan sakral menghambat kontrol simpatis dan parasimpatis terhadap fungsi buli. Hilangnya kontrol sistem saraf otonom mengakibatkan retensi urin hingga blok hilang. Jika tidak menggunakan kateter urin, pertimbangkan untuk menggunakan obat anestesi dengan durasi yang pendek dan berikan volume minimal cairan intravena yang aman (Butterworth, 2013). 2.3.8 Kontraindikasi Kontraindikasi absolut untuk anestesi neuraksial meliputi: penolakan pasien, gangguan pembekuan darah, hipovolemia berat, peningkatan tekanan intrakranial (khususnya dengan massa intrakranial), dan infeksi pada lokasi insersi. Kontraindikasi relatif lainnya meliputi: stenosis katup aorta atau mitral berat dan obstruksi left ventricular outflow yang berat (kardiomiopati hipertrofik obstruktif). Namun demikian, dengan monitoring ketat dan kontrol level anestesi, anestesi neuraksial dapat diberikan secara aman pada pasien dengan penyakit katup jantung, terutama bila penyebaran dermatom yang luas tidak diperlukan (misalnya saddle block). Inspeksi dan palpasi punggung dapat menunjukkan bekas luka operasi, skoliosis, lesi kulit, dan identifikasi prosesus spinosus. Anestesi neuraksial pada pasien sepsis atau bakteremia merupakan predisposisi penyebaran hematogen agen infeksi ke ruang subaraknoid. Pasien dengan gangguan neurologis atau penyakit demielinisasi dapat mengeluhkan gejala yang bertambah berat. Sulit untuk membedakan apakah keluhan tersebut akibat efek anestesi atau eksaserbasi penyakit yang menyertainya (Butterworth, 2013).
23 2.3.9 Anestesi spinal pada seksio sesaria Anestesi spinal bersifat sederhana, onset cepat, dan blok saraf yang kuat. Risiko toksisitas sistemik anestesi lokal pada ibu, transfer obat ke janin, dan depresi akibat anestesi lokal pada bayi, insidennya kecil pada anestesi spinal. Jarum spinal noncutting dan pencil point menurunkan insiden PDPH pada pasien obstetri (Kuczkowski dkk, 2014). Sebagian besar obat anestesi spinal diberikan sebagai injeksi tunggal. Meskipun onset cepat anestesi menguntungkan, namun onset cepat blok simpatis dapat menyebabkan hipotensi yang berat dan mendadak. Jika pembedahan berlangsung lebih lama dari antisipasi, maka dibutuhkan suplemen analgesi atau anestesi umum. Persiapan anestesi spinal sebagai berikut. 1) Premedikasi. Sebagian besar pasien tidak membutuhkan sedasi sebelum pemberian anestesi untuk seksio sesaria, dan biasanya dihindari hingga bayi lahir. Jika dibutuhkan, dapat diberikan benzodiazepin dosis rendah (midazolam 0,5-2 mg atau diazepam 2-5 mg) dan/atau opioid dosis rendah, misalnya: fentanil 25-50 mcg iv. Obat dosis rendah memiliki efek minimal terhadap depresi janin dan bayi. Tiga kelas obat profilaksis aspirasi yang sering digunakan adalah antasida nonpartikulat, antagonis reseptor H2, dan antagonis dopamin. Antasida nonpartikulat sodium sitrat dengan dosis 30 mL memiliki onset segera setelah diberikan dan durasi selama 60 menit. Antasida bekerja dengan meningkatkan pH gaster. Antagonis reseptor H2 seperti ranitidin 50 mg atau famotidin 20 mg iv memiliki onset 15-30 menit dan durasi 2 jam. Obat ini mengurangi sekresi asam. Metokloperamid adalah antagonis dopamin, diberikan dengan dosis 10 mg iv,
24 onset 1-3 menit dengan durasi selama 1-2 jam. Obat ini memiliki efek antiemetik, meningkatkan tonus sfingter bawah esofagus, dan menurunkan volume gaster dengan meningkatkan peristaltik (Kuczkowski dkk, 2014; Toledo, 2014). 2) Cairan intravena. Sebagian besar pasien harus menerima bolus cairan kristaloid. Sebelum memberikan anestesi regional, 15-20 mL/kg balanced salt solution (misalnya: ringer laktat) diberikan untuk mempertahankan volume intravaskular adekuat pascablok simpatis. Bolus cairan intravena paling efektif diberikan dalam 30 menit induksi anestesi sebelum terdistribusi ke kompartemen lain. Hidrasi profilaktik selain menurunkan insiden hipotensi, namun juga meningkatkan perfusi uteroplasenta. Terdapat penelitian yang menunjukkan bahwa insiden hipotensi menurun dari 71% pada pasien tanpa prehidrasi menjadi 55% pada pasien yang menerima prehidrasi (Kuczkowski dkk, 2014). 3) Posisi ibu. Kompresi aortocaval harus dihindari sebelum dan selama seksio sesaria. Saat ibu hamil terlentang, uterus gravid akan menekan aorta dan vena cava inferior sehingga menurunkan perfusi uteroplasenta melalui tiga mekanisme, yaitu: a) penurunan aliran darah balik, sehingga menurunkan curah jantung dan tekanan darah ibu, b) obstruksi drainase vena uterus akan meningkatkan tekanan vena uterus dan menurunkan tekanan perfusi arteri uterina, c) kompresi aorta atau arteri iliaca communis mengakibatkan penurunan tekanan perfusi arteri uterina. Kompresi aortocaval dapat dihindari dengan menempatkan ganjalan di bawah pinggang kanan (Kuczkowski dkk, 2014).
25 4) Monitoring. Monitoring disesuaikan dengan kondisi medis pasien dan penyakit lain yang menyertainya. Monitoring invasif mungkin diperlukan pada kasus-kasus tertentu (Kuczkowski dkk, 2014). Wanita hamil memerlukan dosis anestesi lokal yang lebih rendah akibat faktor mekanikal dan hormonal. Sebagian besar dokter anestesi memberikan anestesi lokal hiperbarik, dengan dosis umumnya 12 mg bupivakain hiperbarik, 60 mg lidokain hiperbarik, atau 9 mg tetrakain hiperbarik. Setelah injeksi obat spinal, jarum dicabut dan pasien diposisikan terlentang dengan left uterine displacement. Suplemen oksigen diberikan melalui nasal kanul atau sungkup muka. Tekanan darah dan laju nadi dievaluasi setiap menit selama 10 menit pertama karena hipotensi, takikardi atau bradikardi dapat terjadi secara mendadak. Denyut jantung janin dievaluasi sebelum drapping (Kuczkowski dkk, 2014). Definisi hipotensi pada pasien obstetri adalah penurunan tekanan darah sistolik setidaknya 25% atau tekanan darah sistolik di bawah 100 mmHg. Hipotensi dapat dicegah melalui pemberian cairan sebelum anestesi, left uterine displacement, dan pemberian vasopresor profilaksis. Efedrin adalah vasopresor pilihan untuk profilaksis atau terapi hipotensi pada pasien obstetri. Efedrin dapat menjaga dan mengembalikan aliran darah
uterus.
Beberapa penelitian
menunjukkan agonis alfa adrenergik dosis rendah (misalnya fenilefrin 20-40 mg iv) dapat diberikan dengan aman untuk pencegahan dan terapi hipotensi. Agonis alfa adrenergik menjadi pilihan terbaik pada pasien yang tidak mentoleransi takikardia akibat efedrin (misalnya: pasien dengan stenosis katup mitral atau hipertrofi septum asimetris). Efek efedrin terhadap asidosis janin masih
26 kontroversial. Terdapat penelitian yang menemukan kejadian asidosis janin lebih sering ditemukan pada pemberian efedrin dibandingkan fenilefrin. Namun pada penelitian lain, efedrin tampak melindungi perfusi uteroplasenta lebih baik daripada fenilefrin (Kuczkowski dkk, 2014). 2.4 Respons Stres Respons stres adalah respons fisiologis yang timbul untuk melindungi tubuh dari
cedera dan
kardiovaskular,
bertahan
termoregulasi,
hidup. dan
Respons metabolik.
ini
melibatkan Cuthbertson
mekanisme menjelaskan
mekanisme ini pada tahun 1929. Pembedahan atau trauma akan menghasilkan respons neuroendokrin dan sitokin tergantung pada luasnya cedera atau gangguan metabolik. Bedah minor pada ekstremitas menghasilkan respons stres yang dapat diabaikan, dibandingkan pembedahan mayor seperti laparotomi atau torakotomi (Deakin, 2013). Respons neuroendokrin dirangsang oleh stimulus nyeri serat aferen ke sistem saraf pusat. Respons ini dapat dikurangi atau dihilangkan melalui blok saraf dengan anestesi regional. Respons sitokin dirangsang oleh kerusakan jaringan lokal pada tempat pembedahan dan tidak dapat dihambat oleh anestesi regional. Respons ini dapat dikurangi dengan bedah minimal invasif khususnya laparoskopi. Terdapat bukti yang berkembang bahwa respons stres berefek merugikan dan berkaitan dengan morbiditas pascabedah. Respons stres memiliki efek samping pada sistem fisiologis utama, meliputi: kardiovaskular, respirasi, dan gastrointestinal (Deakin, 2013).
27 Tabel 2.2
Komponen Respons Stres Pembedahan (Deakin, 2013) Respons Neuroendokrin
Konsekuensi
HPA-axis
ACTH, GH, ADH, β-endorphin, prolaktin meningkat
Stimulasi sistem saraf simpatis
Peningkatan katekolamin HPA-axis RAA-axis Peningkatan glukagon
Respons Sitokin
Pelepasan sitokin dan mediator inflamasi
Pireksia (akibat peningkatan IL-1)
Penurunan insulin, testosteron Peningkatan protein fase akut (hepar) Konsekuensi
Peningkatan IL-1, IL-6, TNF-α Peningkatan prostaglandin Peningkatan neutrofil Penurunan limfosit Peningkatan laju metabolisme
Akibat
Aktivasi hormon adrenokortikal Mobilisasi cadangan glukosa Retensi air Katabolisme protein dan glukoneogenesis Peningkatan denyut dan curah jantung, TVS, tekanan arterial Peningkatan TVS, retensi Na+ dan H2O, sekresi K+ Peningkatan glukosa plasma, lipolisis, resistensi insulin Hiperglikemia, status katabolik Penurunan sistesis albumin Akibat
Adesi platelet Peningkatan koagulasi Peningkatan aktivitas HPA-axis Inflamasi lokal, nyeri Peningkatan kebutuhan pada sistem kardiovaskular
Pemicu respons neuroendokrin dan sitokin pascabedah dapat berupa stimulus aferen yang bersifat noksius (khususnya nyeri), faktor inflamasi lokal jaringan (khususnya sitokin), hipotensi, nyeri dan kecemasan, puasa, hipotermia dan menggigil, asidosis, hipoksemia, dan infeksi (Deakin, 2013). 2.4.1 Respons neuroendokrin Respons neuroendokrin diaktivasi oleh impuls neuronal aferen dari lokasi cedera. Impuls ini berjalan sepanjang saraf sensoris melalui dorsal root medulla spinalis, dan naik menuju hipotalamus (Desborough, 2000). Respons stres
28 memberikan konsekuensi terhadap elemen neuroendokrin sebagai berikut (Deakin, 2013). a.
Katabolisme protein Pembedahan mayor mengakibatkan ekskresi nitrogen sehingga disebut balans
negatif nitrogen, yang berarti katabolisme protein menjadi asam amino untuk glukoneogenesis. Sintesis protein menurun, namun pemecahannya meningkat. Otot skelet perifer yang paling terpengaruh, namun demikian protein visceral juga dapat terkatabolisme. Katekolamin, kortisol, glukagon, dan interleukin (IL-1 dan IL-6) terlibat dalam proteolisis dan glukoneogenesis. Katabolisme protein memberikan kontribusi pada penurunan barat badan dan terganggunya penyembuhan luka, dan menunda pemulihan pascabedah. Hingga 0,5 kg/hari massa otot dapat hilang pascabedah akibat respons stres. b.
Mobilisasi karbohidrat Hiperglikemia dan intoleransi insulin merupakan karakteristik utama respons
stres hingga beberapa hari pascabedah. Hal ini sebagai akibat peningkatan katakolamin, kortisol, glukagon, dan stimulasi sistem saraf simpatis. Hormon ini juga menghambat insulin sehingga mengganggu ambilan glukosa ke otot, lemak, dan hepar. Selain itu, sensitivitas otot dan hepar terhadap insulin juga berkurang. Glukosa darah dapat meningkat hingga 11 mmol/L yang dapat mengakibatkan glikosuria dan osmotik diuresis.
29 c.
Metabolisme lemak Katekolamin
menstimulasi
lipolisis
melalui
α1-adrenoreceptor
akan
meningkatkan konsentrasi asam lemak bebas. Asam lemak bebas dapat dioksidasi di hepar untuk membentuk keton sebagai sumber energi jaringan perifer. d.
Efek kardiovaskular Aktivasi sistem saraf simpatis berakibat meningkatnya kebutuhan oksigen
miokardium melalui peningkatan denyut jantung dan tekanan arteri. Aktivasi sistem saraf simpatis juga menyebabkan vasokonstriksi arteri koroner, menurunkan pasokan oksigen ke miokardium. Efek ini dapat diperberat oleh status hiperkoagulabilitas pascabedah. Konsentrasi hormon antidiuretik meningkat selama respons stres berakibat pada peningkatan adesivitas platelet (Deakin, 2013). Platelet-activating factor (PAF) merupakan mediator fosfolipid yang memiliki kemampuan memicu agregasi platelet dan inflamasi. PAF diproduksi oleh berbagai sel, antara lain: trombosit, sel endotel, neutrofil, monosit, dan makrofag. Anestesi regional dapat menghambat aktivasi PAF, sehingga mencagah timbulnya trombus (Senapathi dkk, 2015). e.
Efek respirasi Perubahan respirasi yang paling penting adalah penurunan functional residual
capacity (FRC). FRC adalah jumlah udara yang tersisa pada paru saat akhir ekspirasi normal. Penyebab utama penurunan FRC adalah nyeri pascabedah, yang akan menurunkan kedalaman dan frekuensi napas. Ketika FRC menurun, volumenya dapat lebih rendah dari closing capacity (volume udara di dalam paru yang dibutuhkan untuk mencegah kolapsnya alveoli). Jika FRC lebih rendah dari
30 closing capacity, maka terjadi penutupan jalan napas dengan hasil ventilationperfusion mismatch, shunting, dan hipoksemia. f.
Efek gastrointestinal Ileus terjadi akibat stimulasi nosiseptif aferen dan eferen sistem saraf
simpatis. Ileus pascabedah merupakan gangguan sementara, namun dapat menunda pemberian diet enteral, dan kondisi puasa akan memperpanjang durasi respons stres. g.
Efek sistem imunologis Banyak mediator respons stres (misalnya: kortisol, interleukin, prostaglandin,
dan lainnya) merupakan imunosupresan seluler dan humoral. h.
Faktor lokal dan respons imunologis (sitokin) Tidak hanya stimulus aferen yang menimbulkan respons stres. Cedera berat
pada ekstremitas yang telah terdenervasi juga dapat menimbulkan respons stres. Hal ini menunjukkan adanya mekanisme non-neural. Sitokin dan mediator inflamasi dilepaskan akibat kerusakan jaringan lokal. Besarnya respons ini sesuai dengan beratnya derajat kerusakan jaringan. 2.4.2 Respons sitokin Sitokin adalah grup protein dengan berat molekul rendah, meliputi interleukin dan interferon. Sitokin diproduksi dari aktivasi leukosit, fibroblas, dan sel endotelial sebagai respons awal cedera jaringan dan mempunyai peran mayor dalam mediasi imunitas dan inflamasi. Sitokin bekerja pada reseptor permukaan pada berbagai sel target untuk mempengaruhi sintesis protein pada sel tersebut. Sitokin utama yang dilepaskan adalah interleukin-1 (IL-1), tumor necrosis factor-
31 α (TNF-α), dan IL-6. Reaksi awal adalah pelepasan IL-1 dan TNF-α dari aktivasi makrofag dan monosit dari jaringan yang rusak. Hal ini akan menstimulasi produksi dan pelepasan sitokin lainnya, terutama IL-6 sebagai sitokin utama yang bertanggungjawab terhadap perubahan sistemik yang dikenal dengan respons fase akut (Desborough, 2000). IL-6 adalah protein dengan berat molekul 26 kDa. IL-6 akan meningkat dalam 30-60 menit sejak insisi, perubahan menjadi signifikan setelah 2-4 jam. Produksi sitokin menunjukkan beratnya cedera jaringan, sehingga pelepasan sitokin juga rendah pada trauma kecil misalnya laparoskopi. Peningkatan IL-6 terbesar terjadi pascabedah mayor seperti penggantian sendi, bedah vaskular mayor, dan bedah kolorektal. Setelah pembedahan, konsentrasi sitokin maksimal pada 12-24 jam dan tetap meningkat hingga 48-72 jam pascabedah (Desborough, 2000; Burton dkk, 2004). Perubahan yang terjadi pasca cedera jaringan yang distimulasi oleh sitokin, khususnya IL-6 dikenal sebagai respons fase akut. Protein fase akut diproduksi oleh hepar sebagai mediator inflamasi, antiproteinase, scavenger, dan perbaikan jaringan. Protein fase akut meliputi: C-reactive protein (CRP), fibrinogen, α2macroglobulin. Peningkatan konsentrasi serum CRP mengikuti perubahan IL-6 (Desborough, 2000). 2.4.3 Pengaruh anestesi terhadap respons stres a.
Anestesi umum Obat anestesi intravena (kecuali etomidat) dan inhalasi tidak memiliki
pengaruh yang adekuat terhadap respons neuroendokrin dan sitokin, telepas dari
32 dosis yang diberikan. Etomidat menghambat enzim 11β-hydoxylase yang terlibat pada sintesis kortisol adrenal, sehingga konsentrasi kortisol menurun. Pada dosis yang lebih tinggi, enzim adrenal 18β-hydroxylase dan cholesterol side chain cleavage dihambat, sehingga menurunkan sintesis hormon aldosteron dan hormon steroid lainnya. Terdapat bukti bahwa inhibisi 11β-hydoxylase yang terjadi setelah pemberian etomidat dosis induksi tunggal akan menurunkan konsentrasi plasma kortisol selama beberapa jam, namun makna klinis hal ini belum jelas. Analgesi opioid dosis tinggi (misalnya: morfin 4 mg/kg atau fentanil 50-100 mcg/kg) dapat menghambat respons neuroendokrin dengan sempurna (kecuali respons yang dipicu oleh cardiopulmonary bypass). Jika opioid diberikan setelah insisi bedah, opioid tidak dapat mencegah timbulnya respons stres (Deakin, 2013). Klonidin (suatu
antihipertensi
yang
bekerja
sentral)
dapat
menurunkan
respons
simpatoadrenal dan kardiovaskular terhadap pembedahan (Burton, 2004). b.
Anestesi regional neuraksial Anestesi dan analgesi epidural untuk ekstremitas bawah atau bedah pelvis
dapat menekan respons neuroendokrin secara sempurna. Pemberian obat anestesi lokal ke dalam ruang epidural lebih efektif dibandingkan dengan opioid tunggal. Sedangkan pelepasan sitokin secara sistemik sebagai respons terhadap kerusakan jaringan lokal tidak dapat ditekan oleh anestesi regional (Deakin, 2013). Obat anestesi lokal dapat menurunkan respons inflamasi pascabedah melalui dua mekanisme, yaitu: 1) blok transmisi neural pada lokasi cedera jaringan dan menurunkan inflamasi neurogenik; 2) sifat anti-inflamasi sistemik (Golubovska & Vanags, 2008; Senapathi dkk, 2015).
33 2.5 Ketamin 2.5.1 Struktur kimia Ketamin merupakan derivat aminocyclohexanone yang secara struktur kimia berkaitan dengan phencyclidine. Ketamin adalah basa lemah dengan pK 7,5 dan tersedia dalam larutan sebagai garam hidroklorida. Terdapat tiga konsentrasi, yaitu: 10 mg/mL, 50 mg/mL, dan 100 mg/mL. Ketamin dapat digunakan untuk monitored anesthesia care, anestesi intravena, dan dapat diberikan secara injeksi intramuskuler. Preparat komersial ketamin mengandung campuran racemic dua isomer. Isomer (S+) lebih poten dengan efek samping yang lebih sedikit (Dershwitz, & Rosow, 2012). 2.5.2 Farmakodinamik a.
Efek sistem saraf pusat Ketamin menghasilkan efek inhibisi reseptor N-methyl-D-aspartate (NMDA).
Reseptor NMDA adalah suatu ligand-gated ion channel oleh neurotransmiter eksitator glutamat. Kondisi anestesi oleh ketamin disebut anestesi disosiatif. Kondisi ini tidak seperti tidur normal. Pasien tampak disosiatif terhadap lingkungannya. Ketika pasien dalam pengaruh anestesi ketamin, pasien dapat bergerak, bersuara, membuka mata, dan melirik. Namun demikian, pasien telah teranestesi, tidak berespons terhadap stimulus nyeri, dan tidak mengingat kejadian selama tindakan (Dershwitz, & Rosow, 2012). Ketamin memberikan analgesi kuat yang bertahan hingga pascabedah. Mimpi buruk atau halusinasi dapat terjadi pascabedah. Dibandingkan dengan obat anestesi intravena lainnya, ketamin mengakibatkan peningkatan CMRO2, CBF,
34 dan TIK, sehingga dikontraindikasikan pada pasien dengan massa intrakranial, peningkatan TIK, atau riwayat cedera kepala (Dershwitz, & Rosow, 2012). b.
Efek sistem kardiovaskular Ketamin biasanya meningkatkan tekanan darah, laju jantung, kontraktilitas
jantung, curah jantung, dan tahanan vaskular sistemik. Hal tersebut merupakan efek indirek akibat peningkatan tonus simpatis sentral dan peningkatan pelepasan katekolamin sentral dari medula adrenal. Pada pasien kritis atau cedera dimana konsentrasi katekolamin yang tersirkulasi telah mencapai nilai maksimal, ketamin dapat menyebabkan penurunan tekanan darah dan curah jantung karena ketamin dan metabolit utamanya memiliki efek inotropik negatif secara langsung. Ketamin dapat meningkatkan kebutuhan oksigen miokardium melebihi kemampuannya meningkatkan penghantaran oksigen. Pada beberapa pasien dengan penyakit arteri koroner, efek ini dapat menyebabkan iskemia (Dershwitz, & Rosow, 2012). Ketika dosis 1 mg/kg digunakan untuk induksi, tekanan darah sistolik meningkat sekitar 14% segera setelah induksi anestesi, dan sekitar 30% setelah laringoskopi dan intubasi (Kuczkowski, 2014). c.
Efek sistem respirasi Ketamin
memiliki
sedikit
efek
pada
ventilatory
drive.
Ketamin
mengakibatkan bronkodilatasi dan telah terbukti bermanfaat pada pasien dengan atau berisiko mengalami bronkospasme. Refleks proteksi jalan napas cenderung tidak ditekan oleh ketamin walaupun dalam kondisi teranestesi. Namun demikian, risiko aspirasi tetap dapat terjadi. Ketamin menyebabkan salivasi, dan untuk
35 mengatasi hal ini biasanya diberikan bersama dengan antisialagogue (misalnya antikolinergik, seperti glikopirolat) (Dershwitz, & Rosow, 2012). d.
Efek lain Ketamin berkaitan dengan risiko tinggi terjadinya PONV. Ketamin aman
pada pasien dengan hipertermia malignan. Terdapat bukti yang berkembang bahwa ketamin dosis rendah memegang peranan penting dalam memperbaiki manajemen nyeri pascabedah ketika digunakan sebagai adjuvan opioid atau anestesi lokal. Pemberian injeksi tunggal intraoperasi (0,15 mg/kg) meningkatkan analgesi pascabedah. Penambahan dosis rendah ketamin sebelum induksi anestesi umum menghasilkan penurunan sekresi sitokin proinflamasi IL-6 dan TNF-α, serta mempertahankan produksi IL-2 (Golubovska & Vanags, 2008). 2.5.3 Farmakokinetik Setelah induksi ketamin intravena dengan dosis 1-2 mg/kg, hilangnya kesadaran terjadi dengan cepat. Namun demikian, kesadaran lebih lambat pulih. Ketamin memiliki waktu paruh redistribusi 11-17 menit. Ketamin dimetabolisme secara ekstensif, secara primer oleh N-demethylation. Metabolit aktif norketamin, memiliki potensi seperempat ketamin. Norketamin selanjutnya dimetabolisme menjadi glukoronida inaktif. Hanya sebagian kecil fraksi ketamin yang tersirkulasi berikatan dengan protein plasma. Ketamin memiliki rasio ekstraksi hepatik tinggi, sehingga medikasi lain dan penyakit yang menurunkan aliran darah hepar dapat memperpanjang durasi ketamin. Ketamin memiliki first-pass hepatic metabolism yang tinggi setelah pemberian oral (Dershwitz, & Rosow, 2012).
36 2.5.4 Penggunaan klinis Ketamin sering digunakan untuk induksi anestesi umum pada pasien dengan disfungsi jantung atau hipovolemia. Ketamin telah digunakan secara luas sebagai terapi akut dan kronis pada korban luka bakar. Pemberian ketamin kontinyu sebagai infus digunakan untuk analgesi dan hipnosis sebagai bagian dari balanced anesthesia. Karena peningkatan dosis ketamin tidak menghasilkan perubahan yang konsisten pada hemodinamik, respirasi, dan pergerakan bola mata, maka kedalaman anestesi sulit dinilai (Dershwitz, & Rosow, 2012). Ketamin merupakan pilihan yang baik pada pasien dengan/atau berisiko mengalami bronkospasme. Pemulihan yang lambat sering disertai oleh halusinasi dan/atau disforia merupakan efek samping yang sering terjadi. Efek psikologis yang
terjadi
dapat
diatasi
dengan
pemberian
bersama
propofol
atau
benzodiazepin. Pada dosis subhipnotik (0,15-0,3 mg/kg), ketamin sering digunakan untuk monitored anesthesia care. Ketamin menghasilkan analgesi yang kuat tanpa depresi ventilasi (Dershwitz, & Rosow, 2012). Ketamin sering digunakan sebagai agen tunggal atau kombinasi dengan midazolam sebagai medikasi oral pada anak-anak. Ketamin digunakan sebagai agen tunggal untuk sedasi sadar pada tindakan nyeri namun singkat (misalnya endoskopi atas). Dosis kombinasi umumnya 3-6 mg/kg ketamin bersama 0,25 hingga 0,5 mg/kg midazolam (Dershwitz, & Rosow, 2012). Absorpsi ketamin dapat diprediksi dan memberikan efek nyeri minimal setelah injeksi intramuskuler. Dosis bervariasi dari sedasi ringan hingga induksi anestesi umum dapat diberikan secara intramuskuler. Onset cepat setelah injeksi
37 intramuskuler membuat ketamin sering dipilih sebagai agen induksi anestesi pada anak dan dewasa dengan disabilitas mental yang tidak mentoleransi pemakaian masker dan pemasangan kateter intravena. Setelah pemberian ketamin 2-4 mg/kg im, pasien akan kehilangan kesadaran sehingga dapat dilakukan pemasangan kateter intravena dalam waktu 5 menit (Dershwitz, & Rosow, 2012). 2.5.5 Penggunaan ketamin pada seksio sesaria Ketamin merupakan salah satu obat anestesi pilihan untuk induksi anestesi umum untuk seksio sesaria. Ketamin juga pilihan pada kasus gawat janin berat, oksigen 100% dapat diberikan hingga bayi lahir, dengan risiko rendah terjadinya maternal awareness dan recall. Dosis kecil ketamin yang diberikan secara intravena atau intramuskuler dapat menghasilkan kondisi disosiatif dengan atau tanpa amnesia. Dosis besar (misalnya 1 mg/kg) digunakan untuk induksi anestesi umum. Untuk mengurangi atau menghilangkan efek samping ini, dapat diberikan bersama benzodiazepin. Ketamin lebih baik dihindari pada pasien preeklampsia, karena dapat menyebabkan stimulasi sistem saraf simpatis dan eksaserbasi hipertensi. Namun demikian, ketamin merupakan agen induksi pilihan untuk pasien dengan hipovolemia atau asma (Kuczkowski, 2014). Ketamin mempengaruhi tonus uterus sesuai besarnya dosis. Dengan dosis klinis, efek ini kecil atau tidak bermakna secara klinis. Dosis besar (1,5-2 mg/kg), tonus uterus dapat meningkat hingga 40%. Dosis induksi 1 mg/kg tidak meningkatkan tonus uterus. Ketamin menembus plasenta dengan cepat dan mencapai konsentrasi maksimal pada janin sekitar 1,5-2 menit setelah pemberian. Ketamin dosis kecil tidak menyebabkan depresi neonatus, sedangkan dosis tinggi
38 (2 mg/kg) berkaitan dengan rendahnya skor Apgar dan tonus otot neonatus yang abnormal. Dengan ketamin dosis rendah, tekanan darah maternal, aliran darah uterus, dan analisa gas arteri umbilikalis biasanya terjaga dengan baik. Ketamin adalah obat induksi yang sangat berguna pada pasien obstetri (Kuczkowski, 2014; Porter, 2000). Ketamin intravena memiliki onset yang cepat dan durasi pendek, sehingga ketamin tidak begitu berguna untuk analgesi selama kala 1 persalinan. Namun demikian, ketamin dapat memberikan analgesi efektif sesaat sebelum persalinan pervaginam. Dokter anestesi dapat memberikan dosis rendah (10-20 mg atau 0,20,4 mg/kg) pada pasien tanpa anestesi regional atau sebagai obat adjuvan pada pasien yang kurang nyaman dengan anestesi regional. Dosis dapat diulang dan dosis total tidak boleh melampaui 1 mg/kg dalam 30 menit. Jika digunakan dengan dosis rendah seperti di atas, insiden halusinasi rendah (Kuczkowski, 2014).